Memuliakan Allah dan Kehidupan yang Berbahagia (Yeremia 32:40-41)

Bacaan Alkitab: Yeremia 32:40-41/ Mazmur63:1-9/ Mazmur 16:11 

Allah menciptakan manusia supaya mereka memuliakan Dia dan menikmati Dia. Karena itu, kebahagiaan manusia dan kemuliaan Allah harus dimengerti secara paradoks, komprehensif dan seimbang, bukannya mengutamakan yang satu dan mengabaikan yang lain. Inilah kesalahan yang terjadi: Sebagian orang mencari kebahagiaan mereka sambil membelakangi Tuhan dan akhirnya menemui kehancuran mereka sendiri. 
Memuliakan Allah dan Kehidupan yang Berbahagia (Yeremia 32:40-41)
Sebaliknya, yang lain karena berpegang pada konsep teologi yang pincang mereka berusaha untuk memuliakan Tuhan tanpa pernah menikmati sukacita yang disediakan Allah bagi mereka sehingga mereka menampilkan suatu keagamaan yang penuh beban dan tidak memuliakan Allah. Dalam renungan ini kita akan melihat bahwa memuliakan Allah dan kehidupan yang berbahagia merupakan dua hal yang terkait erat dan tak terpisahkan.

1. Pertama, pada naturnya manusia itu mengasihi dirinya sendiri, sehingga di dalam diri setiap orang terdapat kecendrungan alamiah yang mendorong dia untuk memperhatikan dan merawat dirinya. 

Hal ini terlihat bahkan dalam diri orang yang dalam aspek tertentu kelihatan tidak terlalu memperhatikan dirinya, tetapi sangat memperhatikan dirinya dalam hal yang lain. Blaise Pascal mengatakan, “Semua orang mencari kebahagiaan. Tidak seorang pun yang terkecuali. Walaupun sarana yang mereka gunakan itu berbeda, mereka semua tertuju kepada tujuan yang satu ini. Alasan mengapa sebagian orang pergi berperang, yang lain menghindarinya, keinginan yang sama ada di dalam diri keduanya. 

Hanya pandangannya saja yang berbeda.” Apakah itu hal yang salah? Tidak! Mengusahakan kebahagiaan dan sukacita kita bukanlah hal yang salah di dalam Kekristenan, karena itu adalah maksud Allah ketika menciptakan kita. Dialah yang memberikan kepada kita kemampuan untuk bersukacita dan memberikan dorongan dalam diri untuk mencari kebahagiaan kita. Ini jugalah tujuan kedatangan Yesus, yaitu supaya kita beroleh hidup dalam segala kelimpahannya (Yohanes 10:10b).

2. Kedua, apa yang dicela Alkitab bukanlah karena kita mengusahakan kebaikan dan kebahagiaan kita, melainkan karena kita mencarinya di tempat yang salah dan dengan hal-hal yang salah, yaitu di luar Tuhan. Kesalahan inilah yang ditegur oleh nabi Yeremia ketika ia mengatakan, “Sebab dua kali umat-Ku berbuat jahat: mereka meninggalkan Aku, sumber air yang hidup, untuk menggali kolam bagi mereka sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air.” (Yeremia 2:13). 

Sering kali orang menganggap Allah sebagai penghalang kebahagiaan dan sukacita manusia, dan inilah salah satu alasan mereka menolak Allah, padahal sebenarnya Allah adalah sumber sukacita dan kebahagiaan kita yang sejati, dan hanya di dalam Dia saja kebahagiaan sejati itu kita dapatkan. Hal inilah yang diingatkan oleh Pascal: “Sebelumnya, dalam diri manusia terdapat kebahagiaan yang sekarang hanya tinggal bekasnya, yang sekarang ia dengan sia-sia mencoba untuk mencari dari hal-hal di sekelilingnya, mencarinya dalam hal-hal yang belum ia miliki karena apa pun yang telah ia dapatkan tidak dapat memuaskan dia, tetapi semuanya itu tidak ada gunanya karena suatu jurang yang tak terbatas itu hanya dapat diisi oleh obyek yang tidak terbatas dan yang tidak mungkin berubah yaitu Allah sendiri.” 

Apa yang dikemukakan Pascal ini merupakan gaung dari pernyataan Augustinus jauh sebelumnya: “Ya Tuhan, Engkau telah menciptakan kami bagi diri-Mu, dan hati kami tidak akan mendapatkan kepuasan sebelum mendapatkannya di dalam Engkau.” Sungguh ironis, orang yang meninggalkan Tuhan dengan harapan dapat menikmati hidup ini dengan sepuas-puasnya adalah orang yang mengakhiri hidup mereka dalam penyesalan dan kehancuran. 

Sebaliknya, orang yang dengan penuh iman menyerahkan hidup mereka kepada Tuhan, menyangkal diri, memikul salib dan rela mati untuk Tuhan adalah orang yang hidupnya paling limpah dan bahagia. Inilah paradoks yang harus dipelajari oleh setiap orang. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Jim Elliot, seorang martir pionir misi kepada suku Auca di pedalaman Ekuador, ia mengatakan, “Orang yang melepaskan apa yang tidak dapat dipertahankan untuk menggenggam apa yang tidak dapat direbut dari padanya bukanlah orang yang bodoh.

3. Ketiga, kebahagiaan yang kita usahakan itu tidak pernah boleh menjadi tujuan tertinggi, yang menggeser posisi Allah sebagai yang utama di dalam hidup kita. 

Karena jika ini terjadi, berarti kita telah menjadikan Allah sebagai sarana pencapaian tujuan kita. Inilah kesalahan dari teologi yang bersifat antroposentris, yang dari luar kelihatan sangat rohani, tetapi pada kenyataannya sangat menghina Allah karena menempatkan Allah di bawah manusia dan diperalat bagi tujuan manusia. Sikap agama demikian tidak akan memberikan kebahagiaan sejati kepada manusia karena dengan menjadikan Allah hanya sebagai sarana, berarti manusia telah menjadikan dirinya sebagai landasan bagi kebahagiaannya, dan bukannya menjadikan Allah sebagai Tuhan yang berotoritas untuk memberi landasan bagi kebahagiaannya. 

Kehidupan yang tidak mengutamakan Allah ini pasti akan gagal karena manusia adalah pribadi terbatas yang dapat menopang dirinya sendiri. Hanya Allah satu-satunya yang memiliki kuasa dan anugerah untuk memberikan kebahagiaan kepada kita. Allah harus menjadi yang utama dalam hidup kita, benarlah yang dikatakan oleh raja Daud, bahwa “kasih setia-Mu lebih baik daripada hidupku” (Mazmur 63:4). 

Setiap orang yang iman yang sungguh-sungguh akan mengakui kebenaran ini. Kita belum mencapai taraf kehidupan yang sehat dan benar-benar berbahagia jika kita sudah merasa puas dengan berkat-berkat Allah dan belum melihat bahwa Allah sendiri itulah yang berkat kita, dan kebahagiaan kita. Alkitab dipenuhi dengan ungkapan-ungkapan tentang sukacita melimpah dari orang-orang yang menikmati hidup persekutuan yang intim dengan Allah sendiri sebagai sumber sukacita dan kebahagiaan mereka. 

Seperti yang diungkapkan dalam Ayub 22:25-26, “dan apabila Yang Mahakuasa menjadi timbunan emasmu, dan kekayaan perakmu, maka sungguh engkau akan bersenang-senang karena Yang Mahakuasa, akan menengadah kepada Allah.” Demikian juga dalam Mazmur 73:25-26: “Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau ? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” Tuhan adalah berkat kita yang sejati, tidak ada sesuatu apa pun yang dapat dibandingkan dengan Dia. Orang Kristen yang sejati mengerti bahwa sekalipun daging dan hati kita habis lenyap, dunia bergolak, harta kita lenyap, kekasih pergi meninggalkan dia, namun asal ada Tuhan maka ia tetap dapat beria-ria. Tuhan memampukan kita untuk bersukacita dalam segala keadaan.

4. Keempat, kebahagiaan merupakan buah dari kehidupan yang memuliakan Tuhan. 

Dengan kata lain, kita baru dapat menikmati kehidupan yang bahagia ketika kita hidup memuliakan Allah, sebab kehidupan yang memuliakan Allah merupakan kehidupan yang berbahagia itu sendiri. Inilah paradoksnya, kehidupan yang memuliakan Tuhan tidak meniadakan kebahagiaan, sebaliknya justru menyempurnakannya. 

Ketika C.S. Lewis menggumulkan hal memuliakan Allah yang demikian sering muncul dalam kitab Mazmur, dia menemukan pemahaman yang sangat indah. Ia menjelaskan: ada hal yang sering dilewatkan oleh manusia dalam memuji Tuhan atau apa saja. Mengenai pujian sering kali kita hanya berpikir tentang memberikan pujian itu – sekedar suatu kewajiban belaka – dan mengabaikan kesukaan spontan yang mengalir dalam pujian itu. Dunia menari bersama kita ketika kita memuji. Ketika seorang kekasih memuji pasangannya, pembaca terhadap bacaan kesukaannya, pelancong terhadap tempat favoritnya. 

Kita mengalami kesukaan yang melimpah ketika kita memuji apa yang kita sukai, karena pujian bukan hanya mengungkapkan sukacita tetapi menyempurnakannya. Pujian adalah penyempurnaan yang ditentukan oleh Allah. Ketika kita memuji Tuhan, ketika kita hidup memuliakan Dia, kita akan menemukan sukacita dan kebahagiaan kita disempurnakan di dalamnya. Dan Allah dimuliakan dalam sukacita yang kita nikmati di dalam Dia. Jikalau usaha kita untuk memuliakan Allah menjadi beban yang berat, dan tidak ada sukacita dan kebahagiaan di dalamnya, berarti ada sesuatu yang salah dalam ibadah dan kehidupan kita. 

Ajaran bahwa kehidupan yang memuliakan Allah harus meniadakan motivasi dan kesiapan kita untuk menikmati sukacita di dalam Tuhan bukanlah ajaran Alkitab, tetapi ajaran etika kewajiban dari Immanuel Kant. Kant mengajarkan bahwa suatu tindakan kebaikan tidak lagi baik jika terdapat motivasi untuk diri kita sendiri. Alkitab mengajarkan kita untuk menghampiri Tuhan dengan motivasi yang murni dan tidak memperalat Dia, tetapi sekaligus menjanjikan berkat bagi orang yang mencari Allah dengan sikap yang benar. 

Alkitab tidak mengajarkan kita untuk menghampiri Allah dan memuliakan Dia semata-mata karena kewajiban. Karena sikap demikian, meniadakan sukacita yang merupakan ciri-ciri dari ibadah yang sangat diperkenan Tuhan.

Perbuatan yang dilakukan karena kewajiban sangat berbeda dengan perbuatan yang didorong oleh kasih. Segala sesuatu yang dilakukan karena dorongan kasih yang tulus akan ditandai dengan keunggulan/terbaik dan kesukaan. Kita tidak mungkin memuliakan Allah jika pengabdian kita tidak disertai dengan sukacita dan kasih yang tulus kepada-Nya. Firman kebenaran seharusnya membuat kita untuk melihat Allah yang mulia, kudus dan sempurna di dalam karakter, kuasa dan kebaikan-Nya, dan inilah yang menjadi landasan bagaimana ia beres-pon kepada Allah, yaitu membuat dia memuliakan Allah dengan penuh sukacita. Pdt. Solomon Yo
Next Post Previous Post