7 Praktik Hidup Baru Di Dalam Kristus (Efesus 4:25-32)

Paulus menasihatkan tentang berjalan dalam kekudusan di dalam jemaat dan pribadi orang percaya. Secara umum dalam Efesus 4:2, Paulus menasihatkan bahwa orang percaya yang berkumpul dalam jemaat hendaklah memiliki sifat rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Orang percaya harus menunjukkan kasih dalam hal saling membantu. Sikap hati seperti itu memampukan orang percaya untuk dapat melakukan praktik hidup baru. Tentu semua ini juga terjadi oleh pertolongan Roh Kudus. 
7 Praktik Hidup Baru Di Dalam Kristus  (Efesus 4: 25-32)
Setelah Paulus menjelaskan tentang kesatuan jemaat sebagai tubuh Kristus dan Kristus sebagai Kepala (Efesus 4:1-16). Paulus menasihatkan kepada orang percaya untuk mempraktikkan kehidupan kudus itu secara pribadi dan berjemaat. Dalam Efesus 4:25-32, Paulus memberikan contoh atau tindakan praktis yang harus dilakukan oleh orang percaya sebagai implikasi hidup baru dan status sebagai manusia baru di dalam Kristus.

7 Praktik Hidup Baru Di Dalam Kristus (Efesus 4:25-32)

1. Berkata yang Benar

“Karena itu tanggalkanlah dusta, berkatalah kata yang benar, setiap orang dengan sesamanya, karena kita adalah sesama anggota tubuh” (Efesus 4:25). Dalam Perjanjian Lama beberapa ayat tentang berkata dusta. “Allah membinasakan orang-orang yang berkata bohong, TUHAN jijik melihat penumpah darah dan penipu” (Mazmur 5:7). Allah membenci perkara lidah dusta dan saksi dusta. “Seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara” (Amsal 6:19).

Orang-orang percaya sebagai pengikut Kristus yang di dalamnya kebenaran menjadi nyata hendaknya dikenal dalam jemaat sebagai orang jujur yang perkataannya dapat dipercaya. Kata “sesama anggota” merujuk kepada hubungan antar anggota jemaat yang lebih akrab lagi, karena orang-orang percaya adalah sesama anggota.

Persekutuan dibangun di atas kepercayaan, dan kepercayaan dibina di atas kebenaran. Pendusta merusak persekutuan dan menjauhkan persekutuan dengan Allah, tetapi orang yang berkata benar mengukuhkan persekutuan.

Kewajiban orang percaya terhadap orang lain hanyalah separuh gambaran. Orang percaya bukan hanya membahayakan individu lain dengan kesaksian atau bersumpah palsu, melainkan juga tidak menghormati Allah dengan ke tidak benaran. Ia adalah Allah kebenaran dan Ia membenci kebohongan (bdg. Yesaya 65:16; Yohanes 14:6). Alkitab mengatakan “Sesungguhnya, Engkau berkenan akan kebenaran dalam batin” (Mazmur 51:8). Alkitab mengatakan bahwa orang yang taat kepada Allah “tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi kepada kebenaran” (1 Korintus 13:6).

Lidah tidak hanya dapat berdusta, tetapi juga dapat mengucapkan perkataan kotor. Paulus menasihatkan orang percaya untuk memakai perkataan yang baik untuk membangun di mana perlu, supaya orang lain yang mendengarnya beroleh kasih karunia. Stott mengatakan bahwa “Daripada menyakiti hati orang lain, baiklah mensyukuri karunia Allah itu dengan berbicara santun guna membangun, bukan membinasakan, sehingga orang yang mendengar perkataan kita beroleh kasih karunia.” Orang yang mendengarkan perkataan yang baik dan benar mendapat kasih karunia. Sebab kasih karunia itu adalah Allah sendiri dan Allah adalah kebenaran.

Perkataan yang membangun adalah perkataan yang sesuai dengan perkataan Kristus, kudus dan membangun tubuh Kristus. Paulus menasihatkan orang percaya untuk tidak berbicara kotor, sebaliknya ia menganjurkan agar kita berbicara secara positif. Orang Kristen sebaiknya dapat dikenal dari perkataan-perkataannya yang bersifat menolong sesama manusia. 

Hal itulah yang dimaksudkan oleh Moffat ketika ia mengutip pujian yang disampaikan oleh Elifas orang Teman itu kepada Ayub, katanya: “orang yang jatuh telah dibangunkan oleh kata-katamu, dan lutut yang lemas telah kau kokohkan!” (Ayub 4:4). Kata-kata yang menyakitkan dan busuk (dalam bahasa Yunani; sapros) dapat memengaruhi pertumbuhan karakter orang yang mendengarnya, bahkan dapat “membunuh” karakter.

Paulus menasihatkan perkataan yang membangun dan bukan yang membinasakan. Yesus juga mengajar perihal pentingnya perkataan. Kata-kata yang diucapkan menyatakan isi hati, dan setiap kata sia-sia yang diucapkan orang harus dipertanggungjawabkannya pada hari penghakiman (Matius 12:36). Rasul Yakobus mengulangi ajaran Yesus, ketika ia menekankan betapa besarnya kuasa lidah untuk membuat yang baik atau jahat (Yakobus 3:1-12). Orang percaya harus mempertimbangkan setiap perkataan yang keluar dari mulut sebelum mengucapkannya.

2. Kemarahan yang Benar

“Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah memberi kesempatan kepada iblis” (Efesus 4:26-27). Paulus menyiratkan adanya marah kristiani yaitu marah yang timbul karena ketidakbenaran dan adanya dosa dalam jemaat dan pribadi seseorang. Dan apabila kita marah dalam arti angkara murka itu berarti kita menyangkal di hadapan Allah, cenderung merusak diri kita sendiri, dan memberikan kesempatan kepada kejahatan dalam hal ini iblis.

Orang percaya tidak boleh toleran atau apatis dalam menghadapi kejahatan atau dosa, melainkan marah. Allah membenci dosa, maka orang percaya harus membencinya juga. Pemazmur menulis, “aku menjadi gusar terhadap orang-orang fasik yang meninggalkan Taurat-Mu (Mazmur 119:53). Namun marah tidak perlu menjadi dosa apabila orang percaya mau berdamai dengan orang lain. Sebab kemarahan dapat menimbulkan permusuhan di antara jemaat hanya karena persoalan yang sepele yang seharusnya dapat diperbaiki dan didamaikan sebelum matahari terbenam. “Jadilah marah dan jangan berbuat dosa.” 

Thomas Aquinas percaya bahwa marah yang benar adalah melawan dosa diri sendiri dan dosa orang lain diperintahkan tetapi harus diikuti dengan perintah alasan. Kemarahan itu jahat, bagaimanapun hal itu hanya diizinkan tetapi tidak diperintahkan. Dalam kehidupan Kristen diperlukan kemarahan yang benar supaya dunia ini tidak menjadi tempat yang lebih jelek. Orang Kristen dapat marah sebagai tanggung jawab untuk menyatakan kebenaran Allah dan tindakan membenci dosa.

Kata dasar “marah” orge diartikan adalah kemarahan yang menyala atas dosa ataupun perbuatan yang tidak benar. Kemarahan ini adalah kemarahan tanpa kebencian, yang ditujukan kepada ketidakadilan, gejolak emosinya dapat dikontrol karena tujuannya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan. Kata kedua yang berarti marah adalah parogismis yang sebenarnya dapat diartikan sakit hati atau perasaan tersinggung.

Apabila kita membiarkan perasaan itu bertahan semalam saja, iblis sudah menggunakannya sebagai kesempatan untuk membuat kita berdosa (Efesus 4:27). Paulus menasihatkan kepada kita, orang percaya harus memproses marah dengan cepat, tidak membiarkannya berlama-lama tinggal di dalam diri kita sampai matahari terbenam. Prinsipnya adalah marah tidak boleh disimpan di dalam hati, bahkan melakukannya sama saja memberikan kesempatan kepada iblis. Bila kita bekerja sama dengan iblis berarti menyiapkan diri kita untuk berdosa lebih jauh lagi. 

Paulus menasihatkan kita untuk membuang marah di dalam diri kita (bdg. Efesus 4:31; Kolose 3:8). Ini bukanlah suatu indikasi bahwa marah itu sendiri adalah dosa, justru membiarkan marah hidup di dalam kita adalah dosa. Alkitab memperingatkan melalui tulisan Salomo bahwa “amarah menetap dalam dada orang bodoh” (Pengkhotbah 7:9). 

Kata kuncinya adalah menetap; orang bodoh membiarkan marah tinggal di dalam dirinya. Implikasinya mereka yang bijak akan memastikan supaya marah cepat dibuang. Amarah dirancang untuk menjadi tamu, tidak pernah menjadi penghuni, dalam hati manusia. Cara untuk mengatasi kemarahan adalah menolong orang yang bersangkutan untuk mengarahkan energi kemarahan tersebut pada hal-hal yang membangun. 

Hal ini sangat menolong terutama bila kita tidak dapat mengubah hal-hal yang membuat kita marah. Amsal 15:1, “Perkataan yang pedas membangkitkan amarah, tetapi jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman.” Orang percaya yang menegur dengan kasih mendatangkan pemulihan dan pertobatan, sebaliknya teguran dengan kemarahan hanya mendatangkan perselisihan dan dendam.

Dalam penanganan kemarahannya, orang Kristen harus menghormati/takut Tuhan. Gemetar atau “berdiri dalam kegentaran” dari Mazmur 4:4 adalah pengingat yang sangat baik orang percaya harus setiap saat takut Tuhan. Hal ini terutama berlaku dalam penanganan emosi yang meledak seperti marah, dan ia harus berhati-hati untuk merespons dengan cara benar dan tidak masuk ke dalam dosa. “Manusia baru” adalah diciptakan untuk menjadi seperti Allah dalam kebenaran dan kekudusan sesungguhnya (Efesus 4:24).

Sebagian besar Perjanjian Baru menunjukkan kata “kemarahan,” baik kata Yunani orge dan thymos, yang mengacu pada murka Allah (beberapa eskatologis, “kemurkaan yang akan datang”). Kemungkinan kemarahan yang benar tidak dapat dikecualikan. Perintah menurut Efesus 4: 26a memiliki beberapa manfaat, seperti nasihat Calvin menjadi marah pada dosa sendiri, dan Wallace berkesimpulan bahwa kita harus marah pada dosa di dalam gereja dan latihan disiplin gereja. Ini tentu saja konsisten dengan ajaran lainnya dalam Kitab Suci (bdg. Matius 18:15-20; Galatia 6:l, 2; l Korintus 5).

Kemarahan manusia, bagaimanapun adalah hal yang sangat berbahaya, kemarahan terlalu sering mengarah ke dalam dosa, sehingga batas waktu dari ayat 26b dan selanjutnya diikuti oleh peringatan kuat pada Efesus 4:27. Orang percaya harus mempercayakan dirinya untuk penghakiman Allah dan keadilan dalam menghadapi kejahatan, bahkan Yesus sendiri melakukannya (l Petrus 2:23). Kemarahan diharuskan untuk menyatakan kebenaran dan kekudusan secara pribadi dan komunitas gereja. Gereja yang sehat apabila ada disiplin gereja. Salah satunya adalah marah atas dosa dan menegur jemaat yang melakukan dosa dengan penuh kasih dan pengampunan.

Frasa “Jangan berikan kesempatan kepada iblis.” Suatu perselisihan yang dibiarkan tanpa penyelesaian merupakan kesempatan yang sangat menguntungkan bagi iblis untuk membangkitkan perpecahan. Tidak jarang bahwa gereja terpecah dalam kelompok yang saling bertentangan, disebabkan oleh perselisihan antara dua tiga orang yang tidak segera diselesaikan. Amarah yang hanya mementingkan diri sendiri dan yang tak dapat dikendalikan adalah dosa yang sangat keji, dan karenanya harus dibuang dari kehidupan Kristen. 

Tetapi amarah yang diarahkan kepada pelayanan Kristus dan sesama merupakan salah satu kekuatan yang sangat dinamis di dunia ini. Kemarahan menjadi berguna apabila diarahkan untuk menyatakan kebenaran dan kekudusan serta menegakkan keadilan sesuai dengan kebenaran Allah. 

Lebih lanjut frasa “Janganlah memberi kesempatan kepada iblis” adalah kemungkinan besar pengertian inilah yang dimaksudkan oleh Paulus yaitu tidak ada orang di dunia ini yang lebih mampu melakukan kehancuran kecuali si pemfitnah dan penyebar berita bohong. Orang percaya sebagai manusia baru harus mematikan sifat pemfitnah atau sifat iblis di dalam dirinya karena orang percaya sudah dibarui sikap dan pikirannya yaitu pikiran Kristus dan hidup di dalam Kristus (bdg. Kolose 3:5-7) dan diberi kuasa untuk menahan kekuatan musuh dan kuasa iblis.

3. Menjadi Berkat bagi Sesama

Bagian menanggalkan dan mengenakan dalam surat Efesus menyodorkan gambaran lain tentang hidup Kristiani sehari-hari yang sangat praktis. Ketika Paulus mengontraskan kemurahan hati dengan mencuri, kita dapat memetik pelajaran tentang konsep mengenakan karakter kudus sekaligus menanggalkan ciri-ciri berdosa. Orang percaya harus mengenakan kemurahan hati sekaligus menanggalkan ketidakjujuran, mencuri dan dusta. Orang percaya harus mengakui bahwa semua miliknya adalah milik Allah dan orang percaya mau berbagi dengan sesama untuk memberkati apa yang telah diberikan oleh Allah.

Sifat mencuri dari Allah menyebabkan orang percaya gagal menyembah Dia sebagaimana seharusnya. Apalagi ketika orang percaya lebih mendahulukan urusannya daripada urusan-Nya. Orang percaya mencuri dari Dia ketika orang percaya menggunakan waktunya untuk kesenangan pribadi dan tidak menceritakan kepada orang lain tentang anugerah-Nya. 

Sisi positif dari perintah “jangan mencuri” adalah jika orang percaya menahan diri dari mengambil apa yang menjadi milik orang lain, dan juga melakukan segala sesuatu yang bisa dilakukannya untuk menyejahterakan orang lain, menolong mereka memperoleh potensi penuh mereka. Tuhan menyatakan kewajiban ini dalam Hukum Emas: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 7:12). Apa yang ditabur oleh orang, itu pula yang akan dituainya. 

Hal yang menarik dari nasihat Paulus ini ialah alasan yang dipakainya untuk menganjurkan orang-orang menjadi pekerja jujur. Ia tidak berkata: “Jadilah pekerja yang jujur, supaya segala kebutuhanmu terpenuhi.” Tetapi ia berkata: “Jadilah pekerja yang jujur, supaya engkau dapat memberikan sesuatu kepada mereka yang lebih berkekurangan dari padamu.” Ungkapan ini berisi dasar pemikiran dan cita-cita baru, yaitu bekerja untuk dapat memberi. Jemaat tidak mencuri tetapi bekerja keras agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dan berdiakonia kepada orang yang berkekurangan.

Jikalau seseorang suka mencuri, ia harus menghentikan perbuatannya itu dan mulai menggunakan tangannya untuk melakukan pekerjaan yang halal, sehingga ia dapat memberi kepada orang yang berkekurangan (Efesus 4:28 FAYH).

4. Tidak Mendukakan Roh Kudus

Orang percaya bisa mendukakan Roh Kudus dengan hal-hal yang dipikirkan, katakan, atau lakukan, dengan apa yang orang percaya terjatuh dalam dosa atas apa yang dilakukannya, sikap dan kehendak hatinya. Menyalahgunakan tubuh dan pikiran untuk memuaskan keinginan berdosa mendukakan Roh Kudus. Orang percaya juga dapat mendukakan Roh Kudus dengan pikiran dan perkataan jahat terhadap sesama.

Demikian pula mendukakan Roh Kudus bila orang percaya tidak menghormati Allah sepenuhnya di dalam hidupnya. Orang percaya harus hidup bagi kemuliaan-Nya dan kehendak Allah baginya dan tidak berdasarkan keinginan berdosa atau ambisi mementingkan diri sendiri. Sebagai manusia baru dapat menyenangkan Roh Kudus dengan membuang kejahatan dan dosa serta mengenakan kasih dalam kehidupan sehari-hari.

5. Membuang Kejahatan

Tindakan berikutnya dalam Efesus 4:31, daftar kejahatan yang harus dihindari, yang semuanya akan menggerogoti hal-hal vital dalam kehidupan bermasyarakat: “kepahitan” adalah penolakan untuk didamaikan; “kegeraman” adalah kegembiraan sementara dari suatu hasrat, dipertentangkan dengan ”kemarahan” yang lebih menetap, “pertikaian” dan “fitnah” (bukan “penghujatan”) yang menghasilkan permusuhan (bdg. Kolose 3.8); “kejahatan” adalah niat jahat. 

Semua kejahatan ini jelas membuat perselisihan di antara anggota masyarakat dan karena itu harus dihindari. Orang-orang percaya didesak untuk berbuat kebaikan, kelembutan dan pengampunan karena Allah di dalam Kristus telah mengampuni mereka. Emosi negatif berupa kepahitan, kegeraman, amarah serta tindakan berdosa berupa pertikaian dan fitnah harus ditanggalkan dan diganti dengan keramahan, kasih mesra, dan pengampunan (Efesus 4:31-32).

Hal pertama yang perlu dilakukan oleh orang percaya adalah penuh kasih mesra terhadap sesama yaitu penuh dengan belas kasihan, kasih yang tulus yang dicurahkan dari hati. Mengasihi orang-orang harus dilakukan seperti Tuhan mengasihi manusia.

Paul Caram mengatakan bahwa kasih adalah kekuatan untuk mendahulukan orang lain dan kekuatan untuk tidak mementingkan diri sendiri, dan menanggung segala sesuatu.

6. Mengenakan Kasih

Kasih yang berasal dari Allah harus benar-benar tertanam baik dalam kehidupan orang percaya supaya dengan demikian kasih itu juga dapat dinyatakan kepada orang lain. Selain kasih mesra, orang percaya juga harus hidup di dalam pengampunan sama seperti Kristus telah mengampuni semua orang berdosa. Teladan pengampunan dapat dilihat kepada Allah yang telah mengampuni manusia. Pengampunan adalah perbuatan Allah yang timbul dari rahmat-Nya.

Baca Juga: Transformasi Rohani dalam Kristus (Efesus 4:23-24)

“Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10). Sebagai hasil dari buatan Allah, tentu Ia membarui roh dan pikiran kita dengan tujuan pasti yaitu supaya kita melakukan pekerjaan baik, yang sudah dipersiapkan Allah untuk kita hidup. 

Yang dimaksud dengan pekerjaan baik adalah segala sesuatu yang “tinggal di dalam Aku…, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yohanes 15:5). Sebagai sesama anggota tubuh Kristus dan orang-orang kudus harus membuang kejahatan dan mengenakan kata-kata yang lembut untuk membangun supaya orang lain mendapat kasih karunia, jadi ramah, penuh kasih, dan segala sesuatu yang baik menurut standar Allah. 

Kesimpulannya,

Dalam surat Efesus 4:25-32, Paulus menekankan pentingnya berbicara yang benar, mengelola kemarahan dengan bijaksana, menjadi berkat bagi sesama, menghormati Roh Kudus, menolak kejahatan, dan mengenakan kasih. Umat Kristiani dipanggil untuk hidup sesuai dengan standar Allah, memperkuat persekutuan, dan menyebarkan kasih karunia dalam segala aspek kehidupan mereka.
Hengki Wijaya
Next Post Previous Post