YAHWEHISME (3)

Pdt.Budi Asali, M.Div.
Larangan menggunakan kata ‘Allah’

Orang-orang yang melarang penggunaaan kata ‘Allah’ ini memberikan banyak argumentasi untuk mendukung pandangan mereka, yaitu:
YAHWEHISME (3)
tutorial, gadget
I) ‘Allah’ merupakan nama pribadi / diri dari Tuhannya umat Islam, dan kata / nama ‘Allah’ ini tidak ada dalam Alkitab Ibrani.

Yakub Sulistyo: “Umat Nasrani yang dianggap sesat, sekte dan sebagainya seperti tudingan tersebut diatas, sebenarnya justru kembali ke Kitab Suci Asli yang berbahasa Ibrani dimana kata ‘Allah’ atau ‘ALLAH’ yang dalam huruf Arab tidak mengenal huruf kapital atau tidak, adalah merupakan Nama Tuhan dari umat Islam, tidak pernah ada dalam kitab tersebut dan mengoreksi kesalahan terjemahan dari Lembaga Alkitab Indonesia dan mengembalikannya sesuai dengan apa yang menjadi keinginan dan kerinduan hati Tuhan sendiri, bukan mengubah isi Firman Tuhan seperti tudingan umat Nasrani dan para Theolog yang belum menerima pemulihan Nama Tuhan ini”.

Kristian Sugiyarto: “Dalam Hebrew-Bible (= Alkitab Ibrani) tidak ada nama Allah melainkan nama Elohim, yaitu YHWH (yang dibaca Yahweh)”.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

Di sini saya hanya akan menanggapi kata-kata mereka tentang kata ‘Allah’ yang katanya tidak ada dalam Alkitab Ibrani. Ada beberapa hal yang saya berikan di sini sebagai tanggapan:

1) Merupakan suatu kekonyolan untuk berargumentasi dengan mengatakan bahwa kata ‘Allah’ tidak ada dalam Alkitab Ibrani. Sudah tentu tidak ada, karena kata ‘Allah’ itu bukan kata bahasa Ibrani! Itu adalah kata bahasa Arab, atau kata bahasa Arab yang sudah di-Indonesia-kan. Kata ‘Tuhan’, ‘God’, ‘Lord’ juga tidak ada dalam Kitab Suci Ibrani!

2) Kata-kata mereka ini menunjukkan suatu fanatisme yang sangat berlebihan terhadap Kitab Suci Ibrani. Ini terlihat dari fakta bahwa mereka hanya menekankan Ibraninya, bukan Yunaninya, padahal Kitab Suci kita menggunakan bahasa asli Ibrani dan Yunani, dan bahkan sebagian kecil dalam bahasa Aram. Mengapa hanya bahasa Ibrani yang mereka pedulikan?

3) Kalau kelompok Yahweh-isme ini mau kembali kepada Kitab Suci Ibrani, lalu mereka mau menggunakan kata apa? Eloah? Elohim? El? Kalau menggunakan Eloah atau El, maka semua menjadi bentuk tunggal, dan sebaliknya, kalau menggunakan Elohim (seperti yang dilakukan dalam Alkitab versi ILT) maka semua menjadi bentuk jamak. Ini justru tak cocok dengan aslinya. Memang kalau menggunakan kata ‘Allah’ juga tak terlihat bedanya. Tetapi kalau menggunakan kata ‘Allah’ orang akan tahu bahwa itu bukanlah kata bahasa aslinya, sehingga ia akan menyelidiki aslinya, dan melihat perbedaan antara kata ‘Allah’ yang satu dan kata ‘Allah’ yang lain dalam bahasa aslinya. Tetapi kalau semua kata ‘Allah’ diganti dengan ‘Elohim’ seperti dalam ILT (Indonesian Literal Translation / terjemahan hurufiah Indonesia) yang diterbitkan oleh kelompok Yahweh-isme di Indonesia, maka orang akan mengira bahwa itu sudahlah kata dalam bahasa asli, sehingga tidak akan menyelidiki perbedaan-perbedaan antara kata ‘Elohim’ yang satu dengan ‘Elohim’ yang lain.

4) Pada waktu dalam Perjanjian Barupun mereka (ILT) menggunakan Elohim, maka itu kelihatannya menjadi lucu. Mengapa tidak menggunakan kata bahasa Yunani ‘Theos’ saja? Apakah Perjanjian Baru bahasa Yunani yang menggunakan ‘Theos’ harus diabaikan begitu saja?

5) Kalau mereka mengatakan bahwa kita harus kembali kepada Kitab Suci Ibrani, maka kita harus menghapuskan seluruh Kitab Suci Indonesia dan menggunakan saja bahasa Ibraninya! Demikian juga dengan Kitab Suci bahasa lain, termasuk bahasa Inggris, juga harus dihapuskan, dan semua orang Kristen harus menggunakan Kitab Suci bahasa Ibrani saja!

6) Penggunaan kata Ibrani ‘Elohim’ oleh ILT untuk menggantikan kata ‘Allah’ dalam terjemahan LAI, tidak cocok dengan judul ‘ILT’ (= Indonesian Literal Translation / Terjemahan Hurufiah Indonesia) dalam Alkitab yang diterbitkan oleh kelompok Yahweh-isme ini. Mengapa?

a) Karena kata ‘Elohim’ bukan translation / terjemahan.

b) Karena ‘Elohim’ bukan kata bahasa Indonesia.

Sekarang saya lanjutkan dengan argumentasi dari pihak Yahweh-isme.

Teguh Hindarto: “Sebagaimana YAHWEH adalah nama diri sang pencipta dan sesembahan bangsa Israel turun temurun, maka ALLAH adalah juga nama diri. Allah adalah nama Tuhan orang muslim (Qs 20:14,98) yang berdiam di Mekah (Qs 27:91) khususnya Ka'bah (Qs 106:3). Jadi antara YAHWEH dan ALLAH adalah dua sesembahan yang berbeda”.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

Ada 2 hal yang akan saya berikan sebagai tanggapan:

1) ‘Allah’ bukanlah nama, karena kata ‘Allah’ berasal dari ‘Al-Ilah’ yang berarti ‘the God’ (= sang Allah). Point ini saya berikan singkat saja di sini, tetapi nanti akan saya bahas secara lebih panjang lebar.

2) Teguh Hindarto mengatakan bahwa ‘Allah’ dan ‘Yahweh’ adalah 2 sesembahan yang berbeda. Saya ingin tanyakan kepada dia: Kalau Allah dan Yahweh adalah ‘dua sesembahan yang berbeda’, lalu ada berapa Allah / sesembahan? Bandingkan dengan text-text di bawah ini.

1Korintus 8:4-6 - “(4) Tentang hal makan daging persembahan berhala kita tahu: ‘tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa.’ (5) Sebab sungguhpun ada apa yang disebut ‘allah’, baik di sorga, maupun di bumi - dan memang benar ada banyak ‘allah’ dan banyak ‘tuhan’ yang demikian - (6) namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari padaNya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang olehNya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup”.

Kis 17:22-24 - “(22) Paulus pergi berdiri di atas Areopagus dan berkata: ‘Hai orang-orang Atena, aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa. (23) Sebab ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu. (24) Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia”.

Ay 22: ‘sangat beribadah kepada dewa-dewa’.

KJV: ‘too superstituous’ (= terlalu percaya tahyul). Ini terjemahan yang salah.

RSV/NIV/NASB: ‘very religious’ (= sangat religius).

Perhatikan ay 23! Paulus menjumpai mezbah dari orang-orang kafir / penyembah berhala. Dan pada mezbah itu ada tulisan ‘kepada Allah yang tidak dikenal’. Tetapi kepada para penyembah berhala itu Paulus lalu mengatakan: “Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu”. Ini jelas menunjukkan bahwa Allahnya sebetulnya sama, hanya saja mereka salah mengerti / tidak mengerti tentang Allah itu.

Matthew Henry: “he aimed to bring them to the knowledge of the only living and true God, as the sole and proper object of their adoration. He is here obliged to lay the foundation, and to instruct them in the first principle of all religion, that there is a God, and that God is but one. When he preached against the gods they worshipped, he had no design to draw them to atheism, but to the service of the true Deity. Socrates, who had exposed the pagan idolatry, was indicted in this very court, and condemned, not only because he did not esteem those to be gods whom the city esteemed to be so, but because he introduced new demons; and this was the charge against Paul. Now he tacitly owns the former part of the charge, but guards against the latter, by declaring that he does not introduce any new gods, but reduce them to the knowledge of one God, the Ancient of days” [= ia bertujuan untuk membawa kepada mereka pengetahuan tentang satu-satunya Allah yang hidup dan benar, sebagai satu-satunya obyek yang benar dari pemujaan mereka. Di sini ia berkewajiban untuk meletakkan dasar, dan untuk mengajar mereka prinsip pertama dari semua agama, bahwa ada suatu Allah, dan bahwa Allah hanya satu. Pada waktu ia berkhotbah menentang allah-allah / dewa-dewa yang mereka sembah, ia tidak mempunyai tujuan / rencana untuk menarik mereka pada atheisme, tetapi pada penyembahan terhadap Allah yang benar. Socrates, yang terbuka terhadap penyembahan berhala orang kafir, dituduh di sidang ini / sidang Areopagus, dan dihukum / disalahkan / dikecam, bukan hanya karena ia tidak menganggap mereka sebagai allah-allah / dewa-dewa apa yang oleh kota itu dianggap demikian, tetapi juga karena ia memperkenalkan setan-setan (allah-allah / dewa-dewa?) yang baru; dan ini adalah tuduhan terhadap Paulus. Sekarang ia secara implicit mengakui bagian pertama dari tuduhan, tetapi menjaga terhadap yang terakhir, dengan menyatakan bahwa ia tidak memperkenalkan allah-allah / dewa-dewa baru manapun, tetapi mengarahkan / menundukkan mereka pada pengetahuan / pengenalan tentang satu Allah, ‘Yang Lanjut Usianya’].

Catatan: istilah / gelar ‘the Ancient of days’ merupakan gelar / sebutan Allah yang diambil dari Dan 7:9, yang dalam Kitab Suci Indonesia diterjemahkan ‘Yang Lanjut Usianya’.

Daniel 7:9 - “Sementara aku terus melihat, takhta-takhta diletakkan, lalu duduklah Yang Lanjut Usianya; pakaianNya putih seperti salju dan rambutNya bersih seperti bulu domba; kursiNya dari nyala api dengan roda-rodanya dari api yang berkobar-kobar”.

Barnes’ Notes: “‘Him declare I unto you.’ I make known to you his name, attributes, etc. There is remarkable tact in Paul’s seizing on this circumstance; and yet it was perfectly fair and honest. ... This altar had, therefore, been really reared to him, though his name was unknown. The same Being who had interposed at that time, and whose interposition was recorded by the building of this altar, was He who had made the heavens; who ruled over all; and whom Paul was now about to make known to them” (= ‘Dialah / itulah yang kuberitakan kepada kamu’. Aku memperkenalkan kepadamu nama / sebutanNya, sifat-sifatNya, dsb. Ada suatu taktik yang luar biasa / hebat dalam menggunakan keadaan ini; tetapi itu tetap adil dan jujur secara sempurna. ... Karena itu, mezbah ini sebetulnya telah didirikan bagi Dia, sekalipun nama / sebutanNya tidak dikenal. Makhluk yang sama yang telah ikut campur pada saat itu, dan yang ikut campurnya dicatat oleh pendirian mezbah ini, adalah Dia yang telah menciptakan langit; yang memerintah atas segala sesuatu; dan yang sekarang diperkenalkan oleh Paulus kepada mereka).

Sekarang mari kita kembali pada argumentasi dari kelompok Yahweh-isme ini. Para penentang kata ‘Allah’ ini mengatakan bahwa dalam agama Islam, kata ‘Allah’ itu merupakan nama diri / pribadi, dengan argumentasi-argumentasi sebagai berikut:

a) Dalam Islam, kata / nama ‘Allah’ itu tidak pernah diterjemahkan.

Yakub Sulistyo: “Demikian pula karena ‘Allah’ itu juga Nama Diri Tuhannya umat Islam, penulis kutipkan Terjemahan Al Qur’an yang saya miliki yang tidak mengubah Nama ‘Allah’ dalam bahasa apapun, misalnya:

a. Terjemahan Al Qur’an Surat 1 Al Faatihah 1-2 dalam Bahasa Inggris.

In the name of Allah, Most Gracious, Most Merciful. Praise be to Allah, the Cherisher and Sustainer of the Worlds.

b. Terjemahan Al Qur’an Surat 1 Al Faatihah 1-2 dalam Bahasa Belanda.

In naam van Allah, de Barmhartige, de Genadevolle. Alle lof zij Allah, de Heer der Werelden.

c. Terjemahan Al Qur’an Surat 1 Al Faatihah 1-2 dalam Bahasa Perancis.

Au nom d'Allah, le Tout Misיricordieux, le Trטs Misיricordieux. Louange א Allah, Seigneur de l'univers.

d. Terjemahan Al Qur’an Surat 1 Al Faatihah 1-2 dalam bahasa Jerman.

Im Namen Allah, des Gnהdigen, des Barmherzigen. Aller Preis gehצrt Allah, dem Herrn der Welten”.

Catatan: dalam kutipan di atas ini mungkin ada huruf-huruf / karakter-karakter yang salah tulis, karena bahasa-bahasa asing ini menggunakan karakter-karakter yang tidak ada dalam komputer saya. Tetapi inti dari kutipan ini jelas, yaitu dalam bahasa manapun, kata ‘Allah’ itu tidak diterjemahkan, dan hal ini dianggap sebagai bukti bahwa ‘Allah’ itu merupakan sebuah nama pribadi.

Yakub Sulistyo: “ilah atau al-ilah bisa diterjemahkan menjadi dewa atau sesuatu yang disembah sedang ‘Allah’ tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa apapun karena Nama Pribadi. Silakan baca di Kamus Indonesia-Arab-Inggris Karangan Abd. bin Nuh dan Oemar Bakri halaman 76”.

Komentar Pdt. Budi Asali: Lucu sekali orang disuruh baca sendiri; mengapa ia tidak berikan kutipan dari kamus itu?

Teguh Hindarto: “Berbicara soal terminology sumber, ada beberapa prinsip yang harus disepakati yaitu: Nama diri (Ketuhanan atau Manusia) tidak bisa diterjemahkan kedalam bahasa apapun. Contoh YAHWEH, Nama Sang Pencipta Langit dan Bumi tidak dapat diterjemahkan menjadi DAGON, SIN, AMATERAZU atau ALLAH. Kalau terjadi dialek varian tidak masalah. Contoh: YAHWEH menjadi Yehuwah (Jawa), Jahoba (Batak), Jahowa (Nias), Jehovah (Eropa)”.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

1. Sekalipun pada umumnya nama pribadi memang tidak diterjemahkan, tetapi siapa bilang bahwa nama pribadi secara mutlak tidak bisa diterjemahkan? Kitab Suci kita sendiri menterjemahkan nama-nama pribadi tertentu. Perhatikan ayat-ayat di bawah ini:

· Yohanes 1:42 - “Ia membawanya kepada Yesus. Yesus memandang dia dan berkata: ‘Engkau Simon, anak Yohanes, engkau akan dinamakan Kefas (artinya: Petrus).’”.

· Kis 9:36a - “Di Yope ada seorang murid perempuan bernama Tabita - dalam bahasa Yunani Dorkas”.

NASB: ‘Now in Joppa there was a certain disciple named Tabitha (which translated in Greek is called Dorcas)’ [= Di Yope ada seorang murid tertentu bernama Tabita (yang diterjemahkan dalam bahasa Yunani disebut Dorkas)].

Di sini untuk kata ‘translated’ / ‘diterjemahkan’, digunakan kata bahasa Yunani DIERMENEUOMENE, yang berasal dari kata Yunani DIERMENEUO, yang berarti ‘menafsirkan’, ‘menjelaskan’, atau ‘menterjemahkan’.

· Wahyu 9:11 - “Dan raja yang memerintah mereka ialah malaikat jurang maut; namanya dalam bahasa Ibrani ialah Abadon dan dalam bahasa Yunani ialah Apolion”.

2. Memang ada orang-orang Islam yang tidak mau menterjemahkan kata ‘Allah’, tetapi yang perlu diketahui adalah: apa alasan mereka sehingga tidak mau menterjemahkannya?

Wikipedia, the free encyclopedia (internet):

“Some Muslims leave the name ‘Allāh’ untranslated in English. Sometimes this comes from a zeal for the Arabic text of the Qur’an and sometimes with a more or less conscious implication that the God that Jews and Christians worship is not really true in it the full sense. Conversely, the usage of the term Allah by English speaking non-Muslims in reference to the God in Islam, Marshall G. S. Hodgson says, can imply that Muslims are worshiping a mythical god named ‘Allah’ rather than God, the creator. This usage is therefore appropriate, Hodgson says, only for those who are prepared to accept its theological implications” (= Sebagian / beberapa orang Islam membiarkan nama ‘Allah’ tidak diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Kadang-kadang ini timbul dari suatu semangat untuk text bahasa Arab dari Al-Quran dan kadang-kadang dengan suatu pengertian, yang disadari atau kurang disadari, bahwa Allah yang disembah oleh orang-orang Yahudi dan Kristen tidaklah benar dalam arti yang sepenuhnya. Sebaliknya, Marshall G. S. Hodgson mengatakan bahwa penggunaan istilah ‘Allah’ oleh orang-orang non Islam yang berbahasa Inggris berkenaan dengan Allah dalam Islam, secara implicit bisa berarti bahwa orang-orang Islam menyembah suatu allah yang bersifat dongeng yang bernama ‘Allah’, dan bukannya menyembah ‘God’ / Allah sang Pencipta. Karena itu Hodgson berkata bahwa penggunaan ini cocok / tepat, hanya bagi mereka yang siap untuk menerima pengertian-pengertian theologianya).

Ada beberapa hal yang ingin saya soroti dari kutipan di atas:

a. Perhatikan kata-kata ‘some Muslims’ (= sebagian / beberapa orang Islam) pada awal dari kutipan di atas, yang jelas menunjukkan bahwa tidak semua orang Islam bersikap seperti itu! Jadi jelas bahwa ada orang-orang Islam yang mau menterjemahkan kata ‘Allah’ tersebut!

b. Encyclopedia ini jelas mengatakan bahwa alasan dari orang-orang Islam tertentu itu sehingga tidak mau menterjemahkan kata ‘Allah’ itu adalah:

· karena semangat (kefanatikan) terhadap text bahasa Arab dari Al-Quran.

· karena mereka menganggap Allah yang mereka sembah berbeda dengan ‘God’ dari orang-orang Yahudi dan Kristen.

Jadi, ketidak-mauan untuk menterjemahkan kata ‘Allah’ itu bukan disebabkan karena mereka menganggapnya sebagai suatu nama!

c. Kata-kata bagian akhir dari kutipan di atas bagi saya agak tidak jelas. Tetapi kelihatannya Hodgson itu mengecam orang-orang non Islam yang membedakan ‘Allah’ yang disembah orang-orang Islam dengan ‘God’ yang disembah orang Kristen. Pembedaan seperti ini hanya cocok bagi mereka yang siap untuk menerima pengertian theologianya, yaitu ada lebih dari satu Allah.

3. Adalah salah untuk mengatakan bahwa kata ‘Allah’ tidak pernah diterjemahkan.

Contoh dimana kata ‘Allah’ diterjemahkan:

a. Bambang Noorsena: “Salah satu diantara terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Inggris yang menerjemahkan istilah Allah, misalnya silahkan membaca: The Message of the Qur’an, oleh Muhammad Asad. Dalam terjemahan yang cukup otoritatif di dunia Islam Barat ini, ungkapan: Bismillahi Rahmani Rahim diterjemahkan: ‘In the Name of God, The Most Grocious, The Dispenser of Grace’.”.

Jadi, kalau Yakub Sulistyo tadi memberikan beberapa Al-Quran dalam bermacam-macam bahasa yang tetap mempertahankan kata ‘Allah’ itu, itu tidak berarti bahwa tidak ada versi Al-Quran yang menterjemahkan kata ‘Allah’ tersebut! Saya kira Yakub Sulistyo pasti tahu akan hal ini, dan ini sudah menunjukkan ketidak-jujuran Yakub Sulistyo dalam berargumentasi! Yang dia beberkan adalah ‘half-truth’ (= setengah kebenaran)!

Ada orang yang mengatakan bahwa: ‘a half-truth is a whole lie’ (= setengah kebenaran adalah dusta sepenuhnya / seluruhnya).

b. Dalam film FITNA, ada orang-orang Islam mengacungkan poster dengan tulisan ‘God bless Hitler’. Mengapa mereka tidak menuliskan ‘Allah bless Hitler’, padahal jelas bahwa yang mereka maksudkan dengan ‘Allah’ itu adalah Allah yang benar, yang mereka sendiri percayai dan sembah?

Catatan: mereka menuliskan seperti itu, karena Hitler membunuh 6 juta orang Yahudi, orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh.

c. Dalam film debat antara Ahmed Deedat melawan Anis Shorrosh, Deedat menunjukkan sebuah buku tulisannya yang mempunyai judul dalam bahasa Inggris ‘Is The Bible God’s Word?’ (= Apakah Alkitab adalah Firman Allah?), tetapi pada waktu mengucapkan, ia menggunakan kata ‘Allah’. Jadi jelas, bahwa dalam pandangan ahli debat Islam kelas dunia ini, kata ‘Allah’ terjemahannya adalah ‘God’!

d. Dalam buku ‘Share Your Faith with a Muslim’, penulisnya (C. R. Marsh) berulang-ulang menterjemahkan kata ‘Allah’ menjadi ‘God’, seperti:

· istilah ‘barakat Allah’ diartikan ‘God’s blessing’ (hal 7,21).

· istilah ‘kalimat Allah’ diartikan ‘God’s Word’ (hal 11), dan ‘The Word of God’ (hal 44).

· ia mengatakan bahwa orang Islam mengucapkan kata-kata ‘God is great’ dalam doanya. Pasti yang dimaksudkan adalah istilah ‘Allahu Akbar’ (hal 17-18). Juga berulangkali ia menterjemahkan kata ‘Allah’ menjadi ‘God’ dalam doa orang Islam itu.

· istilah ‘Khalil Allah’ diartikan ‘the friend of God’ (hal 49).

· istilah ‘Kalim Allah’ diartikan ‘the spokesman with God’ (hal 49).

e. Kata ‘Insya Allah’ sering diterjemahkan ‘If God wills’ atau ‘if God is willing’.

b) Argumentasi lain untuk mengatakan bahwa kata ‘Allah’ merupakan nama pribadi, yaitu: dalam Islam, kata ‘Allah’ itu tidak bisa dibuat menjadi bentuk jamak.

Teguh Hindarto: “Sebagai bukti bahwa ALLAH itu nama dan bukan gelar, terbukti bahwa ALLAH tidak dapat dibuat jamak. ilah bentuk jamaknya adalah alihah. Eloah bentuk jamaknya Elohim. Apakah bentuk jamak dari ALLAH?? Demikian pula YAHWEH sebagai nama diri tidak dapat dibuat jamak”.

Teguh Hindarto: “Untuk membedakan nama diri dan nama umum adalah dengan memperhatikan dalil, Nama umum, dapat dibuat jamak. Contoh; Ilah menjadi Alihah, Eloah menjadi Elohim, God menjadi God’s. ... Sedangkan nama diri, tidak dapat dibuat jamak”.

Catatan: kata ‘God’s’ itu pasti salah; seharusnya adalah ‘Gods’. Entah ini sekedar salah tulis, atau orang ini memang tak becus bahasa Inggris.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

Bahwa kata ‘Allah’ tidak bisa dibuat jamak, bukanlah merupakan suatu bukti bahwa itu adalah sebuah nama pribadi. Mungkin karena mereka (orang Islam) mempercayai monotheisme mutlak, maka mereka tidak memberikan bentuk jamak itu kata ‘Allah’ itu.

Bambang Noorsena: “Memang, Sabili dalam salah satu terbitannya pernah menguraikan bahwa secara etimologis, kata Allah yang terdiri dari huruf alif, lam, lam dan ha' dengan tasydid sebagai tanda idgham lam pertama pada lam kedua) adalah ghairu musytaq (tidak ada asal katanya dan bukan pecahan dari kata lain). Karena itu, kata ini tidak bisa diubah menjadi bentuk tatsniyah (ganda) dan jama’ (plural). Demikian pula kata ini tidak dapat dijadikan sebagai mudhaf. Jacob Sulistiono (maksudnya ‘Yakub Sulistyo’) mengutip ini, saya yakin ia sendiri tidak mengerti apa itu bentuk mutsanah, jama’ atau mudhaf dalam bahasa Arab. Harus saya jelaskan sekali lagi, pandangan Sabili sama sekali tidak bisa dianggap representatif mewakili Islam. Banyak ulama Islam terkemuka yang berpandangan sebaliknya. Contohnya, kita bisa membaca kitab yang sangat terkenal di dunia Arab, al-Mu’jam al-Mufahras, yang menempatkan kata Allah tersebut di bawah heading (judul): hamzah, lam, haa ( ‘-l-h). Mengapa? Karena Al- pada Allah adalah hamzah wasl, sehingga Al- bisa hilang dalam kata: wallahi, bi-lahi, lil-lahi, dan sebagainya. Misalnya, pada kalimat Alhamdu lil-lah (segala puji bagi Allah), lil-lahi ta’ala (karena Allah Yang Maha Tinggi), kata sandang Al- di depan Allah juga dihilangkan. Sedangkan kata Allah tidak bisa dijumpai dalam bentuk ganda dan jamak, secara historis dibuktikan karena kata sandang al- yang mendahului kata ilah, muncul untuk menegaskan: ilah itu, yang sudah mengandung makna pengkhususan. Maksudnya, bisa berarti Dia adalah ilah yang paling besar, sedangkan ilah-ilah lain berada di bawahnya, seperti dianut kaum Mekkah pra-Islam, seiring dengan pergeseran dari paham politeisme menuju henoteisme. Sebaliknya, bisa juga berarti ‘ilah satu-satunya, yang tidak ada ilah selain-Nya’. Makna kedua ini, antara lain diberikan oleh orang-orang Yahudi, Kristen, kaum Hanif pra-Islam di wilayah Arab untuk menegaskan Keesaan-Nya. Tradisi monoteisme inilah yang kemudian dilanjutkan oleh Islam. Selanjutnya, kata Allah memang tidak dapat dijadikan mudhaf, tetapi itu tidak berarti bahwa Allah itu nama diri. Sebab bukan hanya ‘nama diri’ yang tidak bisa dijadikan mudhaf, tetapi setiap bentuk ma’rifah juga tidak bisa dijadikan mudhaf. Misalnya, kita berkata: Baitu al-Kabiiri (Rumah yang besar itu). Kata baitu dalam kalimat ini adalah ‘mudhaf’, sedangkan al-kabiiri adalah ‘mudhaf ilaih’. Tetapi kalau kita tambahkan al- sebelum bait, misalnya: al-baitu kabiirun (Rumah itu besar). Jadi, maknanya berbeda. Mengapa? Karena al-bait disini menjadi mubtada’ (subyek), bukan mudhaf lagi, sedangkan kabiirun adalah khabar (predikat)”.

Catatan: henotheisme adalah kepercayaan terhadap satu Allah tanpa menyangkal adanya allah-allah lain.

Terus terang, ketidak-mengertian saya tentang bahasa Arab menyebabkan saya tidak bisa mengerti sepenuhnya apa yang dikatakan oleh Bambang Noorsena di atas, tetapi jelas ia mengatakan bahwa:

1. Dalam dunia Islam ada 2 pandangan. Sabili mengatakan bahwa kata ‘Allah’ tak bisa dibuat menjadi jamak dan itu menunjukkan bahwa kata itu tidak berasal dari kata yang lain / bukan pecahan dari kata yang lain. Tetapi Bambang Noorsena melanjutkan dengan mengatakan bahwa ‘pandangan Sabili sama sekali tidak bisa dianggap representatif mewakili Islam. Banyak ulama Islam terkemuka yang berpandangan sebaliknya’.

Dalam kata-katanya di bagian lain, Bambang Noorsena berkata sebagai berikut:

“Pdt. Jacob Sulistiono (maksudnya ‘Yakub Sulistyo’) mengutip majalah Islam Sabili, yang memuat tulisan seorang Muslim yang menganggap bahwa Allah itu tidak bisa diterjemahkan, tetapi itu tidak mewakili pendapat seluruh umat Islam di dunia. Bahkan di kalangan Islam sendiri, Sabili sering dianggap mewakili kelompok Islam garis keras, setali tiga uang dengan ‘kaum penentang Allah’, minimal dalam pandangan teologisnya yang sama-sama ‘hitam putih’ itu”.

2. Kata ‘Allah’ tak bisa dibuat jamak karena adanya kata sandang tertentu yang sudah terkandung dalam kata ‘Allah’ tersebut, yang sudah mengandung makna pengkhususan. Juga karena Allah memang dianggap sebagai cuma satu.

3. Ia juga mengatakan bahwa kata ‘Allah’ itu tak bisa dijadikan mudhaf / jamak, tak berarti itu adalah nama diri, karena bukan hanya nama diri yang tidak bisa dijadikan jamak / mudhaf.

Sekarang saya ingin tunjukkan bahwa penjelasan Bambang Noorsena ini ditanggapi sebagai berikut oleh Kristian Sugiyarto.

Kristian Sugiyarto: “Ini penjelasan sangat bagus, mudah-mudahan semua pemahaman Islam demikian juga; namun kami menginginkan terjemahan Alkitab dari Ibrani aslinya ke dalam bahasa Indonesia, dengan menghindari title (= gelar) yang pernah dipakai sebagai title berhala bagi Nama Yahweh”.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

a. Kelihatannya Kristian Sugiyarto tidak bisa membantah kata-kata Bambang Noorsena ini, dan bahkan menganggapnya ‘sangat bagus’. Tetapi anehnya, ia tetap berkeras untuk tidak menggunakan kata ‘Allah’ tersebut. Saya tidak keberatan kalau Kristian Sugiyarto mau tetap membuang kata ‘Allah’ bagi dirinya sendiri. Tetapi yang ia lakukan adalah mengharuskan orang-orang kristen lain juga melakukan hal ini, padahal argumentasi mereka telah dipatahkan oleh Bambang Noorsena! Ini adalah tindakan memutlakkan apa yang tidak mutlak, mengharuskan apa yang tidak harus. Dengan kata lain, ia membuat hukum sendiri, tanpa dasar yang jelas. Dia kira dia siapa?

b. Perhatikan kata-kata yang saya garis-bawahi dari kata-kata Kristian Sugiyarto di atas. Apakah kata-kata ‘ke dalam bahasa Indonesia’ itu cocok dengan terjemahan yang dilakukan ILT yang lalu mengubah kata ‘Allah’ menjadi ‘Elohim’?

c. Sekarang perhatikan bagian kata-kata Kristian Sugiyarto yang saya beri garis bawah ganda. Bukankah pembicaraan di sini adalah berkenaan dengan kata ‘Allah’ yang mereka anggap sebagai nama Tuhannya orang Islam? Mengapa tahu-tahu Kristian Sugiyarto pindah / lari ke kata ‘Allah’ sebagai nama berhala? Ini lari dari topik perdebatan! Kalah argumentasi, lalu lari ke pokok lain, merupakan sesuatu yang umum bagi orang yang tidak fair dalam berdebat!

c) Nama diri tidak bisa digandengkan dengan personal pronoun / kata ganti orang.

Teguh Hindarto: “Nama umum dapat dilengkapi personal pronoun, ku, mu, mereka. Contoh: Eloheinu (Elohim kami), Elohei (Elohimku), Eloheika (Elohimmu), Elohekem (Elohim mereka). Sedangkan nama diri, tidak dapat dibuat jamak dan disertai kata ganti diri (Personal pronoun) Contoh: YAHWEH, ALLAH, DAGON, ZEUS, ARTEMIS, SIN, adalah nama-nama sesembahan dan bukan nama gelar atau nama umum”.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

1. Saya kira yang dimaksudkan oleh Teguh Hindarto bukan ‘personal pronoun’ (= kata ganti orang), tetapi ‘possessive pronoun’ (= kata ganti empunya). Kata-kata bahasa Inggris seperti I, He, She, We, They, merupakan ‘personal pronouns’ / kata-kata ganti orang. Sedangkan kata-kata bahasa Inggris seperti My, His, Her, Our, Their, merupakan ‘possessive pronouns’ / kata-kata ganti empunya.

2. Saya kira karena kata ‘Allah’ itu sudah mengandung kata sandang tertentu ‘the’, maka akan menjadi aneh kalau digabungkan dengan ‘possessive pronoun’ / kata ganti empunya. Masakan kita mengatakan ‘my the God’ atau ‘the my God’?

3. Sebetulnya tak ada alasan mengapa nama diri tak boleh digandengkan dengan ‘possessive pronoun’ / kata ganti empunya! Dalam penggunaan sehari-hari saya kira sering nama digandengkan dengan ‘possessive pronoun’ / kata ganti empunya. Banyak orang sering mengatakan ‘Yesusku’, padahal ‘Yesus’ jelas merupakan nama pribadi! Bahkan ada lagu dalam bahasa Inggris yang kata-katanya berbunyi: ‘My Jesus I love You, I know Thou art mine. ....’. Juga dalam menulis surat misalnya, banyak orang menulis ‘My dear John’ (= John-ku yang kekasih).

4. Bandingkan dengan kata-kata Jamieson, Fausset & Brown di bawah ini.

Fausset’s Bible Dictionary (dengan topik ‘Jehovah’): “The Hebrews said the Elohim, in opposition to false gods; but never the Jehovah, for Jehovah means the true God only. Again, My God, ELOHAY, but not My Jehovah, for Jehovah by itself means this covenant relation to one. Again, the Elohim of Israel; but not the Jehovah of Israel, for there is no other Jehovah. Again, the living Elohim, but not the living Jehovah; for Jehovah means this without the epithet” (= Orang-orang Ibrani mengatakan ‘sang ELOHIM’, sebagai kontras dengan allah-allah / dewa-dewa palsu; tetapi mereka tidak pernah mengatakan ‘sang Yehovah’, karena Yehovah berarti Allah yang benar saja. Juga mereka mengatakan ‘my God / Allahku’, tetapi tidak pernah ‘my Jehovah / Yehovahku’, karena nama Yehovah itu sendiri berarti hubungan perjanjian dengan seseorang. Juga mereka mengatakan ‘sang ELOHIM dari Israel’; tetapi tidak pernah ‘sang Yehovah dari Israel’, karena tidak ada Yehovah yang lain. Juga mereka mengatakan ‘sang ELOHIM yang hidup’, tetapi tidak pernah ‘sang Yehovah yang hidup’; karena Yehovah berarti ini tanpa julukan itu).

Penekanan saya adalah pada bagian yang saya garis-bawahi. Memang tidak pernah ada kata-kata ‘my Jehovah’ / ‘Yehovahku’, tetapi itu bukan disebabkan karena ‘Yehovah’ itu adalah sebuah nama, tetapi karena nama ‘Yehovah’ / ‘Yahweh’ itu sendiri sudah mengandung makna hubungan perjanjian dengan seseorang.

Sekarang saya akan menanggapi pandangan mereka bahwa kata ‘Allah’ merupakan nama pribadi dari Tuhannya umat Islam.

1. Kata ‘Allah’ bukan merupakan nama pribadi dari Tuhannya orang Islam!

Seperti sudah saya singgung di atas, kata ‘Allah’ berasal dari kata-kata Al dan Ilah, dan berarti ‘the God’ (= sang Allah). Jadi, ini jelas bukan merupakan suatu nama! Saya mendapatkan hal ini dari:

a. Bambang Noorsena.

Dan Bambang Noorsena juga mengatakan bahwa dalam kalangan Islam memang ada 2 pandangan berkenaan dengan hal ini.

Bambang Noorsena: “Padahal, tidak semua umat Islam berpandangan seperti itu. Faktanya, ada umat Islam yang menganggap Allah itu ‘nama diri’, karena itu ghayr al-musytaq (tidak punya asal-usul dari kata lain), tetapi ada pula yang menganggapnya musytaq (berasal dari kata al-Ilah)”.

b. Seorang kyai Islam yang mengundang saya khotbah 3 x di tempatnya. Ia bernama Sumardi, mempunyai gelar S2 dalam Islam, dan mengaku bisa berbicara dalam bahasa Arab.

c. Seorang teman Islam saya yang mengaku bisa berbahasa Arab.

d. Sumber-sumber lain di bawah ini:

Encyclopedia Britannica 2007 (dengan topik ‘al-’):

“Arabic definite article, meaning ‘the.’ It often prefixes Arabic proper nouns, especially place-names; an example is Al-Jazirah (Arabic: ‘The Island’), the name of an interfluvial region in The Sudan” [= Kata sandang tertentu dalam bahasa Arab, berarti ‘the’ (= si / sang). Kata ini sering diletakkan di depan kata-kata benda bahasa Arab, khususnya nama-nama tempat; sebagai contoh adalah Al-Jazirah (bahasa Arab: ‘sang pulau’), nama dari suatu daerah antara sungai di Sudan].

Catatan: perhatikan bahwa kutipan di atas ini membicarakan kata bahasa Arab ‘al-’.

Dari kutipan di atas ini bisa kita lihat bahwa kata bahasa Arab ‘al-’ merupakan suatu definite article / kata sandang tertentu, dan karena itu dalam bahasa Inggris diterjemahkan ‘the’ (= si / sang).

Microsoft Encarta Reference Library 2003: “Allah, Arabic name of the supreme being. The term is a contraction of the Arabic al-llah, ‘the God.’ Both the idea and the word existed in pre-Islamic Arabian tradition, in which some evidence of a primitive monotheism can also be found. Although they recognized other, lesser gods, the pre-Islamic Arabs recognized Allah as the supreme God” (= Allah, nama / sebutan bahasa Arab untuk Tuhan / makhluk tertinggi. Istilah ini merupakan singkatan dari kata Arab Al-llah, ‘the God’. Baik gagasan maupun kata itu sudah ada dalam tradisi Arab sebelum Islam, dalam mana beberapa bukti dari suatu monotheisme yang primitif juga bisa ditemukan. Sekalipun mereka mengakui allah-allah / dewa-dewa lain yang lebih kecil, orang-orang Arab sebelum Islam mengakui Allah sebagai Allah yang tertinggi).

Catatan: saya harus tekankan berulang-ulang bahwa kata ‘name’ dalam bahasa Inggris tidak harus berarti ‘nama’, tetapi bisa berarti ‘sebutan’.

Microsoft Encarta Reference Library 2003 (related articles, definition of Allah): “The Arabic name for God, Allah, refers to the same God worshiped by Jews and Christians. Islam’s central teaching is that there is only one all-powerful, all-knowing God, and this God created the universe. ... The Arabic word ‘Allah’ means ‘the God,’ and this God is understood to be the God who brought the world into being and sustains it to its end. ... Before Islam, many Arabs believed in a supreme, all-powerful God responsible for creation; however, they also believed in lesser gods. With the coming of Islam, the Arab concept of God was purged of elements of polytheism and turned into a qualitatively different concept of uncompromising belief in one God, or monotheism” (= Sebutan bahasa Arab untuk untuk God, Allah, menunjuk kepada God / Allah yang sama yang disembah oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang kristen. Ajaran pokok Islam adalah bahwa hanya ada satu Allah yang maha kuasa dan maha tahu, dan Allah ini yang menciptakan alam semesta. ... Kata bahasa Arab ‘Allah’ artinya ‘the God’, dan Allah ini dimengerti sebagai Allah yang menciptakan dunia / alam semesta dan menopangnya sampai pada akhirnya. ... Sebelum Islam, banyak orang Arab percaya kepada suatu Allah yang tertinggi dan maha kuasa yang bertanggung-jawab untuk penciptaan; tetapi mereka juga mempercayai allah-allah / dewa-dewa yang lebih kecil. Dengan datangnya Islam, konsep orang Arab tentang Allah dimurnikan dari elemen-elemen polytheisme, dan dibelokkan pada konsep yang berbeda secara kwalitas tentang kepercayaan tanpa kompromi kepada satu Allah, atau monotheisme).

Microsoft Encarta Reference Library 2003 (‘Christian Arab’, ‘spread of’): “Allah is the Arabic word for ‘God.’” (= Allah adalah kata bahasa Arab untuk ‘God’).

Encyclopedia Britannica 2007 (dengan topik ‘Allah’):

“(Arabic: ‘God’), the one and only God in the religion of Islam. Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic al-Ilah, ‘the God.’ The name’s origin can be traced back to the earliest Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter being an Old Testament synonym for Yahweh. Allah is the standard Arabic word for ‘God’ and is used by Arab Christians as well as by Muslims” [= (bahasa Arab: ‘God’), satu-satunya God / Allah dalam agama Islam. Dari sudut ilmu asal kata, sebutan ‘Allah’ mungkin merupakan suatu singkatan dari kata bahasa Arab ‘al-Ilah’, ‘the God’. Asal usul sebutan itu bisa ditelusuri jejaknya sampai pada tulisan-tulisan Semitik dalam mana kata untuk ‘god’ adalah Il atau El, yang terakhir ini merupakan kata Perjanjian Lama yang sama untuk Yahweh. Allah adalah kata standard bahasa Arab untuk ‘God’ dan digunakan oleh orang-orang kristen Arab maupun oleh orang-orang Islam).

Wikipedia, the free encyclopedia (internet):

· “In Islam, Allah is the name of the nameless God” (= Dalam Islam, Allah adalah sebutan dari Allah yang tak bernama).

Catatan:

* kutipan di atas ini menunjukkan secara jelas bahwa dalam bahasa Inggris kata ‘name’ bisa berarti ‘nama’ ataupun ‘sebutan’. Dalam kutipan di atas ini, jelas bahwa kata ‘name’ yang pertama harus diartikan sebagai ‘sebutan’, sedangkan kata ‘name’ yang kedua (yang digabungkan dengan kata ‘less’, sehingga menjadi ‘nameless’), harus diartikan sebagai ‘nama’.

* Kata-kata ‘nameless God’ (= Allah yang tidak bernama) jelas menunjukkan bahwa Encyclopedia ini menganggap bahwa ‘Allah’ bukanlah nama dari Tuhannya orang Islam.

· “Allah ... is the standard Arabic word for ‘God’. While the term is best known in the West for its use by Muslims as a reference to God, it is used by Arabic-speakers of all Abrahamic faiths, including Christians and Jews, in reference to ‘God’” (= Allah ... adalah kata standard bahasa Arab untuk ‘God’. Sementara istilah ini di Barat dikenal karena penggunaannya oleh orang-orang Islam berhubungan dengan God / Allah, kata ini digunakan oleh orang-orang yang berbicara dalam bahasa Arab dari semua iman Abrahamik, termasuk Kristen dan Yahudi, berhubungan dengan ‘God’).

· “In Islam, Allah is the supreme and all-comprehensive divine name. All other divine names are believed to refer back to Allah. Allah is unique, the only God, transcendent creator of the universe and omnipotent. Arab Christians today, having no other word for ‘God’ than ‘Allah’, use terms such as Allāh al-ab to mean ‘God the father’” [= Dalam Islam, Allah adalah sebutan ilahi yang tertinggi dan mencakup segala sesuatu. Semua sebutan ilahi yang lain dipercaya menunjuk kembali kepada Allah. Allah itu unik, satu-satunya God / Allah, pencipta alam semesta yang transenden (melampaui pengetahuan / terpisah dari materi), dan maha kuasa. Orang-orang kristen Arab sekarang tidak mempunyai kata lain untuk ‘God’ selain ‘Allah’, menggunakan istilah-istilah seperti Allah al-ab untuk memaksudkan ‘God the Father / Allah Bapa’].

· “Arabic-speakers of all Abrahamic faiths, including Christians and Jews, use the word ‘Allah’ to mean ‘God’. The Christian Arabs of today have no other word for ‘God’ than ‘Allah’. Arab Christians for example use terms Allāh al-ab meaning ‘God the father’, Allāh al-ibn mean ‘God the son’, and Allāh al-rūh al qudus meaning ‘God the Holy Spirit’” (= Orang-orang yang berbicara dalam bahasa Arab DARI SEMUA IMAN Abrahamik, termasuk orang Kristen dan orang Yahudi, mengunakan kata ‘Allah’ untuk memaksudkan ‘God’. Orang-orang kristen Arab jaman sekarang tidak mempunyai kata lain untuk ‘God’ selain ‘Allah’. Sebagai contoh, orang-orang kristen Arab menggunakan istilah-istilah Allah al-ab yang berarti ‘God the Father / Allah Bapa’, Allah al-ibn berarti ‘God the Son / Allah Anak’, dan Allah al-ruh al qudus yang berarti ‘God the Holy Spirit / Allah Roh Kudus’).

Catatan: dalam bahasa Indonesia juga tidak ada kata lain selain ‘Allah’ untuk menterjemahkan kata ‘God’. Seringkali kata ‘God’ diterjemahkan ‘Tuhan’, tetapi saya berpendapat itu salah, karena kata ‘Tuhan’ merupakan terjemahan dari kata ‘Lord’, bukan dari kata ‘God’.

W. E. Vine (OT): “’elah, ‘god.’ This Aramaic word is the equivalent of the Hebrew ’eloah. It is a general term for ‘God’ in the Aramaic passages of the Old Testament, and it is a cognate form of the word ’allah, the designation of deity used by the Arabs” (= ELAH, ‘god’ / ‘allah’. Kata bahasa Aram ini sama artinya dengan kata bahasa Ibrani ELOAH. Ini merupakan istilah yang umum untuk ‘God’ / ‘Allah’ dalam text-text Perjanjian Lama bahasa Aram, dan ini merupakan bentuk yang berhubungan / sama asal usulnya dengan kata ‘allah’, kata yang digunakan oleh orang-orang Arab untuk menunjuk pada Allah).

The International Standard Bible Encyclopedia (dengan topik ‘God, names of’): “'El: In the group of Semitic languages, the most common word for Deity is El ('el), represented by the Babylonian ilu and the Arabic 'Allah” (= EL: dalam kelompok bahasa-bahasa Semitik, kata yang paling umum untuk Allah adalah EL, diwakili oleh kata Babilonia ILU dan kata Arab ‘Allah’).

A. Heuken SJ: “Kata ‘Allah’ merupakan perpaduan dua kata Arab: ‘al’ dan ‘ilah’, artinya ‘the God’ atau Yang (Maha)kuasa. Kata Semit ‘ilah’ sama arti dan akarnya dengan kata Ibrani ‘el’, yang berarti ‘yang kuat’, ‘yang berkuasa’ dan menjadi sebutan untuk ‘Tuhan’” - ‘Ensiklopedi Gereja’, vol I, hal 88.

Sir Hamilton A. R. Gibb: “Kata Arab ‘Allah’ adalah bentuk singkat dari al-ilah” - ‘Islam Dalam Lintasan Sedjarah’, hal 50.

2. Ada juga yang memberikan pandangan yang berbeda atau pandangan tambahan tentang asal usul dari kata ‘Allah’ ini. Saya memberikannya di bawah ini sebagai bahan pertimbangan.

a. Kata ‘Allah’ berasal dari kata bahasa Aram ALAHA.

Internet: “The Origin of the name ‘Allah’. It seems unlikely that the name Allah comes from al-ilaah ‘the God’, but rather from the Aramaic/Syriac alaha, meaning ‘God’ or ‘the God’. The final ‘a’ in the name alaha was originally the definite article ‘the’ and is regularly dropped when Syriac words and names are borrowed into Arabic. Middle-eastern Christianity used ‘alah’ and ‘alaha’ frequently, and it would have often been heard. But in the Aramaic/Syriac language there are two different ‘a’ vowels, one rather like the ‘a’ in English ‘hat’ and the other more like the vowel in ‘ought’. In the case of ‘alah’, the first vowel was like ‘hat’ and the second like ‘ought’. Arabic does not have a vowel like the one in ‘ought’, but it seems to have BORROWED this vowel along with the word ‘alah’. If you know Arabic, then you know that the second vowel in ‘allah’ is unique; it occurs only in that one word in Arabic. Scholars believe that Jesus spoke mostly Aramaic, although sometimes he spoke Hebrew and he might have spoken Greek on some occasions. If Jesus spoke Aramaic, then he referred to God using basically the same word that is used in Arabic” [= Asal usul dari sebutan ‘Allah’. Kelihatannya tidak mungkin / kecil kemungkinannya bahwa sebutan ‘Allah’ datang dari al-ilaah ‘the God’, tetapi dari kata bahasa Aram ALAHA, yang berarti ‘God’ (= Allah) atau ‘the God’ (= sang Allah). Huruf ‘a’ yang terakhir dalam sebutan ALAHA secara orisinil adalah kata sandang tertentu ‘the’ (= si / sang) dan biasanya dibuang pada waktu kata-kata dan sebutan-sebutan bahasa Aram dipinjam ke dalam bahasa Arab. Kekristenan Timur Tengah sering menggunakan kata-kata ‘alah’ dan ‘alaha’, dan itu sering didengar. Tetapi dalam bahasa Aram ada 2 huruf hidup ‘a’ yang berbeda, yang satu seperti ‘a’ dalam kata bahasa Inggris ‘hat’ dan yang lain lebih seperti huruf hidup ‘a’ dalam kata bahasa Inggris ‘ought’. Dalam kasus ‘alah’, huruf ‘a’ pertama adalah seperti ‘hat’ dan yang kedua seperti ‘ought’. Bahasa Arab tidak mempunyai huruf hidup / bunyi huruf hidup seperti dalam ‘ought’, tetapi bahasa Arab kelihatannya meminjam huruf hidup ini bersama dengan kata ‘alah’. Jika engkau mengenal bahasa Arab, maka engkau tahu bahwa huruf hidup yang kedua itu unik, itu muncul hanya dalam satu kata itu dalam bahasa Arab. Para ahli Alkitab percaya bahwa Yesus pada umumnya berbicara dalam bahasa Aram, sekalipun kadang-kadang Ia berbicara dalam bahasa Ibrani dan Ia mungkin berbicara dalam bahasa Yunani dalam beberapa peristiwa. Jika Yesus berbicara dalam bahasa Aram, maka secara dasari Ia menunjuk kepada Allah menggunakan kata yang sama dengan kata yang digunakan dalam bahasa Arab].

From Christoph.Heger@t-online.de (Dr. Christoph Heger)

Newsgroups: soc.religion.islam

Subject: Re: How About That Moon God?

Date: Wed Mar 25 18:59:38 EST 1998

Message-ID: <6fc5pa$c8l$1@waltz.rahul.net>

b. Pandangan lain lagi.

· ELOHIM berhubungan dengan ‘Alah’, yang artinya ‘bersumpah’.

Names of God (PC Study Bible): “There is another word from which some say Elohim is derived. It is Alah, which is said to mean to declare or to swear. Thus it is said to imply a covenant relationship. Before examining this derivation, however, it may be well to say that in either case, whether El or Alah, the idea of omnipotence in God is expressed. To make a covenant implies the power and right to do so, and it establishes the fact of ‘absolute authority in the Creator and Ruler of the universe.’ So the Elohim is seen making a covenant with Abraham, and because there is none greater He swears by Himself. ‘By myself I have sworn.’ In Gen 17 we see perhaps a combination of both of these derivations. In verse 1 we have: ‘I am the Almighty God (El-Shaddai); walk before me, and be thou perfect’; in verse 7: ‘I will establish my covenant between me and thee and thy seed after thee in their generations for an everlasting covenant, to be to thee Elohim and to thy seed after thee’ - that is, to be with them in covenant relationship” [= Ada kata lain dari mana beberapa orang mengatakan kata ‘Elohim’ diturunkan. Itu adalah kata ‘Alah’, yang katanya berarti ‘menyatakan’ atau ‘bersumpah’. Kemudian dikatakan itu secara implicit menunjuk pada suatu hubungan perjanjian. Tetapi sebelum memeriksa penurunan kata ini, adalah baik untuk mengatakan bahwa dalam kedua kasus, apakah El atau Alah, gagasan dari kemahakuasaan dalam Allah dinyatakan. Untuk membuat suatu perjanjian secara implicit menunjukkan kuasa dan hak untuk melakukannya, dan itu menegakkan fakta dari ‘otoritas mutlak dalam Pencipta dan Pemerintah dari alam semesta’. Demikianlah Elohim terlihat membuat suatu perjanjian dengan Abraham, dan karena tidak ada yang lebih besar (dari diriNya) maka Ia bersumpah demi diriNya sendiri. ‘Aku bersumpah demi diriKu sendiri’ (Kej 22:16). Dalam Kej 17 mungkin kita melihat kombinasi dari kedua penurunan ini. Dalam ay 1 kita mempunyai: ‘Akulah Allah Yang Mahakuasa (El-Shadday), hiduplah di hadapanKu dengan tidak bercela’; dalam ay 7: ‘Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Elohimmu dan Elohim keturunanmu’ - yaitu, bersama dengan mereka / menyertai mereka dalam hubungan perjanjian].

Catatan: tak dijelaskan kata ‘Alah’ itu bahasa apa, dan apakah ‘Alah’ bisa disamakan dengan ‘Allah’.

· hubungan kata ELOHIM (Ibrani), ALAHA (Aram), dan ALLAH (Arab).

Adam Clarke (tentang Kej 1:1): “As the word 'Elohiym is the term by which the Divine Being is most generally expressed in the Old Testament, it may be necessary to consider it here more at large. It is a maxim that admits of no controversy, that every noun in the Hebrew language is derived from a verb, which is usually termed the radix or root, from which, not only the noun, but all the different flections of the verb, spring. This radix is the third person singular of the preterite or past tense. ... The root in Hebrew, and in its sister language, the Arabic, generally consists of three letters, and every word must be traced to its root in order to ascertain its genuine meaning, for there alone is this meaning to be found. In Hebrew and Arabic this is essentially necessary, and no man can safely criticize on any word in either of these languages who does not carefully attend to this point. I mention the Arabic with the Hebrew for two reasons: 1. Because the two languages evidently spring from the same source, and have very nearly the same mode of construction. 2. Because the deficient roots in the Hebrew Bible are to be sought for in the Arabic language. The reason of this must be obvious, when it is considered that the whole of the Hebrew language is lost except what is in the Bible, and even a part of this book is written in Chaldee. Now, as the English Bible does not contain the whole of the English language, so the Hebrew Bible does not contain the whole of the Hebrew. If a man meet with an English word which he cannot find in an ample concordance or dictionary to the Bible, he must of course seek for that word in a general English dictionary. In like manner, if a particular form of a Hebrew word occur that cannot be traced to a root in the Hebrew Bible, because the word does not occur in the third person singular of the past tense in the Bible, it is expedient, it is perfectly lawful, and often indispensably necessary, to seek the deficient root in the Arabic. For as the Arabic is still a living language, and perhaps the most copious in the universe, it may well be expected to furnish those terms which are deficient in the Hebrew Bible. And the reasonableness of this is founded on another maxim, viz., that either the Arabic was derived from the Hebrew, or the Hebrew from the Arabic. I shall not enter into this controversy; there are great names on both sides, and the decision of the question in either way will have the same effect on my argument. For if the Arabic were derived from the Hebrew, it must have been when the Hebrew was a living and complete language, because such is the Arabic now; and therefore all its essential roots we may reasonably expect to find there: but if, as Sir William Jones supposed, the Hebrew were derived from the Arabic, the same expectation is justified, the deficient roots in Hebrew may be sought for in the mother tongue. If, for example, we meet with a term in our ancient English language the meaning of which we find difficult to ascertain, common sense teaches us that we should seek for it in the Anglo-Saxon from which our language springs; and, if necessary, go up to the Teutonic, from which the Anglo-Saxon was derived. No person disputes the legitimacy of this measure, and we find it in constant practice. I make these observations at the very threshold of my work, because the necessity of acting on this principle (seeking deficient Hebrew roots in the Arabic) may often occur, and I wish to speak; once for all on the subject. The first sentence in the Scripture shows the propriety of having recourse to this principle. We have seen that the word 'Elohiym is plural; we have traced our term ‘God’ to its source, and have seen its signification; and also a general definition of the thing or being included under this term, has been tremblingly attempted. We should now trace the original to its root, but this root does not appear in the Hebrew Bible. Were the Hebrew a complete language, a pious reason might be given for this omission, viz., ‘As God is without beginning and without cause, as his being is infinite and underived, the Hebrew language consults strict propriety in giving no root whence his name can be deduced.’ Mr. Parkhurst ... thinks he has found the root in 'aalaah, ‘he swore, bound himself by oath’; and hence, he calls the ever-blessed Trinity 'Elohiym, as being bound by a conditional oath to redeem man, etc., etc. Most pious minds will revolt from such a definition, and will be glad with me to find both the noun and the root preserved in Arabic. ALLAH is the common name for GOD in the Arabic tongue, and often the emphatic ALLAHUMA is used. Now both these words are derived from the root 'alaha, ‘he worshipped, adored, was struck with astonishment, fear, or terror,’ and hence, ‘he adored with sacred horror and veneration,’ cum sacro horrore ac veneratione coluit, adoravit. - WILMET. Hence, ilahon, ‘fear, veneration, and also the object of religious fear, the Deity, the supreme God, the tremendous Being.’ This is not a new idea; God was considered in the same light among the ancient Hebrews; and hence, Jacob swears by the fear of his father Isaac, Gen. 31:53. To complete the definition, Golius renders alaha, juvit, liberavit, et tutatus fuit, ‘he succoured, liberated, kept in safety, or defended.’ Thus, from the ideal meaning of this most expressive root, we acquire the most correct notion of the divine nature, for we learn that God is the sole object of adoration, that the perfections of his nature are such as must astonish all those who piously contemplate them, and fill with horror all who would dare to give his glory to another, or break his commandments; that consequently he should be worshipped with reverence and religious fear; and that every sincere worshipper may expect from him help in all his weaknesses, trials, difficulties, temptations, etc.; freedom from the power, guilt, nature, and consequences of sin; and to be supported, defended and saved to the uttermost and to the end” [= Karena kata ELOHIM adalah istilah dengan mana Makhluk Ilahi itu dinyatakan secara paling umum dalam Perjanjian Lama, mungkin merupakan sesuatu yang perlu untuk memikirkannya di sini dengan lebih terperinci. Merupakan suatu prinsip / hukum yang tidak dipertentangkan, bahwa setiap kata benda dalam bahasa Ibrani diturunkan dari suatu kata kerja, yang biasanya disebut / dinamakan akar kata, dari mana, bukan hanya kata benda itu, tetapi juga semua perubahan-perubahan yang berbeda dari kata kerjanya, muncul. Akar kata ini adalah orang ketiga tunggal dari bentuk lampau / past tense-nya. ... Akar kata itu dalam bahasa Ibrani, dan dalam bahasa saudaranya, bahasa Arab, biasanya terdiri dari 3 huruf, dan setiap kata harus dilacak sampai pada akar katanya untuk memastikan artinya yang sebenarnya, karena hanya di sanalah artinya ini harus ditemukan. Dalam bahasa Ibrani dan Arab ini merupakan sesuatu yang mutlak perlu, dan tidak ada orang yang bisa menganalisa kata apapun dengan aman dalam bahasa-bahasa ini jika ia tidak dengan teliti memperhatikan hal ini. Saya menyebutkan bahasa Arab bersama dengan bahasa Ibrani karena dua alasan: 1. Karena kedua bahasa ini jelas muncul dari sumber yang sama, dan mempunyai cara konstruksi yang sangat mirip. 2. Karena akar-akar kata yang kurang / tidak lengkap dalam Alkitab Ibrani harus dicari dalam bahasa Arab. Alasan dari hal ini adalah jelas, pada waktu dipikirkan bahwa seluruh bahasa Ibrani hilang kecuali apa yang ada dalam Alkitab, dan bahkan sebagian dari Alkitab ditulis dalam bahasa Aram. Sekarang, sebagaimana Alkitab bahasa Inggris tidak mencakup seluruh bahasa Inggris, demikian juga Alkitab Ibrani tidak mencakup seluruh bahasa Ibrani. Jika seseorang bertemu dengan suatu kata bahasa Inggris yang tidak bisa ia dapatkan dalam suatu konkordansi atau kamus Alkitab yang memadai, tentu saja ia harus mencari kata itu dalam kamus umum bahasa Inggris. Dengan cara yang sama, jika suatu bentuk kata bahasa Ibrani muncul dan tidak bisa dilacak sampai pada akar katanya dalam Alkitab Ibrani, karena kata itu tidak muncul dalam orang ketiga tunggal dari bentuk lampau / past tense dalam Alkitab, adalah bermanfaat dan sepenuhnya sah, dan seringkali tidak bisa dihindarkan, untuk mencari akar kata yang kurang itu dalam bahasa Arab. Karena bahasa Arab tetap merupakan bahasa yang hidup, dan mungkin merupakan bahasa yang paling banyak menggunakan kata-kata dalam dunia, maka bisa diharapkan untuk memperlengkapi istilah-istilah yang kurang dalam Alkitab Ibrani. Dan masuk akalnya hal ini didasarkan pada prinsip / hukum yang lain, yaitu bahwa, atau bahasa Arab diturunkan dari bahasa Ibrani, atau bahasa Ibrani diturunkan dari bahasa Arab. Saya tidak akan masuk dalam kontroversi tentang hal ini; ada nama-nama besar pada kedua pihak, dan yang manapun yang benar akan mempunyai pengaruh yang sama pada argumentasi saya. Karena jika bahasa Arab diturunkan dari bahasa Ibrani, itu pasti terjadi pada saat bahasa Ibrani masih merupakan suatu bahasa yang hidup dan lengkap, karena demikianlah bahasa Arab sekarang; dan karena itu semua akar katanya yang perlu secara masuk akal bisa kita harapkan untuk ditemukan di sana: tetapi jika, seperti yang diduga oleh Sir William Jones, bahwa bahasa Ibrani diturunkan dari bahasa Arab, pengharapan yang sama dibenarkan, akar-akar kata yang kurang dalam bahasa Ibrani bisa dicari dalam bahasa asalnya. Sebagai contoh, jika kita bertemu dengan suatu istilah dalam bahasa Inggris kuno kita, yang artinya sukar untuk dipastikan, akal sehat mengajar kita bahwa kita harus mencarinya dalam bahasa Anglo-Saxon dari mana bahasa Inggris muncul; dan jika perlu, kita terus mencarinya dalam bahasa Teutonic, dari mana bahasa Anglo-Saxon diturunkan. Tidak ada orang yang memperdebatkan sahnya hal ini, dan kita mendapatkan bahwa hal ini dipraktekkan terus menerus. Saya membuat pengamatan ini pada awal dari pekerjaan saya, karena adanya kebutuhan untuk bertindak berdasarkan prinsip ini (mencari akar kata bahasa Ibrani yang kurang dalam bahasa Arab) bisa sering terjadi, dan saya ingin berbicara tentang hal ini sekali untuk selamanya. Kalimat pertama dalam Kitab Suci menunjukkan patutnya untuk kembali pada prinsip ini untuk mendapatkan pertolongan. Kita telah melihat bahwa kata ELOHIM adalah kata bentuk jamak; kita telah melacak istilah ‘God / Allah’ sampai pada sumbernya, dan kita telah melihat artinya; dan juga suatu definisi umum tentang hal atau makhluk yang dicakup oleh istilah ini telah diusahakan dengan gemetar / takut. Sekarang kita harus melacak kata bahasa asli ini ke akar katanya, tetapi akar kata ini tidak muncul dalam Alkitab Ibrani. Seandainya bahasa Ibrani merupakan suatu bahasa yang lengkap, suatu alasan yang saleh bisa diberikan untuk menjelaskan kekurangan ini, yaitu, ‘Karena Allah itu tidak mempunyai awal dan tidak mempunyai penyebab, karena keberadaanNya tak terbatas dan tidak diturunkan, maka bahasa Ibrani memberikan kepatutan yang ketat dengan tidak memberikan akar kata dari mana sebutanNya bisa dilacak / didapatkan’. Tuan Parkhurst ... berpikir bahwa ia telah menemukan akar katanya dalam kata ’aalaah, ‘ia bersumpah, mengikat diriya sendiri dengan sumpah’; dan karena itu ia menyebut Tritunggal yang terpuji ELOHIM, karena terikat oleh suatu sumpah yang bersyarat untuk menebus manusia, dsb, dsb. Kebanyakan pikiran yang saleh akan memberontak terhadap definisi seperti itu, dan akan dengan gembira bersama dengan saya untuk mendapatkan baik kata benda maupun akar katanya dipelihara / diawetkan dalam bahasa Arab. ALLAH adalah sebutan umum bagi GOD dalam bahasa Arab, dan seringkali kata ALLAHUMA yang kuat / keras digunakan. Kedua kata ini diturunkan dari akar kata ’alaha, ‘ia menyembah, memuja, ditimpa oleh keheranan, rasa takut’, dan karena itu, ‘ia memuja dengan rasa takut dan pemujaan yang kudus’, cum sacro horrore ac veneratione coluit, adoravit. - WILMET. Karena itu, ILAHON, ‘rasa takut, pemujaan, dan juga obyek dari rasa takut agamawi, ke-Allah-an, Allah yang tertinggi, makhluk yang maha hebat / dahsyat’. Ini bukanlah suatu gagasan yang baru; Allah dianggap / dipikirkan dalam terang yang sama di antara orang-orang Ibrani kuno; dan karena itu, Yakub bersumpah demi rasa takut ayahnya, Ishak, Kej 31:53. Untuk melengkapi definisi ini, Grotius menterjemahkan ALAHA, juvit, liberavit, et tutatus fuit, ‘Ia memberi pertolongan, memerdekakan, menjaga dalam keamanan, atau membela / mempertahankan’. Karena itu, dari arti yang ideal dari akar kata yang paling penuh dengan pernyataan ini, kita mendapatkan gagasan / arti yang paling benar tentang Hakekat Ilahi, karena kita mempelajari bahwa Allah adalah satu-satunya obyek pemujaan, bahwa kesempurnaan dari hakekatNya adalah sedemikian rupa sehingga pasti mengherankan semua orang yang dengan saleh merenungkannya, dan memenuhi dengan rasa takut semua yang berani memberikan kemuliaanNya kepada yang lain, atau melanggar hukum-hukumNya; bahwa karena hal itu Ia harus disembah dengan rasa hormat dan rasa takut agamawi; dan bahwa setiap penyembah yang tulus / sungguh-sungguh bisa mengharapkan dari Dia pertolongan dalam semua kelemahan, ujian, kesukaran, dan pencobaannya, dsb.; kebebasan dari kuasa, kesalahan dan akibat dari dosa; dan didukung, dibela / dipertahankan dan diselamatkan sepenuhnya dan sampai pada akhirnya].

Kej 31:53b - “Lalu Yakub bersumpah demi Yang Disegani oleh Ishak, ayahnya”.

KJV: ‘And Jacob sware by the fear of his father Isaac’ (= Dan Yakub bersumpah demi rasa takut dari ayahnya, Ishak).

Dari kutipan yang begitu panjang dari Adam Clarke ini terlihat bahwa ia menganggap bahwa kata bahasa Ibrani ELOHIM, dan kata bahasa Aram ALAHA, dan kata bahasa Arab ALLAH / ALLAHUMA, mempunyai sumber yang sama. Jadi, tidak mungkin tahu-tahu kata ‘Allah’ bisa merupakan suatu nama pribadi!

3. Sebelum agama Islam muncul, orang-orang Kristen Arab sudah lebih dulu menggunakan kata ‘Allah’ ini.

Bambang Noorsena: “istilah Allah dipakai sebagai sebutan bagi Khaliq langit dan bumi oleh orang-orang Kristen Arab di wilayah Syria. Hal ini dibuktikan dari sejumlah inskripsi Arab pra-Islam yang semuanya ternyata berasal dari lingkungan Kristen”.

Catatan: kata ‘inskripsi’, dalam bahasa Inggris ‘inscription’, artinya adalah ‘prasasti’.

A. Heuken SJ: “Alkitab, Terjemahan Arab. Sebelum kebangkitan Islam, agama Kristen berdiri kokoh di beberapa tempat di Jazirah Arab, khususnya di bagian baratnya dan di Yaman. Sejak abad ke 2 bagian-bagian dari Kitab Suci sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab untuk digunakan sebagai bacaan dalam ibadat” - ‘Ensiklopedi Gereja’, vol I, hal 87.

Catatan: Buku ini dari perpustakaan STRIS.

A. Heuken SJ: “Mengingat sejarah terjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa Arab, peraturan beberapa negara bagian - Malaysia, yang melarang orang Kristen menggunakan kata-kata Arab seperti nabi, Allah ... adalah tidak adil. Sebab kata-kata itu sudah digunakan sebelum zaman nabi Muhammad oleh orang Kristen bangsa Arab” - ‘Ensiklopedi Gereja’, vol I, hal 88.

A. Heuken SJ: “Sebelum masa Muhammad, kata ‘Allah’ sudah dipakai dalam bahasa Arab untuk Pencipta alam semesta yang terlalu jauh atau tinggi untuk disembah atau dimintai perhatian. Orang Kristen keturunan Arab pada waktu itupun sudah memakai sebutan ‘Allah’ untuk Tuhan” - ‘Ensiklopedi Gereja’, vol I, hal 88-89.

Sebagai tambahan berkenaan dengan larangan bagi orang Kristen untuk menggunakan kata ‘Allah’ di Malaysia, di sini saya berikan kutipan dari koran Jawa Pos.

Berita dari JAWA POS, Selasa tanggal 6 Mei 2008, hal 6, kolom 1-2:

“Menang Gugatan Kata ‘Allah’. Kuala Lumpur - Surat kabar Katolik Roma di Malaysia The Herald memenangkan hak menggunakan kata ‘Allah’ dalam artikel mereka. Sidang yang diadakan kemarin (5/5) itu merupakan upaya mereka sebelum menggugat pemerintah yang melarang agama lain selain Islam menggunakan kata ‘Allah’. Menurut mereka, hal tersebut sah-sah saja. Sebab, ‘Allah’ merupakan sinonim dari ‘Tuhan’. Hakim Lau Bee Lan yang memimpin sidang memutuskan bahwa larangan pemerintah itu tidak pantas. Hakim pun mengizinkan media tersebut menggugat pemerintah atas larangan itu di pengadilan. Sidang tersebut merupakan buntut dari pernyataan pemerintah yang melarang media itu menggunakan kata ‘Allah’ dalam edisi bahasa Melayu mereka. Menurut pemerintah, kata tersebut hanya layak digunakan orang Islam. Pemerintah mengeluarkan larangan tersebut untuk mencegah timbulnya kebingungan pada umat muslim. Bahkan, pemerintah mengancam akan mencabut izin terbit media yang membangkang. The Herald menyatakan bahwa kata itu bukan semata hak eksklusif bagi muslim. Saat ini sirkulasi media tersebut mencapai 850 ribu. Surat kabar itu menampilkan artikel dalam empat bahasa, yakni Inggris, Mandarin, Tamil, dan Melayu”.

Saya kira hakim itu memutuskan pasti tidak dengan sembarangan. Hampir bisa dipastikan bahwa fakta sejarah, yang menunjukkan bahwa sebelum Islam ada, kata ‘Allah’ sudah digunakan oleh orang-orang Kristen Arab, menjadi pertimbangannya untuk secara benar / adil / tepat memenangkan gugatan surat kabar Katolik itu.

Saya berpendapat bahwa fakta sejarah ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena kata ‘Allah’ sudah lebih dulu digunakan oleh orang-orang kristen Arab sebelum Islam ada, maka menurut saya adalah sangat tolol dan tidak masuk akal untuk membentuk suatu ajaran tentang boleh tidaknya menggunakan kata ‘Allah’ berdasarkan ajaran dari Islam / Al-Quran!

4. Dalam Alkitab Kristen bahasa Arab, juga digunakan kata ‘Allah’ sebagai terjemahan dari kata ‘God’.

Kristian Sugiyarto: “Terjemahan Alkitab Ibrani-Arab bukanlah standar ‘kebenaran’; barangkali kristen-Arablah yang memaksakan demikian, maksud saya kata Allah (Arab) = Elohim (ibrani) itu hanya berlaku bagi kristen-Arab, sementara itu kaum muslim-Arab belum tentu setuju pemahaman bahwa Allah bukan nama diri, atau karena terpengaruh agama suku karena nama Allah sudah ada sebelum Kristen masuk di Arab. Lihat Kamus English-English Hornby misalnya, Allah = name of God among Muslims, and all faiths in Arabs”.

Dalam bagian lain, Kristian Sugiyarto menterjemahkan kata-kata itu yang ia kutip dari kamus Hornby itu sebagai berikut: “kata Allah adalah nama diri Tuhan Islam dan semua kepercayaan di Arab”.

Catatan: kalimat terakhir saya beri terjemahan dari saya: ‘Allah = nama / sebutan dari Allah di antara orang-orang Islam, dan semua iman / kepercayaan di Arab’.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

a. Betul-betul konyol kalau Kristian Sugiyarto lebih peduli pada pandangan orang Islam dari pada apa yang ada dalam Alkitab Kristen bahasa Arab, padahal Alkitab Kristen bahasa Arab itu sudah ada lebih dulu dari pada Islam. Juga sama konyolnya kalau ia mengatakan orang Kristen Arab yang memaksakan demikian.

b. Juga perhatikan kata-kata ‘barangkali’ dan ‘belum tentu’ yang saya beri garis bawah. Kata-kata ini menunjukkan bahwa argumentasi yang ia gunakan ini hanya merupakan suatu dugaan / kemungkinan, yang ia sendiri tidak yakin akan kebenarannya.

c. Dengan kata-kata ini Kristian Sugiyarto mau membuktikan dengan menggunakan kamus Hornby tersebut bahwa kata ‘Allah’ merupakan sebuah nama. Tetapi dia kelihatannya tidak tahu (atau, pura-pura tidak tahu?) bahwa kata ‘name’ tidak harus diterjemahkan ‘nama’, tetapi bisa diterjemahkan ‘sebutan’, dan ia menterjemahkan ‘name’ menjadi ‘nama diri’. Padahal kalau ‘nama diri’, bahasa Inggrisnya adalah ‘personal name’.

Untuk menjawab ini sekali lagi saya tekankan bahwa kata ‘name’ dalam bahasa Inggris tidak selalu harus diterjemahkan ‘nama’, tetapi bisa diterjemahkan sebagai ‘sebutan’. Dan saya berpendapat, bahwa dalam kutipan dari kamus Hornby yang digunakan oleh Kristian Sugiyarto itu, kata ‘name’ harus diartikan ‘sebutan’.

d. Juga Kristian Sugiyarto kurang memperhatikan kata-kata ‘all faiths in Arab’ (= semua iman / kepercayaan di Arab) di bagian akhir dari kutipannya dari kamus Hornby itu. Kata-kata ini menunjukkan bahwa di Arab, bukan hanya Islam, tetapi juga agama Yahudi dan Kristen menggunakan kata ‘Allah’! Kalau bagi orang Islam kata ‘Allah’ itu merupakan suatu nama, maka konsistensinya, berdasarkan kamus itu, Kristian Sugiyarto juga harus menyimpulkan bahwa Kristen dan Yahudi juga mempercayai bahwa kata ‘Allah’ merupakan suatu nama. Tetapi ini jelas salah, bukan?

5. Perlu diketahui bahwa sebelum Islam ada, ada banyak orang Arab yang beragama Yahudi.

The International Standard Bible Encyclopedia (dengan topik ‘Arabia’): “Judaism: Before the time of Mohammad Judaism prevailed extensively in Arabia, especially in the Hijaz. It began no doubt with the migration of families due to disturbed political conditions at home. The conquest of Palestine by Nebuchadnezzar, by the Seleucids, by the Romans under Pompey, Vespasian and finally Hadrian, drove many Jews to seek peace and safety in the deserts out of which their forefathers had come. Thither Paul also withdrew after his conversion (Gal 1:17). Two of these emigrant tribes, the Nadir and Koreiza, settled at Medina, first in independence, then as clients of the Aus and Khazraj. In the end they were harried and destroyed by Mohammad. The Jewish colony at Kheibar met the same fate. Several free Arab tribes also professed the Jewish faith, especially certain branches of Himyar and Kinda, both descendants of Kahtan, the former in southern, the latter in central Arabia. Judaism was introduced into the Yemen by one of the Tubbas, probably in the 3rd century AD, but it was not until the beginning of the 6th century that it made much headway” [= Yudaisme: Sebelum jaman Muhammad, Yudaisme tersebar secara sangat luas di Arab, khususnya di Hijaz. Tak diragukan bahwa hal itu dimulai dengan perpindahan keluarga-keluarga disebabkan kondisi politik yang terganggu di Palestina / Kanaan. Penaklukan Palestina oleh Nebukadnezar, oleh orang-orang Babilonia, oleh orang-orang Romawi di bawah Pompey, Vespasian dan akhirnya Hadrian, memaksa banyak orang Yahudi untuk mencari tempat yang damai dan aman di padang pasir, dari mana nenek moyang mereka datang. Kesana juga Paulus menarik diri setelah pertobatannya (Gal 1:17). Dua dari suku-suku pendatang, suku Nadir dan Koreiza, menetap di Medina, mula-mula dalam kebebasan / kemerdekaan, tetapi lalu menjadi orang-orang yang tergantung pada orang-orang Aus dan Kheibar. Pada akhirnya mereka disiksa / dirampok dan dihancurkan oleh Muhammad. Koloni Yahudi di Kheibar mengalami nasib yang sama. Beberapa suku Arab bebas juga mengakui iman Yahudi, khususnya cabang-cabang tertentu dari Himyar dan Kindaq, keduanya keturunan dari Kahtan, yang lebih awal di Arab selatan, dan yang lebih akhir di Arab tengah. Yudaisme diperkenalkan di Yaman oleh satu dari orang-orang Tubba, mungkin pada abad ke 3 SM, tetapi baru pada abad 6 agama / gerakan itu mengalami banyak kemajuan].

Perlu dipertanyakan, dengan kata apa orang-orang Arab yang beragama Yahudi ini menyebut kata ‘God’? Tidak bisa tidak, mereka pasti menggunakan kata ‘Allah’!

Berkenaan dengan 2 hal di atas ini, yaitu bahwa kata ‘Allah’ bukan nama, tetapi berarti ‘the God’, dan bahwa istilah itu sudah digunakan oleh orang-orang kristen Arab jauh sebelum Islam ada, ada tanggapan dari Teguh Hindarto.

Tanggapan Teguh Hindarto:

1. Teguh Hindarto: “Tidak mungkin ALLAH berasal dari Al dan ilah. Hal ini menyalahi kaidah tata bahasa. Al merupakan definite article yang dalam istilah Inggris The. Sedangkan ilah dalam istilah Inggris berarti God atau Tuhan. Namun masalahnya, tidak mungkin Al atau ilah melebur menjadi kata baru ALLAH. Kalau hal ini diabaikan berarti Al dan Kitab harus mengalami perubahan menjadi Altab. Lalu Al dan Barokah menjadi Alrokah. ALLAH adalah nama Al ilah atau Ha Eloah atau The God orang Arab yang berdomisili di Mekah. Sedangkan YAHWEH adalah nama Al - ilah atau Ha Eloah atau The God of Israel yang ujudnya Roh (Yohanes 4:24) yang berdiam di Surga (1 Raj. 8:43) yang berkarya melalui Firman-Nya yang menjadi daging yang benama YESUA HAMASIAH (Yohanes 1:1-14). Terjemahan 1 Korintus 8:4 dalam bahasa Arab rancu dan yang menyesatkan. Seharusnya dalam bahasa Arab berbunyi: ‘la ilaha Al ilahu ahad’ atau dalam bahasa Ibrani: ‘lo eloah aval ha eloah hu ekad’ atau dalam terjemahan Indonesia: ‘dan sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Esa....’ Konteks Tuhan atau sesembahan yang Esa ini harus kita kembalikan pada teks aslinya (Ibrani) dari Ulangan 6:4 yang berbunyi: ‘Syema Yisrael; YAHWEH Eloheinu YAHWEH Ekhad’ yang berarti, ‘dengarlah hai Israel; YAHWEH itu Eloim (Tuhan) kita, YAHWEH itu Esa’. Jadi Esa itu adalah Al ilah atau Ha Eloah yang bernama YAHWEH dan bukan ALLAH”.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

a. Terus terang saja, saya tidak mengerti bahasa Arab sama sekali. Tetapi saya percaya bahwa sumber-sumber yang saya berikan di atas, seperti Encyclopedia Britannica dsb, bukanlah sumber-sumber yang sembarangan, dan karena itu saya lebih percaya sumber-sumber saya dari pada penjelasan Teguh Hindarto yang menggunakan tata bahasa dari bahasa Arab.

Perlu diketahui bahwa kelompok yang melarang kata ‘Allah’ dan mengharuskan nama ‘Yahweh’ ini sangat banyak memberikan informasi yang sangat tidak akurat, seperti pada saat mereka mengatakan bahwa Perjanjian Baru bahasa aslinya adalah bahasa Ibrani! Jadi, bagaimana saya mau mempercayai penjelasan mereka berkenaan dengan bahasa Arab, yang sama sekali tidak saya mengerti?

Sekarang perhatikan kutipan kata-kata Bambang Noorsena di bawah ini.

Bambang Noorsena: “Yang lebih menggelikan lagi, Teguh Hendarto mengkoreksi terjemahan Alkitab al-Muqaddas (Today’s Arabic Version), terbitan Dar al-Kitab al-Muqaddas fi al-Syarq al-Ausath, Beirut, yang saya kutip dalam makalah saya. Ungkapan Laa Ilaha illa Allah (Tidak ada Ilah kecuali Allah) yang tercatat dalam 1 Korintus 8:4, dengan gayanya yang menggurui, katanya terjemahan yang benar: Laa Ilaha al-Wahid. Ini bahasa Arab apa? Tidak ada artinya sama sekali, dan terang saja akan ditertawakan santri desa yang baru belajar Juzz Amma. Tetapi, ya itulah kualitas rata-rata kaum Penentang Allah itu. Semua ini saya ungkap di sini, karena gerakan mereka semakin gencar dan ngawur, seperti yang akan kita lihat di bawah ini”.

Catatan: mengapa kutipan Bambang Noorsena dari Teguh Hindarto berbeda? Saya tidak mengerti!

Kutipan dari Bambang Noorsena ini saya berikan hanya untuk menunjukkan bahwa bagi Bambang Noorsena, yang memang mengerti bahasa Arab, penjelasan Teguh Hindarto jelas terlihat ngawur, dan terlihat sebagai penjelasan dari seseorang yang tidak mengerti bahasa Arab. Apakah Teguh Hindarto memberikan penjelasan seperti itu hanya untuk menipu orang-orang kristen, yang ia tahu pada umumnya sama sekali tidak mengerti bahasa Arab?

b. Dan dalam menjawab argumentasi Teguh Hindarto yang menggunakan bahasa Arab ini, saya lagi-lagi mengutip kata-kata Bambang Noorsena di bawah ini.

Bambang Noorsena: “Untuk meneguhkan pembedaan antara ilah, alih-ah, dan al-Ilah dengan Allah, Teguh Hendarto lalu menyangkal bahwa istilah Allah berasal dari al-Ilah (Bahana, Maret 2001). Menurut argumentasinya yang sangat awam mengenai bahasa Arab, ia menulis kalau al-Ilah dapat disingkat menjadi Allah, mengapa Alkitab tidak menjadi Altab? Untuk itu saya harus menjelaskannya secara sabar, karena mungkin ia tidak bisa membaca sepotongpun huruf Arab, meski gayanya yang kelewat percaya diri seolah-olah mau menggurui saya. Begini, pada prinsipnya sebuah kata dalam bahasa-bahasa semitik dibentuk dari akar kata (al-jidr) yang biasanya terdiri dari 3 konsonan. Akar kata itu bisa dipecah-pecah menjadi kata benda, kata sifat, kata kerja dan kata benda baru. Misalnya, kitab dari kata k-t-b. Dari akar kata ini, lalu dibentuklah menjadi banyak kata: kata benda, kata kerja, dan sebagainya. Dari akar kata k-t-b kita dapat menemukan kata-kata sebagai berikut: kitaab (buku), kaatib (penulis), maktabah (perpustakaan), maktub (tertulis, termaktub), uktub (tulislah!), dan seterusnya. Sedangkan kata Ilah, al-Ilah terbentuk dari 3 akar kata hamzah, lam, haa (‘-l-h). Dari akar kata ini, kita mengenal istilah ilah, alihah, dan al-Ilah (atau bentuk singkatnya: Allah). Sebagai sesama bahasa rumpun semitis, bahasa Ibrani dan bahasa Aram mempunyai ciri yang sama. Saya juga pernah menulis, bahwa kata Ibrani Elah, Eloah berasal dari kata el (kuat) dan alah (sumpah). Al- dalam kata Allah berbeda dengan El (kuat) dalam bahasa Ibrani. Kata Ibrani El, sejajar dengan bahasa Arab Ilah, sedangkan kata sandang Al- yang mendahului Ilah sejajar dengan bahasa Ibrani ha-elohim (1Raja-raja 18:39). Tetapi kasus penyingkatan al-Ilah menjadi Allah hanya terjadi dalam bahasa Arab, tidak terjadi dalam bahasa Ibrani atau Aram. Selanjutnya, memisahkan sebutan Allah dari Ilah, al-Ilah juga tidak bisa dipertahankan. Sebab ahli bahasa Arab, baik dari kalangan Islam maupun Kristen, juga banyak yang menganggap bahwa sebutan Allah itu musytaq atau dapat dilacak asal-usulnya dari kata lain. Jadi, tidak benar anggapan kaum penentang Allah itu yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lain. Memang, ada penerjemah al-Qur’an yang berpandangan demikian, misalnya terjemahan Abdallah Yusuf Ali, The Meaning of The Holy Quran”.

Sekarang perhatikan tanggapan dari Kristian Sugiyarto tentang kata-kata Bambang Noorsena di atas.

Kristian Sugiyarto: “Pola berpikir Anda ini jelas jauh dari nilai ilmiah; jelas ada dua ‘pendapat’ koq terus membenarkan pendapat yang sealiran dan menyalahkan pendapat yang lain. Tegasnya di kalangan Islam sendiri kan jelas ada perbedaan pendapat. This is the fact (= Ini merupakan faktanya). Pendapat Anda perihal asal-usul kata Allah memang considerably accepted (= sangat diterima), masuk akal, tetapi ingat ini teori bukan the fact (= fakta)”.

Catatan: terjemahan (yang ada dalam kurung), dari saya.

Jadi, terhadap jawaban Bambang Noorsena ini Kristian Sugiyarto mengakui bahwa memang ada 2 pandangan. Dan ia menyerang Bambang Noorsena dengan mengatakan bahwa kalau ada 2 teori, mengapa Bambang Noorsena mengambil yang satu dan menyalahkan yang lain. Tetapi serangan ini menjadi boomerang bagi dirinya sendiri dan kelompok Yahweh-ismenya. Kalau ada 2 pandangan, mengapa mereka begitu yakin dengan pandangan mereka sendiri dan menyalahkan / mengecam pandangan yang lain? Juga, bagaimana mungkin Teguh Hindarto mengatakan bahwa kalau dikatakan bahwa ‘Allah berasal dari Al-ilah’ itu ‘menyalahi kaidah tata bahasa’, padahal Kristian Sugiyarto sendiri mengakui memang ada 2 teori? Apakah orang-orang yang memegang teori pertama tidak mengerti kaidah tata bahasa?

2. Teguh Hindarto: “Digunakannya kata ALLAH oleh orang Kristen Arab bukan jaminan valid kesahihan nama ini sebagai pengganti Eloim maupun YAHWEH. Perlu dipertanyakan mengapa dan lewat sumber apa mereka mengadopsi kata ALLAH itu. Tampaknya jika ditelusuri bahwa tanah Arab merupakan wilayah subur pelarian bidat Kristen non chalcedonian (Bambang Ruseno Utomo 1993:130-131) terbukti bahwa banyak klaim dan tuduhan miring Al Quran banyak diarahkan pada sekte2 Kristen di Arab. Tampaknya dewa ALLAH ini telah dikenal di Babilon dan mulai bermigrasi 5000 tahun lalu ke Mekah (Steven Van Natan, 1995:1) Fakta ini dibenarkan pula oleh Roberts Morey melalui bukunya The Islamic Invasion, 1992, yang menyebutkan bahwa Allah adalah dewa bulan. Kami melihat penggunaan ALLAH oleh orang Kristen Arab lebih dikarenakan ketidaktahuan asal muasal nama Allah itu. Kedua, Karena proses adopsi dan kontektualisasi yang berlebihan”.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

a. Kata ‘tampaknya’ dalam kutipan kata-kata Teguh Hindarto, yang ia kutip dari Steven Van Natan menunjukkan ketidak-pastian. Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak pasti bisa dijadikan dasar untuk melarang penggunaan kata ‘Allah’?

b. Bambang Noorsena kelihatannya tahu tentang Steven Van Natan dan Roberts Morey ini, dan ia menilai keduanya secara sangat negatif.

Bambang Noorsena: “Diakui atau tidak, gerakan ‘asal bukan Allah’ ini diawali oleh sebuah asumsi teologis tertentu, seperti tampak dari traktat ‘sampah’ Stephen van Natan dan karya polemikus Robert Morrey yang diwarnai sikap anti-Islam itu.”.

Bambang Noorsena mengatakan lagi: “Ia tidak menyelidiki dulu, bahkan buku Roberts Morrey, yang lebih merupakan karya polemik yang sangat provokatif anti-Islam itu, disebutnya sebagai ‘bukti archeologis?’. Padahal, dalam buku ini tidak ada pembahasan arkheologis sama sekali, kecuali berbagai sumber bacaan yang dirangkai-rangkai tanpa penelitian mendalam. Juga buku Steppen van Natan, Allah: Divine or Demonic, yang lebih menyerupai traktat tersebut, bagaimana ‘buku sampah’ begini bisa disejajarkan dengan hasil penelitian Prof. Littmann, misalnya, yang meneliti inkripsi-inskripsi Arab pra-Islam itu sangat mendalam, bahkan banyak ahli-ahli lain yang reputasinya tidak diragukan, yang telah menyerahkan hampir seluruh hidup mereka untuk penelitian ilmiah.”.

c. Berasal dari bidat non chalcedonian?

Saya berpendapat bahwa kutipan dari Teguh Hindarto di atas mengandung suatu kelucuan. Mengapa? Karena Pengakuan Iman Chalcedon baru muncul dalam Sidang Gereja di Chalcedon pada tahun 451 Masehi. Bidat non Chalcedon pasti muncul setelah itu, sedangkan orang Kristen Arab sudah menggunakan istilah ‘Allah’ jauh sebelum itu! Jadi, argumentasi dari Teguh Hindarto ini sama sekali tak cocok dengan khronologi!

d. Tentang kata ‘Allah’ yang dianggap berasal dari nama dewa, akan saya bahas dalam point di bawah ini.

II) ‘Allah’ merupakan nama pribadi / diri seorang dewa pra Islam (dewa air / dewa bulan / dewa matahari).

Teguh Hindarto: “Menurut kesaksian dibawah ini, dapat kita ketahui siapa ALLAH itu sebenarnya. Menurut Al Quran, Bahwa ALLAH adalah nama Tuhan (Qs 20 : 14, 98) yang berdiam di Mekah (Qs 27 : 91) yaitu Ka’bah (Qs 106 : 3) yang dipersonifikasikan dalam bentuk batu hitam Hajarul Aswad yang harus dicium sewaktu Haji sambil diteriaki ALLAHU AKBAR! (Hadits Shahih Muslim No 1190 dan Hadits Shahih Bukhari no 839). Menurut penulis Islam, Mohammad Wahyuni Nafis, Passing Over; Melintasi Batas Agama, PT Gramedia Pustaka Tama, 1998, Hal 85. Dijelaskan disana bahwa ada periode pre-Islam, ALLAH adalah nama Dewa Air yang mengairi bumi Mekkah. Sedangkan menurut kesaksian Arkeologi yaitu Roberts Morrey, The Islamic Invasion, Harvest Publisher, 1992 dinyatakan bahwa ALLAH pre-Islam adalah nama Dewa Bulan. Sedangkan menurut penulis Stephen Van Natan, ALLAH Devine or Demonic,1995, p.72, bahwasannya ALLAH adalah nama Dewa Matahari yang migrasi dari Babylon ke Mekkah”.

Teguh Hindarto: “Perhatikan referensi dibawah ini:

ALLAH : Nama DEWA bangsa ARAB, yang mengairi bumi ( ‘PASING OVER’ Oleh Muh. Wahyuni Nafis 1998, halaman 85)

ALLAH : Nama DEWA yang disebut-sebut suku QURAISY, bangsa ARAB, bersama-sama dewi AL LATA dan dewi AL UZZA (Kelengkapan Tarikh Nabi MUHAMMAD SAW, Oleh K.H Moenawar Chalil, Jilid 1, halaman 223)

ALLAH : Nama DEWA yang disembah penduduk MEKKAH (Agama Manusia, Kata pengantar Djohan Ef fendi, 1985, halaman 258)

ALLAH : Nama DEWA tertinggi bangsa ARAB bersama-sama DEWI AL LATTA dan DEWI AL UZZA yang disembah sejak dahulu kala, tertulis didalam inskripsi Arab (Keberagaman Yang Saling Menyapa, Oleh Drs. Moh Sabri MA, 1999, halaman 70)

ALLAH : Is the name of pagan deity from Babylon; he had wife name AL LATA, and who migrated with him, over 3500 years period, to Mecca. Based on inscriptions found in stone, Quran and Hadits. (Allah Devine of Demonic, by Steven van Natan, 1995, page 1)

ALLAH : Orang Kafir Quraisy menyembah dewa yang bernama ALLAH. Bagi Islam Tuhan sesungguhnya bernama ALLAH. Lalu orang barat menganggap umat Islam itu musrik (pagan) karena menyembah ALLAH. Orang Islam menjelaskan bahwa yang mereka sembah bukan AL LAH masyarakat Purba. (Konflik Islam-Kristen, Pengantar. Deliar Noer, H. Sudarto, 1999, Halaman 162-163)

ALLAH : Diam didlm Ka’bah yang disebut Baitullah atau Rumah ALLAH. Sebelum Islam, terdapat 360 berhala didalam dan disekitar Ka’bah Baitullah. Disekeliling Baitullah ini terdapat Patung AL LATA sebagai dewi musim panas, AL UZZA dewi musim dingin, AL MANAH dewi penentu nasib, AL HUBAL ada didalam Baitullah sebagai menantu ALLAH yaitu suami AL MANAH. (Hadits Shahih Bukhori 1187, Bidah-bidah di Indonesia, Oleh Drs K.H Bad ruddin Hsubky, 1994, Halaman 81)

ALLAH : Adalah suatu NAMA yang telah dikenal sebelum Al’quran diwahyukan. (Ensiklopedia Islam, Ja karta, 1996, Halaman 23)

ALLAH : Adalah nama Tuhan dalam bahasa Arab (Kamus besar bahasa Indonesia tahun 1996, halaman 27. Dep Pendidikan dan Kebudayaan, Terbitan Balai Pustaka)

Dari beberapa referensi diatas jelaslah bahwa ALLAH itu adalah suatu nama pribadi sesembahannya orang Arab sama seperti YAHWEH yang adalah nama suatu pribadi yaitu sesembahan umat Israel”.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

1) Teguh Hindarto ini memberikan kutipan dari sumber-sumber yang berbeda yang bertentangan satu dengan yang lainnya.

Mula-mula ia mengatakan bahwa ‘Allah’ adalah nama dari Tuhannya orang Islam, dan lalu ia mengatakan bahwa ‘Allah’ adalah nama dewa. Dan nama dewa apa? Inipun berbeda-beda. Ada yang mengatakan dewa air, dewa bulan, dan dewa matahari! Lalu yang mana yang benar? Juga dianggap sebagai nama dewa oleh bangsa apa? Arab, suku Quraisy, atau Babylon? Saya menganggap kerancuan seperti ini menunjukkan bahwa sumber kutipan itu tidak bisa dipercaya!

2) Mengatakan bahwa kata ‘Allah’ adalah nama dewa bertentangan dengan banyak sumber yang telah saya berikan di atas, yang mengatakan bahwa kata ‘Allah’ berarti ‘the God’ (= sang Allah), yang jelas bukan merupakan suatu nama!

3) Kalau ‘Allah’ adalah dewa bulan / air / matahari, adalah aneh bahwa ensiklopedi dengan kaliber seperti Encyclopedia Britannica dan Encyclopedia Encarta bisa tidak mengetahui hal itu.

Pada waktu membahas tentang Saksi Yehuwa, saya mempelajari tuduhan (palsu) Saksi-Saksi Yehuwa bahwa doktrin Allah Tritunggal berasal dari ‘Tritunggal’ dalam agama-agama kafir. Mereka lalu memberi banyak contoh tentang agama-agama kafir yang mempunyai ‘Tritunggal’, misalnya Hindu yang mempunyai Brahma, Wisnu dan Syiwa. Juga mereka memberikan ‘Tritunggal-Tritunggal’ lain dalam agama-agama kafir, yang semuanya merupakan nama-nama dewa. Puluhan nama dewa yang mereka sebutkan itu saya pelajari satu per satu dalam Encyclopedia Britannica dan ternyata semuanya ada, kecuali yang merupakan nama orang yang didewakan. Padahal ada nama-nama dewa dari milenium ke 2 SM. Kalau ‘Allah’ adalah nama dewa, maka saya yakin Encyclopedia Britannica pasti juga menyebutkan itu, tetapi ternyata Encyclopedia Britannica sama sekali tidak menganggap ‘Allah’ sebagai nama dewa.

Encyclopedia Britannica 2007 dengan topik ‘Arabian Religion: North Arabia’:

“Al-Ilat or Allat (‘the Goddess’), was known to all pantheons. She is a daughter or a consort, depending on the region, of al-Lah or Allah (‘the God’), Lord of the Ka’bah in Mecca; he is also named in Thamudic texts. Al-Ilat formed a trio with the goddesses al-‘Uzza (‘the Powerful’) and Manat (or Manawat, ‘Destiny’). ... The three goddesses were called the ‘Daughters of Allah’ in pre-Islamic Mecca, and they are mentioned in the Qur’an (53: 19-22). In South Arabia they are called the ‘Daughters of Il,’ and al-Ilat and al-’Uzza are mentioned in Sabaean inscriptions” [= Al-Ilat atau Allat (sang Dewi), dikenal bagi semua allah / dewa. Ia adalah puteri atau istri, tergantung dari daerah, dari al-Lah atau Allah (‘the God’), Tuhan dari Ka’bah di Mekah; ia juga diberi nama dalam text-text Talmud. Al-Ilat membentuk suatu trio bersama dengan dewi-dewi al-Uzza (Yang Sangat Kuat) dan Manat (atau Manawat, ‘Nasib / Takdir’). ... Ketiga dewi disebut ‘Putri-putri Allah pada jaman pra Islam di Mekah, dan mereka disebutkan dalam Al-Quran (53:19-22). Di Arab Selatan mereka disebut ‘putri-putri Il’, dan al-Ilat dan al-’Uzza disebutkan dalam prasasti Sabaean].

Catatan: kelihatannya Encyclopedia Britannica juga tidak menganggap Al Ilat, Al Uzza ataupun Manat sebagai nama.

4) Dan kalau berbicara tentang hubungan dengan nama dewa, perlu diketahui bahwa kata Yunani THEOS (= God / Allah), kata Ibrani EL (= God / Allah), dan bahkan nama Yahweh, juga ada hubungannya dengan dewa-dewa / kekafiran.

a) Hubungan kata Ibrani EL (= God / Allah) dengan dewa.

Unger’s Bible Dictionary (dengan topik ‘gods, false’): “‘Ashe'rah’ (a-she'ra). Plural, Asherim, a pagan goddess who is found in the Ras Shamra epic religious texts discovered at Ugarit in N Syria (1929-37) as Asherat, ‘Lady of the Sea,’ and consort of El. ... But Asherah was only one manifestation of a chief goddess of western Asia, regarded now as the wife, then as the sister, of the principal Canaanite god El” [= ‘Ashe'rah’ (a-she'ra). Jamak, Asherim, seorang dewi kafir yang ditemukan dalam text kepahlawanan agamawi Ras Shamra yang ditemukan di Ugarit di Syria Utara (1929-1937) sebagai Asherat, ‘Nyonya dari Laut’, dan pasangan / istri dari El. ... Tetapi Asherah hanyalah salah satu dari manifestasi dari dewi kepala / utama dari Asia Barat, yang sekarang dianggap sebagai istri, dulu sebagai saudari, dari dewa Kanaan utama El].

Nelson’s Bible Dictionary (dengan topik ‘gods, pagan’): “‘Asherahs,’ (Judg. 3:7) was portrayed as the wife of El (or sometimes Baal) in Canaanite mythology” [= ‘Asherahs,’ (Hak 3:7) digambarkan sebagai istri dari El (atau kadang-kadang Baal) dalam mitologi Kanaan].

Penekanan dari dua kutipan di atas ini hanyalah bahwa Asyera, yang adalah seorang dewi, dianggap sebagai istri dari dewa Kanaan utama yang namanya adalah El.

Unger’s Bible Dictionary (dengan topik ‘gods, false’): “‘Ba’al’ (ba’al). The common Canaanite word for ‘master, lord.’ Baal was one of the chief male deities of the Canaanite pantheon, now well known from the religious epic literature discovered at Ras Shamra (ancient Ugarit of the Amarna Letters) from 1929 to 1937. Baal was the son of El, the father of the gods and the head of the Canaanite pantheon, according to the tablets from Ugarit” [= ‘Ba’al’ (ba’al). Kata Kanaan yang umum untuk ‘tuan’. Baal adalah satu dari allah-allah utama dari dewa-dewa Kanaan, sekarang dikenal dengan baik dari literatur kepahlawanan agamawi yang ditemukan di Ras Shamra (Ugarit kuno dari Surat-surat Amarna) dari 1929 sampai 1937. Baal adalah putra dari El, bapa dari dewa-dewa dan kepala dari dewa-dewa Kanaan, menurut tulisan-tulisan dari Ugarit].

Nelson’s Bible Dictionary: “El. ... The highest Canaanite god was El whose son was Baal.” (= EL. ... Dewa Kanaan yang tertinggi adalah EL, dan anaknya adalah Baal).

Penekanan dari dua kutipan di atas ini adalah bahwa Baal, salah satu dewa Kanaan, adalah putra dari kepala dewa yang namanya El.

Eerdmans’ Family Encyclopedia of the Bible: “Baal, the Canaanite god. ... Baal, which means ‘lord’, was the title of Hadad, the weather-god ... Baal’s wife was Astarte, also known as Anat, goddess of love and war. His father was El, the chief of the gods, ... El’s wife was Asherah, mother goddess and goddess of the sea” (= Baal, dewa Kanaan. ... Baal, yang berarti ‘tuan’, merupakan gelar dari Hadad, dewa cuaca ... Istri Baal adalah Astarte, yang juga dikenal sebagai Anat, dewi dari cinta dan perang. Ayahnya adalah El, kepala dari dewa-dewa, ... Istri El adalah Asyera, ibu dewi dan dewi laut) - hal 152.

Dari semua kutipan di atas jelas bahwa dalam kalangan kafir ada dewa yang namanya El. Kalau kata ‘Allah’ tak boleh kita pakai, karena itu dianggap sebagai nama dewa, lalu mengapa kata El tidak dilarang juga?

b) Hubungan kata Yunani THEOS (= God / Allah) dengan dewa.

Herman Bavinck: “Formerly the Greek word THEOS was held to be derived from TITHENAI, THEEIN, THEASTHAI. At present some philologists connect it with Zeus, Dios, Jupiter, Deus, Diana, Juno, Dio, Dieu. So interpreted it would be identical with the Sanskrit ‘deva,’ the shinning heaven, from ‘divorce’ to shine. Others, however, deny all etymological connection between the Greek word THEOS and the Latin Deus and connect the former with the root THES in THESSASTHAI to desire, to invoke.” (= Dahulu dipercaya bahwa kata Yunani THEOS diturunkan dari TITHENAI, THEEIN, THEASTHAI. Pada saat ini beberapa ahli bahasa menghubungkannya dengan Zeus, Dios, Jupiter, Deus, Diana, Juno, Dio, Dieu. Ditafsirkan demikian, maka kata itu menjadi identik dengan kata Sansekerta ‘deva’, ‘langit / surga yang berkilau / bersinar’, dan berasal dari kata ‘div’ yang berarti ‘berkilau / bersinar’. Tetapi para ahli bahasa yang lain menyangkal semua hubungan asal usul kata antara kata Yunani THEOS dan kata Latin DEUS dan menghubungkan kata THEOS itu dengan akar kata THES dalam THESSASTHAI, yang berarti ‘menginginkan’, ‘meminta / memohon’) - ‘The Doctrine of God’, hal 98-99.

Bambang Noorsena: “Begitu juga kemiripan dalam rumpun bahasa-bahasa lain, seperti dewa (Sanskrit), deo (Latin), theos (Yunani). Tapi mana ada orang Kristen yang mengatakan bahwa Gloria in exelsis Deo sama dengan Gloria in exelsis ‘Dewa’? Tidak ada! Karena meskipun secara linguistik bisa dilacak keserumpunan antara kata Dei, Deus dan Dewa, tetapi secara teologis makna yang diberikan atas kata-kata yang serumpun itu berbeda”.

Catatan: saya tak yakin dengan bagian yang saya garis-bawahi.

c) Hubungan Yahweh dengan dewa.

1. Hubungan Yahweh dengan Baal dan Molekh.

Kristian Sugiyarto:

“Kemungkinan penyimpangan pemahaman (miskonsepsi) perihal Yahweh ini bahkan ada tertulis dalam Alkitab itu sendiri. Yer. 31:32 ‘…..although I was a husband (baal) unto them, says Jehovah.’ Jadi ayat ini menunjukkan bahwa Yahweh mengidentifikasi pribadi-Nya sendiri sebagai ‘baal’ sebagaimana ditemui juga pada Yesaya 54:5 ‘For your Maker is your husband (baal)’. Dalam I Tawrh. 12:5 dituliskan nama seorang pejuang, Bealiah (no. konkordansi Strong 1183 berasal dari 1167-baal + 3050 – Yah), yang artinya ‘Yah is my baal.’

Padahal pemahaman umum adalah bahwa kata baal juga dipakai sebagai nama dewa sesembahan orang-orang penyembah berhala. Apakah jika demikian Yahweh itu juga tak ubahnya berhala? Namun periksalah arti kata baal (konkordansi Strong no. 1166, 1167) yaitu ‘husband’ or ‘master’.

Kata baal bahkan dijumpai lebih mundur lagi pada Kej. 20:3 yang tertulis: ‘But Elohim came to Abimelech in a dream by night and said to him, Behold, you are about to die because the woman you have taken, she being married to a husband (baal).’ Tak ayal lagi bahwa kata baal ini menunjuk ‘husband’ atau ‘master’ (dalam hal ini Abraham), bukan nama dewa baal. Dengan demikian kita bisa diyakinkan bahwa kata baal dalam ayat-ayat tersebut menunjuk pada ‘husband’ atau ‘master’, bukan Baal (no. 1168) sebagai nama berhala yang memungkinkan nama Yahweh bisa diganti apa saja, GOD, LORD, ALLAH, TUHAN, dst. sesuai selera Anda.

Kasus lain yang mirip seperti dalam I Samuel 12:12 tertulis: ‘ … even though Yahweh your Elohim was your king (molech no. 4428).’ Padahal Molech nama Kepala Dewa kaum Amonit. Sementara itu kata YHWH menurut konkordansi Strong (no. 3068) adalah Jewish national name of God, dan tidak ada keterangan yang menunjuk pada nama berhala.

Informasi yang dibutuhkan kemudian adalah mana yang lebih tua munculnya pemahaman baal sebagai ‘husband - master’ dengan Baal sebagai ‘nama berhala’; dan molech (no. 4428) sebagai ‘king’ dengan Molech (no. 4432) sebagai nama raja dewa. Klarifikasi ini sulit dilakukan. Bukan mustahil kata baal (‘husband-master’) yang melukiskan karakter Yahweh justru menjadi lebih terkenal sehingga nama Yahweh menjadi tersingkirkan dan akhirnya muncul istilah baal yang kemudian berubah menjadi nama berhala!”.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

Karena Kristian Sugiyarto menggunakan ayat-ayat dalam bahasa Inggris maka pertama-tama saya akan memperjelas ayat-ayat yang ia gunakan dengan menggunakan ayat-ayat tersebut dalam bahasa Indonesia.

Yeremia 31:32 - “bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir; perjanjianKu itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan (Ibrani: BAAL) yang berkuasa atas mereka, demikianlah firman TUHAN”.

Yes 54:5 - “Sebab yang menjadi suami (Ibrani: BAAL) mu ialah Dia yang menjadikan engkau, TUHAN semesta alam namaNya; yang menjadi Penebusmu ialah Yang Mahakudus, Allah Israel, Ia disebut Allah seluruh bumi”.

1Taw 12:5 - “Eluzai, Yerimot, Bealya, Semarya dan Sefaca, orang Harufi”.

Nama ‘Bealya’ berarti ‘Yahweh is my Baal’ (= Yahweh adalah Baalku).

Saya bisa tambahi lagi dengan Hos 2:15 - “Maka pada waktu itu, demikianlah firman TUHAN, engkau akan memanggil Aku: Suamiku, dan tidak lagi memanggil Aku: Baalku!”.

Unger’s Bible Dictionary: “The meaning is that Israel will enter into right relation with God, in which she will look toward Him as her husband (Ishi) and not merely as Baal, ‘owner, master.’” [= Artinya adalah bahwa Israel akan masuk ke dalam hubungan dengan Allah, dalam mana ia akan memandang kepadaNya sebagai suaminya (Ishi) dan bukan semata-mata sebagai ‘Baal’, ‘pemilik, tuan’].

The International Standard Bible Encyclopedia: “BAAL ... III. Baal-Worship.: - In the earlier days of Hebrew history the title Baal, or ‘Lord,’ was applied to the national God of Israel” (= BAAL ... III. Penyembahan Baal.: - Pada jaman awal dari sejarah Ibrani gelar ‘Baal’, atau ‘Tuhan’, diterapkan kepada Allah nasional dari Israel).

Dari ayat-ayat dan dari kedua kutipan di atas terlihat dengan jelas bahwa kata ‘Baal’ yang merupakan nama dewa, pernah digunakan untuk menunjuk kepada Yahweh / Allah Israel. Sekalipun belakangan praktek menyebut Allah dengan sebutan ‘Baal’ itu dibuang, tetapi ingat bahwa ayat-ayat dalam Kitab Suci yang menyebut Yahweh dengan sebutan Baal, tidak dihapuskan / diubah!

Sekarang, saya akan menanggapi kata-kata Kristian Sugiyarto di atas.

a. Kalau Kristian Sugiyarto membedakan ‘Baal’ dan ‘Baal’, mengapa ia tidak menerapkan pembedaan seperti itu terhadap kata ‘Allah’? Mengapa ia tidak membedakan kata ‘Allah’ dalam Islam / agama kafir pra Islam, dan kata ‘Allah’ dalam kekristenan di Indonesia? Mengapa kita tidak boleh menggunakan kata ‘Allah’, selama itu bukan dalam arti nama dewa / nama Tuhannya orang Islam?

b. Pada waktu kata ‘Baal’ digunakan untuk nama dari berhala dan juga untuk Yahweh, dan pada waktu kata ‘Molekh’ digunakan untuk nama dewa maupun untuk Yahweh, Kristian Sugiyarto mengatakan bahwa kita harus menelusuri penggunaan yang mana yang muncul lebih dulu. Mengapa ia tidak bersikap sama terhadap kata ‘Allah’? Mengapa ia tidak menelusuri yang mana yang menggunakan kata ‘Allah’ itu lebih dulu, Islam atau Kristen? Orang-orang kafir pra Islam yang menggunakan kata ‘Allah’ sebagai nama dewa, atau orang-orang kristen yang menggunakan kata ‘Allah’ itu sebagai terjemahan dari kata ‘God’?

2. Hubungan Yahweh dengan Yupiter, Zeus dan dewa-dewa dalam agama-agama kuno lain.

a. Nama-nama dewa dalam agama Yunani dan Romawi kuno.

Encyclopedia Britannica 2007 (dengan topik ‘Jupiter’): “Jupiter. Also called Jove, Latin Iuppiter, Iovis, or Diespiter, the chief ancient Roman and Italian god. Like Zeus, the Greek god with whom he is etymologically identical (root diu, ‘bright’), Jupiter was a sky god. One of his most ancient epithets is Lucetius (‘Light-Bringer’)” [= Yupiter. Juga disebut / dipanggil Jove, Latin Iuppiter, Iovis, atau Diespiter, dewa utama Romawi dan Italia kuno. Seperti Zeus, dewa Yunani dengan siapa ia identik kalau ditinjau dari ilmu asal kata (akar kata DIU, ‘terang’), Yupiter adalah dewa langit. Satu dari julukannya yang paling kuno adalah Lucetius (‘Pembawa Terang’)].

Eerdmans’ Family Encyclopedia of the Bible: “The first Greek brought with them a new group of gods. Their supreme god was Zeus. ... Roman religion was really quite different. But when the Romans conquered the Greeks they took over all their gods and gave them Roman names. So, Zeus became the Roman god Jupiter” (= Orang-orang Yunani yang pertama membawa bersama mereka suatu kelompok baru dewa-dewa. Dewa tertinggi mereka adalah Zeus. ... Agama Romawi sangat berbeda. Tetapi pada waktu orang-orang Romawi mengalahkan orang-orang Yunani mereka mengambil alih semua dewa-dewa mereka dan memberikan nama-nama Romawi kepada mereka. Maka, Zeus menjadi dewa Romawi Yupiter) - hal 158.

b. Hubungan nama-nama dewa itu dengan Yahweh.

Adam Clarke (tentang Kel 3:15): “‘This is my name for ever.’ The name here referred to is that which immediately precedes, Yahweh ‘Elohiym, which we translate the ‘LORD GOD,’ the name by which God had been known from the creation of the world (see Gen. 2:4), and the name by which he is known among the same people to the present day. Even the heathens knew this name of the true God; and hence, out of our hwhy, Jehovah, they formed their Jao, Jeve, and Jove; ... Diodorus Siculus says, that ‘among the Jews, Moses is reported to have received his laws from the God named Jao, Iaoo, i. e., Jeue, Jove, or Jeve; for in all these ways the word hwhy, Jehovah may be pronounced; and in this way I have seen it on Egyptian monuments” [= ‘Ini adalah namaKu selama-lamanya’. Nama yang dibicarakan di sini adalah yang persis mendahuluinya, Yahweh Elohim, yang kita terjemahkan ‘TUHAN ALLAH’, nama dengan mana Allah telah dikenal sejak penciptaan dunia (lihat Kej 2:4), dan nama dengan mana ia dikenal di antara orang-orang yang sama sampai jaman ini. Bahkan orang-orang kafir mengetahui nama dari Allah yang benar ini; dan karena itu, dari hwhy, Yehovah, kita, mereka membentuk Jao, Jeve, dan Jove mereka; ... Diodorus Siculus berkata, bahwa di antara orang-orang Yahudi, Musa dilaporkan telah menerima hukum-hukumnya dari Allah yang bernama Jao, Iaoo, yaitu, Jeue, Jove, atau Jeve; karena dengan semua cara ini kata hwhy, Yehovah, bisa diucapkan; dan dalam cara ini saya telah melihatnya pada monumen-monumen Mesir].

R. L. Dabney: “... the Greek and Latin names of God, Zeu~ and Jove. ... Now the votaries of the comparative philology of modern days, will have Zeu~ derived (by a change of Z to its cognate D,) from the sanscrit root, Dis, whose root-meaning was supposed to be ‘splendour.’ To the same source they trace qeo~, Deus, Divus, Dies, &c. ... But as to Zeu~ and Jove, may not another etymology be more probable? (as is confessed by some of the best Greek scholars) that Zeu~ is from Zew, Zaw, ‘I live,’ and Zwh, ‘life.’ Notice, then, the strange resemblance, almost an identity, between ‘Jehovah,’ and ‘Jove.’ The latter, with ‘pater,’ makes the Latin nominative Jupiter - Jov-Pater - father Jove. If this origin is true, then we have the Greek name of the chief God, Zeu~, involving the same fundamental idea; ‘The Living One,’ - the self-existent source of life. This is much more explanatory of the early myths touching Jove, as the ‘Father of Gods and men,’ than the primary idea of the supposed sanscrit root” [= ... nama-nama Allah dalam bahasa Yunani dan Latin, Zeu~ dan Jove. ... Sekarang penggemar-penggemar dari ilmu perbandingan bahasa jaman modern, menurunkan kata Zeu~ (dengan suatu perubahan dari Z kepada D yang asal usulnya sama), dari akar kata Sansekerta, Dis, yang arti akar katanya dianggap sebagai ‘semarak / kemegahan’. Kepada sumber / asal usul yang sama mereka menelusuri qeo~, Deus, Divus, Dies, &c. ... Tetapi berkenaan dengan Zeu~ dan Jove, tidak bisakah etymology / asal usul kata yang lain lebih memungkinkan? (seperti yang diakui oleh sebagian ahli-ahli bahasa Yunani yang terbaik) bahwa Zeu~ berasal dari Zew (ZEO), Zaw (ZAO), ‘Aku hidup’, and Zwh (ZOE), ‘kehidupan’. Lalu perhatikan kemiripan, dan bahkan hampir merupakan suatu keidentikan, yang aneh, antara ‘Yehovah’ dan ‘Jove’. Yang terakhir, dengan ‘pater’, membuat kata nominatif bahasa Latin ‘Yupiter’ - ‘Yov-Pater’ - ‘bapa Jove’. Jika asal usul ini benar, maka kita mempunyai nama Yunani dari Allah utama / tertinggi, Zeu~, melibatkan pengertian dasar yang sama; ‘Yang Hidup’, - sumber kehidupan yang ada dari dirinya sendiri. Ini lebih memberi penjelasan dari mitos-mitos mula-mula mengenai Jove, sebagai ‘Bapa dari Allah-allah dan manusia-manusia’, dari pada pengertian utama dari akar kata Sansekerta yang diduga] - ‘Lectures in Systematic Theology’, hal 145 (footnote).

The International Standard Bible Encyclopedia (dengan topik ‘God, Names of’): “‘Yahweh’: The name most distinctive of God as the God of Israel is (Yahweh, a combination of the tetragrammaton (YHWH) with the vowels of 'Adhonay, transliterated as Yehowah, but read aloud by the Hebrews 'adhonay). While both derivation and meaning are lost to us in the uncertainties of its ante-Biblical origin, the following inferences seem to be justified by the facts: (1) This name was common to religions other than Israel’s, according to Friedr. Delitzsch, Hommel, Winckler, and Guthe (Encyclopaedia Biblica, s.v.), having been found in Babylonian inscriptions. Ammonite, Arabic and Egyptian names appear also to contain it (compare Davidson, Old Testament Theol., 52 f); but while, like 'Elohim, it was common to primitive Semitic religion, it became Israel’s distinctive name for the Deity” [= ‘Yahweh’: Nama yang paling khusus dari Allah sebagai Allah Israel adalah {Yahweh, suatu kombinasi dari tetragrammaton (YHWH) dengan huruf-huruf hidup dari ADONAY, ditranliterasikan sebagai Yehovah, tetapi dibaca dengan kata Ibrani ADONAY}. Sementara baik penurunan dan artinya telah hilang bagi kita dalam ketidak-pastian dari asal usul pra-Biblikalnya, kesimpulan-kesimpulan berikut ini kelihatannya dibenarkan oleh fakta-fakta: (1) Nama ini umum bagi agama-agama selain agama Israel, menurut Friedr. Delitzsch, Hommel, Winckler, dan Guthe (Encyclopaedia Biblica, s.v.), setelah ditemukan pada prasasti-prasasti Babilonia. Nama-nama Amon, Arab dan Mesir kelihatannya juga mengandungnya (bandingkan Davidson, Old Testament Theol., 52-dst); tetapi sementara, seperti ELOHIM, itu adalah umum bagi agama Semitik primitif, itu menjadi nama khusus dari israel bagi Allah].

Kalau nama ‘Yahweh’ itu umum bagi bangsa-bangsa lain, yang jelas-jelas menyembah berhala, maka itu jelas menunjukkan bahwa nama ‘Yahweh’ itu juga digunakan bagi dewa-dewa mereka.

Sekarang kalau nama ‘Yahweh’ ternyata juga berhubungan dengan nama-nama dewa / digunakan sebagai nama dewa orang-orang kafir, lalu bagaimana sikap kita? Haruskah kita juga membuang nama ‘Yahweh’ itu?

5) Hal-hal lain yang berhubungan dengan dewa / kekafiran.

Eerdmans’ Family Encyclopedia of the Bible: “Hades or Pluto (Dis), god of the dead” [= Hades atau Pluto (Dis), dewa dari orang mati] - hal 158.

Catatan: mengingat ‘Hades’ adalah nama dewa, apakah kata Yunani HADES yang begitu banyak digunakan dalam Kitab Suci, tidak seharusnya dihapuskan saja atau diganti dengan kata lain?

Juga ingat bahwa nama-nama hari dan bulan dalam bahasa Inggris juga banyak yang berasal dari nama dewa. Jadi, juga harus dihapuskan / diganti? Ingat, bahwa semua itu juga ‘tidak muncul dalam Alkitab Ibrani’, sama seperti kata ‘Allah’!

UBS New Testament Handbook Series (tentang 2Pet 1:16): “‘Coming,’ on the other hand, is a Greek term for the appearance of a god (‎parousia‎); when used of Christ it refers primarily to his future coming in glory (see Matt 24:3,27; 1 Cor 15:23; 1 Thess 3:13; 4:15; James 5:7-8; 1 John 2:28)” [= ‘Kedatangan’, di sisi lain, adalah suatu istilah Yunani untuk suatu pemunculan / penampilan dari seorang dewa (parousia); pada waktu digunakan tentang Kristus, itu terutama menunjuk pada kedatangannya yang akan datang dalam kemuliaan (lihat Mat 24:3,27; 1Korintus 15:23; 1Tes 3:13; 4:15; Yak 5:7-8; 1Yohanes 2:28)].

UBS New Testament Handbook Series (tentang 2Petrus 1:19): “The ‘morning star’ is ‎phoosphoros ‎in Greek, a word that refers to the planet Venus and the Greek goddess Artemis. Some scholars have argued that, since ‎phoosphoros ‎means ‘daybreak,’ it cannot refer to Venus but to the sun. But in ordinary usage ‎phoosphoros ‎does refer to Venus, which rises with the dawn and, in a manner of speaking, introduces light into the world. Once again we see Greek culture being used as a vehicle for the Christian message. Here the ‘morning star’ stands for the Messiah, or Christ (see Num 24:17; Rev 22:16), who will bring light into the hearts of believers, in much the same way as the morning star brings light into a dark world” [= ‘Bintang pagi’ adalah PHOOSPHOROS dalam bahasa Yunani, suatu kata yang menunjuk pada planet Venus dan dewi Yunani Artemis. Beberapa / sebagian sarjana telah berargumentasi bahwa, karena PHOOSPHOROS berarti ‘fajar menyingsing’, itu tidak bisa menunjuk pada Venus tetapi pada matahari. Tetapi dalam penggunaan biasa PHOOSPHOROS memang menunjuk pada Venus, yang muncul / terbit bersama subuh / fajar dan, boleh dikatakan, membawa terang ke dalam dunia. Sekali lagi kita melihat kebudayaan Yunani digunakan sebagai suatu sarana untuk berita Kristen. Di sini ‘bintang pagi’ berarti sang Mesias, atau Kristus (lihat Bil 24:17; Wah 22:16), yang akan membawa terang ke dalam hati orang-orang percaya, dengan cara yang sama seperti bintang pagi membawa terang ke dalam dunia yang gelap].

6) Argumentasi dari agama Islam / Al-Quran.

Sebetulnya saya tak terlalu senang menggunakan ajaran Islam / Al-Quran, karena sebagai orang Kristen, saya seharusnya menggunakan pedang Roh, yaitu Firman Tuhan, dan itu adalah Kitab Suci saya sendiri.

Tetapi karena kelompok Yahweh-isme ini begitu sering / banyak menggunakan ajaran agama Islam dan Al-Quran, maka saya kepingin membalas mereka dengan cara yang sama.

Sekarang saya ingin bertanya kepada siapapun dari kelompok Yahweh-isme: dalam Al-Quran, dengan sebutan apa Abraham memanggil / menyebut ‘sesembahan’nya? Dengan sebutan / nama Yahweh? Tuhan? Atau ‘Allah’? Pasti yang terakhir, bukan? Sekarang, ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan:

a) Kalau ‘Allah’ memang merupakan nama dewa, mungkinkah Abraham menggunakannya untuk ‘sesembahan’nya?

b) Kalau Abraham boleh menggunakan kata ‘Allah’ itu, mengapa kita, yang oleh Kitab Suci kita disebut sebagai ‘anak-anak Abraham’, tidak boleh menggunakan kata ‘Allah’ itu?

c) Dalam Alkitab, Abraham menyebut ‘sesembahan’nya dengan nama ‘Yahweh’. Kalau ‘Allah’ itu suatu nama, jadi bagaimana? Apakah Dia mempunyai dua nama, yaitu ‘Allah’ dan ‘Yahweh’? Atau, karena Abraham dalam Al-Quran beragama Islam, sedangkan Abraham dalam Alkitab beragama Kristen?

III) Argumentasi menggunakan Kejadian 33:20.

Yakub Sulistyo: “Coba bapak baca Kejadian 33: 20 dlm terjemahan LAI, disitu tertulis ‘Allah Israel ialah Allah’, pertanyaan saya kapan bangsa Israel menyembah Allah yg bernama Allah? Dimana mereka menyembah Allah yg bernama Allah? Tolong bapak buktikan hal ini. ... Terjemahan LAI itu saja sudah menunjukkan kerancuannya! Bukankah sebagai orang Indonesia yang bertitel MDIV bapak dapat menjabarkan bahwa kalimat ‘Allah Israel ialah Allah’ itu menunjukkan bahwa kata ‘Allah’ disitu berperan sebagai NAMA DIRI sekaligus sebagai SEBUTAN. Kalau begitu saya bisa berkata ada Presiden bernama Presiden. Apa ini tidak rancu pak?”.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

1) Menurut saya tidak ada yang rancu sama sekali dengan kata-kata ‘Allah Israel ialah Allah’.

Kalau diartikan bahwa Allah dari bangsa Israel betul-betul adalah Allah, apanya yang rancu? Siapa yang mengharuskan untuk mengartikan kata ‘Allah’ yang kedua sebagai nama? Saya kira kerancuan itu hanya ada di satu tempat, yaitu di kepala dari Yakub Sulistyo maupun orang-orang dari kelompok Yahweh-isme, yang menggunakan ayat ini sebagai serangan bagi orang-orang yang menggunakan kata ‘Allah’!

2) Sekarang mari kita perhatikan terjemahan dari Kej 33:20 itu.

Kej 33:20 - “Ia mendirikan mezbah di situ dan dinamainya itu: ‘Allah Israel ialah Allah.’”.

KJV: ‘And he erected there an altar, and called it El-elohe-Israel’ (= Dan ia mendirikan sebuah mezbah di sana, dan menyebutnya El-elohe-Israel).

RSV: ‘There he erected an altar and called it El-Elohe-Israel’ (= Di sana ia mendirikan sebuah mezbah dan menyebutnya El-elohe-Israel).

NIV: ‘There he set up an altar and called it El Elohe Israel’ (= Di sana ia mendirikan sebuah mezbah dan menyebutnya El-elohe-Israel).

NASB: ‘Then he erected there an altar, and called it El-Elohe-Israel’ (= Lalu ia mendirikan sebuah mezbah di sana, dan menyebutnya El-elohe-Israel).

Sekarang, apa arti dari istilah ‘El-elohe-Israel’? Saya akan memberikan komentar dari beberapa penafsir tentang kata-kata ini.

Matthew Henry: “He dedicated this altar to the honour of El-elohe-Israel - God, the God of Israel” (= Ia mendedikasikan mezbah ini bagi kehormatan dari El-elohe-Israel - Allah, sang Allah dari Israel).

Adam Clarke: “perhaps it would be best to translate the words, ‘The strong God (is) the God of Israel’” (= mungkin merupakan sesuatu yang terbaik untuk menterjemahkan kata-kata itu ‘Allah yang kuat adalah Allah dari Israel’).

Keil & Delitzsch: “and called it El-elohe-Israel, ‘God (the mighty) is the God of Israel,’” [= dan menyebutnya El-elohe Israel, ‘Allah (yang perkasa / kuat) adalah Allah dari Israel’,].

Dari semua penafsiran / penjelasan tentang arti kata-kata ‘El-elohe-Israel’ ini tak terlihat keanehan apapun untuk menganggap bahwa kata ‘Allah’ bukanlah nama. Bahkan sebaliknya, menurut saya aneh, kalau dalam kalimat ini kata ‘Allah’ dianggap sebagai nama. Sebagai perbandingan, YHWH memang adalah nama pribadi dari Allah. Dimana ada kalimat yang berbunyi ‘YHWH Israel’?

IV) Kel 23:13 melarang kita memanggil nama eloim / allah lain.

Teguh Hindarto: “Tanggapan ini kami tutup dengan perintah YAHWEH dari Keluaran 23:13 yang berbunyi: ‘Dalam segala hal yang Kufirmankan kepadamu, haruslah kamu berawas-awas, nama eloim lain janganlah kamu panggil, janganlah nama itu kedengaran dari mulutmu’”.

Ada dari kalangan mereka yang menambahkan bahwa pada waktu kita memanggil / memuji ‘Allah’, maka ‘Allah’ yang dipanggil itu (yang berbeda dengan Yahweh) bisa memberikan respons terhadap panggilan orang-orang kristen.

Huios Touiesou: “Pernahkah anda bayangkan, apa yang terjadi dalam alam roh ketika kita menyanyikan lagu ini: Dari utara ke selatan, terdengar pujian bagi Allah .... pernahkah kita sadari bahwa sekalipun kita tidak bermaksud memanggil seseorang, namun apabila kita terus menerus menyebut nama pribadinya, bisa saja orang tersebut bereaksi terhadap panggilan kita. Contohnya: Seorang pendeta dalam khotbahnya bertanya kepada jemaat, ‘Ada Amin?’. Tiba-tiba ada sahutan, ‘Ada, Pak Pendeta!’. Rupanya datang jiwa baru yang bernama Amin dalam ibadah tersebut. Mengapa? Karena spirit dari nama Pribadi itu bisa merespons. Jadi, bisa saja ketika kita berulang-ulang nyanyikan baris pertama lagu tersebut, kemudian dalam alam roh ada respon dari ‘Allah’ nama pribadi (‘Allah muslim’) yang berkata (dalam alam roh), ‘Benar katamu, memang ada pujian bagi namaKu, perhatikanlah suara-suara azan yang berkumandang dari belahan bumi utara hingga ke selatan, itulah seruan pujian bagi namaKu’” - “Kontroversi nama ‘Allah’”, hal 12,13.

Catatan: saya kira nama (samaran) orang ini sebetulnya adalah Huios Tou Iesou (= Anak Yesus).

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

1) Pertama-tama saya menanggapi kata-kata tolol dari orang yang mengaku bernama Huios Touiesou ini.

Bagaimana mungkin ia menyamakan roh / Allah itu dengan orang yang bernama ‘Amin’? Orang yang bernama ‘Amin’ itu betul-betul ada, tetapi roh yang bernama ‘Allah’ itu sebetulnya tidak ada. Kalau ia menganggap ada roh yang bernama ‘Allah’, lalu ia percaya ada berapa ELOHIM? Bdk. 1Kor 8:4-6!

2) Betul-betul lucu sekali kalau ia mengatakan bahwa roh yang bernama ‘Allah’ itu bisa menyahut / merespons, padahal menurut kepercayaannya sendiri, yang namanya ‘Allah’ itu bukanlah ELOHIM. Kalau memang ‘yang bukan ELOHIM’ bisa merespons, lalu mengapa Baal tak menyahut sama sekali ketika dipanggil oleh nabi-nabinya dalam pertandingan dengan Elia untuk mendatangkan api dari langit?

Bdk. 1Raja 18:25-29 - “(25) Kemudian Elia berkata kepada nabi-nabi Baal itu: ‘Pilihlah seekor lembu dan olahlah itu dahulu, karena kamu ini banyak. Sesudah itu panggillah nama allahmu, tetapi kamu tidak boleh menaruh api.’ (26) Mereka mengambil lembu yang diberikan kepada mereka, mengolahnya dan memanggil nama Baal dari pagi sampai tengah hari, katanya: ‘Ya Baal, jawablah kami!’ Tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab. Sementara itu mereka berjingkat-jingkat di sekeliling mezbah yang dibuat mereka itu. (27) Pada waktu tengah hari Elia mulai mengejek mereka, katanya: ‘Panggillah lebih keras, bukankah dia allah? Mungkin ia merenung, mungkin ada urusannya, mungkin ia bepergian; barangkali ia tidur, dan belum terjaga.’ (28) Maka mereka memanggil lebih keras serta menoreh-noreh dirinya dengan pedang dan tombak, seperti kebiasaan mereka, sehingga darah bercucuran dari tubuh mereka. (29) Sesudah lewat tengah hari, mereka kerasukan sampai waktu mempersembahkan korban petang, tetapi tidak ada suara, tidak ada yang menjawab, tidak ada tanda perhatian”.

3) Sekarang saya akan menanggapi kata-kata Teguh Hindarto.

Ia mengatakan bahwa kita dilarang menyebut nama ELOHIM / sesembahan lain. 

Keluaran 23:13 - “Dalam segala hal yang Kufirmankan kepadamu haruslah kamu berawas-awas; nama allah lain janganlah kamu panggil, janganlah nama itu kedengaran dari mulutmu.”.

Ada beberapa tanggapan tentang hal ini:

a) Kata-kata ini hanya bisa ia gunakan kalau memang ‘Allah’ itu merupakan nama dari ELOHIM lain, atau nama dewa dan sebagainya. Tetapi dari pembahasan yang telah lalu, saya berpendapat semua argumentasinya sudah habis. Jadi, yang kita sebut sebagai ‘Allah’, bukanlah ‘allah lain’.

b) Ia melakukan penghurufiahan yang terlalu ketat terhadap Kel 23:13 itu.

Memanggil di sini harus diartikan mempercayainya, berdoa kepadanya, menyembahnya, atau berbakti kepadanya. Kalau hanya semata-mata ‘menyebut’, tanpa menghormati, berdoa kepadanya, menyembahnya, dsb, pasti tidak salah. 

Kalau ayat itu dihurufiahkan secara ketat, sehingga kita memang sama sekali tak boleh menyebut nama allah / dewa lain, dan nama itu sama sekali tak boleh kedengaran dari mulut kita, maka:

1. Jelas bahwa orang-orang dari kelompok Yahweh-isme ini sendiri bersalah melanggar peraturannya sendiri. Pada waktu mereka berkhotbah dan mengajar, dan melarang untuk menggunakan kata / nama Allah, bukankah mereka sendiri menyebutkan kata / nama itu?

2. Banyak orang-orang saleh dari Kitab Suci yang melanggar hukum tersebut.

Bandingkan dengan ayat-ayat di bawah ini:

· Bil 25:5 - “Lalu berkatalah Musa kepada hakim-hakim Israel: ‘Baiklah masing-masing kamu membunuh orang-orangnya yang telah berpasangan dengan Baal-Peor.’”.

· Hak 6:31 - “Tetapi jawab Yoas kepada semua orang yang mengerumuninya itu: ‘Kamu mau berjuang membela Baal? Atau kamu mau menolong dia? Siapa yang berjuang membela Baal akan dihukum mati sebelum pagi. Jika Baal itu allah, biarlah ia berjuang membela dirinya sendiri, setelah mezbahnya dirobohkan orang.’”.

· 1Raja 18:18,19,21 - “(18) Jawab Elia kepadanya: ‘Bukan aku yang mencelakakan Israel, melainkan engkau ini dan kaum keluargamu, sebab kamu telah meninggalkan perintah-perintah TUHAN dan engkau ini telah mengikuti para Baal. (19) Sebab itu, suruhlah mengumpulkan seluruh Israel ke gunung Karmel, juga nabi-nabi Baal yang empat ratus lima puluh orang itu dan nabi-nabi Asyera yang empat ratus itu, yang mendapat makan dari meja istana Izebel.’ ... (21) Lalu Elia mendekati seluruh rakyat itu dan berkata: ‘Berapa lama lagi kamu berlaku timpang dan bercabang hati? Kalau TUHAN itu Allah, ikutilah Dia, dan kalau Baal, ikutilah dia.’ Tetapi rakyat itu tidak menjawabnya sepatah katapun”.

Perhatikan bahwa Musa menyebut nama ‘Baal-Peor’, Yoas menyebut nama ‘Baal’, dan Elia menyebut nama ‘Baal’ dan ‘Asyera’! Apakah mereka ini salah semua karena sekedar menyebutkan nama dewa padahal mereka sama sekali tak berdoa kepadanya, menyembahnya, dsb?

V) Penggunaan kata ‘Allah’ oleh umat Kristen menyebabkan konflik Kristen dengan Islam.

Yakub Sulistyo: “Bermasalah dan terjadi konflik berkepanjangan antara Islam dengan Nasrani. Realita yang ada atau dalam kenyataan di Indonesia, umat Islam ‘tidak sependapat’ jika umat Nasrani menggunakan kata ‘Allah’ dalam dunia kekristenan. Karena sejak Nabi Muhammad saw menerima wahyu Allah di gua Hira (QS 96 Al’Alaq 1-5), dalam QS 112 Al Ikhlas 1-3 mengatakan : Qul huwallaahu ahad (Katakanlah Allah itu Esa) Allah hussomad (Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu) Lam yalid wa lam yuulad (Tidak beranak dan tidak pula diperanakkan) Wa lam yaqul lahu kufuan ahad (dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia). Artinya Islam berpedoman bahwa Allah itu Esa dan Tidak ada istilah lain yang harus berada menyatu dengan Nama tersebut. Demikian pula dalam QS 5 Al Maaidah 17 dalam Al Qur’an dan Terjemahannya yang dicetak dari Khadim al Haramain asy Syarifain (Pelayan kedua Tanah Suci) Fahd ibn ‘Abd al’Aziz Al Sa’ud, Raja Kerajaan Saudi Arabia menerjemahkan: ‘Laqod (Sesungguh-sungguhnya) kafaro (telah kafirlah) alladziina (orang-orang yang) qooluu (berkata): ‘Inna (Sesungguhnya) Allah (Allah) huwa (dia) almasiihu (Al Masih) Ibnu (Putra) Maryama (Maryam).’... Itulah sebabnya Dr. Kautsar Azhari Noer (Guru Besar Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah-Jakarta) pernah menulis naskah di mana di antara isi naskahnya, beliau juga mengungkapkan pandangan umum umat Islam di Indonesia di Jawa Pos, Minggu Pahing 23 September 2001 dengan judul ‘Tuhan Kepercayaan’ Pandangan para ulama yang tidak sesuai dengan pandangan theolog secara umum yaitu bahwa ‘Tuhan adalah satu, tetapi disebut dengan banyak nama, seperti Yahweh, God, Allah, Brahman dan Tao.’ Demikian pula Majalah ‘Sabili’ No. 14 Tahun XI 30 Januari 2004 / 8 Dzulhijjah 1424 halaman 58 dalam naskahnya berjudul ‘Allah dan Elohim’ memisahkan ‘Allah’ sebagai ‘Nama Diri’ dengan ‘Sebutan’ yang selama ini telah dipergunakan oleh umat Nasrani. Tidak ketinggalan keluar surat keberatan dan himbauan agar umat Nasrani di Indonesia tidak menggunakan kata Allah, ALLAH ataupun allah dari ‘Majlis Ta’lim - Al Rodd’ Wonosobo tertanggal 28 Mei 2004 kepada Lembaga Alkitab Indonesia dan ‘Ikatan Mubalig Seluruh Indonesia’ Jakarta tertanggal 1 Nopember 2004 kepada Dirjen Bimas Kristen Depag RI dan Lembaga Alkitab Indonesia. Hal-hal tersebut sebagai bukti bahwa ‘Kerancuan’ atau ‘Mempersekutukan agama’ itu menimbulkan reaksi dari pemeluk agama yang bersangkutan dan dapat juga dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu atau politik tertentu yang tidak menghendaki adanya perdamaian di Indonesia untuk ikut memanaskan situasi negara kita. Memang semuanya itu tidak akan pernah ada, apabila Kitab Sucinya umat Nasrani di Indonesia diluruskan dalam penerjemahannya, yang sudah mengalami kesalahan penerjemahan sekitar 400 tahunan dan mengacu atau kembali kepada Kitab Suci berbahasa Ibrani sebagai kitab asli umat Nasrani untuk acuannya, dimana kata ‘Allah’ atau ‘ALLAH’ atau ‘allah’ tidak pernah ada. Sebab selama ini Lembaga Alkitab Indonesia telah menerjemahkan ‘Nama Diri’ Yahweh menjadi TUHAN, ALLAH, Tuhan dan Allah. (Perhatikan huruf kapital dan tidak)”.

Yakub Sulistyo: “Menyebut Allah dalam kekristenan tentu menyinggung perasaan agama Islam, karena dalam kekristenan ada istilah Allah Bapa, Allah Anak, Allah Roh dan Bunda Allah”.

HuiosTouiesou: “Mengapa penting mengetahui bahwa nama Allah dalam Islam adalah nama pribadi? ... 5. Agar direnungkan lebih jauh, mengapa kekristenan di Indonesia selalu berada dalam tekanan roh intimidasi, sementara penyataan Alkitab mengatakan bahwa kita lebih dari pemenang (Rm 8:37; 1Kor 15:57; 2Kor 2:14; Efesus 1:22), walaupun tentu saja konotasi menang bagi kita bukanlah menang dalam perang fisik (Ef 6:12)” - “Kontroversi nama ‘Allah’”, hal 11,12.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

1) Adalah omong kosong kalau penggunaan kata ‘Allah’ oleh umat Kristen menyebabkan pertentangan Kristen dengan Islam.

Pertentangan yang ada antara orang Islam dan orang Kristen itu disebabkan oleh doktrin-doktrin yang memang bertentangan seperti Allah Tritunggal, keilahian Kristus, keselamatan oleh iman saja, Yesus sebagai satu-satunya jalan ke surga dan sebagainya. Buktinya di negara Barat seperti Eropah dan Amerika, yang tidak menggunakan kata ‘Allah’, juga ada pertentangan, bahkan permusuhan, antara Kristen dengan Islam.

Kekristenan di Cina dsb menggunakan nama Yahweh, tetapi kok juga ditindas? Bahkan kekristenan pada jaman Yesus dan rasul-rasul juga begitu! Rupanya penulis-penulis bodoh yang saya kutip di atas tak pernah membaca kata-kata Yesus sebagai berikut:

· Yoh 15:18-21 - “(18) ‘Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku dari pada kamu. (19) Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu. (20) Ingatlah apa yang telah Kukatakan kepadamu: Seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya. Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu; jikalau mereka telah menuruti firmanKu, mereka juga akan menuruti perkataanmu. (21) Tetapi semuanya itu akan mereka lakukan terhadap kamu karena namaKu, sebab mereka tidak mengenal Dia, yang telah mengutus Aku”.

· Yoh 16:1-4a - “(1) ‘Semuanya ini Kukatakan kepadamu, supaya kamu jangan kecewa dan menolak Aku. (2) Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah. (3) Mereka akan berbuat demikian, karena mereka tidak mengenal baik Bapa maupun Aku. (4a) Tetapi semuanya ini Kukatakan kepadamu, supaya apabila datang saatnya kamu ingat, bahwa Aku telah mengatakannya kepadamu.’”.

· Matius 10:24-25 - “(24) Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada tuannya. (25) Cukuplah bagi seorang murid jika ia menjadi sama seperti gurunya dan bagi seorang hamba jika ia menjadi sama seperti tuannya. Jika tuan rumah disebut Beelzebul, apalagi seisi rumahnya”.

2) Kalau kelompok Yahweh-isme mengatakan bahwa penggunaan kata ‘Allah’ oleh orang Kristen membingungkan orang Islam, maka saya jawab:

a) Saya pernah 4 x khotbah di depan orang Islam, dan saya menggunakan kata ‘Allah’, dan itu sama sekali tidak membingungkan mereka ataupun membuat mereka marah. Kalau ada sebagian (kecil) umat Islam yang keberatan, mereka tidak mewakili semua umat Islam, yang pada umumnya tidak keberatan.

b) Orang Islam bingung atau tidak itu bukan urusan kita. Dan sangat tidak masuk akal kalau karena mereka bingung lalu kita mesti membuang kata ‘Allah’ yang sudah kita pakai lebih dulu. Bagaimana kalau suatu kali muncul agama baru yang menggunakan nama YAHWEH, dan mereka bingung kalau kita menggunakan nama ‘Yahweh’, apakah kita juga harus membuang nama Yahweh itu?

3) Kalau memang ada orang Islam yang keberatan, seperti orang-orang Islam di Malaysia, maka saya menganggap mereka yang salah dan mau ‘sak karepe dewe’ (= semaunya sendiri), karena seperti telah saya jelaskan di atas, orang Kristen Arab sudah menggunakan kata ‘Allah’ bahkan sebelum Islam ada!

4) Kebanyakan orang-orang Islam sendiri mengatakan bahwa kata ‘Allah’ berarti ‘the God’ (= sang Allah), bukan nama pribadi / nama diri.

5) Yakub Sulistyo mengatakan bahwa ada orang-orang kristen yang berusaha menabrakkan mereka dengan umat Islam.

Yakub Sulistyo: “Umat Nasrani di Indonesia yang memunculkan Nama Yahweh sebagai Nama Tuhannya, dianggap sesat, sekte atau bidat, kelompok sempalan, kelompok kurang cerdas yang bikin onar, ‘Saksi Yehuwa’ yang berganti baju dan sebagainya, karena menghilangkan kata ‘Allah’ dan ‘ALLAH’ dari terjemahan Kitab Suci terbitan Lembaga Alkitab Indonesia serta mengganti beberapa bagian dari kata ‘Tuhan’ dan ‘TUHAN’. Akibat tindakan tersebut rupanya menyebabkan gereja-gereja dan sinode-sinode di Indonesia ‘Shock’ berat sehingga berupaya untuk meredam sekuat tenaga dengan berbagai cara, salah satu diantaranya adalah membenturkan gerakan baru tersebut kepada ormas Islam dengan alasan menghina agama Islam karena dikatakan ‘membuang’ Allah dan membenturkannya juga kepada Pemerintah Republik Indonesia karena dianggap membuat resah. Hal itu penulis alami sendiri ketika bulan Agustus 2001 mulai mengajarkan kepada jemaat yang digembalakannya di Gereja Bethel Indonesia ‘Yerikho’ Ambarawa, sehingga penulis dipecat dari Sinode Gereja Bethel Indonesia dan disidang oleh Muspika, Linmas, Depag, dan harus berurusan dengan DPRD dan Bupati Kab. Semarang, bahkan sampai ke Laskar Jihad. Namun dengan penjelasan yang disampaikan justru mereka semua dapat menerima gerakan tersebut”.

Tetapi kalau dilihat dari kata-katanya yang di atas tadi, maka kelihatannya Pdt. Yakub Sulistyo ini yang berusaha membenturkan orang Kristen yang masih menggunakan kata ‘Allah’ dengan umat Islam! Kalau ini benar, maka orang licik ini betul-betul merupakan seorang pengkhianat dalam kristen! Ia adalah Yudas Iskariot abad 21!

VI) Kalau kata ‘Allah’ merupakan terjemahan dari kata ‘God’, maka seharusnya semua agama menerima kata ‘Allah’ itu.

Yakub Sulistyo:

“Jika ‘ALLAH’ maupun ‘Allah’ menjadi bahasa Indonesia, seharusnya memiliki persepsi yang sama diantara suku, bahasa dan agama di Indonesia, seperti ‘KURSI’ yang diadopsi dari bahasa Arab ‘AL KURSI’ dikalangan suku, bahasa dan agama di Indonesia memiliki persepsi yang sama. Terbukti persepsi kata ‘ALLAH’ maupun ‘Allah’ dari agama Islam dan Kristen saja berbeda, dan kalangan Hindu dan Budha tidak pernah memakai kata ‘Allah’ maupun ‘ALLAH’ sebagai bahasa Indonesia untuk sinonim kata ‘Tuhan’”.

“Allah bukan bahasa Indonesia atau sesuai budaya Indonesia. Sangat disayangkan jika para theolog Indonesia menganggap bahwa kata Allah merupakan bahasa Indonesia untuk sinonim atau padanan kata dari kata Tuhan atau sudah menjadi budaya Indonesia. a. Tidak bisa diterima oleh semua agama. Untuk mengadopsi suatu kata asing menjadi bahasa Indonesia, seharusnya memenuhi kriteria-kriterianya yaitu bisa diterima oleh semua suku dan agama di Indonesia. Misalkan ‘Kursi’ yang berasal dari bahasa Arab ‘alkursi’ (ﺃﻠﮑﺭﺴﻲ, ) semua agama dan golongan di Indonesia mempunyai persepsi yang sama untuk arti dari kata tersebut. Sedangkan kata ‘Allah’ tidak pernah dipakai oleh agama Hindu dan agama Budha di Indonesia dan di belahan dunia manapun untuk sinonim dari kata ‘Tuhan’. Dengan adanya kesalahan penerjemahan tersebut telah membuat perbedaan persepsi antara umat Islam dan Kristen tentang kata ‘Allah’. Jadi kata ‘Allah’ itu bukan ‘BAHASA INDONESIA’ melainkan ‘NAMA DIRI’ b. Sila Pertama tidak bisa diubah. Jika Allah adalah bahasa Indonesia untuk padanan kata / sinonim dari kata Tuhan, sila pertama Pancasila yang berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa.’ dapat diubah menjadi ‘Keallahan Yang Maha Esa.’”.

Kristian Sugiyarto: “Padahal kalau Kata ‘Allah’ yang telah dipahami oleh sebagian orang Kristen yang menolak nama Yahweh sebagai pengganti kata ‘Tuhan’, seharusnya disadari bahwa pemahaman tersebut tidak sah, melainkan terkesan dipaksakan, sebab orang yang beragama Budha dan Hindu tidak menerima kata ‘Allah’ sebagai pengganti kata ‘Tuhan’ dalam pemahaman mereka berbahasa Indonesia”.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

Ini argumentasi yang sangat konyol dan tolol. Saya akan memberikan beberapa jawaban berkenaan dengan argumentasi tolol ini:

1) Apa pedulinya dengan orang-orang beragama lain, apakah mereka mau terima kata ‘Allah’ atau tidak. Mereka juga tidak mau terima YAHWEH sebagai nama Allah!

2) Yakub Sulistyo memberikan contoh / illustrasi yang sangat tidak cocok. Mengapa? Karena kata ‘kursi’ bukan kata yang berurusan dengan agama / theologia, sedangkan kata ‘Allah’ merupakan kata yang berurusan dengan agama / theologia. Jadi tentu sangat berbeda.

3) Kalau kata ‘Allah’ tidak boleh diterima sebagai terjemahan dari ‘God’ ataupun ‘Tuhan’, karena agama-agama lain tidak menggunakannya untuk Allah mereka, lalu bagaimana dengan contoh-contoh di bawah ini?

a) Kata ‘dewa’ yang jelas digunakan oleh orang beragama Hindu. Ini juga merupakan kata yang diambil / diadopsi dari bahasa asing, mungkin dari kata Sansekerta ‘deva’. Kita / orang Kristen, dan bahkan orang Islam, juga tidak akan mau menyebut Allah / Tuhan kita dengan sebutan ‘dewa’, bukan? Jadi, itu juga harus dianggap sebagai terjemahan yang tidak sah, atau harus dianggap sebagai bukan kata bahasa Indonesia?

b) Kata ‘Amin’. Apakah hindu, buddha, khong hu cu juga memakainya?

c) Bagaimana dengan istilah pendeta, pastor, kyai, biksu, pedanda dsb? Setiap agama berbeda, dan karena itu haruskah kita menyimpulkan bahwa kata-kata itu bukan kata-kata bahasa Indonesia?

d) Bagaimana dengan istilah gereja, mesjid / masjid, kuil, wihara, kelenteng dsb? Dalam hal inipun semua agama berbeda-beda dalam menyebut tempat ibadahnya. Jadi, haruskah disimpulkan bahwa kata-kata itu bukan kata-kata bahasa Indonesia?

e) Bagaimana dengan kata-kata / istilah-istilah seperti ‘firman’, ‘Injil’, ‘nabi’, ‘rasul’, ‘surga / nirwana’, ‘imam’, dsb?

Dalam semua istilah-istilah ini agama-agama yang ada berbeda penggunaannya. Lalu, karena adanya ketidak-setujuan antar agama ini, apakah kata-kata itu juga harus dianggap sebagai bukan kata-kata bahasa Indonesia?

VII) Menghubungkan penggunaan nama YAHWEH dan pembuangan kata ‘Allah’ dengan keselamatan seseorang.

Yakub Sulistyo: “Kalau ada orang Kristen yang setia dan taat kepada Tuhan padahal belum mengenal Nama Yahweh tetapi sudah meninggal, baik meninggal karena sudah tua atau meninggal disebabkan karena apapun, karena ia sudah menerima Tuhan Yeshua sebagai Tuhan dan Juruselamatnya secara pribadi, tentu saja orang tersebut SELAMAT dan PASTI masuk surga, kenapa... karena yang menyelamatkan adalah Tuhan dan juru selamat dan karena nama sesembahan lain yang selama itu disebut, diyakininya sebagai sebutan untuk mengganti atau sinonim dari kata TUHAN saja ...karena tidak tahu ya tidak masalah. Namun jika Anda sudah diberi pengertian tentang siapakah Yahweh, dan siapakah Allah yang adalah Nama Dewa jaman Pra Islam dan juga telah dijadikan sebagai Tuhannya umat Islam, tetapi Anda menolak Yahweh, maka Firman Tuhan dalam kitab Ibrani 10:26 akan berlaku bagi Anda, yang bunyinya ‘Sebab jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu.’ Artinya sudah diberitahu tetapi tidak mau tahu”.

Tanggapan Pdt. Budi Asali:

1) Dari kata-kata Yakub Sulistyo di atas ini saya menyimpulkan bahwa ia sudah mengganti Injil yang ada dalam Alkitab kita dengan ajaran tentang keharusan menggunakan nama ‘Yahweh’ dan larangan menggunakan kata ‘Allah’! Ini adalah Injil yang lain / Injil yang berbeda, dan rasul Paulus mengatakan ‘Terkutuklah orang yang memberitakan Injil yang lain / berbeda’!

Gal 1:6-9 - “(6) Aku heran, bahwa kamu begitu lekas berbalik dari pada Dia, yang oleh kasih karunia Kristus telah memanggil kamu, dan mengikuti suatu injil lain, (7) yang sebenarnya bukan Injil. Hanya ada orang yang mengacaukan kamu dan yang bermaksud untuk memutarbalikkan Injil Kristus. (8) Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan kepada kamu suatu injil yang berbeda dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu, terkutuklah dia. (9) Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia”.

2) Yakub Sulistyo mengatakan bahwa orang kristen yang belum mendengar tentang ajaran Yahweh-isme tetap selamat. Tetapi kalau orang kristen itu lalu mendengar ajaran Yahweh-isme ini, dan tidak mempercayainya, maka ia dianggap berbuat dosa sengaja (bdk. Ibrani 10:26), dan ia menjadi tidak selamat.

Kalau begitu, keselamatan seseorang bisa hilang gara-gara mendengar ajaran Yahweh-isme! Seseorang yang tadinya sudah selamat (karena belum tahu) lalu diberi tahu (tentang ajaran Yahweh-isme) tetapi tak percaya, maka ia kehilangan keselamatannya. Kalau begitu, dari pada menghancurkan keselamatan banyak orang, para Yahwehisme ini lebih baik menghentikan saja ajarannya!

3) Juga keselamatan seseorang menjadi tergantung pada pengertian tentang bahasa Arab, karena untuk bisa yakin kan harus mengerti. Dan argumentasi tentang kata ‘Allah’ menggunakan bahasa Arab. Kalau tak mengerti bahasa Arab, tak mungkin mengerti argumentasinya sehingga tak mungkin yakin, sehingga tak mungkin selamat juga. Mengapa dalam Kitab Suci tak ada kata-kata ‘Berbahagialah orang Arab!’?

4) Saya tidak ingin memberikan exposisi tentang Ibr 10:26, tetapi sedikit penjelasan saja. Ayat itu pasti tidak berarti bahwa orang yang melakukan dosa sengaja tidak bisa diampuni. Mengapa? Karena saya yakin bahwa tidak ada orang kristen yang tidak pernah melakukan dosa dengan sengaja. Bahkan saya berpendapat bahwa mayoritas dosa adalah dosa sengaja. Jadi, kalau ayat itu artinya memang seperti itu, semua orang kristen pasti masuk neraka.
Next Post Previous Post