Kisah Para Rasul 7:9–16 Kedaulatan Allah Dalam Penderitaan dan Pemeliharaan Janji-Nya

Kisah Para Rasul 7:9–16 Kedaulatan Allah Dalam Penderitaan dan Pemeliharaan Janji-Nya

Pendahuluan

Kisah Para Rasul 7 menampilkan pidato luar biasa dari Stefanus — seorang diaken penuh Roh Kudus dan hikmat yang berani bersaksi di hadapan Mahkamah Agama. Dalam artikel ini, Stefanus mengisahkan ulang sejarah keselamatan Allah melalui bangsa Israel. Namun, ia tidak sekadar menceritakan ulang sejarah; ia menafsirkan sejarah itu dalam terang Injil Kristus. Dalam bagian ayat 9–16, Stefanus menyoroti kisah tentang Yusuf — seorang tokoh yang sering dilihat oleh para teolog Reformed sebagai tipe atau bayangan dari Kristus yang menderita tetapi dimuliakan oleh Allah.

Kisah ini tidak hanya berbicara tentang Yusuf, melainkan juga tentang Allah yang berdaulat atas penderitaan, penolakan, dan pemeliharaan janji-Nya kepada umat pilihan. Di dalamnya, kita melihat bagaimana rencana Allah tidak pernah gagal meskipun manusia jahat, bagaimana kasih karunia Allah bekerja di tengah penolakan, dan bagaimana janji Allah tetap digenapi di dalam Kristus Yesus.

Mari kita membuka hati untuk melihat apa yang Tuhan ingin ajarkan melalui eksposisi Kisah Para Rasul 7:9–16 ini.

I. PENOLAKAN TERHADAP YUSUF: GAMBARAN PENOLAKAN TERHADAP KRISTUS (Kisah Para Rasul 7:9)

“Karena iri hati, bapa-bapa leluhur menjual Yusuf ke tanah Mesir, tetapi Allah menyertai dia.”

Stefanus memulai bagian ini dengan menyoroti motif dosa dari para leluhur Israel — iri hati. Ini bukan sekadar dosa kecil, tetapi akar dari banyak kejahatan. Iri hati membuat saudara-saudara Yusuf membenci dia dan akhirnya menjualnya sebagai budak. John Calvin menafsirkan ayat ini dengan berkata:

“Iri hati adalah kebusukan hati manusia yang tidak tahan melihat kasih karunia Allah pada orang lain.”

Para saudara Yusuf tidak bisa menerima bahwa Allah memberi visi dan panggilan istimewa kepada Yusuf. Mereka menolak dia sebagaimana Israel menolak Kristus — Sang yang diutus Allah dengan kuasa dan kasih. Seperti Yusuf, Kristus juga ditolak oleh saudara-saudara-Nya sendiri, dijual karena uang, dan diserahkan kepada bangsa lain.

Namun, Stefanus menegaskan satu kebenaran penting: “tetapi Allah menyertai dia.” Ini adalah pernyataan iman yang luar biasa. Meskipun Yusuf ditolak, difitnah, dan dijual, Allah tidak meninggalkannya. Inilah inti teologi Reformed: kehadiran Allah dalam penderitaan orang percaya bukan bukti kegagalan, tetapi bukti kedaulatan dan kasih setia-Nya.

John Piper berkata:

“Di balik setiap penderitaan orang percaya, ada tangan Allah yang berdaulat yang sedang membentuk kemuliaan yang lebih besar.”

Demikian pula, penderitaan Kristus di salib bukan kekalahan, melainkan jalan menuju kemenangan. Begitu juga dengan Yusuf — penolakan menjadi jalan bagi penyelamatan banyak jiwa.

II. PENYERTAAN ALLAH DALAM PENDERITAAN (Kisah Para Rasul 7:10)

“Dan Allah melepaskan dia dari segala penindasan dan memberinya kasih karunia dan hikmat di hadapan Firaun, raja Mesir...”

Ayat ini menyoroti dua hal penting: pembebasan dan kasih karunia. Allah tidak hanya menyertai Yusuf, tetapi juga melepaskan dan meninggikannya. Pembebasan ini bukan hasil usaha Yusuf, melainkan karya Allah sepenuhnya.

R.C. Sproul menegaskan:

“Kedaulatan Allah tidak berarti kita tidak mengalami penderitaan; tetapi berarti bahwa penderitaan kita tidak sia-sia, sebab Allah memegang kendali atas hasil akhirnya.”

Yusuf menjadi saksi bagaimana Allah membalikkan keadaan. Dari budak menjadi penguasa. Dari penjara menjadi istana. Dari terbuang menjadi alat keselamatan bagi banyak orang. Inilah prinsip providentia Dei — penyelenggaraan ilahi Allah — yang sangat ditekankan dalam teologi Reformed.

Allah tidak hanya menebus Yusuf dari penderitaan, tetapi melalui penderitaan itulah Dia mempersiapkan Yusuf untuk tugas yang lebih besar.

Calvin menulis:

“Allah tidak mengangkat anak-anak-Nya ke kemuliaan dengan jalan yang mudah; Ia menempa mereka dengan penderitaan agar mereka mengenal kekuatan-Nya dan bukan kekuatan mereka sendiri.”

Demikian juga dalam kehidupan kita. Mungkin kita sedang berada dalam “penjara Mesir” — masa sulit, ketidakadilan, atau kesedihan — tetapi Allah yang sama yang menyertai Yusuf juga menyertai kita hari ini.

III. RENCANA ALLAH YANG TIDAK DAPAT DIGAGALKAN (Kisah Para Rasul 7:11–13)

“Maka datanglah kelaparan di seluruh tanah Mesir dan Kanaan... Lalu Yakub menyuruh nenek moyang kita pergi ke Mesir... Dan pada kali yang kedua Yusuf memperkenalkan dirinya kepada saudara-saudaranya.”

Kisah ini menunjukkan bahwa Allah bekerja melalui peristiwa-peristiwa sejarah untuk menggenapi rencana-Nya. Kelaparan bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari rencana ilahi untuk mempertemukan kembali Yusuf dengan keluarganya dan memelihara umat pilihan Allah.

John Stott menulis:

“Sejarah keselamatan adalah sejarah pemeliharaan Allah; bahkan peristiwa yang tampak tragis pun merupakan bagian dari mozaik kasih karunia-Nya.”

Perhatikan urutan yang Stefanus tekankan: pertama, penolakan; kemudian, penyelamatan melalui orang yang ditolak. Pola ini berulang sepanjang sejarah Israel — mereka menolak Musa, tetapi Allah memakai Musa untuk menyelamatkan mereka. Mereka menolak para nabi, tetapi melalui mereka Allah menyatakan firman-Nya. Akhirnya mereka menolak Kristus, tetapi melalui penolakan itu datanglah keselamatan bagi bangsa-bangsa.

Allah bekerja dengan cara yang melampaui pemahaman manusia. Apa yang tampak seperti bencana, justru alat pemeliharaan ilahi.

IV. PEMELIHARAAN JANJI ALLAH KEPADA ABRAHAM (Kisah Para Rasul 7:14–16)

“Lalu Yusuf menyuruh menjemput Yakub, ayahnya, dan seluruh sanak saudaranya... Lalu Yakub turun ke Mesir... dan tulang-tulang mereka dipindahkan ke Sikhem...”

Bagian ini menunjukkan penggenapan janji Allah kepada Abraham. Walaupun mereka hidup di negeri asing, Allah tetap menggenapi janji-Nya. Yakub dan keturunannya tetap menjadi umat perjanjian.

Matthew Henry berkomentar:

“Meskipun janji Allah tampak tertunda, tidak satu pun dari firman-Nya jatuh ke tanah tanpa digenapi.”

Pemeliharaan Allah ini menunjukkan kesetiaan-Nya lintas generasi. Bahkan kematian tidak dapat memisahkan umat Allah dari janji-Nya. Ketika tulang-tulang Yusuf dan Yakub dipindahkan ke tanah perjanjian, itu menjadi simbol bahwa janji Allah bersifat kekal dan pasti.

Dalam terang Kristus, janji ini mencapai penggenapan sempurna. Sebagaimana Allah memelihara umat-Nya dari kelaparan fisik melalui Yusuf, Ia juga memelihara kita dari kelaparan rohani melalui Kristus — Roti Hidup.

V. PENERAPAN PRAKTIS BAGI UMAT TUHAN

1. Allah Berdaulat di Tengah Penolakan dan Penderitaan

Kita belajar bahwa penolakan bukanlah akhir dari rencana Allah. Dalam setiap luka dan pengkhianatan, Allah bekerja untuk mendatangkan kebaikan (Roma 8:28). Ketika kita ditolak karena iman, jangan kecil hati — Yusuf dan Kristus juga ditolak, namun melalui itu Allah melaksanakan rencana-Nya.

2. Kasih Karunia Allah Cukup di Tengah Penderitaan

Yusuf tidak bersandar pada kekuatannya sendiri, melainkan pada kasih karunia Allah yang menyertainya. Demikian juga kita — saat dunia tidak adil, saat jalan tampak buntu, kasih karunia Allah cukup menopang kita (2 Korintus 12:9).

3. Rencana Allah Tidak Dapat Dibatalkan

Kita bisa mempercayai bahwa tidak ada kekuatan dunia, dosa, atau penderitaan yang bisa menggagalkan rencana Allah bagi umat-Nya. Seperti Yusuf, kita harus berjalan dengan iman, bukan dengan penglihatan.

4. Janji Allah Adalah Pasti

Yakub dan keturunannya akhirnya dikembalikan ke tanah perjanjian. Janji Allah kepada umat-Nya tidak akan pernah gagal. Dalam Kristus, kita memiliki janji yang lebih besar — warisan kekal di Kerajaan Surga.

VI. SUARA TEOLOGI REFORMED DALAM TEKS INI

  1. John Calvin menekankan bahwa penderitaan Yusuf adalah sarana Allah untuk memuliakan nama-Nya dan mendidik umat-Nya agar belajar bergantung pada penyelenggaraan ilahi.

  2. R.C. Sproul menyoroti bahwa tidak ada peristiwa kebetulan dalam kehidupan orang percaya; semuanya berada di bawah kedaulatan Allah.

  3. John Piper menegaskan bahwa penderitaan orang percaya memiliki tujuan redemptif, memuliakan Allah dan membentuk karakter Kristus dalam diri kita.

  4. Herman Bavinck melihat kisah Yusuf sebagai contoh bahwa seluruh sejarah dunia diarahkan kepada penggenapan janji keselamatan Allah di dalam Kristus.

  5. Martyn Lloyd-Jones menambahkan bahwa melalui kisah seperti Yusuf, kita diingatkan bahwa rencana Allah selalu bergerak menuju Kristus sebagai pusat sejarah keselamatan.

VII. PENUTUP: ALLAH YANG SETIA DALAM SEGALA MUSIM

Kisah Para Rasul 7:9–16 bukan sekadar cerita lama. Ini adalah cermin bagi kehidupan kita hari ini. Dunia mungkin menolak kita, menuduh kita, atau bahkan menjual kita seperti Yusuf. Namun, Allah kita adalah Allah yang menyertai. Ia tidak meninggalkan kita di “penjara Mesir.” Ia menyiapkan kita untuk tujuan yang lebih besar, untuk menjadi saksi kasih dan kedaulatan-Nya.

Yusuf akhirnya berkata kepada saudara-saudaranya dalam Kejadian 50:20:

“Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan.”

Demikian pula Allah bekerja dalam hidup kita. Penolakan menjadi jalan pemulihan. Penderitaan menjadi sarana penyucian. Dan kematian Kristus menjadi jalan kehidupan bagi dunia.

Kiranya kita belajar melihat tangan Allah yang berdaulat dalam segala hal, percaya bahwa kasih karunia-Nya cukup, dan tetap setia berjalan bersama Dia yang memegang kendali atas sejarah, sebagaimana Ia memegang kendali atas Yusuf — dan atas kita semua yang adalah anak-anak-Nya.

Next Post Previous Post