KESENGSARAAN YERUSALEM (RATAPAN 1:1-11)

Matthew Henry

Bacaan Alkitab: Ratapan 1:1-11

Mereka yang mudah tergerak hatinya untuk menangis dengan orang yang menangis, kita pikir pasti hampir tidak dapat menahan air mata saat membaca ayat-ayat ini. Amat memilukan semua ratapan ini.

[I]. Kesengsaraan Yerusalem di sini dikeluhkan sebagai sangat menekan dan sangat diperhebat oleh berbagai keadaan. Marilah kita perhatikan semua kesengsaraan ini.
KESENGSARAAN YERUSALEM (RATAPAN 1:1-11)
A. Mengenai keadaan negeri mereka.

(1). Kota yang tadinya ramai sekarang tidak berpenduduk (Ratapan 1:1). 

Hal ini dibicarakan dengan perasaan heran. Siapa yang menyangka bisa sampai seperti ini! Atau dengan perasaan bertanya-tanya. Apa gerangan yang menyebabkan sampai seperti ini? Atau dengan ratapan. Celaka! Celaka! (lihat Wahyu 18:10, 16, 19). Ah, betapa terpencilnya kota itu, yang dahulu ramai! Kota itu tadinya ramai dengan bangsanya sendiri yang menyemarakkannya, dan dengan segala macam orang dari bangsa-bangsa lain yang terus datang mengunjunginya.

Dengan bangsa-bangsa ini, kota itu tadinya menikmati keuntungan perniagaan dan pergaulan yang menyenangkan. Namun, sekarang bangsanya sendiri dibawa ke pembuangan, dan bangsa asing pun tidak tertarik kepadanya. Kota itu kini terpencil. Tempat-tempat utama sekarang bukan lagi seperti dahulu, tempat orang berkumpul dan tempat hikmat berseru nyaring Amsal 1:20-21).

Memang sudah sewajarnya tempat itu ditinggalkan dan tidak dikunjungi lagi, karena seruan hikmat di sana tidak didengarkan. Perhatikanlah, orang-orang yang tadinya sangat ditinggikan Allah, bisa direndahkan-Nya dalam sekejap. Laksana seorang jandalah ia! Rajanya yang tadinya, atau yang seharusnya, adalah suaminya, menceraikannya dan pergi. Allahnya telah meninggalkannya, dan memberinya surat cerai. Ia dipisahkan dari anak-anaknya, terkucilkan, dan bersedih hati sebagai janda. Janganlah ada keluarga, atau negeri, atau Yerusalem, atau bahkan Babel sekalipun, yang merasa aman dan berkata, aku bertakhta seperti ratu, dan tidak akan pernah jadi janda (Yesaya 47:8; Wahyu 18:7).

(2). Kota yang tadinya berkuasa sekarang ditundukkan. 

Kota itu tadinya agung di antara bangsa-bangsa. Bangsa yang satu amat mencintainya, sementara bangsa yang lain amat takut kepadanya, dan semua bangsa mengamatinya dan mengikutinya. Bangsa yang satu memberinya hadiah, sementara bangsa yang lain membayar pajak kepadanya. Sungguh ia tadinya ratu di antara kota-kota, dan setiap berkas sujud menyembah kepada berkasnya, bahkan para pemimpin bangsa-bangsa memohon bantuannya. Namun, sekarang keadaan berbalik, ia bukan hanya kehilangan teman-temannya dan terpencil, tetapi juga kehilangan kebebasannya dan harus membayar upeti. Awalnya, ia harus membayar upeti kepada Mesir, dan kemudian kepada Babel. Perhatikanlah, dosa bukan hanya membuat suatu bangsa terkucilkan, tetapi juga membawanya ke dalam perbudakan.

(3). Kota yang tadinya penuh dengan kegembiraan sekarang menjadi murung dan penuh dengan kesedihan dalam segala hal. 

Yerusalem tadinya kota yang beria-ria, ke mana suku-suku berziarah untuk bersukaria di hadapan Tuhan. Kota itu tadinya kegirangan bagi seluruh bumi. Namun, sekarang tersedu-sedu ia menangis, tawanya berubah menjadi perkabungan, hari-hari pertemuan rayanya semua lenyap. Pada malam hari ia menangis, seperti orang yang sangat berkabung, menangis dengan sembunyi-sembunyi, dalam kesunyian dan kesendirian.

Pada malam hari, saat yang lain tenang dan beristirahat, pikirannya hanya tertuju pada kesesakannya, dan kesedihan pun mulai menyiksanya. Nabi Yeremia sangat prihatin dengan keadaan dirinya, tetapi ia sendiri tidak mengindahkannya. Jadi sekarang mukanya penuh air, dan matanya jadi pancuran air mata sehingga siang malam ia menangis (Yeremia 9:1). Air matanya terus bercucuran di pipi.

Sekalipun tidak ada yang mengering secepat air mata, kesedihan demi kesedihan baru menyebabkan air mata baru sehingga pipinya tidak pernah bebas dari air mata. Perhatikanlah, tidak ada yang lebih lazim terlihat di bawah matahari daripada air mata orang-orang yang ditindas, yang bersama mereka, awan-awan datang kembali sesudah hujan (Pengkhotbah 4:1).

(4). Mereka yang tadinya dipisahkan dari bangsa-bangsa kafir, sekarang tinggal di tengah-tengah bangsa-bangsa kafir itu. 

Mereka yang tadinya bangsa yang dikhususkan, sekarang menjadi bangsa yang bercampur (Ratapan 1: 3): Yehuda telah ditinggalkan penduduknya, keluar dari negerinya sendiri dan masuk ke dalam negeri seterunya. Di sana mereka tinggal, mungkin akan berdiam selamanya, di antara orang-orang asing yang tidak mengenal Allah dan perjanjian-perjanjian-Nya yang Ia janjikan. Dengan bangsa-bangsa itu, ia tidak mendapat ketenteraman, ketenangan pikiran, ataupun tempat tinggal yang tetap, tetapi terus diburu dari satu tempat ke tempat lain menurut perintah tiran angkuh yang berkuasa.

Demikian pula ( Ratapan 1:5): “Kanak-kanaknya berjalan di depan lawan sebagai tawanan. Anak-anak yang adalah benih generasi berikutnya dibawa pergi sehingga negeri itu, yang kini sunyi sepi, mungkin akan tetap sunyi sepi akibat tidak adanya ahli waris. Orang-orang yang tinggal di antara bangsanya sendiri, yang bebas, serta yang berdiam di tanahnya sendiri, pasti lebih bersyukur untuk kemurahan yang alhasil mereka nikmati, jika saja mereka mau memikirkan penderitaan orang-orang yang dipaksa pergi ke negeri-negeri asing.

(5). Mereka yang biasanya menang dalam perang-perang, sekarang kalah dan ditaklukkan: 

Siapa saja yang menyerang dapat memasukinya pada saat ia terdesak (ayat 3). Lawan mereka mendapatkan semua keuntungan terhadap mereka sehingga bangsanya tanpa terelak-kan jatuh ke tangan lawan, karena tidak ada lagi jalan untuk meloloskan diri ( Ratapan 1:7). Mereka dikepung dari segala sisi, dan, ke mana pun mereka mencoba melarikan diri, mereka merasa malu.

Saat mereka berusaha melakukan yang terbaik, mereka gagal. Malahan, mereka dikejar dan dikalahkan. Akibatnya, di mana pun lawan-lawan menguasainya, seteru-seterunya berbahagia (ayat 5), ke mana pun pedang lawan diarahkan, mereka mendapat kemenangan. Kesesakan sehebat ini dibawa manusia kepada dirinya sendiri akibat dosa. Jika kita membiarkan lawan dan musuh terbesar kita menguasai kita, dan menjadi pemimpin dalam hidup kita, maka tentu saja musuh kita yang lain akan berhasil menguasai kita.

(6). Mereka yang tadinya bukan hanya bangsa yang terhormat, tetapi juga bermartabat, bangsa yang kepadanya Tuhan memberi kemuliaan, dan kepadanya bangsa-bangsa sekitarnya menaruh hormat, sekarang dibuat menjadi hina ( Ratapan 1:8): 

Semua yang dahulu menghormatinya, sekarang menghinanya. Bangsa-bangsa yang dahulu merayunya untuk bersekutu dengannya, sekarang tidak menghargainya. Bangsa-bangsa yang dahulu membelainya, ketika ia dalam kemegahan dan kemakmuran, sekarang menganggapnya rendah saat ia dalam tekanan, karena melihat telanjangnya.

Dengan banyaknya musuh yang terus melawannya, bangsa-bangsa itu menangkap kelemahannya, bahwa ia bukan bangsa sekuat yang mereka duga. Lagi pula, dengan banyaknya penghakiman Tuhan terhadapnya, bangsa-bangsa itu menangkap kejahatannya, yang sekarang jelas terlihat dan menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Sekarang jelas terlihat bagaimana Yerusalem memburuk-burukkan dirinya sendiri oleh karena dosanya: Si seteru membesarkan dirinya terhadap mereka (Ratapan 1: 9). Para seterunya menginjak-injak mereka dan mencemoohkan mereka. Di mata para seterunya, Yerusalem hina, ekor segala bangsa, sekalipun dahulu mereka adalah kepala. Perhatikanlah, dosa adalah noda bangsa.

(7). Mereka yang tadinya hidup di negeri yang subur sebentar lagi akan binasa, dan banyak dari mereka memang binasa, karena kekurangan makanan sehari-hari (Ratapan 1: 11): 

Berkeluh kesah seluruh penduduknya dalam kesedihan hati dan keputusasaan. Mereka sebentar lagi binasa, semangat mereka patah, dan karena itu mereka berkeluh kesah, karena mereka mencari roti, tetapi sia-sia. Mereka akhirnya dibawa ke dalam keadaan yang sungguh teramat sulit sampai tidak ada lagi makanan pada rakyat negeri itu (Yeremia 52:6), dan dalam pembuangan, mereka harus bersusah-payah untuk mendapatkan makanan (Ratapan 5:6).

Harta benda mereka berikan ganti makanan, perhiasan dan lukisan mereka, dan semua perabotan dari kamar dan lemari mereka, barang-barang yang mereka gunakan untuk menyukakan hati mereka dengan memandangnya. Mereka menjual semua harta benda ini untuk membeli makanan bagi mereka sendiri dan bagi keluarga mereka. Mereka berpisah dengan harta benda ini ganti makanan untuk menyambung hidupnya, atau (dalam tafsiran luas) untuk membuat nyawa kembali lagi, ketika mereka hampir binasa. Mereka tidak menginginkan keramahan apa pun selain makanan.

Orang akan memberikan segala yang dipunyainya ganti nyawanya, dan ganti makanan, yang adalah kebutuhan pokok. Biarlah mereka yang memiliki harta benda melimpah tidak menjadi sombong karenanya, atau tergila-gila padanya, karena mungkin suatu saat mereka harus melepaskan harta benda itu dengan senang hati demi kebutuhan yang mendesak. Sebaliknya, biarlah mereka yang memiliki makanan secukupnya untuk menyambung hidupnya puas dengan makanan itu, dan bersyukur untuk makanan itu, sekalipun mereka tidak memiliki harta benda.

B. Di sini diceritakan mengenai kesengsaraan mereka dalam hal peribadatan mereka, hancurnya kepentingan mereka yang sakral atau keramat, yang teramat lebih diratapi lagi daripada masalah-masalah duniawi mereka.

1. Hari-hari raya mereka tidak lagi dirayakan, tidak lagi diadakan (Ratapan 1: 4): 

Jalan-jalan ke Sion diliputi dukacita. Jalan-jalan itu tampak murung, dipenuhi dengan rumput dan lalang. Tadinya merupakan pemandangan yang menyenangkan melihat orang-orang lalu lalang di jalan raya yang menuju ke bait suci. Namun, sekarang kita boleh berdiri di sana cukup lama dan tidak melihat seorang pun berjalan di sana karena pengunjung-pengunjung perayaan tiada. Perayaan-perayaan mereka terhenti sama sekali oleh kehancuran kota yang dahulunya kota pertemuan raya kita (Yesaya 33:20). Hari-hari raya diabaikan dan dinajiskan (Yesaya 1:11-12) sehingga memang sudah seharusnya perayaan-perayaan itu sekarang dihentikan sama sekali.

Akan tetapi, saat jalan-jalan ke Sion diliputi dukacita, semua putra Sion tidak bisa tidak ikut berdukacita bersamanya. Sangat menyakitkan bagi orang benar melihat perkumpulan raya dihentikan dan dibubarkan, dan bagi mereka yang dihalangi menghadiri perayaan itu padahal mereka ingin sekali menghadirinya. Lagi pula, saat jalan-jalan ke Sion berdukacita, begitu pula pintu-pintu gerbang Sion, tempat para penyembah yang setia biasanya berkumpul, menjadi sunyi senyap karena tiada seorang pun yang berkumpul di sana. Ada masa ketika Tuhan lebih mencintai pintu-pintu gerbang Sion dari pada segala tempat kediaman Yakub. Namun, sekarang Dia telah meninggalkan tempat itu dan tersulut untuk mundur darinya sehingga, tidak bisa tidak, masa itu berlalu, seperti yang terjadi pada Bait Suci ketika Kristus mengundurkan diri darinya. Lihatlah rumahmu ini akan ditinggalkan dan menjadi sunyi (Matius 23:38).

(2) Petugas-petugas ibadah mereka sama sekali tidak bisa melaksanakan tugas pelayanannya sehari-hari, menjadi tawar hati: Berkeluh kesahlah imam-imamnya karena Bait Suci telah menjadi sunyi senyap. Nyanyian mereka berubah menjadi keluh kesah. Mereka berkeluh kesah karena tidak dapat mengerjakan apa-apa dan alhasil tidak ada yang bisa diperoleh. Mereka berkeluh kesah, seperti rakyatnya (Ratapan 1:11), karena kekurangan roti, sebab korban persembahan untuk Tuhan, yang adalah mata pencarian mereka, tidak ada.

Sungguh inilah waktunya berkeluh kesah jika para imam, yang adalah pelayan Tuhan, berkeluh kesah. Dara-daranya pun, yang biasanya, dengan musik dan tarian, memperindah perayaan hari-hari raya mereka, bersedih pedih dan pilu hati. Secara khusus disebutkan bagaimana dahulunya mereka melayani ketika Sion masih makmur (Di tengah-tengah dayang-dayang yang memalu rebana (Mazmur 68:26), dan karena itu, disebutkan juga bagaimana semuanya itu tidak ada lagi sekarang. Bersedih pedih dara-daranya dan karena itu dia sendiri pilu hatinya. Dengan kata lain, semua penduduk Sion pilu hatinya, yaitu yang hatinya selalu merindukan hari pertemuan raya, yang menanggung cela akibat lenyapnya hari pertemuan raya mereka (Zafanya 3:18).

(3) Tempat-tempat ibadah mereka dinajiskan (Ratapan 1:10): 

Bangsa-bangsa masuk ke dalam tempat kudusnya, ke dalam Bait Suci itu sendiri, padahal orang Israel pun tidak ada yang diizinkan masuk ke sana, betapa pun beribadah dan salehnya orang itu, kecuali para imam saja. Orang awam yang mendekat, sekalipun untuk menyembah di sana, haruslah dihukum mati. Ke sana bangsa-bangsa lain sekarang masuk dan berkoak-koak menghina, bukan untuk menyembah, tetapi untuk menjarah. Allah telah memerintahkan bahwa bangsa-bangsa lain tidak boleh masuk jemaah-Nya, atau di satukan dengan bangsa Yahudi (Ulangan 23:3).

Namun, sekarang bangsa-bangsa itu masuk ke dalam tempat kudus tanpa terkendali. Perhatikanlah, tidak ada yang lebih memedihkan bagi mereka yang sungguh-sungguh terbeban dengan kemuliaan Tuhan, juga tidak ada yang lebih diratapi, daripada pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan, dan penghinaan yang mereka saksikan dibuat bangsa-bangsa asing terhadap benda-benda kudus. Apa yang telah dimusnah-kan musuh di tempat kudus dikeluhkan (Mazmur 74:3-4).

(4) Perkakas ibadah mereka, dan semua benda-benda mewah yang digunakan untuk menghiasi dan memperindah Bait Suci, serta yang digunakan dalam penyembahan kepada Allah, menjadi mangsa musuh (Ratapan 1: 10): Si lawan mengulurkan tangannya kepada segala harta bendanya, mencengkeram semuanya, merampas semuanya, untuk mereka sendiri.

Apa itu semua harta benda ini dapat kita pelajari dari Yesaya 64:11, di mana dalam ayat ini, selain keluhan mengenai terbakarnya Bait Suci, juga ditambahkan, milik kami yang paling indah sudah menjadi reruntuhan. Tabut perjanjian, mezbah, dan semua tanda kehadiran Allah bersama mereka, benda-benda inilah harta benda mereka lebih dari apa pun, dan benda-benda ini sekarang dihancurkan berkeping-keping dan dibawa pergi. Dengan demikian, lenyaplah dari puteri Sion segala kemuliaannya (Ratapan 1:6).

Keindahan kekudusan (LAI: perhiasan kekudusan), adalah keindahan puteri Sion. Saat Bait Suci, rumah yang kudus dan indah itu, dihancurkan, keindahannya pun lenyap. Peristiwa ini adalah pematahan tongkat kemurahan, penarikan kembali jaminan dan materai perjanjian (Zakaria 11:10).

(5) Hari-hari raya mereka dijadikan bahan olok-olok (Ratapan 1:7): 

Para lawan memandangnya, dan mengolok-olokkan hari Sabatnya (LAI: Para lawan memandangnya, dan tertawa karena keruntuhannya). Para lawannya menertawakan orang Yahudi karena dengan teliti memelihara satu dari tujuh hari sebagai hari istirahat dari urusan-urusan duniawi. Juvenal, seorang penyair dari bangsa lain, mencemooh orang Yahudi di zamannya karena kehilangan sepertujuh bagian dari waktu mereka:
– cui septima quaeque fuit lux Ignava et vitae partem non attigit ullam –
Mereka memelihara Sabat mereka dengan membayar harganya.

Alhasil satu dari tujuh hari sirna. Padahal, hari Sabat, jika dikuduskan sebagaimana mestinya, akan lebih memberi keuntungan daripada semua hari lain dalam seminggu. Sekalipun orang Yahudi menyatakan bahwa mereka melakukannya dalam ketaatan kepada Allah mereka, dan untuk kemuliaan-Nya, para lawan mereka bertanya kepada mereka, “Apa yang kalian dapatkan dengan melakukannya sekarang? Keuntungan apakah yang kalian dapatkan dari memelihara peraturan-peraturan Allah kalian, yang sekarang menelantarkan kalian dalam kesesakan?”

Perhatikanlah, betapa suatu kesesakan besar bagi semua orang yang mengasihi Allah saat mendengar peraturan-peraturan-Nya dicemooh, dan terutama hari Sabat-Nya. Sion menyebutnya hari Sabatnya karena hari Sabat diadakan untuk manusia. Hari Sabat adalah ketetapan Allah, tetapi hari Sabat juga adalah hak istimewa Sion. Oleh sebab itu, celaan terhadap hari Sabat diterima oleh Putra Sion dan disimpan saja dalam hatinya. Putra-putri Sion tidak akan memandang hari Sabat, atau ketetapan ilahi lain, menjadi kurang terhormat karena ketetapan tersebut dijadikan bahan cemoohan.

(6) Semua kepedihan ini bertambah lebih besar lagi karena keadaan Yerusalem saat ini adalah benar-benar kebalikan dari keadaannya dahulu (Ratapan 1:7).

 Sekarang, pada hari-hari sengsara dan penderitaannya, ketika segalanya gelap dan suram, terkenanglah Yerusalem akan segala harta benda yang dimilikinya dahulu kala, dan sekarang Yerusalem belajar lebih menghargainya daripada sebelumnya ketika ia dapat menikmatinya sepenuhnya. Allah sering kali mengajar kita nilai belas kasih dengan membuat kita kehilangan belas kasih itu, dan pergumulan yang paling sulit dihadapi oleh orang-orang yang jatuh ke dalam didikan ini dari tingkat kemakmuran yang tinggi. Didikan ini mengiris sampai ke hati Daud ketika ia dihalau dari ketetapan-ketetapan Allah sampai-sampai ia mengenang bagaimana [ia berjalan maju dalam kepadatan manusia ke rumah Allah (Mazmur 42:5).

[II]. Dosa Yerusalem di sini dikeluhkan sebagai penyebab dan pemicu semua malapetaka ini. 

Siapa pun yang menjadi alat-Nya, Allah-Lah perancang semua kesukaran ini. Sungguh, TUHAN membuatnya merana, (Ratapan 1:5) dan Tuhan melakukannya sebagai Hakim yang Adil karena ia berdosa.

1. Dosa Yerusalem, jika hendak dihitung, tidak terhitung banyaknya. Banyakkah kesusahannya? Dosanya lebih banyak lagi. Karena banyak pelanggarannya, TUHAN membuatnya merana. (lihat Yeremia 30:14). Ketika dosa pemberontakan umat bertambah banyak, kita tidak dapat berkata, seperti perkataan Ayub dalam perkaranya sendiri, Dialah yang memperbanyak lukaku dengan tidak semena-mena (Ayub 9:17).

2. Mereka pada dasarnya luar biasa jahat (ayat 8): Yerusalem sangat berdosa, berbuat dosa segala dosa (begitulah istilahnya), dengan disengaja, dan tanpa paksaan. Yerusalem telah berbuat dosa yang, di antara semua dosa lain, merupakan hal yang paling keji dan paling dibenci Tuhan, yaitu dosa penyembahan berhala. Dosa berhala Yerusalem itu, yang membuat pengakuan iman kepada Allah dan menikmati segala keistimewaan, merupakan dosa yang paling jahat dari antara semua dosa lain. Ia sangat berdosa (ayat , dan akibatnya, (Ratapan 1: 9) sangatlah dalam ia jatuh. Perhatikanlah, dosa-dosa yang jahat membawa kehancuran yang dalam. Ada pelaku kejahatan yang dihukum dengan hukuman yang aneh (Ayub 31:3). Dosa itu adalah jenis dosa yang dapat dibaca langsung dari hukumannya.

(a). Mereka tadinya sangat suka menindas maka sudah sewajarnya mereka ditindas (Ratapan 1:3): 

Yehuda telah ditinggalkan penduduknya, dan hal ini terjadi karena sengsara dan karena perbudakan yang berat, karena orang kaya di antara mereka menindas orang miskin, memaksa mereka bekerja dengan kejam, dan terutama (seperti terjemahan dalam bahasa Aram) karena mereka menindas budak-budak Ibrani mereka, dan kejahatan ini didakwakan kepada mereka (Yeremia 34:11). Penindasan adalah salah satu dosa mereka yang berseru-seru (Yeremia 6:6-7) dan dosa itu berseru-seru dengan nyaring.

(b). Yerusalem telah membuat dirinya sendiri nista, maka sudah sewajarnya ia dinistakan. Semua orang menghinanya (ayat . Karena kenajisannya melekat pada ujung kainnya. Tampak dari pakaiannya bahwa Yerusalem telah menggulingkan pakaiannya dalam lumpur dosa. Tiada yang dapat menodai kemuliaan kita jika kita tidak menodainya sendiri.

(c). Yerusalem tadinya sangat damai sentosa maka sudah sewajarnya ia dikejutkan dengan kehancuran ini (Ratapan 1:9): 

ia tak berpikir akan akhirnya. Ia tidak mengindahkan peringatan yang diberikan kepadanya untuk memperhatikan kesudahannya, untuk berpikir apakah yang akan terjadi sebagai kesudahan dari perbuatan-perbuatan jahat yang ia lakukan. Oleh karena itu, sangatlah dalam ia jatuh, dan dengan cara yang mengejutkan, sehingga ia dibuat merasakan apa yang tidak pernah ditakutinya. Oleh sebab itu, Allah akan menimpakan pukulan-pukulan yang ajaib kepadanya.

[III]. Teman-teman Yerusalem di sini dikeluhkan sebagai sahabat-sahabat palsu yang tidak teguh hati dan tidak berperasaan: Teman-temannya mengkhianatinya (Ratapan 1: 2), sehingga, akibatnya, mereka menjadi seterunya. 

Para pengkhianat Yerusalem membuat Yerusalem sama gusarnya seperti yang diperbuat para pemusnahnya. Tongkat yang patah di bawah kita bisa sama menyusahkannya dengan tongkat yang melukai kita (Yehezkiel 29:6-7).


Pemimpin-pemimpinnya, yang seharusnya melindunginya, tidak cukup berani untuk maju menghadapi musuh untuk melindunginya. Para pemimpinnya bagaikan rusa yang begitu mendengar tanda bahaya langsung saja melarikan diri tanpa perlawanan. Malahan, para pemimpinnya bagaikan rusa yang kelaparan karena tidak menemukan padang rumput, sehingga akibatnya mereka berjalan tanpa daya di depan yang mengejarnya, dan karena tidak memiliki kekuatan untuk melarikan diri, mereka lekas menjadi lelah dan dijadikan mangsa. Bangsa-bangsa sekitarnya tidak bersahabat sehingga:

1. Tak ada penolong baginya (Ratapan 1: 7), entah mereka tidak bisa, atau mereka tidak mau. Bahkan,

2. Tiada orang yang menghiburnya, tiada yang bersimpati terhadapnya, atau memberi nasihat apa pun untuk mengurangi kesedihannya (Ratapan 1:7, 9). Seperti sahabat-sahabat Ayub, mereka menganggap penghiburan tidak ada gunanya, penderitaan Yerusalem sangat berat, dan penghibur sialan mereka semua dalam perkara ini.

[IV]. Mereka mengeluhkan Allah Yerusalem mengenai semua malapetaka ini, dan semua keluhan mereka ditujukan untuk memohon belas kasihan-Nya (Ratapan 1:9): “Ya, TUHAN, lihatlah sengsaraku, dan perhatikanlah,” dan (Ratapan 1:11), “Lihatlah, ya TUHAN, pandanglah, dan ambillah tindakan.” 

Perhatikanlah, satu-satunya cara untuk mendapat kelegaan dari beban kita adalah dengan menyerahkan beban kita dahulu kepada Allah, dan membiarkan Allah melakukan apa yang dipandang-Nya baik bagi kita.
Next Post Previous Post