Matius 15:11: Apa yang Keluar dari Mulut Menajiskan Orang
Pendahuluan
Perkataan Yesus dalam Matius 15:11 merupakan salah satu ajaran yang mengguncang tradisi keagamaan Yahudi pada zaman-Nya. Ayat ini berbunyi:
“Dengarlah dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.” (Matius 15:11)
Ayat ini muncul dalam konteks perdebatan Yesus dengan orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang menuduh murid-murid-Nya tidak menjalankan tradisi pencucian tangan sebelum makan (Matius 15:1-2). Yesus menanggapi tuduhan itu dengan mengungkapkan prinsip rohani yang jauh lebih dalam: kemurnian sejati bukan soal ritual lahiriah, melainkan kondisi hati yang tercermin melalui perkataan.
Artikel ini akan membahas eksposisi Alkitabiah Matius 15:11, menyingkap makna teologisnya, pandangan para pakar, serta aplikasinya bagi kehidupan orang percaya masa kini.
Latar Belakang Historis dan Konteks
-
Tradisi Pencucian Tangan Yahudi
Orang Yahudi pada zaman Yesus memiliki banyak tradisi tambahan di luar hukum Taurat yang asli. Salah satunya adalah pencucian tangan secara ritual sebelum makan. Tradisi ini tidak sekadar soal kebersihan fisik, tetapi dianggap sebagai tindakan rohani untuk menjaga kekudusan. -
Konflik dengan Orang Farisi
Orang Farisi menuduh murid-murid Yesus menajiskan diri karena tidak mengikuti aturan tersebut. Namun Yesus justru membalik tuduhan itu: yang membuat seseorang najis bukanlah makanan yang dimakan tanpa ritual, melainkan perkataan dan sikap hati yang jahat. -
Peralihan dari Ritual ke Moralitas
Yesus tidak membatalkan hukum Taurat, tetapi menegaskan esensi sejatinya: kekudusan tidak diukur dari aturan lahiriah, melainkan dari hati yang murni. Dengan demikian, Yesus menekankan dimensi etika dan spiritual yang lebih dalam daripada tradisi formalistik.
Eksposisi Matius 15:11
1. “Bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang…”
Yesus menegaskan bahwa makanan atau hal-hal lahiriah bukanlah faktor yang membuat seseorang najis di hadapan Allah. Dalam Perjanjian Lama, ada banyak aturan makanan (Imamat 11), tetapi Yesus sedang mengajarkan prinsip yang lebih tinggi: najis sejati bukan soal fisik, melainkan rohani.
Menurut William Barclay, pernyataan Yesus ini revolusioner karena membuka jalan bagi pemahaman Kristen bahwa semua makanan adalah tahir (lih. Markus 7:19). Ini menjadi titik awal perubahan besar dalam komunitas Kristen awal yang terdiri dari orang Yahudi dan non-Yahudi.
2. “…melainkan yang keluar dari mulut…”
Yang dimaksud Yesus adalah perkataan yang lahir dari hati. Dalam ayat 18-19, Yesus menegaskan bahwa dari hati timbul pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, dusta, dan fitnah. Semua ini keluar melalui mulut dan tindakan, sehingga menajiskan orang.
John Stott menekankan bahwa mulut adalah jendela hati. Apa yang kita ucapkan adalah refleksi dari kondisi batin kita. Jika hati penuh kebencian, maka mulut akan melahirkan kata-kata yang menajiskan.
3. “…itulah yang menajiskan orang.”
Yesus mengalihkan fokus dari kekudusan ritual kepada kekudusan moral. Najis yang sejati bukan soal makanan atau minuman, melainkan dosa yang keluar dari hati.
Menurut Matthew Henry, dosa-dosa lidah seperti fitnah, dusta, dan hujat jauh lebih berbahaya daripada makanan yang masuk ke tubuh. Sebab dosa lidah merusak hati manusia dan melukai sesama.
Pandangan Para Pakar Alkitab
-
Leon Morris
Ia menekankan bahwa ajaran Yesus dalam ayat ini bukan sekadar tentang makanan, tetapi tentang standar kekudusan. Kekudusan tidak bisa dicapai melalui ritual eksternal, melainkan melalui pembaruan hati. -
F.F. Bruce
Menyatakan bahwa Yesus sedang mengoreksi pemahaman salah kaprah dari orang Yahudi yang lebih menekankan tradisi buatan manusia daripada kehendak Allah. Bagi Bruce, ayat ini menegaskan supremasi firman Allah atas tradisi. -
John Calvin
Dalam komentarnya, Calvin menekankan bahwa Yesus sedang menyingkap kemunafikan. Orang Farisi sibuk menjaga aturan lahiriah, tetapi hati mereka penuh kejahatan. Kekudusan yang sejati tidak bisa dipisahkan dari integritas hati. -
Craig Keener
Keener menyoroti konteks sosialnya: orang Farisi ingin memisahkan diri dari "najis" bangsa lain lewat aturan makanan. Namun Yesus menghapus dinding pemisah itu, sehingga Injil dapat menjangkau semua bangsa tanpa hambatan ritual.
Makna Teologis
-
Kemurnian Hati Lebih Penting dari Ritual
Yesus menekankan bahwa hati manusia adalah pusat moralitas. Kekudusan sejati lahir dari hati yang diperbarui, bukan sekadar ritual agama. -
Firman Allah Lebih Tinggi dari Tradisi
Tradisi boleh berguna, tetapi tidak boleh menggantikan firman Allah. Matius 15 menegur bahaya ketika tradisi manusia lebih diutamakan daripada kebenaran Allah. -
Bahaya Lidah dan Perkataan
Lidah memiliki kuasa besar, baik untuk membangun maupun merusak (Yakobus 3:5-6). Kata-kata yang keluar dari mulut mencerminkan keadaan batin seseorang. -
Kristus Membawa Kebebasan Baru
Dengan menegaskan bahwa makanan tidak menajiskan, Yesus membuka jalan bagi gereja untuk merangkul bangsa-bangsa non-Yahudi. Ini adalah wujud nyata dari misi Allah bagi seluruh dunia.
Aplikasi Praktis Bagi Orang Percaya
1. Menguji Hati Sebelum Mulut Berbicara
Orang Kristen harus sadar bahwa setiap kata yang keluar mencerminkan hati. Oleh karena itu, penting menjaga hati agar tidak dipenuhi kepahitan, kebencian, atau iri hati.
2. Tidak Terjebak Formalisme Agama
Ibadah lahiriah penting, tetapi jangan sampai kita jatuh pada kemunafikan seperti orang Farisi. Allah menghendaki ketaatan hati, bukan sekadar ritual.
3. Menjaga Perkataan di Era Digital
Dalam zaman media sosial, ayat ini sangat relevan. Banyak orang menajiskan diri dengan kata-kata kasar, hoaks, atau fitnah di dunia maya. Orang percaya dipanggil untuk berbeda—menggunakan mulut (atau jari) untuk memberkati.
4. Menjadi Teladan dalam Perkataan
Yesus memanggil kita menjadi terang dan garam dunia, termasuk melalui kata-kata yang penuh kasih, penghiburan, dan kebenaran.
Kesimpulan
Eksposisi Matius 15:11 menyingkapkan ajaran Yesus yang sangat penting: kekudusan sejati bukan ditentukan oleh apa yang masuk ke dalam tubuh, melainkan oleh apa yang keluar dari hati melalui mulut. Yesus menegur tradisi lahiriah yang kosong dan menekankan integritas hati.
Para pakar Alkitab seperti John Stott, Matthew Henry, Leon Morris, dan John Calvin sependapat bahwa ayat ini menekankan bahaya kemunafikan serta perlunya pembaruan hati yang menghasilkan perkataan murni.
Bagi orang percaya masa kini, pesan ini relevan dalam menghadapi tantangan era digital, budaya formalistik, dan godaan lidah. Kita dipanggil untuk menjaga hati, memperbarui pikiran, serta menggunakan mulut untuk memberkati, bukan menajiskan.