3 KONSEP PENGAMPUNAN (MATIUS 18:21-22)
Kebencian merupakan misteri yang sulit dimengerti. Meskipun tidak ada manfaat positif dari merasakan kebencian, beberapa orang masih memilih untuk menahannya. Meskipun kebencian merusak baik diri sendiri maupun orang lain, beberapa orang enggan melepaskannya.
Kebencian juga menjadikan seseorang terobsesi dengan orang yang dibencinya. Orang yang membenci selalu memantau tindakan orang yang menjadi objek benci. Dia membiarkan perasaannya dikendalikan oleh individu yang ingin dia hancurkan. Kebahagiaan orang lain menjadi sumber kesedihannya, dan kesedihan orang lain malah menjadi kegembiraannya. Orang yang membenci kehilangan kemerdekaan hidupnya. Dia telah mengecilkan dirinya sendiri.
Namun, yang anehnya, banyak orang masih menilai situasi ini dengan positif. Mereka menganggap menahan kebencian adalah suatu bentuk kebanggaan. Sebaliknya, memberikan pengampunan dianggap sebagai kelemahan.
Di sisi lain, ada juga orang yang ingin menghilangkan kebencian dalam dirinya namun merasa kesulitan untuk melakukannya. Mereka merasa kurang memiliki alasan yang kuat untuk berbuat demikian, dan juga merasa tidak memiliki kekuatan yang cukup.
Mengapa beberapa orang kesulitan mengampuni orang lain? Bagaimana cara melepaskan kebencian dalam diri kita? Mari kita belajar bersama dari teks ini.
Teks ini sebenarnya sudah pernah kita bahas secara detail beberapa tahun lalu. Hari ini, kita hanya akan menyoroti hal-hal lebih umum dan dari sudut pandang yang berbeda sedikit. Kita akan mempelajari tiga konsep penting tentang pengampunan.
1. Pertama, pengampunan melampaui hukuman.
Kebencian juga menjadikan seseorang terobsesi dengan orang yang dibencinya. Orang yang membenci selalu memantau tindakan orang yang menjadi objek benci. Dia membiarkan perasaannya dikendalikan oleh individu yang ingin dia hancurkan. Kebahagiaan orang lain menjadi sumber kesedihannya, dan kesedihan orang lain malah menjadi kegembiraannya. Orang yang membenci kehilangan kemerdekaan hidupnya. Dia telah mengecilkan dirinya sendiri.
Namun, yang anehnya, banyak orang masih menilai situasi ini dengan positif. Mereka menganggap menahan kebencian adalah suatu bentuk kebanggaan. Sebaliknya, memberikan pengampunan dianggap sebagai kelemahan.
Di sisi lain, ada juga orang yang ingin menghilangkan kebencian dalam dirinya namun merasa kesulitan untuk melakukannya. Mereka merasa kurang memiliki alasan yang kuat untuk berbuat demikian, dan juga merasa tidak memiliki kekuatan yang cukup.
Mengapa beberapa orang kesulitan mengampuni orang lain? Bagaimana cara melepaskan kebencian dalam diri kita? Mari kita belajar bersama dari teks ini.
Teks ini sebenarnya sudah pernah kita bahas secara detail beberapa tahun lalu. Hari ini, kita hanya akan menyoroti hal-hal lebih umum dan dari sudut pandang yang berbeda sedikit. Kita akan mempelajari tiga konsep penting tentang pengampunan.
1. Pertama, pengampunan melampaui hukuman.
Teks kita dimulai dengan Petrus datang kepada Yesus dan berkata (Matius 18: 21a). Frasa "kemudian" menunjukkan bahwa pertanyaan Petrus di Matius 18: 21b merupakan tanggapan terhadap perkataan Yesus sebelumnya. Yesus sebelumnya membahas tentang disiplin dalam jemaat (Matius 18:15-20).
Petrus dengan cerdik melihat aspek lain dari situasi ini. Memberikan hukuman adalah satu hal, tetapi memberi pengampunan adalah hal yang berbeda. Meskipun menjaga kekudusan dalam jemaat penting melalui tindakan disiplin, kita juga harus menjaga hati kita dari potensi kebencian.
Memberikan hukuman kepada orang lain seringkali tidak cukup untuk menghilangkan kebencian dalam hati kita. Keadilan tidak selalu menjadi jawaban atas kebencian, karena bagi hati yang penuh kebencian, tidak ada jumlah keadilan yang cukup. Saat kita berusaha mencari keadilan, kita malah bisa menimbulkan ketidakadilan bagi orang lain. Kuncinya adalah menjaga hati kita.
2. Kedua, pengampunan melewati batasan budaya.
Petrus dengan cerdik melihat aspek lain dari situasi ini. Memberikan hukuman adalah satu hal, tetapi memberi pengampunan adalah hal yang berbeda. Meskipun menjaga kekudusan dalam jemaat penting melalui tindakan disiplin, kita juga harus menjaga hati kita dari potensi kebencian.
Memberikan hukuman kepada orang lain seringkali tidak cukup untuk menghilangkan kebencian dalam hati kita. Keadilan tidak selalu menjadi jawaban atas kebencian, karena bagi hati yang penuh kebencian, tidak ada jumlah keadilan yang cukup. Saat kita berusaha mencari keadilan, kita malah bisa menimbulkan ketidakadilan bagi orang lain. Kuncinya adalah menjaga hati kita.
2. Kedua, pengampunan melewati batasan budaya.
Pertanyaan Petrus di Matius 18:21b mencerminkan nilai-nilai yang baik. Pada zamannya, batas pengampunan biasanya hanya tiga kali. Tulisan-tulisan rabbinik mengajarkan bahwa setelah tiga kali, pengampunan tidak diberikan lagi. Jadi, Petrus sudah menaikkan standar pengampunan dua kali lipat dari norma saat itu.
Poin yang ditegaskan oleh Petrus sebenarnya masuk akal. Orang yang bersalah di sini disebut "saudara" (Matius 18:21; lihat juga Matius 18:15). Dalam hubungan dekat, seperti antara saudara seiman, risiko kesalahan tentu lebih besar. Seseorang bisa melakukan kesalahan berulang kali. Lebih jauh lagi, sering kali sulit untuk mengampuni tindakan salah yang dilakukan oleh seseorang yang dekat dengan kita. Lebih mudah bagi kita untuk mengampuni orang asing daripada orang yang dekat dalam hidup kita.
Kedekatan emosional sering membawa harapan yang tidak diucapkan kepada orang yang dekat dengan kita. Kita mengharapkan pemahaman, dukungan, dan pertolongan lebih besar dari mereka. Ketika harapan ini tidak terpenuhi, kita merasa kecewa. Dan dari kekecewaan berulang kali itulah muncul kebencian.
Jawaban Yesus di Matius 18: 22 mengajarkan bahwa orang percaya seharusnya tidak terikat oleh norma budaya. Pengampunan haruslah tanpa batas, seperti "tujuh puluh kali tujuh." Ini mengindikasikan batas yang tidak terhingga.
Bagi orang-orang Yahudi yang akrab dengan kitab suci, ini mengingatkan pada kata-kata Lamekh, keturunan Kain, di Kejadian 4:24. Setelah membunuh, Lamekh berkata bahwa jika Kain akan dibalas tujuh kali lipat, maka dirinya tujuh puluh tujuh kali lipat. Frasa "tujuh puluh kali tujuh" juga muncul di sana, tetapi dalam konteks pembalasan.
Perbandingan antara Kejadian 4:24 dan Matius 18:22 membawa kontras yang jelas. Kebencian berasal dari dosa, sementara pengampunan berasal dari kasih karunia. Hati yang penuh dengan dosa akan menginginkan pembalasan yang berlebihan, sementara hati yang penuh dengan kasih akan memberikan pengampunan tanpa batas.
3. Ketiga, dosa kita lebih besar daripada kesalahan orang lain terhadap kita.
Poin yang ditegaskan oleh Petrus sebenarnya masuk akal. Orang yang bersalah di sini disebut "saudara" (Matius 18:21; lihat juga Matius 18:15). Dalam hubungan dekat, seperti antara saudara seiman, risiko kesalahan tentu lebih besar. Seseorang bisa melakukan kesalahan berulang kali. Lebih jauh lagi, sering kali sulit untuk mengampuni tindakan salah yang dilakukan oleh seseorang yang dekat dengan kita. Lebih mudah bagi kita untuk mengampuni orang asing daripada orang yang dekat dalam hidup kita.
Kedekatan emosional sering membawa harapan yang tidak diucapkan kepada orang yang dekat dengan kita. Kita mengharapkan pemahaman, dukungan, dan pertolongan lebih besar dari mereka. Ketika harapan ini tidak terpenuhi, kita merasa kecewa. Dan dari kekecewaan berulang kali itulah muncul kebencian.
Jawaban Yesus di Matius 18: 22 mengajarkan bahwa orang percaya seharusnya tidak terikat oleh norma budaya. Pengampunan haruslah tanpa batas, seperti "tujuh puluh kali tujuh." Ini mengindikasikan batas yang tidak terhingga.
Bagi orang-orang Yahudi yang akrab dengan kitab suci, ini mengingatkan pada kata-kata Lamekh, keturunan Kain, di Kejadian 4:24. Setelah membunuh, Lamekh berkata bahwa jika Kain akan dibalas tujuh kali lipat, maka dirinya tujuh puluh tujuh kali lipat. Frasa "tujuh puluh kali tujuh" juga muncul di sana, tetapi dalam konteks pembalasan.
Perbandingan antara Kejadian 4:24 dan Matius 18:22 membawa kontras yang jelas. Kebencian berasal dari dosa, sementara pengampunan berasal dari kasih karunia. Hati yang penuh dengan dosa akan menginginkan pembalasan yang berlebihan, sementara hati yang penuh dengan kasih akan memberikan pengampunan tanpa batas.
3. Ketiga, dosa kita lebih besar daripada kesalahan orang lain terhadap kita.
Melalui perumpamaan, Yesus ingin menunjukkan betapa besar dosa kita di hadapan Allah. Sepuluh ribu talenta adalah jumlah yang luar biasa! Satu talenta adalah ukuran berat tertinggi, berkisar antara 26-38 kg. Meskipun tidak dijelaskan jenis talenta dalam perumpamaan ini, pesannya adalah jumlah yang sangat besar dan tak terhitung.
Jika dihitung lebih detail, satu talenta setara dengan 6000 dinar, atau upah seorang pekerja untuk 20 tahun. Hutang sepuluh ribu talenta dalam perumpamaan itu tampaknya tak terbayar oleh pekerja biasa. Ini mungkin menggambarkan seorang pejabat yang berwenang atau pemenang lelang pajak yang memiliki tanggung jawab besar. Namun, makna intinya tetap sama: hutang yang sangat besar dan mustahil untuk dibayar. Hamba tersebut akan dijatuhi hukuman dan dihapuskan dari posisinya. Bagaimana mungkin dia bisa membayar jumlah yang begitu fantastis?
Namun, di tengah keputusasaan ini, raja menunjukkan belas kasihan. Dia tidak hanya membebaskan hamba tersebut dari hukuman, tetapi juga menghapuskan seluruh hutangnya. Hamba itu tiba-tiba menjadi bebas.
Sayangnya, hamba itu tidak menyadari betapa besar pengampunan yang diterimanya. Dia terus mengejar temannya yang berhutang padanya hanya 100 dinar. Ketika temannya tidak mampu membayar, hamba tersebut memenjarakannya. Dia tidak memperhitungkan permintaan maaf temannya. Ketika kita mendengar cerita ini, kita merasa geram. Bagaimana mungkin 100 dinar bisa dibandingkan dengan 60 juta dinar?
Kita sering kali melakukan kesalahan yang sama dengan hamba yang diampuni itu. Kita enggan mengampuni kesalahan orang lain terhadap kita. Mengapa kita kesulitan mengampuni? Jawabannya sebenarnya sederhana: fokus kita salah. Seperti Petrus, kita cenderung menghitung-hitung kesalahan orang lain. Kita merasa cukup baik jika memberi pengampunan beberapa kali saja. Namun, kita melupakan dosa-dosa kita yang telah diampuni oleh Kristus di kayu salib. Dosa-dosa kita jauh melebihi semua kesalahan orang lain terhadap kita.
Pengampunan sebenarnya lebih mengenai hubungan kita dengan Allah daripada hubungan kita dengan orang lain. Pengampunan dimulai dengan menyadari dosa kita di hadapan Allah yang Maha Suci. Orang yang tidak memahami kebesaran kasih karunia akan kesulitan mengampuni sesamanya.
Tidak mau mengampuni sesama bukanlah hal sepele. Hamba yang tidak bersyukur dalam perumpamaan akhirnya dihukum oleh raja. Ada konsekuensi bagi mereka yang merasa ingin menyimpan kebencian.
Mengapa membenci begitu serius di mata Allah? Membenci menunjukkan bahwa kita belum benar-benar mengalami atau memahami kasih karunia yang besar dari Tuhan. Semakin kita merasa terluka karena pengkhianatan, semakin seharusnya kita mengerti pengorbanan Kristus yang mengalami pengkhianatan demi kita. Kristus benar-benar mengerti sakitnya dikhianati oleh temannya.
Membenci juga menunjukkan kurangnya iman kita kepada Tuhan. Orang yang benar-benar percaya pada Kristus akan menyerahkan rasa sakitnya sepenuhnya kepada Kristus. Dia percaya bahwa Tuhan peduli dan akan bertindak adil. Dia tahu bahwa keputusan Tuhan adalah yang terbaik bagi semua orang.
Baca Juga: Rahasia Mengampuni (Matius 18:21-35)
Jika dihitung lebih detail, satu talenta setara dengan 6000 dinar, atau upah seorang pekerja untuk 20 tahun. Hutang sepuluh ribu talenta dalam perumpamaan itu tampaknya tak terbayar oleh pekerja biasa. Ini mungkin menggambarkan seorang pejabat yang berwenang atau pemenang lelang pajak yang memiliki tanggung jawab besar. Namun, makna intinya tetap sama: hutang yang sangat besar dan mustahil untuk dibayar. Hamba tersebut akan dijatuhi hukuman dan dihapuskan dari posisinya. Bagaimana mungkin dia bisa membayar jumlah yang begitu fantastis?
Namun, di tengah keputusasaan ini, raja menunjukkan belas kasihan. Dia tidak hanya membebaskan hamba tersebut dari hukuman, tetapi juga menghapuskan seluruh hutangnya. Hamba itu tiba-tiba menjadi bebas.
Sayangnya, hamba itu tidak menyadari betapa besar pengampunan yang diterimanya. Dia terus mengejar temannya yang berhutang padanya hanya 100 dinar. Ketika temannya tidak mampu membayar, hamba tersebut memenjarakannya. Dia tidak memperhitungkan permintaan maaf temannya. Ketika kita mendengar cerita ini, kita merasa geram. Bagaimana mungkin 100 dinar bisa dibandingkan dengan 60 juta dinar?
Kita sering kali melakukan kesalahan yang sama dengan hamba yang diampuni itu. Kita enggan mengampuni kesalahan orang lain terhadap kita. Mengapa kita kesulitan mengampuni? Jawabannya sebenarnya sederhana: fokus kita salah. Seperti Petrus, kita cenderung menghitung-hitung kesalahan orang lain. Kita merasa cukup baik jika memberi pengampunan beberapa kali saja. Namun, kita melupakan dosa-dosa kita yang telah diampuni oleh Kristus di kayu salib. Dosa-dosa kita jauh melebihi semua kesalahan orang lain terhadap kita.
Pengampunan sebenarnya lebih mengenai hubungan kita dengan Allah daripada hubungan kita dengan orang lain. Pengampunan dimulai dengan menyadari dosa kita di hadapan Allah yang Maha Suci. Orang yang tidak memahami kebesaran kasih karunia akan kesulitan mengampuni sesamanya.
Tidak mau mengampuni sesama bukanlah hal sepele. Hamba yang tidak bersyukur dalam perumpamaan akhirnya dihukum oleh raja. Ada konsekuensi bagi mereka yang merasa ingin menyimpan kebencian.
Mengapa membenci begitu serius di mata Allah? Membenci menunjukkan bahwa kita belum benar-benar mengalami atau memahami kasih karunia yang besar dari Tuhan. Semakin kita merasa terluka karena pengkhianatan, semakin seharusnya kita mengerti pengorbanan Kristus yang mengalami pengkhianatan demi kita. Kristus benar-benar mengerti sakitnya dikhianati oleh temannya.
Membenci juga menunjukkan kurangnya iman kita kepada Tuhan. Orang yang benar-benar percaya pada Kristus akan menyerahkan rasa sakitnya sepenuhnya kepada Kristus. Dia percaya bahwa Tuhan peduli dan akan bertindak adil. Dia tahu bahwa keputusan Tuhan adalah yang terbaik bagi semua orang.
Baca Juga: Rahasia Mengampuni (Matius 18:21-35)
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa orang percaya yang masih berjuang dengan kebencian tidak diselamatkan. Pengampunan adalah buah pertobatan, dan tingkat perkembangan buah ini bisa berbeda-beda pada setiap individu. Bagi mereka yang mengalami pengkhianatan atau luka emosional yang mendalam, mengampuni bisa menjadi tantangan yang lebih besar daripada bagi mereka yang tidak memiliki pengalaman serupa. Oleh karena itu, sebaiknya kita tidak menilai kebenaran keselamatan seseorang hanya dari satu tanda, tetapi dari banyak tanda pertobatan. Yang penting adalah sikap hati kita. Apakah kita mengakui kelemahan kita dan berserah kepada Allah untuk membantu kita?
Sebagai kesimpulan, kita perlu memahami bahwa mengampuni bukan berarti melupakan atau mengabaikan. Kesalahan yang menyakitkan tidak bisa dihapuskan begitu saja dari ingatan kita. Mengampuni juga bukan berarti tidak menghargai atau mengabaikan rasa sakit kita. Mengampuni adalah tindakan kasih dan berkat (Matius 5:44).
Marilah kita belajar bersama dan merenungkan pelajaran berharga tentang pengampunan dari teks ini. Dengan demikian, kita dapat tumbuh dalam pemahaman akan pentingnya pengampunan dalam hidup kita, baik terhadap diri kita sendiri maupun terhadap sesama.
Sebagai kesimpulan, kita perlu memahami bahwa mengampuni bukan berarti melupakan atau mengabaikan. Kesalahan yang menyakitkan tidak bisa dihapuskan begitu saja dari ingatan kita. Mengampuni juga bukan berarti tidak menghargai atau mengabaikan rasa sakit kita. Mengampuni adalah tindakan kasih dan berkat (Matius 5:44).
Marilah kita belajar bersama dan merenungkan pelajaran berharga tentang pengampunan dari teks ini. Dengan demikian, kita dapat tumbuh dalam pemahaman akan pentingnya pengampunan dalam hidup kita, baik terhadap diri kita sendiri maupun terhadap sesama.