PENGKHOTBAH 1:1-3. KESIA-SIAAN DUNIA

Matthew Henry ( 1662 – 1714)

PENGKHOTBAH 1:1-3. KESIA-SIAAN DUNIA.

[I]. SEBUAH PENJELASAN TENTANG PENULIS KITAB INI.

Penulisnya adalah Salomo, sebab tidak ada anak Daud yang lain yang menjadi raja Yerusalem. Tetapi ia menyembunyikan namanya Salomo, (=pendamai), karena oleh dosanya ia sudah mendatang-kan kesusahan atas dirinya sendiri dan kerajaannya, telah melanggar perdamaiannya dengan Allah, dan kehilangan kedamaian hati nuraninya. Oleh sebab itu, ia tidak lagi layak menyandang nama itu. Jangan panggil aku Salomo, panggil aku Mara, sebab, sesungguhnya, penderitaan yang pahit menjadi keselamatan bagiku. Tetapi ia menyebut dirinya,
PENGKHOTBAH 1:1-3. KESIA-SIAAN DUNIA
(1). PENGKHOTBAH,

yang menyiratkan tabiatnya yang sekarang. Ia adalah koheleth, yang berasal dari kata yang berarti mengumpulkan, tetapi akhiran kata itu merujuk pada perempuan. Mungkin Salomo berniat menegur dirinya sendiri atas kelakuannya yang tidak jantan dan pengecut, yang berperan lebih daripada apa pun dalam kemurtadannya. Sebab untuk menyenangkan istri-istrinyalah ia mendirikan berhala-berhala (Nehemia 13:26). Atau kata itu harus dipahami sebagai jiwa, dan dengan demikian Pengkhotbah adalah,

a). Jiwa yang bertobat, atau yang terkumpul, jiwa yang sudah mengembara dan tersesat seperti domba yang hilang, tetapi sekarang dipulihkan, dikumpulkan dari pengembaraannya ke sana kemari, dikumpulkan kembali kepada kewajibannya, dan pada akhirnya menjadi insaf. Roh yang sudah berfoya-foya mengejar seribu satu macam kesia-siaan sekarang dikumpulkan dan dibuat berpusat pada Allah.

Anugerah ilahi dapat membuat pendosa-pendosa besar menjadi petobat-petobat besar, dan bahkan mempertobatkan kembali orang-orang yang, setelah mereka tidak mengenal jalan kebenaran, kemudian berbalik darinya, dan menyembuhkan kemurtadan mereka, meskipun itu perkara yang sulit. Hanya jiwa yang bertobatlah yang akan diterima Allah, hati yang hancur, bukan kepala yang tertunduk seperti gelagah hanya untuk satu hari, pertobatan Daud, dan bukan pertobatan Ahab. 

Dan hanya jiwa yang terkumpul yang merupakan jiwa yang bertobat, yang kembali pulang dari jalan-jalannya yang menyimpang, yang tidak lagi melampiaskan cinta berahinya kepada orang-orang asing (Yeremia 3:13), tetapi dipersatukan untuk takut terhadap nama Allah.

Yang diucapkan mulut meluap dari hati, dan karena itu di sini kita mendapati kata-kata seorang petobat, dan kata-kata itu diberitahukan kepada semua orang. Jika orang-orang terkemuka yang mengaku beragama jatuh ke dalam dosa yang menjijikkan, maka mereka berkepentingan, demi kehormatan Allah dan untuk memperbaiki kerusakan yang sudah mereka perbuat terhadap kerajaan-Nya, untuk bersaksi tentang pertobatan mereka di depan semua orang, supaya obat penangkalnya dapat dioleskan ke tempat yang luas seluas racunnya.

b). Jiwa yang berkhotbah, atau yang mengumpulkan. Karena ia sendiri dikumpulkan ke dalam perkumpulan orang-orang kudus, yang darinya ia sudah membuang dirinya sendiri oleh dosanya, dan karena ia sudah didamaikan dengan jemaat, ia berupaya untuk mengumpulkan orang-orang lain yang sudah tersesat seperti dia, dan yang mungkin disesatkan oleh contoh perilakunya. Orang yang sudah melakukan apa saja sampai memperdayai saudaranya berbuat tidak pantas, ia harus melakukan semua yang dapat dilakukannya untuk memulihkan saudaranya itu.

Mungkin Salomo memanggil rakyatnya untuk berkumpul bersama-sama, seperti yang sudah dilakukannya pada penahbisan Bait Allah (1Raja-raja 8:2), demikian pula sekarang pada penahbisan kembali dirinya sendiri. Dalam perkumpulan sebelumnya ia memimpin sebagai juru bicara rakyat kepada Allah dalam doa (ayat 12), sementara dalam perkumpulan ini sebagai juru bicara Allah kepada mereka dalam khotbah. 

Allah dengan Roh-Nya menjadikan dia sebagai seorang pengkhotbah, sebagai pertanda bahwa dia sudah didamaikan dengan-Nya. Penugasan adalah pengampunan yang tak terucapkan. Kristus memberikan kesaksian yang cukup bahwa Ia telah mengampuni Petrus dengan memercayakan domba-domba-Nya kepadanya.

Camkanlah, orang-orang yang bertobat harus menjadi pengkhotbah. Orang-orang yang sudah mendapat dan belajar dari peringatan untuk berbalik dan hidup, mereka sendiri harus memberikan peringatan kepada orang lain untuk tidak meneruskan jalannya dan mati. Jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu. Para pengkhotbah harus menjadi jiwa-jiwa yang berkhotbah, sebab hanya yang timbul dari dalam hatilah yang besar kemungkinan akan sampai ke hati. Paulus melayani Allah dengan segenap hatinya dalam pemberitaan Injil Anak-Nya (Roma 1:9).

(2). ANAK DAUD.

Dipakainya gelar ini oleh Salomo untuk menyiratkan,

a). Bahwa ia memandang sebagai kehormatan besar menjadi anak dari orang yang begitu baik, dan menghargai dirinya dengan tinggi karena mendapat kehormatan ini.

b). Bahwa ia juga memandang sebagai hal yang sangat memperparah dosanya karena ia memiliki ayah seperti itu, yang telah memberinya pendidikan yang baik dan memanjatkan banyak doa yang baik untuknya. Hatinya teriris memikirkan bahwa ia sampai menjadi cela dan aib bagi nama dan keluarga dari orang seperti Daud. Sangat parahlah dosa Yoyakim sebab ia adalah anak Yosia (Yeremia 22:15-17).

c). Bahwa dengan menjadi anak Daud, hal itu mendorongnya untuk bertobat dan mengharapkan belas kasihan, sebab Daud sudah jatuh ke dalam dosa, yang melaluinya Salomo seharusnya belajar dari peringatan untuk tidak berdosa, tetapi ternyata tidak. Tetapi Daud bertobat, dan dalam hal ini Salomo mengambil contoh darinya dan mendapatkan belas kasihan seperti yang didapatkan Daud. 

Namun ini belum semuanya. Ia adalah anak Daud yang tentangnya Allah sudah berkata bahwa meskipun Ia akan membalas pelanggaran mereka dengan gada, namun Ia tidak akan melanggar perjanjian-Nya dengan Daud (Mazmur 89:35). Kristus, sang pengkhotbah agung, adalah Anak Daud.

(3). RAJA TERUSALEM.

Ini disebutkannya,

a). Sebagai hal yang sangat memperparah dosanya. Dia adalah seorang raja. Allah telah berbuat banyak untuknya, dalam meng-angkatnya ke atas takhta, namun ia membalas budi dengan demikian jahat kepada-Nya. Martabatnya membuat contoh buruk dan pengaruh dosanya semakin berbahaya, dan banyak orang akan mengikuti jalan-jalannya yang merusak. Terutama karena ia adalah raja Yerusalem, kota suci, yang di dalamnya terletak Bait Allah, dan yang dia bangun sendiri juga, yang di dalamnya ada para imam, hamba-hamba Tuhan, dan para nabi-Nya yang telah mengajarinya hal-hal yang lebih baik.

b). Sebagai hal yang dapat memberikan sedikit banyak keuntungan kepada apa yang ditulisnya, sebab titah raja berkuasa. Ia tidak menganggap bahwa akan merendahkannya, sebagai raja, untuk menjadi seorang pengkhotbah. Sebaliknya, orang-orang akan lebih mengindahkannya sebagai pengkhotbah karena ia adalah seorang raja. Kalau saja orang-orang yang terhormat mau bersedia berbuat baik, betapa besar kebaikan yang dapat mereka lakukan! Salomo tampak agung di atas mimbar, sambil mengkhotbahkan kesia-siaan dunia, sama agungnya seperti ketika di atas takhta gadingnya, sambil menghakimi.

Terjemahan bahasa Aram (yang, dalam kitab ini, memberikan tambahan yang sangat banyak kepada naskahnya, atau yang memberikan keterangan atasnya, di sepanjang kitab ini) memberikan penjelasan ini tentang Salomo yang menulis kitab ini. Bahwa melalui roh nubuatan ia melihat pemberontakan dari sepuluh suku terhadap anaknya, dan, seiring berjalannya waktu, kehancuran Yerusalem dan tempat kudus, serta pembuangan bangsa Yahudi. Dengan melihat itu ia berkata, kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Dan pada nubuatan itulah ia banyak membuat rujukan dalam kitab ini.

[II]. TUJUAN UMUM DAN MAKSUD DARI KITAB INI.

Apa yang hendak dikatakan oleh pengkhotbah rajawi ini? Apa yang menjadi tujuannya adalah, supaya kita menjadi benar-benar saleh, untuk menurunkan penilaian berlebihan kita dan harapan kita terhadap perkara-perkara dunia ini. Untuk mencapai tujuan ini, ia menunjukkan:

(1). Bahwa segala sesuatu adalah sia-sia (Pengkhotbah 1:2). Ini adalah pokok pikiran yang ditetapkannya dan berusaha dibuktikannya: Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Ini bukan tulisan baru. Daud, ayahnya, sudah berbicara lebih dari satu kali untuk maksud yang sama.

Kebenaran yang ditegaskan di sini sendiri adalah, bahwa segala sesuatu adalah sia-sia, segala sesuatu selain Allah dan yang dianggap terpisah dari-Nya, semua hal dari dunia ini, semua pekerjaan dan kenikmatan duniawi, semuanya dari dunia (1Yohanes 2:16), semua yang menyenangkan bagi indra-indra kita dan bagi angan-angan kita dalam keadaan sekarang ini, yang membawa kesenangan bagi diri kita sendiri atau nama baik di mata orang lain.

Semua itu sia-sia, bukan hanya dalam penyalahgunaannya, ketika semua itu diselewengkan oleh dosa manusia, melainkan juga bahkan dalam penggunaannya. Manusia, jika dipertimbangkan dengan merujuk pada hal-hal ini, adalah kesia-siaan (Mazmur 39:6-7), dan, seandainya tidak ada kehidupan lain sesudah ini, diciptakan dengan sia-sia (Mazmur 89:48). Dan semua kesenangan itu, jika dipertimbangkan dengan merujuk pada manusia (apa pun kesenangan-kesenangan itu dalam dirinya sendiri), adalah kesia-siaan.

Semua kesenangan itu tidak ada hubungannya dengan jiwa, asing, dan tidak menambahkan apa-apa kepadanya. Semua kesenangan itu tidak memenuhi tujuan, atau memberikan suatu kepuasan yang sejati. Semua kesenangan itu tidak pasti dalam kelanjutannya, memudar, lenyap, dan akan berlalu, dan pasti akan memperdaya dan mengecewakan orang-orang yang menaruh keyakinan padanya.

Oleh sebab itu, janganlah kita mencintai yang sia-sia (Mazmur 4:3), atau menyerahkan diri kita kepadanya (Mazmur 24:4), sebab kita hanya akan melelahkan diri kita sendiri (Habakuk 2:13). Hal ini diungkapkan di sini dengan sangat tegas. Bukan saja, segala sesuatu sia-sia, melainkan juga pada dasarnya, segala sesuatu adalah kesia-siaan. Seolah-olah kesia-siaan adalah ‘proprium quarto modo’ – ciri yang keempat , dari hal-hal dunia ini, yang masuk menjadi kodratnya.

Semuanya itu bukan saja kesia-siaan, melainkan juga kesia-siaan belaka (KJV: kesia-siaan dari semua kesia-siaan), kesia-siaan yang paling sia-sia, kesia-siaan yang setinggi-tingginya, hanya kesia-siaan belaka, kesia-siaan yang sedemikian rupa hingga menjadi penyebab dari sangat banyak kesia-siaan. Dan kesia-siaan ini berlipat ganda lagi, karena perkaranya pasti dan tidak bisa dibantah, segala sesuatu adalah kesia-siaan belaka.

Ini menyiratkan bahwa hati orang bijak ini sepenuhnya diyakinkan dan sangat tergerak oleh kebenaran ini, dan bahwa ia sangat ingin supaya orang lain diyakinkan dan tergerak olehnya, seperti dirinya. Tetapi ia mendapati orang pada umumnya sangat enggan memercayainya dan merenungkannya (Ayub. 33:14). Hal itu juga menyiratkan bahwa kita tidak bisa memahami dan mengungkapkan kesia-siaan dunia ini.

Tetapi siapakah gerangan yang berbicara tentang dunia dengan begitu meremehkannya? Apakah dia orang yang akan memegang teguh apa yang dia katakan? Ya, ia mempertaruhkan namanya untuk itu – kata pengkhotbah. Apakah dia seorang hakim yang cakap? Ya, secakap siapa saja. Banyak orang berbicara tentang dunia dengan merendahkannya karena mereka adalah para petapa, dan tidak mengenalnya, atau para pengemis, dan tidak memilikinya.

Tetapi Salomo mengenalnya. Ia sudah menyelami kedalaman-kedalaman alam (1Raja-raja 4:33), dan ia memiliki dunia, mungkin lebih daripada yang pernah dimiliki siapa saja. Kepalanya penuh dengan gagasan-gagasan tentangnya dan perutnya penuh dengan harta yang tersembunyi (Mazmur 17:14, KJV), dan ia menjatuhkan penghakiman ini atasnya. Tetapi apakah dia berbicara seperti orang yang berwenang? Ya, bukan hanya wewenang seorang raja, melainkan juga wewenang seorang nabi, seorang pengkhotbah. Ia berbicara dalam nama Allah, dan diilhami oleh Allah untuk mengatakannya.

Tetapi tidakkah ia mengatakannya dalam ketergesa-gesaannya, atau dalam amarah, karena mengalami suatu kekecewaan tertentu? Tidak, ia mengatakannya dengan sengaja, mengatakannya dan membuktikannya, menetapkannya sebagai sebuah pegangan yang mendasar, yang di atasnya ia membangun alasan betapa penting-nya hidup saleh. Dan, seperti menurut sebagian orang, satu hal utama yang dirancangnya adalah untuk menunjukkan bahwa takhta dan kerajaan kekal yang telah dijanjikan Allah melalui Natan kepada Daud dan keturunannya pastilah takhta dan kerajaan dari dunia lain.

Sebab segala sesuatu di dunia ini tunduk pada kesia-siaan, dan karena itu tidak memiliki dalam dirinya apa yang cukup untuk memenuhi luasnya janji itu. Jika Salomo mendapati segala sesuatu sebagai kesia-siaan, maka harus datang kerajaan Mesias, yang di dalamnya kita akan mewarisi sesuatu yang sejati.

(2). Bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak cukup untuk membuat kita bahagia. Dan untuk ini ia berseru kepada hati nurani manusia: Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah? (Pengkhotbah 1:3).

Amatilah di sini,

(a). Urusan dunia ini digambarkan. Urusan dunia ini adalah jerih payah. Kata itu menandakan baik perhatian maupun kerja keras. Urusan dunia ini adalah pekerjaan yang melelahkan manusia. Keletihan selalu menyertai urusan duniawi. Urusan dunia ini adalah berjerih payah di bawah matahari. Ini adalah ungkapan khas dari kitab ini, yang kita jumpai sebanyak dua puluh delapan kali. Ada dunia di atas matahari, dunia yang tidak memerlukan matahari, sebab kemuliaan Allah adalah terangnya, di mana ada pekerjaan tanpa jerih payah dan dengan keuntungan yang besar, pekerjaan para malaikat.

Tetapi Salomo berbicara tentang pekerjaan di bawah matahari, yang rasa sakitnya besar dan keuntungannya sedikit. Pekerjaan itu di bawah matahari, di bawah pengaruh matahari, melalui terang dan panasnya. Sama seperti kita mendapat manfaat dari terang siang hari, demikian pula ada kalanya kita bekerja berat sehari suntuk dan menanggung panas terik matahari (Matius 20:12), dan oleh sebab itu dengan berpeluh kita akan mencari makanan kita. Dalam kuburan yang gelap dan dingin orang-orang yang lelah beristirahat.

(b). Manfaat dari pekerjaan yang dipertanyakan: Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah? Salomo berkata (Amsal 14:23), dalam tiap jerih payah ada keuntungan. Namun di sini ia menyangkal bahwa ada keuntungan. Berkenaan dengan keadaan kita sekarang di dunia, memang benar bahwa dengan bekerja kita mendapat apa yang kita sebut keuntungan. 

Kita memakan hasil jerih payah tangan kita. Akan tetapi, sama seperti kekayaan dunia biasa disebut sebagai harta benda, namun kekayaan itu adalah apa yang lenyap (Amsal 23:5), demikian pula kekayaan itu disebut keuntungan, tetapi pertanyaannya adalah, apakah itu benar-benar demikian atau tidak. Dan di sini ia menyatakan bahwa itu tidak demikian, bahwa itu bukan keuntungan yang sesungguhnya, bahwa itu bukan keuntungan yang benar-benar ada. Singkatnya, kekayaan dan kesenangan dunia ini, seandainya pun kita memilikinya dengan begitu banyak, tidak cukup untuk membuat kita bahagia, tidak pula keduanya akan menjadi bagian untuk kita.

(c). Berkenaan dengan tubuh, dan kehidupan yang sekarang, apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah? Hidup manusia tidaklah tergantung dari pada kekayaannya (Lukas 12:15). Seiring bertambahnya barang, bertambah pula kekhawatiran tentangnya, dan bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya, dan satu hal kecil saja akan membuat pahit semua penghiburannya. Jadi apakah gunanya segala jerih payah manusia? Bangun pagi-pagi, tetapi tidak pernah lebih dekat dengan tujuan.


(d). Berkenaan dengan jiwa, dan kehidupan yang akan datang, kita bisa berkata dengan jauh lebih benar, apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah? Semua yang didapatnya dari jerih payahnya tidak akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa, tidak pula memuaskan keinginan-keinginannya, tidak akan menebus dosa jiwa, atau menyembuhkan penyakit-penyakitnya, tidak pula akan mengganti kehilangannya.

Apakah gunanya jerih payah manusia bagi jiwanya dalam kematian, dalam penghakiman, atau dalam kehidupan kekal? Buah dari jerih payah kita dalam perkara-perkara sorgawi adalah makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, tetapi buah dari jerih payah kita untuk dunia hanyalah makanan yang akan dapat binasa.
Next Post Previous Post