Penerimaan dan Penolakan Terang : Yohanes 1:9-11

“Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia. Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.” (Yohanes 1:9-11)

𝐓𝐄𝐑𝐀𝐍𝐆 𝐁𝐀𝐆𝐈 𝐒𝐄𝐓𝐈𝐀𝐏 𝐎𝐑𝐀𝐍𝐆

“Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang sedang datang ke dalam dunia.” (Yohanes 1:9)

Di dalam ayat di atas, Yohanes menerangkan Yesus dengan memakai kata yang sangat penting. Ia katakan bahwa Yesus adalah terang yang sesungguhnya. Di dalam bahasa Yunani ada dua kata yang artinya hampir sama. Kata itu ialah “alethes” dan “alethinos”.“Alethes” berarti “benar” (sebagai lawan kata salah), sedang “alethinos” berarti “asli”, “nyata” (sebagai lawan kata tidak nyata).
Penerimaan dan Penolakan Terang : Yohanes 1:9-11
Apa yang dikatakan oleh Yohanes ialah bahwa Yesus adalah terang yang benar yang menerangi manusia. Sebelum Yesus datang, di dunia ini banyak sekali terang-terang yang lain yang diikuti oleh manusia. Ada terang yang seolah-olah mengandung kebenaran, ada pula yang seolah-olah menunjukkan kenyataan, dan ada pula terang yang sekejap berkilauan, menarik manusia, tapi membawanya ke jurang kegelapan dan meninggalkannya di sana terus. Sampai sekarang, terang seperti itu masih ada, dan masih ada juga manusia yang mengikutinya. Ada terang yang tidak benar, ada terang palsu, dan manusia masih juga mengikutinya. Di atas semuanya itu, Yesus adalah satu-satunya terang yang nyata, asli dan benar, yang membimbing manusia berjalan di jalan yang benar.

Yohanes mengatakan, bahwa dengan kedatangan-Nya di dunia ini, Yesus membawa terang yang nyata kepada manusia. Kedatangan Yesus adalah laksana terang yang bersinar-sinar, laksana datangnya sinar matahari di pagi buta. Seorang pendaki gunung menceritakan, bahwa pada suatu malam yang gelap dan berawan ia berdiri di suatu tebing. Tidak ada yang nampak kecuali kegelapan. Ia tidak menyadari bahaya yang berada di depannya. Tetapi, tiba-tiba datanglah kilat di langit, sehingga ia bisa melihat hampir segala sesuatu yang ada di depannya. Kedatangan Yesus Kristus ke dunia adalah laksana datangnya kilat di dalam kegelapan yang pekat. Ia menyinari segala sesuatu. Ia menyinari kegelapan manusia.

(1) Kedatangan Yesus melenyapkan bayang-bayang ke ragu-ragu an. 

Sebelum Yesus datang manusia hanya bisa membuat dugaan saja tentang Allah. Ada seorang Yunani yang mengatakan: “Alangkah sulitnya untuk menemukan Allah; dan kalau Anda telah menemukan-Nya, maka tidaklah mungkin bagi Anda untuk memberitahu orang lain tentang Allah itu.” Orang yang masih memuja berhala beranggapan, bahwa Allah tinggal di dalam bayang-bayang kegelapan yang tak dapat ditembus oleh manusia atau di dalam terang yang tak dapat ter hampiri. Tapi ketika Yesus datang, manusia bisa melihat rupa Allah dengan senyata-nyatanya. Batang-bayang dan kabut penyelubung telah tiada; masa yang penuh dengan dugaan-dugaan telah berakhir; tak ada lagi kesempatan serta makna dari sikap masa bodoh. Terang itu telah datang.

(2) Kedatangan Yesus melenyapkan bayang-bayang keputusasaan. 

Yesus datang ke dunia yang penuh dengan keputusasaan. Seneca pernah mengatakan: “Manusia menyadari ke tidak-mampuan-nya di dalam menghadapi hal-hal yang sangat perlu.” Mereka merindukan tangan yang mau terulur menolong mereka. “Mereka membenci dosa-dosanya, tapi tidak bisa melepaskan diri dari dosa-dosa itu.” Manusia telah putus asa karena tidak pernah berhasil memperbaiki diri mereka sendiri maupun dunia. 

Tapi dengan kedatangan Yesus Kristus, ada kekuatan baru yang masuk ke dalam hidup manusia. Yesus datang bukan hanya dengan pengetahuan, tetapi juga dengan kekuasaan. Ia datang bukan hanya untuk menunjukkan jalan yang benar kepada manusia, tetapi juga untuk memampukan manusia berjalan di jalan itu. Ia bukan hanya memberikan perintah, tetapi juga menghadirkan diri-Nya sendiri sehingga di mana pun Ia berada, maka tidak ada hal yang tidak mungkin. Kegelapan yang meliputi pesimisme dan keputusasaan ditiadakan-Nya untuk selamanya.

(3) Kedatangan Yesus melenyapkan kegelapan maut. 

Dunia zaman dahulu sangat takut akan maut. Bagi mereka maut merupakan kesudahan hidup yang sangat menakutkan jiwa manusia, atau penyiksaan kekal oleh para dewa dan sangat mengerikan. Tetapi dengan kedatangan, hidup, kematian dan kebangkitan-Nya, Yesus Kristus menunjukkan bahwa maut hanyalah jalan menuju ke kehidupan yang lebih besar. 

Di situ kegelapan ditiadakan. Di dalam salah satu cerita-ceritanya, Stevenson melukis sebuah gambar tentang seorang laki-laki yang lepas dari suatu perkelahian maut. Sambil meninggalkan tempat perkelahian orang itu bernyanyi di dalam hati: “Pahitnya maut telah berlalu.” Oleh karena Yesus, maka pahitnya maut telah berlalu bagi setiap orang.

Selanjutnya, Yesus adalah terang yang masuk ke dalam dunia menerangi setiap orang. Di zaman dulu orang-orang Yahudi bersikap sangat eksklusif. Orang-orang Yahudi membenci orang-orang non-Yahudi serta beranggapan bahwa mereka diciptakan hanya untuk bahan bakar api neraka. Sesungguhnya ada seorang nabi yang di dalam keprihatinannya melihat bahwa keberadaan bangsa Israel yang sebenarnya adalah menjadi terang bagi bangsa-bangsa (Yesaya 42:6; 49:6); tetapi bangsa Israel secara tegas selalu menolak hal itu. 

Dunia Yunani tidak pernah memimpikan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah bagi setiap orang. Bagi mereka pengetahuan adalah hanya untuk mereka sendiri. Dunia Romawi sangat merendahkan orang-orang non-Romawi, dan menganggap mereka biadab, keturunan manusia yang tak punya aturan. Tetapi Yesus datang untuk menjadi terang bagi setiap orang. Hanya Allah Bapa dan Tuhan Yesus Kristus saja -lah yang mempunyai hati dan dada yang lapang dan sanggup meliputi seluruh dunia dan isinya.

𝐓𝐈𝐃𝐀𝐊 𝐃𝐈𝐊𝐄𝐍𝐀𝐋 𝐃𝐀𝐍 𝐓𝐈𝐃𝐀𝐊 𝐃𝐈𝐓𝐄𝐑𝐈𝐌𝐀

“Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.” (Yohanes 1:10-11).

Ada dua hal yang tersirat di dalam pikiran Yohanes ketika ia menulis ayat ini.

(1) Ia melihat kepada zaman sebelum Yesus Kristus datang ke dunia dalam wujud manusia.

Sejak permulaan waktu, Logos Allah aktif di dunia. Pada permulaan karya penciptaan Allah, firman yang dinamis itu telah menjadikan dunia ini; dan sejak semula firman, Logos dan pikiran atau akal Allah itulah yang menjadikan dunia suatu keutuhan yang teratur dan manusia suatu makhluk yang berpikir. Kalau saja manusia itu mempunyai sedikit kemauan untuk melihat-Nya, maka Logos akan selalu dapat dikenal di dalam alam semesta ini.

Pengakuan iman Westminster mulai dengan mengatakan bahwa “sinar terang alam, keberadaan dan keberlangsungan segala yang hidup, benar-benar menyatakan kebaikan, hikmat dan kuasa Allah sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengenal Allah.” Zaman dahulu Paulus telah mengatakan, bahwa semua yang kelihatan di dunia ini telah dengan sengaja diciptakan oleh Allah sedemikian rupa, untuk membimbing akal budi manusia kepada hal-hal yang tidak kelihatan; dan bahwa kalau manusia mau melihat dunia ini dengan mata yang terbuka dan hati yang berpengertian, maka tidak bisa tidak, akal budinya telah akan tertuju kepada sang Pencipta dunia (Roma 1:19-20). Dunia ini selalu merupakan kenyataan yang sedemikian rupa, sehingga kalau dilihat dengan cara yang benar ia akan mengarahkan pikiran manusia kepada Allah.

Ilmu theologia selalu membedakan antara theologia alamiah dan theologia penyataan. Theologia penyataan berkecimpung dengan kebenaran-kebenaran yang langsung disampaikan Allah kepada manusia di dalam kata-kata para nabi, kata-kata Alkitab, dan puncaknya di dalam Yesus Kristus. Theologia alamiah berkecimpung dengan kebenaran-kebenaran yang dapat ditemukan oleh manusia melalui pemakaian pikiran dan akal budi manusia terhadap dunia di mana ia hidup. Sekarang bagaimanakah kita dapat melihat firman Allah, Logos Allah, akal atau pikiran Allah, di dunia yang kita diami ini?

a) Kita harus melihat ke luar (ke arah luar). 

Salah satu pikiran dasar Yunani mengatakan bahwa di mana ada keteraturan di situ tentu ada pikiran atau akal. Kalau kita lihat dunia ini maka kita akan menemukan adanya keteraturan yang mengagumkan. Planet-planet berjalan tetap pada jalur-jalur mereka. Gelombang-gelombang laut menepati waktu-waktu yang telah ditentukan untuk mereka. Musim tanam, musim menuai, musim panas, musim hujan, siang dan malam, datang silih berganti pada waktunya. 

Jelaslah bahwa di dalam alam ini ada keteraturan, dan dengan begitu jelas pula bahwa di baliknya ada pikiran atau akal yang mengatur. Akal itu tentu lebih besar daripada akal manusia sebab ia dapat menghasilkan hal-hal yang tak pernah bisa dicapai oleh akal manusia. Tak seorang pun yang dapat mengubah siang menjadi malam atau sebaliknya. Tak seorang pun yang dapat membuat biji atau benih yang mempunyai potensi pertumbuhan di dalamnya. Tak seorang pun dapat membuat sesuatu yang bernyawa hidup.

Jikalau di dunia ini ada keteraturan di situ tentu ada akal. Dan jika di dalam keteraturan itu ada hal-hal atau benda-benda yang kejadiannya di luar kemampuan akal manusia, maka akal yang ada di balik keteraturan itu haruslah juga di atas dan di luar akal manusia. Dan dengan itu kita sampai kepada Allah. Memandang dunia sambil melihat hal yang ada di baliknya itu kita sebut melihat ke luar dunia. Melihat ke luar dunia berarti bertatap-muka dengan Pencipta dunia, yaitu Allah sendiri.

(b) Kita harus melihat ke atas. 

Keteraturan alam semesta yang mengagumkan itu dinampakkan secara paling jelas oleh perputaran dunia. Para ahli ilmu perbintangan mengatakan, bahwa di langit sana terdapat bintang-bintang yang jumlahnya sama dengan jumlah pasir di pantai. Kita tidak bisa membayangkan, betapa ramainya lalu lintas di langit itu! Namun ternyata bintang-bintang itu menepati jalur serta perputarannya sendiri-sendiri. 

Seorang ahli perbintangan bisa meramalkan secara terperinci, kapan dan di mana suatu planet akan muncul. Dia juga dapat meramalkan, kapan dan di mana akan terjadi gerhana matahari seratus tahun yang akan datang, dan berapa lama gerhana itu akan berlangsung. Telah dikatakan oleh banyak orang, bahwa “seorang ahli perbintangan tidak akan dapat menjadi seorang atheis.” Kalau kita melihat ke atas, ke langit, kita akan melihat Allah.

(c) Kita harus melihat ke dalam (ke arah dalam). 

Dari manakah kita memperoleh kekuatan untuk berpikir, menalar dan mengetahui? Dari mana kita memperoleh pengetahuan tentang yang benar dan yang salah? Mengapa orang yang paling jahat pun mengetahui di dalam relung hatinya bahwa perbuatannya jahat? Immanuel Kant mengatakan, bahwa ada dua hal yang meyakinkan dirinya tentang adanya Allah: 

(1) langit di atas yang penuh bintang dan 

(2) hukum moral di dalam dirinya sendiri.

Kita tidak pernah memberikan hidup kepada diri kita sendiri, dan kita tidak pernah memberikan nalar untuk membimbing dan mengarahkan hidup kita. Keduanya tentu berasal dari kekuatan atau kuasa yang ada di luar diri kita. Dari manakah penyesalan dan rasa bersalah berasal? Mengapa kita tidak pernah dapat melakukan apa yang kita sukai dan hidup damai? Jika kita melihat ke dalam diri kita sendiri, kita akan menemukan apa yang oleh Marcus Aurelius disebut “allah yang di dalam” dan yang oleh Seneca disebut ”roh suci yang mendiami roh kita”. Tanpa Allah tiada seorang pun yang dapat menerangkan dirinya sendiri.

(d) Kita harus melihat ke belakang. 

Seorang ahli sejarah bernama Froude mengatakan, bahwa seluruh sejarah adalah suatu pertunjukkan aksi hukum moral. Kerajaan-kerajaan timbul tenggelam, seperti dikatakan oleh Kliping : “Seluruh kebesaran kita yang kemarin, adalah sama dengan Niniveh dan Tyrus!” Kenyataan sejarah selalu menunjukkan, bahwa kemerosotan moral selalu bergandengan dengan kejatuhan bangsa. George Bernard Shaw pernah mengatakan: “Tidak ada bangsa yang tahan berdiri tanpa moral yang baik”. Seluruh sejarah secara praktis telah membuktikan adanya Allah.

Jadi seandainya Yesus tidak pernah datang ke dalam dunia dalam wujud manusia, maka masih mungkin juga bagi manusia untuk melihat firman, Logos dan akal Allah yang bertindak. Hanya saja, meskipun tindakan firman Allah itu ada dan dapat dilihat oleh semua orang, manusia tidak akan pernah mengenal Allah itu sendiri.

(2) Pada akhirnya firman Allah yang berkuasa mencipta dan mengatur benar-benar datang ke dunia di dalam wujud manusia Yesus Kristus.

Yohanes mengatakan, bahwa firman itu datang ke rumah milik-Nya sendiri tetapi orang-orang milik-Nya tidak mau menerima-Nya. Apa yang ia maksudkan dengan itu? Yang ia maksudkan ialah, bahwa ketika firman Allah itu masuk ke dalam dunia, firman itu tidak datang ke Roma atau Yunani atau Mesir, atau Kerajaan-kerajaan di Timur. Firman itu datang ke Palestina; secara khusus Palestina adalah tanah milik Allah dan orang-orang Yahudi adalah orang-orang milik Allah.

Sebutan-sebutan yang dipakai dalam Perjanjian Lama baik untuk tanah maupun untuk orang-orang yang mendiami Palestina menunjukkan hal tersebut. Tanah Palestina disebut juga tanah Tuhan. Allah menyebutnya tanah-Ku (Hosea 9:3; Yeremia 2:7, 16:18; Imamat 25:23). Bangsa Yahudi disebut harta kesayangan Allah (Keluaran 19:5; Mazmur 135:4). Mereka disebut umat kesayangan-Nya (Ulangan 7:6, 14:2, 26:18). Mereka disebut juga bagian Tuhan (Ulangan 32:9).

Yesus datang ke tanah milik kesayangan Allah dan kepada bangsa yang juga milik kesayangan Allah. Oleh karena itu, mestinya Yesus harus disambut oleh umat-Nya dengan tangan yang terbuka, pintu-pintu rumah yang terbuka lebar. Yesus mestinya harus disambut seperti seorang musafir yang kembali ke rumahnya sendiri. Bahkan lebih dari itu, Ia mestinya harus disambut sebagai seorang raja yang datang kepada miliknya sendiri. Tetapi dalam kenyataannya Ia malah ditolak. Ia diterima dengan kebencian dan bukan dengan penghormatan yang layak.

Di sini kita temukan tragedi yang dilakukan oleh bangsa yang menolak tugas yang semula dipersiapkan baginya. Bangsa itu semula dipersiapkan untuk menerima Yesus dengan segala penghormatan yang layak, namun sekarang menolak tugas itu. Tragedi itu bisa dilukiskan sebagai berikut: Ada orang tua yang telah dengan tekun membuat rencana, menabung, dan memberikan banyak pengorbanan agar anaknya kelak bisa hidup layak. 

Orang tersebut melakukan hal itu semua untuk mempersiapkan anak-anaknya bagi suatu tugas serta kesempatan baik yang akan datang. Tetapi ketika kesempatan baik itu tiba, si anak yang telah dipersiapkan dengan susah payah tersebut malah menolak untuk memakainya, atau malah gagal sama sekali menunaikan tugasnya. Kenyataan seperti itulah yang dialami Allah dengan bangsa milik-Nya sendiri. Allah mengalami tragedi dengan milik kesayangan-Nya.

Tentu kita akan keliru kalau kita beranggapan bahwa Allah hanya mempersiapkan orang-orang Yahudi saja. Allah ternyata juga mempersiapkan setiap orang, laki-laki, wanita, dan anak-anak di dunia ini untuk tugas-tugas yang telah direncanakan-Nya sendiri. Seorang novelis menceritakan tentang seorang gadis yang menolak untuk berkenalan dengan hal-hal yang mengotori hidup. Ketika gadis itu ditanya tentang sebab penolakan itu, ia menjawab: “Pada suatu ketika akan ada sesuatu yang bagus yang masuk ke dalam hidupku, dan aku harus siap untuk itu.” Tragedinya ialah bahwa terlalu banyak jumlah orang yang menolak tugas yang diberikan Allah kepada mereka.

Dengan cara lain yang lebih dekat dengan keadaan kita sekarang, apa yang dimaksud itu dapat kita katakan sebagai berikut: hanya sedikit saja jumlah orang yang keberadaannya sama seperti apa yang seharusnya. Dunia ini terlalu penuh dengan orang-orang yang tidak pernah tahu kemungkinan-kemungkinan yang ada di dalam diri mereka sendiri. Hal itu barangkali terjadi karena kelemahan dan kemalasan, rasa malu dan takut, dan keterlibatan yang hanya terbatas pada hal-hal kecil dan sampingan yang kurang berarti. Tapi itulah kenyataannya.

Baca Juga: 8 Saksi tentang Yesus Kristus : Yohanes 1:6-8

Kita memang tidak perlu dan tidak boleh beranggapan, bahwa tugas yang disediakan oleh Allah bagi kita adalah tugas-tugas yang selalu besar atau tugas-tugas yang hasilnya akan harus diketahui orang banyak. Tugas-tugas dari Allah itu boleh jadi sangat sederhana, seperti misalnya: mendidik anak secara baik, mengunjungi dan berbicara kepada orang yang mengalami kesulitan hidup, melakukan hal-hal kecil secara baik, menolong orang lain dengan tangan, suara atau pikiran kita. 

Melalui segala pengalaman hidup kita, ternyatalah bahwa Allah mempersiapkan kita bagi sesuatu. Dan kenyataan itu tetap ada sekarang. Hanya saja, kalau tugas itu tiba, banyak sekali orang yang menolaknya; bahkan mereka tidak tahu bahwa mereka menolaknya. Sungguh suatu tragedi.

Semua yang terjadi di dunia ini tercakup di dalam kata-kata sederhana dari Yohanes: “Ia datang ke rumah milik-Nya sendiri – dan orang-orang milik-Nya tidak mau menerima-Nya.”Hal itu terjadi dengan Yesus pada zaman dahulu dan terjadi juga dengan Yesus saat ini. Amin
Next Post Previous Post