1 Korintus 5:2: Ketidakpedulian Terhadap Dosa Akibat Perpecahan di Jemaat
Artikel ini akan mengeksplorasi makna dan konteks 1 Korintus 5:2, serta bagaimana sikap tidak peduli terhadap dosa berakar pada perpecahan yang terjadi di jemaat Korintus. Dengan mengacu pada pandangan beberapa teolog dan tokoh Kristen terkemuka, kita akan melihat bagaimana perpecahan dapat mengikis kekudusan dalam komunitas Kristen. Artikel ini akan menggali pentingnya kesatuan, disiplin, dan standar kekudusan yang seharusnya ditegakkan dalam gereja sebagai tubuh Kristus.
Teks 1 Korintus 5:2"Sekalipun demikian kamu sombong! Tidakkah lebih patut kamu berdukacita dan menjauhkan dia, yang melakukan hal itu, dari tengah-tengah kamu?" (1 Korintus 5:2)
1. Konteks Jemaat Korintus: Perpecahan dan Sikap Sombong
Jemaat Korintus dikenal karena ketegangan internal yang menyebabkan terjadinya berbagai perpecahan. Para anggota jemaat terbagi dalam beberapa kelompok berdasarkan loyalitas mereka terhadap pemimpin tertentu (Paulus, Apolos, Kefas, atau Kristus). Situasi ini menciptakan lingkungan yang penuh persaingan, di mana perhatian jemaat lebih terfokus pada perselisihan dan kebanggaan diri daripada pada kekudusan dan kekompakan sebagai tubuh Kristus.
Leon Morris dalam komentarnya mengenai 1 Korintus menjelaskan bahwa sikap sombong jemaat Korintus adalah hasil dari perpecahan mereka. Morris menekankan bahwa ketika jemaat terpecah, mereka menjadi lebih fokus pada keunggulan kelompok masing-masing daripada pada standar moral dan kekudusan yang harus mereka pelihara bersama. Ketidakpedulian mereka terhadap dosa ini adalah salah satu contoh dari bagaimana perpecahan menyebabkan hilangnya sensitivitas terhadap dosa.
Gordon D. Fee dalam The First Epistle to the Corinthians juga mengungkapkan bahwa ketidakpedulian jemaat Korintus terhadap dosa menunjukkan sikap sombong mereka. Menurut Fee, jemaat ini terlalu sibuk dengan kebanggaan diri dan perselisihan sehingga mereka tidak menyadari keseriusan dosa yang ada di antara mereka. Fee menekankan bahwa perpecahan ini menyebabkan jemaat kehilangan perhatian terhadap panggilan mereka untuk hidup dalam kekudusan.
2. Ketidakpedulian Terhadap Dosa: Kehilangan Sensitivitas Moral di Tengah Perpecahan
Paulus sangat prihatin dengan sikap jemaat Korintus yang acuh tak acuh terhadap dosa di tengah mereka. Ketidakpedulian ini mencerminkan kurangnya rasa takut akan Tuhan dan hilangnya sensitivitas moral yang seharusnya menjadi ciri dari kehidupan orang percaya. Jemaat Korintus seharusnya merasa sedih dan prihatin terhadap dosa ini, namun mereka malah bersikap sombong, seolah-olah dosa tersebut bukan masalah serius.
John Stott dalam The Cross of Christ menekankan bahwa ketidakpedulian terhadap dosa adalah tanda dari kekosongan rohani yang parah. Menurut Stott, ketika gereja mulai acuh tak acuh terhadap dosa, mereka kehilangan identitas sebagai komunitas yang dipanggil untuk hidup dalam kekudusan. Stott menjelaskan bahwa sikap sombong di tengah dosa menunjukkan bahwa jemaat Korintus telah melupakan panggilan mereka untuk menjadi umat yang kudus.
C.S. Lewis dalam Mere Christianity berbicara tentang bahaya ketidakpedulian terhadap dosa dalam kehidupan orang percaya. Lewis menekankan bahwa ketika dosa dibiarkan tanpa ditindaklanjuti, hati orang percaya akan semakin tumpul terhadap kebenaran dan kekudusan. Ketidakpedulian jemaat Korintus mencerminkan bagaimana perpecahan dan kebanggaan diri dapat mengikis kepekaan mereka terhadap dosa, sehingga mereka tidak lagi merasakan pentingnya hidup dalam standar yang benar di hadapan Tuhan.
3. Dampak Perpecahan terhadap Kekudusan Jemaat
Perpecahan di jemaat Korintus berdampak pada penurunan standar kekudusan mereka. Ketika jemaat tidak bersatu, mereka kehilangan fokus pada tujuan bersama, yaitu memuliakan Allah dan hidup dalam kekudusan. Perpecahan menyebabkan mereka menjadi lebih terfokus pada perbedaan pandangan dan kebanggaan pribadi, daripada hidup dalam kebenaran yang diajarkan oleh Kristus.
Dietrich Bonhoeffer dalam Life Together menekankan bahwa kesatuan adalah kunci untuk menjaga kekudusan di tengah komunitas iman. Bonhoeffer menjelaskan bahwa ketika jemaat bersatu, mereka saling menjaga dan mendorong untuk hidup dalam kekudusan. Namun, ketika jemaat terpecah, mereka cenderung mengabaikan dosa, dan standar kekudusan mulai menurun. Bonhoeffer menegaskan bahwa perpecahan adalah ancaman terhadap kekudusan gereja karena mengalihkan perhatian jemaat dari panggilan mereka yang sebenarnya.
John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion juga berbicara tentang pentingnya kesatuan dalam gereja sebagai dasar untuk menjaga kekudusan. Calvin menjelaskan bahwa gereja harus menjadi tubuh yang hidup di mana setiap anggota berkontribusi untuk menjaga kebenaran dan kekudusan. Ketika gereja terpecah, mereka kehilangan pengaruh moral dan cenderung mengabaikan dosa yang terjadi di tengah mereka. Bagi Calvin, disiplin gereja harus ditegakkan untuk menjaga kesatuan dan kekudusan.
4. Panggilan untuk Berdukacita atas Dosa: Respon yang Tepat Terhadap Ketidakpedulian
Paulus menegur jemaat Korintus bukan hanya karena dosa yang ada, tetapi juga karena ketidakpedulian mereka terhadap dosa itu. Sebaliknya, Paulus mengharapkan bahwa jemaat merespons dosa dengan dukacita, menunjukkan kesedihan yang tulus terhadap pelanggaran yang terjadi di dalam tubuh Kristus. Respon ini menunjukkan pemahaman bahwa dosa adalah pelanggaran serius terhadap kekudusan Allah.
Timothy Keller dalam Center Church menekankan bahwa respons yang benar terhadap dosa dalam gereja adalah kesedihan dan pertobatan, bukan kebanggaan atau ketidakpedulian. Keller menjelaskan bahwa jemaat Korintus seharusnya merasakan kedukaan yang mendalam dan segera mengambil langkah untuk memulihkan kesucian di tengah mereka. Menurut Keller, ketidakpedulian terhadap dosa menunjukkan bahwa jemaat telah kehilangan kesadaran akan pentingnya kekudusan di hadapan Tuhan.
A.W. Tozer dalam The Knowledge of the Holy berbicara tentang pentingnya sikap hormat terhadap kekudusan Tuhan sebagai landasan bagi kehidupan yang benar. Tozer menjelaskan bahwa ketika orang percaya mengabaikan dosa, mereka menunjukkan ketidakpedulian terhadap kekudusan Allah. Sikap berdukacita atas dosa adalah respons yang tepat yang menunjukkan kesadaran akan sifat kudus Tuhan dan panggilan untuk hidup dalam kekudusan.
5. Disiplin Gereja sebagai Tindakan Kasih: Memulihkan Kekudusan
Paulus menginstruksikan jemaat untuk menjauhkan orang yang melakukan dosa tersebut dari persekutuan mereka. Ini adalah tindakan disiplin gereja yang tegas tetapi dilakukan dengan tujuan untuk memulihkan orang tersebut dan menjaga kekudusan jemaat. Disiplin gereja bukanlah hukuman tanpa belas kasihan, melainkan tindakan kasih untuk membawa pelanggar kepada pertobatan dan memulihkan kekudusan gereja.
Richard Foster dalam Celebration of Discipline menekankan bahwa disiplin gereja adalah cara untuk menjaga komunitas iman tetap murni dan kudus. Foster menjelaskan bahwa disiplin bukanlah tindakan untuk menghukum, tetapi untuk memulihkan hubungan yang rusak dan membawa individu tersebut kembali kepada kebenaran. Dalam konteks jemaat Korintus, disiplin ini adalah cara untuk menunjukkan kasih dan kepedulian terhadap mereka yang jatuh dalam dosa.
J.I. Packer dalam Knowing God juga mengajarkan bahwa disiplin gereja harus dilakukan dengan kasih, karena tujuannya adalah untuk mengarahkan pelaku dosa kembali kepada Allah. Packer menjelaskan bahwa tanpa disiplin, gereja kehilangan kekudusannya dan kesaksiannya di tengah dunia. Packer menekankan bahwa tindakan disiplin yang benar akan menjaga kekudusan dan kesatuan dalam gereja.
6. Perpecahan dan Kekudusan: Mengembalikan Fokus pada Panggilan Gereja
Paulus berharap jemaat Korintus mengarahkan kembali perhatian mereka pada panggilan untuk hidup kudus. Ketidakpedulian terhadap dosa dan perpecahan di jemaat menunjukkan perlunya jemaat untuk bersatu kembali dalam Kristus dan hidup sesuai dengan nilai-nilai Injil. Kekudusan adalah panggilan bersama yang hanya dapat dicapai jika jemaat hidup dalam kesatuan.
Dallas Willard dalam The Divine Conspiracy mengajarkan bahwa kekudusan gereja adalah panggilan yang hanya bisa dicapai melalui kesatuan yang sejati di dalam Kristus. Willard menjelaskan bahwa ketika gereja bersatu, mereka memiliki kekuatan untuk menegakkan kebenaran dan mengatasi dosa di tengah mereka. Perpecahan membuat jemaat menjadi lemah, sementara kesatuan dalam Kristus memperkuat kesaksian mereka di dunia.
John Piper dalam Desiring God juga menekankan pentingnya kesatuan untuk mencapai kekudusan. Piper menjelaskan bahwa perpecahan menghambat gereja untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan menunjukkan kasih yang sejati. Kesatuan di dalam Kristus memungkinkan gereja untuk menangani dosa dengan sikap kasih dan belas kasihan yang benar.
Kesimpulan
1 Korintus 5:2 adalah peringatan bagi jemaat Korintus dan gereja masa kini tentang bahaya ketidakpedulian terhadap dosa dan perpecahan dalam tubuh Kristus. Ketidakpedulian terhadap dosa adalah hasil dari perpecahan, di mana jemaat menjadi lebih terfokus pada perselisihan daripada pada kekudusan dan panggilan mereka untuk memuliakan Allah. Paulus menegur jemaat Korintus agar mereka mengarahkan kembali perhatian mereka pada panggilan untuk hidup kudus dan menjaga kesaksian mereka di tengah dunia.
Baca Juga: 1 Korintus 5:1 - Dosa Terbuka di Korintus: Panggilan untuk Kekudusan
Pandangan dari para teolog seperti John Stott, J.I. Packer, Timothy Keller, dan Dietrich Bonhoeffer menekankan pentingnya kesatuan dan disiplin dalam menjaga kekudusan gereja. Disiplin gereja bukan hanya tentang mengatasi dosa, tetapi juga merupakan tindakan kasih yang bertujuan memulihkan mereka yang jatuh dan menjaga kesucian komunitas iman. Perpecahan di gereja menghambat mereka untuk hidup dalam kekudusan dan kesaksian yang kuat di tengah masyarakat.
Bagi setiap orang percaya, 1 Korintus 5:2 adalah pengingat bahwa ketidakpedulian terhadap dosa adalah ancaman serius bagi kekudusan gereja. Kita dipanggil untuk hidup dalam kesatuan dan menjaga kekudusan di tengah komunitas iman, sehingga kita dapat menjadi saksi yang setia bagi dunia.