Yesus adalah Raja dan Yesus Ditelanjangi di Kayu Salib
(Eksposisi Teologis Reformed atas Yohanes 19:19–24 dan Injil Sinoptik)
Pendahuluan
Salib Kristus bukan hanya pusat dari iman Kristen, tetapi juga puncak dari seluruh sejarah keselamatan. Di atas kayu salib, kasih Allah dan keadilan-Nya bertemu. Di sana, Kristus yang adalah Anak Allah sekaligus Raja sejati menyerahkan nyawa-Nya untuk menebus umat pilihan. Namun, detail-detail kecil yang dicatat oleh para penginjil mengandung makna teologis yang sangat dalam. Dua hal yang sering dianggap sepele justru memperlihatkan kekayaan Injil: pertama, tulisan yang Pilatus letakkan di atas kepala Yesus, “Yesus orang Nazaret, Raja orang Yahudi” (Yohanes 19:19); kedua, peristiwa para prajurit yang menelanjangi Yesus dan mengundi pakaian-Nya (Yohanes 19:23–24).
Dua peristiwa ini memperlihatkan paradoks salib: Kristus dimuliakan sebagai Raja justru dalam penghinaan, dan Ia ditelanjangi supaya umat-Nya berpakaian dalam kebenaran. Artikel ini akan mengeksposisi kedua bagian tersebut dengan perspektif teologi Reformed, merujuk pada tafsiran Alkitab, tradisi Reformator, dan implikasi pastoral bagi kehidupan orang percaya.
Yesus adalah Raja
1. Tulisan Pilatus: Sejarah dan Teologi
Injil Yohanes mencatat bahwa Pilatus menulis: “Yesus orang Nazaret, Raja orang Yahudi” dan meletakkannya di atas salib. Dalam konteks politik Romawi, ini adalah bentuk sindiran terhadap orang Yahudi. Bagi Pilatus, tulisan itu adalah cara untuk mengejek bangsa yang memaksanya menyalibkan seseorang yang tidak ia anggap bersalah. Tetapi dalam rencana Allah, tulisan itu adalah deklarasi kebenaran yang tidak dapat dibatalkan: Yesus sungguh Raja.
Menurut Calvin, tindakan Pilatus tanpa sadar menjadi instrumen kedaulatan Allah. Ia menulis sesuatu untuk menghina, tetapi Allah memakainya untuk menyatakan kebenaran yang mulia. Inilah misteri providensia: bahkan niat jahat manusia dipakai Allah untuk menggenapkan firman-Nya (lih. Kis. 2:23).
2. Tulisan dalam Tiga Bahasa: Injil bagi Segala Bangsa
Yohanes menekankan bahwa tulisan itu ditulis dalam tiga bahasa: Ibrani, Latin, dan Yunani (Yohanes 19:20). Para teolog Reformed melihat hal ini bukan kebetulan. Ibrani melambangkan bangsa pilihan dan pewahyuan Perjanjian Lama; Latin mewakili kekuasaan politik Romawi; Yunani mewakili kebudayaan dan filsafat dunia. Dengan demikian, tulisan itu adalah simbol bahwa Kristus adalah Raja bagi seluruh bangsa, bukan hanya bagi orang Yahudi.
Hendriksen menegaskan: “Salib Kristus tidak hanya ditancapkan di tanah Palestina, tetapi juga di tengah-tengah dunia. Di situ, Allah mendeklarasikan Injil kepada semua bangsa.” Maka, salib bukan hanya tragedi lokal, melainkan kemenangan universal.
3. Pilatus: Lemah namun Dipakai Allah
Pilatus digambarkan dalam Injil sebagai seorang gubernur yang ragu-ragu, takut pada tekanan massa, tetapi sekaligus ingin menjaga wibawanya. Dalam menulis tulisan itu, ia bersikeras: “Apa yang telah kutulis, tetap tertulis” (Yohanes 19:22). Meski lemah dalam hal membebaskan Yesus, di sini Pilatus justru dipakai Allah untuk menegaskan kebenaran tentang Yesus.
Spurgeon pernah berkata: “Tangan Pilatus menulis lebih dari yang ia maksudkan, dan ia tidak dapat menghapusnya. Demikian pula, kebenaran Kristus sebagai Raja tidak dapat dibatalkan oleh siapapun.”
4. Rencana Manusia vs Rencana Allah
Orang Yahudi menolak tulisan itu. Mereka ingin Pilatus menulis, “Ia berkata: Aku Raja orang Yahudi” (Yohanes 19:21). Tetapi Allah tidak mengizinkan. Yang tertulis di kayu salib bukanlah klaim kosong, melainkan fakta ilahi. Di sinilah kita melihat kontras antara niat manusia dan kehendak Allah.
Teologi Reformed selalu menekankan kedaulatan Allah: bahwa tidak ada satu detail pun dari peristiwa salib yang berada di luar kendali-Nya. Yesus mati bukan karena Pilatus lemah atau orang Yahudi berkuasa, tetapi karena Allah sudah menetapkan demikian untuk keselamatan umat pilihan (lih. Kis. 4:27–28).
5. Kesaksian Alkitab: Yesus adalah Raja
Perjanjian Lama telah menubuatkan Mesias sebagai Raja (Mazmur 2; Yesaya 9:6–7). Dalam Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyatakan bahwa kerajaan-Nya bukan dari dunia ini (Yohanes 18:36). Paulus menegaskan bahwa Allah meninggikan Kristus di atas segala nama, sehingga semua lutut bertelut kepada-Nya (Filipi 2:9–11).
Dengan demikian, tulisan Pilatus adalah bagian dari kesaksian Alkitab yang lebih luas: bahwa Yesus adalah Raja sejati, meski mahkota-Nya bukan emas melainkan duri, dan takhta-Nya bukan singgasana melainkan kayu salib.
Yesus Ditelanjangi di Kayu Salib
1. Pakaian Yesus Diundi: Penggenapan Nubuat
Yohanes mencatat bahwa para prajurit mengambil pakaian Yesus dan membaginya menjadi empat bagian, tetapi jubah-Nya yang utuh tidak mereka bagi, melainkan diundi (Yohanes 19:23–24). Yohanes menambahkan catatan penting: “Hal itu terjadi supaya genaplah yang ada tertulis dalam Kitab Suci: Mereka membagi-bagi pakaian-Ku di antara mereka, dan mereka membuang undi atas jubah-Ku” (Mazmur 22:19).
Mazmur 22 adalah mazmur mesianik yang menggambarkan penderitaan Mesias. Dengan peristiwa ini, nubuatan digenapi secara literal. Sekali lagi kita melihat bahwa salib adalah penggenapan janji Allah yang sudah ditetapkan sejak kekekalan.
2. Dunia yang Tidak Peduli pada Kasih Allah
Sementara Anak Allah sedang mati menanggung dosa dunia, para prajurit justru sibuk mengundi pakaian. Ini gambaran tragis dari hati manusia yang tumpul terhadap kasih Allah. Seperti komentar Matthew Henry: “Mereka lebih sibuk dengan jubah Kristus daripada dengan darah-Nya.”
Gambaran ini relevan untuk zaman sekarang. Banyak orang lebih peduli pada hal-hal duniawi ketimbang pada Kristus yang disalibkan. Dunia lebih sibuk mengejar keuntungan materi daripada menerima anugerah keselamatan.
3. Kristus Ditelanjangi Supaya Kita Berpakaian dalam Kebenaran
Tindakan penelanjangan bukan hanya penderitaan fisik, tetapi juga penghinaan total. Dalam budaya Yahudi, telanjang di depan umum adalah simbol aib dan kutuk. Dengan ditelanjangi, Kristus menanggung aib umat manusia.
Calvin menafsirkan: “Kristus ditelanjangi supaya kita berpakaian dalam kebenaran-Nya. Apa yang menjadi milik-Nya diambil, supaya apa yang menjadi milik kita yang penuh noda dapat ditutupi.”
Ini sejalan dengan doktrin imputasi dalam teologi Reformed: kebenaran Kristus diperhitungkan kepada kita, sementara dosa kita diperhitungkan kepada-Nya (2 Korintus 5:21).
4. Aplikasi Rohani: Telanjang karena Dosa, Berpakaian karena Kristus
Sejak kejatuhan Adam, manusia sadar bahwa dirinya telanjang (Kejadian 3:7). Telanjang adalah simbol keadaan manusia yang berdosa: tak berdaya, penuh rasa malu, dan tanpa perlindungan di hadapan Allah. Tetapi di kayu salib, Kristus yang tidak berdosa ditelanjangi supaya kita yang telanjang dapat berpakaian.
Efesus 4:24 mengajarkan bahwa kita harus mengenakan manusia baru yang diciptakan menurut kehendak Allah. Wahyu 7:14 menggambarkan umat Allah berpakaian jubah putih yang dicuci dalam darah Anak Domba. Semua ini mungkin karena Kristus rela ditelanjangi demi kita
Kesimpulan
Salib memperlihatkan paradoks Injil: Yesus adalah Raja, namun Ia dimahkotai duri. Ia layak dimuliakan, tetapi Ia ditelanjangi. Tulisan Pilatus dan undian prajurit bukanlah kebetulan, melainkan penggenapan nubuat dan penyataan kedaulatan Allah.
Yesus adalah Raja atas segala bangsa, dan Ia rela ditelanjangi supaya umat-Nya berpakaian dalam kebenaran-Nya. Inilah Injil yang harus kita imani, syukuri, dan hidupi.