Roma 2:25-27: Sunat, Hukum Taurat, dan Kebenaran Sejati

Pendahuluan
Roma 2:25-27 adalah bagian dari argumen Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma mengenai hubungan antara sunat, hukum Taurat, dan kebenaran di hadapan Allah. Paulus menegaskan bahwa sunat lahiriah tidak memiliki nilai jika seseorang tidak menaati hukum Taurat, dan bahwa seseorang yang tidak bersunat tetapi menaati hukum Taurat justru lebih benar di hadapan Allah.
Ayat ini berbunyi:
“Sunat memang ada gunanya jika kamu mematuhi Hukum Taurat, tetapi jika kamu pelanggar Hukum Taurat, sunatmu menjadi tidak bersunat.” (Roma 2:25, AYT)
“Jadi, jika orang yang tidak bersunat melakukan perintah-perintah Hukum Taurat, bukankah tidak sunatnya itu diperhitungkan sebagai sunat?” (Roma 2:26, AYT)
“Lalu, bukankah orang yang tidak sunat secara lahiriah, tetapi melakukan Hukum Taurat akan menghakimi kamu, yang memiliki Hukum yang tertulis dan sunat, tetapi pelanggar Hukum Taurat?” (Roma 2:27, AYT)
Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi makna teologis ayat-ayat ini dalam perspektif teologi Reformed serta melihat bagaimana para teolog Reformed menafsirkan bagian ini.
Eksposisi Roma 2:25-27
1. “Sunat memang ada gunanya jika kamu mematuhi Hukum Taurat” (Roma 2:25)
Sunat adalah tanda perjanjian antara Allah dan umat Israel yang diperintahkan sejak zaman Abraham (Kejadian 17:10-14). Namun, Paulus menekankan bahwa sunat hanya berguna jika seseorang menaati hukum Taurat sepenuhnya.
John Calvin, dalam komentarnya mengenai Roma, menjelaskan bahwa sunat bukanlah jaminan keselamatan, melainkan tanda lahiriah dari perjanjian Allah. Calvin menegaskan bahwa perbuatan lahiriah tanpa perubahan hati adalah sia-sia, karena yang terpenting adalah ketaatan sejati kepada hukum Allah.
Herman Bavinck, dalam Reformed Dogmatics, menyatakan bahwa sunat dalam Perjanjian Lama adalah bayangan dari realitas yang lebih besar dalam Perjanjian Baru, yaitu sunat hati yang dilakukan oleh Roh Kudus. Bavinck menekankan bahwa sunat sejati bukanlah tindakan fisik, tetapi perubahan batiniah yang datang dari iman kepada Kristus.
2. “Jika orang yang tidak bersunat melakukan perintah-perintah Hukum Taurat, bukankah tidak sunatnya itu diperhitungkan sebagai sunat?” (Roma 2:26)
Paulus melanjutkan dengan menunjukkan bahwa seseorang yang tidak bersunat tetapi menaati hukum Taurat lebih benar daripada orang yang bersunat tetapi melanggar hukum Taurat.
R.C. Sproul, dalam bukunya Grace Unknown, menekankan bahwa Paulus di sini sedang membongkar pemikiran legalistik yang mengandalkan tanda lahiriah tanpa ketaatan sejati. Sproul menjelaskan bahwa Allah melihat hati manusia, bukan sekadar ritual eksternal.
Matthew Henry, seorang komentator Alkitab terkenal, menambahkan bahwa ayat ini menunjukkan prinsip anugerah Allah yang melampaui batas-batas etnis. Kebenaran tidak ditentukan oleh sunat atau keturunan Yahudi, tetapi oleh kehidupan yang benar di hadapan Allah.
Dalam perspektif teologi Reformed, ayat ini sejalan dengan doktrin Sola Gratia (hanya oleh anugerah) dan Sola Fide (hanya oleh iman), yang menekankan bahwa keselamatan tidak bergantung pada ritual lahiriah, tetapi pada iman yang sejati kepada Kristus.
3. “Orang yang tidak sunat secara lahiriah, tetapi melakukan Hukum Taurat akan menghakimi kamu” (Roma 2:27)
Paulus memberikan peringatan bahwa orang yang tidak bersunat tetapi hidup dalam kebenaran akan menjadi saksi terhadap mereka yang memiliki hukum Taurat tetapi tidak mentaatinya.
Louis Berkhof, dalam Systematic Theology, menyoroti bahwa Paulus di sini sedang menegaskan standar keadilan Allah yang tidak memandang status lahiriah, tetapi menilai manusia berdasarkan kebenaran sejati. Berkhof menekankan bahwa hukum Allah bersifat universal dan mengikat semua manusia, baik Yahudi maupun non-Yahudi.
Sinclair Ferguson, dalam The Whole Christ, menjelaskan bahwa ayat ini merupakan kritik terhadap legalisme. Orang yang mengandalkan hukum tetapi tidak menaatinya justru berada di bawah penghakiman, sementara mereka yang hidup dalam iman dan ketaatan sejati kepada Allah akan dibenarkan.
Dalam teologi Reformed, ini menunjukkan bahwa status lahiriah sebagai bagian dari komunitas perjanjian tidak menjamin keselamatan. Yang penting adalah hati yang telah diperbarui oleh Roh Kudus (regeneration), yang menghasilkan kehidupan dalam kebenaran.
Makna Teologis Roma 2:25-27
Dari eksposisi di atas, kita dapat menarik beberapa makna teologis dari Roma 2:25-27 dalam perspektif teologi Reformed:
-
Sunat Sejati adalah Sunat Hati
- Paulus mengajarkan bahwa sunat fisik tidak ada artinya jika tidak disertai dengan perubahan hati yang sejati. Ini sesuai dengan doktrin regeneration (kelahiran baru), yang menyatakan bahwa keselamatan hanya mungkin terjadi jika hati seseorang diperbarui oleh Roh Kudus.
-
Keselamatan Tidak Bergantung pada Ritual atau Identitas Etnis
- Ayat ini menegaskan bahwa keselamatan tidak bergantung pada tanda lahiriah seperti sunat atau keturunan Yahudi, tetapi pada ketaatan yang lahir dari iman. Ini selaras dengan prinsip Sola Gratia dan Sola Fide, yang menegaskan bahwa keselamatan hanya oleh anugerah melalui iman kepada Kristus.
-
Allah Menilai Hati, Bukan Penampilan Lahiriah
- Paulus menunjukkan bahwa Allah tidak terkesan dengan ritual lahiriah jika hati seseorang tidak benar di hadapan-Nya. Ini menentang segala bentuk legalisme, yang berusaha mencapai keselamatan melalui perbuatan tanpa iman yang sejati.
-
Injil Melampaui Batas Yahudi dan Non-Yahudi
- Paulus menyatakan bahwa orang yang tidak bersunat tetapi hidup dalam kebenaran dapat lebih benar di hadapan Allah dibandingkan orang Yahudi yang memiliki hukum Taurat tetapi melanggarnya. Ini menunjukkan bahwa Injil adalah untuk semua bangsa, bukan hanya untuk orang Yahudi.
-
Kebenaran Sejati adalah Ketaatan yang Lahir dari Iman
- Dalam teologi Reformed, ketaatan kepada hukum Allah bukanlah syarat untuk mendapatkan keselamatan, tetapi adalah buah dari keselamatan. Mereka yang benar-benar diselamatkan akan menunjukkan kehidupan yang taat kepada firman Tuhan.
Kesimpulan
Roma 2:25-27 adalah bagian penting dalam argumen Paulus yang membongkar pemikiran legalistik dan menegaskan bahwa keselamatan tidak bergantung pada sunat atau identitas etnis, tetapi pada hati yang diperbarui oleh Roh Kudus. Dalam perspektif teologi Reformed, ayat ini mengajarkan bahwa sunat sejati adalah sunat hati, keselamatan hanya oleh anugerah melalui iman, dan Allah menilai kebenaran seseorang berdasarkan hati dan kehidupan mereka, bukan sekadar ritual lahiriah.
Sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk hidup dalam iman yang sejati, bukan hanya sekadar menjalankan ritual keagamaan. Kita harus memastikan bahwa hati kita telah diperbarui oleh Roh Kudus dan bahwa kita hidup dalam ketaatan yang lahir dari kasih kepada Kristus.