Kehendak Allah bagi Orang Percaya: Roma 12:2
Orang Kristen yang sungguh-sungguh menyerahkan dirinya (tubuh, pikiran, hati, dan kehendak) kepada Allah sebagai korban persembahan yang hidup, akan memiliki akal budi yang senantiasa diperbaharui oleh Roh Kudus. Dengan demikian, ia dapat membedakan kehendak Tuhan dengan kehendaknya sendiri (kemauan diri sendiri biasanya "semau gue" tanpa menghiraukan kehendak Tuhan) (Roma 12:1, 7:25; Ibrani 10:10, 14, 16, 22; 1 Petrus 1:13; Amsal 19:8). Berdasarkan Roma 12:2, terdapat tiga kehendak Allah, yaitu: pertama, apa yang baik; kedua, yang berkenan kepada Allah; ketiga, yang sempurna. Ketiganya akan dibahas secara berturut-turut di bawah ini.
1. Apa yang Baik
Sesudah orang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamat, maka tidak dengan sendirinya atau tidak secara otomatis mereka langsung memahami apa yang baik. Kata Yunani, to agathon, artinya yang baik. Apakah yang baik itu? Ada berbagai pandangan dari filsuf dan teolog tentang makna atau definisi baik (Geisler, 2015).
Namun semua pandangan yang dibahas dalam buku tersebut terkait baik atau benar, bukan menjadi ukuran secara mutlak, bukan berlaku secara universal. Tetapi yang menjadi standar mutlak tentang baik atau benar hanyalah Pribadi Ilahi, Allah yang telah menyatakan diri dalam Yesus Kristus bagi umat manusia. Itulah fondasi satu-satunya yang berlaku bagi keputusan etika manusia. Apa yang telah Allah nyatakan dalam Firman-Nya, Kitab Suci, itulah yang terbaik bagi dasar keputusan moral para pengikut Tuhan Yesus.
Dalam konteks surat Roma 12:1-8, mempersembahkan atau mempercayakan diri kepada Tuhan Yesus, membangun pola berpikir sesuai Firman-Nya, melayani sesama dengan baik sesuai karunia yang telah Allah berikan kepada orang-orang beriman. Semua itu merupakan hal baik. Allah menghendaki-Nya baik sebab memang baik menurut natur kebaikan-Nya yang tak berubah.
Menurut Verkuyl, mencari yang baik berarti mencari Tuhan. Hanya Tuhan yang baik, dan hanya Dialah yang tahu apa yang baik itu (Verkuyl, 1997:76-77). Tuhan juga telah memberitahukan apa yang baik di dalam Mikha 6:8: “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan dari padamu …”Raja Daud, menyatakan …“Tidak ada yang baik bagiku selain Tuhan” (Mazmur 16:2).
Hal ini paralel dalam Perjanjian Baru, ketika Tuhan Yesus menjawab pertanyaan seorang muda yang kaya, “Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik …” (Matius 19:17). Jawaban Tuhan Yesus itu merujuk kepada Allah. Hanya Allah yang baik dan Maha Baik bagi seluruh ciptaan-Nya. Allah sebagai Kebaikan Utama dan makna kebaikan yang sebenarnya
Oleh karena itu, para pengikut Tuhan Yesus harus berupaya keras dan cerdas untuk memahami apa yang baik, dengan cara mempelajari Firman Allah (Alkitab),dan berbagai literatur yang berbobot secara cermat dan sungguh-sungguh (Bnd. Yakobus 1:25). Berarti ada bagian orang percaya untuk belajar kebenaran Tuhan dengan cermat dan sungguh-sungguh, dan ada bagian Tuhan untuk mentransformasi akal budi manusia melalui intervensi Roh Kudus dalam diri orang percaya.
Rasul Paulus menulis di dalam 2 Timotius 3:16: “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” Dengan demikian, dapat membentuk dan memperlengkapi umat Tuhan dalam pemikiran, moral atau tingkah laku yang baik. Kana memaparkan bahwa keyakinan iman Kristen berfungsi untuk membentuk moral, paradigma dunia penganutnya, dan menjadi acuan dalam pemikiran dan bertingkah laku (Kana, 1996: 49).
Ada peran akal dalam iman Kristen untuk mengetahui, mengerti dan mengenal kehendak Allah. Ada juga peran hati dalam kekristenan. Keduanya merupakan hal yang sama-sama penting dalam iman Kristen. Antara akal dan hati, mana yang lebih diutamakan sehubungan dengan urutan pentingnya?Apabila orang percaya mencermati Kitab Matius 22:37; Markus 12:30; Ulangan 6:4-5, maka tentu saja hati menempati urutan pertama dalam mengasihi, karena Tuhan Yesus menilai kasih setiap individu kepada-Nya berdasarkan sikap hatinya.
Hati adalah inti kehidupan manusia (Amsal 4:23).Selanjutnya pikiran dan kekuatan manusia (fisik/tubuh)menempati urutan kedua dan ketiga dalam hal relasi mengasihi Tuhan. Memang antara hati, pikiran dan tubuh saling berkorelasi satu dengan lainnya; dan bisa dibedakan, namun tak dapat dipisahkan. Apa yang orang pikirkan, ucapkan dan perbuat berasal dari dalam hati manusia; apa yang tampak dalam perbuatan manusia merupakan ekspresi dari hatinya (Bnd. Matius 15:18-19). Pikiran, hati dan kehendak saling berhubungan dan tak terpisahkan dalam kegiatan memahami dan melakukan kehendak Allah.
Apa yang orang pikirkan dan renungkan secara mendalam di hatinya, akan membentuk kehidupan manusia. Kebenaran Allah yang hanya sebatas di otak, dikepala atau di pikiran sebagai pengetahuan saja, tidak akan mengubah hidup manusia. Itu dapat dilihat dari kehidupan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Secara intelektual, mereka sangat tahu dan memahami isi Alkitab dengan baik (Taurat dan Kitab para Nabi).
Namun secara karakter mereka sangat bobrok dan kacau (lihat dalam Kitab Injil).Mereka lebih memperhatikan tampilan lahiriah saja daripada batiniah (kehidupan rohani yang saleh).Mereka adalah pembelajar namun sayangnya pengetahuannya hanya sebatas di ranah kognitif saja. Pengajaran dengan perilaku hidup tidak berpadanan (tidak berintegritas)
Thorndike, ahli pendidikan, dalam teori belajar Behavioristik, mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia telah mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Yang dimaksud di sini adalah orang yang telah belajar sesuatu atau berbagai bidang ilmu pengetahuan perlu menerapkan atau melaksanakan teori yang sudah dimilikinya. Pengetahuan saja merupakan fase awal.
Implementasi, tahap berikutnya. Dengan begitu, akan berdampak pada perubahan tingkah laku manusia. Apabila seseorang tidak dapat memperlihatkan atau mengalami transformasi tingkah laku maka sebenarnya orang itu belum belajar; termasuk yang bersangkutan belum belajar dari pengalaman hidupnya. Jikalau ia mengaku sudah belajar pun maka sebenarnya pengetahuannya itu hanya berada di tataran otak atau di kepala saja
Perlu dipahami juga bahwa ilmu pengetahuan (sains) tidak membawa orang pada pengampunan dosa dan kebebasan dari kebinasaan kekal. Ilmu pengetahuan memang penting dan bernilai dalam kehidupan, tetapi memiliki keterbatasan dalam mengubah hidup manusia. Orang kaya dalam ilmu pengetahuan, namun bila tanpa iman yang sejati, dapat menggunakan pengetahuannya untuk merugikan sesamanya, bahkan dapat memberontak terhadap Allah. Tetapi kebenaran Firman Allah yang sudah dipikirkan dan direnungkan secara matang, mendalam serta diresapi ke dalam lubuk hati manusia yang terdalam, itulah yang akan membentuk dan mentransformasi hidup manusia (Bnd. Amsal 2:1, 3:1; Mazmur 1:2-3; Yakobus 1:21, 25; Filipi 4:8).
White mengurai bahwa pikiran adalah tempat bagi intelek dan pengetahuan yang menghasilkan teologi. Hati adalah tempat bagi iman dan kasih sayang yang menghasilkan kerinduan akan Allah. Kehendak adalah tempat bagi keputusan dan ketaatan yang menghasilkan hidup saleh (White, 1995:28).
Menurut Sproul, apabila saya memiliki pengetahuan yang baik tentang firman Allah di dalam pikiran, kognitif atau di otak saya, tetapi tidak ada kasih untuk Yesus Kristus di dalam hati saya, maka saya telah kehilangan Kerajaan Surga. Menurut Yusuf, pengetahuan baru adalah perpektif individu atas serangkaian input yang diterima baik berupa teks maupun bukan teks (Jurnal Teknologi Pendidikan, Vol 17, N0. 1, April 2015).
Tentu lebih penting hati orang percaya benar di hadapan Allah daripada pemikirannya benar. Namun begitu, supaya hati orang percaya benar, ada keutamaan intelektual sehubungan dengan urutan pentingnya. Tidak ada sesuatu apa pun yang akan ada dalam hati orang percaya, yang tidak ada terlebih dahulu di pikiran atau di benaknya. Bagaimana orang percaya dapat mencintai Tuhan Yesus yang tidak diketahui dan kenal sama sekali? Tentu semakin orang percaya mengetahui, mengenal dan memahami kehendak Allah maka kapasitasnya untuk mengasihi Dia semakin besar (Sproul, 2012: Xxi).
Apa yang ada di hati manusia suatu saat nanti akan terwujud dalam perbuatan nyata. Perilaku hidup manusia adalah buah dari pikiran-pikirannya yang sudah mendalam dan mengakar (Matius 15:18-19; Filipi 4:8).
Dalam kehidupan, adakalanya apa yang baik belum tentu benar. Apa yang baik belum tentu sesuai kehendak Allah. Sebagai contoh: orang yang berbohong demi kebaikan. Hal ini pernah dilakukan Daud dengan berpura-pura hilang ingatan dan gila dengan cara menggores-gores pintu gerbang dan membiarkan ludahnya meleleh ke janggutnya (1 Samuel 21:13; Mazmur 34:1a).
Ini merupakan contoh berbohong demi kebaikan, agar Daud tidak ditangkap atau dibunuh oleh raja Akhis dan di depan Abimelek sehingga ia mengusir Daud. Sikap Daud ini merupakan kesalahan atau kejahatan. Dalam hal ini, orang percaya tidak boleh mencontoh sikap tersebut, sebab itu termasuk perbuatan dosa di mata Tuhan. Apakah itu baik?
Di mata manusia mungkin itu hal baik. Apa yang diinginkan manusia tidak selalu betul-betul baik; kadang hanya kelihatannya baik, tetapi sebenarnya jahat. Itu di pandangan Tuhan tidaklah baik, dosa. Mengapa? Karena kebohongan yang bersembunyi dibalik kebaikan atau kebohongan yang ber topengkan kebaikan merupakan dosa. Keduanya adalah hal yang berbeda. Kebaikan adalah kebaikan; kebohongan adalah kebohongan.
Jadi, kebaikan dan kebohongan tidak bisa dikompromikan dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Sebagaimana terang tidak bisa bersatu dengan kegelapan, demikian juga kebaikan tidak bisa bersatu dengan kebohongan atau kejahatan. Apa yang baik menurut manusia sering tidak lebih daripada “menikmati kesenangan dari dosa” (Ibrani 11:25).
Berarti apa yang baik bagi manusia belum tentu benar di mata Allah. Tetapi sesuatu yang benar, sudah tentu baik adanya. Pikiran-pikiran yang baik dan benar akan mendahului hasil-hasil yang baik. Pemikir baik harus menjawab atau meluruskan pemikir yang buruk agar dapat menjadi pemikir yang baik
Geisler &Feinberg mengemukakan, sesuatu bersifat baik bukan hanya karena Allah menghendakinya; melainkan sebaliknya Tuhan menghendaki sesuatu karena sesuatu itu baik. Dan sesuatu itu baik karena sesuai dengan sifat baik Tuhan yang tidak mungkin berubah. Kehendak Tuhan juga tidak bersifat sewenang-wenang. Dia juga tidak tunduk kepada sesuatu di luar diri-Nya, atau tidak ada sesuatu di luar diri Tuhan yang lebih tinggi atau lebih besar dari diri-Nya.
Kehendak Allah hanya tunduk pada hakikat diri-Nya sendiri, yaitu karakter kudus serta kasih-Nya yang tak berubah (2013, h. 401; 403).Untuk itu, melakukan hal yang benar saja tidaklah cukup. Allah tak hanya menginginkan manusia untuk melakukan hal yang benar, tetapi juga melakukannya dengan alasan-alasan yang benar (McCallum, 2000:22).
Tuhan Yesus adalah pribadi yang Maha baik sekaligus Dia adalah Kebenaran (Yohanes 14:6; 1 Yohanes 5:20). Itulah sebabnya Yesus menghendaki agar setiap pengikut-Nya melakukan apa yang baik dan benar dalam berbagai aspek kehidupan berdasarkan kebenaran Firman-Nya (Bnd. Mazmur 37:3, 25:5; Amsal 12:28; Filipi 2:5).
Doa Paulus di Filipi 1:9-11, “… Semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik… penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah.” Rasul Paulus meneguhkan kembali bahwa idealnya orang yang sudah dibenarkan oleh iman terus-menerus berakar, bertumbuh dan berbuah ke arah Tuhan Yesus. Menjadi orang Kristen berari orang yang berjalan di belakang Yesus, mengiring Tuhan Yesus dengan setia dalam ajaran dan teladan hidup-Nya.
2. Berkenan Kepada Allah
Perspektif, paradigma, pandangan hidup manusia harus dibangun secara kontinuitas (terus menerus) berdasarkan Firman Allah, dan bukan berlandaskan gaya hidup atau pola hidup duniawi, sehingga kehidupan para pengikut Yesus menjadi berkenan kepada-Nya. Frasa bahasa Greek, kai euareston yang berarti mohon untuk, maksudnya adalah supaya dapat berkenan kepada Allah. Perhatikan di dalam 1 Samuel 13:14 dan dipertegas lagi di dalam Kisah Para Rasul 13:22 … mengenai Daud, Allah telah menyatakan: Aku telah mendapat Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku dan yang melakukan segala kehendak-Ku.
Meskipun dalam perjalanan karier Daud pernah melakukan dosa, yakni berzina dengan Batsyeba (istri Uria), serta merencanakan kejahatan terhadap Uria sehingga mati terbunuh saat di medan pertempuran melawan bani Amon (2 Samuel 11:1-27). Tetapi kemudian Daud menyesal dan bertobat setelah ditegor oleh Nabi Natan (2 Samuel 12:1- 25).Perubahan yang terjadi di dalam diri Daud itu karena adanya stimulus berupa teguran dari sang Nabi, perasaan bersalah dan menyadari kejahatannya.
Pengakuan Daud dengan jujur akan keberdosaannya, dan bertekad untuk mengubah perbuatannya. Itulah yang membuat Allah berkenan, mengampuni serta memulihkan diri Daud (Bnd.1 Yohanes 1:9-10).Berarti orang yang berkenan kepada Tuhan, bukan berarti ia tak pernah berbuat kesalahan dan dosa, namun karena ia menyadari akan kesalahan dan perbuatan dosanya, kemudian bersikap jujur dan memohon ampun pada Tuhan dan sesama. Orang yang mau berubah adalah orang baik. Amsal 12:2 mencatat demikian: “Orang baik di kenan Tuhan…”
Apabila tidak demikian, maka hidup manusia akan bertentangan dengan kehendak-Nya. Ini diutarakan oleh rasul Paulus di kitab Roma 8:5, 7-8: “Sebab mereka yang hidup menurut daging, memikirkan hal-hal yang dari daging; mereka yang hidup menurut Roh, memikirkan hal-hal yang dari Roh…sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini tidak mungkin baginya. Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah.” Maka dalam Galatia 5:19-21 pun Paulus menulis agar orang Kristen tidak hidup dipimpin oleh keinginan daging
Ada orang Kristen yang hanya membangun hidupnya berdasarkan pada pengalaman saja, bukan berdasarkan kebenaran. Konsep ini kemungkinan dipengaruhi oleh empirisme. Empirisme adalah suatu aliran filsafat yang menekankan bahwa pengetahuan diperoleh berdasarkan pengalaman inderawi. Maksudnya adalah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia (Bertens, 2006: 50).
Perlu diketahui bahwa pengalaman memang perlu dalam kehidupan ini; pengalaman dapat menolong orang percaya dalam batas-batas tertentu, namun itu bukan segalanya sebab pengalaman dapat berubah-ubah, pengalaman juga bukan sebagai standar atau penentu kehidupan manusia. Tetapi Alkitab adalah kebenaran, menjadi ukuran atau standar mutlak dan penentu kehidupan manusia (2 Timotius 3:16-17).
Dengan demikian, Firman Allah membungkam para penganut Sofistik (hidup pada zaman Yunani kuno, sekitar pertengahan abad 5 sebelum Masehi) dan pragmatisme yang menyatakan, kebenaran menjadi sesuatu yang relatif. Mereka tidak menerima kebenaran yang tetap dan definitif (Bertens, 2006: 11).
Padahal yang jelas dan pasti, Alkitab adalah kebenaran Allah yang absolut dan tetap, sebagai pedoman, petunjuk kehidupan bagi umat manusia. Menurut Agustinus, dalam gagasan Ilahi terdapat kebenaran-kebenaran yang mutlak dan tak terubahkan. Rasio Ilahi itu menerangi rasio insani. Allah adalah guru batiniah yang bertempat tinggal dalam batin kita dan menerangi roh manusia dengan kebenaran-Nya (Bertens, 2006: 23)
Di dalam buku All Truth is God’s Truth menulis demikian, kalau orang memiliki pengalaman langsung dengan Allah, apa lagi yang diperlukan? Dalam hal moralitas orang juga belajar dari pengalaman, demikian juga dalam hubungan sosial dan banyak karya seni dan kerajinan tangan. Bukankah pengalaman yang paling dibutuhkan manusia? Holmes berpendapat bahwa pengalaman itu tentu saja penting dan memperkaya setiap orang, namun ia bukanlah hal yang terutama dalam kehidupan dan agama.
Pengalaman dapat timbul dari hipnotis dan fantasi, pengalaman yang kelihatan rohani dapat dikarenakan oleh halusinogen. Apa yang paling menentukan bukan pengalaman, namun kebenaran. Kebenaran tentang Allah dan relasi orang percaya dengan-Nya itu jauh lebih penting dari perasaan yang muncul dari pengalaman agama, dan kebenaran tentang apa yang benar dan salah secara moral itu lebih fundamental dari “merasa benar tentang hal itu” atau belajar dari pengalaman pahit.” Kebenaran tidak berubah, pengalaman dapat berubah.
Kebenaran bersifat universal dan normatif; tidak demikian halnya dengan pengalaman. Pengalaman bukan abstrak dingin yang harus ditakuti tetapi memiliki dimensi personal yang memikat dan memuaskan manusia. Kebenaran adalah apa yang betul-betul penting, yaitu sebagai pemberi kata akhir, karena pada akhirnya dialah yang akan menghakimi apa yang akan orang lakukan dan alami.
Itu sebabnya, para pengikut Yesus harus menyelaraskan pengalamannya kepada kebenaran-Nya, dan bukannya kebenaran yang disesuaikan dengan pengalaman yang berubah-ubah. Setiap orang harus mengerti dan mengenal kebenaran-Nya supaya menjadi merdeka (Holmes, 2000:137138).
Itu selaras dengan pernyataan Rasul Yohanes: “dan kamu akan mengetahui kebenaran. Dan kebenaran akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:32).Dengan demikian, “Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya”(Kisah Para Rasul 10:35). Allah sangat berkenan jika orang beriman senang dalam ketaatan pada Firman-Nya. Sebaliknya Dia sangat tak berkenan apabila para pengikut Tuhan Yesus tidak taat.
3. Yang Sempurna
Pengakuan dengan mulut dan percaya di dalam hati bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan Allah yang mampu menyelamatkan manusia dari dosa dan maut, tidak secara otomatis membuat orang percaya langsung mendadak menjadi sempurna dalam budi pekerti (karakter, sifat, tabiat atau kebiasaan); pemahaman orang percaya terhadap kehendak Allah juga tidak serta merta langsung memiliki pengetahuan dan pemahaman yang lengkap dan sempurna. Namun harus ada upaya yang tekun dan cerdas melalui mempelajari Alkitab dengan efektif, cermat dan sungguh-sungguh secara berkesinambungan. Istilah bahasa Yunani, kai teleion artinya dan sempurna.
Menurut Thiessen, kata sempurna mengandung arti tidak bercela. Ini digunakan untuk mendeskripsikan keadaan beberapa orang dalam Perjanjian Lama, tetapi kata itu tidak berarti tanpa dosa. Frasa ini dipakai untuk Nuh (lihat Kejadian 6:9), walau demikian Nuh tidak sempurna tanpa dosa karena ia pernah mabuk, tindakan ini memalukan (Kejadian 9:20- 27).
Begitu juga dengan Ayub disebut “saleh” (Ay. 1:1). Tetapi dalam banyak hal ia tak sempurna. Ketika ia lebih mengenal Tuhan, ia menyesali dirinya sendiri dan bertobat dalam abu dan debu (Ayub 42:6). Allah meminta Abraham hidup tanpa cela di hadapan-Nya (Kejadian 17:1).
Di dalam PB, Tuhan Yesus memerintahkan orang-orang percaya, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu di sorga adalah sempurna.” (Matius 5:48). Apabila ayat-ayat ini menunjuk pada keadaan tanpa dosa semata-mata dan menjadi serupa dengan Allah, maka tidak ada orang percaya yang telah mencapai level itu. Yang dimaksud Tuhan Yesus dalam konteks tersebut bahwa Dia menyuruh para pengikut-Nya untuk menjadi seperti Allah Bapa dalam hal menunjukkan kasih kepada orang jahat dan orang baik.
Lebih jauh, Thiessen memandang dalam Kolose 1:28; 4:12; Ibrani 12:3 menyebutkan kesempurnaan sebagai target atau sasaran yang harus dicapai pada akhirnya, tetapi bukan selama kehidupan di dunia ini. Artinya kesempurnaan penuh tidak dapat diharapkan dalam zaman now yang serba modern ini, tetapi pada saat yang Sempurna itu datang kembali ke bumi ini, maka orang percaya akan disempurnakan (1995, h. 446-447).Bukan seperti makhluk ilahi.
Kata "sempurna" bukanlah sesuatu yang instan atau hidup orang Kristen langsung menjadi sempurna tanpa dosa di planet ini. Bukan begitu! Mengapa? Sebab secara Realita dan faktanya hingga hari ini, orang-orang Kristen masih bisa melakukan kekeliruan atau kesalahan dalam perjalanan hidupnya.
Baca Juga: Roma 12:2 (3 Kehendak Allah)
Sebagai contoh orang-orang Kristen di kota Roma, memang mereka pengikut Tuhan Yesus namun latar belakang hidup mereka sebagai orang kafir masih mempengaruhi pandangan hidupnya. Tetapi tidak harus hidup dalam kesalahan ataupun lumpur dosa. Oleh karena itu, Paulus meminta orang percaya untuk terus insaf diri dan mengubah cara berpikirnya. Mengapa? Karena dengan mengubah pola pandang, perspektif orang setiap hari berdasarkan Firman Allah (Alkitab) akan berdampak positif pada perubahan sikap dan perilaku manusia, sehingga menjadi sesuai dengan kehendak Allah (Bnd. Roma 8:10, 13, 12:1-2).
Kesimpulan
Mengetahui, memahami dan hidup sesuai kehendak Allah adalah tanggung jawab bagi setiap orang yang telah menerima kemurahan Allah. Setiap orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, harus menyerahkan dirinya kepada-Nya sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada-Nya (Roma 12:1-2). Selama orang percaya hidup di dunia ini, para pengikut-Nya diperhadapkan dengan Realita dan fakta tentang dua kutub atau polarisasi, yaitu pikiran-pikiran kebaikan dan kebenaran dengan pikiran-pikiran jahat atau perspektif kegelapan.
Oleh sebab itu, kekristenan tidak boleh berkompromi dengan pandangan dunia yang jahat ini. Melainkan setiap hari orang-orang percaya harus menyerahkan pikiran, perasaan, hati, kehendak, atau seluruh hidupnya kepada Tuhan, agar senantiasa diperbaharui oleh Roh Kudus, sehingga membuat hidup orang percaya makin hari semakin lebih baik dari hari kemarin.
Dengan demikian, umat Tuhan akan memiliki pandangan yang efektif tentang kebaikan dan kebenaran yang dinamis, progresif dan relevan dengan kehendak-Nya; dan supaya umat Tuhan diperlengkapi untuk melakukan apa yang baik, yang berkenan kepada Tuhan dan yang sempurna.