RATAPAN 3:37-41: KEWAJIBAN-KEWAJIBAN ORANG YANG MENDERITA

Matthew Henry (1662-1714)

Ratapan 3:37-41

Supaya kita berhak atas penghiburan-penghiburan yang diberikan kepada orang yang menderita dalam ayat-ayat sebelumnya, dan dapat mengecap manisnya penghiburan-penghiburan itu, di sini kita mendapati kewajiban-kewajiban yang diperintahkan kepada kita dalam keadaan menderita. Dengan melaksanakannya, kita dapat mengharapkan penghiburan-penghiburan itu.

[I]. Kita harus melihat dan mengakui tangan Allah dalam segala musibah yang menimpa kita setiap saat, entah yang bersifat pribadi atau umum (Ratapan 3:37-38). 
RATAPAN 3:37-41: KEWAJIBAN-KEWAJIBAN ORANG YANG MENDERITA)
Hal ini dipaparkan di sini sebagai kebenaran agung, yang akan membantu menenangkan roh kita di bawah penderitaan-penderitaan kita dan menguduskan penderitaan-penderitaan itu bagi kita.

1). Bahwa, apa pun tindakan-tindakan manusia, Allah ada di atas semua tindakan manusia itu: Siapa berfirman, maka semuanya jadi? (yang merancangkan sesuatu dan membuat rancangan-rancangan-Nya terwujud), bukankah Tuhan yang memerintahkannya? Manusia tidak dapat berbuat apa-apa selain melakukan apa yang sesuai dengan putusan hikmat Allah. 

Juga, manusia tidak dapat berkuasa atau berhasil sama sekali jika itu tidak diberikan kepada mereka dari atas. Hati manusia memikir-mikirkan jalannya. Ia merencanakan dan menetapkan tujuan-tujuan. Ia berkata akan berbuat ini dan itu (Yakobus 4:13).

Tetapi TUHAN yang menentukan arah langkahnya yang jauh berlawanan dengan apa yang sudah dirancangkannya, dan apa yang disusun dan diharapkannya tidak akan terjadi, kecuali sudah ditentukan akan terjadi oleh tangan Allah dan putusan hikmat-Nya (Amsal 16:9); Yeremia 10:23). Orang-orang Kasdim berkata bahwa mereka akan menghancurkan Yerusalem, dan itu terjadi, bukan karena mereka mengatakannya, melainkan karena Allah memerintahkannya dan menugaskan mereka untuk melakukannya. 

Perhatikanlah, manusia hanyalah alat yang dipakai oleh Allah yang agung, dan yang diatur-Nya sesuai kehendak-Nya, dalam memerintah dunia bawah ini. Mereka tidak dapat mencapai satu pun tujuan mereka tanpa Dia.

2. Bahwa, apa pun bagian yang diterima orang, Allah yang mengaturnya: Bukankah dari mulut Yang Maha tinggi keluar apa yang buruk dan apa yang baik? Ya, tentu saja. Dan itu diungkapkan secara lebih tegas dalam bahasa aslinya: Bukankah yang buruk ini, dan yang baik ini, keluar dari mulut Yang Maha tinggi? Bukankah itu sudah ditetapkan dan ditentukan-Nya untuk kita? Ya, tentu saja. Dan untuk mendamaikan kita dengan penderitaan-penderitaan kita sendiri, apa pun itu, kebenaran umum ini harus diterapkan secara khusus seperti itu. 

Penghiburan ini aku terima dari Allah, dan apakah aku tidak mau menerima keburukan ini juga? Demikian Ayub mengemukakan alasan (Ayub 2:10).

Adakah kita sehat atau sakit, kaya atau miskin? Apakah kita berhasil dalam rancangan-rancangan kita, atau gagal mewujudkannya? Itu semua sudah diatur Allah. Dari TUHAN orang menerima keadilan. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil. Ia menjadikan terang dan menciptakan gelap, seperti yang dilakukan-Nya pada awal mula. Perhatikanlah, semua peristiwa yang terjadi dalam Pemeliharaan ilahi adalah buah-buah dari keputusan hikmat ilahi. 

Apa pun yang terjadi, Allah yang mengarahkannya, dan perbuatan-perbuatan tangan-Nya selaras dengan perkataan-perkataan mulut-Nya. Ia berfirman, maka jadilah, demikian mudahnya, demikian berhasilnya semua tujuan-Nya dipenuhi.

[II]. Kita tidak boleh berbantah dengan Allah atas penderitaan apa saja yang ditimpakan-Nya kepada kita setiap saat (Ratapan 3:39): 

Mengapa orang hidup mengeluh? Sang nabi di sini tampak menegur dirinya sendiri atas keluhan yang sudah dibuatnya di bagian awal pasal ini, yang di dalamnya ia tampak mencela Allah sebagai tidak baik dan keras. “Pantaskah aku marah? Mengapa aku resah seperti itu?” Mereka yang secara tergesa-gesa mencaci Allah haruslah, setelah merenungkannya, mencaci diri mereka sendiri karenanya. Dari ajaran tentang pemeliharaan Allah yang berdaulat dan meliputi semuanya, yang telah ditegaskannya dalam ayat-ayat sebelumnya, ia menarik kesimpulan ini, mengapa orang hidup mengeluh? Apa yang dilakukan Allah, kita tidak boleh membuka mulut untuk menentangnya (Mazmur 39:10).

Orang-orang yang menyalahkan nasib mereka mencela Allah yang telah menetapkannya untuk mereka. Orang-orang yang menderita dalam pembuangan harus berserah pada kehendak Allah dalam segala penderitaan mereka. Perhatikanlah, meskipun kita boleh mencurahkan keluhan-keluhan kita di hadapan Allah, kita sama sekali tidak boleh menunjukkan keluhan-keluhan terhadap Allah. Ah! Mengapa orang hidup mengeluh? Biarlah setiap orang mengeluh tentang dosanya! Alasan-alasan yang di sini ditegaskan sangat kuat.

1). Kita adalah manusia. Marilah dalam hal ini kita menunjukkan diri kita sebagai manusia. Akankah seorang manusia mengeluh? Dan lagi, seorang manusia! Kita adalah manusia, dan bukan binatang, makhluk yang berakal, yang harus bertindak dengan akal budi, yang harus melihat ke atas dan ke depan, dan dari kedua arah itu kita bisa mendapat pertimbangan yang cukup untuk membungkam keluhan-keluhan kita. 

Kita adalah manusia dewasa, dan bukan anak-anak yang menangis setiap kali ada yang menyakiti. Kita adalah manusia, dan bukan dewa, bawahan, dan bukan tuan-tuan. Kita bukanlah tuan atas diri kita sendiri, bukan yang membentuk kehidupan kita sendiri. Kita terikat dan harus patuh, harus tunduk.

Kita adalah manusia, dan bukan malaikat, dan karena itu tidak dapat berharap akan terbebas dari masalah seperti malaikat. Kita bukanlah penduduk dunia seperti demikian di mana tidak ada kesedihan, melainkan penduduk dunia ini di mana tidak ada hal lain selain kesedihan. Kita adalah manusia, dan bukan setan, tidak berada dalam keadaan yang tercela, tak tertolong, dan tanpa harapan seperti keadaan setan, tetapi memiliki sesuatu yang tidak mereka miliki, yang dengannya kita dapat menghibur diri kita sendiri.

2. Kita adalah manusia yang hidup. Oleh tangan yang baik dari Allah kita atas diri kita, kita masih hidup, meskipun kita menuju kematian setiap hari. Dan akankah orang hidup mengeluh? Tidak. Lebih beralasan baginya untuk bersyukur atas kehidupan daripada mengeluhkan beban-beban dan derita-derita hidup. Hidup kita rapuh dan menyusut, namun kita masih hidup. Nah, hanyalah orang yang hidup, dialah yang harus mengucap syukur, dan bukan mengeluh (Yesaya 38:19). Selama ada hidup, masih ada harapan, dan karena itu, bukannya mengeluh bahwa segala sesuatunya buruk, kita harus membesarkan hati kita dengan harapan bahwa segala sesuatunya akan menjadi lebih baik.

3. Kita adalah orang-orang berdosa, dan apa yang kita keluhkan adalah hukuman yang adil atas dosa-dosa kita. Bahkan, hukuman itu jauh lebih kecil daripada yang pantas didapatkan akibat kejahatan-kejahatan kita. Hanya sedikit alasan kita untuk mengeluhkan permasalahan kita, sebab itu terjadi karena perbuatan kita sendiri. 

Kita sendirilah yang harus disalahkan. Kefasikan kita sendiri menghajar kita (Amsal 19:3). Kita tidak mempunyai alasan untuk berseteru dengan Allah, sebab Ia bertindak benar di dalamnya. Dia adalah penguasa dunia, dan perlu bagi-Nya untuk mempertahankan kehormatan pemerintahan-Nya dengan menghukum orang-orang yang tidak taat. Apakah kita menderita karena dosa-dosa kita?

Maka janganlah kita mengeluh. Sebab kita mempunyai pekerjaan lain untuk dilakukan. Bukannya bersungut-sungut, kita harus bertobat. Dan, sebagai bukti bahwa Allah berdamai dengan kita, kita harus berusaha mendamaikan diri kita sendiri dengan kehendak-Nya yang kudus. Apakah kita dihukum karena dosa-dosa kita? 

Maka berhikmatlah kita jika tunduk, dan mencium cambuk-Nya. Sebab, jika kita tetap berjalan dengan menentang Allah, Ia akan menghukum kita tujuh kali lipat lebih berat. Karena apabila Ia menghakimi, Ia akan menang. Sebaliknya, jika kita menyesuaikan diri kita dengan Dia, maka meskipun kita menerima hukuman dari Tuhan, kita tidak akan dihukum bersama-sama dengan dunia.

III. Kita harus memberi diri untuk memenuhi maksud Allah dalam menimpakan penderitaan atas diri kita, karena itu untuk mengingatkan kita akan dosa kita, dan untuk membawa kita kembali kepada diri-Nya (Ratapan 3:40). 

Inilah dua hal yang harus kita perbuat melalui penderitaan-penderitaan kita :

1. Menimbang dengan sungguh-sungguh diri kita sendiri dan merenungkan kehidupan kita yang dulu. Marilah kita menyelidiki dan memeriksa hidup kita, selidikilah seperti apa hidup kita selama ini, lalu periksalah apakah itu sudah benar dan baik atau tidak. Selidikilah seperti menyelidiki seorang penjahat yang sedang menyamar, yang melarikan diri dan bersembunyi, lalu periksalah apakah ia bersalah atau tidak. Biarlah hati nurani dipakai baik untuk menyelidiki maupun memeriksa, dan biarlah ia berlaku dengan setia, menyelidiki dengan tekun dan memeriksa tanpa berat sebelah.

Marilah kita memeriksa hidup kita, supaya melaluinya kita dapat memeriksa diri kita sendiri, sebab kita harus menghakimi keadaan kita bukan berdasarkan keinginan kita yang samar-samar, melainkan berdasarkan langkah-langkah yang kita ambil, bukan berdasarkan satu langkah secara khusus, melainkan berdasarkan jalan-jalan kita, tujuan-tujuan yang ingin kita capai, aturan-aturan yang menuntun kita, dan sesuainya sikap pikiran dan arah hidup kita dengan semua tujuan dan aturan itu. 

Apabila kita sedang menderita, itulah saat yang tepat untuk memperhatikan keadaan kita (Hagai 1:5), supaya apa yang salah dapat ditinggalkan dengan bertobat dan diperbaiki di masa depan, dan dengan demikian kita dapat memenuhi maksud dari penderitaan itu.

Pada saat ada musibah yang menimpa semua orang, kita cenderung merenungkan hidup orang lain, dan mempersalahkan hidup mereka itu. Padahal yang harus kita kerjakan adalah menyelidiki dan memeriksa hidup kita sendiri. Kita mempunyai cukup banyak pekerjaan untuk dilakukan di rumah sendiri. Tiap-tiap dari kita harus berkata, “Apa yang sudah kuperbuat? Apa bagian yang sudah aku lakukan sehingga mengobarkan api yang menghanguskan semuanya ini?” sehingga tiap-tiap dari kita dapat memperbaiki diri sendiri, baru kemudian kita semua akan diperbaiki.

2. Bertobat dengan tulus hati kepada Allah: “Marilah kita berpaling kepada TUHAN, kepada Dia yang sedang berpaling melawan kita dan yang dari-Nya kita sudah berpaling. Kepada Dia marilah kita berpaling melalui pertobatan dan pembaruan diri, kepada pemilik dan penguasa kita. Kita sudah bersama-sama dengan Dia, dan keadaan kita tidak pernah baik sejak kita meninggalkan Dia. 

Oleh sebab itu, marilah sekarang kita berpaling lagi kepada-Nya.” Pertobatan dan pembaruan diri harus mengikuti penyelidikan diri dan menjadi buah darinya. Itulah mengapa kita harus menyelidiki dan memeriksa hidup kita, yaitu supaya kita dapat berbalik dari kejahatan hidup kita untuk datang kepada Allah. Inilah cara yang dipakai Daud. Aku memikirkan jalan-jalan hidupku, dan melangkahkan kakiku menuju peringatan-peringatan-Mu (Mazmur 119:59).

[IV]. Kita harus mempersembahkan diri kita kepada Allah, serta perasaan-perasaan dan pelayanan-pelayanan terbaik kita, dalam nyala api ibadah (Ratapan 3:41). 

Ketika kita dalam penderitaan,

1. Kita harus menengadah kepada Allah sebagai Allah di surga, yang secara tak terhingga mengatasi kita, dan yang memiliki kekuasaan yang tak dapat dilawan atas diri kita. Sebab Surgalah yang mempunyai kekuasaan, dan karena itu tidak boleh dibantah, tetapi harus dipatuhi.


2. Kita harus berdoa kepada-Nya, dengan berharap dan percaya akan menerima rahmat dari Dia. Sebab hal itu tersirat ketika dikatakan kita mengangkat tangan kepada-Nya (sebuah sikap tubuh yang biasa dipakai dalam doa dan kadang-kadang diartikan sebagai doa itu sendiri, seperti Mazmur 141:2, biarlah tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang). Itu menandakan bahwa kita meminta rahmat dari Dia dan siap menerima rahmat itu.

3. Hati kita harus mengiringi doa-doa kita. Kita harus mengangkat hati dan tangan kita, seperti kita harus mencurahkan hati kita dengan kata-kata yang kita ucapkan. Hatilah yang dilihat Allah dalam ibadah itu dan ibadah-ibadah lain. Sebab apa gunanya korban persembahan jika tanpa hati? Jika kesan-kesan di dalam batin tidak sedikit banyak sesuai dengan ungkapan-ungkapan lahiriah, kita hanya mengolok-olok Allah dan menipu diri kita sendiri. 

Berdoa adalah mengangkat jiwa kepada Allah (Mazmur 25:1), kepada Bapa kita di surga. Dan jiwa yang berharap untuk bersama-sama dengan Allah di surga untuk selama-lamanya, akan tetap berusaha, dengan sering-sering beribadah, untuk mencari jalan ke sana dan bergerak maju di jalan itu.
Next Post Previous Post