1 Korintus 4:1-5: Pelayan Setia dan Penilaian Akhir

Dalam perjalanan kehidupan kristiani, kita sering kali dihadapkan pada ayat-ayat Alkitab yang mungkin terlihat rumit atau sulit dipahami pada pandangan pertama. Salah satu ayat yang demikian adalah 1 Korintus 4:1-5. Ayat-ayat ini membawa kita ke dalam pemahaman mendalam tentang peran pemimpin rohani, penilaian manusia, dan penghakiman akhir oleh Tuhan.

Alur pemikiran Paulus dalam 1 Korintus 4:1-5 dapat diuraikan sebagai berikut:

Inti: Para Rasul adalah Hamba Kristus (1 Korintus 4:1) 
1 Korintus 4:1-5: Pelayan Setia dan Penilaian Akhir
Paulus berkeinginan agar orang lain menganggapnya dan para pemimpin lain sebagai "hamba-hamba Kristus" (1 Korintus 4:1a). Kata Yunani "hyperetes" lebih tepat diterjemahkan sebagai "pelayan" (KJV/ASV "minister") atau "asisten." Terjemahan "hamba" mungkin memberikan kesan "budak," namun seorang "hyperetes" bukanlah seorang budak; mereka adalah individu yang merdeka. 

"Hyperetes" pernah digunakan untuk Yohanes Markus yang membantu Paulus dan Barnabas dalam pekerjaan misi (Kisah Para Rasul 13:5). Di tempat lain (Roma 1:1; Titus 1:1), Paulus memang menyebut dirinya sebagai "doulos" (hamba) Allah, tetapi ini bukan makna yang ingin dia tekankan dalam 1 Korintus 4:1.

Paulus bukan hanya seorang "hyperetes," tetapi ia adalah pemimpin dari semua pelayan. Ia adalah "oikonomos" (1 Korintus 4:1b, LAI:TB "yang kepadanya dipercayakan"), yaitu seseorang yang dipercayakan sepenuhnya untuk mengelola sesuatu, termasuk uang, rumah, atau properti lainnya. Mayoritas terjemahan memilih kata "penatalayan" (steward, KJV/ASV/RSV/NASB). 

Sesuai dengan budaya pada masa itu, oikonomos bertugas mewakili pemilik untuk membuat keputusan tentang segala sesuatu. Keputusan ini adalah keputusan dari sang pemilik. Salah satu contoh yang kita kenal adalah Yusuf, yang diberi tanggung jawab penuh di rumah Potifar (Kejadian 39:4).

Sebagai oikonomos rohani, Paulus dipercayakan dengan "rahasia-rahasia Allah" (1 Korintus 4:1c). Sebelumnya, kita telah membahas bahwa "rahasia" (mysterion) merujuk pada sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui tetapi kemudian diwahyukan oleh Allah. Dalam konteks ini, "rahasia Allah" merujuk pada Injil. Injil adalah hikmat Allah yang tersembunyi sejak zaman purbakala tetapi sekarang dinyatakan dalam Kristus Yesus (2:7).

Konsekuensi (1 Korintus 4:2-5) 

Menjadi "hyperetes" dan "oikonomos" Kristus bukanlah tanggung jawab yang sepele. Ada beberapa konsekuensi besar yang menanti di depan. Hal ini dapat dimengerti karena Tuan kita adalah sosok yang mulia dan apa yang dipercayakan kepada kita adalah harta rohani yang sangat berharga. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tugas ini membawa konsekuensi tertentu.

1. Harus dapat dipercaya (1 Korintus 4:2) 

Sebagai orang yang dipercayakan, kepercayaan dari Tuan memiliki peran yang sangat penting. Ini adalah hal pertama yang Paulus sebutkan ketika membicarakan konsekuensi menjadi pelayan Kristus. Apa yang dimaksud dengan "dapat dipercaya" di sini? Dalam teks asli, kata yang digunakan adalah "pistos," yang berarti "setia."

Kesetiaan di sini bukan hanya tentang lamanya seseorang bekerja. Lebih kepada ketaatan pelayan terhadap instruksi yang diberikan oleh Tuan. Dua contoh penggunaan kata "oikonomos" dalam Alkitab menunjukkan bahwa lama bekerja bukanlah hal yang utama. Yang paling penting adalah apakah seseorang selalu siap untuk menjalankan tugasnya ketika Tuan datang (Lukas 12:42-43) atau apakah seseorang menjalankan wewenang yang telah diberikan oleh Tuan dengan benar (Lukas 16:1-2; kata "bendahara" dalam ayat ini menggunakan "oikonomos").

Ketika Paulus menekankan nilai kesetiaan dalam konteks tugas para pemimpin rohani, ia sebenarnya mengkritik pandangan jemaat Korintus yang salah. Bagi mereka, seorang pemberita Injil dinilai berdasarkan kemampuan berbicara atau kebijaksanaan yang dimiliki. Bagi Paulus, keberhasilan seorang pemberita Injil dinilai berdasarkan kesetiaannya terhadap Injil itu sendiri. Beberapa jemaat yang mencoba menggantikan Injil dengan hikmat dunia tentu saja tidak dapat dianggap sebagai pelayan yang dapat dipercaya.

2. Tidak memandang penghakiman manusia sebagai yang utama (1 Korintus 4:3-4a, 5a) 

Sebagai pelayan Kristus yang melayani kebutuhan keselamatan orang lain, kita terkadang tergoda untuk mencari persetujuan manusia. Kita ingin menyenangkan hati orang lain, meskipun keinginan ini tidak selaras dengan status sebagai pelayan Kristus (Galatia 1:10). Akibatnya, pelayan Kristus sering kali terlalu memperhatikan penilaian manusia. Ketika mereka dikritik oleh mereka yang dilayani, mereka dapat merasa putus asa dan kecewa. Ketika mereka mendapat pujian dari jemaat, mereka dapat terjebak dalam kesombongan. Untuk menghindari kedua hal ini, seorang pelayan harus memandang penilaian manusia bukan sebagai hal yang paling penting.

Mengapa penilaian manusia tidak sebesar yang sering kita bayangkan? Karena manusia tidak memiliki hak untuk menghakimi sesama manusia. Kita adalah sesama hamba dan tidak boleh saling menghakimi. Ketika kita menghakimi sesama hamba, kita sebenarnya ikut campur dalam urusan Tuan yang memiliki hamba tersebut. Dalam Roma 14:4, Paulus memberikan teguran tegas, "Siapa kamu sehingga kamu menghakimi hamba orang lain? Entah dia berdiri, entah dia jatuh, itu adalah urusan Tuan-Nya sendiri. Tetapi dia akan tetap berdiri, karena Tuhan memiliki kekuatan untuk membuatnya bertahan."

Alasan kedua mengapa penilaian manusia tidak terlalu penting adalah karena manusia tidak dapat mengenal hati sesamanya dengan mendalam. Mereka sering kali salah dalam menilai, bahkan diri mereka sendiri. Hal ini berbeda dengan penghakiman Allah, karena Allah mampu menyelidiki hati manusia dan segala sesuatu yang tersembunyi (1 Korintus 4:5b; Roma 2:16).

Paulus berusaha menjelaskan siapa yang dimaksud dengan "manusia" dalam konteks ini. Pertama-tama, itu adalah jemaat (ayat 3a, "dihakimi oleh kamu"). Selanjutnya adalah pengadilan manusia (ayat 3b), yang kemungkinan merujuk kepada orang-orang non-Kristen. Mereka jelas tidak memiliki kualifikasi untuk menghakimi karena mereka tidak dapat memahami hal-hal rohani (1 Korintus 2:14-15; lihat juga 1 Korintus 6:6). Yang terakhir adalah diri Paulus sendiri (1 Korintus 4:3c-4a). 

Meskipun ia mengakui bahwa ia "tidak menyadari sesuatu" (secara harfiah, "hati nuraninya murni" [NIV] atau "tidak ada yang menuduh hati nuraninya" [NASB/RSV]), ia tidak merasa berhak untuk menghakimi dirinya sendiri. Perasaan benar tidak pantas dijadikan tolok ukur. Bukankah sering kali beberapa di antara kita merasa benar padahal sebenarnya kita lebih berdosa? Sikap Paulus yang enggan bergantung pada penilaian pribadinya sendiri mungkin berkaitan dengan masa lalunya. Ia dulu menganggap dirinya benar dan patuh kepada Allah dengan sempurna (Filipi 3:6), tetapi ia melakukannya tanpa pengetahuan (1 Timotius 1:13).

Jika manusia tidak layak menghakimi orang lain, maka kita juga tidak boleh menghakimi orang lain. Kita harus menunggu sampai hari penghakiman Tuhan di akhir zaman (1 Korintus 4:5a). Secara harfiah, 1 Korintus 4:5a seharusnya diterjemahkan sebagai "berhentilah menghakimi sebelum waktunya" (NASB "do not go on passing judgment before the time"). Jemaat Korintus memang sudah melakukan penghakiman. Paulus meminta mereka untuk menghentikan sikap tersebut.

Larangan ini tentu saja tidak berarti bahwa orang Kristen dilarang menilai atau membuat keputusan. Paulus bahkan meminta jemaat untuk menghakimi orang bejat di dalam jemaat (1 Korintus 5:12) atau menyelesaikan sengketa di antara mereka (1 Korintus 6:5). Jadi, bagaimana kita mengharmoniskan hal ini? Kata Yunani "krino" memiliki beragam arti: menghakimi, menilai, memberikan keputusan hukum, dll., tergantung pada konteks penggunaannya. 

Dalam kasus keputusan rohani yang memerlukan penilaian, kita tentu saja diperbolehkan menilai masalah tersebut berdasarkan firman Tuhan dan mengambil tindakan yang sesuai. Ini jelas berbeda dengan menghakimi orang lain dalam arti menganggap orang tersebut salah dengan niat jahat.

3. Menyadari bahwa Tuhan kita akan menghakimi kita di akhir zaman (1 Korintus 4:4b, 5b) 

Seorang "oikonomos" harus memberikan pertanggungjawaban ketika Tuan datang. Sang Tuan akan menilai hasil kerja orang yang telah Dia percayai. Hal yang sama berlaku juga untuk "oikonomos" rohani. Kita harus menghadap Tuhan kita dan bersiap-siap untuk dinilai oleh-Nya.

Kata "kurios" ("Tuhan") dalam 1 Korintus 4: 4b hampir pasti merujuk kepada Kristus, karena para rasul adalah hamba-hamba Kristus (1 Korintus 4:1), sehingga adalah wajar jika mereka akan dihakimi oleh Tuan mereka, yaitu Kristus. Jika hal ini diterima, maka Yesus Kristus dalam 1 Korintus 4:5b digambarkan sebagai Pribadi yang mahatahu. Dia mampu memahami hati manusia dan menyatakan hal-hal yang tersembunyi. 

Penjelasan ini dalam konteks Yahudi pada waktu itu sangat mengejutkan, karena hak untuk menghakimi dan kemampuan untuk melihat hal-hal yang tersembunyi adalah sifat khas Allah (1 Samuel 16:7; 1 Tawarikh 28:9; Mazmur 139:1, 11-12; Yeremia 17:10; Matius 6:4, 6, 18; Roma 2:16; Ibrani 4:12-13).

Dalam penghakiman biasanya terdapat dua hasil: upah dan hukuman. Ketika Kristus menjalankan penghakiman nanti, Dia juga akan memberikan upah dan hukuman. Menariknya, Paulus tidak membahas tentang hukuman sama sekali. Sebaliknya, ia justru berharap bahwa setiap orang akan menerima pujian dari Allah (1 Korintus 4:5c). Ia tidak berharap agar para pengkritiknya menerima hukuman. Meskipun jemaat membenci dia, Paulus tetap berharap yang terbaik bagi mereka.

Upah berupa "pujian" mungkin terlihat biasa bagi orang modern yang terpengaruh oleh materialisme. Kita sering menilai usaha keras kita dengan gaji yang tinggi atau kenaikan jabatan. Namun, hal ini sangat berbeda dengan mentalitas orang-orang pada zaman dahulu. Mereka tidak terlalu memedulikan besaran gaji atau posisi, tetapi mereka sangat menghargai pujian dari tuan mereka. Mereka bekerja untuk tuan mereka, bukan untuk mendapatkan uang atau kedudukan. 

Kita juga harus memahami bahwa seorang "oikonomos" sudah memiliki kedudukan tertinggi di bawah pemilik dan mereka dapat menikmati segala yang dimiliki oleh tuan mereka. Mereka bekerja untuk memuaskan hati tuan mereka, sebagai bentuk balas budi atas kepercayaan yang telah diberikan kepada mereka.
Next Post Previous Post