PENGKHOTBAH 1:12-18 - KESIA-SIAAN HIKMAT MANUSIA
Matthew Henry ( 1662 – 1714).
PENGKHOTBAH 1:12-18 - KESIA-SIAAN HIKMAT MANUSIA.
PENGKHOTBAH 1:12-18 - KESIA-SIAAN HIKMAT MANUSIA.
Salomo, setelah menegaskan secara umum bahwa segala sesuatu adalah sia-sia, dan setelah memberikan beberapa bukti umum tentangnya, sekarang mengambil cara yang paling jitu untuk menunjukkan kebenarannya,
1). Dari pengalamannya sendiri. Ia sudah mencoba semuanya itu, dan mendapatinya sia-sia.
2). Dengan menyebutkan kejadian-kejadian tertentu. Dan di sini ia memulai dengan apa yang paling mungkin menjadi kebahagiaan makhluk yang berakal, yaitu pengetahuan dan pembelajaran. Jika ini sia-sia, maka segala sesuatu yang lain pasti sia-sia juga.
Nah, berkenaan dengan pengetahuan ini,
Nah, berkenaan dengan pengetahuan ini,
[I]. Salomo memberi tahu kita di sini percobaan apa yang sudah dibuatnya untuk itu, dan itu dengan keuntungan-keuntungan yang sedemikian rupa hingga, jika kepuasan yang sejati dapat ditemukan di dalamnya, ia pasti akan menemukannya.
a). Kedudukannya yang tinggi memberinya kesempatan untuk mengembangkan dirinya dalam semua bidang ilmu pengetahuan, dan khususnya dalam keahlian memerintah dan perilaku umat manusia (ayat 12). Dia yang menjadi pengkhotbah ajaran ini adalah raja atas Israel, yang dikagumi oleh semua sesamanya sebagai umat yang bijaksana dan berakal budi (Ulangan 4:6).
Kursi kerajaannya terletak di Yerusalem, yang pada saat itu layak, lebih daripada Atena, disebut sebagai mata dunia. Hati raja tak terselami. Hanya dia sendiri yang bisa menjangkaunya, dan keputusan dari Allah ada di bibir raja.
Adalah kehormatannya, adalah urusannya, untuk menyelidiki segala sesuatu. Kekayaan dan kehormatan Salomo yang besar membuatnya mampu menjadikan istananya sebagai pusat pembelajaran dan tempat bertemunya orang-orang terpelajar, dan melengkapi dirinya dengan buku-buku terbaik. Dan ia bertukar pendapat atau surat-menyurat dengan semua orang bijak dan berpengetahuan yang ada di dunia pada saat itu, yang datang kepadanya untuk belajar darinya, yang melaluinya ia tidak bisa tidak memperbaiki dirinya sendiri.
Sebab dalam pengetahuan seperti juga dalam perdagangan, semua keuntungan akan diperoleh dengan cara tukar-menukar. Jika kita mempunyai sesuatu untuk dikatakan yang akan mengajar orang lain, maka mereka juga akan mempunyai sesuatu untuk dikatakan yang akan mengajar kita.
Sebagian orang mencermati betapa dengan meremehkan Salomo berbicara tentang martabat dan kehormatannya sendiri. Ia tidak berkata, aku, pengkhotbah, adalah seorang raja, melainkan aku dulu seorang raja, tidak peduli siapa aku sekarang. Ia berbicara tentang kedudukannya itu sebagai sesuatu di masa lalu, sebab kehormatan-kehormatan duniawi adalah hal yang selalu berlalu.
[2]. Ia berusaha memanfaatkan keuntungan-keuntungan ini, dan kesempatan-kesempatan yang dimilikinya untuk memperoleh hikmat, yang, meskipun begitu besar, tidak akan membuat orang bijak kecuali ia mencurahkan segenap pikirannya untuk itu. Salomo membulatkan hatinya untuk memeriksa dan menyelidiki semua hal yang dapat diketahui dengan hikmat (Pengkhotbah 1:13). Ia mencurahkan diri sepenuhnya untuk mengenal segala yang terjadi di bawah langit, yang terjadi oleh penyelenggaraan Allah atau oleh keahlian dan kebijaksanaan manusia.
Ia menetapkan hati untuk mendapatkan semua wawasan yang bisa didapatnya tentang filsafat dan ilmu hitung, tentang pertanian dan perdagangan, barang jualan dan ilmu mesin, tentang sejarah masa lalu dan keadaan sekarang dari kerajaan-kerajaan lain, hukum-hukum, adat istiadat, dan cara kebiasaan mereka, tentang sifat manusia yang berbeda-beda, kemampuan-kemampuan, rencana-rencana, dan cara-cara untuk mengaturnya.
Ia menetapkan hati tidak hanya untuk memeriksa, tetapi juga untuk menyelidiki, untuk mengorek-ngorek, apa yang paling rumit, dan yang menuntut segenap pikiran dan pekerjaan yang teramat gigih dan terus-menerus. Meskipun ia seorang raja, ia membanting tulang untuk belajar. Ia tidak berkecil hati karena kerumitan-kerumitannya, tidak pula asal-asalan dalam mempelajarinya.
Dan ini dilakukannya, tidak hanya untuk memuaskan kecerdasannya sendiri, tetapi juga supaya ia memenuhi syarat untuk melayani Allah dan angkatannya, dan untuk membuat percobaan seberapa jauh kemajuan pengetahuan akan membantu menenangkan dan menenteramkan pikiran.
[3]. Ia membuat kemajuan-kemajuan yang sangat pesat dalam pelajaran-pelajarannya, meningkat secara menakjubkan dalam semua bidang ilmu pengetahuan, dan membawa penemuan-penemuannya jauh lebih maju daripada siapa saja sebelumnya. Ia tidak mengutuk pengetahuan, seperti banyak orang, karena mereka tidak bisa menaklukkannya, dan tidak mau bersusah payah menguasainya.
Tidak, apa yang menjadi tujuannya ia capai; ia telah melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari (Pengkhotbah 1:14), pekerjaan-pekerjaan alam di dunia atas dan di dunia bawah, semuanya dalam pusaran ini (untuk menggunakan istilah zaman sekarang), di mana matahari sebagai pusatnya, baik itu karya-karya seni, hasil kecerdasan manusia, dalam kemampuan pribadi atau masyarakat.
Ia mendapat banyak kepuasan dalam keberhasilan penyelidikan-penyelidikannya sama seperti orang lain sebelumnya. Ia berkata dalam hati mengenai pencapaian-pencapaiannya dalam pengetahuan, dengan perasaan yang sangat senang seperti saudagar kaya menghitung barang-barang persediaannya. Ia dapat berkata, " Lihatlah, aku telah memperbesar dan menambah hikmat, tidak hanya sudah memperoleh sendiri lebih banyak hikmat, tetapi juga berbuat lebih banyak untuk menyebarkannya dan membuatnya terkenal, daripada siapa saja, lebih dari pada semua orang yang memerintah atas Yerusalem sebelum aku."
Perhatikanlah, sudah sepatutnya orang-orang besar tekun belajar, dan bersuka terutama dalam kesenangan-kesenangan yang menuntut banyak berpikir. Apabila Allah memberikan keuntungan-keuntungan besar untuk memperoleh pengetahuan, Ia menantikan kemajuan-kemajuan seperti yang seharusnya.
Berbahagialah sebuah bangsa apabila raja-raja dan pemuka-pemuka mereka berusaha untuk mengungguli satu sama lain dalam hikmat dan pengetahuan yang bermanfaat, seperti yang mereka lakukan dalam kehormatan dan harta milik. Mereka dapat memberikan pelayanan kepada seluruh dunia pendidikan dengan mengabdikan diri mereka kepada bidang-bidang ilmu yang tepat bagi mereka, yang tidak dapat dilakukan oleh orang-orang yang lebih rendah kedudukan-Nya.
Salomo harus diakui sebagai hakim yang cakap atas perkara ini, sebab bukan saja kepalanya penuh dengan berbagai gagasan, melainkan juga hatinya telah memperoleh banyak hikmat dan pengetahuan, kekuatan dan manfaat dari pengetahuan, serta kesenangan dan penghiburan darinya. Apa yang ia ketahui telah dicernanya, dan ia tahu bagaimana memanfaatkannya. Hikmat masuk ke dalam hatinya, dan dengan demikian menyenangkan jiwanya (Amsal 2:10-11; 22:18).
[4]. Ia mencurahkan penelitiannya terutama pada bidang ilmu yang paling berguna bagi perilaku hidup manusia, dan karenanya yang paling berharga (Pengkhotbah 1:17): " Aku telah membulatkan hatiku untuk memahami aturan-aturan dan perintah-perintah hikmat, dan bagaimana aku bisa memperolehnya. Dan untuk mengetahui kebodohan dan kebebalan, bagaimana aku bisa mencegah dan menyembuhkannya.
Untuk mengetahui jerat-jerat dan bujukan-bujukannya, supaya aku bisa menghindarinya, berjaga-jaga terhadapnya, dan menyingkapkan kesalahan-kesalahannya."
Begitu tekunnya Salomo dalam meningkatkan dirinya dalam pengetahuan, hingga ia mendapat pengajaran baik oleh hikmat orang bijak maupun oleh kebodohan orang bebal, oleh ladang orang pemalas, maupun oleh ladang orang rajin.
Begitu tekunnya Salomo dalam meningkatkan dirinya dalam pengetahuan, hingga ia mendapat pengajaran baik oleh hikmat orang bijak maupun oleh kebodohan orang bebal, oleh ladang orang pemalas, maupun oleh ladang orang rajin.
[II]. Ia memberi tahu kita apa hasil dari percobaan ini, untuk meneguhkan apa yang sudah dikatakannya, bahwa segala sesuatu adalah sia-sia.
1. Ia mendapati bahwa pencarian-pencariannya akan pengetahuan sangat meletihkan, dan tidak hanya melelahkan daging, tetapi juga pikiran (Pengkhotbah 1:13):
Pekerjaan yang menyusahkan ini, kesulitan yang ada dalam mencari kebenaran dan menemukannya ini, diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan diri, sebagai hukuman terhadap orang tua pertama kita karena menginginkan pengetahuan yang terlarang. Sama seperti makanan untuk tubuh, demikian pula makanan untuk jiwa, harus diperoleh dan dimakan dengan berpeluh, padahal keduanya akan didapat tanpa susah payah seandainya Adam tidak berdosa.
2. Ia mendapati bahwa semakin ia melihat segala perbuatan yang dilakukan orang di bawah matahari, semakin ia melihat kesia-siaannya. Bahkan, penglihatan itu sering kali membuat jiwanya kesusahan (Pengkhotbah 1: 14): "Aku telah melihat segala perbuatan di dunia yang penuh pekerjaan, telah mencermati apa yang sedang dilakukan anak-anak manusia. Tetapi lihatlah, apa pun yang dipikirkan orang tentang pekerjaan-pekerjaan mereka sendiri, aku melihat bahwa segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin."
Sebelumnya ia sudah menyatakan bahwa segala sesuatu adalah sia-sia (ayat 2), tidak perlu dan tidak bermanfaat, dan apa yang tidak memberikan kebaikan kepada kita. Di sini ia menambahkan, semuanya itu adalah usaha menjaring angin, menyusahkan dan merugikan, dan sesuatu yang mencederai kita. Itu adalah memakan angin, demikian sebagian orang membacanya (Hosea 12:2, KJV).
(a). Pekerjaan-pekerjaan itu sendiri, yang kita lihat dilakukan, adalah sia-sia dan usaha menjaring angin bagi orang-orang yang dipekerjakan di dalamnya. Ada begitu banyak kekhawatiran dalam merancang urusan duniawi kita, begitu banyak kerja keras dalam melaksanakannya, dan begitu banyak kesusahan dalam kekecewaan-kekecewaan yang kita jumpai di dalamnya, sehingga pantaslah jika kita berkata, itu adalah usaha menjaring angin.
(b). Melihat pekerjaan-pekerjaan itu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin bagi orang bijak yang mengamatinya. Semakin kita melihat dunia, semakin kita melihat apa yang membuat kita tidak tenang, dan, bersama Heraklitos (filsuf Yunani kuno – pen.), memandang semuanya dengan mata yang menangis. Salomo terutama memahami bahwa pengetahuan tentang hikmat dan kebodohan adalah usaha menjaring angin (Pengkhotbah 1:17).
Hatinya susah melihat banyak orang yang mempunyai hikmat tetapi tidak menggunakannya, dan banyak orang yang bodoh tetapi tidak berusaha melawan kebodohan itu. Hatinya susah ketika ia mengenal hikmat untuk melihat seberapa jauh hikmat itu dari anak-anak manusia, dan, ketika ia melihat kebodohan, hatinya susah melihat seberapa cepat kebodohan itu membelenggu hati mereka.
3. Ia mendapati bahwa setelah ia memperoleh sedikit banyak pengetahuan, ia tidak bisa mendapatkan kepuasan bagi dirinya sendiri, tidak pula melakukan kebaikan kepada orang lain dengannya, seperti yang dia harapkan (Pengkhotbah 1:15). Tidak ada gunanya,
(a). Untuk memperbaiki banyak kesusahan dalam kehidupan manusia: "Bagaimanapun juga, aku mendapati bahwa yang bongkok akan tetap bongkok dan tak dapat diluruskan." Pengetahuan kita sendiri rumit dan membingungkan. Kita harus pergi jauh dan berputar-putar ke tempat yang jauh untuk sampai padanya. Salomo berpikir untuk menemukan jalan yang lebih dekat ke sana, tetapi tidak bisa. Jalan-jalan pengetahuan seperti sebuah labirin (jalan yang berkelok-kelok hingga menyesatkan – pen.) dari dahulu sampai sekarang. Pikiran dan perilaku manusia bengkok dan sesat.
Salomo bermaksud, dengan hikmat dan kekuasaannya secara bersama-sama, untuk memperbaharui kerajaannya secara menyeluruh, dan meluruskan apa yang didapatinya bengkok. Tetapi ia kecewa. Semua pengetahuan dan keahlian memerintah di dunia tidak akan mengembalikan kodrat manusia yang bobrok kepada kelurusannya yang semula. Kita mendapati ketidaksanggupannya baik dalam diri orang lain maupun dalam diri kita sendiri.
Pengetahuan tidak akan mengubah perangai-perangai alami manusia, atau menyembuhkan mereka dari penyakit-penyakit mereka yang berdosa, tidak pula akan mengubah pembawaan dari segala sesuatu di dunia ini. Lembah air mata, itulah dunia ini sekarang, dan demikian pula nanti ketika segala sesuatu sudah dilakukan.
(b). Untuk menutupi banyak kekurangan dalam kenyamanan hidup manusia: Yang tidak ada di sana tak dapat dihitung, atau dihitung bagi kita dari perbendaharaan pengetahuan manusia, tetapi apa yang tidak ada tetap tidak ada. Semua kenikmatan kita di sini, setelah kita melakukan yang terbaik untuk membawanya pada kesempurnaan, masih saja lumpuh dan cacat, dan tidak dapat ditolong. Seperti apa adanya semua kenikmatan itu, demikian pula adanya nanti. Yang tidak ada dalam pengetahuan kita begitu banyak hingga tak dapat dihitung. Semakin kita tahu, semakin kita melihat ketidaktahuan kita sendiri. Siapakah yang dapat mengetahui kesesatannya, cacat celanya?
4. Oleh karena itu, secara keseluruhan, ia menyimpulkan bahwa para sarjana yang besar hanya menjadikan diri mereka sebagai orang-orang yang banyak berkabung. Karena di dalam banyak hikmat ada banyak susah hati (Pengkhotbah 1:18).
Pasti ada banyak susah payah yang dikerjakan untuk memperolehnya, dan banyak perhatian yang diberikan untuk tidak melupakannya. Semakin kita tahu, semakin kita melihat ada lagi yang harus diketahui, dan sebagai akibatnya kita melihat dengan lebih jernih bahwa pekerjaan kita tiada berakhir, dan kita semakin melihat kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan kita yang dulu, yang menimbulkan banyak susah hati.
Semakin kita melihat berbagai perasaan dan pendapat manusia yang berbeda-beda (dan itu adalah apa yang diketahui oleh banyaknya pengetahuan kita), semakin kita kebingungan, siapa yang sesungguhnya benar. Siapa memperbanyak pengetahuan, ia mempunyai daya pemahaman yang jauh lebih cepat dan peka akan malapetaka-malapetaka dunia ini, dan untuk satu temuan yang mereka buat yang mungkin menyenangkan, mereka membuat sepuluh temuan yang tidak menyenangkan, dan dengan demikian mereka memperbanyak kesedihan. Janganlah kita karena itu dijauhkan dari mengejar suatu pengetahuan yang berguna, tetapi harus bersabar untuk maju menerobos melalui kesedihan yang dialami.
Janganlah kita putus asa untuk menemukan kebahagiaan yang sejati dalam pengetahuan ini, dan mengharapkannya hanya dalam pengetahuan akan Allah dan dalam melaksanakan kewajiban kita terhadap-Nya dengan penuh perhatian. Siapa memperbanyak hikmat surgawi, dan melalui pengalaman mengenal dasar-dasar ajaran, kuasa-kuasa, dan kesenangan-kesenangan dari kehidupan rohani dan ilahi, ia memperbanyak sukacita, seperti yang akan segera disempurnakan dalam sukacita yang kekal.