Teguran atas Penyembuhan pada Hari Sabat: Yohanes 5:10-13

Pendahuluan:

Yohanes 5:10-13 menceritakan kisah menarik tentang seorang pria yang baru saja disembuhkan oleh Yesus dan kemudian ditegur oleh pemimpin agama Yahudi karena melanggar hukum Sabat. Setelah 38 tahun lumpuh, pria ini disembuhkan di kolam Betesda dan, sesuai perintah Yesus, mengangkat tilamnya dan berjalan. Namun, tindakan tersebut mendapat respons negatif dari otoritas agama, yang menuduhnya melanggar Sabat. Kisah ini tidak hanya mencerminkan konfrontasi antara Yesus dan pemimpin agama pada waktu itu, tetapi juga mengajarkan makna mendalam tentang belas kasihan, kuasa penyembuhan Yesus, dan tujuan Sabat.
Teguran atas Penyembuhan pada Hari Sabat: Yohanes 5:10-13
Artikel ini akan mengeksplorasi makna dari Yohanes 5:10-13 melalui pandangan beberapa pakar teologi, memahami bagaimana Yesus menantang interpretasi hukum Sabat yang kaku, serta implikasi penyembuhan ini bagi kehidupan Kristen masa kini. Dengan mengkaji konteks, makna, dan signifikansi perikop ini, kita bisa lebih memahami tentang belas kasihan dan otoritas Yesus yang melampaui batas-batas hukum manusia.

Teks Yohanes 5:10-13

Berikut adalah teks dari Yohanes 5:10-13:

"Karena itu orang-orang Yahudi berkata kepada orang yang baru sembuh itu: ‘Hari ini hari Sabat dan tidak boleh engkau memikul tilammu.’ Akan tetapi, ia menjawab mereka: ‘Orang yang telah menyembuhkan aku, dia yang mengatakan kepadaku: Angkatlah tilammu dan berjalanlah.’ Mereka bertanya kepadanya: ‘Siapakah orang itu yang berkata kepadamu: Angkatlah tilammu dan berjalanlah?’ Tetapi orang yang baru sembuh itu tidak tahu siapa dia, sebab Yesus telah menghilang di tengah-tengah orang banyak di tempat itu.”

1. Konteks Penyembuhan pada Hari Sabat

Kisah penyembuhan ini terjadi pada hari Sabat, yang merupakan hari istirahat suci bagi bangsa Yahudi. Hukum Sabat melarang segala bentuk pekerjaan, dan interpretasi hukum yang ketat melarang aktivitas seperti mengangkat barang di tempat umum. Pemimpin agama Yahudi berpegang teguh pada aturan ini dan seringkali memandang pelanggaran Sabat sebagai dosa serius.

William Barclay dalam The Daily Study Bible menjelaskan bahwa larangan mengangkat beban pada hari Sabat adalah bagian dari tradisi Yahudi yang diperluas dari hukum Taurat. Menurut Barclay, aturan ini ditujukan untuk menjaga kekudusan Sabat, tetapi sering kali menjadi begitu ketat sehingga membatasi belas kasihan dan kebaikan kepada sesama.

Leon Morris dalam The Gospel According to John menambahkan bahwa bagi Yesus, Sabat adalah waktu untuk menunjukkan kebaikan dan belas kasihan, bukan hanya untuk mematuhi aturan-aturan yang kaku. Peristiwa ini, menurut Morris, menunjukkan perbedaan antara perspektif Yesus yang penuh kasih dan perhatian dengan pandangan pemimpin agama yang terlalu legalistik.

2. Teguran atas Penyembuhan: Legalitas versus Belas Kasih

Setelah sembuh, pria itu mengikuti perintah Yesus untuk mengangkat tilamnya dan berjalan. Namun, tindakan ini mendapat teguran dari pemimpin agama yang melihatnya sebagai pelanggaran hukum Sabat. Mereka lebih peduli pada aturan formal daripada keajaiban penyembuhan yang terjadi. Dalam hal ini, pemimpin agama mengabaikan mukjizat Yesus dan memusatkan perhatian mereka pada pelanggaran hukum.

John Stott dalam Basic Christianity menegaskan bahwa teguran pemimpin agama ini adalah contoh bagaimana legalisme dapat mengaburkan belas kasihan. Menurut Stott, fokus pemimpin agama pada aturan Sabat menunjukkan bahwa mereka kehilangan esensi dari hukum Allah, yang seharusnya memimpin mereka kepada kasih dan belas kasihan.

N.T. Wright dalam Jesus and the Victory of God menekankan bahwa Sabat diciptakan untuk kebaikan manusia dan sebagai simbol pembebasan dari beban. Bagi Wright, teguran terhadap pria yang disembuhkan menunjukkan bahwa pemimpin agama telah mereduksi Sabat menjadi serangkaian peraturan, sehingga kehilangan tujuan aslinya. Yesus, dengan menyembuhkan pada hari Sabat, menegaskan bahwa belas kasihan dan pembebasan adalah inti dari Sabat.

3. Pria yang Disembuhkan: Ketidaktahuan akan Identitas Yesus

Pria yang disembuhkan tidak mengetahui siapa yang telah menyembuhkannya, karena Yesus telah menghilang di tengah keramaian. Hal ini menunjukkan bahwa penyembuhan tersebut adalah inisiatif penuh dari Yesus, bukan berdasarkan iman atau permintaan dari pria tersebut. Yesus memilih untuk menyembuhkan tanpa meminta pengakuan atau penghargaan dari orang yang disembuhkan.

R.C. Sproul dalam The Holiness of God menjelaskan bahwa tindakan Yesus untuk menghilang setelah penyembuhan adalah cara untuk menunjukkan bahwa kuasa Allah bekerja tanpa ketergantungan pada status atau kepercayaan dari orang yang disembuhkan. Menurut Sproul, mukjizat ini menegaskan otoritas Yesus atas hukum Sabat dan belas kasihan-Nya bagi mereka yang menderita.

A.W. Tozer dalam The Pursuit of God menekankan bahwa tindakan Yesus ini adalah bentuk kasih yang tanpa pamrih. Menurut Tozer, Yesus melakukan penyembuhan tanpa mencari popularitas atau pengakuan, melainkan hanya bertindak sesuai kehendak dan belas kasihan Allah.

4. Penyembuhan sebagai Tindakan Belas Kasihan yang Melampaui Hukum

Tindakan Yesus dalam menyembuhkan pada hari Sabat mengajarkan bahwa belas kasihan dan kasih Allah melampaui aturan manusia. Hukum Sabat memang penting dalam tradisi Yahudi, namun Yesus menunjukkan bahwa kasih dan kebutuhan manusia harus lebih diutamakan. Dengan menyembuhkan pada hari Sabat, Yesus memperlihatkan bahwa tindakan baik tidak boleh dibatasi oleh aturan manusia yang kaku.

Charles Spurgeon dalam salah satu khotbahnya mengungkapkan bahwa Yesus datang untuk membawa belas kasihan dan penyembuhan bagi semua orang, bahkan jika hal itu dianggap melanggar tradisi manusia. Spurgeon menegaskan bahwa tindakan Yesus ini menunjukkan kuasa Allah yang bebas bekerja tanpa dibatasi oleh hukum-hukum yang diciptakan manusia.

John Piper dalam Desiring God menambahkan bahwa belas kasihan adalah inti dari pelayanan Yesus. Piper menjelaskan bahwa peristiwa ini menekankan pentingnya belas kasihan dan mengutamakan kebutuhan orang lain di atas peraturan legalistik yang kaku. Yesus ingin menunjukkan bahwa kasih kepada sesama harus menjadi fokus utama, terutama pada hari Sabat yang seharusnya menjadi hari untuk merayakan kebaikan Allah.

5. Implikasi Teologis: Sabat sebagai Hari Pembebasan

Yesus menantang pemahaman hukum Sabat yang kaku dan menunjukkan bahwa Sabat adalah hari pembebasan, bukan pembatasan. Dalam kisah ini, penyembuhan pada hari Sabat bukanlah suatu pelanggaran, melainkan sebuah penegasan akan makna Sabat yang sejati. Dengan menyembuhkan pria tersebut pada Sabat, Yesus menunjukkan bahwa Sabat adalah waktu untuk mengalami kehadiran dan kuasa Allah yang membebaskan.

N.T. Wright dalam Simply Christian menekankan bahwa Yesus datang untuk memperbarui pemahaman tentang Sabat sebagai hari untuk beristirahat dalam kehadiran Allah dan mengalami pembebasan dari beban. Melalui penyembuhan ini, Yesus menekankan bahwa Sabat bukan hanya hari istirahat dari pekerjaan fisik, tetapi juga waktu untuk merayakan karya pembebasan dan belas kasihan Allah.

Dallas Willard dalam The Spirit of the Disciplines menyebutkan bahwa Sabat adalah waktu untuk memperdalam relasi dengan Allah dan mengalami penyegaran rohani. Dengan menyembuhkan pria lumpuh, Yesus memberikan contoh nyata tentang bagaimana Sabat seharusnya menjadi hari yang memulihkan baik secara fisik maupun rohani.

6. Relevansi untuk Kehidupan Kristen Masa Kini

Kisah penyembuhan pada hari Sabat dalam Yohanes 5:10-13 memberikan pelajaran yang relevan bagi kehidupan Kristen masa kini. Kisah ini mengingatkan kita untuk tidak jatuh dalam legalisme yang mengabaikan belas kasihan. Orang percaya dipanggil untuk menempatkan kasih dan belas kasihan di atas hukum-hukum yang kaku, dengan menjadikan Yesus sebagai teladan yang menekankan kasih di atas aturan.

John Stott dalam The Cross of Christ mengajarkan bahwa hukum Tuhan seharusnya memimpin kita untuk semakin mengasihi Tuhan dan sesama. Menurut Stott, kisah ini menunjukkan bahwa tujuan utama dari setiap hukum adalah kasih, dan hukum yang tidak mendorong kasih sejati harus direnungkan kembali.

Henri Nouwen dalam Life of the Beloved mengingatkan bahwa hidup Kristen seharusnya dipenuhi dengan belas kasihan yang nyata kepada sesama. Nouwen menyebutkan bahwa melalui kisah ini, kita diajak untuk melihat Sabat dan perintah Tuhan sebagai cara untuk hidup dalam kasih kepada Allah dan sesama.

Kesimpulan

Yohanes 5:10-13 menggambarkan kisah penyembuhan pada hari Sabat dan konfrontasi antara Yesus dan pemimpin agama. Kisah ini menekankan perbedaan pandangan antara legalisme pemimpin agama dengan belas kasihan yang ditunjukkan oleh Yesus. Dalam kisah ini, Yesus menyatakan bahwa Sabat adalah hari untuk menunjukkan kasih, belas kasihan, dan pembebasan, bukan sekadar mematuhi aturan formal.

Para teolog seperti William Barclay, John Stott, dan N.T. Wright menegaskan bahwa peristiwa ini mengajarkan pentingnya menempatkan kasih dan kebutuhan manusia di atas hukum yang kaku. Penyembuhan pada hari Sabat menunjukkan bahwa belas kasihan Allah tidak terikat oleh aturan manusia, dan Yesus adalah Tuhan atas Sabat yang membawa pembebasan sejati.

Sebagai orang Kristen, kita diajak untuk meneladani belas kasihan Yesus dan tidak terjebak dalam legalisme yang mengabaikan kasih kepada sesama. Melalui kasih dan belas kasihan yang nyata, kita dapat menjadi saksi tentang karakter Kristus yang penuh kasih kepada dunia di sekitar kita.

Next Post Previous Post