Mazmur 2:4–6 Kedaulatan Allah atas Bangsa-Bangsa
Pendahuluan
Mazmur 2 adalah salah satu mazmur yang paling penting dalam Alkitab, baik dalam konteks Perjanjian Lama maupun dalam terang penggenapannya di Perjanjian Baru. Mazmur ini termasuk dalam kategori mazmur kerajaan (royal psalms) yang menyoroti kedudukan raja Israel sebagai wakil Allah di bumi, sekaligus menunjuk secara profetis kepada Mesias yang akan datang.
Ayat 4–6 merupakan bagian yang menampilkan respons Allah terhadap perlawanan bangsa-bangsa dan para penguasa dunia yang menolak pemerintahan-Nya. Dalam bagian ini, kita melihat kontras yang tajam antara pemberontakan manusia (ayat 1–3) dan keteguhan serta kedaulatan Allah yang berdaulat (ayat 4–6).
Teksnya berbunyi:
“Dia yang bersemayam di sorga tertawa; Tuhan mengolok-olok mereka. Pada waktu itu Ia akan berkata kepada mereka dalam murka-Nya dan mengejutkan mereka dalam kehangatan amarah-Nya: ‘Akulah yang telah melantik raja-Ku di Sion, gunung-Ku yang kudus!’” (Mazmur 2:4–6).
Artikel ini akan mengupas bagian ini secara sistematis, dengan memperhatikan konteks literer, teologis, serta implikasi kristologisnya, sambil mengacu pada tafsiran beberapa ahli teologi Reformed.
1. Analisis Ayat per Ayat
a. Mazmur 2:4 – “Dia yang bersemayam di sorga tertawa; Tuhan mengolok-olok mereka.”
Ungkapan ini menunjukkan kontras mutlak antara kebesaran Allah dan kerapuhan manusia. Para raja dunia merasa mampu melawan Allah, tetapi Allah justru duduk di takhta-Nya dan menanggapi dengan tawa.
John Calvin menafsirkan bahwa tawa Allah bukanlah sekadar emosi manusiawi, melainkan gambaran ketidakberdayaan manusia di hadapan kedaulatan Allah. Calvin menulis: “Alkitab menggunakan bahasa antropomorfis untuk menunjukkan betapa sia-sianya usaha musuh-musuh Allah.” Dengan demikian, tawa Allah bukanlah ejekan kosong, melainkan penegasan bahwa perlawanan manusia tidak memiliki peluang sedikit pun untuk berhasil.
Matthew Henry menambahkan bahwa tawa Allah merupakan ekspresi penghinaan ilahi terhadap kesombongan manusia. Menurutnya, ketika manusia berusaha menentang Allah, hal itu sama saja dengan seekor serangga kecil yang mencoba menghentikan badai.
b. Mazmur 2:5 – “Pada waktu itu Ia akan berkata kepada mereka dalam murka-Nya dan mengejutkan mereka dalam kehangatan amarah-Nya.”
Di sini, narasi berpindah dari tawa Allah ke murka-Nya. Jika ayat 4 menampilkan reaksi pasif (tertawa), maka ayat 5 menampilkan reaksi aktif berupa deklarasi murka.
Dalam teologi Reformed, murka Allah adalah ekspresi kekudusan-Nya yang berhadapan dengan dosa. Herman Bavinck menekankan bahwa murka Allah bukanlah kemarahan tak terkendali, melainkan manifestasi dari keadilan Allah yang kudus. Allah tidak bisa bersikap netral terhadap dosa.
Charles Haddon Spurgeon menyebut ayat ini sebagai “the thunder of divine displeasure” (gemuruh ketidaksenangan ilahi). Murka Allah bukan hanya menakutkan, melainkan juga menghancurkan semua kesombongan manusia.
c. Mazmur 2:6 – “Akulah yang telah melantik raja-Ku di Sion, gunung-Ku yang kudus!”
Inilah puncak dari bagian ini: Allah menyatakan bahwa Dia sendiri telah menetapkan raja di Sion. Raja itu bukan hasil perundingan bangsa-bangsa, melainkan keputusan Allah yang berdaulat.
Dalam konteks historis, raja yang dimaksud mungkin merujuk pada Daud atau keturunannya. Namun, dalam terang Perjanjian Baru, raja ini adalah Kristus, Sang Mesias. Rasul Petrus dalam Kisah Para Rasul 4:25–28 mengutip Mazmur 2 untuk menunjukkan bahwa pemberontakan bangsa-bangsa terhadap Yesus (penyaliban) telah digenapi sesuai dengan rencana Allah.
Calvin menegaskan bahwa pengangkatan raja di Sion menunjuk pada kedaulatan Mesias. Kristus bukan hanya raja Israel, tetapi juga raja atas segala bangsa. Keberadaan-Nya di Sion, “gunung-Ku yang kudus,” menunjukkan bahwa pemerintahan-Nya berakar dalam rencana keselamatan Allah.
2. Pandangan Teolog Reformed
a. John Calvin
Calvin melihat Mazmur 2 sebagai gambaran konflik antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia. Menurutnya, tawa Allah menunjukkan bahwa semua usaha manusia tidak berarti apa-apa di hadapan-Nya. Penetapan raja di Sion adalah jaminan bahwa kerajaan Kristus akan bertahan selamanya.
b. Herman Bavinck
Bavinck menekankan aspek Kristologi dari mazmur ini. Penetapan raja menunjuk pada Yesus Kristus, Anak Allah, yang ditetapkan sebagai Raja atas segala sesuatu melalui kebangkitan dan kenaikan-Nya.
c. Geerhardus Vos
Vos melihat Mazmur 2 sebagai bagian dari progresivitas wahyu yang menuntun kepada Mesias. Menurutnya, mazmur ini memperlihatkan pola penolakan dunia terhadap Kristus yang akhirnya diganti dengan kemenangan Mesias yang dijanjikan.
d. Charles Haddon Spurgeon
Spurgeon, dalam The Treasury of David, menyebut Mazmur 2:4–6 sebagai bukti bahwa Allah mengolok-olok kecongkakan manusia. Ia menekankan bahwa tawa Allah adalah tanda kepastian kemenangan Kristus.
3. Aplikasi bagi Gereja Masa Kini
-
Penghiburan dalam Penganiayaan
Gereja sering menghadapi perlawanan dari dunia. Mazmur ini mengingatkan bahwa Allah tetap berdaulat dan Kristus tetap memerintah. -
Kewajiban untuk Taat kepada Kristus Raja
Jika Allah sudah menetapkan Kristus sebagai Raja, maka setiap orang percaya wajib hidup di bawah pemerintahan-Nya. -
Kepastian Penggenapan Eskatologis
Mazmur ini menunjuk ke arah kemenangan akhir Kristus. Orang percaya dipanggil untuk menantikan penggenapan penuh ketika semua musuh ditaklukkan.
Kesimpulan
Mazmur 2:4–6 adalah teks yang meneguhkan kedaulatan Allah di tengah dunia yang penuh pemberontakan. Tawa Allah menunjukkan kesia-siaan upaya manusia melawan Dia. Murka Allah menegaskan kekudusan dan keadilan-Nya. Penetapan raja di Sion menunjuk pada Yesus Kristus, Sang Mesias, yang telah ditinggikan sebagai Raja atas segala bangsa.
Bagi teologi Reformed, bagian ini memperlihatkan sinergi antara kedaulatan Allah, kekudusan-Nya, serta supremasi Kristus. Tidak ada kuasa manusia yang dapat menggagalkan rencana keselamatan Allah. Gereja dapat bersandar pada kepastian bahwa Kristus yang duduk di takhta akan membawa kemenangan terakhir.