Apa yang Membuat Orang Tidak Setia kepada Yesus?

Pendahuluan
Kesetiaan kepada Yesus Kristus adalah tanda utama dari iman yang sejati. Namun, di sepanjang sejarah gereja dan bahkan dalam kehidupan sehari-hari umat Kristen, kita menemukan kenyataan yang menyedihkan bahwa banyak orang yang pernah mengaku percaya kepada Kristus akhirnya tidak setia, meninggalkan iman, atau hidup dalam kompromi dengan dosa. Fenomena ini bukan hanya masalah zaman modern, tetapi sudah terjadi sejak zaman para rasul.
Rasul Yohanes menulis, “Mereka keluar dari antara kita, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan kita.” (1 Yohanes 2:19).
Kata-kata ini menyingkapkan bahwa ketidaksetiaan kepada Yesus bukanlah hal yang tiba-tiba, melainkan menunjukkan bahwa akar iman mereka tidak pernah tertanam dalam tanah anugerah yang sejati.
Pertanyaannya: apa yang membuat seseorang tidak setia kepada Yesus? Mengapa orang bisa mundur dari jalan salib setelah pernah merasakan kasih dan kebenaran Injil?
Dalam artikel ini, kita akan mempelajari beberapa alasan mendasar dari ketidaksetiaan manusia kepada Kristus, berdasarkan ajaran Kitab Suci dan penjelasan para teolog Reformed seperti John Calvin, Jonathan Edwards, Thomas Watson, dan John Owen.
1. Ketidaksetiaan Muncul dari Hati yang Belum Diperbaharui
Akar dari segala ketidaksetiaan adalah hati yang belum dilahirkan kembali.
John Calvin berkata, “Tidak ada kesetiaan sejati kepada Kristus tanpa karya Roh Kudus yang menanamkan iman yang hidup di dalam hati manusia.” (Institutes, III.2.33).
Calvin menegaskan bahwa orang yang hanya memiliki iman lahiriah — yaitu iman yang dibangun atas emosi, pengalaman sesaat, atau keuntungan pribadi — tidak akan bertahan lama. Ia mungkin tampak bersemangat untuk sementara waktu, tetapi ketika kesulitan datang, imannya segera layu.
Yesus sendiri mengajarkan hal ini dalam perumpamaan tentang penabur (Matius 13:20–21):
“Yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu ialah orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira, tetapi ia tidak berakar dan tahan hanya sebentar saja; apabila datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, orang itu pun segera murtad.”
Orang seperti ini tidak memiliki “akar” karena hati mereka belum diperbaharui oleh Roh Kudus. Mereka percaya pada Yesus hanya sejauh Yesus memberi keuntungan — keselamatan, berkat, atau rasa damai — tetapi bukan karena mereka melihat Dia sebagai Tuhan yang layak disembah apa pun risikonya.
Jonathan Edwards menyebut iman seperti ini sebagai faith of the hypocrite — iman orang munafik. Dalam bukunya Religious Affections, Edwards menulis:
“Iman sejati mencintai Kristus karena keindahan-Nya yang kudus, sedangkan iman palsu hanya mencintai Kristus karena keuntungan yang dapat diperoleh darinya.”
Jadi, alasan pertama seseorang tidak setia kepada Yesus adalah karena hatinya tidak pernah diubahkan menjadi hati yang mengasihi Kristus demi Kristus sendiri.
2. Kasih Dunia Mengalahkan Kasih kepada Kristus
Alasan kedua mengapa banyak orang tidak setia kepada Yesus adalah karena kasih mereka kepada dunia lebih besar daripada kasih mereka kepada Kristus.
Rasul Yohanes memperingatkan:
“Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada di dalam orang itu.” (1 Yohanes 2:15).
Kasih dunia adalah racun yang mematikan iman. Dunia menawarkan kemegahan, kekayaan, kesenangan, dan penghormatan, sedangkan Yesus memanggil kita untuk menyangkal diri dan memikul salib.
Thomas Watson, dalam bukunya The Godly Man’s Picture, menulis:
“Kasih kepada dunia membuat banyak orang berpaling dari Kristus seperti Demas yang meninggalkan Paulus karena ia lebih mencintai dunia yang sekarang ini.”
Demas adalah contoh klasik dari seseorang yang tidak setia. Ia pernah menjadi rekan pelayanan Paulus, tetapi kemudian memilih dunia (2 Timotius 4:10). Ia tidak meninggalkan iman karena argumen teologis, tetapi karena keinginan hatinya yang lebih terpikat pada kenikmatan duniawi daripada pada Kristus.
Watson menambahkan bahwa kasih dunia adalah “berhala halus” — ia tidak terlihat jahat pada awalnya, tetapi perlahan menggeser tempat Kristus dari takhta hati. Orang bisa tetap hadir di gereja, tetap melayani, tetapi jika hatinya lebih mencintai karier, kekayaan, atau reputasi, maka kesetiaannya sudah beralih.
Calvin menulis bahwa hati manusia adalah “pabrik berhala” (idolorum fabrica). Itu berarti setiap hari kita berisiko menempatkan sesuatu di atas Kristus.
Yesus berkata, “Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan... Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Matius 6:24).
Kasih dunia akan selalu menuntut kompromi, dan di sinilah banyak orang mulai tidak setia: mereka mencoba berjalan di dua jalan sekaligus — jalan salib dan jalan dunia — sampai akhirnya mereka memilih jalan yang lebih nyaman.
3. Rasa Takut terhadap Penganiayaan dan Tekanan Dunia
Yesus telah memperingatkan bahwa mengikuti Dia berarti siap untuk menderita. “Jika dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku.” (Yohanes 15:18).
Namun, banyak orang tidak siap menghadapi konsekuensi dari iman sejati. Mereka ingin mengikuti Yesus tanpa salib, padahal Yesus berkata, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.” (Matius 10:38).
John Owen, dalam karyanya The Mortification of Sin, menulis:
“Iman yang sejati adalah iman yang tahan diuji oleh penderitaan. Jika seseorang hanya setia ketika segala sesuatu berjalan baik, maka kesetiaannya belum pernah diuji dan belum terbukti sejati.”
Ketika ancaman datang — baik dalam bentuk penganiayaan, penolakan sosial, atau kehilangan jabatan — banyak orang mulai menjauh dari Kristus. Mereka memilih keamanan duniawi daripada kesetiaan rohani.
Rasul Petrus sendiri pernah jatuh dalam ketidaksetiaan karena rasa takut. Ia menyangkal Yesus tiga kali ketika menghadapi tekanan di rumah Imam Besar. Namun perbedaannya, Petrus bertobat dengan tulus setelahnya, sedangkan banyak orang tetap hidup dalam penyangkalan tanpa penyesalan.
Dalam terang teologi Reformed, hal ini menunjukkan pentingnya ketekunan orang kudus (perseverance of the saints). Orang yang sungguh-sungguh dilahirkan kembali akan dipelihara oleh Allah sampai akhir, walaupun mereka mungkin jatuh dalam ketidaksetiaan sementara.
John Piper menjelaskan:
“Ketekunan bukan berarti orang Kristen tidak pernah gagal, tetapi berarti Allah tidak akan membiarkan mereka tetap tinggal dalam kegagalan itu.”
Jadi, orang yang benar-benar menjadi milik Kristus akan dipulihkan, sedangkan mereka yang tidak pernah sungguh-sungguh percaya akan tersingkap melalui ketidaksetiaan mereka yang terus-menerus.
4. Ketidaksetiaan karena Kurangnya Pemahaman Injil yang Sejati
Banyak orang tidak setia kepada Yesus karena mereka tidak memahami Injil secara benar. Mereka berpikir bahwa menjadi Kristen berarti mendapatkan hidup yang mudah, damai, dan penuh berkat materi.
Ketika kenyataan hidup tidak sesuai dengan harapan itu, mereka merasa kecewa dan meninggalkan iman.
Martin Luther pernah berkata, “Injil yang sejati bukanlah injil kemakmuran, melainkan injil salib. Di bawah salib, Kristus memanggil kita untuk mati terhadap diri sendiri dan hidup bagi Dia.”
Jonathan Edwards menambahkan:
“Mereka yang mencari Kristus demi keuntungan, bukan demi kemuliaan-Nya, tidak akan bertahan lama, karena dasar iman mereka bukan kebenaran, melainkan kesenangan pribadi.”
Teologi Reformed menekankan bahwa inti Injil bukanlah kebahagiaan duniawi, melainkan rekonsiliasi antara manusia berdosa dengan Allah yang kudus melalui kematian dan kebangkitan Kristus.
Orang yang tidak memahami hal ini akan mudah goyah ketika pencobaan datang. Mereka tidak memiliki akar yang kuat dalam firman dan tidak memahami makna salib.
Oleh karena itu, gereja harus terus mengajarkan Injil yang sejati, bukan injil yang populer atau dangkal. Sebab ketidaksetiaan banyak dimulai dari pengajaran yang kabur.
John Calvin memperingatkan bahwa tanpa doktrin yang benar, iman tidak akan bertahan:
“Iman tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan. Di mana firman Allah tidak dimengerti, di situ iman sejati tidak dapat hidup.”
5. Ketidaksetiaan karena Hidup dalam Dosa yang Tidak Ditinggalkan
Dosa adalah musuh kesetiaan. Tidak ada orang yang dapat hidup dalam dosa dan tetap setia kepada Kristus.
Yesus berkata, “Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan.” (Matius 6:24). Jika seseorang terus hidup dalam dosa tanpa pertobatan, hatinya akan semakin keras, dan kasihnya kepada Kristus akan semakin dingin.
John Owen menulis dalam The Mortification of Sin:
“Bunuhlah dosa, atau dosa akan membunuhmu. Tidak ada jalan tengah.”
Dosa yang disembunyikan — baik dosa seksual, kesombongan, kebencian, atau ketamakan — perlahan-lahan memadamkan api kasih kepada Kristus.
Rasul Paulus berkata, “Janganlah kamu padamkan Roh.” (1 Tesalonika 5:19). Artinya, ketika kita terus menuruti dosa, kita memadamkan api kesetiaan yang seharusnya menyala bagi Tuhan.
Thomas Boston menambahkan bahwa dosa membuat seseorang buta terhadap kebenaran:
“Dosa tidak hanya mencemarkan hati, tetapi juga menipu pikiran sehingga orang berdosa tidak lagi melihat keindahan Kristus.”
Oleh sebab itu, pertobatan setiap hari adalah tanda dari kesetiaan sejati. Orang yang setia kepada Kristus bukanlah orang yang tidak pernah jatuh, tetapi orang yang selalu bangkit dan kembali kepada-Nya.
6. Ketidaksetiaan karena Tidak Mengandalkan Anugerah Allah
Akhirnya, alasan terdalam dari ketidaksetiaan adalah ketergantungan pada kekuatan diri sendiri, bukan pada anugerah Allah.
Manusia yang mengandalkan kekuatannya sendiri untuk tetap setia pasti akan gagal. Sebab kesetiaan bukanlah hasil kemauan manusia, melainkan buah dari pekerjaan Roh Kudus dalam hati yang telah ditebus.
Calvin menulis:
“Tidak ada satu langkah pun yang dapat kita ambil dalam ketaatan tanpa bantuan Roh Allah. Karena itu, kesetiaan bukanlah hasil usaha manusia, melainkan hasil dari kasih karunia yang memelihara.”
Rasul Paulus menegaskan, “Allah-lah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Filipi 2:13).
Kesetiaan kepada Yesus bukanlah hasil disiplin moral, tetapi hasil dari anugerah yang bekerja melalui iman.
John Bunyan, penulis The Pilgrim’s Progress, menggambarkan hal ini dalam tokoh “Faithful”, seorang peziarah yang tetap teguh karena ia terus menatap kepada Kristus, bukan kepada kekuatannya sendiri.
Jika kita berhenti bergantung pada Kristus, kita akan segera tenggelam seperti Petrus yang berhenti memandang Yesus di atas air.
7. Kesetiaan Sejati Hanya Mungkin Melalui Kasih kepada Kristus
Di balik semua alasan ketidaksetiaan, ada satu penawar yang pasti: kasih yang sejati kepada Kristus.
Kasih adalah bahan bakar kesetiaan. Orang yang benar-benar mengasihi Kristus tidak akan mudah berpaling, sebab cintanya telah mengikat seluruh hatinya kepada Tuhan.
Yesus bertanya kepada Petrus tiga kali, “Apakah engkau mengasihi Aku?” (Yohanes 21:15–17). Ia tidak bertanya, “Apakah engkau cukup kuat? Apakah engkau cukup setia?” — tetapi “Apakah engkau mengasihi Aku?”
Mengapa? Karena kasihlah yang memampukan kesetiaan.
Jonathan Edwards berkata:
“Kasih kepada Kristus adalah bukti tertinggi dari iman sejati; dan dari kasih inilah lahir ketekunan, kerelaan berkorban, dan kesetiaan yang tidak tergoyahkan.”
Kita akan tetap setia kepada Kristus sejauh kita mengasihi Dia. Dan kita hanya bisa mengasihi Dia sejauh kita memahami kasih-Nya yang terlebih dahulu kepada kita (1 Yohanes 4:19).
Penutup: Panggilan untuk Memperbarui Kesetiaan kepada Kristus
Saudara-saudara, banyak hal bisa membuat kita tidak setia kepada Yesus: hati yang belum diperbaharui, kasih dunia, rasa takut, dosa yang tidak ditinggalkan, atau kesombongan rohani. Namun hanya ada satu jalan untuk bertahan — yaitu kembali kepada kasih karunia Kristus setiap hari.
Yesus tidak memanggil kita untuk menjadi sempurna dengan kekuatan sendiri, tetapi untuk hidup bergantung pada kasih setia-Nya.
Rasul Paulus berkata, “Sebab aku yakin, bahwa Ia yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.” (Filipi 1:6).
Kiranya kita terus memohon kepada Tuhan supaya hati kita tidak menyimpang dari kesetiaan yang sejati. Seperti doa pemazmur:
“Teguhkanlah langkahku dalam firman-Mu, dan janganlah biarkan segala kejahatan berkuasa atasku.” (Mazmur 119:133).
Kesimpulan Ajaran Teologi Reformed
Menurut pandangan teologi Reformed, ketidaksetiaan bukanlah kegagalan akhir bagi orang pilihan Allah, tetapi tanda bahwa seseorang belum sungguh-sungguh diselamatkan, atau sedang dipanggil untuk bertobat kembali kepada kasih karunia.
-
Calvin menegaskan bahwa kesetiaan sejati adalah bukti pemilihan kekal.
-
Edwards mengajarkan bahwa kasih kepada Kristus adalah dasar dari ketekunan iman.
-
Owen menekankan perlunya mematikan dosa agar kesetiaan tidak mati.
-
Watson memperingatkan agar hati kita tidak jatuh cinta pada dunia.
Kesetiaan sejati bukanlah prestasi manusia, melainkan buah dari anugerah Allah yang memelihara umat-Nya sampai akhir.
Kiranya setiap kita dapat berkata seperti rasul Paulus:
“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” (2 Timotius 4:7).