PRINSIP SOLA SCRIPTURA TEOLOGI REFORMED
DEFINISI PRINSIP SOLA SCRIPTURA
PENERAPAN PRINSIP SOLA SCRIPTURA DALAM ALKITAB
Prinsip ini bukanlah hal yang baru, tetapi prinsip ini secara konseptual sudah ada dan diterapkan dalam tokoh-tokoh Alkitab, pada permulaan penciptaan manusia, Tuhan sudah memberikan prinsip agar Adam dan Hawa mendengarkan firman Tuhan (Lih. Kejadian 2:16), memang belum ada Firman Tuhan yang tertulis tetapi secara konsep pemikiran untuk berpusat pada firman Tuhan telah muncul pada permulaan kehidupan manusia. Prinsip tersebut semakin terang dinyatakan dalam kehidupan umat Israel dalam PL.
Hal tersebut dapat kita lihat dari pemberian kesepuluh hukum Allah kepada Musa di Gunung Sinai menunjukkan bahwa Allah ingin umat Israel hidup sesuai dengan hukum-Nya. Lalu para Nabi-nabi dalam PL menyampaikan pesan kepada umat Isrel sesuai dengan apa yang difirmankan Tuhan kepada mereka, sehingga sering muncul istilah : "... beginilah firman Tuhan..."(Lih. Keluaran 4:22; 5:1; 7:17; 8:1; 8:20; 9:1,13; 10:13; 11:4; 32:27, Yosua 24:2, Hak. 6:8; 1Samuel 2:27; 10:18; 15:2, 2Sam. 7:5, 8; 12:7, 11; 24:12, 1Raj. 11:31; 12:24; 13:2, 21; 14:7; 17:14, Yesaya 7:7; 8:11; Yeremia 2:5; 4:3; 5:14, Yehezkiel 5:5; Amos 5:4, Obaja 1:1, Mikha 2:3, Hagai 1:2, Zakharia 1:3, Maleakhi 1:4).
Selanjutnya dalam PB prinsip untuk berpusat pada Alkitab semakin diterangkan oleh Tuhan Yesus saat "mengalami pencobaan" Ia yang menyatakan "manusia bukan hidup dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah" (Matius 4:4). Paulus dalam Nasehatnya kepada Timotius menyatakan bahwa pembacaan Kita Suci sangat penting agar dapat mengawasi diri dan ajaran (NIV: watch your life and doctrine closely (Lih. 1Timotius 4:13, 16)) dan Paulus menyatakan sangat penting menjadikan firman Allah sebagai sumber dan bahan untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran (2Timotius 3:16).
Prinsip berpusat pada Alkitab (sola scriptura) adalah prinsip yang Alkitabiah yang telah muncul dalam kehidupan tokoh-tokoh Alkitab dan Allah sendirilah yang menjadi inisiator agar manusia menerapkan prinsip sola scriptura (Lih. Yohanes 8:51; 14:23). Setelah firman Allah yang dinyatakan telah tercatat lengkap yaitu dalam Alkitab yang terdiri dari 66 Kitab, yaitu 39 Kitab PL dan 27 Kitab PB, Allah menghendaki kita berpusat pada Alkitab. Sehingga para Teolog jika ingin berkhotbah wajib dan harus berkhotbah berdasarkan Alkitab Firman Allah. Dari fakta-fakta Alkitab tersebut menunjukkan bahwa prinsip Sola Scriptura adalah prinsip yang Alkitabiah. Para tokoh reformator hanyalah salah-satu alat Tuhan untuk mengembalikan kembali prinsip tersebut.
IMPLEMENTASI PRINSIP SOLA SCRIPTURA OLEH TOKOH REFORMATOR ABAD KE-XVI
Reformasi pada abad ke-16 merupakan sebuah momentum (the time of God) yang mengembalikan kembali Gereja pada ajaran yang berpusat pada Alkitab. Marthin Luther dan John Calvin dalam reformasinya menunjukkan penerapan terhadap prinsip sola Scriptura. Stevri Indra Lumintang menuliskan:
"Prinsip ini merupakan prinsip yang kembali ditekankan oleh para Reformator, setelah gereja pada waktu itu hanya menempatkan Alkitab sebagai salah satu kaidah kebenaran, selain daripada tradisi gereja dan kekuasaan Paus. Para Reformator sangat menjunjung tinggi Alkitab sebagia satu-satunya otoritas bagi gereja dalam hidup dan pelayanan mereka di dunia ini."5
Dua dari peraturan besar yang dicanangkan dalam Reformasi adalah prinsip penafsiran secara pribadi dan penterjemahan Alkitab ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh semua orang. Pada waktu Luther muncul di Diet of Worm (suatu sidang yang mendakwa dia sebagai bidat karena pengajarannya), ia menyatakan:
"Sebelum saya diyakinkan oleh Firman Tuhan yang memberikan alasan yang jelas-maka saya tidak akan menerima otoritas dari Paus dan dewan, oleh karena keduanya bertentangan satu sama lain-hati nurani saya di taklukan kepada Firman Tuhan. Saya tidak dapat dan tidak akan menyangkali apa pun juga, oleh karena menentang hati nurani adalah tidak benar dan tidak aman. Ya Tuhan tolonglah aku. Amin."
Marthin Luther sebagai tokoh Reformasi dengan tegas menegakkan prinsip sola Scriptura, prinsip tersebut menjadi prinsip yang mendobrak ajaran-ajaran dari Paus yang bertolak belakang dengan Alkitab. Jadi para Reformator saat itu tidak memunculkan ajaran baru, tetapi menegaskan kembali (reaffirmed) apa yang sudah menjadi prinsip Alkitab. Prinsip tersebut juga dijelaskan oleh Stephen Tong dalam buku Seri Teologi Reformed, Reformasi dan Teologi Reformed menjelaskan:
"Pertama, Gerakan Reformasi melaksanakan dua aspek yang penting, yaitu merobohkan yang salah dan membangun kembali yang benar. Dalam merobohkan semua yang salah ini, Tuhan memakai Martin Luther, sedangkan untuk membangun kembali ajaran yang ketat dan sistematis, tokoh penting yang dipakai Tuhan adalah John Calvin.
Kedua, gerakan Reformasi tidak pernah berusaha mendirikan suatu doktrin yang baru, dan tidak pernah berusaha mementingkan doktrin yang satu dan melalaikan doktrin yang lain.
Ketiga, gerakan Reformasi tidak pernah mau tunduk pada filsafat atau pikiran manusia tetapi berdasarkan Alkitab saja.
Keempat, segala usaha Calvin, khususnya menjelaskan kepada orang-orang yang tidak lagi diakui oleh gereja Roma Katolik yaitu orang-orang Protestan bahwa apa yang yang dipercaya oleh orang-orang Reformasi tidak melawan Alkitab melainkan justru kembali kepada ajaran Alkitab sesuai kredo apostolik yaitu, pengakuan iman Rasuli."
Dengan demikian prinsip Sola Scriptura bukan hanya sekedar konsep berpikir tetapi juga melekat di hati para Reformator sebagai spirit dalam menegakkan Reformasi dan menghidupi Reformasi. Maka seorang yang berpikir secara Reformed tidak hanya sekedar menguasai konsep tetapi pemikiran prinsip tersebut juga menjadi semangat yang menghidupi pelayanan mereka. Jika seseorang memegang prinsip sola Scriptura maka ia juga mempunyai semangat dan keberanian untuk merobohkan ajaran Kristen yang salah dan membangun atau menegaskan kembali ajaran yang benar.
Istilah sola Scriptura juga dimengerti dengan istilah back to Bible. "Istilah back to Bible tidak hanya menjadi sekedar semboyan atau pun diselewengkan dengan hanya mengacu atau menekankan ajaran-ajaran tertentu di dalam Alkitab, seperti yang terjadi di dalam Gerekan Pentakosta dan Kharismatik, tetapi makna dari istilah back to Bible adalah sungguh-sungguh kembali kepada keseluruhan ajaran Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu. Oleh sebab itu, ajaran yang Alkitabiah haruslah merupakan sebuah konsep yang utuh dan menyeluruh.
Perhatikan tiga contoh berikut:
(1). Konsep hewan yang dibunuh Tuhan di Taman Eden untuk menutupi ketelanjangan Adam dan Hawa, dan konsep mengenai korban Kristus yang mati untuk kita.
(2) Konsep Adam pertama yang tidak taat yang menyebabkan seluruh umat manusia keturunan yang diwakilinya menjadi berdosa, dengan konsep Adam yang kedua yaitu Kristus, yang oleh ketaatan, kematian dan kebangkitan-Nya, semua orang pilihan Allah diselamatkan.
(3) Konsep sunat kepada Abraham dan keturunannya sebagai tanda yang kelihatan bagi orang-orang yang terhisab di dalam Perjanjian Allah kepada Abraham dengan konsep baptisan air Perjanjian Baru, di mana hal ini adalah lambang baptisan Roh yang tidak kelihatan yang dilakukan oleh Kristus kepada gereja-Nya. Jadi, Reformed melihat bahwa seluruh Alkitab yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memiliki ajaran yang saling kait-mengait, tidak terputus, serta berdiri dan jatuh bersama-sama
Jadi dengan demikian ketika seorang Teolog Reformed menerapkan prinsip sola Scriptura maka kandungan di dalamnya terdapat tanggung jawab yang sungguh-sungguh dalam memahami Alkitab. Calvin telah disebut sebagai "raja dari penafsir", "Pengeksegesis yang besar di abad keenam belas", dan "pencipta dari eksegesis yang murni". Yang lain telah menyebut Calvin sebagai penafsir ilmiah yang pertama. Ia menjelaskan prinsip-prinsip penting berikut untuk menafsirkan secara Alkitabiah:
1. Iluminasi dari Roh Kudus merupakan suatu keharusan untuk menafsirkan Kitab Suci.
2. Penafsiran alegori berasal dari setan, dan akan memimpin jemaat menjauh dari kebenaran Kitab Suci, karen itu harus ditolak.
3. Kitab Suci menafsirkan Kitab Suci
Pada prinsip yang ketiga Calvin menerapkan prinsip Sola Scriptura namun perlu dipahami bagaimana penerapan prinsip tersebut oleh Calvin, dari hasil-hasil Karya tulisan Calvin kita dapat mengerti bagaimana penerapan prinsip Sola Scriptura yang bertanggung jawab:
1. Menerapkan prinsip penafsiran secara harafiah,
2. Membiarkan Alkitab mengatakan apa yang di kehedaki-Nya / mengerti maksud penulis awal Kitab Suci,
3. Studi tata bahasa Kitab Suci,
4. Memperhatikan konteks teks,
5. Membandingkan Kitab Suci pada subjek-subjek yang sama.
Prinsip Calvin dalam menerapkan sola Scriptura terlihat jelas dalam melakukan penafsiran Kitab Suci. Dalam menjelaskan metodologi Calvin dalam menafsirkan Kitab Daniel Prof. Dr. W. Balke menuliskan:
"Calvin menempatkan teks dalam konteks sejarah. Bilamana ia menafsirkan bagian tertentu, ia memperhatikan keseluruhan teks dan keadaan historis yang memberi nas-nas khusus itu makna umum. Kita tertarik oleh kesadaran Calvin akan keseluruhan, oleh keterkaitan gagasan-gagasannya satu dengan yang lain. Gaya itu membuat tafsirannya berwibawa. Ceramah-ceramah Calvin memakai metode tetap: ia membacakan nas yang menjadi pokok pembahasan sambil sana-sini memberikan penjelasan yang filologis kecil-kecil. Kemudian diberi tafsiran kata demi kata. Kemudian ditarik kesimpulan yang menggabungkan semua unsur; Kesimpulan itu sering berupa doa. Lama ceramah antara setengah jam dan satu jam. Pagi berikutnya ceramah dilanjutkan. Calvin adalah seorang guru berpengalaman, yang tahu berhenti atau mempercepat, tergantung waktu yang tersedia. Ia melewati hal-hal yang sepele dan memilih hal-hal yang terpenting, yang kemudian dikemukakan kepada Allah dalam doa. menonjollah kesinambungan pikirannya., adanya benang merah yang jelas, hari demi hari. Tidak pernah benang itu putus. Setiap hari menghasilkan sumbangan baru., bagaikan batu yang digarap, dipoles, dan dipoles lagi, lalau diletakkan di atas batu-batu lain hingga berdirilah bangunan. Metode ini membuat keseluruhannya diatur dengan ketat dan selaras, tanpa merusak teks Alkitab."
Dengan demikian seorang Reformator John Calvin tidak hanya memahani pentingnya prinsip Sola Scriptura tetapi ia menghidupi prinsip tersebut, hal tersebut terlihat ketika berbicara tentang satu ayat Alkitab disertai tanggung jawab pemahaman yang lengkap (comprehensif). Sehingga seorang Teolog tidak terjebak pada pemahaman main kutip ayat secara sembarangan. Ia juga menjaga agar benang memahami Alkitab tidak terputus, sehingga ia bertekun setiap hari merenungkan Alkitab.
Oleh karena itu menjadi seorang Reformed memiliki tanggung jawab belajar setiap hari menjaga agar benang pemahaman Alkitab tidak terputus dan setiap hari menggarap Alkitab yang lama kelamaan menjadi satu bagunan yang kuat. Maka dari pengalaman Reformator tersebut menunjukkan bahwa agar seorang Teolog terhindar dari omong kosong dan khayalan dalam khotbah, harus setia membangun benang pemahaman Firman Tuhan setiap hari.
Maka jika ada mimpi yang dikhotbahkan maka sama saja Teolog tersebut sudah tidak berpusat pada Alkitab. Dan selanjutnya jika mengutip ayat firman Tuhan tanpa tanggung jawab sistem hermeneutika yang tepat dan tidak memandang kepada terang Pribadi dan Karya Kristus, maka bisa merusak makna ayat. Oleh karena itu mengutip ayat harus didahului oleh analisa ayat tersebut
MENJAWAB KEBERATAN TERHADAP IMPLEMENTASI PRINSIP SOLA SCRIPTURA
Dalam perkembangan zaman saat ini tantangan penerapan prinsip sola Scriptura mulai bermunculan, salah satunya adalah jika prinsip sola Scriptura hanya berdasarkan Alkitab saja, lalu bagaimana dengan ilmu yang lain, apakah hidup ke Kristenan tidak memerlukan ilmu yang lain. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus memahami konsep Theologia Integratif yang dituliskan oleh Lumintang:
Penjelasan mengenai kajian integratif teologi berdasarkan presuposisi bahwa semua kebenaran adalah kebenaran Allah. Tidak ada kebenaran di luar Allah. Semua kebenaran berasal (bersumber dari Allah) yang mewahyukan-Nya dalam dua modus, yakni penyataan umum dan penyataan khusus. Kedua penyataan ini adalah sumber semua ilmu pengetahuan yang ada pada manusia.
Wahyu umum adalah sumber ilmu pengetahuan yang ada pada manusia dan filsafat, sedangkan wahyu khusus adalah sumber pengetahuan theologia. Wahyu umum dapat ditemukan melalui seluruh ciptaan Allah, sedangkan wahyu khusus hanya ditemukan dalam Kitab Suci saja (Alkitab). Untuk memahami wahyu umum dan khusus memerlukan metode. Wahyu memerlukan metode penelitian ilmiah,
Sedangkan wahyu khusus memerlukan metode hermeneutika Biblikal. Dengan metode tersebut wahyu umum menghasilkan filsafat, psikologi, sosiologi, antrophologi dan sebagainya; sedangkan wahyu khusus menghasilkan theologia. Karena kedua wahyu ini tidak dapat dipisahkan maka studi integratif tidak dapat terelakkan lagi.
Theolog Kristen yang belajar ilmu pengetahuan dan ilmuwan Kristen yang belajar theologia adalah yang berkemampuan untuk mengadakan kajian integratif. Ilmu pengetahuan memberikan informasi-informasi untuk memperjelas rumusan theologia yang digali dari Alkitab, dan theologia menjawab yang tidak dapat dijawab oleh ilmuwan atau mengisi yang tidak dapat diisi oleh ilmu pengetahuan sehingga menghasilkan sophitheologia (integrasi theologia dengan filsafat), sociotheologia (integrasi theologia dengan sosiologi), botheologia (integrasi theologia dengan biologi), ecotheologia (integrasi theologia dengan ekologi), dan demikian seterusnya dengan disiplin ilmu yang lain. Inilah peranan theologia sebagai a queen of sciences (QSc) dan a master of Philosophy (MPh)."
Hal tersebut juga diterapkan oleh John Calvin, ia adalah seorang yang juga memiliki ilmu tentang hukum, sehingga pola pemikiran yang sistematis tentang dalam memahami hukum menolong dia juga untuk memahami bagaimana merumuskan dengan sistematis ajaran Kristen. Buku Institutio adalah refleksi bagaimana seorang Calvin juga menerapkan studi integratif.
Pada konteks masa kini Allah semakin banyak membukakan hikmat kepada manusia, sehingga ada banyak disiplin ilmu yang hadir. Maka di sinilah para teolog semakin diingatkan bahwa ada tanggung jawab bagaimana memberikan terang Injil di dalam berbagai disiplin ilmu tersebut. Pengetahuan Alkitab dan Pengetahuan Sains memiliki titik integrasi yang harus digali oleh para Teolog, karena itu ketika seorang Teolog menerapkan prinsip sola Scriptura ia memiliki tanggung jawab belajar Alkitab dan disiplin ilmu yang lainnya dengan tekun, agar memiliki kemampuan yang baik dan seimbang dalam menjelaskan fakta-fakta sains secara Alkitabiah dan memberikan terang bagi sains yang masih dalam kegelapan tujuan.
Jadi prinsip Sola Scriptura tidak mengabaikan ilmu-ilmu yang lain, tetapi memberikan terang bagi ilmu yang lain, sehingga ilmu pengetahuan memiliki pandangan dan jalan yang benar dan baik bagi kehidupan manusia.
PENUTUP
Prinsip sola Scriptura adalah prinsip yang berpusat kepada Alkitab dan kembali kepada Alkitab. Berpusat pada Alkitab bukanlah melakukan pengutipan ayat Alkitab tanpa pertanggungjawaban yang metodologis dan berkhotbah berdasarkan pengalaman mimpi pribadi, seorang teolog harus memiliki gaya hidup yang tekun dan disiplin mempelajari Alkitab firman Allah. Sehingga jika orang Kristen menghidupi prinsip Teologis ini akan membawa semua aspek kehidupan dipusatkan kepada prinsip Alkitab.
Sola Scriptura artinya hanya berdasarkan Alkitab saja. Istilah "sola" (kata sifat) "scriptura" (kata benda) adalah kasus ablative lebih dari kasus normative, yang berarti menegaskan bahwa Kitab Suci bukan berdiri sendiri, terpisah dari Allah, melainkan sebagai instrumen Allah, yang olehnya Ia menyatakan dirinya dan keselamatan bagi manusia melalui iman kepada Tuhan Yesus Kristus saja sebagai formal principle dari reformasi, karena Kitab Suci adalah sumber dan ukuran dari semua keyakinan theologis yang mendasari semua pemikiran dan perbuatan.
Prinsip sola Scriptura merupakan sebuah prinsip yang menjadikan 66 Kitab yang terdiri dari 39 Kitab PL dan 27 Kitab PB dalam Alkitab sebagai Firman Allah yang menjadi dasar kebenaran. Jadi prinsip sola Scriptura adalah prinsip yang menjadikan Alkitab Firman Allah sebagai pusat satu-satunya instrumen Allah untuk memahami dan memberitakan kebenaran Pribadi dan Karya Allah.otomotif, bisnis |
PENERAPAN PRINSIP SOLA SCRIPTURA DALAM ALKITAB
Prinsip ini bukanlah hal yang baru, tetapi prinsip ini secara konseptual sudah ada dan diterapkan dalam tokoh-tokoh Alkitab, pada permulaan penciptaan manusia, Tuhan sudah memberikan prinsip agar Adam dan Hawa mendengarkan firman Tuhan (Lih. Kejadian 2:16), memang belum ada Firman Tuhan yang tertulis tetapi secara konsep pemikiran untuk berpusat pada firman Tuhan telah muncul pada permulaan kehidupan manusia. Prinsip tersebut semakin terang dinyatakan dalam kehidupan umat Israel dalam PL.
Hal tersebut dapat kita lihat dari pemberian kesepuluh hukum Allah kepada Musa di Gunung Sinai menunjukkan bahwa Allah ingin umat Israel hidup sesuai dengan hukum-Nya. Lalu para Nabi-nabi dalam PL menyampaikan pesan kepada umat Isrel sesuai dengan apa yang difirmankan Tuhan kepada mereka, sehingga sering muncul istilah : "... beginilah firman Tuhan..."(Lih. Keluaran 4:22; 5:1; 7:17; 8:1; 8:20; 9:1,13; 10:13; 11:4; 32:27, Yosua 24:2, Hak. 6:8; 1Samuel 2:27; 10:18; 15:2, 2Sam. 7:5, 8; 12:7, 11; 24:12, 1Raj. 11:31; 12:24; 13:2, 21; 14:7; 17:14, Yesaya 7:7; 8:11; Yeremia 2:5; 4:3; 5:14, Yehezkiel 5:5; Amos 5:4, Obaja 1:1, Mikha 2:3, Hagai 1:2, Zakharia 1:3, Maleakhi 1:4).
Selanjutnya dalam PB prinsip untuk berpusat pada Alkitab semakin diterangkan oleh Tuhan Yesus saat "mengalami pencobaan" Ia yang menyatakan "manusia bukan hidup dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah" (Matius 4:4). Paulus dalam Nasehatnya kepada Timotius menyatakan bahwa pembacaan Kita Suci sangat penting agar dapat mengawasi diri dan ajaran (NIV: watch your life and doctrine closely (Lih. 1Timotius 4:13, 16)) dan Paulus menyatakan sangat penting menjadikan firman Allah sebagai sumber dan bahan untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran (2Timotius 3:16).
Prinsip berpusat pada Alkitab (sola scriptura) adalah prinsip yang Alkitabiah yang telah muncul dalam kehidupan tokoh-tokoh Alkitab dan Allah sendirilah yang menjadi inisiator agar manusia menerapkan prinsip sola scriptura (Lih. Yohanes 8:51; 14:23). Setelah firman Allah yang dinyatakan telah tercatat lengkap yaitu dalam Alkitab yang terdiri dari 66 Kitab, yaitu 39 Kitab PL dan 27 Kitab PB, Allah menghendaki kita berpusat pada Alkitab. Sehingga para Teolog jika ingin berkhotbah wajib dan harus berkhotbah berdasarkan Alkitab Firman Allah. Dari fakta-fakta Alkitab tersebut menunjukkan bahwa prinsip Sola Scriptura adalah prinsip yang Alkitabiah. Para tokoh reformator hanyalah salah-satu alat Tuhan untuk mengembalikan kembali prinsip tersebut.
IMPLEMENTASI PRINSIP SOLA SCRIPTURA OLEH TOKOH REFORMATOR ABAD KE-XVI
Reformasi pada abad ke-16 merupakan sebuah momentum (the time of God) yang mengembalikan kembali Gereja pada ajaran yang berpusat pada Alkitab. Marthin Luther dan John Calvin dalam reformasinya menunjukkan penerapan terhadap prinsip sola Scriptura. Stevri Indra Lumintang menuliskan:
"Prinsip ini merupakan prinsip yang kembali ditekankan oleh para Reformator, setelah gereja pada waktu itu hanya menempatkan Alkitab sebagai salah satu kaidah kebenaran, selain daripada tradisi gereja dan kekuasaan Paus. Para Reformator sangat menjunjung tinggi Alkitab sebagia satu-satunya otoritas bagi gereja dalam hidup dan pelayanan mereka di dunia ini."5
Dua dari peraturan besar yang dicanangkan dalam Reformasi adalah prinsip penafsiran secara pribadi dan penterjemahan Alkitab ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh semua orang. Pada waktu Luther muncul di Diet of Worm (suatu sidang yang mendakwa dia sebagai bidat karena pengajarannya), ia menyatakan:
"Sebelum saya diyakinkan oleh Firman Tuhan yang memberikan alasan yang jelas-maka saya tidak akan menerima otoritas dari Paus dan dewan, oleh karena keduanya bertentangan satu sama lain-hati nurani saya di taklukan kepada Firman Tuhan. Saya tidak dapat dan tidak akan menyangkali apa pun juga, oleh karena menentang hati nurani adalah tidak benar dan tidak aman. Ya Tuhan tolonglah aku. Amin."
Marthin Luther sebagai tokoh Reformasi dengan tegas menegakkan prinsip sola Scriptura, prinsip tersebut menjadi prinsip yang mendobrak ajaran-ajaran dari Paus yang bertolak belakang dengan Alkitab. Jadi para Reformator saat itu tidak memunculkan ajaran baru, tetapi menegaskan kembali (reaffirmed) apa yang sudah menjadi prinsip Alkitab. Prinsip tersebut juga dijelaskan oleh Stephen Tong dalam buku Seri Teologi Reformed, Reformasi dan Teologi Reformed menjelaskan:
"Pertama, Gerakan Reformasi melaksanakan dua aspek yang penting, yaitu merobohkan yang salah dan membangun kembali yang benar. Dalam merobohkan semua yang salah ini, Tuhan memakai Martin Luther, sedangkan untuk membangun kembali ajaran yang ketat dan sistematis, tokoh penting yang dipakai Tuhan adalah John Calvin.
Kedua, gerakan Reformasi tidak pernah berusaha mendirikan suatu doktrin yang baru, dan tidak pernah berusaha mementingkan doktrin yang satu dan melalaikan doktrin yang lain.
Ketiga, gerakan Reformasi tidak pernah mau tunduk pada filsafat atau pikiran manusia tetapi berdasarkan Alkitab saja.
Keempat, segala usaha Calvin, khususnya menjelaskan kepada orang-orang yang tidak lagi diakui oleh gereja Roma Katolik yaitu orang-orang Protestan bahwa apa yang yang dipercaya oleh orang-orang Reformasi tidak melawan Alkitab melainkan justru kembali kepada ajaran Alkitab sesuai kredo apostolik yaitu, pengakuan iman Rasuli."
Dengan demikian prinsip Sola Scriptura bukan hanya sekedar konsep berpikir tetapi juga melekat di hati para Reformator sebagai spirit dalam menegakkan Reformasi dan menghidupi Reformasi. Maka seorang yang berpikir secara Reformed tidak hanya sekedar menguasai konsep tetapi pemikiran prinsip tersebut juga menjadi semangat yang menghidupi pelayanan mereka. Jika seseorang memegang prinsip sola Scriptura maka ia juga mempunyai semangat dan keberanian untuk merobohkan ajaran Kristen yang salah dan membangun atau menegaskan kembali ajaran yang benar.
Istilah sola Scriptura juga dimengerti dengan istilah back to Bible. "Istilah back to Bible tidak hanya menjadi sekedar semboyan atau pun diselewengkan dengan hanya mengacu atau menekankan ajaran-ajaran tertentu di dalam Alkitab, seperti yang terjadi di dalam Gerekan Pentakosta dan Kharismatik, tetapi makna dari istilah back to Bible adalah sungguh-sungguh kembali kepada keseluruhan ajaran Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu. Oleh sebab itu, ajaran yang Alkitabiah haruslah merupakan sebuah konsep yang utuh dan menyeluruh.
Perhatikan tiga contoh berikut:
(1). Konsep hewan yang dibunuh Tuhan di Taman Eden untuk menutupi ketelanjangan Adam dan Hawa, dan konsep mengenai korban Kristus yang mati untuk kita.
(2) Konsep Adam pertama yang tidak taat yang menyebabkan seluruh umat manusia keturunan yang diwakilinya menjadi berdosa, dengan konsep Adam yang kedua yaitu Kristus, yang oleh ketaatan, kematian dan kebangkitan-Nya, semua orang pilihan Allah diselamatkan.
(3) Konsep sunat kepada Abraham dan keturunannya sebagai tanda yang kelihatan bagi orang-orang yang terhisab di dalam Perjanjian Allah kepada Abraham dengan konsep baptisan air Perjanjian Baru, di mana hal ini adalah lambang baptisan Roh yang tidak kelihatan yang dilakukan oleh Kristus kepada gereja-Nya. Jadi, Reformed melihat bahwa seluruh Alkitab yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memiliki ajaran yang saling kait-mengait, tidak terputus, serta berdiri dan jatuh bersama-sama
Jadi dengan demikian ketika seorang Teolog Reformed menerapkan prinsip sola Scriptura maka kandungan di dalamnya terdapat tanggung jawab yang sungguh-sungguh dalam memahami Alkitab. Calvin telah disebut sebagai "raja dari penafsir", "Pengeksegesis yang besar di abad keenam belas", dan "pencipta dari eksegesis yang murni". Yang lain telah menyebut Calvin sebagai penafsir ilmiah yang pertama. Ia menjelaskan prinsip-prinsip penting berikut untuk menafsirkan secara Alkitabiah:
1. Iluminasi dari Roh Kudus merupakan suatu keharusan untuk menafsirkan Kitab Suci.
2. Penafsiran alegori berasal dari setan, dan akan memimpin jemaat menjauh dari kebenaran Kitab Suci, karen itu harus ditolak.
3. Kitab Suci menafsirkan Kitab Suci
Pada prinsip yang ketiga Calvin menerapkan prinsip Sola Scriptura namun perlu dipahami bagaimana penerapan prinsip tersebut oleh Calvin, dari hasil-hasil Karya tulisan Calvin kita dapat mengerti bagaimana penerapan prinsip Sola Scriptura yang bertanggung jawab:
1. Menerapkan prinsip penafsiran secara harafiah,
2. Membiarkan Alkitab mengatakan apa yang di kehedaki-Nya / mengerti maksud penulis awal Kitab Suci,
3. Studi tata bahasa Kitab Suci,
4. Memperhatikan konteks teks,
5. Membandingkan Kitab Suci pada subjek-subjek yang sama.
Prinsip Calvin dalam menerapkan sola Scriptura terlihat jelas dalam melakukan penafsiran Kitab Suci. Dalam menjelaskan metodologi Calvin dalam menafsirkan Kitab Daniel Prof. Dr. W. Balke menuliskan:
"Calvin menempatkan teks dalam konteks sejarah. Bilamana ia menafsirkan bagian tertentu, ia memperhatikan keseluruhan teks dan keadaan historis yang memberi nas-nas khusus itu makna umum. Kita tertarik oleh kesadaran Calvin akan keseluruhan, oleh keterkaitan gagasan-gagasannya satu dengan yang lain. Gaya itu membuat tafsirannya berwibawa. Ceramah-ceramah Calvin memakai metode tetap: ia membacakan nas yang menjadi pokok pembahasan sambil sana-sini memberikan penjelasan yang filologis kecil-kecil. Kemudian diberi tafsiran kata demi kata. Kemudian ditarik kesimpulan yang menggabungkan semua unsur; Kesimpulan itu sering berupa doa. Lama ceramah antara setengah jam dan satu jam. Pagi berikutnya ceramah dilanjutkan. Calvin adalah seorang guru berpengalaman, yang tahu berhenti atau mempercepat, tergantung waktu yang tersedia. Ia melewati hal-hal yang sepele dan memilih hal-hal yang terpenting, yang kemudian dikemukakan kepada Allah dalam doa. menonjollah kesinambungan pikirannya., adanya benang merah yang jelas, hari demi hari. Tidak pernah benang itu putus. Setiap hari menghasilkan sumbangan baru., bagaikan batu yang digarap, dipoles, dan dipoles lagi, lalau diletakkan di atas batu-batu lain hingga berdirilah bangunan. Metode ini membuat keseluruhannya diatur dengan ketat dan selaras, tanpa merusak teks Alkitab."
Dengan demikian seorang Reformator John Calvin tidak hanya memahani pentingnya prinsip Sola Scriptura tetapi ia menghidupi prinsip tersebut, hal tersebut terlihat ketika berbicara tentang satu ayat Alkitab disertai tanggung jawab pemahaman yang lengkap (comprehensif). Sehingga seorang Teolog tidak terjebak pada pemahaman main kutip ayat secara sembarangan. Ia juga menjaga agar benang memahami Alkitab tidak terputus, sehingga ia bertekun setiap hari merenungkan Alkitab.
Oleh karena itu menjadi seorang Reformed memiliki tanggung jawab belajar setiap hari menjaga agar benang pemahaman Alkitab tidak terputus dan setiap hari menggarap Alkitab yang lama kelamaan menjadi satu bagunan yang kuat. Maka dari pengalaman Reformator tersebut menunjukkan bahwa agar seorang Teolog terhindar dari omong kosong dan khayalan dalam khotbah, harus setia membangun benang pemahaman Firman Tuhan setiap hari.
Maka jika ada mimpi yang dikhotbahkan maka sama saja Teolog tersebut sudah tidak berpusat pada Alkitab. Dan selanjutnya jika mengutip ayat firman Tuhan tanpa tanggung jawab sistem hermeneutika yang tepat dan tidak memandang kepada terang Pribadi dan Karya Kristus, maka bisa merusak makna ayat. Oleh karena itu mengutip ayat harus didahului oleh analisa ayat tersebut
MENJAWAB KEBERATAN TERHADAP IMPLEMENTASI PRINSIP SOLA SCRIPTURA
Dalam perkembangan zaman saat ini tantangan penerapan prinsip sola Scriptura mulai bermunculan, salah satunya adalah jika prinsip sola Scriptura hanya berdasarkan Alkitab saja, lalu bagaimana dengan ilmu yang lain, apakah hidup ke Kristenan tidak memerlukan ilmu yang lain. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus memahami konsep Theologia Integratif yang dituliskan oleh Lumintang:
Penjelasan mengenai kajian integratif teologi berdasarkan presuposisi bahwa semua kebenaran adalah kebenaran Allah. Tidak ada kebenaran di luar Allah. Semua kebenaran berasal (bersumber dari Allah) yang mewahyukan-Nya dalam dua modus, yakni penyataan umum dan penyataan khusus. Kedua penyataan ini adalah sumber semua ilmu pengetahuan yang ada pada manusia.
Wahyu umum adalah sumber ilmu pengetahuan yang ada pada manusia dan filsafat, sedangkan wahyu khusus adalah sumber pengetahuan theologia. Wahyu umum dapat ditemukan melalui seluruh ciptaan Allah, sedangkan wahyu khusus hanya ditemukan dalam Kitab Suci saja (Alkitab). Untuk memahami wahyu umum dan khusus memerlukan metode. Wahyu memerlukan metode penelitian ilmiah,
Sedangkan wahyu khusus memerlukan metode hermeneutika Biblikal. Dengan metode tersebut wahyu umum menghasilkan filsafat, psikologi, sosiologi, antrophologi dan sebagainya; sedangkan wahyu khusus menghasilkan theologia. Karena kedua wahyu ini tidak dapat dipisahkan maka studi integratif tidak dapat terelakkan lagi.
Theolog Kristen yang belajar ilmu pengetahuan dan ilmuwan Kristen yang belajar theologia adalah yang berkemampuan untuk mengadakan kajian integratif. Ilmu pengetahuan memberikan informasi-informasi untuk memperjelas rumusan theologia yang digali dari Alkitab, dan theologia menjawab yang tidak dapat dijawab oleh ilmuwan atau mengisi yang tidak dapat diisi oleh ilmu pengetahuan sehingga menghasilkan sophitheologia (integrasi theologia dengan filsafat), sociotheologia (integrasi theologia dengan sosiologi), botheologia (integrasi theologia dengan biologi), ecotheologia (integrasi theologia dengan ekologi), dan demikian seterusnya dengan disiplin ilmu yang lain. Inilah peranan theologia sebagai a queen of sciences (QSc) dan a master of Philosophy (MPh)."
Hal tersebut juga diterapkan oleh John Calvin, ia adalah seorang yang juga memiliki ilmu tentang hukum, sehingga pola pemikiran yang sistematis tentang dalam memahami hukum menolong dia juga untuk memahami bagaimana merumuskan dengan sistematis ajaran Kristen. Buku Institutio adalah refleksi bagaimana seorang Calvin juga menerapkan studi integratif.
Pada konteks masa kini Allah semakin banyak membukakan hikmat kepada manusia, sehingga ada banyak disiplin ilmu yang hadir. Maka di sinilah para teolog semakin diingatkan bahwa ada tanggung jawab bagaimana memberikan terang Injil di dalam berbagai disiplin ilmu tersebut. Pengetahuan Alkitab dan Pengetahuan Sains memiliki titik integrasi yang harus digali oleh para Teolog, karena itu ketika seorang Teolog menerapkan prinsip sola Scriptura ia memiliki tanggung jawab belajar Alkitab dan disiplin ilmu yang lainnya dengan tekun, agar memiliki kemampuan yang baik dan seimbang dalam menjelaskan fakta-fakta sains secara Alkitabiah dan memberikan terang bagi sains yang masih dalam kegelapan tujuan.
Jadi prinsip Sola Scriptura tidak mengabaikan ilmu-ilmu yang lain, tetapi memberikan terang bagi ilmu yang lain, sehingga ilmu pengetahuan memiliki pandangan dan jalan yang benar dan baik bagi kehidupan manusia.
PENUTUP
Prinsip sola Scriptura adalah prinsip yang berpusat kepada Alkitab dan kembali kepada Alkitab. Berpusat pada Alkitab bukanlah melakukan pengutipan ayat Alkitab tanpa pertanggungjawaban yang metodologis dan berkhotbah berdasarkan pengalaman mimpi pribadi, seorang teolog harus memiliki gaya hidup yang tekun dan disiplin mempelajari Alkitab firman Allah. Sehingga jika orang Kristen menghidupi prinsip Teologis ini akan membawa semua aspek kehidupan dipusatkan kepada prinsip Alkitab.
Orang Kristen selalu membangun fondasi imannya setiap hari secara berkesinambungan melalui Alkitab. Sehingga manusia akan bekerja, berkeluarga, bersosialisasi, belajar dan sebagainya semuanya dipusatkan kepada prinsip Alkitab. Sehingga ilmu dimurnikan oleh iman yang benar dan iman yang benar menerangi kegelapan pemikiran dan hati manusia yang berilmu. Sehingga ilmu yang dipelajari akan diarahkan dan digunakan sesuai dengan kaidah-kaidah prinsip Alkitab, yaitu kasih kepada Allah dan sesama bagi kemuliaan nama Tuhan. (Soli Deo Gloria)