Sikap Yesus dalam Bahaya dan Implikasinya bagi Orang Percaya
Pendahuluan
Kisah penangkapan Yesus di Taman Getsemani (Matius 26:47–56; Yohanes 18:1–12) memperlihatkan suatu kontras yang tajam antara sikap Yesus dan para murid-Nya. Ketika bahaya mendekat, murid-murid diliputi ketakutan dan melarikan diri, sedangkan Yesus tetap tenang, berwibawa, bahkan menyerahkan diri-Nya dengan penuh kesadaran. Pertanyaan yang muncul adalah: Mengapa Yesus bisa tetap tenang, sementara para murid-Nya panik?
Salah satu jawabannya adalah karena Yesus benar-benar mengerti dan percaya bahwa segala sesuatu ada dalam tangan Allah. Tidak ada apapun yang terjadi di luar kedaulatan-Nya. Murid-murid, meskipun pernah mendengar pengajaran ini, tidak sungguh-sungguh mengingat dan mempercayainya pada saat bahaya datang. Sebaliknya, Yesus hidup dalam kesadaran penuh bahwa segala sesuatu ditetapkan dan diatur oleh Allah. Hal ini tampak jelas dalam percakapan Yesus dengan Pilatus:
"Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas." (Yohanes 19:10–11b).
Pernyataan Yesus menunjukkan bahwa bahkan kuasa politik Pilatus pun tidak lepas dari otoritas Allah. Yesus tahu, tidak ada apapun yang terjadi di luar kehendak Bapa. Kesadaran inilah yang membuat-Nya tidak goyah dalam menghadapi penderitaan.
Bagi kita, teladan Yesus ini sangat penting. Kita tidak mungkin bisa tetap tenang menghadapi bahaya jika kita tidak sungguh-sungguh memahami dan mengingat bahwa segala sesuatu ditetapkan dan diatur oleh Tuhan.
I. Sikap Yesus dalam Bahaya
1. Ketenangan Yesus di Getsemani
Momen penangkapan Yesus adalah saat yang penuh tekanan. Para serdadu Romawi datang dengan senjata, para imam kepala dan tua-tua Yahudi ikut hadir, Yudas memimpin mereka dengan ciuman pengkhianatan. Murid-murid ketakutan dan lari meninggalkan Yesus. Namun, Yesus justru maju menyongsong mereka (Yohanes 18:4–5).
Ketenangan Yesus tidak muncul karena keadaan luar, melainkan karena pengenalan-Nya yang mendalam akan rencana Allah. Ia tahu bahwa salib bukan sekadar kebetulan sejarah, melainkan bagian dari ketetapan Allah yang kekal.
2. Murid-Murid yang Panik
Para murid gagal menunjukkan iman yang teguh. Meskipun sudah diajar berulang kali bahwa Mesias harus menderita (Matius 16:21–23), mereka tidak mampu mengingat dan menghidupinya ketika krisis tiba. Ketakutan menguasai mereka karena mereka lupa bahwa Allah berdaulat atas segala sesuatu.
3. Inti dari Teladan Yesus
Sikap Yesus ini menegaskan bahwa iman kepada kedaulatan Allah adalah dasar ketenangan di tengah bahaya. Tanpa pengertian yang benar akan providensia Allah, manusia mudah terjebak pada rasa takut, gelisah, atau bahkan putus asa.
II. Segala Sesuatu Ditetapkan dan Diatur oleh Tuhan
Alkitab berulang kali menegaskan bahwa Allah tidak hanya mengetahui, tetapi juga menetapkan segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah. Ketetapan Allah mencakup hal-hal besar maupun kecil, termasuk peristiwa dosa yang paling kelam sekalipun.
1. Dosa pun Termasuk dalam Rencana Allah
Ada orang yang berpikir bahwa Allah hanya menetapkan hal-hal baik, sedangkan dosa terjadi di luar kendali-Nya. Tetapi Kitab Suci justru menunjukkan sebaliknya.
-
Pengkhianatan Yudas (Lukas 22:22). Yesus berkata: "Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan."
→ Artinya, pengkhianatan Yudas, meskipun dosa, terjadi sesuai dengan ketetapan Allah. -
Penyaliban Kristus (Kis. 2:23; Kis. 4:27–28). Petrus dengan tegas berkata bahwa Kristus "diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya." Bahkan kejahatan terbesar dalam sejarah—membunuh Anak Allah—sudah ditetapkan Allah dari semula.
Charles Hodge berkata:
"Penyaliban Kristus tidak diragukan lagi ditentukan lebih dulu oleh Allah. Tetapi itu adalah tindakan kriminal terbesar yang pernah dilakukan. Karena itu, tidak perlu diragukan lagi bahwa dosa ditentukan lebih dulu merupakan ajaran Alkitab." (Systematic Theology, vol. I, hlm. 544).
Artinya, Allah menetapkan bahkan peristiwa dosa, tetapi tetap tidak bisa dituduh sebagai penyebab dosa. Allah adalah Kudus. Manusia bertanggung jawab penuh atas dosa yang diperbuat, tetapi dosa itu tidak pernah keluar dari rencana Allah.
2. Hal-hal Remeh Pun Ditetapkan Allah
Tidak hanya dosa, bahkan hal-hal yang tampaknya tidak berarti pun termasuk dalam rencana Allah.
-
Burung pipit dan rambut kepala (Matius 10:29–30). Yesus berkata bahwa seekor burung pipit tidak akan jatuh ke bumi tanpa seizin Bapa, bahkan rambut di kepala kita pun terhitung semuanya.
→ Ini menunjukkan bahwa providensia Allah mencakup detail yang terkecil sekalipun.
Calvin menegaskan:
"Setiap orang yang telah diajar oleh bibir Kristus bahwa semua rambut kepalanya terhitung (Mat. 10:30) akan menganggap bahwa semua kejadian diatur oleh rencana rahasia Allah." (Institutes, I.XVI.2).
B. B. Warfield menambahkan:
"Peristiwa-peristiwa terkecil dikontrol secara langsung oleh Allah sama seperti peristiwa-peristiwa yang terbesar." (Biblical and Theological Studies, hlm. 296).
3. Ketetapan Allah dan Kemahatahuan-Nya
Kemahatahuan Allah juga membuktikan bahwa segala sesuatu sudah ditetapkan-Nya. Sebelum dunia diciptakan, Allah sudah mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi. Pengetahuan itu bukanlah pasif, melainkan berasal dari ketetapan-Nya sendiri.
Loraine Boettner berkata:
"Pengetahuan lebih dulu menunjuk pada kepastian, dan kepastian menunjuk pada penetapan lebih dulu." (The Reformed Doctrine of Predestination, hlm. 44).
4. Allah Melampaui Waktu
Salah satu alasan mengapa Allah bisa menetapkan segala sesuatu adalah karena Ia tidak dibatasi oleh waktu. Bagi kita ada masa lalu, sekarang, dan masa depan. Tetapi bagi Allah, semuanya adalah sekarang yang kekal (Yesaya 57:15; Mazmur 90:4).
Allah melihat seluruh sejarah dalam satu pandangan. Maka, apa yang bagi kita tampak sebagai sesuatu yang belum terjadi, bagi Allah sudah pasti, karena sudah ada dalam ketetapan-Nya.
III. Sikap Orang Kristen dalam Bahaya
Jika segala sesuatu benar-benar ditetapkan dan diatur oleh Allah, maka bagaimana seharusnya sikap orang percaya menghadapi bahaya, bencana, atau huru-hara?
1. Tidak Takut atau Panik
Alasan utama untuk tidak takut adalah karena tidak ada sesuatu pun yang bisa menggagalkan rencana Allah. Segala sesuatu, bahkan yang pahit sekalipun, diarahkan untuk kebaikan umat-Nya.
-
Roma 8:28: "Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia."
-
Yeremia 29:11: "Rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan."
John Owen berkata:
"Di tengah penderitaan dan pencobaan, penghiburan besar bagi kita adalah bahwa kita tidak bisa menderita apapun kecuali yang ditetapkan tangan dan rencana-Nya bagi kita." (Works of John Owen, vol. 10, hlm. 29).
2. Tidak Fatalistis, tetapi Bertanggung Jawab
Penting untuk menekankan bahwa iman kepada kedaulatan Allah tidak berarti kita pasif atau fatalistis. Calvinisme sejati bukan fatalisme. Kita tetap dipanggil untuk bertindak sesuai firman Tuhan.
-
Ulangan 29:29: "Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN… tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita… supaya kita melakukan segala perkataan hukum Taurat ini."
Spurgeon menegaskan:
"Biarlah providensia Allah melakukan apapun, urusanmu adalah melakukan apa yang kamu bisa." (Expository Encyclopedia, vol. 7, hlm. 43).
3. Langkah Praktis Menghadapi Bahaya
Dalam menghadapi situasi sulit, orang percaya harus mengambil sikap yang bijak:
a. Menjaga kehidupan dengan bijaksana. Jangan bertindak sembrono dengan alasan iman. Misalnya: tetap waspada, menyediakan kebutuhan pokok, dan menjaga keamanan.
b. Berdoa dengan sungguh-sungguh. Doa adalah senjata rohani yang menghubungkan kita dengan Allah.
c. Menguduskan hidup. Dosa dapat menjadi penghalang doa. Kehidupan yang kudus memperkuat iman dan menumbuhkan kepercayaan kepada Allah.
Kesimpulan
Yesus memberi teladan yang sempurna dalam menghadapi bahaya. Ia tidak panik, sebab Ia yakin bahwa semua berada dalam tangan Bapa. Murid-murid gagal karena lupa akan kedaulatan Allah, tetapi Yesus tetap tenang karena mengingat bahwa segala sesuatu ditetapkan dan diatur oleh Allah.
Kebenaran ini memberi penghiburan besar bagi kita. Apa pun yang terjadi—baik dosa, penderitaan, maupun hal-hal kecil—semuanya berada di bawah kendali Allah. Tidak ada yang bisa menggagalkan rencana-Nya yang kekal, yang ditetapkan dalam kasih, hikmat, dan kekudusan-Nya.
Karena itu, orang percaya tidak perlu takut menghadapi bahaya. Namun, kita juga tidak boleh bersikap pasif. Kita dipanggil untuk tetap bertindak dengan bijak, berdoa, dan hidup dalam kekudusan.
Akhirnya, kita boleh berpegang pada janji ini: Allah, Sang Gembala dan Bapa kita, menguasai dan mengatur segala sesuatu, dan Ia melakukannya untuk kebaikan kita dan demi kemuliaan-Nya.