SEJARAH SINGKAT AGUSTINUS, JOHN CALVIN, DAN PERTENTANGAN CALVINISME VS ARMINIANISME

PDT. BUDI ASALI, M.DIV. 
Dalam membahas sejarah singkat ini saya mengutip sangat banyak dari buku-buku sejarah, untuk menunjukkan bahwa semua ini bukan semata-mata pandangan saya sendiri, tetapi memang betul-betul merupakan fakta sejarah.

I) Aurelius Augustinus / Augustine of Hippo.

A) Komentar tentang Agustinus.

Dr. Albert H. Freundt, Jr.: “Augustine was perhaps the most influential figure in the early church, second only to the Apostle Paul. While his influence in the East was very slight, he was to become the greatest Father of the Western Church.” (= Mungkin Agustinus adalah orang yang paling berpengaruh dalam gereja mula-mula, nomer dua hanya di bawah rasul Paulus. Sekalipun pengaruhnya di Timur adalah sangat kecil, tetapi ia menjadi Bapa Gereja Barat yang terbesar) - ‘History of Early Christianity’, hal 55.

B) Masa kecil dan pertobatan.

Agustinus dilahirkan pada tanggal 13 Nopember 354 M, di Afrika Utara. Dari kecil ia mempunyai rasa haus yang tidak terpuaskan tentang pengetahuan. Ia mendapatkan pendidikan yang hebat, dan menjadi seorang profesor rhetoric (= kepandaian berbicara / berpidato). Ayahnya seorang kafir yang baru menjadi kristen pada akhir hidupnya, tetapi ibunya adalah seorang kristen yang sungguh-sungguh, yang menginginkan supaya anaknya juga menjadi orang kristen. Untuk waktu yang lama keinginannya tidak terjadi. Ibunya tidak membaptiskan Agustinus pada waktu bayi, karena ia mempunyai kepercayaan bahwa baptisan menghapus dosa yang terjadi sebelum baptisan itu dilakukan, dan karena itu ia ingin menunda baptisan itu sampai Agustinus sudah melewati masa remaja yang panas.
SEJARAH SINGKAT  AGUSTINUS, JOHN CALVIN,  DAN PERTENTANGAN  CALVINISME
health, gadget
Sejak kecil Agustinus punya masalah dengan keinginan sexnya yang tidak terkendali. Ia mempunyai seorang selir yang melahirkan seorang anak laki-laki baginya, padahal saat itu Agustinus belum berusia 18 tahun. Agustinus memang mencari kebenaran, tetapi ia beranggapan bahwa kekristenan tidak bisa dipertahankan secara intelektual. Karena itu ia memilih Manichaeism, yaitu suatu ajaran sesat yang beranggapan bahwa baik dan jahat adalah 2 kekuatan kekal yang berperang satu dengan yang lainnya. Tetapi ia lalu meninggalkan Manichaeism, karena ia beranggapan bahwa Manichaeism tidak bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan intelektualnya, dan ia lalu menjadi seorang skeptic (orang yang meragukan segala sesuatu). Dan ia juga meninggalkan selirnya yang setia, dan lalu bertunangan dengan seorang gadis muda, dan selain itu ia juga mempunyai hubungan gelap dengan seorang gadis lain. Saat itu, kehidupan moralnya mencapai titik terendah. Ia lalu pindah ke Neoplatonism, yaitu suatu aliran filsafat yang menggabungkan ajaran Plato dan tokoh-tokoh filsafat Yunani yang lain dengan Yudaisme, kekristenan dan Mysticism (= ajaran yang menekankan mistik, semedi, dsb) dari Near East (= Timur Dekat), tetapi ia tetap tidak bisa mengatasi nafsu sexnya. Ia lalu mengajar di Milan. Suatu hari ia pergi ke kathedral untuk mendengar seorang yang bernama Ambrose, dan ia mendapatkan jawaban terhadap beberapa problem intelektualnya. Ia mendapatkan gambaran tentang kehidupan pertapa-pertapa kristen di Mesir. Sesuatu yang menyedihkan baginya melihat bahwa biarawan-biarawan yang tidak terpelajar itu bisa menaklukkan pencobaan terhadap daging mereka, sementara ia dengan seluruh pengetahuannya tidak bisa menaklukkan dagingnya. Pada waktu sendirian di dalam taman, ia mendengar suara, mungkin dari anak tetangga, yang berkata: “TOLLE, LEGE” [= take up, read(= ambillah, bacalah)] - Dr. Albert H. Freundt, Jr., ‘History of Early Christianity’, hal 56. Di situ ada sebuah copy Kitab Suci dan ia mengambilnya dan membukanya pada Roma 13:13-14, yang berbunyi sebagai berikut: “(13) Marilah kita hidup dengan sopan, seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati. (14) Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya”.

Ini menyebabkan ia bertobat pada tahun 385 / 386 M, dan akhirnya ia dan anaknya lalu dibaptis oleh Ambrose pada Minggu Paskah tahun 387 M.

C) Kehidupan, pelayanan, dan karyanya.

Setelah pertobatannya, ia lalu meninggalkan pekerjaannya dan mulai belajar Kitab Suci dengan serius, dan lalu kembali ke Afrika Utara, dimana ia diangkat menjadi tua-tua (tahun 391 M), dan lalu bishop / uskup di Hippo (tahun 395 M). Di tempat itu, selama sekitar 38 tahun Agustinus melayani Tuhan sampai akhir hidupnya. Agustinus hidup di biara secara sangat sederhana, berpakaian serba hitam, dan makan makanan yang sederhana.

Philip Schaff berkata: “He lived almost entirely on vegetables” (= Ia hidup hampir-hampir hanya dengan sayuran) - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 994.

Ia hidup bersama dengan seorang rekan pendeta / pastor dalam satu rumah, dimana perempuan dilarang masuk. Sekalipun problem sexnya bisa teratasi, tetapi Agustinus mengakui bahwa ia masih mempunyai problem dengan kesombongan.

Tetapi Philip Schaff mengatakan: “Augustine, ... is a philosophical and theological genius ... a heart full of Christian love and humility” (= Agustinus, ... adalah seorang genius dalam filsafat dan theologia ... suatu hati yang penuh dengan kasih kristen dan kerendahan hati) - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 997.

Saya berpendapat bahwa kata-kata Phillip Schaff ini bukan kontradiksi dengan pengakuan Agustinus bahwa ia mempunyai problem dengan kesombongan, karena orang yang rendah hati biasanya justru tidak merasa dirinya rendah hati.

Ia juga mengadakan / memimpin sebuah sekolah dan melakukan pembelaan intelektual bagi kekristenan menghadapi ajaran-ajaran sesat pada jamannya. Agustinus berkonfrontasi dengan 3 ajaran sesat, yaitu: Manichaeism, Donatism, dan Pelagianism.

Tentang pelayanan khotbahnya, Philip Schaff, mengatakan: “He often preached five days in succession, sometimes twice a day, and set it as the object of his preaching, that all might live with him, and he with all, in Christ” (= Ia sering berkhotbah 5 hari berturut-turut, kadang-kadang 2 x sehari, dan tujuan khotbahnya adalah supaya semua bisa hidup bersama dia, dan ia bersama semua, dalam Kristus) - ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 994.

Ia banyak menulis buku, dan 2 di antaranya yang sangat terkenal adalah:

1) Confessions.
Buku ini ditulis pada tahun 400 M, dimana ia menuliskan pengalaman rohaninya secara mendetail. Kata kuncinya ada di paragraf pertama, dan merupakan kata-kata yang sangat terkenal dari Agustinus, yang berbunyi: “You have made us for yourself, O Lord, and our heart is restless until it rests in you” (= Engkau telah membuat kami untukMu sendiri, ya Tuhan, dan hati kami gelisah sampai beristirahat dalam Engkau) - Dr. Albert H. Freundt, Jr., ‘History of Early Christianity’, p 56.

Memang kata-kata ini benar, karena kalau seseorang belum menemukan Tuhan melalui Yesus Kristus, hatinya tidak akan pernah bisa merasakan damai / ketenangan yang sejati! Karena itu, kalau saudara adalah orang yang tidak mempunyai damai / ketenangan, datanglah dan percayalah kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat saudara!

Bandingkan ini dengan:
· Matius 11:28-30 - “(28) Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. (29) Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah kepadaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. (30) Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan bebanKupun ringan”.

· Yohanes 14:27 - “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahteraKu Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu”.
· Galatia 5:22-23 - “(22) Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, (23) kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu”.

2) The City of God.
Buku ini ditulis pada tahun 412 M.

Kenneth Scott Latourette mengatakan: “He was a prolific author. Although troubled with insomnia and often ill, he accomplished a prodigious amount of work” (= Ia adalah seorang pengarang yang banyak hasilnya. Sekalipun diganggu oleh penyakit sukar tidur dan seringkali sakit, ia mencapai jumlah pekerjaan yang sangat banyak) - ‘A History of Christianity’, Revised Edition, vol I, hal 175.

Buku-buku Agustinus masih banyak dipakai pada jaman ini. Jadi buku-bukunya sudah bertahan selama hampir 16 abad! Tidak banyak buku yang bisa bertahan sampai 16 abad, dan bahwa buku-buku Agustinus bisa bertahan selama itu menunjukkan kwalitet yang luar biasa dari tulisan Agustinus tersebut! Orang-orang Arminian, seperti Pdt. dr. Jusuf B. S. dan Guy Duty, seharusnya memperhatikan fakta ini, sebelum mereka merendahkan / menghina orang seperti Agustinus! Buku mereka sendiri belum tentu bisa bertahan selama 16 tahun!

D) Akhir hidup dan kematian Agustinus.

Tentang akhir hidupnya, Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol III, hal 995-996, menceritakan sebagai berikut:

“The evening of his life was troubled by increasing infirmities of body and by the unspeakable wretchedness which the barbarian Vandals spread over his country in their victorious invasion, destroying cities, villages, and churches, without mercy, and even besieging the fortified city of Hippo. Yet he faithfully persevered in his work. The last ten days of his life he spent in close retirement, in prayers and tears and repeated reading of the penitential Psalms, which he had caused to be written on the wall over his bed, that he might have them always before his eyes. Thus with an act of penance he closed his life. ... In the third month of the siege of Hippo, on the 28th of August, 430, in the seventy-sixth year of his age, in full possession of his faculties, and in the presence of many friends and pupils, he passed gently and happily into that eternity to which he had so long aspired” (= Akhir hidupnya diganggu oleh kelemahan-kelemahan tubuh yang meningkat dan oleh keadaan buruk yang tidak terkatakan yang disebarkan oleh orang barbar Vandals di seluruh negara Agustinus dalam penyerbuan yang berkemenangan, penghancuran kota-kota, desa-desa dan gereja-gereja, tanpa belas kasihan, dan bahkan pengepungan kota Hippo yang berbenteng. Tetapi ia dengan setia bertekun dalam pekerjaannya. 10 hari terakhir dalam hidupnya dilaluinya dalam pengucilan diri, dalam doa dan air mata dan pembacaan berulang-ulang dari Mazmur-mazmur pertobatan / penyesalan, yang ia suruh tuliskan di dinding di atas ranjangnya, supaya semua itu selalu ada di depan matanya. Jadi, dengan tindakan pengakuan dosa ia menutup hidupnya. ... Dalam bulan yang ketiga dari pengepungan Hippo, pada tanggal 28 Agustus, tahun 430 M, pada usia 76 tahun, dengan memiliki kemampuan berpikir yang baik, dan di hadapan banyak teman dan murid, ia berlalu dengan lembut / tenang dan gembira kepada kekekalan yang sudah begitu lama ia inginkan).

E) Konfrontasi Agustinus versus Pelagius.

Pelagius adalah seorang biarawan Inggris, yang datang ke Roma sekitar tahun 400 M, dan tinggal di Roma selama beberapa tahun. Ia sangat terkejut melihat moral yang begitu rendah di sana, dan ia mulai berusaha untuk mendesak Roma supaya memperbaiki diri mereka. Ia menekankan tanggung jawab dan kemampuan manusia. Ia menolak doktrin tentang dosa asal dan akibatnya pada manusia. Ia berpendapat bahwa semua manusia ada dalam kondisi seperti Adam yang mempunyai kebebasan untuk berbuat dosa atau tidak berbuat dosa. Ia percaya bahwa Allah tidak memilih (Predestinasi), kuasa memilih ada dalam diri manusia. Allah mengirimkan Yesus untuk menunjukkan jalan, dan semua manusia diberi Allah kekuatan sehingga mempunyai kekuatan untuk mengikuti. Pelagius ‘memenangkan jiwa’ seorang yang bernama Caelestius, yang pada tahun 412 M dikecam sebagai bidat dan dikucilkan oleh Synod setempat, karena pandangan sesatnya yang menyatakan bahwa:

1) Adam akan mati sekalipun tidak berdosa.
2) Dosa Adam hanya berakibat negatif pada dirinya sendiri dan tidak pada seluruh umat manusia.
3) Bayi yang baru lahir ada dalam keadaan seperti Adam sebelum jatuh ke dalam dosa.
4) Bukan karena dosa atau oleh Adam maka seluruh umat manusia mati, dan bukan oleh kebangkitan (Yesus) maka semua dibangkitkan.
5) Taurat maupun Injil membawa manusia pada Kerajaan Allah. Seseorang bisa masuk surga dengan mentaati hukum Taurat.
6) Bahkan sebelum Kristus, ada orang yang hidup suci / tanpa dosa.
(Dr. Albert H. Freundt, Jr., ‘History of Early Christianity’, hal 57).

Ini jelas bertentangan dengan pandangan Agustinus, yang berpendapat bahwa:
1. Pada waktu Adam yang suci itu jatuh ke dalam dosa, semua manusia yang diturunkannya dengan cara biasa, jatuh ke dalam dosa dengan dia.
2. Karena kejatuhan Adam dan adanya dosa asal itu, sekarang manusia mati secara rohani, dan terpisah dari Allah, dan layak untuk dihukum.
3. Tetapi, Allah menetapkan sebagian untuk diselamatkan, dan sisanya untuk dibinasakan.
4. Jumlah orang pilihan ini sudah ditetapkan dan tidak bisa berubah.
5. Orang pilihan diselamatkan oleh kasih karunia yang tidak bisa ditolak dan mereka akan terus bertekun sampai akhir.

Suatu Synod di Yerusalem, kepada siapa persoalan ini disampaikan, tidak berbuat apa-apa kecuali menyerahkan persoalan ini ke Roma, dan pada tahun 415 M, suatu Synod di Diospolis (Lydda) di Palestina membebaskan Pelagius dari tuduhan. Tetapi pada tahun 416 M, Synod-Synod di Carthage dan Roma mengambil tindakan sebaliknya, dan bishop Roma mendukung mereka. Bishop Roma yang baru, yaitu Zosimus, mula-mula berpihak kepada Pelagius dan Caelestius, tetapi setelah pada tahun 418 M kaisar Honorius mengucilkan kedua orang ini, dan juga setelah mendapat desakan Agustinus, maka ia juga ikut mengecam mereka.

Pandangan Pelagius ini dikecam oleh Council of Carthage pada tahun 418 M. Tetapi Caelestius lalu pergi ke Timur dan ia lalu mendapatkan dukungan dari Nestorius (ini adalah bishop Constantinople, seorang pengajar sesat dalam Kristologi, yang mengajarkan Nestorianisme, yang mempercayai bahwa Yesus Kristus mempunyai 2 pribadi). Dan pada tahun 431 M, Council of Ephesus, yang mengecam Nestorius, juga mengecam Pelagius, Caelestius, dan semua pendukungnya.

Sekalipun pandangan Pelagius ini telah dikecam oleh otoritas gereja pada saat itu, tetapi ini tidak berarti bahwa semua orang kristen / katolik lalu menerima pandangan Agustinus. Di Perancis Selatan, ada grup Semi-Pelagians, yang pandangannya ditolak oleh suatu Council Barat, yaitu the Synod of Arles, pada tahun 473 M. Melalui beberapa abad, secara perlahan-lahan berkembang suatu pandangan kompromi, yang disebut Moderate Augustinianism / Semi-Augustinianism, yang didukung oleh Synod of Orange pada tahun 529 M.

Synod of Orange ini:

a) Mengecam mereka yang mengatakan bahwa:
1. Kehendak manusia bisa mendahului tindakan Allah dalam menyelamatkan kita.
2. Iman dan keinginan untuk beriman bisa datang tanpa pemberian kasih karunia dari Allah.
3. Kita dapat memilih yang baik terpisah dari kasih karunia Allah.

b) Tidak berbicara apa-apa tentang Irresistible grace (= kasih karunia yang tidak bisa ditolak).

c) Mengecam ajaran yang berkata bahwa sebagian manusia ditetapkan untuk binasa.

d) Sangat menekankan pentingnya baptisan.
Perlu diketahui bahwa Agustinuspun mempunyai pandangan yang salah tentang sakramen, karena ia mengajarkan bahwa:

1. Baptisan bayi membuang dosa asal.
2. Baptisan dan perjamuan kudus penting (necessary) untuk keselamatan.
(Kenneth Scott Latourette, ‘A History of Christianity’, Revised Edition, vol I, hal 179).
Tetapi Synod of Orange ini lebih lagi menekankan baptisan dibandingkan dengan Agustinus.

Synod of Orange ini berkata: “We also believe this to be according to the Catholic faith, that grace having been received in baptism, all who have been baptized, can and ought, by the aid and support of Christ, to perform those things which belong to the salvation of the soul, if they labour faithfully” (= Kami juga percaya ini sesuai dengan iman Katolik, bahwa kasih karunia telah diterima dalam baptisan, semua yang telah dibaptis, bisa dan seharusnya, oleh pertolongan dan bantuan Kristus, melakukan hal-hal yang termasuk dalam keselamatan jiwa, jika mereka bekerja dengan setia) - Dr. Albert H. Freundt, Jr., ‘History of Early Christianity’, hal 58.

Jadi mereka beranggapan bahwa bukan hanya orang pilihan, tetapi semua orang bisa mendapatkan kasih karunia Allah melalui baptisan.

Dr. Freundt mengomentari hal ini dengan berkata: “This opened the way to a doctrine of salvation by works, and it was in this direction that medieval Catholic was to move” (= Ini membuka jalan pada doktrin keselamatan karena perbuatan baik / ketaatan, dan ke arah inilah Katolik pada abad pertengahan bergerak) - Dr. Albert H. Freundt, Jr., ‘History of Early Christianity’, hal 58.

Schema Augustinianisme, Pelagianisme, dan pandangan-pandangan kompromi di antaranya.



Pandangan
Ringkasan
Augustinianism.                                 
Manusia mati dalam dosa; keselamatan diberikan secara total oleh kasih karunia Allah, yang hanya diberikan kepada orang pilihan.
Pelagianism
Manusia dilahirkan dalam keadaan baik dan bisa melakukan apa yang perlu untuk keselamatan.
Semi-pelagianism.
Kasih karunia Allah dan kehendak manusia bekerja sama dalam keselamatan, dan manusia harus berinisiatif / mengambil langkah pertama.
Semi-Augustinianism.
Kasih karunia Allah diberikan kepada semua orang, memampukan seseorang untuk memilih dan melakukan apa yang perlu untuk keselamatan.



Manusia
Pemilihan
Kasih Karunia
Augustinianism.
Kebejatan total (ketidakmampuan sepenuhnya / total dalam hal moral).
Tidak bersyarat (tidak didasarkan atas pengetahuan lebih dulu dari Allah).
Tidak bisa ditolak.
Pelagianism.
Kemampuan moral sepenuhnya.
Tidak ada.
Tidak ada, kecuali Allah telah menyatakan kehendakNya dalam Kristus.
Semi-Pelagianism.
Kemampuan moral sebagian (manusia bisa layak mendapat kasih karunia).
Bersyarat (berdasarkan pengetahuan lebih dulu dari Allah).
Perlu (manusia bergerak; Allah menolong).
Semi-Augustinianism (Synod of Orange).
Ketidakmampuan moral (tetapi manusia bisa menerima atau menolak kasih karunia ilahi).
Tidak ada penentuan binasa (Allah tidak menentukan siapapun untuk terhilang secara kekal).
Mendahului (iman manusia adalah tanggapan terhadap Allah yang lebih dulu mendekati dia).

Catatan: Pandangan-pandangan kompromi di antara Augustinianisme dan Pelagianisme inilah yang nantinya menjadi pandangan Arminianisme!

Loraine Boettner: “Arminianism in its radical and more fully developed forms is essentially a recrudescence of Pelagianism, a type of self-salvation. ... Arminianism at its best is a somewhat vague and indefinite attempt at reconciliation, hovering midway between the sharply marked systems of Pelagius and Augustine, taking off the edges of each, and inclining now to the one, now to the other. Dr. A.A. Hodge refers to it as a ‘manifold and elastic system of compromise’” (= Arminianisme dalam bentuknya yang radikal dan berkembang penuh pada dasarnya adalah bangkit kembalinya Pelagianisme, suatu type keselamatan oleh diri sendiri. ... Arminianisme dalam keadaan paling baik adalah usaha memperdamaikan yang agak samar-samar dan tidak pasti, melayang di tengah-tengah antara sistim yang ditandai dengan jelas dari Pelagius dan Agustinus, mengurangi kekuatan / ketajaman dari masing-masing pihak, dan kadang-kadang condong kepada yang satu, kadang-kadang kepada yang lain. Dr. A. A. Hodge menunjuk kepadanya sebagai suatu ‘sistim kompromi yang bermacam-macam dan bersifat elastis’) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 48.

Perlu diketahui bahwa dalam sejarah pada waktu terjadi pertentangan antara pandangan yang benar dan sesat, memang sering lalu muncul pandangan kompromi yang tidak mau melepaskan kesesatan secara tuntas.

Contoh:

1) Dalam persoalan keselamatan karena iman saja.
Orang Yahudi / Yudaisme mengajarkan keselamatan karena perbuatan baik / ketaatan / usaha manusia. Tetapi Yesus dan rasul-rasul mengajarkan keselamatan hanya karena iman (Yohanes 3:16 Roma 3:27-28 Gal 2:16,21 Efesus 2:8-9). Lalu muncul orang Yahudi kristen, dengan pandangan komprominya, yang sekalipun beriman kepada Yesus sebagai Juruselamat, tetapi tetap menekankan sunat dan adat istiadat Yahudi (Kis 15:1-2 bdk. seluruh surat Galatia).

2) Dalam persoalan Allah Tritunggal.
Seorang yang bernama Arius (pendiri dari Arianisme, yang akhirnya mendasari Saksi Yehovah), mengatakan bahwa Anak berbeda hakekat (bahasa Yunaninya: HETERO-OUSION) dengan Bapa. Gereja lalu mengadakan sidang, yaitu The Council of Nicea, pada tahun 325 M, dan menimbulkan Pengakuan Iman Nicea, yang menyatakan bahwa Anak mempunyai hakekat yang sama / satu dengan Bapa (bahasa Yunaninya: HOMO-OUSION). Tetapi lalu muncul pandangan Semi-Arianism, yaitu pandangan kompromi, yang menggunakan istilah bahasa Yunani HOMOI-OUSION (= of the similar substance / dari zat yang serupa / mirip).

3) Dalam persoalan Kristologi.
Seorang yang bernama Eutyches mengajarkan ajaran sesatnya yang mengatakan bahwa setelah inkarnasi, Kristus hanya mempunyai satu hakekat saja, yaitu hakekat ilahi (karena hakekat manusianya diserap oleh hakekat ilahinya).

Ini menyebabkan terjadinya Sidang gereja di kota Chalcedon, pada tahun 451 M, yang menimbulkan Pengakuan Iman Chalcedon, yang menyatakan bahwa Kristus setelah inkarnasi tetap mempunyai 2 hakekat yaitu hakekat ilahi dan hakekat manusia, yang masing-masing mempertahankan sifat-sifatnya sendiri-sendiri.

Lalu muncul pandangan kompromi yang disebut Monophysitism, yang mengatakan bahwa Kristus mempunyai hanya satu hakekat, yaitu hakekat ilahi, tetapi disertai dengan sifat-sifat manusia tertentu.
Juga muncul pandangan kompromi yang lain yang disebut Monothelitism, yang mengatakan bahwa Kristus memang mempunyai 2 hakekat, yaitu ilahi dan manusia, tetapi hanya mempunyai 1 kehendak.

Kesimpulan: Sekalipun Arminianism tidak sesesat Pelagianism, tetapi Arminianism adalah pandangan kompromi yang tidak mau meninggalkan kesesatan / kesalahan secara tuntas! Kalau Augustinianism adalah pandangan yang waras dan Pelagianism adalah pandangan yang gila, maka Arminianism adalah pandangan yang setengah gila.

Mungkin saudara bertanya: apa tujuan setan memberi pandangan kompromi yang setengah gila tersebut? Ada 2 kemungkinan alasan dari setan:

1) Setan mungkin bertujuan supaya pandangan yang gila (Pelagianism) kelihatan sebagai extrim kiri, pandangan yang waras (Augustinianism) sebagai extrim kanan, dan pandangan yang setengah gila (Arminianism) sebagai pandangan yang benar!

Kalau saudara tergoda untuk berpikir begitu, maka pikirkan hal ini: itu berarti bahwa pada abad ke 5 itu terjadi pertentangan antara 2 pandangan extrim, extrim kanan (Augustinianism) dan extrim kiri (Pelagianism). Sebagai hasil dari pertentangan 2 pandangan yang extrim itu, justru lalu muncul pandangan yang benar / waras (Arminianism). Masuk akalkah itu? Masuk akalkah bahwa ada 2 ajaran sesat, yang sama-sama berasal dari setan, bertempur, lalu sebagai akibatnya muncul ajaran yang benar / dari Tuhan? Apakah tidak lebih masuk akal kalau pada abad ke 5 itu terjadi pertentangan antara ajaran benar (Augustinianism) dan ajaran sesat (Pelagianism), dan sebagai hasilnya muncul ajaran kompromi yang setengah sesat (Arminianism)?

2) Setan tahu bahwa ajaran yang setengah sesat lebih mudah diterima manusia dari pada ajaran yang sesat secara total.

Sama saja kalau saudara mau meracuni seseorang, jauh lebih mudah memberi dia makan yang dicampur racun dari pada memberi dia racun 100 %. Dalam faktanya memang jaman sekarang boleh dikatakan tidak ada gereja yang menganut Pelagianism, tetapi ada banyak gereja yang menganut Arminianism.

II) John Calvin.

Catatan: Pelajaran tentang sejarah Calvin ini banyak yang saya ambil dari buku sejarah karangan Philip Schaff yang berjudul ‘History of the Christian Church’, vol VIII. Perlu diketahui bahwa Philip Schaff bukanlah seorang Calvinist! Ini terlihat dari komentarnya tentang pertentangan Calvinisme dengan Arminianisme, yang berbunyi sebagai berikut:

“Calvinism emphasizes divine sovereignty and free grace; Arminianism emphasizes human responsibility. The one restricts the saving grace to the elect: the other extends it to all men on the condition of faith. Both are right in what they assert; both are wrong in what they deny. ... The Bible gives us a theology which is more human than Calvinism, and more divine than Arminianism, and more Christian than either of them” (= Calvinisme menekankan kedaulatan ilahi dan kasih karunia yang cuma-cuma; Arminianisme menekankan tanggung jawab manusia. Yang satu membatasi kasih karunia yang menyelamatkan kepada orang pilihan: yang lain memperluasnya kepada semua manusia dengan syarat iman. Keduanya benar dalam apa yang mereka tegaskan; keduanya salah dalam apa yang mereka sangkal. ... Alkitab memberi kita suatu theologia yang lebih manusiawi dari pada Calvinisme, dan lebih ilahi dari pada Arminianisme, dan lebih kristiani dari yang manapun dari mereka) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 816.

A) Kelahiran, masa muda, dan pendidikan Calvin.

Calvin dilahirkan pada tanggal 10 Juli tahun 1509, di kota Noyon, kira-kira 58 mil di sebelah Timur Laut Paris, Perancis.
Pada bulan Agustus 1523, pada usia 14 tahun, ia masuk the College de la Marche, dimana ia belajar bahasa dan rhetoric dari seorang guru yang terkenal yang bernama Marthurin Cordier (Cordatus). Dari orang ini Calvin belajar untuk berpikir dan menulis dalam bahasa Latin - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 302.

Setelah itu Calvin pindah ke College de Montague, dimana ia belajar filsafat dan theologia. Ia menerima gelar Master dalam theologia pada usia 18 tahun.

Komentar Philip Schaff tentang kehidupan Calvin pada saat ini: “Calvin showed during this early period already the prominent traits of his character: he was conscientious, studious, silent, retired, animated by a strict sense of duty, and exceedingly religious” [= Pada masa mudanya Calvin sudah menunjukkan ciri pembawaan yang menonjol: ia adalah orang yang teliti, rajin, pendiam, penyendiri, sangat bertanggung jawab, dan sangat religius] - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 302.

Setelah itu, atas dorongan ayahnya, ia belajar hukum di Universitas Orleans.

Di Orleans ia bertemu dengan seorang guru Jerman yang bersimpati kepada Martin Luther. Orang ini mendorong Calvin untuk belajar literatur Yunani. Setelah ayahnya mati pada tahun 1531, ia tetap meneruskan sekolah hukumnya, dan ia mendapat gelar doktor dalam bidang hukum pada tahun 1532 (pada usia 23 tahun). Ia kembali ke Perancis, dan lalu belajar literatur, khususnya Ibrani dan Yunani.

Philip Schaff: “By his excessive industry he stored his memory with valuable information, but undermined his health, and became a victim to headache, dyspepsia, and insomnia, of which he suffered more or less during his subsequent life” (= Oleh kerajinannya yang berlebih-lebihania mengisi ingatannya dengan informasi berharga, tetapi merusak kesehatannya, dan menjadi korban dari sakit kepala, pencernaan yang terganggu, dan insomnia / sulit tidur, yang dideritanya sedikit atau banyak dalam sepanjang hidupnya setelah ini) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 304.

Sesuatu yang juga perlu diketahui tentang Calvin ialah bahwa ia bukan hanya seorang yang rajin belajar tetapi ia juga adalah orang yang mempunyai ingatan yang luar biasa.

Dr. W. F. Dankbaar berkata tentang Calvin sebagai berikut: “Keras sekali ia bekerja, ia belajar sehari suntuk dan setengah malam terus-menerus. Pagi-pagi sudah bangun lagi dan diulangilah apa yang dipelajarinya sehari lampau. Tetapi itupun akan melekat dan diketahuilah buat selamanya. Calvin mempunyai ingatan yang tiada bandingnya. Pada tahun-tahun yang berikut, sewaktu perdebatan-perdebatan, kawan dan lawan akan kagum melihat, betapa mudah ia mengutip bapa-bapa gerejani dari luar kepala. Tidak pernah ia berkhotbah atau memberi kuliah dari persiapan tertulis, cukuplah ayat Alkitab itu saja di hadapannya. Memang selalu ia mempersiapkan diri dengan amat baiknya lebih dahulu dan seterusnya yakinlah ia, bahwa ingatannya tidak akan meleset sejenakpun” - ‘Calvin, Jalan Hidup dan Karyanya’, hal 11-12.

Catatan: Buku ini kuno dan ditulis dalam bahasa Indonesia ejaan lama. Tetapi untuk mempermudah, saya mengubahnya menjadi ejaan baru.

Dr. W. F. Dankbaar juga menceritakan suatu peristiwa yang terjadi pada waktu Calvin baru mulai pelayanan di Geneva untuk pertama kalinya. Dalam suatu pertemuan, ada orang Jesuit yang menyerang orang Protestan dengan mengatakan bahwa ajaran Protestan itu tidak sesuai dengan ajaran bapa-bapa gereja. Dr. W. F. Dankbaar lalu berkata:

“Calvinpun tiba-tiba berdiri. Ia menerangkan, bahwa orang yang tidak cukup mengenal bapa-bapa gerejani, lebih baik jangan menyebut-nyebutnya. ... Mulailah ia menunjukkan kutipan-kutipan dari bapa-bapa gerejani, begitu saja dari luar kepala, yang membuktikan kebenaran dari apa yang dipelajari oleh pengikut-pengikut reformasi. Sebagian dari khotbah Chrysostomus, ‘yang ke sebelas, kira-kira di tengah’; kutipan dari Agustinus, ‘dari surat ke 23, menjelang penghabisannya’; dari risalah karangan bapa gerejani itu juga, ‘yang ke delapan atau ke sembilan kalau tidak salah’. Dan begitulah terus: Calvin menunjuk bab demi bab dan semuanya dari luar kepala. Para hadirin tercengang-cengang, belum pernah mereka dengar serupa itu. Semua orang kagum dan terpesona oleh uraian itu” - ‘Calvin, Jalan Hidup dan Karyanya’, hal 43.

Theodore Beza: “... and had such astonishing memory, that any person whom he had once seen he instantly recognised at the distance of years, and when, in the course of dictating, he happened to be interrupted for several hours, as often happened, as soon as he returned he commenced at once to dictate where he had left off” (= ... dan mempunyai ingatan yang mengherankan, sehingga orang manapun yang pernah ia lihat sekali ia segera mengenalinya dalam jarak beberapa tahun, dan pada waktu, dalam mendikte, ia kebetulan diinterupsi selama beberapa jam, seperti yang sering terjadi, begitu ia kembali ia segera memulai untuk mendikte di bagian yang telah ia tinggalkan) - ‘Calvin’s Selected Works’, vol I, hal xcvii-xcviii.

B) Pertobatan Calvin.

Tidak banyak yang diketahui tentang pertobatan Calvin.
Philip Schaff mengatakan beberapa hal sehubungan dengan pertobatan Calvin di bawah ini:

· “Calvin was not an unbeliever, nor an immoral youth; on the contrary, he was a devout Catholic of unblemished character. His conversion, therefore, was a change from Romanism to Protestantism, from papal superstition to evangelical faith, from scholastic traditionalism to biblical simplicity. He mentions no human agency, not even Volmar or Olivetan or Lefevre. ‘God himself,’ he says, ‘produced the change. He instantly subdued my heart to obedience’” (= Calvin bukanlah seorang yang tidak percaya, juga bukan seorang pemuda yang tidak bermoral; sebaliknya, ia adalah seorang Katolik yang taat / saleh dengan karakter yang tak bercacat. Karena itu, pertobatannya adalah perubahan dari Roma Katolik ke Protestan, dari tahyul kepausan pada iman yang injili, dari tradisi abad pertengahan pada kesederhanaan yang alkitabiah. Ia tidak menyebut agen manusia, bahkan tidak Volmar atau Olivetan atau Lefevre. ‘Allah sendiri,’ katanya, ‘membuat perubahan ini. Ia secara langsung / mendadak menundukkan hatiku pada ketaatan’) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 310.

· “‘Only one haven of salvation,’ he says, ‘is left open for our souls, and that is the mercy of God in Christ. We are saved by grace - not by our merits, not by our works’” (= ‘Hanya satu tempat keselamatan,’ katanya, ‘yang terbuka untuk jiwa kita, dan itu adalah belas kasihan Allah dalam Kristus. Kita diselamatkan oleh kasih karunia - bukan oleh jasa kita, bukan oleh pekerjaan / perbuatan baik kita’) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 311.

· “The precise time and place and circumstances of this great change are not accurately known. He was very reticent about himself” (= Saat dan tempat dan keadaan yang tepat dari perubahan besar ini tidak diketahui secara akurat. Ia adalah orang yang sangat pendiam tentang dirinya sendiri) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 311.

Setelah pertobatannya Calvin tidak langsung meninggalkan / memusuhi gereja Roma Katolik.

Philip Schaff:

¨ “Reverence for the Church kept him back for some time till he learned to distinguish the true, invisible, divine essence of the Church from its outward, human form and organization. Then the knowledge of the truth, like a bright light from heaven, burst upon his mind with such a force, that there was nothing left for him but to obey the voice from heaven. He consulted not with flesh and blood, and burned the bridge behind him” (= Rasa hormat kepada Gereja menahannya untuk sementara waktu sampai ia belajar membedakan hakekat ilahi dari Gereja yang benar, tak kelihatan, dari Gereja yang lahiriah, bentuk manusia dan organisasinya. Lalu pengetahuan tentang kebenaran, seperti sebuah cahaya dari surga, meledak dalam pikirannya dengan kekuatan sedemikian rupa, sehingga tidak ada yang tertinggal baginya selain mentaati suara dari surga. Ia tidak berkonsultasi dengan daging dan darah, tetapi membakar jembatan di belakangnya) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 311.

¨ “He remained for the present in the Catholic Church. His aim was to reform it from within rather than from without, until circumstances compelled him to leave” (= Untuk saat itu ia tetap tinggal dalam Gereja Katolik. Tujuannya adalah mereformasi dari dalam dan bukannya dari luar, sampai keadaan memaksanya untuk keluar / meninggalkan gereja itu) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 312.

C) Penulisan buku ‘Institutes of the Christian Religion’.

Pada tahun 1534 ada penganiayaan terhadap orang kristen di Paris. Ini disebabkan karena adanya seorang Kristen yang kelewat semangat yang bernama Feret, yang menempelkan traktat anti Katolik / Paus di seluruh Paris, bahkan di pintu kamar kerajaan di Fontaineblue, dimana raja tinggal, pada malam 18 Oktober 1534 - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 319.

Ini membuat raja menjadi marah dan menangkapi orang-orang yang dicurigai. Orang-orang kristen bukan hanya ditangkapi tetapi juga dianiaya, dan bahkan disiksa sampai mati.

Philip Schaff: “All moderate Protestants deplored this untimely outburst of radicalism. It retarded and almost ruined the prospects of the Reformation in France. The best cause may be undone by being overdone” (= Semua orang Protestan yang lunak menyesalkan ledakan radikalisme yang tidak pada waktunya itu. Hal itu memperlambat dan hampir menghancurkan harapan dari Reformasi di Perancis. Gerakan yang terbaik bisa dirusak dengan cara dilakukan secara berlebihan) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 320.

Philip Schaff: “This persecution was the immediate occasion of Calvin’s Institutes, and the forerunner of a series of persecutions which culminated under the reign of Louis XIV, and have made the Reformed Church of France a Church of martyrs” (= Penganiayaan ini adalah alasan langsung dari Calvin’s Institutes, dan merupakan pendahulu dari suatu seri penganiayaan yang mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Louis XIV, dan menjadikan Gereja Reformed di Perancis sebagai Gereja martir) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 322.

Catatan: Apakah penganiayaan di Paris ini memang merupakan alasan langsung yang menyebabkan Calvin menulis buku itu, agak perlu diragukan. Sebab pada bagian awal dari Kata Pengantar dalam buku itu, Calvin berkata kepada raja bahwa pada mulanya ia menulis buku itu bukan untuk ditujukan kepada raja. Tetapi adanya penganiayaan di Paris itu menyebabkan ia akhirnya mempersembahkan buku ini kepada raja.

Philip Schaff: “The Institutio was dedicated to King Francis I of France (1494-1547), who at that time cruelly persecuted his Protestant subjects. ... Calvin appealed to the French monarch in defence of his Protestant countrymen, then a small sect, as much despised, calumniated, and persecuted, and as moral and innocent as the Christians in the old Roman empire, with a manly dignity, frankness, and pathos never surpassed before or since” [= Institutes dipersembahkan kepada Raja Francis I dari Perancis (1494-1547), yang pada waktu itu menganiaya warganegara Protestannya dengan kejam. ... Calvin memohon / naik banding kepada raja Perancis dalam pembelaannya terhadap orang-orang Protestan sebangsanya, yang pada waktu itu adalah suatu sekte yang kecil, yang sama dihina, difitnah, dan dianiayanya, dan sama bermoral dan tak bersalahnya seperti orang-orang Kristen pada kekaisaran Romawi kuno, dengan kewibawaan yang berani, kejujuran, dan rasa sedih yang tak pernah dilampaui sebelumnya atau sesudahnya] - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 332.

Kata pengantar yang ditujukan kepada raja Perancis itu bagian terakhirnya berbunyi sebagai berikut: “... for though you are now averse and alienated from us, and even inflamed against us, we despair not of regaining your favor, if you will only once read with calmness and composure this our confession, which we intend as our defence before your Majesty. But, on the contrary, if your ears are so preoccupied with the whispers of the malevolent, as to leave no opportunity for the accused to speak for themselves, and if those outrageous furies, with your connivance, continue to persecute with imprisonments, scourges, tortures, confiscations, and flames, we shall indeed, like sheep destined to the slaughter, be reduced to the greatest extremities. Yet shall we in patience possess our souls, and wait for the mighty hand of the Lord, which undoubtedly will in time appear, and show itself armed for the deliverance of the poor from their affliction, and for the punishment of their despisers, who now exult in such perfect security” (= ... karena sekalipun engkau sekarang menolak / menentang kami dan jauh dari kami, dan bahkan marah terhadap kami, kami tidak putus asa untuk mendapatkan kembali perkenanmu, asal saja engkau mau membaca satu kali dengan ketenangan dan kesabaran pengakuan kami ini, yang kami maksudkan sebagai pembelaan kami terhadap yang Mulia. Tetapi, sebaliknya, kalau telingamu begitu dipenuhi dengan bisikan-bisikan dari orang-orang pendengki, sehingga tidak memberi kesempatan kepada orang-orang yang dituduh untuk berbicara bagi diri mereka sendiri, dan jika kemurkaan yang melampaui batas itu, dengan kerja samamu secara diam-diam, terus menganiaya dengan pemenjaraan, pencambukan / penyesahan, penyiksaan, penyitaan, dan nyala api, kami memang akan seperti domba yang ditetapkan untuk dibantai, dikurangi / dimusnahkan sampai tingkat terendah. Tetapi kami akan hidup dengan sabar, dan menunggu tangan yang kuat / hebat dari Tuhan, yang tanpa diragukan akan muncul pada saatnya, dan menunjukkan dirinya dengan bersenjata untuk pembebasan orang-orang miskin dari penderitaannya, dan untuk penghukuman para penghinanya, yang sekarang bersukaria dalam keamanan yang begitu sempurna) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 334.

Calvin menyelesaikan buku ‘Institutes of the Christian Religion’ ini pada tahun 1536 pada waktu Calvin baru berusia 26-27 tahun! - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 328.

Buku ini direvisi berulang-ulang oleh Calvin. Edisi pertama hanya 6 bab, edisi kedua 17 bab, edisi ketiga 21 bab, dan dalam edisi keempat / terakhir (tahun 1559), buku ini berkembang menjadi 4-5 x lipat dari semula, dibagi menjadi 4 buku, dan setiap buku dibagi dalam bab-bab, dan setiap bab dibagi dalam bagian-bagian - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 334.

Beberapa minggu setelah buku ini diterbitkan, Bucer menulis surat kepada Calvin: “It is evident that the Lord has elected you as his organ for the bestowment of the richest fulness of blessing to his Church” (= Adalah jelas bahwa Tuhan telah memilih engkau sebagai alatNya untuk memberikan kepenuhan berkat yang terkaya kepada GerejaNya) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 329.

Dan Dr. Hase menyebut buku itu sebagai: “the grandest scientific justification of Augustinianism, full of religious depth with inexorable consistency of thought” (= pembenaran ilmiah yang paling agung / hebat dari Augustinianisme, penuh dengan hal-hal rohani yang mendalam dengan kekonsistenan pemikiran yang tidak dapat ditawar) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 329-330.

D) Calvin sebagai tokoh Reformasi di Geneva (Jenewa).

Bulan Juli 1536, Calvin tiba di Geneva.

Philip Schaff: “He intended to stop only a night, as he says, but Providence had decreed otherwise. It was the decisive hour of his life which turned the quiet scholar into an active reformer” (= Seperti katanya, ia bermaksud untuk berhenti hanya untuk satu malam, tetapi Providensia telah menetapkan sebaliknya. Itu merupakan saat yang menentukan dari hidupnya yang mengubah pelajar pendiam itu menjadi tokoh reformasi yang aktif) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 347.

Di Geneva ini Calvin bertemu dengan William Farel. Sebelum melanjutkan cerita tentang Calvin, ada baiknya kita mempelajari sedikit tentang orang yang bernama Farel ini.

William Farel:

1) Ia disebut sebagai ‘the pioneer of Protestantism in Western Switzerland’ (= perintis ajaran Protestan di Swiss Barat) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 237.

2) Ia adalah seorang penginjil keliling, selalu bergerak / bekerja tanpa henti-hentinya, seorang yang penuh dengan api / semangat dan keberanian, tetapi bukan seorang jenius seperti Luther atau Calvin. Dulunya ia adalah seorang Katolik yang sangat rajin dan bergairah, dan lalu menjadi seorang Protestan yang rajin dan bergairah.

3) Philip Schaff: “He was a born fighter; he came, not to bring peace, but the sword. ... He never used violence himself, except in language” (= Ia adalah seorang yang lahir sebagai seorang pejuang; ia datang, bukan untuk membawa damai, tetapi pedang. ... Ia sendiri tidak pernah menggunakan kekerasan, kecuali dalam bahasa / kata-kata) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 237.

4) Ia sampai di Geneva tahun 1532, dan dalam melakukan penginjilan terhadap orang Katolik, timbul keributan. Ia lalu dipanggil ke rumah Abbe de Beaumont, wakil pemimpin keuskupan. Seseorang lalu berkata / bertanya dengan nada menghina: “Come thou, filthy devil, are thou baptized? Who invited you hither? Who gave you authority to preach?” (= Datanglah, setan kotor, apakah engkau dibaptis? Siapa mengundang engkau ke sini? Siapa memberimu otoritas untuk berkhotbah?).

Farel menjawab: “I have been baptized in the name of the Father, the Son, and the Holy Ghost, and am not a devil. I go about preaching Christ, who died for our sins and rose for our justification. Whoever believes in him will be saved; unbelievers will be lost. I am sent by God as a messenger of Christ, and am bound to preach him to all who will hear me. I am ready to dispute with you, and to give an account of my faith and ministry. Elijah said to King Ahab, ‘It is thou, and not I, who disturbest Israel’. So I say, it is you and yours, who trouble the world by your traditions, your human inventions, and your dissolute lives” (= Aku telah dibaptis dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus, dan aku bukan setan. Aku berkeliling untuk mengkhotbahkan Kristus, yang mati untuk dosa-dosa kita dan bangkit untuk pembenaran kita. Barangsiapa percaya kepadaNya akan diselamatkan; orang tidak percaya akan terhilang. Aku diutus oleh Allah sebagai utusan Kristus, dan harus mengkhotbahkan Dia kepada semua yang mau mendengarku. Aku siap untuk berdebat dengan engkau, dan mempertanggungjawabkan iman dan pelayananku. Elia berkata kepada raja Ahab, ‘Adalah kamu, dan bukan aku, yang mengganggu Israel’. Demikia juga aku berkata, adalah kamu dan milikmu, yang menyusahkan dunia dengan tradisimu, penemuan-penemuan manusiamu, dan hidupmu yang tidak dikekang).

Para pastor tidak berkeinginan berdebat dengan Farel, karena tahu bahwa mereka akan kalah. Tetapi seorang berkata: “He has blasphemed; we need no further evidence; he deserves to die” (= Ia telah menghujat; kita tidak membutuhkan lebih banyak bukti; ia layak mati).

Farel menjawab: “Speak the words of God, and not of Caiaphas” (= Ucapkanlah firman / kata-kata Allah, dan bukan kata-kata Kayafas). Bdk. Mat 26:65-66.

Ini menyebabkan ia dipukuli dan bahkan ditembak - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 243-244.

5) Philip Schaff: “Oecolampadius praised his zeal, but besought him to be also moderate and gentle. ‘Your mission,’ he wrote to him, ‘is to evangelize, not a tyrannical legislator. Men want to be led, not driven’” (= Oecolampadius memuji semangatnya, tetapi memintanya untuk juga menjadi lunak dan lembut. ‘Misimu,’ ia menulis kepadanya, ‘adalah untuk menginjili, bukan menjadi pemerintah yang bersifat tirani. Manusia ingin dipimpin, bukan dipaksa / didorong’) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 238.

6) Philip Schaff: “Farel’s work was destructive rather than constructive. He could pull down, but not build up. He was a conqueror, but not an organizer of his conquests; a man of action, not a man of letters; an intrepid preacher, not a theologian. He felt his defects, and handed his work over to the mighty genius of his younger friend Calvin” (= Pekerjaan Farel lebih bersifat merusak dari pada membangun. Ia bisa merobohkan, tetapi tidak bisa membangun. Ia adalah seorang pemenang / penakluk, tetapi bukan seorang yang bisa mengorganisir orang yang ditaklukkannya; orang yang banyak bekerja, bukan yang banyak belajar / berpikir; seorang pengkhotbah yang berani, bukan seorang ahli theologia. Ia merasakan kekurangan-kekurangannya, dan menyerahkan pekerjaannya kepada temannya yang lebih muda, yang sangat jenius, yaitu Calvin) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 239.

Dalam pertemuan Calvin dengan Farel, secara naluri Farel merasakan bahwa Calvin memang disediakan Allah untuk meneruskan dan menyelamatkan reformasi di Geneva.
Mula-mula Calvin menolak permintaan Farel untuk menetap di Geneva, dengan alasan bahwa ia masih muda, ia masih perlu belajar, dan juga rasa takut dan malunya yang alamiah yang menyebabkan ia tidak cocok untuk melayani banyak orang. Tetapi semua alasan ini sia-sia. Philip Schaff mengatakan:
“Farel, ‘who burned of a marvelous zeal to advance the Gospel,’ threatened him with the curse of Almighty God if he preferred his studies to the work of the Lord, and of his own interest to the cause of Christ. Calvin was terrified and shaken by these words of the fearless evangelist, and felt ‘as if God from on high had stretched out his hand’. He submitted, and accepted the call to the ministry, as teacher and pastor of the evangelical Church of Geneva” (= Farel, ‘yang berapi-api dengan semangat yang mengagumkan terhadap kemajuan Injil,’ mengancamnya dengan kutuk dari Allah yang mahakuasa kalau ia mengutamakan pelajarannya lebih dari pekerjaan Tuhan dan kesenangannya sendiri lebih dari aktivitas / gerakan Kristus. Calvin sangat ketakutan dan gemetar karena kata-kata dari penginjil yang tak kenal takut ini, dan merasa ‘seakan-akan Allah dari atas mengulurkan tanganNya’. Ia tunduk / menyerah, dan menerima panggilan pelayanan, sebagai guru dan pendeta dari gereja injili di Geneva) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 348.

Dr. W. F. Dankbaar menceritakan hal ini sebagai berikut:
“Calvin menampik dan berkata, bahwa bukan itu rencananya. Ia ingin belajar lebih banyak lagi dan ia mau menulis. Untuk pekerjaan praktis, ia merasa diri tidak sanggup. Lebih dulu ia harus memperdalam ilmunya. Yang perlu baginya ialah: ketenangan hidup dan pikiran. Lalu ia meminta: ‘Kasihanilah saya dan biarkanlah saya mengabdikan diri saya kepada Tuhan dengan cara lain’. Tiba-tiba meloncatlah Farel. Dibekuknya bahu Calvin lalu berteriak dengan suara yang gemuruh: ‘Hanya ketenanganmu yang saudara pentingkan? Kalau begitu, saya atas nama Allah yang Mahakuasa menyatakan di sini: kehendakmu untuk belajar adalah alasan yang dibuat-buat. Jika saudara menolak menyerahkan diri saudara untuk bekerja dengan kami - Allah akan mengutuk saudara, sebab saudara mencari diri sendiri, bukan mencari Kristus!’. Calvin gemetar. Ini bukan Farel lagi yang bicara, ini adalah suara Tuhan. ‘Saya merasa disergap, tidak hanya karena permintaan dan nasehat, melainkan karena dalam kata-kata Farel yang sangat mengancam itu seolah-olah Allah dari surga meletakkan tanganNya dengan paksa di atasku’. Terlalu besar kuasa itu rasanya, lalu iapun menyerah” - ‘Calvin, Jalan Hidup dan Karyanya’, hal 41-42.

Dalam pelayanan Calvin di Geneva itu, mula-mula pelayanan Calvin diterima dengan baik. Tetapi melihat kehidupan moral orang Geneva yang jelek, maka Calvin menulis ‘a popular Catechism’, dan Farel, dengan bantuan Calvin, menulis ‘a Confession of Faith and Discipline’. Buku yang kedua ini mencakup pentingnya pendisiplinan dan pengucilan / siasat gerejani. Kedua buku ini diterima oleh sidang gereja Geneva pada bulan November 1536.

Sekalipun mula-mula orang-orang Geneva menerima dan tunduk pada kedua buku itu, tetapi karena disiplin itu mereka anggap terlalu keras, akhirnya mereka menentangnya. Ini menyebabkan Calvin dan Farel diusir dari Geneva pada tahun 1538.

Sepeninggal Calvin dan Farel, Geneva justru menjadi kacau balau, sehingga akhirnya Geneva memanggil Calvin, yang pada waktu itu menetap di Strassburg, untuk kembali. Pada mulanya, selain Strassburg tidak ingin kehilangan Calvin, Calvin sendiri sama sekali tidak ingin kembali.

Philip Schaff: “‘There is no place in the world,’ he wrote to Viret, ‘which I fear more; not because I hate it, but because I feel unequal to the difficulties which await me there’. He called it an abyss from which he shrank back much more now than he had done in 1536” (= ‘Tidak ada tempat di dunia,’ ia menulis kepada Viret, ‘yang lebih aku takuti; bukan karena aku membencinya, tetapi karena aku merasa tidak memadai terhadap kesukaran-kesukaran yang menungguku di sana’. Ia menyebutnya sebagai jurang yang sekarang lebih ia takuti / jauhi dari pada yang ia lakukan pada tahun 1536) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 429.

Tetapi Philip Schaff juga menambahkan: “At the same time, he was determined to obey the will of God as soon as it would be made clear to him by unmistakable indications of Providence. ‘When I remember,’ he wrote to Farel, ‘that in this matter I am not my own master, I present my heart as a sacrifice and offer it up to the Lord’” (= Pada saat yang sama, ia memutuskan untuk mentaati kehendak Allah begitu hal itu menjadi jelas baginya oleh petunjuk yang tak bisa salah dari Providensia. ‘Pada saat aku ingat,’ ia menulis kepada Farel, ‘bahwa dalam persoalan ini aku bukanlah tuan dari diriku sendiri, aku memberikan hatiku sebagai suatu korban dan mempersembahkannya kepada Tuhan’) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 429.

Farel juga mendesak Calvin untuk mau kembali ke Geneva.
Philip Schaff: “Farel’s aid was also solicited. With incomparable self-denial he pardoned the ingratitude of the Genevese in not recalling him, and made every exertion to secure the return of his younger friend, whom he had first compelled by moral force to stop at Geneva. He bombarded him with letters. He even travelled from Neuchatel to Strassburg, and spent two days there, pressing him in person and trying to persuade him, ...” (= Bantuan Farel juga diminta. Dengan penyangkalan diri yang tidak ada bandingannya ia mengampuni rasa tak tahu berterima kasih dari orang-orang Geneva yang tidak memanggilnya kembali, dan membuat setiap usaha untuk mengembalikan temannya yang lebih muda, yang mula-mula ia paksa untuk berhenti di Geneva. Ia membombardir Calvin dengan surat. Ia bahkan melakukan perjalanan dari Neuchatel ke Strassburg, dan melewatkan dua hari di sana, menekannya secara pribadi dan mencoba untuk membujuknya, ...) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 431.

Catatan: tadinya Calvin dan Farel sama-sama melayani di Geneva, dan lalu keduanya diusir. Tetapi hanya Calvin yang dipanggil kembali oleh orang-orang Geneva, sedangkan Farel tidak.

Philip Schaff: “Farel continued to thunder, and reproached the Strassburgers for keeping Calvin back. He was indignant at Calvin’s delay. ‘Will you wait,’ he wrote him, ‘till the stones call thee?’” (= Farel terus mengguntur, dan mencela orang-orang Strassburg karena menahan Calvin. Ia jengkel karena penundaan Calvin. ‘Apakah kamu kamu menunggu,’ tulisnya kepada Calvin, ‘sampai batu-batu memanggilmu?’) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 429.

Akhirnya, pada tanggal 13 September 1541, Calvin kembali ke Geneva, dan pada tanggal 16 September 1541, ia menulis surat kepada Farel:

“Thy wish is granted, I am held fast here. May God give his blessing” (= Keinginanmu dikabulkan, sekarang aku terikat di sini. Kiranya Allah memberikan berkatNya) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 437.

Philip Schaff berkata: “Never was a man more loudly called by government and people, never did a man more reluctantly accept the call, never did a man more faithfully and effectively fulfil the duties of the call than John Calvin when, in obedience to the voive of God, he settled a second time at Geneva to live and to die at this post of duty” (= Tidak pernah ada orang yang dipanggil lebih keras oleh pemerintah dan masyarakat, tidak pernah ada orang yang menerima panggilan dengan begitu segan, tidak pernah ada orang yang memenuhi tugas panggilan dengan lebih setia dan effektif dari pada John Calvin, pada waktu, dalam ketaatan pada suara Allah, ia tinggal / menetap untuk keduakalinya di Geneva untuk hidup dan mati di tempat tugasnya ini) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 437.

Tentang Calvin sebagai seorang Reformator, Philip Schaff berkata:

a) “Revolution is followed by reconstruction and consolidation. For this task Calvin was providentially foreordained and equipped by genius, education, and circumstances” (= Revolusi disusul oleh rekonstruksi / pembangunan kembali dan konsolidasi / penguatan. Untuk tugas ini Calvin ditetapkan dan dilengkapi dengan kegeniusan, pendidikan, dan sikon) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 257.

b) “They (Luther and Zwingli) cut the stones in the quarries, he (Calvin) polished them in the workshop. They produced the new ideas, he constructed them into a system. His was the work of Apollos rather than of Paul: to water rather than to plant, God giving the increase” [= Mereka (Luther dan Zwingli) memotong batu dalam tambang, ia (Calvin) memolesnya di bengkel / ruang kerja. Mereka membuat gagasan-gagasan baru, ia menyusunnya ke dalam suatu sistim. Pekerjaannya adalah seperti pekerjaan Apolos, bukan seperti pekerjaan Paulus: menyirami bukannya menanam, Allah yang memberikan pertumbuhan] - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 258.

E) Karya tulis Calvin.

Philip Schaff: “The literary activity of Calvin, whether we look at the number or at the importance of works, is not surpassed by any ecclesiastical writer, ancient or modern, and excites double astonishment when we take into consideration the shortness of his life, the frailty of his health, and the multiplicity of his other labors as a teacher, preacher, church ruler, and correspondent” (= Aktivitas menulis dari Calvin, apakah kita melihat pada jumlahnya ataupun pentingnya, tidak dilampaui oleh penulis gereja yang manapun, baik yang kuno maupun yang modern, dan lebih menimbulkan keheranan kalau kita mengingat akan pendeknya hidupnya, kelemahan kesehatannya, dan banyaknya pekerjaannya sebagai guru, pengkhotbah, pemimpin gereja, dan dalam surat-menyurat) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 267.

Karya tulis Calvin antara lain:

1) Pembahasan Kitab Suci secara exegesis.
Ia menulis penafsiran secara exegesis dari:
a) Seluruh Perjanjian Lama kecuali Hakim-hakim - Ayub, Amsal - Kidung Agung.
b) Seluruh Perjanjian Baru kecuali 2 Yoh, 3 Yoh dan Wahyu.
Selain itu, juga ada khotbah-khotbah (bukan buku tafsiran) tentang 2 Samuel dan Ayub.

Philip Schaff: “Calvin was an exegetical genius of the first order. His commentaries are unsurpassed for originality, depth, perspicuity, soundness, and permanent value. ... If Luther was the king of translators, Calvin was the king of commentators” [= Calvin adalah seorang jenius kelas satu dalam hal exegesis. Buku tafsirannya tidak bisa dilampaui dalam hal keorisinilan, kedalaman, kejelasan, kesehatan (maksudnya ajarannya sehat), dan nilai yang menetap. ... Jika Luther adalah raja penterjemah, Calvin adalah raja penafsir] - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 524.

2) Tulisan doktrinal.
a) Tulisan doktrinal yang terpenting adalah ‘Institutes of the Christian Religion’.
b) 3 buah Chatechisms (= katekisasi).
c) Tentang Perjamuan Kudus.
d) The Galican Confession (Pengakuan Iman).

3) Yang bersifat Polemic dan Apologetics.

a) Menentang Gereja Roma Katolik.
1. Jawaban terhadap Kardinal Sadoletus.
2. Tentang Free will / kehendak bebas.
3. Tentang pemujaan Relics.
4. Menentang Faculty of the Sorbonne.
5. Tentang perlunya Reformasi.
6. Menentang Council of Trent.

Philip Schaff: “Roman Catholics feared Calvin as their most dangerous enemy” (= Roma Katolik takut kepada Calvin sebagai musuh mereka yang paling berbahaya) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 267.

b) Menentang Anabaptists.
1. Tentang doktrin ‘Sleep of the soul’ (Psychopannychy).
2. Instruksi menentang kesalahan-kesalahan dari sekte Anabaptis.

c) Menentang Libertines.
Ini orang-orang yang hidup bebas, karena mereka membuang semua hukum yang mengekang mereka.

d) Menentang Anti-Trinitarian.
Ini menjawab ajaran sesat yang dikeluarkan oleh Servetus.

e) Pembelaan terhadap doktrin Predestination.
Ini menjawab ajaran sesat yang dikeluarkan oleh Bolsec dan Castellio.
Philip Schaff menyebutkan Bolsec dan Audin sebagai 2 pemfitnah Calvin. Bolsec bahkan menulis buku tentang kehidupan Calvin yang memfitnah Calvin habis-habisan (‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 271, 302-303).

f) Pembelaan terhadap doktrin Perjamuan Kudus.
Ini menjawab serangan dari seorang Lutheran yang fanatik yang bernama Joachim Westphal.

Calvin tidak bisa diam melihat adanya ajaran sesat atau serangan yang ditujukan kepada ajaran yang benar. Karena itu dalam hidupnya ia banyak melakukan serangan terhadap ajaran-ajaran sesat dan pembelaan terhadap ajaran yang benar. Tentang hal ini ia berkata:

“‘Even a dog barks,’ he wrote to the queen of Navarre, ‘when his master is attacked; how could I be silent when the honor of my Lord is assailed?’” (= ‘Bahkan seekor anjing menggonggong,’ tulisnya kepada ratu Navarre, ‘jika tuannya diserang; bagaimana aku bisa diam pada saat kehormatan Tuhanku diserang?’) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 594.

Mungkin sikap ini yang menyebabkan ia dicintai oleh banyak orang dan sekaligus juga dibenci oleh banyak orang.

Philip Schaff: “No name in church history - not even Hildebrand’s or Luther’s or Loyola’s - has been so much loved and hated, admired and abhorred, praised and blamed, blessed and cursed, as that of John Calvin” (= Tidak ada nama dalam sejarah gereja - bahkan tidak nama Hildebrand atau Luther atau Loyola - yang begitu dicintai dan dibenci, dikagumi dan dianggap menjijikkan, dipuji dan disalahkan, diberkati dan dikutuk, seperti nama John Calvin) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 270.
Catatan: Hildebrand adalah nama salah seorang Paus, dan Loyola adalah pendiri dari golongan Jesuit, suatu Ordo dalam Roma Katolik.

4) Surat-surat:
Ini bukan main banyaknya, mencapai 10 volume.

5) Dan lain-lain.

Catatan: Tetang karya tulis Calvin yang lebih lengkap bisa saudara lihat dalam buku Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 268-270.

Kalau pada jaman sekarang karya tulis Calvin luar biasa larisnya, maka tidaklah demikian pada waktu Calvin menulis bukunya yang pertama, yang membahas buku yang berjudul ‘De Clementia’.

Dr. W. F. Dankbaar berkata: “Pengalaman Calvin dengan buah karyanya pertama, serupa dengan apa yang dialami oleh kebanyakan penulis karya ilmiah lainnya; buku itu ternyata tidak laris lakunya. Ia sendiri mencetakkannya atas biaya sendiri dan kemudian dengan susah payah harus menjualnya di sana-sini. Rasa harga-dirinya menjadi tersintuh benar-benar karenanya” - ‘Calvin, Jalan Hidup dan Karyanya’, hal 17.

F) Theologia Calvin.

Theologia Calvin mengikuti theologia Agustinus.

Philip Schaff: “As to the doctrines of the fall, of total depravity, the slavery of the human will, the sovereignty of saving grace, the bishop of Hippo and the pastor of Geneva are essentialy agreed; the former has the merit of priority and originality; the latter is clearer, stronger, more logical and rigorous, and far superior as an exegete” (= Mengenai doktrin-doktrin tentang kejatuhan ke dalam dosa, tentang kebejatan total, perbudakan kehendak manusia, kedaulatan dari kasih karunia yang menyelamatkan, sang uskup Hippo dan sang pendeta Geneva pada dasarnya setuju / cocok; yang pertama mempunyai keunggulan dalam hal ada lebih dulu dan keorisinilan; yang terakhir lebih jelas, lebih kuat, lebih logis dan lebih keras, dan jauh lebih baik sebagai seorang pengexegesis) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 267.

G) Kesalehan Calvin.

Philip Schaff: “The better he is known, the more he is admired and esteemed. Those who judge of his character from his conduct in the case of Servetus, and of his theology from the ‘decretum horribile’, see the spots on the sun, but not the sun itself. Taking into account all his failings, he must be reckoned as one of the greatest and best men whom God raised up in the history of Christianity” (= Makin baik ia dikenal, makin ia dikagumi dan dihargai. Mereka yang menghakimi / menilai karakternya dari tindakannya dalam kasus Servetus, dan theologianya dari ‘ketetapan yang mengerikan’, melihat bercak pada matahari, bukan matahari itu sendiri. Mengingat akan semua kelemahan-kelemahannya, ia harus dianggap sebagai salah satu orang terbesar dan terbaik yang Allah bangkitkan dalam sejarah kekristenan) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 834.

Theodore Beza (1519-1605): “I have been a witness of Calvin’s life for sixteen years, and I think I am fully entitled to say that in this man there was exhibited to all a most beautiful example of the life and death of the Christian, which it will be as easy to calumniate as it will be difficult to emulate” (= Saya telah menjadi saksi kehidupan Calvin selama 16 tahun, dan saya pikir saya berhak untuk berkata bahwa dalam diri orang ini ditunjukkan kepada semua orang suatu teladan yang paling indah dari kehidupan dan kematian orang kristen, yang mudah difitnah tetapi sukar disamai atau dilebihi) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 272.

Philip Schaff: “His moral and religious character was grounded in the fear of God, which is ‘the beginning of wisdom’. Severe against others, he was most severe against himself” (= Karakter religius dan moral didasarkan pada takut akan Allah, yang adalah ‘pemulaan hikmat’. Ia keras terhadap orang-orang lain, tetapi ia paling keras terhadap dirinya sendiri) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 837.

Philip Schaff: “His constant and sole aim was the glory of God, and the reformation of the Church. In his eyes, God alone was great, man but a fleeting shadow. Man, he said, must be nothing, that God in Christ may be everything” (= Tujuannya yang tetap dan satu-satunya, adalah kemuliaan Allah, dan reformasi gereja. Dalam pandangannya, hanya Allahlah yang besar, manusia hanyalah bayangan yang berlalu. Manusia, katanya, haruslah menjadi nol, supaya Allah dalam Kristus bisa menjadi segala sesuatu) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 837.

Philip Schaff: “Riches and honors had no charms for him. He soared far above filthy lucre and worldly ambition. His only ambition was that pure and holy ambition to serve God to the best of his ability” (= Kekayaan dan kehormatan tidak mempunyai daya tarik baginya. Ia membubung tinggi di atas uang yang kotor dan ambisi duniawi. Satu-satunya ambisinya adalah ambisi yang suci dan murni untuk melayani Allah dengan sebaik-baiknya) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 838.

Philip Schaff: “When Pope Pius IV heard of his death he paid him this tribute: ‘The strength of that heretic consisted in this, - that money never had the slightest charm for him. If I had such servants, my dominions would extend from sea to sea’” (= Ketika Paus Pius IV mendengar tentang kematiannya ia memberikan penghormatan ini: ‘Kekuatan dari orang sesat ini adalah hal ini, - bahwa uang tidak pernah mempunyai daya tarik yang paling kecil sekalipun untuknya. Jika saya mempunyai pelayan-pelayan seperti itu, daerah kekuasaanku akan meluas dari laut ke laut’) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 839.

Satu hal lain yang juga menunjukkan kesalehan Calvin adalah pada waktu ia kembali ke Geneva untuk keduakalinya.

Dr. W. F. Dankbaar menceritakan sebagai berikut:
“... ketika Calvin berkhotbah pertama kali di gereja Saint Pierre. Banyak sekali hadirin berkumpul dan amat banyak pendengar-pendengar mengharap-harap khotbah yang sengaja akan melemparkan kata-kata keras kepada lawan. Tetapi mengherankan bagi semua hadirin, tidak ada terjadi yang demikian. Reformator membuka bagian Alkitab, dimana ia beberapa tahun yang lalu terpaksa berhenti. Dan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa, seperti biasa saja, ia menguraikan dan menerangkan bagian Alkitab itu dalam khotbahnya. Ini sungguh menunjukkan budi yang tinggi. ... Banyak di antara sahabat-sahabatnya menunggu dengan sia-sia sambil merasa kecewa, kapankah Calvin akan melakukan pembalasan terhadap lawan-lawannya. Pembalasan tidak ada sama sekali. Diliputi oleh rasa-perdamaian yang ikhlas ia memulai pekerjaannya kembali” - ‘Calvin, Jalan Hidup dan Karyanya’, hal 73.

H) Kesehatan dan aktivitas Calvin.

Calvin tidak mempunyai kesehatan yang baik, tetapi ia tetap bekerja dengan luar biasa hebatnya.

Philip Schaff: “Calvin combined the offices of theological professor, preacher, pastor, church ruler, superintendent of schools, with extra labors of equal, yea, greater, importance, as author, correspondent, and leader of the expanding movement of the Reformation in Western Europe” (= Calvin mengombinasikan jabatan-jabatan profesor theologia, pengkhotbah, pendeta, pemimpin / pemerintah gereja, inspektur sekolah, dengan kerja extra yang setara, bahkan yang lebih penting, sebagai pengarang, penulis surat, dan pemimpin dari gerakan Reformasi yang meluas di Eropa Barat) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 443-444.

Philip Schaff: “When unwell he dictated from his bed” (= Pada waktu sakit, ia mendikte dari ranjangnya) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 444.

Philip Schaff: “He had an amazing power for work notwithstanding his feeble health” (= Ia mempunyai kekuatan yang mengagumkan untuk bekerja sekalipun kesehatannya jelek) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 444.

Philip Schaff: “He allowed himself very little sleep, and for at least ten years he took but one meal a day, alleging his bad digestion” (= Ia mengijinkan dirinya sendiri tidur sangat sedikit, dan selama 10 tahun ia hanya makan sekali sehari, menyebabkan pencernaannya yang jelek) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 444.

Philip Schaff: “Luther and Zwingli were as indefatigable workers as Calvin, but they had an abundance of flesh and blood, and enjoyed better health” [= Luther dan Zwingli juga merupakan pekerja yang tak kenal lelah seperti Calvin, tetapi mereka mempunyai banyak daging dan darah (mungkin maksudnya: orangnya lebih besar), dan menikmati kesehatan yang lebih baik] - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 444.

Philip Schaff mengutip seorang ahli sejarah yang berkata:
“Of all men in the world Calvin is the one who most worked, wrote, acted, and prayed for the cause which he had embraced. The coexistence of the sovereignty of God and the freedom of man is assuredly a mystery; but Calvin never supposed that because God did all, he personally had nothing to do. He points out clearly the twofold action, that of God and that of man” (= Calvin adalah orang yang paling banyak bekerja, menulis, bertindak, dan berdoa untuk perkara / gerakan yang ia peluk / percayai. Keberadaan bersama-sama antara kedaulatan Allah dan kebebasan manusia jelas merupakan suatu misteri; tetapi Calvin tidak pernah beranggapan bahwa karena Allah melakukan semua, tidak ada hal yang harus ia lakukan. Ia menunjukkan dengan jelas tindakan ganda, tindakan Allah dan tindakan manusia) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 437.

I) Calvin dan Servetus.

Guy Duty, dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul ‘Keselamatan, bersyarat atau tanpa syarat?’, hal 24, berkata:
“Berbahaya sekali menentang Calvinisme pada waktu itu, seperti dialami oleh Servetus, seorang ahli theologia lain. Calvin dan rekan-rekannya di Jenewa membakarnya dengan terikat di tiang, sebagai seorang bidat”.

Kata-kata Guy Duty ini seakan-akan menunjukkan bahwa Servetus sekedar berbeda pendapat dengan Calvin, tetapi bukan bidat (Ini akan lebih jelas lagi kalau saudara baca kontex dimana ia meletakkan cerita ini, yaitu dalam pertentangan Calvinisme dan Arminianisme, Synod of Dort, dsb). Sekalipun demikian Servetus dihukum mati dengan cara yang begitu mengerikan, yaitu dengan dibakar. Ini adalah kata-kata yang sangat berbau fitnah! Untuk meluruskan ‘fitnahan Guy Duty’ ini mari kita mempelajari sedikit tentang Servetus, ajarannya, dan mengapa ia dihukum mati.

Servetus dilahirkan pada tahun 1509, yang juga merupakan tahun kelahiran Calvin.
Pada tahun 1531, ia menerbitkan buku yang berjudul ‘Errors on the Trinity’ [= kesalahan-kesalahan pada (doktrin) Tritunggal], dimana ia menyerang baik doktrin Allah Tritunggal, yang ia sebut sebagai monster berkepala tiga, maupun keilahian kekal dari Kristus. Ini menunjukkan bahwa Servetus bukanlah sekedar merupakan seorang kristen yang berbeda pendapat dengan Calvin. Sama sekali tidak! Sebaliknya, ia betul-betul adalah seorang bidat / sesat atau seorang nabi palsu!

Philip Schaff sendiri jelas menganggap bahwa Servetus adalah seorang bidat. Ini terlihat dari kata-kata Philip Schaff sebagai berikut:
“Servetus - theologian, philosopher, geographer, physician, scientist, and astrologer - was one of the most remarkable men in the history of heresy” (= Servetus - ahli theolgia, ahli filsafat, ahli ilmu bumi, dokter, ilmuwan, dan ahli nujum - adalah salah seorang yang paling hebat dalam sejarah bidat) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 786.

Buku ‘Errors on the Trinity’ ini menyebabkan Servetus dikecam oleh semua golongan, baik Protestan maupun Katolik.

Pada tahun 1534, pada waktu ia ada di Paris, ia menantang Calvin untuk berdebat. Tetapi pada waktu Calvin datang ke tempat yang dijanjikan, dengan resiko kehilangan nyawanya (ingat itu adalah saat terjadinya penganiayaan orang kristen di Paris), ternyata Servetus tidak datang ke tempat yang dijanjikan - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 324,688,720.

Theodore of Beza: “Calvin was disappointed in his expectations of meeting Servetus, who wanted courage to endure even the sight of his opponent” (= Calvin kecewa dalam pengharapannya untuk bertemu dengan Servetus, yang tidak mempunyai keberanian untuk bertahan bahkan pemandangan dari lawannya) - ‘The Life of Calvin’, hal 7.

20 tahun setelah itu, Calvin mengingatkan Servetus akan peristiwa ini:
“You know that at that time I was ready to do everything for you, and did not even count my life too dear that I might convert you from your errors” (= Kamu tahu bahwa pada waktu itu aku bersedia melakukan segala sesuatu untuk kamu, dan bahkan tidak menyayangkan nyawaku supaya aku bisa mempertobatkan kamu dari kesalahan-kesalahanmu) - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 324.

Setelah membatalkan pertemuan dengan Calvin itu, Servetus memulai perdebatan dengan Calvin melalui surat-surat, yang dilayani oleh Calvin, tetapi tanpa hasil. Selain menulis surat beberapa kali, Calvin juga mengirimkan bukunya ‘Institutes of the Christian Religion’, tetapi Servetus mengembalikannya dengan banyak serangan / keberatan terhadap ajaran-ajaran Calvin dalam buku itu.

Philip Schaff: “‘There is hardly a page,’ says Calvin, ‘that is not defiled by his vomit’” (= ‘Hampir tidak ada satu halamanpun,’ kata Calvin, ‘yang tidak ia kotori dengan muntahnya’) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 324.

Pada sekitar pertengahan Juli 1553, Servetus secara nekad, tiba di Geneva. Padahal ia baru saja lolos dari hukuman mati di Wina. Pada tanggal 13 Agustus 1553, ia ditangkap polisi atas nama sidang gereja, dan Calvin bertanggung jawab atas penangkapan ini - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 764-765.

Pada tanggal 26 Oktober 1553, sidang memutuskan hukuman mati untuk Servetus dengan jalan dibakar bersama dengan buku sesatnya. Sebetulnya Calvin ingin memperingan hukuman itu dengan menggunakan pemenggalan, bukan pembakaran, tetapi usul itu ditolak oleh Sidang.

Philip Schaff: “... the wish of Calvin to substitute the sword for the fire was overruled” (= ... keinginan Calvin untuk menggantikan api dengan pedang ditolak) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 781-782.

Pada pukul 7 pagi, tanggal 27 Oktober 1553, Farel dan Calvin masih mengunjungi Servetus dan berusaha mempertobatkannya, tetapi tidak ada hasilnya. Dan akhirnya, pada tengah hari tanggal 27 Oktober 1553, pada usia 44 tahun, Servetus dijatuhi hukuman mati dengan dibakar bersama bukunya, di Geneva.

Philip Schaff: “In the last moment he is heard to pray, in smoke and agony, with a loud voice: ‘Jesus Christ, thou Son of the eternal God, have mercy upon me!’. This was at once a confession of his faith and of his error. He could not be induced, says Farel, to confess that Christ was the eternal Son of God” (= Pada saat terakhir terdengar ia berdoa, dalam asap dan penderitaan yang hebat, dengan suara keras: ‘Yesus Kristus, engkau Anak dari Allah yang kekal, kasihanilah aku!’. Ini sekaligus merupakan pengakuan imannya dan kesalahannya. Ia tidak bisa dibujuk, kata Farel, untuk mengaku bahwa Kristus adalah Anak yang kekal dari Allah) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 785.

Beberapa hal yang perlu diketahui tentang penghukuman mati Servetus oleh Calvin:

1) Banyak orang menganggap hal ini sebagai suatu noda dalam kehidupan Calvin. Termasuk di dalamnya Philip Schaff yang berkata:
“... the dark chapter in the history of Calvin which has cast a gloom over his fair name, and exposed him, not unjustly, to the charge of intolerance and persecution, which he shares with his whole age” (= ... pasal yang gelap dalam sejarah Calvin yang melemparkan kesuraman terhadap nama baiknya, dan membuka dia, secara benar, terhadap tuduhan tidak bertoleransi dan penganiayaan, yang ia tanggung bersama-sama dengan seluruh jamannya) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 687.

2) Philip Schaff berkata bahwa sekalipun Perjanjian Lama memerintahkan hukuman mati terhadap penyesat / nabi palsu (Kel 22:20 Imamat 24:16 Ulangan 13:5-15 Ul 17:2-5), tetapi Perjanjian Baru memerintahkan pengucilan, bukan penghukuman mati - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 694-695.

3) Calvin memang sangat pemarah terhadap pengajar-pengajar sesat. Dan hal ini diakui sendiri oleh Calvin. Tetapi semua itu ditimbulkan oleh semangatnya yang berkobar-kobar untuk kebenaran dan kemurnian Gereja.
Philip Schaff berkata:

· “Calvin was, as he himself confessed, not free from impatience, passion, and anger, which were increased by his physical infirmities; but he was influenced by an honest zeal for the purity of the Church, and not by personal malice” (= Calvin, seperti yang diakuinya sendiri, tidaklah bebas dari ketidaksabaran, nafsu dan kemarahan, yang diperhebat oleh kelemahan fisiknya; tetapi ia dipengaruhi oleh semangat yang jujur untuk kemurnian Gereja, dan bukan oleh kebencian / kedengkian pribadi) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 493.

· “His intolerance sprang from the intensity of his convictions and his zeal for the truth” (= Ketidak-adaan toleransinya timbul dari intensitas keyakinannya dan semangatnya untuk kebenaran) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 839.

4) Satu hal terpenting yang tidak diceritakan oleh Guy Duty adalah bahwa pada jaman itu, penghukuman mati seperti itu adalah sesuatu yang wajar! Dengan tidak menceritakan hal ini, Guy Duty sudah memfitnah Calvin dengan cara menceritakan setengah / sebagian kebenaran (half truth)!

Philip Schaff: “He must be judged by the standard of his own, and not of our, age. The most cruel of those laws - against witchcraft, heresy, and blasphemy - were inherited from the Catholic Middle Ages, and continued in force in all countries of Europe, Protestant as well as Roman Catholic, down to the end of the seventeenth century. Tolerance is a modern virtue” [= Ia (Calvin) harus dinilai oleh standard jamannya sendiri, bukan standard jaman kita. Hukum-hukum yang paling kejam, yang menentang sihir, ajaran sesat dan penghujatan, diwarisi dari Katolik abad pertengahan, dan tetap berlaku di semua negara-negara Eropa, baik yang Protestan maupun yang Katolik, terus sampai akhir abad ke 17. Toleransi adalah kebajikan / sifat baik modern] - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 493-494.

Bandingkan dengan kata-kata Yesus, Yohanes Pembaptis, Paulus, Petrus dan Yohanes dalam Markus 7:19 Matius 3:7 Matius 15:26 Mat 23:33 Filipi 3:2 Wahyu 22:15 2Petrus 2:22, yang kalau diucapkan pada jaman ini tentu juga dianggap tidak etis / tidak benar!

Philip Schaff: “The judgment of historians on these remarkable men has undergone a great change. Calvin’s course in the tragedy of Servetus was fully approved by the best men in the sixteenth and seventeenth centuries. It is as fully condemned in the nineteenth century” (= Penghakiman dari ahli-ahli sejarah terhadap orang-orang hebat ini mengalami perubahan yang besar. Jalan Calvin dalam tragedi Servetus disetujui sepenuhnya oleh orang-orang yang terbaik dalam abad ke 16 dan ke 17. Tetapi hal itu dikecam sepenuhnya dalam abad ke 19) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 689.

Philip Schaff: “... if we consider Calvin’s course in the light of the sixteenth century, we must come to the conclusion that he acted his part from a strict sense of duty and in harmony with the public law and dominant sentiment of his age, which justified the death penalty for heresy and blasphemy, and abhorred toleration as involving indifference to truth. Even Servetus admitted the principle under which he suffered; for he said, that incorrigible obstinacy and malice deserved death before God and men” (= ... jika kita merenungkan jalan Calvin dalam terang dari abad ke 16, kita pasti sampai pada kesimpulan bahwa ia bertindak dari rasa kewajiban / tanggung jawab yang ketat dan sesuai dengan hukum rakyat / umum dan perasaan yang dominan pada jamannya, yang membenarkan hukuman mati untuk orang sesat dan penghujat, dan tidak menyukai toleransi dan menganggapnya sebagai ketidakpedulian pada kebenaran. Bahkan Servetus sendiri mengakui prinsip dibawah mana ia menderita; karena ia berkata bahwa sikap keras kepala dan kejahatan yang tidak dapat diperbaiki, layak mendapatkan kematian di hadapan Allah dan manusia) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 690.

J) Akhir hidup dan kematian Calvin.

Philip Schaff: “Calvin had labored in Geneva twenty-three years after his second arrival, - that is, from September, 1541, till May 27, 1564, - when he was called to his rest in the prime of manhood and usefulness, ...” (= Calvin bekerja 23 tahun di Geneva setelah kedatangannya yang kedua, - yaitu mulai September 1541 sampai 27 Mei 1564, - pada waktu ia dipanggil kepada peristirahatannya pada puncak kemanusiaan dan kegunaannya) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 820.

Philip Schaff: “He continued his labors till the last year, writing, preaching, lecturing, attending the sessions of the Consistory and the Venerable Company of pastors, entertaining and counselling strangers from all parts of the Protestant world, and corresponding in every direction. He did all this notwithstanding his accumulating physical maladies, as headaches, asthma, dyspepsia, fever, gravel, and gout, which wore out his delicate body, but could not break his mighty spirit. When he was unable to walk he had himself transported to church in a chair” (= Ia meneruskan pekerjaannya sampai tahun terakhir, menulis, berkhotbah, mengajar, menghadiri sidang gereja dan kumpulan pendeta terhormat, menghibur dan menasehati orang-orang asing dari seluruh penjuru dunia Protestan, dan surat-menyurat dalam semua arah. Ia melakukan semua ini sekalipun penyakit-penyakit fisiknya bertumpuk-tumpuk, seperti sakit kepala, asma, pencernaan yang terganggu, demam, batu ginjal, dan sakit dan bengkak pada kaki dan tangan, yang melelahkan tubuhnya yang lemah, tetapi tidak bisa menghancurkan rohnya / semangatnya yang kuat. Pada waktu ia tidak bisa berjalan, ia menyuruh orang mengangkatnya ke gereja di sebuah kursi) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 820.

Pada tanggal 11 Mei 1564 Calvin menulis surat kepada Farel dan berkata:
“I draw my breath with difficulty, and am daily waiting till I altogether cease to breathe” (= Aku menarik nafas dengan sukar, dan setiap hari aku menunggu sampai aku berhenti bernafas sama sekali) - Theodore Beza, ‘Calvin’s Selected Works’, vol I, hal xciv.

Calvin mati karena asma pada tanggal 27 Mei 1564, di Geneva, pada usia hampir 56 tahun - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 274.

Philip Schaff: “Farel, then in his eightieth year, came all the way from Neuchatel to bid him farewell, although Calvin had written to him not to put himself to that trouble. He desired to die in his place. Ten days after Calvin’s death, he wrote to Fabri (June 6, 1564): ‘Oh, why was not I taken away in his place, while he might have been spared for many years of health to the service of the Church of our Lord Jesus Christ!’” [= Farel, yang saat itu berusia 80 tahun, datang dari Neuchatel untuk mengucapkan selamat jalan, sekalipun Calvin telah menulis kepadanya untuk tidak melakukan hal itu. Ia ingin mati menggantikan Calvin. 10 hari setelah kematian Calvin, ia menulis kepada Fabri (6 Juni 1564): ‘O, mengapa bukan aku yang diambil sebagai ganti dia, sementara ia bisa tetap hidup sehat untuk waktu yang lama untuk melayani Gereja Tuhan Yesus Kristus’] - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 82

K) James Arminius (1560-1609) dan Calvinisme.

James Arminius lahir pada tahun 1560. Jadi pada waktu Calvin mati pada tahun 1564, ia baru berusia sekitar 4 tahun. Karena itu jelas bahwa ia tidak pernah berkonfrontasi langsung dengan Calvin sendiri. Tetapi ia berkonfrontasi dengan Calvinisme.
James Arminius adalah seorang ahli theologia Belanda, dan karena itu Arminianisme mula-mula muncul di Belanda, pada awal abad 17.

A. H. Strong berkata sebagai berikut tentang Arminius:
“Arminius (1560-1609), professor in the University of Leyden, in South Holland, while formally accepting the doctrine of the Adamic unity of the race propounded both by Luther and Calvin, gave a very different interpretation to it - an interpretation which verged toward Semi-Pelagianism and the anthropology of the Greek Church” [= Arminius (1560-1609), profesor di Universitas Leyden di Belanda Selatan, sekalipun secara formal menerima doktrin kesatuan Adam dari umat manusia yang diajukan oleh Luther dan Calvin, memberi suatu penafsiran yang sangat berbeda terhadapnya - suatu penafsiran yang berbatasan / sangat dekat dengan Semi-Pelagianisme dan doktrin manusia dari Gereja Yunani] - ‘Systematic Theology’, hal 601.

A. H. Strong juga memberikan pandangan Arminian sebagai berikut:
“... God bestows upon each individual from the first dawn of consciousness a special influence of the Holy Spirit, which is sufficient to counteract the effect of the inherited depravity and to make obedience possible, provided the human will cooperates, which it still has power to do” (= ... Allah memberikan kepada setiap individu dari saat pertama adanya kesadaran suatu pengaruh istimewa dari Roh Kudus, yang cukup untuk menetralkan akibat dari kebejatan warisan dan membuat ketaatan itu mungkin, asalkan kehendak manusia itu mau bekerja sama, dan manusia masih mempunyai kekuatan untuk melakukan hal ini) - ‘Systematic Theology’, hal 601.

Catatan:
Melihat kepercayaan Arminian seperti yang dikatakan oleh A. H. Strong ini, saya lebih condong untuk berpendapat bahwa Arminianism bukan termasuk pada Semi-Pelagianism tetapi pada Semi-Augustinianism. Tetapi para ahli Theologia memang sering mencampuradukkan Semi-Augustinianism dengan Semi-Pelagianism.

  Pelagianism                          Semi-Pelagianism / Semi-Augustinianism             Augustinianism



                                                                                                                                Arminianism                                                                                                           Calvinism


Catatan: Sepanjang yang saya ketahui tidak ada golongan kristen jaman sekarang yang menganut ajaran Pelagianism, yang memang jelas-jelas sesat.

Pertentangan Calvinisme dan Arminianisme ini akhirnya menyebabkan terjadinya Synod of Dort pada tahun 1618-1619. Arminius sendiri mati sebelum Synod of Dort itu dimulai, yaitu pada tahun 1609, sehingga pada Synod of Dort itu pengikut-pengikut Arminiuslah yang dipanggil.

Guy Duty lagi-lagi memberikan fitnahan yang tidak berdasar pada waktu ia menceritakan Synod of Dort itu (diterjemahkan ‘Dewan Dort’) sebagai berikut:
“Orang-orang Arminian dipanggil menghadap Dewan dan diberi waktu untuk berbicara. Tetapi Dewan yang sudah mempunyai kecenderungan berprasangka mengambil keputusan yang berdasarkan kesimpulan yang dulu-dulu juga. Prasangka lama dan rasa cemburu dikipasi terus sampai menjadi nyala api yang panas. Doktrin Arminianisme tentang Predestinasi bersyarat diperiksa dan disalahkan” - ‘Keselamatan, bersyarat atau tanpa syarat?’, hal 23.

Guy Duty melanjutkan fitnahannya dengan berkata:
“Dewan Dort tidak menyelesaikan apa-apa dalam hal perselisihan yang telah berlangsung selama 1300 tahun ini, ... Banyak hal dalam sejarah ini merupakan suatu catatan sedih tentang persekongkolan yang keji, politik kekuasaan, permainan kata, dan penghindaran dari fakta-fakta. Para Calvinis di Dort tidak menjawab kesukaran-kesukaran dan keberatan-keberatan yang berada seputar doktrin-doktrin mereka. Demikian juga halnya dengan para Calvinis sekarang” - ‘Keselamatan, bersyarat atau tanpa syarat?’, hal 24.

Synod of Dort itu akhirnya mengecam Arminianisme dan mendukung Calvinisme dengan 5 points Calvinismenya (TULIP).

Sekarang mari kita melihat bagaimana pandangan James Arminius tentang Calvin dan ajarannya / buku-bukunya. Sekalipun James Arminius tidak setuju dengan Calvin dalam hal-hal tertentu, tetapi ia tetap sangat menghormati Calvin dan ajarannya, dan bahkan menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk membaca buku-buku tafsiran Calvin dan buku ‘Institutes of the Christian Religion’. Ia berkata:

“Next to the study of Scripture which I earnestly inculcate, I exhort my pupils to peruse Calvin’s Commentaries, which I extol in loftier terms than Helmich himself (a Dutch divine, 1551-1608); for I affirm that he excels beyond comparison (incomparabilem esse) in the interpretation of Scripture, and that his commentaries ought to be more highly valued than all that is handed down to us by the library of the fathers; so that I acknowledge him to have possessed above most others, or rather above all other men, what may be called an eminent spirit of prophecy (spiritum aliquem prophetic eximium). His Institutes ought to be studied after the (Heidelberg) Catechism, as containing a fuller explanation, but with discrimination (cum delectu), like the writings of all men” [= Disamping belajar Kitab Suci yang dengan sungguh-sungguh aku tanamkan, aku mendesak murid-muridku untuk membaca dengan teliti buku-buku tafsiran Calvin, yang aku puji dengan istilah-istilah yang lebih tinggi / mulia dari pada Helmich sendiri (seorang ahli theologia Belanda, 1551-1608); karena aku menegaskan bahwa ia jauh melebihi orang lain dalam penafsiran Kitab Suci, dan bahwa buku-buku tafsirannya harus dinilai lebih tinggi dari pada semua perpustakaan bapa-bapa gereja yang diwariskan kepada kita; sehingga aku mengakui bahwa ia mempunyai, lebih dari kebanyakan orang lain, atau lebih tepat lebih dari semua manusia lain, apa yang disebut roh nubuat yang ulung. Buku ‘Institutes’nya harus dipelajari setelah Katekisasi (Heidelberg), karena berisikan penjelasan yang lebih penuh, tetapi dengan diskriminasi, seperti tulisan dari semua orang] - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 280.

Bandingkan sikap James Arminius terhadap Calvin dan ajarannya ini dengan sikap para pengikutnya, seperti Pdt. dr. Jusuf B. S. (dari Gereja Bukit Zaitun) dan Guy Duty, terhadap Calvin dan ajarannya!

1) Bahwa Pdt. dr. Jusuf B. S. memang merendahkan sekali Calvin dan ajarannya terlihat dari bukunya yang berjudul ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, dimana:

a) Ia mengganti Acrostic TULIP menjadi LIPAS (hal 23).

Total Depravity.                                                     ®                   Lemah total.
Unconditional Election.              ®                   Ikatan Takdir.
Limited Atonement.                                               ®                   Penebusan terbatas.
Irresistible Grace.                                                  ®                   Anugerah Allah.
Perseverance of the Saints®    Selamat.

b) Ia menyebut Calvinisme sebagai “Teori-teori manusiawi yang memojokkan Allah menjadi pembohong” dan menganggap Calvinisme memutarbalikkan kebenaran (hal 25).

c) Ia berkata “Bukankah ini teori yang ditunggangi iblis??” (hal 32).

d) Ia berkata “Teori ini (Calvinisme) seperti candu, merusak habis-habisan sampai binasa dan orangnya tidak merasa, tahu-tahu sesudah mati berada di Neraka” (hal 34).

Bahkan dalam satu makalahnya Pdt. dr. Jusuf B. S. pernah mengatakan bahwa ajaran Calvinisme itu adalah racun.

Lebih hebat lagi, dalam buku ‘Diktat PD’ yang diterbitkan oleh Gereja Bukit Zaitun (yang rupa-rupanya juga ditulis oleh Pdt. dr. Jusuf B. S.), dikatakan bahwa Calvinisme adalah “Pelajaran keselamatan dari Injil yang lain Gal 1:7” (hal 6).

Istilah ‘Injil yang lain’ dengan referensi ayat dari Gal 1:7 jelas menunjukkan bahwa itu berarti ‘ajaran sesat’, karena dalam Gal 1:8-9 Paulus lalu mengatakan terkutuklah orang yang mengajarkan Injil yang lain itu.

Tetapi anehnya, dalam bagian Pendahuluan dari buku ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, ia berkata: “ini (Calvinisme) belum termasuk hal-hal yang sesat” (hal 7). Siapa yang bisa mengerti kontradiksi seperti ini?

2) Bahwa Guy Duty memang sangat merendahkan Calvin dan ajarannya (juga Augustine dan ajarannya), terlihat dalam bukunya yang berjudul ‘Keselamatan, bersyarat atau tanpa syarat?’ dimana ia berkata:

a) “Barangkali Agustinus dan Calvin tidak sepenuhnya bermaksud seperti apa yang dituduhkan oleh lawan-lawan mereka dalam hal predestinasi ini, tetapi pengajaran-pengajaran mereka sedemikian kabur dan saling bertentangan satu sama lain, sehingga mungkin tidak seorangpun yang dapat disalahkan jika ia bingung akan apa yang diartikan oleh mereka” (hal 21).

b) “Kelihatannya aneh bahwa Calvin, seorang pelajar dalam bidang hukum, tidak dapat melihat ‘banyaknya kecenderungan yang tidak konsisten dan saling bertentangan’ dalam theologi Agustinus, yang diangkatnya” (hal 22).

c) “(Calvin) mempunyai kebiasaan memberi alasan-alasan untuk mengganti setiap bagian Alkitab yang tidak sesuai dengan fahamnya” - ini dikutip oleh Guy Duty dari seseorang yang bernama Farrar, yang disebutnya sebagai ’seorang sejarawan yang ramah terhadapnya (Calvin)’ (hal 22).

d) “Bahkan para editor Agustinus dari ordo Benedictus mengakui bahwa ia mempunyai kemampuan yang jelek untuk pekerjaan penafsiran. Agustinus meletakkan hukum-hukum penafsiran bagi lawan-lawannya dari doktrin-doktrin lainnya, tetapi ia secara konsisten melanggar hukum-hukumnya sendiri dalam penafsirannya tentang ayat-ayat predestinasi” (hal 201).

e) “Calvin, seperti Agustinus, meletakkan hukum-hukum penafsiran yang adil bagi lawan-lawan dari doktrin-doktrin lain, tetapi ia sendiri secara konsisten melanggar hukum-hukumnya sendiri dalam tafsiran-tafsirannya tentang ayat-ayat predestinasi. Adalah suatu persyaratan yang wajar bahwa seorang penafsir harus konsisten terhadap dirinya sendiri, tetapi Agustinus dan Calvin, tidak” (hal 203).

f) “Orang-orang Calvinis dan Advent (Seventh-day Adventist) memakai hukum-hukum ini hanya sejauh kalau itu menguntungkan mereka” (hal 228).
Catatan: yang ia maksudkan dengan ‘hukum-hukum ini’ adalah hukum-hukum penafsiran yang ia jelaskan mulai hal 227-238.

g) “Agustinus dan Calvin juga akan ditertawakan sampai malu meninggalkan sidang tentang predestinasi” (hal 230).

Mengapa James Arminius bisa bersikap menghormat kepada Calvin dan ajarannya, sedangkan para pengikutnya (seperti Pdt. dr. Jusuf B. S. dan Guy Duty) bersikap begitu menghina dan merendahkan? Saya berpendapat hal itu disebabkan karena Arminius memang mengenal Calvin dan ajarannya, sedangkan para pengikutnya, khususnya Pdt. dr. Jusuf B. S. dan Guy Duty tidak tahu apa-apa tentang Calvin, baik hidupnya, pelayanannya, maupun ajarannya! Karena itu untuk mereka berdua saya anjurkan untuk masuk Sekolah Theologia dahulu dan mempelajari sejarah Calvin dengan benar, dan juga sebaiknya mereka mengikuti anjuran dari James Arminius di atas, dengan mempelajari / membaca buku-buku Calvin, supaya mereka bisa mempunyai sikap yang benar terhadap Calvin dan ajarannya!

Philip Schaff berkata: “He (Calvin) improves upon acquaintance. Those who know him best esteem him most” [= Ia (Calvin) bertambah baik karena pengenalan. Mereka yang mengenalnya paling baik menghargainya paling tinggi] - Philip Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 271.

Catatan: Guy Duty menyatakan bahwa ia membaca buku-buku Calvin, tetapi tetap tidak bisa menerima ajaran Calvin dan menganggapnya sebagai suatu kekacauan. Ada 3 kemungkinan yang menyebabkan hal ini:
1. Ia terlalu bodoh untuk menjangkau ajaran-ajaran Calvin yang sukar dan mendalam itu.
2. Ia membaca buku-buku Calvin dengan hati yang dipenuhi oleh prasangka yang anti-Calvin.
3. Ia tidak membaca semua buku-buku itu tetapi hanya mencari-cari bagian-bagian yang bisa ia pakai untuk menyerang Calvin / Calvinisme.

III) Kesimpulan dari sejarah Agustinus dan Calvin.

Setelah melihat sejarah kehidupan dan pelayanan dari Agustinus dan John Calvin, maka bisalah kita menarik suatu kesimpulan bahwa sekalipun mereka berdua mempercayai doktrin Predestinasi dan Keselamatan tidak bisa hilang, tetapi mereka:

1) Bukanlah orang yang meremehkan dosa, atau sengaja berbuat dosa. Sebaliknya mereka betul-betul berjuang untuk menghancurkan dosa dalam hidup mereka, dan berusaha untuk hidup sesuci mungkin.

2) Bukanlah orang yang bermalas-malasan dalam melayani Tuhan. Sebaliknya mereka adalah orang yang berjuang mati-matian dalam pelayanan.

3) Bukanlah orang yang tidak mau memikul salib. Sebaliknya mereka mau menderita dan bahkan mati demi Kristus.

Fakta ini bertentangan sekali dengan kata-kata Pdt. dr. Jusuf B. S. dalam bukunya ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’ yang saya kutip di bawah ini:

a) “Mereka menganggap kita salah, kita menganggap mereka salah. Apa bedanya? Perbedaannya, pelajaran ini membuat orang mudah lalai dan tetap memberi peluang untuk berani bermain-main di dalam dosa” (hal 27).

b) “Menurut ‘teori’ Calvin ini: Sekali selamat tetap selamat. Keselamatan tidak dapat hilang, sekalipun seseorang berbuat dosa, hanya pahalanya yang hilang. ... Teori ini membuat orang berani memilih dan main-main dalam dosa, toh selamat. ... Jadi baik yang ditentukan selamat atau binasa, keduanya kalau hidup dalam dosa tidak apa-apa, sebab rencana Allah tidak pernah batal” (hal 29).

c) “Memang mereka tidak mengajar orang untuk berdosa, tetapi jelas sekali bahwa ‘teori’ ini memberi peluang untuk berdosa. Seolah-olah dosa bukan penghalang untuk masuk Kerajaan Surga” (hal 30).

d) “Teori Calvin: dapat memberi kesimpulan: Tidak perlu pikul salib, tetap selamat! ... Kalau berbuat dosa tidak apa-apa, tetap selamat, hanya pahalanya hilang (menurut teori Calvin, bukan menurut Firman Tuhan!) dengan mudah salib ditinggalkan. Buat apa pikul salib? Sebab itu orang-orang Calvinis ini akan lebih mudah memilih melazatkan daging, nikmat untuk daging ...” (hal 32).

e) “Bagi orang Kristen yang cinta daging dan dunia, teori Calvin dapat menenangkan perasaan hati, bahkan dapat menghanguskannya, sehingga walau berdosa berlapis-lapis senang juga hatinya (Ams 14:16) sebab toh akan selamat” (hal 33-34).

f) “Hilang semangat pelayanan. Tidak perlu menginjil, toh Tuhan berkuasa dan berdaulat. Yang sudah ditentukan selamat, akan selamat juga akhirnya. Dilayani atau tidak dilayani, kalau mereka sudah ditentukan selamat, akhirnya toh tetap selamat, sebab Tuhan berdaulat penuh. Mengapa perlu bertekun, mati-matian dalam pelayanan? Untuk apa bersaksi? Kalau jiwa-jiwa itu sudah ditakdirkan selamat, pasti satu kali tetap selamat! Seringkali di mulut mereka berkata harus bekerja bagi Tuhan, tetapi dalam hatinya iblis telah berhasil mengukir kata-kata: ‘Dengan atau tanpa engkau... yang selamat tetap selamat, maka lenyaplah semangat yang murni! (1Kor 9:16)” (hal 35).

Mungkin saudara berkata bahwa Agustinus dan Calvinnya memang tidak seperti yang dikatakan oleh Pdt. dr. Jusuf B. S., tetapi banyak orang-orang Calvinist yang seperti itu. Maka sebagai jawaban saya mengutip kata-kata John Murray, seorang ahli theologia Reformed, yang berkata:

“But perversion does not refute the truth of the doctrine perverted” (= Tetapi penyimpangan tidak menyangkal / membuktikan salah kebenaran dari doktrin yang disimpangkan itu) - ‘Collected Writings of John Murray’, vol II, hal 87.

Jadi, kalau ada orang Calvinist yang menanggapi ajaran Agustinus / Calvin dengan cara seperti yang dikatakan oleh Pdt. dr. Jusuf B. S., maka itu tidak membuktikan bahwa ajaran Agustinus / Calvin itu salah. Itu adalah kesalahan oknum itu sendiri, bukan kesalahan ajarannya! Apakah mereka berani berkata bahwa dalam kalangan Arminian tidak ada oknum brengsek seperti itu?

Perlu diingat bahwa Injil, yang mengatakan bahwa Kristus telah mati untuk semua dosa kita, juga sering ditanggapi secara salah, yaitu dengan lalu terus berbuat dosa karena toh telah ditebus (bdk. Ro 5:20-6:1). Tanggapan salah ini tidak menyebabkan Injilnya jadi salah dan tidak boleh diberitakan!

Perlu juga saudara ingat dan sadari bahwa ajaran baik apapun selalu bisa menimbulkan tanggapan yang salah! Tetapi itu tidak membuat ajaran baik itu menjadi salah dan tidak boleh diberitakan.
Orang yang bijaksana harus bisa membedakan antara kesalahan oknum dan kesalahan ajarannya. Orang bodoh mencampur-baurkan keduanya

5 POINTS CALVINISME

Hal-hal yang perlu diketahui tentang 5 points Calvinisme:

1) 5 points Calvinisme ini disingkat dengan acrostic TULIP.

Total Depravity (= Kebejatan total).
Unconditional Election (= Pemilihan yang tidak bersyarat).
Limited Atonement (= Penebusan terbatas).
Irresistible Grace (= Kasih karunia yang tidak bisa ditolak).
Perseverance of the Saints (= Ketekunan orang-orang kudus).

2) Penjelasan singkat tentang point-point dari 5 points Calvinisme ini.
Pada pelajaran-pelajaran yang akan datang saya akan membahas point-point ini satu per satu secara mendetail, beserta dasar-dasar Kitab Sucinya. Dan jangan saudara menolak atau menerima yang manapun dari 5 points Calvinisme ini sebelum saudara diyakinkan oleh dasar-dasar Kitab Sucinya!
Penjelasan di bawah ini hanyalah penjelasan singkat, untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang 5 points Calvinisme ini.

a) Total Depravity (= kebejatan total).
Ini mengajarkan bahwa seluruh manusia sudah dipengaruhi secara negatif oleh dosa, dan ini menyebabkan manusia itu sendiri sama sekali tidak bisa melakukan hal-hal yang betul-betul baik di mata Allah dan tidak bisa percaya kepada Yesus dengan kekuatan dan kemauannya sendiri.

b) Unconditional Election (= pemilihan yang tidak bersyarat).
Ini mengajarkan bahwa dari permulaan segala jaman, sebelum segala sesuatu ada, Allah sudah menetapkan / memilih orang-orang tertentu untuk selamat / masuk surga, dan orang-orang yang lain untuk binasa / masuk neraka. Penentuan / pemilihan ini dilakukan semata-mata berdasarkan kehendak Allah, bukan karena apa yang ada, atau yang akan ada, dalam diri manusia.

Doktrin ini merupakan wujud dari penekanan yang sangat kuat dari Calvinisme tentang kedaulatan Allah.

Jangan terlalu cepat menolak doktrin ini dengan mengatakan bahwa doktrin ini menunjukkan bahwa Allah tidak adil! Saya sendiri dulu tidak mempercayai doktrin ini karena seolah-olah menunjukkan bahwa Allah itu tidak adil. Tetapi setelah saya mempelajari dasar-dasar Kitab Sucinya, saya yakin bahwa doktrin ini memang merupakan ajaran Kitab Suci.

c) Limited Atonement (= Penebusan terbatas).
Ini mengajarkan bahwa pada waktu Yesus mati di salib untuk menebus dosa manusia, sebetulnya Ia tidak melakukan hal itu untuk menebus dosa setiap manusia di dunia ini. Design (= rencana / tujuan) dari penebusan ini adalah untuk menebus orang-orang pilihan (elects) saja.

Kalau doktrin tentang pemilihan (predestinasi) sudah sukar diterima, maka doktrin tentang Penebusan Terbatas ini lebih sukar lagi untuk diterima.Mengapa? Karena konsep Arminian bahwa Yesus mati untuk setiap manusia, sudah begitu tersebar dan mendarah daging dalam diri banyak orang kristen, sehingga konsep Penebusan Terbatas ini kelihatannya salah, bahkan sesat.

Bagi diri saya sendiri, pada waktu saya mendengar ajaran ini untuk pertama kalinya, saya merasa kaget dan tidak bisa menerima. Tetapi lagi-lagi setelah mempelajari argumentasi-argumentasi dan dasar-dasar Kitab Suci yang diajukan, saya akhirnya menerima. Ini adalah point yang terakhir yang saya terima dari ke 5 point Calvinisme ini.

d) Irresistible Grace (= kasih karunia yang tidak bisa ditolak).
Ini mengajarkan bahwa pada waktu Allah mau menyelamatkan seseorang dan memberikan kasih karuniaNya kepada orang itu, maka orang itu tidak mungkin bisa menolak kasih karunia Allah itu. Dengan demikian orang itu akan bertobat, diselamatkan, dan rencana Allah tergenapi.

e) Perseverance of the Saints (= Ketekunan orang-orang kudus).
Ini mengajarkan bahwa sekali seseorang menjadi orang kristen yang sejati dan diselamatkan, ia tidak akan berhenti menjadi orang kristen / murtad, dan ia tidak mungkin kehilangan keselamatannya.
Menurut saya, ini adalah point yang paling jelas dari ke 5 point Calvinisme ini, dan saya betul-betul tidak mengerti bagaimana ada orang kristen yang tidak mau percaya pada point ke 5 ini, dan menganggap bahwa orang kristen sejati bisa kehilangan keselamatannya.

3) 5 points Calvinisme ini bukanlah keseluruhan dari doktrin Calvinisme.

Loraine Boettner: “Let the reader, then, guard against a too close identification of the Five Points and the Calvinistic system. While these are essential elements, the system really includes much more” (= Jadi, baiklah pembaca menjaga diri untuk tidak menyamakan / terlalu dekat mengidentifikasikan Lima Point Calvinisme dengan Sistim Calvinisme. Sekalipun 5 point ini adalah elemen-elemen yang hakiki, tetapi sistim Calvinisme mencakup jauh lebih banyak hal) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 59-60.

Calvinisme mempercayai banyak doktrin-doktrin penting yang lain (bahkan yang lebih penting / mendasar), seperti:
a) Kitab Suci adalah Firman Allah yang dijunjung tinggi otoritasnya dan harus diajarkan habis-habisan.
b) Doktrin Allah Tritunggal.
c) Doktrin tentang keilahian dan kemanusiaan Kristus.
d) Doktrin tentang penebusan Kristus, yang menjadikan Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan.
e) Doktrin bahwa manusia bisa selamat hanya karena iman, bukan karena perbuatan baik.
f) Keharusan memberitakan Injil.
g) Kekudusan dalam hidup orang kristen.
Bahwa Calvinisme menekankan kedaulatan Allah, dan mengajarkan bahwa keselamatan tidak bisa hilang, sama sekali tidak berarti bahwa Calvinisme mengajarkan bahwa orang kristen boleh hidup sembarangan. Sebaliknya Calvinisme sangat menekankan kekudusan!
h) dsb.

Hal ini perlu ditekankan karena ada banyak orang yang menganggap bahwa asal seseorang mempercayai 5 points Calvinisme ini, maka ia adalah seorang Calvinist / Reformed. Bahkan ada yang hanya menekankan pada point ke 2 dan ke 5 saja, dan menganggap bahwa orang yang mempercayai 2 point itu sudahlah seorang Calvinist / Reformed. Ini jelas salah!

Sekalipun seseorang mempercayai ke 5 points Calvinisme ini, tetapi:

1. Kalau ia tidak percaya pada doktrin Allah Tritunggal, atau kalau ia tidak menekankan pengajaran Kitab Suci, atau kalau ia tidak memberitakan Injil, atau kalau ia tidak menekankan kekudusan, maka ia tidak bisa disebut sebagai seorang Calvinist / Reformed.

2. Kalau ia tidak mempercayai bahwa Allah menentukan segala sesuatu, dan mengatur terjadinya segala sesuatu, dengan ProvidensiaNya, maka ia juga tidak bisa disebut sebagai Calvinist / Reformed.

Tetapi sebaliknya, orang yang Alkitabiah / Injili tetapi menolak salah satu saja dari ke 5 points Calvinisme ini, juga tidak bisa disebut sebagai orang Calvinist / Reformed.

5 points Calvinisme ini hanya merupakan lima hal terpenting yang membedakan Calvinisme dengan Arminianisme.

4) 5 points Calvinisme ini sebetulnya merupakan suatu kesatuan, karena 5 points ini sangat berhubungan satu dengan yang lainnya. Karena itu, sebetulnya seseorang tidak bisa menerima hanya sebagian dari 5 points Calvinisme ini, karena ini akan menimbulkan pertentangan / ketidak-konsekwenan. Kita harus menerima semuanya atau menolak semuanya.

Loraine Boettner: “... these are not isolated and independent doctrines but are so inter-related that they form a simple, harmonious, self-consistent system; and the way in which they fit together as component parts of a well-ordered whole has won the admiration of thinking men of all creeds. Prove any one of them true and all the others will follow as logical and necessary parts of the system. Prove any one of them false and the whole system must be abandoned” (= ... mereka ini bukanlah doktrin-doktrin yang terisolir dan berdiri sendiri tetapi begitu berhubungan satu sama lain sehingga mereka membentuk sistim yang tunggal, harmonis, dan konsisten; dan cara dengan mana mereka mencocokkan diri sebagai bagian-bagian komponen dari suatu kesatuan telah memenangkan kekaguman dari pemikir-pemikir dari semua aliran. Buktikan yang manapun dari mereka benar dan semua yang lain akan mengikuti sebagai bagian-bagian yang logis dan harus ada dari sistim. Buktikan yang manapun dari mereka salah dan seluruh sistim harus ditinggalkan) - ‘The Reformed Doctrine of Predestination’, hal 59.

5) Serangan / penghinaan Pdt. dr. Jusuf B. S. terhadap 5 points Calvinisme ini.
Saya berpendapat bahwa 5 points Calvinisme ini sebetulnya merupakan doktrin yang sangat penting dan indah dalam kekristenan, karena ini menyebabkan kita:
a) Menjadi rendah hati, karena kita sadar bahwa kita bisa selamat / memilih untuk percaya kepada Yesus bukan karena kebaikan diri kita, tetapi karena Allah memilih kita dan bekerja dalam diri kita.
b) Makin bersyukur kepada Allah dan mengasihi Allah karena keselamatan yang Ia anugerahkan kepada kita.
c) Lebih memiliki damai, karena keyakinan akan keselamatan yang tidak bisa hilang.

Tetapi Pdt. dr. Jusuf B. S. dari Gereja Bukit Zaitun justru menyerang 5 points Calvinisme ini, menyebutnya sebagai racun, dan dengan cara menghina mengubah acrostic TULIP menjadi LIPAS.

Total Depravity.                                                           ®                   Lemah total.
Unconditional Election.                    ®                   Ikatan Takdir.
Limited Atonement.                                         ®                   Penebusan terbatas.
Irresistible Grace.                                                        ®                   Anugerah Allah.
Perseverance of the Saints®          Selamat.

Catatan:
· Ini ia tuliskan dalam bukunya yang berjudul ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, hal 22-23.
· Di salah satu makalah yang di tulis oleh Pdt. dr. Jusuf B. S., digambarkan di sebelah acrostic LIPAS itu seekor kelabang. Saya kira Pdt. dr. Jusuf B. S. mencampuradukkan LIPAS (= kecoak) dengan LIPAN (= kelabang). Dalam buku ‘Keselamatan tidak bisa hilang?’, gambar kelabang itu sudah tidak ada, mungkin karena ia sudah menyadari perbedaan LIPAN dan LIPAS.

Saya berpendapat bahwa pengubahan TULIP menjadi LIPAS / LIPAN ini bukan merupakan suatu penyerangan (karena sama sekali tidak ada argumentasi serangan dalam hal ini), tetapi merupakan suatu penghinaan! Padahal dalam bagian Pendahuluan dalam bukunya itu (hal 7-8), ia menulis sebagai berikut:

“Keduanya (maksudnya orang Calvinist dan Arminian) masih dapat bekerja sama dengan manis misalnya dalam kebaktian bersama seperti Natal, ... Kita tetap perlu menjaga keutuhan umat Kristen ... Sebab itu jangan ada perdebatan yang berlebih-lebih, jangan ada kebencian dan tindakan-tindakan dosa ... Musuh wajib kita cintai, apalagi dengan saudara seiman, yang akan tinggal bersama di Surga untuk kekal! Oleh sebab itu jangan perbedaan tafsiran ini memecah umat Kristen terhadap dunia luar (seperti yang terjadi di Eropa 16-17 abad yang lalu). ... Kalau kebetulan ada pihak lain yang membaca buku ini, dan ada kata-kata tegas, terus terang yang mungkin dirasa kurang enak, kami mohon maaf. Buku ini dibuat bukan untuk maksud perpecahan dalam umat Kristen. Kekhasan umat Kristen adalah saling mengasihi meskipun berbeda pendapat dan tafsiran, sehingga dunia melihat ada kasih Kristus di antara kita (Yoh 13:35)”.

Saya hanya bertanya-tanya:
¨ Apakah ‘kata-kata tegas, terus terang’ itu sama dengan ‘kata-kata yang menghina’?
¨ Bagaimana Pdt. dr. Jusuf B. S. bisa mengharapkan kesatuan dan saling mengasihi kalau bukunya bersifat menghina?
¨ Bagaimana ia bisa meminta maaf lebih dulu, dan setelah itu memberikan penghinaan?
¨ Apa gerangan gunanya kata-kata yang manis dalam Pendahuluan buku ini, kalau ternyata bukunya berisikan penghinaan? Apakah ini hanya sekedar yang disebut orang Jawa sebagai ‘abang-abang lambe’ atau bahkan sebagai suatu kemunafikan?

Sekarang perlu kita persoalkan: Mengapa ada seseorang yang menganggap ajaran Calvinisme yang begitu sehat sebagai racun? Mengapa ada orang yang tega mengubah nama bunga TULIP, yang harum dan mengandung madu, menjadi nama binatang LIPAS yang kotor dan berbau atau binatang LIPAN yang beracun? Tentang hal ini saya berpendapat bahwa komentar Calvin tentang Yoh 6:61 cocok sekali, dimana Calvin berkata sebagai berikut:

“We ought, indeed to regulate our doctrine in such a manner that none may be offended through our fault ... But it will never be possible for us to exercise such caution that the doctrine of Christ shall not be the occasion of offence to many, because the reprobate, who are devoted to destruction, suck venom from the most wholesome food, and gall from honey” (= Kita memang harus mengatur ajaran kita sedemikian rupa sehingga tidak ada yang tersinggung / sakit hati karena kesalahan kita ... Tetapi tidak pernah mungkin bagi kita untuk berhati-hati sedemikian rupa sehingga ajaran Kristus tidak menyinggung / menyakiti banyak orang, karena orang-orang reprobate, yang disediakan / dikhususkan untuk kebinasaan, menghisap racun dari makanan yang paling sehat / bermanfaat, dan empedu dari madu).

Dengan mengutip kata-kata Calvin ini di tempat ini, saya memang tidak memaksudkan bahwa Pdt. dr. Jusuf B. S. adalah seorang ‘reprobate’ (= orang yang ditetapkan binasa). Tetapi saya ingin menunjukkan bahwa orang memang bisa menghisap racun dari makanan sehat (yang sebetulnya tidak beracun), dan menghisap empedu dari madu, dan juga menghisap LIPAS / LIPAN dari TULIP. Hal itu bukan hanya bisa dilakukan oleh seorang reprobate, tetapi juga oleh seorang kristen. Ini justru menunjukkan / membuktikan adanya Total Depravity dalam diri manusia!

BACA JUGA: BIOGRAFI MARTIN LUTHER

6) Semua tokoh-tokoh Reformasi dari abad 16 mempercayai doktrin ini.
Ahli sejarah Philip Schaff berkata: “All the Reformers of the sixteenth century, following the lead of Augustin and of the Apostle Paul, - as they understand him, - adopted, under a controlling sense of human depravity and saving grace, and in antagonism to self-righteous legalism, the doctrine of a double predestination which decides the eternal destiny of all men” (= Semua tokoh-tokoh Reformasi dari abad ke 16, mengikuti pimpinan dari Agustinus dan rasul Paulus, - sebagaimana mereka mengerti dia, - mengambil / menyetujui / menerima, di bawah suatu pengertian tentang kebejatan manusia dan kasih karunia yang menyelamatkan, dan dalam permusuhan terhadap legalisme yang membenarkan diri sendiri, doktrin tentang predestinasi ganda yang menentukan tujuan kekal dari semua manusia) - ‘History of the Christian Church’, vol VIII, hal 546-547.

Karena itu, kalau saudara percaya kepada Pdt. dr. Jusuf B. S. maka itu berarti bahwa saudara menentang semua tokoh-tokoh Reformasi (Martin Luther, John Calvin, Zwingli, John Knox).

Memang harus diakui bahwa bisa saja semua tokoh-tokoh Reformasi itu salah, karena mereka memang juga adalah manusia biasa, dalam arti mereka bukan Tuhan yang tidak bisa salah. Tetapi mereka semua adalah orang-orang yang orang-orang yang luar biasa dalam hal intelek, kerohanian dan pengertian Kitab Suci, sehingga sangat kecil kemungkinan bahwa mereka bisa salah secara bersama-sama seperti itu.

Tetapi bagaimanapun perlu ditekankan, bahwa benar atau tidaknya doktrin ini tidak tergantung pada otoritas manusia, para tokoh Reformasi sekalipun, tetapi pada Kitab Suci. Karena itu pada pelajaran-pelajaran yang akan datang kita akan membahas setiap point dari 5 points Calvinisme ini secara terperinci, lengkap dengan dasar-dasar Kitab Sucinya! 

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
Next Post Previous Post