2 Korintus 8:1–5: Kemurahan Hati yang Digugah oleh Anugerah

2 Korintus 8:1–5: Kemurahan Hati yang Digugah oleh Anugerah

Pendahuluan

Dalam dunia modern yang semakin individualistis, praktik memberi dengan sukacita dan pengorbanan menjadi sesuatu yang langka. Namun, Alkitab menyaksikan tentang sebuah komunitas yang, meski dalam kekurangan dan penderitaan, tetap berlimpah dalam kemurahan hati. Melalui 2 Korintus 8:1–5, Rasul Paulus menyampaikan kesaksian tentang jemaat-jemaat di Makedonia yang menjadi teladan dalam hal pemberian yang sejati.

Ayat-ayat ini tidak hanya mengandung prinsip sosial dan etis, tetapi juga menggambarkan pekerjaan anugerah Allah dalam hati umat-Nya. Artikel ini akan mengeksplorasi ayat 2 Korintus 8:1–5 dalam terang teologi Reformed dengan menyelami konteks, makna asli, dan aplikasinya bagi gereja masa kini.

I. Latar Belakang Historis dan Konteks Surat

Sebelum masuk ke eksposisi ayat per ayat, penting untuk memahami konteks surat ini. Surat 2 Korintus ditulis oleh Rasul Paulus sekitar tahun 55–56 M dari Makedonia, dalam rangka menyampaikan perkembangan pelayanan dan menanggapi berbagai situasi di jemaat Korintus.

Dalam pasal 8–9, Paulus mengangkat tema tentang pengumpulan persembahan bagi orang-orang kudus di Yerusalem yang sedang mengalami kesulitan ekonomi (bdk. Roma 15:26). Jemaat Makedonia (termasuk Filipi, Tesalonika, dan Berea) dijadikan contoh oleh Paulus untuk mendorong jemaat Korintus supaya menyelesaikan komitmen mereka dalam memberi.

II. Eksposisi Ayat per Ayat (2 Korintus 8:1–5)

2 Korintus 8:1: “Kami ingin kamu mengetahui tentang anugerah Allah…”

“Sekarang, Saudara-saudara, kami ingin kamu mengetahui tentang anugerah Allah yang telah diberikan kepada jemaat-jemaat di Makedonia.”

Makna: Pemberian yang dilakukan oleh jemaat Makedonia bukan berasal dari kekuatan manusia, melainkan sebagai hasil karya anugerah Allah. Dalam teologi Reformed, semua kebaikan yang sejati berasal dari Allah (Yakobus 1:17). Anugerah tidak hanya menyelamatkan, tetapi juga menggerakkan hati untuk memberi dengan rela.

John Calvin menafsirkan ayat ini sebagai bukti bahwa “segala bentuk kemurahan hati adalah hasil dari pekerjaan Roh Kudus.” Bukan semata dorongan emosional atau moral, tetapi ekspresi iman yang sejati.

“Pemberian mereka adalah bukti pekerjaan internal dari kasih karunia Allah, bukan hanya tindakan moral luar.” – R.C. Sproul

2 Korintus 8:2: “Dalam penderitaan... kelimpahan sukacita...”

“...dalam banyaknya ujian penderitaan, kelimpahan sukacita dan besarnya kemiskinan mereka telah berkelimpahan dalam kekayaan ketulusan hati mereka.”

Paradox of Grace: Ayat ini menunjukkan paradoks kekristenan: penderitaan dan kemiskinan tidak menghalangi sukacita dan kemurahan hati. Dalam perspektif Reformed, ini hanya mungkin karena pekerjaan Roh Kudus yang mengubah hati batu menjadi hati daging (Yehezkiel 36:26–27).

Michael Horton, seorang teolog Reformed kontemporer, mencatat bahwa "apa yang dilakukan jemaat Makedonia menegaskan bahwa Injil mengubah orientasi kita dari pencarian diri menuju pelayanan bagi sesama."

Implikasi praktis: Gereja masa kini tidak boleh mengukur kesiapan memberi berdasarkan jumlah kekayaan materi, tetapi berdasarkan kelimpahan sukacita dan ketulusan hati yang dihasilkan oleh Injil.

2 Korintus 8:3: “Mereka memberi... bahkan melebihi kemampuannya”

“Aku bersaksi bahwa mereka memberi sesuai dengan kemampuan mereka, bahkan melebihi kemampuannya atas kerelaan mereka sendiri.”

Pemberian yang dilakukan oleh jemaat Makedonia melebihi ukuran manusiawi. Paulus menekankan bahwa mereka memberi secara sukarela, bukan karena tekanan atau paksaan.

Menurut Louis Berkhof, dalam sistematika teologinya, memberi dalam kekristenan bukanlah kewajiban legalistik, melainkan ekspresi kasih karunia yang mengalir dari hati yang diperbarui.

Kunci Reformed di sini adalah:

  • Tidak ada penekanan pada “persepuluhan” dalam bentuk hukum Taurat.

  • Fokusnya adalah pada prinsip anugerah dan sukacita dalam memberi.

2 Korintus 8:4: “Memohon... untuk turut ambil bagian”

“Mereka memohon dengan sangat kepada kami akan anugerah untuk turut ambil bagian dalam pelayanan orang-orang kudus.”

Paulus menyatakan bahwa jemaat Makedonia bahkan memohon kesempatan untuk memberi. Ini adalah tindakan yang luar biasa dan menunjukkan bahwa mereka melihat memberi sebagai suatu hak istimewa, bukan beban.

R.C. Sproul menekankan bahwa “karunia memberi bukan hanya soal uang, tetapi tentang partisipasi dalam pekerjaan Allah di dunia ini.”

Bagi jemaat Makedonia, pelayanan bagi orang-orang kudus bukan sekadar penggalangan dana, tetapi sebuah liturgi kasih – ekspresi dari kesatuan tubuh Kristus yang sejati.

2 Korintus 8:5: “Memberikan diri mereka sendiri kepada Allah...”

“...bukan seperti yang kami harapkan, pertama-tama, mereka memberikan diri mereka sendiri kepada Allah, kemudian kepada kami oleh kehendak Allah.”

Inilah inti dari seluruh bagian ini. Pemberian materi mereka adalah buah dari penyerahan hidup kepada Allah. Tanpa penyerahan diri kepada Allah, pemberian menjadi kosong dan tidak menyenangkan hati Tuhan.

John Piper, yang meskipun tidak sepenuhnya dalam tradisi Reformed klasik, namun banyak mengadopsi prinsip-prinsipnya, mengatakan:

“Tindakan memberi tidak akan memiliki nilai kekal kecuali jika didasarkan pada penyerahan total kepada Allah.”

Dalam perspektif Reformed, hidup orang percaya bukan milik sendiri. Kita ditebus bukan hanya untuk diselamatkan dari neraka, tetapi untuk hidup dalam ketaatan penuh kepada Kristus (Roma 12:1–2).

III. Aplikasi Teologis dan Praktis bagi Gereja Masa Kini

1. Kemurahan hati sebagai bukti pekerjaan anugerah

Teologi Reformed sangat menekankan sola gratia – hanya oleh anugerah. Namun, anugerah yang sejati tidak tinggal diam. Ia mengubah cara kita hidup, berpikir, dan memberi. Gereja masa kini perlu memulihkan semangat kemurahan hati yang tidak didasarkan pada paksaan, melainkan pada sukacita karena Injil.

2. Memberi sebagai bentuk ibadah

Seperti dalam 2 Korintus 8:5, ketika seseorang telah menyerahkan dirinya kepada Allah, pemberian menjadi bagian dari ibadah, bukan hanya tindakan sosial. Memberi adalah tanggapan atas kasih Allah, bukan metode untuk mendapatkan berkat.

"Giving is worship when it flows from the heart that treasures God above all." – John Calvin

3. Kemiskinan bukan penghalang bagi kemurahan hati

Terlalu sering dalam gereja modern, kita mengasumsikan bahwa hanya mereka yang memiliki lebih yang bisa memberi. Jemaat Makedonia membalikkan paradigma ini. Bahkan dalam kekurangan, mereka kaya dalam kemurahan hati. Ini menjadi teguran bagi kita yang hidup dalam kelimpahan tetapi sering enggan memberi.

4. Gereja sebagai tubuh yang saling menopang

Pemberian jemaat Makedonia ditujukan kepada orang-orang kudus di Yerusalem. Ini adalah wujud kesatuan tubuh Kristus lintas geografis dan budaya. Dalam dunia global saat ini, prinsip ini sangat relevan untuk mendorong gereja mendukung pelayanan di tempat-tempat yang kekurangan.

IV. Penutup: Memberi Karena Telah Diberi

Akhirnya, eksposisi ini membawa kita kepada kebenaran dasar Injil: Kita memberi karena Allah terlebih dahulu telah memberi kepada kita. Pemberian terbesar adalah Yesus Kristus sendiri, yang menjadi miskin supaya kita menjadi kaya dalam kasih karunia (2 Korintus 8:9).

Dalam terang Injil, kita dipanggil untuk memberi bukan untuk memperoleh keselamatan, tetapi sebagai buah dari keselamatan itu sendiri. Jemaat Makedonia menjadi teladan yang layak ditiru: mereka miskin secara materi, tetapi kaya secara rohani. Mereka telah memahami bahwa kerajaan Allah tidak dibangun di atas kekayaan duniawi, tetapi atas dasar kasih yang nyata dalam tindakan.

Next Post Previous Post