Markus 2:18-20 Waktu Baru, Sukacita Baru: Kristus Sang Mempelai

Markus 2:18-20 Waktu Baru, Sukacita Baru: Kristus Sang Mempelai

Pendahuluan

Injil Markus pasal 2 memperlihatkan kepada kita serangkaian kontroversi antara Yesus dengan orang-orang Farisi dan ahli Taurat. Sejak Ia mengampuni dosa seorang lumpuh (2:1-12), memanggil Lewi si pemungut cukai (2:13-17), hingga kemudian terjadi perdebatan tentang puasa (Markus 2:18-20). Semua ini menunjukkan benturan yang tidak bisa dihindarkan antara Injil Kerajaan Allah dengan legalisme agama.

Pertanyaan yang diajukan kepada Yesus adalah sederhana tetapi sarat makna:

“Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, sedangkan murid-murid-Mu tidak?” (Markus 2:18).

Jawaban Yesus bukan sekadar klarifikasi, melainkan pengajaran teologis yang dalam tentang siapa Dia sebenarnya. Ia menyebut diri-Nya sebagai mempelai laki-laki. Selama mempelai bersama mereka, tidak ada alasan untuk berpuasa. Tetapi akan tiba waktunya Ia diambil, saat itulah mereka akan berpuasa.

Hari ini kita akan mempelajari teks ini secara ekspositori dengan tiga fokus:

  1. Pertanyaan tentang puasa (ay. 18)

  2. Yesus sebagai mempelai (ay. 19)

  3. Makna puasa Kristen (ay. 20)

Kemudian kita akan melihat refleksi teologi Reformed dari teks ini, serta aplikasi praktis bagi kehidupan orang percaya.

1. Pertanyaan tentang Puasa (Markus 2:18)

Markus menulis:

“Pada suatu kali ketika murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi sedang berpuasa, datanglah orang-orang kepada Yesus dan berkata: ‘Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, sedangkan murid-murid-Mu tidak?’”

a. Latar belakang praktik puasa Yahudi

Dalam Perjanjian Lama, puasa diperintahkan hanya sekali setahun, yaitu pada Hari Pendamaian (Imamat 16:29-31). Namun, seiring waktu, orang Yahudi menambah banyak puasa lain sebagai tradisi, terutama dalam masa kesulitan atau bencana (lih. Zakh. 7:5). Pada zaman Yesus, orang-orang Farisi bahkan menjadikan puasa dua kali seminggu (Lukas 18:12) sebagai tanda kesalehan.

b. Murid-murid Yohanes Pembaptis

Mengapa murid Yohanes berpuasa? Kemungkinan karena Yohanes dipenjara, mereka berkabung, atau mereka melanjutkan gaya hidup asketik gurunya. Dengan demikian, baik murid Yohanes maupun Farisi sama-sama menekankan puasa sebagai tanda kerohanian.

c. Pertanyaan yang kritis

Pertanyaan kepada Yesus tidak netral. Ada nada sindiran: “Mengapa murid-Mu tidak berpuasa? Apakah Engkau kurang rohani dibanding Yohanes dan Farisi?” Pertanyaan ini sebenarnya menguji otoritas Yesus.

  • John Calvin berkomentar: “Orang-orang Farisi ingin menunjukkan bahwa kesalehan Kristus lebih rendah karena murid-murid-Nya tidak berpuasa seperti mereka. Tetapi mereka tidak mengerti bahwa inti kesalehan bukanlah bentuk luar, melainkan relasi dengan Kristus Sang Mempelai.”

2. Yesus sebagai Mempelai (Markus 2:19)

Yesus menjawab:

“Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa, sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mereka mempunyai mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa.”

a. Gambaran mempelai dalam Perjanjian Lama

Dalam PL, Allah sering digambarkan sebagai mempelai Israel. Misalnya:

  • Yesaya 54:5 – “Sebab yang menjadi suamimu ialah Dia yang menjadikan engkau, TUHAN semesta alam nama-Nya.”

  • Hosea 2:19 – “Aku akan menjadikan engkau isteri-Ku untuk selama-lamanya.”

Dengan memakai gambaran ini, Yesus sedang menyatakan keilahian-Nya. Ia adalah Allah yang menjadi mempelai bagi umat-Nya.

b. Sukacita pernikahan

Pernikahan adalah momen sukacita, bukan perkabungan. Dalam tradisi Yahudi, para sahabat mempelai (para pengiring pengantin) tidak mungkin berpuasa selama perayaan berlangsung. Kehadiran Yesus berarti zaman baru telah tiba. Kerajaan Allah sudah datang, maka puasa tidak sesuai dengan suasana pesta.

  • Herman Ridderbos menekankan bahwa kehadiran Yesus adalah titik balik dalam sejarah keselamatan. Waktu yang lama telah berlalu, waktu yang baru sudah datang. Karena itu, praktik keagamaan lama tidak bisa dipaksakan dalam konteks yang baru.

c. Kristus pusat sukacita umat

Dengan menyebut diri-Nya mempelai, Yesus menegaskan bahwa pusat kehidupan rohani bukanlah aturan-aturan legalistik, tetapi persekutuan dengan Dia. Sukacita terbesar umat Allah bukan pada ritual, tetapi pada kehadiran Kristus.

  • Matthew Henry berkata: “Kehadiran Kristus adalah pesta rohani yang membuat puasa menjadi tidak tepat. Tetapi ketika Ia pergi, barulah puasa menemukan maknanya sebagai kerinduan akan Dia.”

3. Makna Puasa Kristen (Markus 2:20)

Yesus melanjutkan:

“Tetapi akan datang waktunya mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa.”

a. Nubuat tentang penyaliban

Ungkapan “mempelai itu diambil” menunjuk pada kematian Yesus di kayu salib. Inilah pertama kali Markus menyinggung penderitaan dan pengorbanan Kristus. Para murid akan mengalami kesedihan besar ketika Sang Mempelai “diambil” dari mereka.

  • R.C. Sproul menekankan bahwa Yesus sudah menubuatkan salib sejak awal pelayanan. Ia tidak pernah mengejutkan murid-murid dengan penderitaan, tetapi mempersiapkan mereka.

b. Makna puasa setelah kebangkitan

Sesudah Yesus bangkit dan naik ke surga, puasa tetap memiliki tempat dalam kehidupan gereja. Tetapi maknanya berbeda. Puasa Kristen bukan lagi upaya legalistik untuk mendapat kasih karunia, melainkan:

  1. Ekspresi kerinduan akan Kristus yang akan datang kembali.

  2. Cara merendahkan diri di hadapan Allah dalam doa.

  3. Latihan rohani untuk menundukkan keinginan daging.

  • John Piper (walaupun bukan Reformed klasik, tetapi dipengaruhi Reformed) menyebut puasa Kristen sebagai “pernyataan lapar rohani, bukan sekadar menahan lapar jasmani.”

  • John Owen menegaskan bahwa semua disiplin rohani, termasuk puasa, hanya sah jika mengalir dari persekutuan dengan Kristus. Tanpa Kristus, itu hanyalah bentuk kesalehan kosong.

c. Ketegangan “sudah” dan “belum”

Puasa Kristen mengekspresikan kerinduan dalam ketegangan antara “sudah” (Kristus sudah datang) dan “belum” (kita masih menunggu kedatangan-Nya kembali). Kita sudah menikmati sukacita Injil, tetapi masih merindukan pesta pernikahan Anak Domba dalam Wahyu 19.

4. Refleksi Teologi Reformed

a. Kristus pusat sejarah keselamatan

  • Geerhardus Vos menekankan bahwa kehadiran Yesus adalah “eschatological turning point” – titik balik eskatologis. Dengan datangnya Kristus, zaman lama digantikan zaman baru. Itulah sebabnya puasa lama tidak relevan ketika Mempelai hadir.

b. Legalism versus Injil

Puasa yang dilakukan Farisi adalah bentuk legalisme – upaya menunjukkan kesalehan. Tetapi Injil menekankan kasih karunia. Dalam teologi Reformed, keselamatan tidak berdasarkan ritual, tetapi karya Kristus yang sempurna.

  • Calvin: “Semua upaya manusia untuk memperoleh kebenaran tanpa Kristus hanyalah sia-sia. Bahkan praktik yang tampak rohani seperti puasa bisa menjadi penghalang jika tidak berakar dalam Injil.”

c. Gereja sebagai mempelai Kristus

Teologi Reformed menekankan hubungan perjanjian (covenant). Kristus adalah Mempelai, gereja adalah mempelai perempuan. Relasi ini penuh kasih dan kesetiaan. Maka, puasa Kristen harus dipahami dalam terang relasi perjanjian ini.

5. Aplikasi Praktis

  1. Kristus adalah pusat sukacita kita
    Apakah kita mencari kepuasan rohani dalam ritual atau dalam Kristus sendiri? Sukacita sejati bukan dari apa yang kita lakukan, melainkan dari siapa yang bersama kita: Kristus Sang Mempelai.

  2. Puasa Kristen adalah kerinduan akan Kristus
    Puasa tidak boleh dijadikan kebanggaan rohani, tetapi sebagai sarana untuk merendahkan diri, berdoa, dan merindukan Kristus.

  3. Kehidupan Kristen bukan legalisme, melainkan persekutuan dengan Kristus
    Kita harus berhati-hati jangan sampai kesalehan lahiriah menggantikan relasi pribadi dengan Kristus.

  4. Kita hidup dalam ketegangan eskatologis
    Kita sudah merasakan sukacita keselamatan, tetapi masih menantikan perjamuan kawin Anak Domba. Mari gunakan puasa, doa, dan ibadah untuk memperdalam kerinduan akan kedatangan Kristus kembali.

6. Pandangan Para Pakar Reformed

  • John Calvin: Menekankan bahwa jawaban Yesus menghancurkan legalisme Farisi. Kristus hadir sebagai pusat kesalehan sejati.

  • Matthew Henry: Menggambarkan kehadiran Kristus sebagai pesta rohani, dan puasa baru bermakna ketika Ia tidak ada secara fisik.

  • Herman Ridderbos: Menyebut kehadiran Kristus sebagai titik balik sejarah keselamatan, menandai datangnya zaman baru.

  • Geerhardus Vos: Melihat teks ini sebagai pengajaran eskatologis tentang ketegangan “sudah” dan “belum.”

  • John Owen: Menekankan bahwa disiplin rohani, termasuk puasa, hanya berharga jika dilakukan dalam persekutuan dengan Kristus.

Penutup

Markus 2:18-20 bukan sekadar diskusi tentang puasa. Ini adalah pernyataan agung tentang identitas Yesus sebagai Mempelai. Kehadiran-Nya membawa sukacita yang melampaui ritual. Namun, ketika Ia diambil, puasa menjadi sarana kerinduan akan Dia.

Hari ini, kita sebagai gereja hidup dalam sukacita Injil sekaligus kerinduan eskatologis. Kita merayakan kehadiran Kristus dalam Roh Kudus, tetapi kita juga merindukan kedatangan-Nya kembali.

Kiranya kita semua dapat berkata:

“Ya, Kristus adalah Mempelai, sukacita kami. Kami akan setia menanti pesta pernikahan Anak Domba dengan hati yang lapar dan haus akan Dia.”

Amin.

Next Post Previous Post