Menyelesaikan Perbedaan di Antara Orang Percaya: 1 Korintus 6:2-3

Pendahuluan:

Surat 1 Korintus 6:2-3 mengungkapkan ajakan Rasul Paulus kepada jemaat di Korintus untuk menyelesaikan perbedaan di antara mereka sendiri daripada membawa perkara mereka ke pengadilan duniawi. Paulus menekankan bahwa orang-orang kudus memiliki kapasitas untuk mengadili bahkan perkara yang lebih besar karena posisi mereka dalam Kristus. Ayat ini berbunyi:

"Apakah kamu tidak tahu bahwa orang-orang kudus akan menghakimi dunia? Jika dunia dihakimi olehmu, apakah kamu tidak layak untuk mengadili perkara-perkara yang sangat kecil? Apakah kamu tidak tahu bahwa kita akan mengadili para malaikat? Apalagi hanya perkara-perkara biasa sehari-hari!" (1 Korintus 6:2-3, AYT)

Menyelesaikan Perbedaan di Antara Orang Percaya: Studi 1 Korintus 6:2-3
Artikel ini akan membahas konteks, makna teologis, dan penerapan ayat ini dalam kehidupan jemaat masa kini, dengan pandangan dari beberapa pakar teologi serta referensi Alkitab.

1. Konteks Ayat: Masalah Hukum di Jemaat Korintus

Surat 1 Korintus ditulis untuk menanggapi berbagai masalah yang muncul di jemaat Korintus, termasuk perselisihan hukum antara orang percaya yang dibawa ke pengadilan duniawi. Paulus mengkritik tindakan ini karena mengindikasikan ketidakmampuan jemaat untuk menyelesaikan masalah internal secara damai dan bijaksana.

John Stott, dalam The Message of Corinthians, menekankan bahwa konteks surat ini adalah jemaat yang terpecah akibat kebanggaan pribadi dan perselisihan. “Membawa perkara ke pengadilan adalah tanda dari kurangnya kedewasaan rohani dan ketidakmampuan untuk hidup sebagai komunitas yang dipersatukan dalam Kristus,” tulis Stott. Jemaat Korintus seharusnya menunjukkan kasih dan hikmat, tetapi malah memamerkan kelemahan rohani mereka.

2. Makna Panggilan untuk Mengadili Dunia dan Malaikat

Dalam ayat ini, Paulus menekankan peran orang percaya di masa depan, yang disebut sebagai "orang-orang kudus," untuk menghakimi dunia dan malaikat. Pernyataan ini tidak berarti bahwa orang percaya secara literal akan menjadi hakim di dunia ini, tetapi mengacu pada posisi istimewa mereka di hadapan Allah.

a. Menghakimi Dunia

Rujukan Paulus kepada "menghakimi dunia" menggambarkan peran orang percaya sebagai bagian dari kerajaan Allah. Dalam wahyu eskatologis, orang percaya yang telah ditebus akan ikut serta dalam rencana Allah untuk menegakkan keadilan di dunia.

John Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion, menafsirkan ini sebagai panggilan untuk hidup dalam hikmat Allah. Calvin menulis, “Orang percaya dipanggil untuk hidup sebagai saksi keadilan Allah, menunjukkan bahwa mereka telah diberi hikmat surgawi untuk menyelesaikan perkara dengan adil.” Dengan demikian, menghakimi dunia adalah gambaran dari hidup sebagai umat Allah yang bijaksana dan benar.

b. Menghakimi Malaikat

Frasa “menghakimi para malaikat” menunjukkan otoritas yang lebih besar yang diberikan kepada orang percaya di masa mendatang. Ini menegaskan kedudukan tinggi umat Allah dalam rencana kekekalan.

R.C. Sproul, dalam The Holiness of God, menyatakan bahwa hal ini mengacu pada peran orang percaya dalam mengungkap dan menegakkan kehendak Allah dalam kekekalan. “Menghakimi para malaikat adalah gambaran dari partisipasi umat Allah dalam pemerintahan Allah yang kekal,” tulis Sproul.

3. Mengapa Jemaat Korintus Diminta untuk Menyelesaikan Perkara Sendiri

Paulus mengajukan pertanyaan retoris untuk menegur jemaat Korintus: Jika orang percaya memiliki otoritas sedemikian besar di masa depan, mengapa mereka tidak mampu menyelesaikan masalah kecil di antara mereka?

a. Kesaksian yang Ternoda

Membawa perselisihan ke pengadilan duniawi menunjukkan ketidakmampuan jemaat untuk hidup dalam kasih dan pengampunan. Hal ini mencemarkan kesaksian mereka sebagai tubuh Kristus.

Dietrich Bonhoeffer, dalam Life Together, menjelaskan pentingnya menjaga kesatuan tubuh Kristus. “Membawa perselisihan ke hadapan dunia adalah tanda bahwa jemaat tidak hidup dalam harmoni dan kasih,” tulis Bonhoeffer. Ketika jemaat gagal menunjukkan kasih, mereka gagal mencerminkan Kristus kepada dunia.

b. Kehilangan Hikmat Rohani

Paulus menekankan bahwa orang percaya memiliki Roh Kudus yang memberikan hikmat untuk menyelesaikan masalah. Mengandalkan pengadilan dunia menunjukkan bahwa mereka tidak mempercayai hikmat yang Allah berikan.

N.T. Wright, dalam Paul for Everyone: Corinthians, menegaskan bahwa kehadiran Roh Kudus dalam jemaat memberikan kapasitas untuk menyelesaikan masalah dengan adil dan penuh kasih. “Mereka yang dipenuhi Roh Kudus harus menjadi yang pertama dalam menunjukkan hikmat dan kasih dalam menyelesaikan perselisihan,” tulis Wright.

4. Panggilan untuk Hidup sebagai Komunitas Kudus

Dalam menyelesaikan perselisihan, Paulus memanggil jemaat untuk hidup sebagai komunitas kudus yang mencerminkan kasih dan keadilan Allah. Komunitas ini tidak hanya menekankan aturan, tetapi juga kasih karunia yang memampukan mereka untuk mengatasi konflik.

a. Prinsip Kasih dalam Menyelesaikan Konflik

Paulus mengingatkan bahwa kasih adalah inti dari setiap tindakan orang percaya. Kasih memungkinkan jemaat untuk melepaskan kebanggaan pribadi dan mencari kebaikan bersama.

J.I. Packer, dalam Knowing God, menyatakan bahwa kasih adalah dasar untuk menyelesaikan konflik. “Kasih Kristus yang memampukan kita untuk memaafkan dan mencari rekonsiliasi adalah tanda dari kehidupan yang telah diperbarui oleh Roh Kudus,” tulis Packer.

b. Hidup dalam Kedewasaan Rohani

Menyelesaikan konflik memerlukan kedewasaan rohani yang memungkinkan jemaat untuk mengutamakan kehendak Allah. Paulus memanggil mereka untuk hidup dalam damai sebagai saksi dari kasih Allah.

John Stott menambahkan bahwa kedewasaan rohani adalah tanda dari komunitas yang sehat. “Hidup dalam kedewasaan rohani adalah panggilan untuk hidup dalam hikmat Allah dan mencerminkan kasih-Nya kepada dunia,” tulis Stott.

5. Penerapan Praktis dalam Kehidupan Jemaat Masa Kini

Bagaimana ayat ini relevan bagi jemaat masa kini? Berikut adalah beberapa penerapan praktis untuk menyelesaikan konflik dalam komunitas Kristen:

  1. Mengutamakan Rekonsiliasi
    Konflik adalah bagian dari kehidupan komunitas, tetapi jemaat dipanggil untuk mencari rekonsiliasi daripada memupuk perpecahan. Matius 18:15-17 memberikan pedoman tentang bagaimana menyelesaikan konflik secara langsung dan dalam kasih.

  2. Menggunakan Hikmat Rohani
    Jemaat harus mengandalkan Roh Kudus untuk memberikan hikmat dalam menyelesaikan konflik. Hal ini membutuhkan doa dan pengertian terhadap kehendak Allah.

  3. Memelihara Kesaksian Gereja
    Membawa konflik ke pengadilan dunia dapat mencemarkan kesaksian gereja. Orang percaya dipanggil untuk menjaga kesatuan tubuh Kristus dan hidup sebagai terang bagi dunia.

  4. Menghormati Pemimpin Gereja
    Pemimpin gereja sering kali diberi hikmat untuk menengahi konflik. Menghormati dan melibatkan mereka dalam menyelesaikan masalah menunjukkan kerendahan hati dan penghormatan terhadap otoritas gerejawi.

  5. Menerapkan Prinsip Kasih dalam Setiap Tindakan
    Kasih harus menjadi dasar dari setiap upaya penyelesaian konflik. Dengan mengutamakan kasih, jemaat dapat hidup dalam damai dan memuliakan Allah.

6. Kasus Ideal: Mengatasi Konflik dengan Damai

Sebagai contoh praktis, bayangkan sebuah jemaat yang menghadapi konflik mengenai pembagian tanggung jawab pelayanan. Dalam situasi ini, jemaat dapat menghindari perpecahan dengan:

  • Melibatkan pemimpin gereja sebagai mediator.
  • Mengadakan pertemuan doa untuk mencari hikmat Allah.
  • Mengutamakan kasih dan penghargaan terhadap sesama.
  • Menyelesaikan konflik secara langsung sesuai dengan pedoman Alkitab.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, jemaat dapat mengatasi konflik dengan damai dan menunjukkan kesatuan tubuh Kristus.

Kesimpulan

1 Korintus 6:2-3 mengajarkan bahwa orang percaya dipanggil untuk menyelesaikan konflik di antara mereka sendiri, dengan mengandalkan hikmat Roh Kudus dan hidup dalam kasih. Paulus mengingatkan jemaat Korintus bahwa mereka memiliki posisi istimewa di hadapan Allah sebagai orang kudus, yang dipanggil untuk mencerminkan keadilan dan kasih Allah kepada dunia.

Pandangan dari para teolog seperti John Calvin, John Stott, R.C. Sproul, J.I. Packer, dan N.T. Wright memperkaya pemahaman kita tentang makna panggilan ini. Mereka menekankan bahwa menyelesaikan konflik adalah tanda kedewasaan rohani dan kesaksian dari komunitas yang hidup dalam kasih Allah.

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk hidup sebagai komunitas yang kudus, memelihara kesatuan tubuh Kristus, dan menunjukkan kasih serta keadilan Allah dalam setiap aspek kehidupan kita. Dengan demikian, kita menjadi saksi yang hidup bagi dunia dan memuliakan Allah melalui hidup kita.

Next Post Previous Post