Api dan Belerang di Neraka untuk Membakar Orang Fasik

Pendahuluan
Dalam dunia modern yang cenderung menolak segala bentuk ajaran tentang penghakiman, dosa, dan neraka, khotbah mengenai api dan belerang terdengar kuno, menakutkan, bahkan tidak relevan. Namun, saudara-saudara yang dikasihi Tuhan, tidak ada ajaran yang lebih sering keluar dari mulut Tuhan Yesus sendiri selain peringatan tentang neraka (Gehenna).
Yesus berbicara tentang neraka bukan untuk menakut-nakuti tanpa maksud, melainkan untuk menyingkapkan realitas murka Allah yang adil terhadap dosa. Ajaran ini bukanlah hasil spekulasi teologis manusia, melainkan bagian dari wahyu ilahi yang kudus, yang harus diberitakan dengan kesungguhan dan kasih yang sejati.
Tema “Api dan Belerang di Neraka untuk Membakar Orang Fasik” mengingatkan kita akan realitas terakhir bagi semua orang yang menolak Injil Yesus Kristus. Neraka bukan hanya simbol penderitaan batin, melainkan keadaan nyata di mana orang fasik mengalami murka Allah yang kekal.
Teologi Reformed menegaskan bahwa doktrin tentang neraka bukan sekadar pelengkap dalam sistem iman Kristen, tetapi cermin dari kekudusan dan keadilan Allah. Seperti dikatakan Jonathan Edwards, “Neraka adalah manifestasi keadilan Allah yang sempurna terhadap dosa.”
Hari ini kita akan menelusuri tiga kebenaran besar dari tema ini:
-
Realitas objektif dari neraka menurut Kitab Suci.
-
Alasan teologis mengapa neraka itu ada.
-
Penerapan rohani bagi kehidupan orang percaya dan peringatan bagi dunia.
I. Realitas Neraka Menurut Firman Allah
1. Kesaksian Kitab Suci
Dari awal hingga akhir Alkitab, neraka selalu digambarkan sebagai tempat nyata penderitaan kekal bagi orang fasik.
Dalam Kejadian 19:24, kita membaca:
“Lalu TUHAN menurunkan hujan api dan belerang atas Sodom dan Gomora dari pada TUHAN, dari langit.”
Peristiwa Sodom dan Gomora menjadi gambaran historis dari hukuman Allah atas kejahatan manusia. Peristiwa itu bukan mitos, melainkan peringatan konkret tentang apa yang menanti dunia yang menolak Allah.
Dalam Matius 25:41, Yesus berkata:
“Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya.”
Perhatikan: neraka bukan tempat yang diciptakan untuk manusia sejak awal, melainkan untuk Iblis dan malaikatnya. Namun manusia yang bersatu dalam pemberontakan melawan Allah akan turut binasa di sana.
John Calvin menulis dalam Institutes (III.25.12):
“Allah menegakkan hukuman kekal bukan karena Ia kejam, tetapi karena keadilan-Nya menuntut agar dosa yang tak terbatas dalam pemberontakan terhadap Allah yang tak terbatas mendapatkan hukuman yang sepadan.”
Dengan demikian, neraka adalah konsekuensi moral dari kekudusan Allah yang dilanggar manusia.
2. Gambaran Alkitab Tentang Api dan Belerang
Kata belerang (Ibrani: gophrith, Yunani: theion) digunakan berulang kali dalam Alkitab untuk menggambarkan api yang menyala dengan kemarahan ilahi.
Dalam Wahyu 14:10-11 kita membaca:
“Maka ia akan minum dari anggur murka Allah, yang disediakan tanpa campuran dalam cawan amarah-Nya; dan ia akan disiksa dengan api dan belerang di depan malaikat-malaikat kudus dan di depan Anak Domba. Maka asap siksaan mereka naik ke atas sampai selama-lamanya.”
Di sini, “api dan belerang” bukanlah metafora lemah, tetapi lambang yang kuat dari penderitaan nyata akibat murka Allah. Api melambangkan rasa sakit, belerang melambangkan kehancuran dan aroma busuk dari penghakiman yang tak terhindarkan.
Jonathan Edwards, dalam khotbah terkenalnya Sinners in the Hands of an Angry God, menggambarkan kondisi orang fasik demikian:
“Mereka digantung di atas api neraka seperti laba-laba di atas nyala api, hanya oleh sehelai benang kasih karunia yang dapat putus kapan saja.”
Edwards bukan ingin menakut-nakuti tanpa kasih, melainkan menggugah kesadaran bahwa hidup tanpa pertobatan adalah hidup di tepi jurang kekekalan.
II. Alasan Teologis Mengapa Neraka Itu Ada
1. Karena Kekudusan Allah
Allah adalah kudus adanya — Ia tidak dapat bersekutu dengan dosa. Kekudusan-Nya bukan sekadar atribut, tetapi esensi dari keberadaan-Nya. Karena itu, setiap pelanggaran terhadap hukum-Nya menuntut penghukuman yang adil.
R.C. Sproul mengatakan,
“Masalah utama manusia bukan bahwa Allah tidak adil, melainkan bahwa Ia terlalu adil bagi manusia berdosa untuk dapat bertahan di hadapan-Nya.”
Neraka bukanlah ketidakseimbangan moral, tetapi bentuk keadilan yang sempurna dari Allah yang tidak dapat menoleransi kejahatan tanpa konsekuensi.
Ketika manusia menolak Kristus, ia bukan hanya menolak tawaran keselamatan, tetapi menolak pribadi Allah sendiri. Karena itu, dosa terhadap Allah yang kekal menghasilkan hukuman yang kekal.
2. Karena Keadilan Allah
Allah tidak hanya kudus, Ia juga adil. Ia tidak akan membiarkan dosa tanpa ganjaran. Neraka adalah manifestasi keadilan itu.
John Owen menjelaskan:
“Di salib, kasih dan keadilan Allah bertemu. Namun bagi mereka yang menolak salib itu, keadilan Allah berdiri sendiri, tanpa pengantara.”
Artinya, jika seseorang menolak Kristus, maka ia akan menghadapi Allah tanpa Juruselamat—dan itu adalah hal yang paling menakutkan di alam semesta.
3. Karena Kebenaran Firman Allah
Janji Allah tentang keselamatan adalah benar, tetapi demikian pula peringatan-Nya tentang hukuman. Setiap nubuat tentang penghakiman yang telah digenapi membuktikan bahwa Allah tidak pernah berbohong.
Thomas Watson, dalam The Body of Divinity, berkata:
“Mereka yang menolak kasih karunia Allah akan mengenal kebenaran Allah dalam murka-Nya.”
Kebenaran Allah bukan hanya terlihat dalam berkat, tetapi juga dalam hukuman. Jika Allah tidak menghukum dosa, maka Ia bukan Allah yang benar.
III. Kondisi Orang Fasik di Neraka
1. Penderitaan Fisik dan Spiritual
Neraka adalah tempat di mana tubuh dan jiwa sama-sama menderita. Setelah kebangkitan, orang fasik akan dibangkitkan untuk dihakimi dan menerima tubuh yang tak musnah, tetapi tubuh itu akan mengalami penderitaan yang tak berakhir.
Yesus berkata dalam Markus 9:48:
“Di tempat itu ulat-ulatnya tidak akan mati, dan apinya tidak akan padam.”
Jonathan Edwards menulis:
“Penderitaan di neraka bukan hanya kehilangan, tetapi juga penyiksaan yang aktif. Api di sana tidak memusnahkan, tetapi melestarikan penderitaan itu untuk selama-lamanya.”
Penderitaan itu juga bersifat spiritual: keterpisahan total dari kasih dan kehadiran Allah. Itulah kematian kedua (Wahyu 21:8). Tidak ada cahaya, tidak ada harapan, tidak ada kasih — hanya kegelapan mutlak dan kesadaran akan dosa yang tak terampuni.
2. Kesadaran Kekal Tanpa Harapan
Salah satu hal paling mengerikan dari neraka adalah kesadaran kekal bahwa kesempatan sudah berlalu. Orang fasik akan mengingat setiap panggilan pertobatan, setiap firman yang diabaikan, setiap kesempatan yang ditolak.
Thomas Boston menulis:
“Neraka adalah memori yang tak bisa dilupakan, di mana setiap dosa muncul kembali dalam terang yang tak tertahankan dari keadilan Allah.”
Penderitaan ini bukan hanya fisik, tetapi juga moral—penderitaan karena rasa bersalah yang tak pernah selesai.
3. Tidak Ada Akhir dari Penderitaan Itu
Kitab Wahyu 20:10 berkata:
“Dan mereka akan disiksa siang malam sampai selama-lamanya.”
Kata selama-lamanya (aionas ton aionon) dalam bahasa Yunani berarti “tanpa akhir.” Tidak ada pembebasan, tidak ada penghapusan, tidak ada penebusan kedua.
John Calvin menegaskan bahwa:
“Kekekalan neraka menunjukkan betapa seriusnya dosa di hadapan Allah yang kekal.”
IV. Kasih Allah dan Realitas Neraka
Sebagian orang bertanya, “Bagaimana Allah yang penuh kasih dapat mengirim manusia ke neraka?”
Jawaban teologi Reformed sangat jelas: kasih Allah tidak meniadakan keadilan-Nya.
Kasih Allah dinyatakan di salib. Di sana, Kristus menanggung api murka Allah bagi orang pilihan. Tetapi bagi mereka yang menolak Kristus, tidak ada kasih di luar salib. Di luar Kristus, hanya ada keadilan tanpa belas kasihan.
Jonathan Edwards menulis:
“Kasih Allah yang ditolak akan menjadi sumber murka yang paling besar bagi orang fasik. Mereka tidak hanya menolak Tuhan, tetapi menolak kasih yang telah menyelamatkan banyak orang.”
Thomas Watson menambahkan:
“Mereka yang menolak Injil bukan hanya orang berdosa, tetapi penghina kasih karunia.”
Inilah sebabnya mengapa Injil harus diberitakan dengan serius. Neraka bukanlah bukti kebencian Allah, tetapi bukti keadilan dan kesucian-Nya yang mutlak.
V. Peringatan dan Panggilan bagi Dunia
1. Jangan Menunda Pertobatan
Tidak ada dosa yang lebih berbahaya daripada menunda-nunda untuk bertobat. Neraka dipenuhi oleh orang-orang yang bermaksud untuk bertobat besok.
Jonathan Edwards menulis:
“Setiap napas yang Anda hembuskan tanpa Kristus adalah langkah lain menuju jurang kekekalan.”
Pertobatan bukan sekadar emosi sesaat, tetapi perubahan hati yang sungguh. Hari ini, jika engkau mendengar suara-Nya, jangan keraskan hatimu (Ibrani 3:15).
2. Ketahuilah Bahwa Murka Allah Itu Nyata
Murka Allah bukan seperti kemarahan manusia yang penuh emosi, melainkan reaksi moral yang benar terhadap kejahatan.
R.C. Sproul menyebutnya sebagai “reaksi kudus dari Allah terhadap pelanggaran hukum moral-Nya.”
Mereka yang hidup tanpa Kristus hidup di bawah murka itu (Yohanes 3:36). Tetapi mereka yang percaya kepada Kristus akan dilepaskan, karena Yesus sendiri telah menanggung murka itu di salib.
3. Carilah Perlindungan di Dalam Kristus
Kristus adalah satu-satunya tempat perlindungan dari murka Allah. Di salib, Ia menanggung api dan belerang murka itu bagi kita.
2 Korintus 5:21:
“Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.”
Inilah kasih yang sejati: kasih yang mengorbankan diri untuk menyelamatkan orang yang layak binasa.
John Owen menulis:
“Mereka yang bersembunyi di bawah salib Kristus tidak akan tersentuh oleh api penghakiman, sebab di salib itulah murka sudah habis dinyatakan.”
VI. Penerapan Bagi Orang Percaya
Bagi orang percaya, kebenaran tentang neraka bukanlah untuk menimbulkan ketakutan yang mengikat, tetapi untuk memperdalam rasa syukur dan kekaguman akan kasih karunia Allah.
1. Hidup dalam Kekudusan dan Takut Akan Tuhan
Mereka yang telah diselamatkan dari murka Allah seharusnya tidak bermain-main dengan dosa.
Thomas Brooks berkata:
“Dosa kecil yang dilakukan oleh orang yang telah ditebus adalah penghinaan besar terhadap kasih yang telah menyelamatkannya dari neraka.”
Hidup kudus adalah tanda bahwa seseorang sungguh memahami dari apa ia telah diselamatkan.
2. Berkobar dalam Penginjilan
Jika neraka itu nyata — dan Alkitab berkata demikian — maka kita tidak boleh diam. Kasih sejati tidak menutup mulut terhadap kebenaran yang menyelamatkan.
Charles Spurgeon berkata:
“Jika orang harus pergi ke neraka, biarlah mereka pergi sambil melewati tubuh-tubuh kita yang berlutut dan menangis di depan pintu neraka.”
Orang percaya dipanggil bukan hanya untuk bersyukur, tetapi juga untuk memperingatkan dengan kasih.
3. Bersyukur atas Kasih Karunia Kristus
Ketika kita merenungkan api dan belerang yang seharusnya menimpa kita, dan menyadari bahwa Kristus menanggungnya di tempat kita, hati kita seharusnya dipenuhi syukur yang tak terlukiskan.
Roma 8:1:
“Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.”
VII. Kesimpulan: Allah yang Kudus dan Injil yang Mulia
Neraka adalah peringatan yang menakutkan, tetapi juga cermin dari kasih karunia Allah yang besar. Tanpa neraka, kita tidak akan pernah mengerti harga keselamatan di salib.
Jonathan Edwards menutup banyak khotbahnya dengan kalimat ini:
“Ingatlah, hanya ada dua tempat kekal — Surga yang dipenuhi kemuliaan dan Neraka yang dipenuhi murka. Tidak ada jalan tengah, dan tidak ada kesempatan kedua.”
Kita semua, tanpa Kristus, layak bagi api dan belerang neraka. Tetapi oleh kasih karunia Allah, kita dapat diselamatkan melalui iman kepada Yesus Kristus, yang menanggung hukuman itu untuk kita.
Maka hari ini, marilah kita datang kepada Kristus dengan hati yang hancur, sebab hanya di bawah salib-Nya kita dapat berkata bersama Roma 5:9:
“Karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, lebih-lebih kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah.”
Penutup: Soli Deo Gloria
Khotbah tentang neraka bukanlah khotbah tentang kebencian, tetapi tentang kasih yang memperingatkan dan keadilan yang kudus.
Allah yang sama yang menurunkan api dan belerang atas Sodom juga mengutus Anak-Nya sendiri untuk menanggung murka itu bagi kita.
Maka marilah kita berkata dengan penuh rasa syukur:
“Terpujilah Allah, yang menyelamatkanku dari api kekal, melalui darah Anak Domba yang kudus.”