YESUS MENYEMBUHKAN ANAK SEORANG PEREMPUAN SIRO FENISIA (MARKUS 7:24-30)

MUJIZAT YESUS KRISTUS : MENYEMBUHKAN ANAK SEORANG PEREMPUAN SIRO FENISIA.

Kisah penyembuhan anak seorang perempuan Siro Fenisia yang tercatat dalam Injil Markus 7:24-20 juga tercatat dalam Injil Matius 15:21-28. Sedangkan Injil Lukas dan Injil Yohanes sama sekali tidak mencatat peristiwa itu.
YESUS MENYEMBUHKAN ANAK SEORANG PEREMPUAN SIRO FENISIA (MARKUS 7:24-30)
Perempuan Siro-Fenisia yang disebut dalam Markus 7:26 itu juga disebut “khananaia” (harfiah, orang Kanaan), karena penduduk awal Fenisia adalah keturunan Kanaan, dan akhirnya, "Kanaan" khususnya digunakan untuk memaksudkan Fenisia (Matius 15:22). Karena ia disebut "orang Yunani" kemungkinan besar ia keturunan orang Yunani (Markus 7:26).

Bila dimengerti dalam konteks latar belakangnya, maka cerita ini menjadi salah satu peristiwa yang paling menyentuh dan sangat luar biasa dalam kehidupan Yesus.

Tirus dan Sidon adalah kota-kota di Fenisia, yang merupakan bagian dari Siria (Suriah). Fenisia membentang ke utara dari Karmel, tepat di sepanjang dataran pantai. Itu terletak di antara Galilea dan pantai laut.

Tirus terletak sekitar 40 mil di barat laut Kapernaum. Nama Tirus berarti “batu karang”. Disebut demikian karena di lepas pantai terhampar dua batu karang besar yang di satukan oleh punggung bukit sepanjang tiga ribu kaki. Ini membentuk pemecah gelombang alami dan Tirus adalah salah satu pelabuhan alam terbesar di dunia sejak zaman dahulu kala. Batu-batu karang tersebut tidak hanya membentuk pemecah gelombang, tetapi juga membentuk benteng pertahanan.

Tirus dan Sidon merupakan kota asal para pelaut pertama yang berlayar dengan bantuan bintang-bintang. Sebelum orang belajar mengetahui arah perjalanan dengan melihat bintang-bintang, kapal-kapal harus dikemudikan menyusuri pantai dan ditambatkan di sana pada malam hari. Namun, para pelaut Fenisia melayari Laut Tengah dan menemukan jalan mereka sampai mereka tiba di Inggris dan tambang timah Cornwall. Besar sekali kemungkinan bahwa dalam petualangan-nya, mereka bahkan telah sampai Afrika.

Sedangkan kota Sidon terletak sekitar 26 mil di sebelah timur laut Tirus dan sekitar 60 mil di sebelah utara Kapernaum. Seperti Tirus, ia memiliki pemecah gelombang alami, dan asal mulanya sebagai pelabuhan dan kota sangat kuno, sehingga tidak ada yang tahu siapa yang mendirikannya. Kedua kota ini, Tirus dan Sidon, tercatat dalam Injil Matius di mana Yesus menuju ke kota-kota tersebut. (Matius 15:21).

Meskipun kota-kota Fenisia adalah bagian dari Siria (Suriah), semuanya merupakan kota-kota merdeka dan saling bersaing. Masing-masing mempunyai raja, dewa, dan mata uang. Mereka menguasai wilayah dalam radius sejauh lima belas atau dua puluh mil. Dari luar mereka berharap dari laut, di darat mereka berharap dari Damaskus. Kapal-kapal di laut dan kalifah-kalifah dari banyak tempat berbondong-bondong datang ke sana. Pada akhirnya, perdagangan dan kebesaran kota Sidon dikalahkan Tirus dan kota itu terus merosot. Namun para pelaut Fenisia selalu dikenal sebagai orang pertama yang berlayar dengan mengikuti bintang-bintang.

(1). Satu hal yang luar biasa di sini adalah bahwa Yesus berada di wilayah non-Yahudi. 

Apakah peristiwa ini terjadi secara kebetulan? Peristiwa sebelumnya menunjukkan bahwa Yesus menghapus perbedaan antara makanan najis (haram) dan makanan yang tidak najis. Mungkinkah di sini berarti bahwa secara simbolis Yesus menghapuskan perbedaan antara orang-orang yang najis dan yang tidak najis? Orang Yahudi tidak akan mencemarkan lidahnya dengan makanan-makanan yang dilarang. 

Ia pasti juga tidak akan mencemarkan hidupnya dengan menjalin hubungan dengan orang-orang non-Yahudi yang dianggapnya najis. Bisa jadi bahwa di sini Yesus mengatakan dengan implikasi bahwa orang-orang non-Yahudi tidaklah najis, tetapi bahwa mereka juga mempunyai tempat dalam Kerajaan Allah.

Yesus datang ke daerah ini untuk sejenak menghindar dari kerumunan orang banyak. Di kampung-Nya sendiri, Ia diserang dari setiap penjuru. Jauh sebelumnya, kalangan ahli Taurat dan Farisi telah mencap Dia sebagai orang berdosa karena Ia melanggar ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan mereka. Herodes menganggapnya sebagai ancaman. Orang-orang Nazaret tidak menyukai-Nya. Saatnya akan tiba ketika Ia menghadapi lawan-lawan-Nya dengan tantangan yang menyala-nyala.

Namun kini saat itu belum tiba. Sebelum saat tersebut datang, Ia mengasingkan diri untuk mencari suasana yang tenang dan damai. Dalam pengasingan dari lawan-lawan Yahudi-Nya itulah, Ia meletakkan dasar Kerajaan Allah bagi orang-orang non-Yahudi. Inilah pertanda dari keseluruhan sejarah Kekristenan. Penolakan orang Yahudi telah menjadi peluang bagi orang-orang non-Yahudi.

(2). Namun, di sini ada yang lebih lagi. 

Secara teoretis, kota-kota Fenisia ini sebenarnya bagian dari wilayah Israel. Ketika tanah itu dibagi-bagi pada zaman Yosua, suku Asyer ditempatkan di tanah itu, “....sampai ke Sidon Besar..... sampai ke kota yang berkubu Tirus.” (Yosua 19:28-29). Israel tidak pernah mampu menaklukkan wilayah Fenisia dan mereka tidak pernah bisa masuk kesana. Sekali lagi, bukankah ini simbolik? Ketika kekuatan senjata tidak berdaya, di situ kasih Yesus Kristus yang mampu menaklukkan itu tampil sebagai pemenang. 

Israel duniawi telah gagal merangkul orang-orang Fenisia. Kini, Israel yang sejati telah datang. Tempat itu bukanlah tanah asing yang dimasuki Yesus, melainkan tanah yang telah diberikan oleh Allah kepada Israel jauh sebelumnya. Dalam hal ini, Yesus tidak datang ke tengah-tengah orang asing, melainkan Ia datang kepada umat kepunyaan-Nya sendiri.

(3). Cerita itu sendiri harus dibaca dengan mata hati. Perempuan itu datang untuk meminta pertolongan Yesus bagi anak perempuannya. Jawaban Yesus adalah tidak pantas mengambil roti anak-anak untuk diberikan kepada anjing-anjing. Sepintas lalu, ini adalah jawaban yang sangat mengejutkan.

Anjing bukanlah penjaga rumah kesayangan seperti yang ada sekarang ini. Secara lebih umum, anjing adalah lambang kehinaan. Bagi orang Yunani, kata “anjing” berarti perempuan nakal dan tidak tahu malu. Kata ini mempunyai konotasi pengertian “perempuan jalang atau pelacur” sekarang ini. Bagi orang Yahudi, ini juga merupakan ungkapan yang merendahkan. ”Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing.” (Matius 7:6; bnd. Filipi 3:2; Wahyu 22:15).

Kata “anjing” pada kenyataannya merupakan kata yang kadang kala dipergunakan orang Yahudi untuk merendahkan derajat orang-orang non-Yahudi. Tak peduli bagaimana kita melihat hal ini, yang jelas istilah “anjing” adalah sebuah penghinaan. Bila demikian, bagaimana kita hendak menjelaskan penggunaan kata ini oleh Yesus?

[a]. Ia tidak menggunakan kata yang biasa. 

Ia menggunakan suatu bentuk kata yang menunjuk bukan pada anjing-anjing liar di jalanan, melainkan pada anjing-anjing rumah sebagai binatang kesayangan. Dalam bahasa Yunani, penggunaan bentuk kata seperti itu merupakan ciri khas rasa belas kasihan. Yesus menghilangkan sengatan yang ada dalam kata “anjing” itu.

[b]. Tak perlu diragukan lagi, nada suara Yesus ketika mengucapkan kata ini menentukan makna yang Ia maksudkan. 

Kata yang sama bisa saja sangat menghina dan bisa juga merupakan sapaan penuh belas kasih. Pengertian mana yang terkandung, bergantung pada nada suara ketika kata tersebut diucapkan. Kita dapat menyebut seseorang “kunyuk” dengan nada suara menghina, atau nada suara akrab seorang kawan karib. Nada suara Yesus mengeluarkan semua racun dari kata tersebut.

[c]. Apa pun pengertiannya, Yesus tidak menutup pintu. 

Ia berkata bahwa anak-anak harus diberi makan lebih dulu, tetapi hanya lebih dulu sebab ada makanan yang disisakan untuk anjing-anjing kecil di rumah. Benar, bahwa Israel memperoleh kesempatan pertama untuk mendapat tawaran Injil, tetapi hanya dalam arti kesempatan pertama. Orang lain pun akan ditawarkan. Perempuan ini, adalah seorang Yunani dan orang-orang Yunani mempunyai karunia untuk memberi jawaban yang tepat. 

Sekejap perempuan itu melihat bahwa Yesus sedang tersenyum ketika berbicara. Ia tahu bahwa pintu sedang berayun-ayun di engselnya. Pada waktu itu, di meja makan tidak dipergunakan baik pisau maupun garpu dan serbet. Mereka makan langsung dengan tangan. Tangan-tangan berminyak dibersihkan dengan remah-remah roti, lalu remah-remah roti itu dibuang dan anjing-anjing di dalam rumah memakannya.

Demikianlah perempuan itu berkata, “Saya tahu bahwa anak-anak memang lebih dulu diberi makan, tetapi apakah saya memperoleh remah-remah roti yang dibuang oleh anak-anak?” Yesus menyukai jawaban perempuan itu. Di sini ada iman yang penuh semangat yang tidak mau mendengar jawaban “tidak”. Di situ ada seorang perempuan yang mengalami tragedi karena anak perempuannya sedang sakit di rumah, namun masih saja ada cukup terang di dalam hatinya untuk menjawab dengan senyum. 

Imannya diuji dan ternyata imannya sungguh-sungguh sejati. Dan mata Yesus bersinar dengan sukacita pada iman yang gigih seperti itu; dan dia menganugerahkannya berkat dan kesembuhan yang sangat diinginkannya. Secara simbolik perempuan itu mewakili dunia orang non-Yahudi yang begitu ingin meraih roti surgawi yang ditolak dan dibuang oleh orang-orang Yahudi.

IMAN YANG MEMENANGKAN BERKAT.

Ada beberapa hal mengenai perempuan itu yang perlu kita catat:

[1]. Pertama dan terutama, ia memiliki kasih. 

Boleh jadi ia seorang kafir, tetapi di dalam hatinya terdapat kasih terhadap anaknya yang selalu merupakan refleksi dari kasih Allah terhadap anak-anak-Nya. Kasih inilah yang mendorongnya untuk mendekati Yesus. Kasih ini pula yang membuatnya menerima kebisuan Yesus, namun tetap memohon. Kasih itulah yang membuatnya menderita akibat penolakan yang terang-terangan. Kasih inilah yang membuatnya mampu untuk melihat kasih sayang dibalik kata-kata Yesus. Kekuatan yang mendorong hati perempuan ini adalah kasih; dan tidak ada yang lebih kuat dan lebih dekat dengan Allah ketimbang kasih.

[2]. Perempuan ini memiliki iman.

(a). Inilah iman yang tumbuh melalui kontak dengan Yesus. 

Ia mulai dengan memanggil-Nya “Anak Daud”, ini adalah gelar yang populer, gelar politis. Itu adalah gelar yang memandang Yesus sebagai seseorang yang melakukan keajaiban yang hebat, namun tetap memandang Dia dalam arti kuasa dan kemuliaan duniawi. Ia datang sambil meminta bantuan dari orang yang dipandangnya sebagai manusia yang hebat dan perkasa. Ia datang dengan semacam takhayul yang sama apabila ia mengunjungi seorang ahli sihir. Namun pada akhirnya, ia memanggil Yesus: Tuhan.

Yesus nampak-Nya memaksa perempuan ini untuk memandang diri-Nya, dan di dalam Dia perempuan itu melihat sesuatu yang tidak dapat disingkapkan dengan pengertian duniawi sama sekali, sesuatu yang tak kurang dari wujud ilahi. Ini yang sesungguhnya ingin Yesus bangkitkan di dalam diri perempuan itu sebelum Ia mengabulkan permintaannya.

Yesus ingin agar dia melihat bahwa suatu permintaan kepada manusia yang hebat harus berubah menjadi suatu doa kepada Allah yang hidup. Kita dapat melihat iman perempuan ini bertumbuh ketika ia berhadapan dengan Kristus, sehingga ia dapat melihat sekilas jati diri Yesus, betapa pun samarnya, tentang siapakah Dia sebenarnya.

(b). Itulah iman yang mau menyembah. 

Ia mulai dengan mengikuti, lalu mengakhirinya dengan berlutut. Ia mulai dengan permintaan, dan berakhir dengan doa. Kapan saja kita datang kepada Yesus, kita harus datang pertama-tama dengan penyembahan terhadap keagungan-Nya, baru sesudah itu dengan pengungkapan akan kebutuhan kita.

[3]. Perempuan ini memiliki sikap pantang menyerah. 

Dia tidak dapat dihalangi. Begitu banyak orang yang berdoa hanya karena mereka tidak ingin kehilangan kesempatan. Mereka tidak sungguh-sungguh percaya akan doa; mereka hanya mempunyai perasaan bahwa sesuatu bisa saja terjadi. Perempuan itu datang karena Yesus bukan hanya seorang penolong yang dapat menolong; Ia adalah satu-satunya harapannya. Ia datang dengan suatu harapan yang menggebu, suatu sikap membutuh-kan, dan suatu penolakan untuk dihalangi. Ia memiliki suatu kualitas efektif yang paling utama dalam doa. Ia sungguh-sungguh membutuhkan. Doa baginya bukanlah bentuk ritual belaka, namun merupakan luapan hasrat jiwanya, yang dihayati sedemikian rupa sehingga ia tidak dapat – dan tidak boleh, dan tidak perlu – menerima jawaban “tidak”.

[4]. Perempuan ini memiliki karunia untuk selalu gembira. 

Ia sedang berada di tengah-tengah kesulitan; ia sedang amat membutuhkan, namun ia dapat tersenyum. Ia memiliki hati yang selalu cerah dalam dirinya. Allah menyukai iman yang selalu gembira, iman yang di dalam matanya selalu terpancar sinar pengharapan, iman dengan senyuman yang dapat menghalau kegelapan.

Perempuan ini membawa kasih yang berani dan tegar gagar di hadapan Kristus, iman yang bertumbuh sampai ia bersujud pada kaki yang ilahi, dan sikap pantang menyerah yang lahir dari pengharapan yang tak terkalahkan; kegembiraan yang tidak dapat dipatahkan. Inilah pendekatan yang pasti menemukan jawaban bagi doa-doanya. Amin.
Next Post Previous Post