Bersukacita dalam Pencobaan: Ayub 1:1-22

Bersukacita dalam Pencobaan: Ayub 1:1-22

Pendahuluan:

Pencobaan adalah salah satu realitas yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia. Sebagai orang percaya, kita sering menghadapi pertanyaan bagaimana tetap bersukacita ketika menghadapi penderitaan yang tampaknya tidak adil. Kitab Ayub memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana orang percaya dapat menghadapi pencobaan dengan iman yang teguh dan tetap bersukacita dalam Tuhan.

Ayub 1:1-22 memperkenalkan seorang tokoh yang dikenal karena integritas dan kesalehannya, namun menghadapi pencobaan yang luar biasa. Sikap Ayub dalam menghadapi pencobaan mengajarkan kita banyak hal tentang iman, kedaulatan Allah, dan bagaimana menemukan sukacita bahkan di tengah penderitaan. Artikel ini akan mengurai ayat-ayat ini secara mendalam, dengan dukungan dari pandangan para teolog Reformed, untuk menjawab bagaimana kita dapat bersukacita dalam pencobaan.

1. Ayub: Orang yang Saleh dan Tidak Bercela (Ayub 1:1-5)

a. Pengantar tentang Ayub

Ayub diperkenalkan sebagai seorang yang "tidak bercela dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan." (Ayub 1:1). Dia diberkati dengan kekayaan yang besar, keluarga yang harmonis, dan reputasi yang dihormati.

  • John Calvin menulis bahwa kesalehan Ayub menunjukkan bagaimana Allah memberkati mereka yang hidup dalam takut akan Tuhan. Namun, Calvin juga menekankan bahwa kesalehan ini tidak melindungi Ayub dari pencobaan, melainkan mempersiapkannya untuk menghadapi ujian yang lebih besar.
  • Herman Bavinck menyoroti bahwa kesalehan Ayub mencerminkan hubungan perjanjian antara Allah dan umat-Nya, di mana ketaatan membawa berkat tetapi juga menguji iman dalam penderitaan.

b. Ayub sebagai Imam Keluarga

Ayub secara rutin mempersembahkan korban bakaran untuk anak-anaknya, dengan berkata, "Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati." (Ayub 1:5). Ini menunjukkan tanggung jawab rohani Ayub sebagai kepala keluarga.

  • R.C. Sproul menulis bahwa tindakan ini mencerminkan kesadaran Ayub akan kebutuhan untuk tetap bersih di hadapan Allah, tidak hanya secara pribadi tetapi juga untuk keluarganya.

2. Izin untuk Mencobai Ayub: Kedaulatan Allah atas Pencobaan (Ayub 1:6-12)

a. Peran Allah dalam Pencobaan

Dialog antara Allah dan Iblis dalam ayat 6-12 menunjukkan bahwa pencobaan Ayub terjadi dengan seizin Allah.

  • Ayub 1:12: "Maka firman TUHAN kepada Iblis: 'Nah, segala yang dipunyainya ada dalam kuasamu; hanya janganlah engkau mengulurkan tanganmu terhadap dirinya.'"
  • John Calvin menekankan kedaulatan Allah dalam pencobaan ini. Allah bukan penyebab dosa, tetapi Dia mengizinkan pencobaan untuk tujuan ilahi, yaitu untuk menguji dan memperdalam iman umat-Nya.
  • Jonathan Edwards menulis bahwa Allah sering menggunakan pencobaan untuk menyatakan kemuliaan-Nya dan mengarahkan umat-Nya kepada kebergantungan yang lebih besar kepada-Nya.

b. Peran Iblis dalam Pencobaan

Iblis menuduh Ayub hanya setia kepada Allah karena berkat-berkat yang dia terima. Tuduhan ini mencerminkan sikap hati manusia yang sering memandang hubungan dengan Allah secara transaksional.

  • R.C. Sproul menulis bahwa Iblis mencoba mengguncang iman Ayub dengan mencabut segala kenyamanan duniawinya, tetapi iman yang sejati akan bertahan dalam pencobaan.

3. Kehilangan yang Besar: Respons Ayub (Ayub 1:13-19)

a. Pencobaan Bertubi-Tubi

Ayub kehilangan kekayaannya, hamba-hambanya, dan bahkan anak-anaknya dalam serangkaian bencana yang datang secara tiba-tiba.

  • Ayub 1:20: "Maka berdirilah Ayub, lalu mengoyakkan jubahnya dan mencukur kepalanya, kemudian sujudlah ia dan menyembah."
  • Herman Bavinck menekankan bahwa kehilangan yang dialami Ayub menunjukkan bahwa kesalehan tidak kebal dari penderitaan. Namun, penderitaan menjadi sarana untuk memperlihatkan keimanan yang sejati.

b. Ayub Sujud dan Menyembah

Respons Ayub dalam ayat 20 adalah contoh iman yang luar biasa. Dia tidak menyalahkan Allah, melainkan menyembah-Nya di tengah penderitaan.

  • John Calvin menulis bahwa tindakan menyembah Ayub menunjukkan pengakuannya akan kedaulatan Allah atas segala sesuatu, termasuk penderitaan. Calvin menekankan bahwa menyembah di tengah penderitaan adalah bukti iman sejati.

4. Pernyataan Iman Ayub (Ayub 1:21-22)

a. "TUHAN yang Memberi, TUHAN yang Mengambil"

Ayub berkata: "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!"

Ayub mengakui bahwa segala sesuatu yang dia miliki berasal dari Allah, dan Allah memiliki hak untuk mengambilnya kembali.

  • Jonathan Edwards menulis bahwa pengakuan ini menunjukkan bahwa Ayub melihat segala sesuatu sebagai milik Allah, dan bukan hak pribadinya. Sukacita Ayub tidak bergantung pada berkat materi, tetapi pada hubungan dengan Allah.
  • Herman Bavinck menekankan bahwa pernyataan Ayub adalah contoh dari iman yang tidak tergoyahkan oleh keadaan.

b. Tidak Berdosa dalam Perkataannya

Ayub 1:22 menutup dengan kesaksian bahwa Ayub tidak berdosa dalam perkataannya dan tidak menuduh Allah berbuat salah.

  • John Calvin menulis bahwa respons Ayub menunjukkan kedewasaan rohani yang luar biasa, di mana dia tetap memuji Allah meskipun segala sesuatu diambil darinya.

5. Sukacita di Tengah Pencobaan: Perspektif Teologi Reformed

a. Allah yang Berdaulat dalam Penderitaan

Teologi Reformed menekankan bahwa Allah sepenuhnya berdaulat atas segala sesuatu, termasuk penderitaan.

  • Roma 8:28: "Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia."
  • Herman Bavinck menulis bahwa penderitaan tidak pernah sia-sia dalam rencana Allah. Setiap pencobaan dirancang untuk membawa kebaikan bagi umat-Nya dan memuliakan Allah.

b. Sukacita dalam Penderitaan

Penderitaan tidak menghalangi orang percaya untuk bersukacita, karena sukacita Kristen tidak bergantung pada keadaan duniawi.

  • Yakobus 1:2-4: "Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan, sebab kamu tahu bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan."
  • John Calvin menekankan bahwa sukacita dalam pencobaan berasal dari pengertian bahwa Allah menggunakan penderitaan untuk mendewasakan iman kita.

c. Kristus sebagai Teladan Tertinggi

Yesus Kristus adalah teladan tertinggi dalam bersukacita di tengah penderitaan.

  • Ibrani 12:2: "Yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia."
  • R.C. Sproul menulis bahwa penderitaan Kristus menunjukkan bahwa Allah hadir di tengah penderitaan umat-Nya, memberikan kekuatan dan penghiburan.

6. Penerapan Praktis: Bersukacita dalam Pencobaan

a. Percaya kepada Kedaulatan Allah

Mengetahui bahwa Allah berdaulat atas pencobaan membantu kita menemukan sukacita dalam situasi yang sulit.

  • Amsal 3:5-6: "Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri."

b. Fokus pada Kasih Allah

Penderitaan tidak memisahkan kita dari kasih Allah.

  • Roma 8:38-39: "Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah."

c. Menyembah di Tengah Penderitaan

Seperti Ayub, kita dipanggil untuk menyembah Allah bahkan di tengah pencobaan.

  • Mazmur 34:1: "Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku."

Pandangan Para Teolog Reformed Tentang Ayub dan Sukacita dalam Pencobaan

  1. John Calvin: Penderitaan adalah sarana Allah untuk menguji dan memperdalam iman umat-Nya. Sukacita sejati ditemukan dalam ketaatan dan kepercayaan kepada Allah.
  2. Herman Bavinck: Pencobaan Ayub menunjukkan kedaulatan Allah yang sempurna dan kasih-Nya yang tak tergoyahkan.
  3. Jonathan Edwards: Sukacita dalam pencobaan berasal dari pengertian bahwa Allah bekerja untuk kebaikan kita melalui setiap keadaan.

Kesimpulan

Ayub 1:1-22 memberikan pelajaran mendalam tentang bagaimana orang percaya dapat bersukacita di tengah pencobaan. Sukacita ini tidak berasal dari keadaan, tetapi dari iman kepada Allah yang berdaulat dan setia.

Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk mengikuti teladan Ayub dalam menyembah Allah di tengah penderitaan, mempercayai kedaulatan-Nya, dan menemukan penghiburan dalam kasih-Nya yang kekal. Soli Deo Gloria!

Next Post Previous Post