Markus 3:31–35 Keluarga Sejati Yesus

Pendahuluan
Salah satu momen yang paling mengejutkan dalam pelayanan Yesus tercatat dalam Markus 3:31–35. Dalam bagian ini, keluarga Yesus—ibu dan saudara-saudaranya—datang dan berdiri di luar, hendak menemuinya. Namun, respons Yesus terhadap mereka tampak mengherankan. Ia bertanya:
“Siapakah ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?”
Kemudian Ia memandang orang-orang yang duduk mengelilingi-Nya dan berkata:
“Inilah ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.” (Markus 3:34–35)
Perkataan ini bukanlah penolakan terhadap keluarga jasmani-Nya, tetapi pernyataan revolusioner tentang hakikat keluarga rohani dalam Kerajaan Allah. Yesus sedang mengajar bahwa hubungan yang sejati dengan-Nya tidak ditentukan oleh darah atau keturunan, melainkan oleh ketaatan kepada kehendak Allah.
Teks ini mengandung pelajaran rohani yang dalam: tentang siapa yang benar-benar menjadi anggota keluarga Allah, bagaimana ketaatan menjadi tanda anak-anak Allah, dan bagaimana kasih karunia membentuk komunitas iman yang sejati.
I. KONTEKS: KETEGANGAN ANTARA KELUARGA YESUS DAN PELAYANANNYA
1. Keluarga yang Salah Paham terhadap Panggilan Yesus
Dalam konteks sebelumnya (Markus 3:20–21), keluarga Yesus sudah mendengar bahwa Ia dan murid-murid-Nya tidak sempat makan karena banyaknya orang. Mereka datang untuk menjemput Dia karena mereka berkata: “Ia tidak waras lagi.”
Dengan latar belakang itu, Markus 3:31–35 menunjukkan kelanjutan sikap keluarga yang belum memahami misi Yesus secara rohani. Mereka masih memandang Yesus sebagai bagian dari keluarga sosial mereka, bukan sebagai Mesias yang diutus Allah.
John Calvin menulis:
“Keluarga Yesus datang bukan dengan iman, melainkan dengan keinginan manusiawi untuk mengendalikan-Nya. Mereka gagal memahami bahwa panggilan Kristus tidak dapat dibatasi oleh hubungan darah.”
Yesus tidak menolak kasih keluarga, tetapi Ia menolak segala bentuk pengekangan terhadap kehendak Allah yang sedang Ia genapi.
2. Posisi Keluarga di Luar Rumah: Gambaran Rohani
Markus mencatat dengan detail bahwa ibu dan saudara-saudaranya berdiri di luar. Ini bukan hanya keterangan geografis, tetapi juga simbolis. Mereka yang “di luar” menggambarkan mereka yang belum memahami dan belum masuk ke dalam komunitas iman yang sejati.
R.C. Sproul dalam tafsirannya menulis:
“Markus dengan sengaja memakai kontras antara mereka yang duduk di dalam rumah dan mereka yang berdiri di luar untuk menunjukkan perbedaan antara orang yang beriman dan yang belum percaya.”
Mereka yang duduk di dalam rumah—murid-murid dan para pendengar—adalah gambaran dari mereka yang telah menerima firman dan tinggal dalam komunitas Kerajaan Allah.
II. PERTANYAAN KRISTUS YANG MENGGUGAH (Markus 3:33–34)
“Siapakah ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku itu?”
Pertanyaan Yesus bukan karena Ia tidak mengenal mereka, melainkan untuk mengungkapkan prinsip rohani yang lebih tinggi.
1. Yesus Mengoreksi Pandangan Dunia tentang Kekerabatan
Dalam budaya Yahudi, hubungan keluarga adalah fondasi sosial dan religius yang sangat kuat. Namun, Yesus memperkenalkan sebuah realitas baru: keluarga rohani lebih penting daripada hubungan darah.
Charles Spurgeon menjelaskan:
“Kristus tidak memutuskan hubungan keluarga, tetapi Ia menegakkan kerajaan kasih karunia yang lebih luas dan lebih tinggi dari ikatan duniawi. Ia memperluas makna keluarga agar mencakup semua yang percaya.”
Yesus bukan sedang menghina Maria atau saudara-saudaranya, melainkan sedang menegaskan bahwa kedekatan sejati dengan-Nya hanya mungkin melalui ketaatan terhadap kehendak Bapa.
2. Pandangan ke Arah Murid-Murid: Isyarat Relasi Baru
Markus menulis bahwa Yesus “memandang orang-orang yang duduk mengelilingi-Nya” (ayat 34). Ini bukan pandangan acuh tak acuh, melainkan pandangan kasih. Ia melihat mereka yang mau mendengar dan melakukan firman Allah.
John Owen, teolog Puritan Reformed, berkata:
“Kristus memandang dengan kasih kepada mereka yang beriman karena mereka adalah buah pekerjaan Roh Kudus. Pandangan itu bukan pandangan manusia, melainkan pandangan Sang Penebus terhadap mereka yang telah dilahirkan dari atas.”
Pandangan Yesus ini menunjukkan kasih rohani yang lebih dalam daripada kasih alami—kasih yang bersumber dari ketaatan kepada kehendak Allah.
III. DEFINISI KELUARGA SEJATI (Markus 3:35)
“Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.”
Ayat ini merupakan klimaks dari seluruh perikop. Yesus memberikan definisi baru tentang keluarga sejati: mereka yang melakukan kehendak Allah.
1. Keluarga Allah Ditandai oleh Ketaatan, Bukan Kedekatan Lahiriah
Yesus tidak menolak keberadaan keluarga jasmani, tetapi Ia mengajarkan bahwa hubungan rohani lebih utama. Tidak ada privilese karena darah atau keturunan dalam Kerajaan Allah.
John Calvin menulis:
“Tidak ada kedekatan yang lebih mulia dengan Kristus selain kedekatan iman. Mereka yang menaati kehendak Allah lebih dekat kepada Kristus daripada mereka yang hanya memiliki hubungan darah dengannya.”
Ini menegaskan prinsip Reformasi bahwa iman sejati harus disertai ketaatan. Ketaatan bukan syarat untuk memperoleh kasih Allah, tetapi bukti bahwa seseorang telah menjadi bagian dari keluarga Allah.
2. Ketaatan Sebagai Bukti Lahirnya Iman yang Hidup
Kata “melakukan kehendak Allah” (poiēsei to thelēma tou Theou) menunjukkan tindakan berkelanjutan — hidup yang terus-menerus diarahkan oleh kehendak Allah. Ini bukan sekadar melakukan perbuatan baik, tetapi hidup di bawah pimpinan Roh Kudus.
Jonathan Edwards menegaskan:
“Ketaatan kepada kehendak Allah bukanlah beban, tetapi kesukaan bagi mereka yang telah dilahirkan baru. Hati yang diperbarui oleh Roh akan dengan sukarela tunduk kepada hukum Allah.”
Maka, ukuran sejati dari iman bukanlah pengakuan bibir, tetapi ketaatan hati.
3. Identitas Baru: Saudara, Saudari, dan Ibu Yesus
Penyebutan tiga peran ini memiliki makna mendalam.
-
Saudara laki-laki dan perempuan menunjukkan persaudaraan sejati dalam Kristus tanpa diskriminasi.
-
Ibu melambangkan peran pengasuhan dan kasih dalam komunitas iman.
Matthew Henry menjelaskan:
“Kristus memanggil setiap orang percaya bukan hanya sebagai saudara, tetapi bahkan sebagai ibu—karena mereka berpartisipasi dalam pekerjaan kasih, doa, dan pelayanan yang memelihara tubuh Kristus.”
Dengan demikian, komunitas orang percaya adalah keluarga Allah yang hidup dalam kasih, ketaatan, dan pengorbanan.
IV. IMPLIKASI TEOLOGIS MENURUT PAKAR REFORMED
1. Teologi Keluarga Allah
Keluarga Allah adalah konsep penting dalam teologi Reformed. John Murray menjelaskan bahwa adopsi rohani adalah salah satu berkat tertinggi keselamatan. Melalui Kristus, orang berdosa tidak hanya diampuni, tetapi juga diangkat menjadi anak-anak Allah (Roma 8:15–17).
Dengan demikian, panggilan Yesus dalam Markus 3:35 bukan sekadar ajakan etis untuk taat, melainkan pernyataan relasi baru yang lahir dari karya penebusan.
R.C. Sproul berkata:
“Ketika Kristus berkata bahwa yang melakukan kehendak Allah adalah saudara-Nya, Ia sedang menegaskan realitas adopsi rohani — bahwa setiap orang percaya adalah bagian dari keluarga Allah karena pekerjaan Kristus di salib.”
2. Ketaatan sebagai Buah Regenerasi
Teologi Reformed menegaskan bahwa ketaatan sejati hanya mungkin melalui kelahiran baru (regeneration).
Louis Berkhof menulis:
“Regenerasi menghasilkan kemampuan rohani baru yang memampukan seseorang untuk melakukan kehendak Allah. Tanpa kelahiran baru, tidak ada ketaatan sejati.”
Maka, pernyataan Yesus bukan ajaran moralistik, tetapi manifestasi dari kehidupan baru dalam Roh Kudus.
3. Gereja sebagai Keluarga Baru
Kata-kata Yesus menegaskan bahwa Gereja adalah keluarga rohani di mana Allah adalah Bapa, Kristus adalah Kepala, dan orang percaya adalah saudara-saudari.
John Stott, walau bukan teolog Reformed klasik tetapi sejalan dalam prinsip, menulis:
“Gereja bukan organisasi, tetapi organisme keluarga Allah di dunia. Kasih persaudaraan adalah tanda utama bahwa kita sungguh-sungguh milik Kristus.”
Teologi Reformed menegaskan bahwa kesatuan tubuh Kristus bersumber dari panggilan dan kasih karunia Allah, bukan kesamaan sosial atau budaya.
V. APLIKASI PRAKTIS BAGI ORANG PERCAYA MASA KINI
1. Ketaatan kepada Firman adalah Bukti Kita Anggota Keluarga Allah
Mengaku percaya tanpa ketaatan hanyalah iman mati. Orang yang sungguh menjadi bagian dari keluarga Allah akan menunjukkan buah ketaatan dalam kehidupan sehari-hari.
Yesus berkata, “Barangsiapa melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga, dialah saudara-Ku laki-laki dan perempuan dan ibu-Ku.”
Kita dipanggil untuk menjadi pelaku firman, bukan hanya pendengar (Yakobus 1:22).
2. Kasih kepada Sesama Orang Percaya adalah Tanda Keluarga Sejati
Dalam keluarga rohani, kasih adalah perekat utama. Orang yang benar-benar mengenal Kristus akan mengasihi saudara-saudarinya di dalam Tuhan.
1 Yohanes 4:20–21 menegaskan bahwa orang yang tidak mengasihi saudaranya, tidak mungkin mengasihi Allah.
Sebagaimana Allah mengasihi kita tanpa syarat, demikian pula kita dipanggil untuk mengasihi tanpa batas.
3. Prioritas Hidup Harus Didasarkan pada Kehendak Allah
Keluarga, pekerjaan, dan relasi sosial semuanya penting, tetapi prioritas tertinggi seorang Kristen adalah melakukan kehendak Bapa.
Ketika keluarga, budaya, atau sistem dunia bertentangan dengan kehendak Allah, orang percaya harus berdiri teguh di pihak Kristus.
Yesus berkata dalam Lukas 14:26 bahwa kasih kepada keluarga tidak boleh melebihi kasih kepada-Nya. Ini bukan panggilan untuk mengabaikan keluarga, tetapi untuk menempatkan Kristus di atas segalanya.
4. Gereja Lokal Harus Menjadi Cerminan Keluarga Allah
Setiap gereja harus mencerminkan kasih, keterbukaan, dan kebersamaan seperti keluarga sejati. Di dalam Kristus, tidak ada lagi “orang luar” atau “orang dalam.” Semua adalah satu tubuh.
Efesus 2:19 menegaskan bahwa kita “bukan lagi orang asing, tetapi kawan sewarga dan anggota keluarga Allah.”
Penutup
Yesus mengajarkan bahwa keluarga sejati bukanlah soal hubungan darah, tetapi hubungan rohani yang dibentuk oleh ketaatan kepada kehendak Allah.
Kata-kata-Nya dalam Markus 3:35 adalah undangan terbuka bagi semua orang untuk menjadi bagian dari keluarga Allah — bukan karena keturunan, bukan karena jasa, tetapi karena kasih karunia yang menuntun kita kepada iman dan ketaatan.
Charles Spurgeon menutup tafsirnya atas teks ini dengan kata-kata yang menyentuh:
“Tidak ada keluarga di bumi yang seindah keluarga Allah. Kristus adalah Kepala-Nya, Roh Kudus adalah Penolong-Nya, dan kasih Bapa adalah dasar rumahnya. Barangsiapa melakukan kehendak Allah, ia berdiam dalam keluarga yang kekal.”
Kiranya setiap kita hidup sebagai anggota keluarga Allah yang sejati — setia dalam ketaatan, teguh dalam kasih, dan penuh pengharapan akan persekutuan kekal bersama Kristus di rumah Bapa.
Amin.