Ketaatan kepada Tuhan
Ketaatan kepada Tuhan adalah tema sentral dalam narasi Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Dalam artikel ini, kita akan menggali konsep ketaatan kepada Tuhan sebagai bentuk
pengorbanan yang lebih besar, mengutip pandangan beberapa pakar teologi.
Definisi Ketaatan dalam Perspektif Teologis
John Stott, seorang teolog Anglikan, menyebutkan bahwa "Ketaatan adalah respons manusia terhadap kasih karunia Allah." Dalam pandangannya, ketaatan bukanlah usaha manusia untuk mendapatkan penerimaan Allah, tetapi wujud syukur atas kasih karunia yang telah diterima melalui Kristus. Hal ini selaras dengan Roma 12:1, yang menyatakan bahwa kita dipanggil untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah.
Menurut Stott, ketaatan berakar pada kepercayaan kepada karakter Allah. Dengan kata lain, seseorang tidak mungkin menaati perintah Allah jika ia meragukan hikmat, kebaikan, dan kasih-Nya. Di sinilah letak inti pengorbanan: bukan pada tindakan eksternal semata, tetapi pada penyerahan total dari hati yang percaya.
Ketaatan Melampaui Ritual: Perspektif Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama, konsep ketaatan sering dikontraskan dengan pengorbanan ritual. Nabi Samuel, dalam 1 Samuel 15:22, dengan tegas menyatakan, “Apakah Tuhan berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada ketaatan kepada suara Tuhan? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik daripada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik daripada lemak domba-domba jantan.”
Pakar teologi Yahudi dan Kristen, Walter Brueggemann, menyoroti ayat ini sebagai titik balik dalam pemahaman umat Israel tentang hubungan mereka dengan Allah. Brueggemann menjelaskan bahwa Allah menginginkan kesetiaan dan integritas hati, bukan sekadar ritual kosong. Dalam konteks ini, ketaatan kepada Allah adalah bentuk pengorbanan yang lebih besar karena menuntut komitmen total, bahkan ketika hal itu bertentangan dengan kehendak pribadi.
Yesus sebagai Teladan Ketaatan yang Sempurna
Di dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus menjadi teladan tertinggi dari ketaatan kepada Allah. Filipi 2:8 mencatat, “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”
Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog Jerman yang terkenal dengan karyanya The Cost of Discipleship, menjelaskan bahwa ketaatan Yesus kepada Allah Bapa adalah pengorbanan terbesar dalam sejarah manusia. Ia menyerahkan kehendak-Nya sendiri dan menerima penderitaan yang tidak seharusnya ditanggung-Nya demi keselamatan dunia. Menurut Bonhoeffer, ketaatan sejati selalu menuntut kerelaan untuk menyangkal diri, sebagaimana Yesus mengajarkan dalam Lukas 9:23: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.”
Ketaatan Sebagai Pengorbanan yang Mengubah Hati
C.S. Lewis dalam bukunya Mere Christianity menjelaskan bahwa ketaatan adalah alat yang dipakai Allah untuk membentuk hati manusia menjadi serupa dengan Kristus. Ketika seseorang menaati Allah, ia tidak hanya melakukan apa yang benar, tetapi juga diubahkan oleh kebenaran tersebut. Lewis menekankan bahwa pengorbanan ritual, seperti memberi persembahan atau melakukan tindakan keagamaan lainnya, tidak cukup jika tidak disertai dengan transformasi batiniah.
Hal ini juga ditegaskan oleh Jonathan Edwards, seorang teolog Amerika abad ke-18. Edwards mengatakan bahwa ketaatan adalah bentuk pengorbanan yang memurnikan motivasi manusia, memindahkan fokus dari kepuasan diri kepada kemuliaan Allah. Ia mengutip Mazmur 51:17, “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kau pandang hina, ya Allah.”
Ketaatan dan Tantangan Dunia Modern
Pakar teologi kontemporer seperti N.T. Wright menyoroti bagaimana ketaatan kepada Tuhan sering kali dianggap kuno atau tidak relevan dalam budaya modern yang menekankan kebebasan individu. Wright berpendapat bahwa banyak orang gagal memahami bahwa ketaatan kepada Allah justru membebaskan manusia dari perbudakan dosa dan ketidakadilan.
Menurut Wright, ketaatan kepada Allah adalah tindakan revolusioner di tengah dunia yang penuh dengan keegoisan dan materialisme. Dalam bukunya Simply Christian, ia menulis bahwa ketaatan sejati membutuhkan keberanian untuk hidup menurut nilai-nilai Kerajaan Allah, bahkan jika hal itu menimbulkan perlawanan dari budaya sekitar.
Ketaatan dalam Kehidupan Sehari-hari
Richard J. Foster, dalam bukunya Celebration of Discipline, menekankan bahwa ketaatan tidak hanya ditemukan dalam momen-momen besar pengorbanan, tetapi juga dalam tindakan kecil sehari-hari. Ia menyebutkan bahwa menaati Allah dalam hal-hal sederhana, seperti berbicara dengan kasih atau menunjukkan kebaikan kepada orang lain, adalah pengorbanan yang sama berharganya dengan tindakan heroik.
Foster menekankan bahwa ketaatan adalah proses yang berlangsung seumur hidup. Dalam proses ini, seseorang belajar untuk mengenali suara Tuhan melalui doa, pembacaan Alkitab, dan kehidupan komunitas. Ia menegaskan bahwa ketaatan tidak pernah terpisah dari hubungan pribadi dengan Allah.
Buah Ketaatan: Pengaruh terhadap Dunia
Ketaatan kepada Allah tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada dunia di sekitarnya. John Piper, dalam bukunya Desiring God, menjelaskan bahwa ketaatan adalah cara Allah menyatakan kasih-Nya kepada dunia. Ketika umat Tuhan taat, mereka menjadi alat untuk membawa keadilan, belas kasihan, dan kebenaran di tengah masyarakat.
Baca Juga: Injil yang Ditampilkan dalam Hidup Kita
Piper menekankan bahwa ketaatan selalu disertai dengan janji berkat, bukan dalam arti material, tetapi dalam bentuk damai sejahtera dan sukacita yang melampaui pengertian. Hal ini tercermin dalam Yohanes 15:10-11, di mana Yesus berkata: “Jika kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, sama seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya. Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.”
Pengorbanan yang Lebih Besar: Meneladani Ketaatan Kristus
Menutup artikel ini, penting bagi kita untuk kembali kepada inti dari pengajaran Alkitab: ketaatan adalah pengorbanan yang lebih besar karena itu adalah wujud kasih kepada Allah. Ketaatan menuntut hati yang rendah hati, pikiran yang percaya, dan kehidupan yang dipersembahkan sepenuhnya kepada Allah.
Para pakar teologi sepakat bahwa ketaatan sejati selalu melibatkan pengorbanan diri, tetapi pengorbanan ini membawa sukacita yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Dalam kata-kata Yesus sendiri, “Barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya” (Matius 16:25).
Berdoalah, mohonlah Roh Kudus memberikan hikmat dan kekuatan untuk hidup dalam ketaatan kepada Tuhan. Biarlah ketaatan kita menjadi bukti nyata dari iman dan kasih kita kepada Allah, serta menjadi kesaksian bagi dunia tentang kebesaran nama-Nya.