MASALAH KEJAHATAN (AYUB 42:1-17)
Bacaan : Kitab Ayub
Apa itu Kejahatan?
Orang Syeba dan orang Kasdim adalah kompetitor Ayub. Ayub adalah seorang yang sangat kaya (Ayub 1:3). Para pesaing Ayub mengetahui kekayaan dan kesalehan Ayub, namun mereka menyerang Ayub dan senang karena hal itu. pasal 1 dan 2 kitab Ayub menceritakan tentang diri Ayub dan bagaimana ia menderita. Pasal 3 sampai 31 menceritakan tentang perdebatan Ayub dengan teman-temannya. Pasal 32 sampai 37 memuat pembicaraan Elihu tentang kesabaran dan mengerti kehendak Tuhan. pasal 38 sampai 41 memuat jawaban Tuhan kepada Ayub.
Pada pasal ke-42 Ayub bertobat dan dipulihkan. Di dalam perdebatan itu ada yang berdosa yaitu Ayub sendiri. Ia merasa lebih benar daripada Tuhan dan ia bersalah di dalam perdebatan itu. Elifas, Bildad, dan Zofar juga bersalah dan mereka bertobat setelah ditegur oleh Tuhan.
Jadi orang Kristen tidak bisa lagi terikat dengan buah dosa. Ini karena ada kuasa Kristus di dalam diri kita. Yohanes 1:12 menyatakan bahwa kita diberi kuasa sebagai anak-anak Allah. Kita memiliki kuasa sebagai terang dan garam serta kita memiliki kuasa untuk berjalan dalam kebenaran, kesucian, dan terang Tuhan. Kuasa Kristus itu lebih besar dari kuasa mana pun. Tidak ada satu kuasa pun yang bisa merebut kita dari tangan Yesus. Ini berarti kita penting di mata Tuhan dan kita pasti mendapatkan pemeliharaan-Nya.
Kejahatan adalah kehendak manusia yang tidak singkron dengan kehendak Allah. Sebagai contoh: bersikap yang tidak baik (Kejadian 4:7, bandingkan Pengkhotbah 8:12, Yesaya 3:10-11, Roma 2:6-11, 3:16). Standar kebaikan manusia adalah baik secara normatif, namun ada standar yang kedua yaitu baik menurut Tuhan. Mereka yang baik sampai mencapai standar Tuhan adalah orang benar. Karakter yang saleh itu memuat kebaikan dalam standar Tuhan dan kebenaran di dalam Tuhan. Apakah Ayub bisa disebut memiliki karakter yang saleh? Bisa.
Ia jujur, takut akan Tuhan, dan saleh (Ayub 1:1). Ia jujur dan ia rajin mempersembahkan korban karena ia takut anak-anaknya telah berbuat dosa. Ia tidak mendidik anak-anaknya secara benar dan ia terlalu memanjakan anak-anaknya. Saleh berarti terus menjalankan sikap ibadah di dalam kesehariannya. Tuhan sendiri menyatakan bahwa Ayub adalah orang saleh (Ayub 1:8). Pengakuan Tuhan tidak mungkin salah. Orang yang paling sering menilai kita secara terbuka dan jujur adalah pasangan dan sahabat kita.
Di antara semua teman Ayub, Elihu-lah yang menilai secara jujur. Ia menilai dari kacamata Tuhan. Kita harus mencapai standar baik dan benar dari kacamata Tuhan. Contoh berikutnya adalah berpikir yang najis, cabul, zina, dan lainnya (Markus 7:21, bandingkan Roma 3:11, 2 Petrus 2:15, 2 Korintus 3:14). Markus 7:21 sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan. Setelah manusia jatuh ke dalam dosa, pikirannya selalu memikirkan hal-hal yang jahat. Maka dari itu dikatakan bahwa tidak ada yang berakal budi (Roma 3:11). Contoh lainnya adalah berbuat kebohongan, dusta, dan lainnya (Roma 3:12-18, bandingkan Mazmur 109:2, Yohanes 8:44).
Dari mana Sumber Kejahatan itu?
Dari mulanya Allah tidak menghendaki adanya dosa atau kejahatan (Kejadian 2:16-17, bandingkan Yakobus 1:17-18). Kita juga tidak bisa terlalu cepat menyalahkan Setan ketika melihat ada kejahatan yang terjadi. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan dengan akal budi manusia dapat mengerti kebenaran Allah dan mengakui anugerah Allah. Di dalam ibadah kita mengasihi Allah dengan segenap hati dan segenap akal budi. Dengan pikiran kita, kita mengakui Tuhan sebagai Penguasa kita dan mengakui bahwa diri kita ini rendah dan terbatas. Jadi di dalam ibadah, akal budi yang tidak terlepas dari pengakuan harus selalu ada.
Ajaran yang mengatakan bahwa kita harus mengosongkan pikiran dan harus melepaskan akal budi kita dalam ibadah adalah ajaran yang salah. Alkitab menyatakan bahwa kita harus menyembah dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4:23). Kita harus mengasihi Tuhan juga dengan akal budi kita. Akal budi mula-mula diciptakan untuk mengerti kebenaran dan menyembah Tuhan. Di dalam akal budi ada pengakuan. Jadi mereka yang beribadah tanpa pikiran itu salah, namun mereka yang beribadah hanya dengan pikiran dan tanpa emosi itu juga bersalah.
Jika terlalu banyak memakai emosi maka akan cenderung mistis, namun jika terlalu banyak memakai pikiran maka akan cenderung kaku. Kita memiliki pikiran dan emosi dan keduanya harus dipakai dalam penyembahan kepada Tuhan. Seluruh kekuatan kita dipakai untuk memuliakan Tuhan. Tuhan menghendaki totalitas. Setelah kejatuhan dalam dosa, semua dosa dimulai dari berpikir. Maka berpikir menjadi titik kelemahan sekaligus titik kekuatan manusia.
Setan menggoda Hawa dengan mengubah pikirannya. Salah satu anugerah Allah untuk manusia adalah kebebasan. Mengapa Allah memberikan kebebasan kepada manusia? Yaitu supaya manusia dapat berespons terhadap cinta kasih Allah dan menyatakan ketaatannya kepada Allah dengan rela. Manusia diberikan kebebasan yang terbatas dan di dalam kebebasan itu seharusnya manusia menyatakan ketaatannya kepada Allah dengan rela.
Dalam kebebasan kehendak manusia inilah, akhirnya manusia jatuh dalam dosa (Kejadian 3) dan Setan-lah sebagai sumber masalahnya (bandingkan Yakobus 1:13-14). Di sini kita tidak diajarkan untuk cepat-cepat menyalahkan Setan untuk segala kejahatan yang terjadi. Ada gereja yang percaya bahwa semua kejahatan bersumber dari Setan dan ini adalah ajaran yang tidak benar.
Mengapa Manusia Bisa menjadi Semakin Jahat?
Agustinus adalah teolog dan filsuf Kristen pertama yang membahas masalah kejahatan. Ia menulis buku The City of God dan di sana ia membahas tentang problem of evil. Sebelumnya dari kacamata filsafat ada yang pernah membahas tema ini yaitu Epikuros. Pembahasannya dikembangkan oleh banyak orang dan melalui perkembangan yang ada, banyak orang menjadi ateis. Ini karena mereka hanya melihat dari sisi filsafat. Mereka menyebutkan beberapa kemungkinan, misalnya yang pertama Allah mau menghapus kejahatan manusia di dunia ini, tetapi Allah tidak mampu.
Di sini Allah dianggap tidak maha kuasa. Kedua, Allah mampu menghapus kejahatan manusia tetapi Allah tidak mau. Jadi di sini Allah dianggap kejam. Allah dianggap sudah pergi jauh dan tidak peduli lagi dengan manusia. Ketiga, Allah tidak mau menghapus kejahatan manusia karena Allah tidak mampu. Keempat, Allah mau menghapus kejahatan manusia dan Allah mampu. Di dalam kemungkinan ini, mereka tidak melihat hasilnya di dalam realitas. Immanuel Kant menyatakan bahwa kejahatan hanya bersifat eksistensialis.
Kejahatan itu nyata dan berakibat pada setiap manusia. Maka dari itu menurutnya kita juga harus menghadapi kejahatan secara eksistensialis. Ini berarti kita tidak boleh dipengaruhi kejahatan dan tidak boleh berbuat kejahatan. Namun kejahatan itu sungguh kuat dan jikalau kita bersikap pasif maka kita pasti akan dihancurkan kejahatan itu. jadi bagi John Hick, agama harus memiliki kekuatan untuk mengalahkan kejahatan dan kita tidak bisa bersikap pasif. Jadi baginya kita harus menyuarakan disiplin dan penegakkan hukum terhadap kejahatan. Di dalam pandangan ini gereja bisa berkecimpung dalam politik praktis untuk memengaruhi penegakkan hukum dalam negara.
Agustinus menyatakan bahwa kejahatan adalah keindahan. Dari kejahatan kita melihat warna kehidupan dan keindahannya. Kejahatan yang parah di luar sana membuat diri kita terlihat lebih indah daripada yang kita pikirkan. Agustinus menjelaskan bahwa di dalam satu lukisan, warna yang gelap itu diperlukan untuk memunculkan warna-warna terang. Lukisan yang semuanya berwarna putih pasti tidak indah. Lukisan hidup kita akan lebih indah ketika ada beragam warna. Jadi kita tidak perlu marah terhadap kejahatan.
Kita tidak berdoa agar kejahatan itu hilang. Di dalam doa Bapa kami, kita berdoa ‘lepaskanlah kami dari pada yang jahat’ (Matius 6:13). Kita tidak meminta agar Tuhan mencabut kejahatan dari dunia ini. Inilah ayat yang dikutip Agustinus. Tugas kita, menurut Agustinus, adalah bukan sekadar meredam kejahatan tetapi mematikan kejahatan dengan perbuatan baik dan kasih. Agustinus mengutip ayat-ayat pengampunan untuk mendukung ajaran ini. Jadi kita melihat ada 3 pendekatan yaitu pendekatan Kant yang pasif, Hick yang aktif dalam politik, dan Agustinus yang aktif melalui perbuatan baik dan kasih.
Dari kacamata Alkitab, Allah membiarkan adanya kejahatan sebagai pembeda dari karakter anak-anak Tuhan (Wahyu 22:11). Ini diambil dari konsep Agustinus. Kejahatan itu menunjukkan karakter kita yang berbeda. Jati diri kita menjadi lebih tampak karena kejahatan. Namun kejahatan yang dibungkus kebaikan itu membuat kita kesulitan. Di dalam hal itu karakter kita harus menonjol. Kebahagiaan orang Kristen yang sejati yaitu teruji kualitas imannya (Matius 5:11) melalui adanya penderitaan dan kejahatan. Matius 5:11 menyatakan bahwa kita yang dianiaya harus tetap berbahagia. Kejahatan juga menandakan akhir zaman akan tiba (2 Timotius 3:1-9). Ini merupakan pemikiran Agustinus.
Penutup
Ayub 42:1-17. Penderitaan itu melatih kita agar semakin mengenal Tuhan. Di dalam setiap pergumulan kita, kita harus mencoba untuk mengenal Tuhan terlebih dahulu dan bukan mengenal masalah itu. Kita harus mengenal Tuhan yang mengizinkan masalah itu terjadi terlebih dahulu, setelah itu baru kita mengenal masalah itu. Ini agar kita menjadi penyelesai masalah dari kacamata Tuhan. Kita harus bergumul dulu dengan Tuhan. Jika kita langsung berpikir tentang masalah itu, maka pendekatan kita ini bersifat antroposentris.
Elihu menasihati Ayub agar ia bergumul dengan Tuhan dan berfokus pada Tuhan terlebih dahulu. Ayub 42:5 Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Inilah kunci sebelum Ayub merasakan pemulihan. Pada akhirnya Ayub mendapatkan 10 anak lagi tetapi tetap bersama dengan istri yang sama.
Matius 5:11 mengingatkan kita bahwa penganiayaan itu mendatangkan kebahagiaan untuk kita. Roma 12:21 mengingatkan bahwa kitalah yang akan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan dan cinta kasih. Ini ayat yang dikutip Agustinus. Keaktifan kita bukanlah keaktifan yang frontal dalam menghadapi kejahatan tetapi keaktifan yang anggun dalam sikap rohani. Pdt. Tumpal H. Hutahaean, M. Th.