Garam Kristen yang Membawa Dampak: Mengamini Matius 5:13

Pendahuluan:

Memahami signifikansi Matius 5:13 penting bagi umat Kristen yang ingin menjaga dampak yang berarti dan mempertahankan identitas mereka sebagai garam di dunia. Eksplorasi ini mengungkap sifat-sifat kunci yang mencirikan orang percaya sejati.
Garam Kristen yang Membawa Dampak: Mengamini Matius 5:13
Kekristenan Tidak Boleh Tanpa Rasa

Pernyataan Yesus dalam Matius 5:13 erat kaitannya dengan seruannya kepada para pengikut untuk menjadi garam dan terang dunia. Istilah "garam" mengimplikasikan menjadi, identifikasi, bukan proses menjadi. Oleh karena itu, orang percaya, yang ditetapkan sebagai garam dan terang, seharusnya mencerminkan tujuan menjadi berkat dan kesaksian bagi dunia.

Sairwona menyoroti bahwa Kekristenan yang diterapkan, dalam segala aspeknya, dimaksudkan untuk membangun kehidupan rohani, memperkenalkan orang kepada Allah yang sejati, dan memberikan iman untuk menghadapi tantangan sambil menjadi terang dan garam (Matius 5:13-14). Sebagai anggota gereja, orang percaya diharapkan membawa orang lain tumbuh rohani dalam iman Kristen.

Kekristenan Tidak Boleh Jadi Hambar

Kekristenan diharapkan terus bertumbuh secara rohani agar tidak menjadi hambar. Yesus dalam ajarannya tentang garam menekankan pengetahuan rohaniah di atas sekadar diskusi intelektual. Ajaran tersebut dimaksudkan untuk membekali orang percaya dengan hikmat rohaniah, membimbing mereka dalam menjaga kualitas dunia. Jika orang percaya gagal memberikan dampak dan berfungsi sebagai garam dan terang, Kekristenan mereka kehilangan tujuannya.

Matthew Hendry menunjukkan bahwa orang Kristen yang kehilangan integritas moral, meninggalkan kebenaran, dan tunduk pada keinginan duniawi menjadi seperti garam yang hambar, tidak berguna dan nilainya merosot. Orang-orang seperti ini, tanpa dampak, berisiko menjadi batu sandungan, memalukan Kekristenan dan menghancurkan nama Tuhan.

Konsekuensi Tidak Reversibel dari Garam yang Hambar

Analogi garam yang kehilangan rasanya, sebagaimana disebutkan dalam Matius 5:13, melambangkan kesulitan, bahkan hampir mustahil, memulihkan mereka yang telah menyimpang (Ibrani 6:4-6). Jika Kekristenan gagal menyembuhkan individu dari keinginan duniawi mereka dan upaya membuktikan sia-sia, mereka menjadi hilang secara tidak dapat dipulihkan. Skenario ini adalah suatu ironi yang mengingatkan bagi mereka yang telah menerima keselamatan namun berpaling dari Allah.

Garam yang kehilangan rasanya dibuang, menjadikannya tidak berguna. Demikian juga, orang percaya yang tidak menggunakan pengaruhnya, secara metafora dilemparkan. Individu seperti itu tidak hanya menyia-nyiakan kehormatan yang diberikan kepada mereka tetapi juga membahayakan orang lain yang mungkin terpengaruh secara negatif.

Kekristenan Harus Berfungsi Seperti Garam

Di zaman kuno, garam memiliki nilai besar. Orang Yunani bahkan menganggap garam sebagai ilahi (theion), dan orang Romawi menyatakan kegunaannya yang tak tertandingi. Namun, garam pada zaman kuno, sering kali diperoleh dari Laut Mati, tidak selalu murni secara kimia, berisiko kehilangan efektivitasnya. Demikian pula, orang percaya harus berfungsi sebagai garam murni, memberikan manfaat positif pada dunia.

Homer A. Kent menginterpretasikan "garam" dan "terang" dalam Matius 5:13-16, menekankan garam sebagai pengawet makanan dan simbol orang percaya mencegah kerusakan masyarakat. R.E. Nixon menyamakan garam dengan hikmat, dan hidup dan perkataan yang bijaksana memengaruhi masyarakat secara positif, mencegah korupsi.

Tiga Aspek Simbolis dari Garam

1. Kemurnian dan Originalitas: 

Garam melambangkan kemurnian dan originalitas, mencerminkan partikel kristal putih yang berkilau dan jernih. Orang Romawi menganggap garam sebagai benda yang paling bersih dan jernih, karena berasal dari benda yang juga paling bersih dan jernih, yaitu matahari dan laut. Di zaman dulu, garam dianggap sebagai korban yang paling disukai dan paling berharga bagi para dewa. Garam juga digunakan sebagai campuran korban yang dipersembahkan oleh orang Yahudi kepada Allah. Demikian pula, jika orang Kristen harus menjadi garam dunia, maka ia harus mencerminkan kesucian dan kemurnian.

2. Pengawetan: 

Di dunia kuno, garam digunakan sebagai pengawet umum yang banyak digunakan. Garam digunakan untuk mengawetkan agar benda-benda tidak rusak dan juga untuk menjaga agar pantai tetap bersih. Plutarkh mengatakan bahwa daging sebenarnya adalah tubuh yang mati atau bagian dari tubuh yang mati, dan jika dibiarkan akan mati dan rusak. Tetapi garam mengawetkan dan memelihara daging tersebut sehingga tetap segar. 

Oleh karena itu, garam adalah seperti jiwa yang dimasukkan ke dalam tubuh yang mati. Jadi garam dapat mengawetkan dan menghindarkan segala sesuatu dari kerusakan. Jika orang Kristen harus menjadi garam dunia, maka ia harus memiliki pengaruh antiseptik pada kehidupan ini dan seharusnya yang terjadi dalam orang-orang Kristen yang baik, terutama hamba Tuhan yang baik (Matius 5:13), adalah garam dunia, dan garam ini memang baik dan sangat berguna. Dengan pengajaran dan teladan mereka, para murid diberikan perlindungan dari kebusukan dan kerusakan yang terus-menerus.

3. Peningkatan Rasa: 

Garam digunakan untuk menambah rasa pada berbagai elemen. Tanpa garam, makanan menjadi hambar. Demikian pula, Kekristenan memberikan makna dan kebaikan pada hidup, memberikan perspektif baru dan positif.

Kesimpulan

Menjadi garam di dunia bukan hanya tanggung jawab penting tetapi gaya hidup bagi orang percaya. Yesus bermaksud menyampaikan dampak yang abadi dan peran penting setiap orang percaya seharusnya mainkan dalam masyarakat. 


Mengaplikasikan Matius 5:13 berarti menghindari Kekristenan yang hambar, memastikan pertumbuhan rohani yang berkelanjutan, dan mempertahankan kehormatan dan tujuan yang diberikan oleh Allah. Seruan untuk menjadi garam di dunia adalah tantangan bagi orang percaya untuk membawa perubahan positif dan membuat hidup lebih bermakna, sehingga memuliakan Tuhan.
Next Post Previous Post