RATAPAN 3:42-54 : MENGELUH KEPADA ALLAH

Matthew Henry (1662-1714)

MENGELUH KEPADA ALLAH.
Ratapan 3:42-54.

Lebih mudah mencaci diri kita karena mengeluh daripada mencaci diri kita supaya tidak mengeluh. Sang nabi telah mengakui bahwa orang yang hidup tidak boleh mengeluh, seolah-olah ia menegur dirinya sendiri atas keluhan-keluhannya di bagian awal pasal ini. Namun di sini awan-awan kembali datang setelah hujan, dan luka-luka berdarah lagi. Sebab harus dikerahkan jerih payah yang besar untuk menenangkan roh yang sedang berkecamuk.
RATAPAN 3:42-54 : MENGELUH KEPADA ALLAH
[I]. Mereka mengakui kebenaran Allah dalam menimpakan penderitaan atas mereka (Ratapan 3:42): 

Kami telah mendurhaka dan memberontak. Perhatikanlah, sudah sepatutnya kita, ketika dalam masalah, membenar-kan Allah, dengan mengakui dosa-dosa kita, dan menimpakan beban ke atas pundak kita sendiri karenanya. Sebutlah dosa sebagai kedurhakaan, sebutlah ia sebagai pemberontakan, maka kita tidak salah menyebutnya. Ini adalah hasil dari penyelidikan dan pemeriksaan hidup mereka. Semakin dalam mereka menyelidiki, semakin buruk mereka mendapatinya. Namun,

[II]. Mereka mengeluhkan penderitaan-penderitaan yang tengah menindih mereka, dengan celaan terhadap Allah. Ini tidak boleh kita tiru. Sebaliknya, di bawah ujian-ujian yang paling berat sekalipun, kita harus selalu berpikiran dan berbicara yang luhur dan baik tentang Dia.

1). Mereka mengeluhkan kernyit dahi-Nya dan tanda-tanda murka-Nya terhadap mereka. Dosa-dosa mereka sudah mereka tinggalkan dengan bertobat, dan sekalipun begitu (Ratapan 3:42), Engkau tidak mengampuni. Mereka tidak memiliki jaminan dan penghiburan dari pengampunan. Penghakiman-penghakiman yang didatangkan atas diri mereka karena dosa-dosa mereka tidak dihapuskan, dan karena itu mereka berpikir bahwa mereka tidak dapat berkata dosa itu sudah diampuni.

Ini sebuah kesalahan, kesalahan yang biasa dibuat oleh umat Allah ketika jiwa mereka tertekan dan gelisah dalam diri mereka. Keadaan mereka benar-benar mengundang iba, namun mereka mengeluh, Engkau tanpa belas kasihan (Ratapan 3:43). Musuh-musuh mereka menganiaya dan membunuh mereka, tetapi itu bukan yang terburuk. Musuh-musuh itu hanyalah alat-alat di tangan Allah: “Engkau mengejar kami dan membunuh kami, meskipun kami berharap Engkau akan melindungi dan membebaskan kami.” Mereka mengeluh bahwa ada tembok pemisah antara mereka dan Allah, dan,

(a). Tembok pemisah ini menghambat perkenanan-perkenanan Allah untuk mengalir turun kepada mereka. 

Pantulan-pantulan cahaya dari kebaikan-kebaikan Allah kepada mereka merupakan keindahan Israel dulu. Tetapi sekarang “Engkau menyelubungi kami dengan murka, sehingga kemuliaan kami tersembunyi dan lenyap. Sekarang Allah murka terhadap kami, dan kami tidak tampak sebagai umat yang dikagumi dan dihargai sebagaimana kami dulu dianggap.” Atau, “Engkau menyelubungi kami seperti orang-orang yang terkubur diselubungi dan dilupakan.”

(b). Tembok pemisah itu menghalang-halangi doa-doa mereka untuk naik di hadapan Allah (Ratapan 3:44): 

“Engkau menyelubungi diri-Mu dengan awan,” bukan seperti awan terang yang di dalamnya Ia menyelubungi bait suci, yang memampukan para jemaat untuk mendekat kepada-Nya, melainkan seperti awan yang di dalamnya Ia turun ke Gunung Sinai, yang mengharuskan orang-orang untuk berdiri menjauh. “Awan ini begitu tebal sehingga doa kami tampak seolah-olah terhilang di dalamnya. Doa kami tak dapat menembus. Kami tidak dapat didengar.” Perhatikanlah, masalah-masalah yang berkepanjangan kadang-kadang merupakan godaan, bahkan bagi umat yang pen doa, untuk mempertanyakan apakah Allah memang seperti yang selama ini mereka percayai, yaitu Allah yang mendengarkan doa.

2. Mereka mengeluhkan penghinaan tetangga-tetangga mereka serta cela dan aib yang menimpa mereka (Ratapan 3:45): “

Kami Kaujadikan kotor, atau buangan, dari tempat pengirikan, yang dibuang ke dalam lubang sampah.” Hal ini dirujuk oleh Rasul Paulus dalam penjelasannya tentang penderitaan-penderitaan para rasul. Kami telah menjadi sama dengan sampah dunia, sama dengan kotoran dari segala sesuatu (1 Korintus 4:13).

“Kami adalah keji, atau sampah, di antara bangsa-bangsa, diinjak-injak oleh semua orang, dan dipandang sebagai yang paling hina dari bangsa-bangsa, dan tidak bermanfaat sama sekali selain untuk dibuang seperti garam yang sudah menjadi tawar. Terhadap kami semua seteru kami mengangakan mulutnya (Ratapan 3:46), mengangakan mulutnya terhadap kami seperti singa-singa yang mengaum, untuk menelan kami, atau mengejek kami dengan mulut mereka, atau mengambil kebebasan untuk mengatakan apa yang ingin mereka katakan tentang kami.” Keluhan-keluhan ini sudah kita dapati sebelumnya (Ratapan 2:15-16).

Perhatikanlah, sudah biasa jika orang-orang yang berwatak rendah dan jahat menggilas dan melindas orang yang sudah jatuh dari puncak kehormatan ke kedalaman penderitaan. Akan tetapi penderitaan ini mereka timpakan kepada diri mereka sendiri karena dosa. Jika mereka tidak menjadikan diri mereka keji, musuh-musuh mereka tidak akan bisa menjadikan mereka demikian: tetapi itulah mengapa orang menyebut mereka perak yang ditolak, sebab TUHAN telah menolak mereka yang telah menolak Dia.

3. Mereka mengeluhkan kehancuran mengenaskan yang telah dibuat musuh-musuh mereka (Ratapan 3:47): 

Kejut dan jerat menimpa kami. Musuh-musuh tidak hanya sudah membuat kami ketakutan dengan tanda-tanda bahaya itu, tetapi juga menang melawan kami dengan siasat-siasat mereka, dan mengejutkan kami dengan perangkap-perangkap yang mereka pasang untuk kami. Maka yang terjadi kemudian tiada lain selain kemusnahan dan kehancuran, keruntuhan Puteri bangsaku (Ratapan 3:48), Puteri-puteri kotaku (Ratapan 3: 51). Musuh-musuh, setelah menang-kap sebagian dari mereka seperti burung dalam perangkap, memburu yang lain seperti burung jinak diburu oleh burung pemangsa (Ratapan 3: 52): Seperti burung aku diburu-buru oleh mereka yang menjadi seteruku, yang dikejar dari semak ke semak, bagai Saul memburu Daud seperti ayam hutan.

Demikianlah tak kenal lelah permusuhan para penganiaya mereka, namun tanpa sebab. Mereka melakukannya tanpa sebab, tiada orang yang mengganggu mereka. Meskipun Allah bertindak benar, mereka bertindak tidak benar. Daud sering kali mengeluhkan orang-orang yang membencinya tanpa alasan. Dan seperti itulah musuh-musuh Kristus dan jemaat-Nya (Yohanes 15:25). Musuh-musuh memburu mereka sampai berhasil menangkap mereka ( Ratapan 3:53): Mereka melemparkan aku hidup-hidup dalam lubang. Mereka mengunci tawanan-tawanan mereka di dalam penjara-penjara yang sempit dan gelap, di mana mereka seolah-olah terputus dari negeri orang hidup (seperti dalam ayat 6).

Atau pemerintahan dan kerajaan itu tenggelam dan runtuh, hidup dan keberadaannya lenyap, dan mereka seolah-olah dilemparkan ke dalam lubang atau kuburan, dan batu dilontarkan kepada mereka, seperti batu yang biasa digulingkan ke pintu makam. Mereka memandang bangsa Yahudi sebagai bangsa yang sudah mati dan terkubur, dan membayangkan bahwa tidak ada kemungkinan ia akan bangkit.

Demikianlah Yehezkiel melihatnya, dalam penglihatan, sebuah lembah yang penuh dengan tulang-tulang yang mati dan kering. Kehancuran mereka dibandingkan bukan hanya dengan dikuburnya orang mati, melainkan juga dengan tenggelamnya orang yang hidup ke dalam air, yang tidak akan lama menjadi orang hidup di sana ( Ratapan 3:54). Air penderitaan membanjir di atas kepalaku. Banjir sudah datang dan membuat mereka sangat kepayahan.

Pasukan tentara Kasdim menerobos masuk ke tengah-tengah mereka seperti air menerobos, yang naik begitu tinggi sehingga membanjir di atas kepala mereka. Mereka tidak bisa menyeberang, mereka tidak bisa berenang, dan karena itu tak terhindarkan lagi pasti tenggelam. Perhatikanlah, kesusahan-kesusahan umat Allah adakalanya merajalela sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat menemukan tempat berpijak di mana pun bagi iman mereka, atau menjaga kepala mereka supaya tetap di atas air dengan pengharapan yang menghibur hati.

4. Mereka mengeluhkan kesedihan dan ketakutan mereka sendiri yang berlebihan karena alasan ini.

(a). Jemaat yang menderita tenggelam dalam air mata, dan sang nabi menangisinya (Ratapan 3: 48-49): Air mataku mengalir bagaikan batang air, begitu derasnya tangisan mereka. Air mataku terus-menerus bercucuran, begitu tak berkesudahan tangisan mereka, dengan tak henti-hentinya, karena tidak ada yang menenangkan mereka dari kesengsaraan-kesengsaraan mereka. Penyakit itu semakin hari semakin ganas, dan mereka tidak mengalami hari yang lebih baik. 

Ditambahkan (Ratapan 3:51), “Mataku terasa pedih. Mataku yang melihat mempengaruhi hatiku. Semakin aku memandang kehancuran kota dan negeri itu, semakin aku bersedih. Ke mana saja aku melemparkan pandanganku, aku melihat apa yang membuatku bersedih lagi, bahkan oleh sebab keadaan putri-putri kotaku,” semua kota sekitar, yang bagaikan putri-putri bagi Yerusalem sang kota induk. Atau, mataku yang menangis mempengaruhi hatiku.

Dengan melampiaskan kesedihanku, itu bukannya mengurangi kesedihan itu, tetapi hanya menambah-nambah dan memperparahnya. Atau, mataku melelehkan jiwaku. Aku telah banyak menangis sampai kekuatan rohku habis. Bukan saja karena sakit hati mengidaplah mataku, tetapi jiwa dan hidupku habis dalam duka (Mazmur 31:10-11).

Kesedihan yang besar dan lama menjadikan roh luar biasa payah, dan membuat bukan hanya banyak kepala yang ubanan, melainkan juga kepala yang masih berambut hitam, turun ke dunia orang mati. Aku menangis, kata sang nabi, lebih daripada semua anak perempuan di kotaku (demikian yang dibaca dalam tafsiran yang agak luas). Ia bahkan melebihi orang-orang dari lawan jenis yang berpembawaan lembut dalam mengungkapkan kesedihan. Tidak akan menurunkan martabat siapa saja jika mereka banyak-banyak menangisi dosa para pendosa dan penderitaan orang-orang kudus. Yesus Tuhan kita berbuat demikian, sebab, ketika Ia telah dekat dan melihat kota yang sama itu, Ia menangisinya, sementara putri-putri Yerusalem tidak.

(b). Jemaat merasa kepayahan dengan ketakutan-ketakutan, tidak hanya berduka atas kenyataan yang ada, tetapi juga takut akan hal yang lebih buruk, dan menganggap semuanya sudah hancur (Ratapan 3: 54): “Kusangka: ‘Binasa aku!’ hancur, dan tidak kulihat harapan untuk pulih. Aku seperti orang yang sudah mati.” Perhatikanlah, orang-orang yang tertekan biasanya tergoda untuk menganggap diri mereka terbuang (Mazmur 31:23; Yunus 2:4).

5. Di tengah-tengah keluhan yang menyedihkan ini, di sini ada satu kata penghiburan, yang dengannya tampak bahwa keadaan mereka tidak sepenuhnya buruk seperti yang mereka gambarkan ( Ratapan 3:50). Kami terus menangis seperti itu sampai TUHAN memandang dari atas dan melihat dari sorga. Hal ini menyiratkan,

(a). Bahwa mereka puas karena perhatian Allah yang penuh rahmat terhadap mereka di dalam kesengsaraan-kesengsaraan mereka akan berhasil menggantikan semua kesedihan mereka. “Jika Allah, yang sekarang menyelubungi diri-Nya dengan awan, seolah-olah tidak memperhatikan masalah-masalah kita (Ayub 22:13), mau tampil bersinar, maka semuanya akan baik-baik saja. Jika Ia memandang kepada kita, kita akan selamat” (Mazmur 80:20; Daniel 9:17). Walaupun keadaannya buruk, satu pandangan yang baik dari surga akan memperbaiki semuanya.


(b). Bahwa mereka mempunyai pengharapan bahwa Ia pada akhirnya akan memandang mereka dengan penuh rahmat dan membebaskan mereka. Bahkan, mereka tahu betul bahwa Ia akan melakukannya: “Meskipun Ia berbantah untuk waktu yang lama, bukan untuk selama-lamanya Ia hendak berbantah, walaupun kita layak mendapatkannya.”

(c). Bahwa sewaktu mereka terus menangis, mereka terus menunggu, dan tidak mengharapkan atau tidak akan mengharapkan kelegaan dan pertolongan dari tangan siapa pun selain tangan-Nya. Tidak ada yang dapat menghibur mereka selain kembalinya Dia dengan penuh rahmat, juga tidak ada yang lain yang dapat menghapuskan air mata dari mata mereka sampai Ia melihat ke bawah. Air mata mereka, yang sekarang mengalir bagaikan batang air, masih akan memandang kepada TUHAN, Allah mereka, sampai Ia mengasihani mereka (Mazmur 123:2).
Next Post Previous Post