IMAN, RASIO DAN KEBENARAN
Pdt. DR. Stephen Tong.
PENDAHULUAN: IMAN, RASIO DAN KEBENARAN.
“Supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.” (Efesus 4:21-24)
Telah lebih dari dua puluh lima tahun saya memikirkan tentang fungsi rasio di dalam diri orang beriman. Apakah orang beriman tidak berpikir? Apakah orang yang berpikir tidak dapat beragama? Apakah mungkin seorang yang beriman kuat tetap memiliki pikiran yang bertanggung jawab di dalam menghadapi berbagai kesulitan, dengan berpikir sesuai dengan firman Tuhan?
Dengan topik ini, kita akan memikirkan kembali apakah pengertian iman dan bagaimana kaitannya dengan pikiran dan kebenaran yang hakiki.
SIFAT RASIO DALAM PETA DAN TELADAN ALLAH
Di dalam Efesus 4:24, kata “kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya” dapat diterjemahkan juga sebagai “keadilan dan kesucian yang benar” sehingga “benar” atau kebenaran merupakan dasar bagi kedua sifat lainnya, yaitu keadilan dan kesucian. Maka di sini disebutkan tiga sifat yang paling tinggi kualitasnya dan yang paling penting di dalam pembentukan manusia, yang adalah peta dan teladan Allah.
Manusia dicipta menurut gambar Allah, berarti manusia dicipta seperti Penciptanya, dengan kemungkinan keadilan, kesucian dan kebenaran. Keadilan yang suci, kesucian yang adil, dan keadilan dan kesucian yang benar. Ketiga aspek ini sekaligus merupakan dasar yang sejati.
Setelah orang Kristen menanggalkan hidup yang lama dan mengenakan hidup yang baru menjadi manusia baru sehingga seperti Allah, maka tiga sifat utama ini yang ditonjolkan. Karena ketiga aspek penting ini sehingga manusia menjadi seperti Allah. Manusia menjadi manusia karena memiliki tiga unsur yang penting ini. Jika diringkas, ketiga unsur ini dapat dikategorikan: (1) unsur rasio; (2) unsur hukum; dan (3) unsur moral.
Manusia adalah manusia karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat mengenal kebenaran, yaitu melalui rasio. Manusia juga menjadi manusia, karena ia dapat menjalankan keadilan, yaitu memiliki hukum. Dan manusia adalah manusia karena ia satu-satunya makhluk yang berkewajiban moral, untuk mencapai tuntutan kesucian. Tiga hal inilah yang membedakan manusia dari semua binatang.
Sebelum menciptakan manusia, Allah telah menciptakan segala macam makhluk yang lain. Tetapi pada akhirnya Ia menentukan untuk menciptakan manusia menurut peta dan teladan-Nya sendiri. Gambar dan rupa dapat memberikan imajinasi secara fisik di dalam pikiran kita, tetapi sesungguhnya bukan demikian, karena Allah itu Roh adanya (Yohanes 4:24). Oleh karena itu, ayat ini merupakan ayat kunci bahwa kita hanya dapat mengerti konsep ini secara rohani. Jika Allah tidak bersifat fisik atau materi, maka kita jangan memikirkan konsep “peta dan teladan” seolah-olah Allah bertubuh. Pengertian peta dan teladan Allah harus dimengerti secara rohani. Juga karena Allah itu Roh adanya, maka kita tidak boleh mengerti Allah berdasarkan konsep manusia yang bertubuh ini. Peta dan teladan Allah itu kini diberikan tiga aspek penting ini. Jika ketiga aspek ini dihilangkan dari makhluk yang bernama “manusia”, maka ia tidak akan berbeda dari semua jenis binatang.
Tidak peduli politik, ideologi, isme-isme manusia berjalan ke mana, baik negara komunis atau kapitalis, baik sosialis atau aristokratis, baik demokrasi atau monarki, semua pasti menegakkan hukum di dalam negaranya.
Hukum adalah unsur yang sangat penting, karena hukum menjalankan keadilan. Setelah manusia berbuat dosa, belum pernah ada satu negara yang dapat menjalankan keadilan yang sesuai dengan sifat keadilan Allah sendiri, yang adalah Sumber keadilan itu sendiri. Tetapi ide dan cita-cita mendirikan masyarakat yang adil dan sejahtera belum pernah hilang dari kebudayaan manusia.
Pada saat keadilan seseorang kembali kepada keadilan Allah, maka orang itu menjadi beres. Demikian pula ketika kebenaran manusia kembali kepada kebenaran Allah, dan kesucian manusia kembali kepada standar moralitas Allah, maka manusia itu akan menjadi beres. Jika orang-orang yang beres menjalankan pemerintahan yang beres, akan membawa orang-orang yang dipimpin menjadi beres. Dengan keadilan yang benar dan moralitas yang benar, maka pemerintah itu merupakan pemerintahan yang benar.
Semua masalah sosial dan kesulitan masyarakat yang bersifat kemanusiaan disebabkan karena tidak kembalinya rasio kepada kebenaran Allah, tidak kembalinya hukum kepada keadilan Allah, dan tidak kembalinya moral kepada kesucian Allah.
BAB I : IMAN, RASIO DAN KEBENARAN.
MANUSIA MAKHLUK RASIONAL
Untuk lebih mengerti pikiran manusia, manusia perlu mengenal dirinya sendiri dan kaitan antara diri dan rasionya. Manusia memang berbeda dari segala makhluk. Ketika saya masih kecil, saya pernah bertanya kepada ibu saya, “Mengapa semua sapi wajahnya sama?” Ibu saya menjawab di luar dugaan saya, “Sapi juga melihat semua orang wajahnya sama.” Mungkin ada benarnya. Orang Indoensia sulit membedakan antara orang Perancis, Jerman dan Inggris. Sebaliknya orang Eropa juga sulit membedakan orang Jepang, Cina dan Korea. Tetapi orang Asia lebih mudah membedakan antara orang Jepang dan Cina. Orang Indonesia kira-kira dapat membedakan antara orang Batak dengan orang Manado.
Karena jarak dan karena kurang mendalami sesuatu hal, maka kita tidak mampu melihat perbedaannya, hanya dapat melihat persamaannya saja. Tetapi orang yang sungguh-saungguh mempelajari dan memakai banyak waktu untuk mengadakan penelitian, akan mengerti bahwa bukan hanya di dalam persamaannya saja, tetapi justru di dalam perbedaannya. Barangsiapa yang dapat dengan cepat melihat perbedaan di antara kesamaan dua hal, adalah orang yang pandai.
(1) Mengenal Manusia : Teori Evolusi
Teori Evoluisi berusaha mencari persamaan antara manusia dengan binatang. Teologi justru berusaha menyatakan perbedaan antara manusia dengan binatang. Jikalau Saudara tidak dapat melihat perbedaan, maka Saudara tidak mungkin dapat menghargai manusia dan menghargai hak azasi manusia. Semua kesulitan manusia terjadi karena melanggar atau melewati batas-batas yang diwahyukan Tuhan di dalam Kitab Suci.
Alkitab telah memberikan pengertian tentang diri manusia yang sedemikian tuntas dan jelas, sehingga hak azasi manusia akan dihargai, jika Saudara betul-betul mengertinya.
Manusia adalah manusia, binatang adalah binatang. Binatang bukan manusia, dan di antara manusia dan binatang tida kada hubungan biologis dan genetika. Tidak ada hubungan hereditair dan hubungan darah antara manusia dan binatang, Manusia dicipta untuk seturut gambar dan rupa Allah. Ini merupakan posisi yang khusus dan tidak ada bandingannya.
(2) Mengenal Manusia : Mencius (371-288 SM)
Semua orang yang berpikir secara mendalam pasti memikirkan apakah dan siapakah sebenarnya manusia itu. Sejak dahulu kala, baik kebudayaan Barat ataupun Timur, sudah berusaha untuk merumuskan perbedaan antara manusia dengan semua makhluk yang lain. Oleh karena itu di dalam kebudayaan Timur, Mencius, pemikir dan penerus dari Konfusius(551-479 SM), menegaskan bahwa manusia berbeda dari binatang karena manusia memiliki hati nurani. Manusia mempunyai perasaan membedakan yang benar dan yang tidak benar, perasaan simpati dan tidak simpati pada seseorang. Perasaan yang dalam ini hanya terjadi pada diri manusia saja.
(3) Mengenal Manusia : Aristoteles (384-322 SM)
Di dalam kebudayaan Barat, orang yang paling dalam menjelajahi sifat manusia adalah Aristoteles. Kedua tokoh ini (Aristoteles dan Mencius) hidup hampir sezaman, sekitar 2.400 tahun yang lalu. Aristoteles mengatakan bahwa manusia berbeda dari binatang karena manusia mempunyai rasio. Manusia adalah makhluk rasional. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat berpikir, melakukan analisis dan dapat berlogika.
Jikalau Saudara menangkap seekor kera (yang menurut kaum evolusi adalah saudara tua manusia), dan memberikan sepuluh buah apel, maka ia bermain-main dengan sepuluh apel itu. Di luar sepengetahuannya, Saudara ambil satu apel, maka ia tetap akan bermain dengan sembilan apel, karena ia tidak dapat membedakan antara sepuluh dengan sembilan apel. Tetapi jika Saudara ambil terus satu persatu dan apel itu tersisa tiga buah, ia menjadi gelisah. Itu karena ia bukan manusia. Manusia dengan cermat dapat menghitung semua hartanya secara saksama, bahkan dapat menghitung semua harta yang tidak ada padanya, yang masih menjadi piutang dagang, atau yang dikreditkan kepada orang lain. Bahkan manusia dapat menghitung kecepatan cahaya. Itulah manusia. Betapa luar biasa canggihnya fungsi rasio, yang menjadikan kita berbeda dari semua makhluk lainnya.
(4) Mengenal Manusia : Protagoras (480 – 411 SM)
Selain itu seorang Sofis yang bernama Protagoras juga membicarakan perbedaan manusia dari binatang. Baginya, manusia disebut manusia karena ia merupakan ukuran dari segala sesuatu. Manusia dapat menilai, mengukur, menghakimi dan dapat memberikan derajat atau tingkatan nilai. Manusia adalah pengukur segala sesuatu. Di dalam bahasa Yunani, konsep ini disebut ‘homo mensura’. Pikiran ini muncul sebelum Socrates (469-399 SM) dan Aristoteles. Protagoras boleh disebut sebagai Bapak Humanisme dan pikiran yang bersifat antroposentris, yang telah mengakibatkan segala kekacauan dan sekaligus kebanggaan manusia. Karena manusia adalah pengukur segala sesuatu, maka manusia lebih tinggi daripada segala sesuatu.
Konsep ini dapat diterima oleh orang Kristren bila diberikan batasan lingkup tertentu. Manusia boleh mengukur dan menilai segala sesuatu di bawah manusia, tetapi jika diterapkan melewati batas yang telah ditetapkan, maka manusia, dengan sistem pengukuran diri yang sudah rusak oleh dosa, akan kacau di dalam mengukur diri dan mengukur Allah. Tidak mungkin bagi manusia melakukannya.
(5) Mengenal Manusia : Filsafat Tiongkok Kuno
Sedangkan di dalam filsafat Tiongkok kuno ada penemuan lain yang mengatakan bahwa manusia adalah roh atau semangat dari segala sesuatu. Segala sesuatu indah, tetapi segala sesuatu tidak sadar bahwa dia indah. Bunga harum, tetapi bunga itu sendiri tidak sadar kalau ia harum. Segalanya teratur, tetapi hanya manusia yang mengerti tentang pengaturan dan hubungan antara satu dengan yang lainnya. Manusia mempunyai perasaan imitatif. Sekalipun tidak dapat menciptakan yang asli, manusia berusaha menerapkan imitasi di atas kanvas dengan semangat mengerti yang obyektif. Menurut Plato (429-347 SM), yang disetujui oleh Aristoteles, seni adalah imitasi alam. Ketika seseorang melukis bunga, ia berusaha menuangkan kesan yang ia lihat di atas kanvas. Ini tindakan imitasi, sehingga kesan itu kemudian mempengaruhi orang lain yang melihatnya. Namun bagaimana pun bagusnya imitasi, tetap tidak lebih bernilai daripada aslinya. Di dalam dunia seni, mungkin dapat terbalik. Lukisan bunga karya van Gogh (1853 – 1890), bernilai jauh di atas bunga aslinya. Mengapa? Karena seni telah berubah menjadi ekspresi subyektif, wadah dari perasaan senimannya. Menurut Leonardo da Vinci (1452 – 1519), seni adalah tindakan rohani. Itu alasan mengapa Michaelangelo (1475 – 1564) seumur hidupnya hanya melukis manusia, tidak melukis yang lain.
Hal-hal seperti ini tidak mungkin terdapat pada binatang. Manusia menjadi roh dari segala sesuatu. Jika bumi dan materi pasif, maka manusia merupakan satu-satunya makhluk yang aktif dengan roh yang ada padanya. Manusia dapat memberikan interpretasi kepada alam semesta, dan manusia telah menjadi tuan rumah bagi bumi yang dicipta ini. Tetapi di belakang manusia, Allah yang telah menjadi Sumber kekuatan.
(6) Mengenal Manusia : Filsafat India
Sekarang kita akan melihat dua pandangan filsafat dari Barat dan Timur yang sangat mirip dalam pandangannya tentang manusia. Yang pertama dari Stoiksisme, dan yang lain dari India. Di India, ada konsep bahwa dunia ini dicipta oleh Sesuatu yang besar sekali, yang disebut Brahma. Brahma menjadi Dewa Pencipta dan brahman menjadi prinsip yang menjalar ke seluruh alam semesta. Sedangkan manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat berkait dengan brahman, sehingga dapat berelasi dengan Brahma. Di dalam diri manusia ada Atma. Oleh karena itu, di dalam filsafat Timir ini (India) ada pikiran bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki roh individu (Atma), yang dapat menggabungkan diri dengan kekekalan, dengan Jiwa Universal (Brahma).
(7) Mengenai Manusia : Stoiksisme
Stoiksisme, Epikureanisme dan Skeptisisme merupakan tiga aliran filsafat yang berkaitan dengan hidup manusia dan makna yang tertinggi yang digumulkan di dunia Barat sejak 400 tahun sebelum Kristus sampai 400 tahun sesudah Kristus. Selama 800 tahun, ketiga aliran ini berkembang dan di antara ketiganya, Stoiksisme yang memiliki pikiran yang paling mendalam.
Hal yang mirip terdapat dalam kebudayaan Stoiksisme. Orang Stoiksisme percaya kepada suatu Rasio Universal atau Rasio Umum, yang melampaui waktu dan tempat, yang melingkupi seluruh alam semesta. Manusia merupakan rasio-rasio kecil seperti pecahan-pecahan dari Rasio Universal, bagaikan pulau-pulau kecil yang terpencil. Mereka percaya bahwa setelah manusia mati, akan kembali kepada Rasio Universal tersebut.
Filsafat ini terlihat jelas pada pikiran Epitectus (55 – 135), Seneca (3 SM – 65 M), dan Kaisar Marcus Aurelius (121 – 180). Mereka melukiskan bahwa ketika manusia mati, ia akan kembali kepada Logika Universal itu, sedangkan manusia itu sendiri sebagai logikos(logos kecil). Rasul Yohanes memakai istilah Logos sebagai pembukaan kitab Injil-Nya, yang berarti Firman. Orang Yunani tidak pernah mengerti jika Firman atau Logos itu adalah Allah. Mereka melihat Logos hanya dengan samar-samar dan tidak mengerti dengan tepat. Saya tidak setuju dengan pikiran Paul Johannes Tillich (1886 – 1965) yang mengatakan bahwa seluruh pikiran orang Kristen dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Pikiran ini adalah pikiran yang menyesatkan.
Sebelum Allah mewahyukan Firman ke dalam dunia, sebelum Allah mewahyukan Kitab Suci melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, Allah memperbolehkan istilah-istilah yang akan dipakai-Nya terlebih dahulu oleh pemikir-pemikir yang tidak menerima dipakai terlebih dahulu oleh pemikir-pemikir yang tidak menerima wahyu khusus. Di dalam wahyu Umum, dengan rasio yang dicipta oleh Allah tetapi yang sudah jatuh dan sudah dicemarklan oleh dosa, manusia masih mungkin untuk meraba-raba dan mengerti dan mengerti sesuatu yang agung, tetapi tidak pernah dapat mengerti hal itu secara tuntas dan akurat. Hal ini dapat terjadi di dalam filsafat-filsafat Tiongkok, India, Yunani, dll. Logos bersifat universal dan kosmis, yang menjadi sumber dari manusia yang berasio.
(8) Mengenal Manusia : Alkitab
Di dalam Alkitab, kita melihat konsep yang berbeda. Allah mewahyukan bahwa Ia adalah Diri-Nya yang menjadi peta dan teladan bagi manusia, yang suci, yang adil dan yang benar. Manusia dicipta menurut teladan yang asli itu, sehingga manusia mempunyai kemungkinan kembali kepada kebenaran, keadilan dan kesucian. Ini perbedaan tuntas antara Kekristenan dan Filsafat dunia. Oleh karena itu, jika kita menelusuri perbedaan antara manusia dan binatang, maka jawaban yang paling penting, yaitu: Manusia memiliki rasio, moral dan sifat hukum. Jawaban yang paling akurat dan paling tepat ini adalah dari Tuhan yang mencipta manusia, yang mewahyukan kebenaran ini di dalam Alkitab.
Allah mengetahui siapa manusia karena Ia yang merancang. Ia yang mencipta dan yang menjadikan manusia. Hanya perancang aslinya yang mengetahui mengapa sesuatu hal diciptakan, Allah memberikan jawaban yang paling lengkap, paling sempurna dan paling benar kepada kita. Jika filsafat Timur berusaha meraba-raba dari sudut hati nurani dan perasaan hati, filsafat Barat meraba-raba dari sudut pikiran dan rasio, maka firman Allah memberikan jawaban yang tuntas dan tegas. Manusia adalah peta dan teladan Allah.
Dengan pengertian semacam ini, kita tidak terlalu sulit mengerti mengapa ada orang-orang yang berusaha memperbaiki masyarakat melalui pendidikan. Mereka beranggapan bahwa perbaikan masyarakat dapat dilakukan melalui aspek rasio. Dan ada juga orang yang menerjukan diri untuk meperbaiki masyarakat melalui sifat keadilan, karena mereka lebih cenderung kepada aspek hukum. Ada pula orang yang berusaha mengubah masyarakat melalui sifat kebaikan, karena mereka boleh menitik-beratkan kewajiban mereka kepada aspek moral. Ketiga aspek itu ada benarnya. Tetapi sekali lagi perlu ditegaskan bahwa keadilan dan kesucian yang benar. Oleh karena itu, peranan rasio penting sekali.
BAB II : IMAN, RASIO DAN KEBENARAN.
PERANAN RASIO
Rasio dan Agama
Jika rasio penting, di manakah peranannya dalam agama? Jika seseorang berkata, “Aku Percaya”, maka kita perlu bertanya tentang apa yang ia percaya. Bukanlah banyak orang Kristen yang tidak mengetahui apa yang ia percayai? Jika ia tidak tahu apa yang ia percaya, apakah itu berarti “percaya” lebih tinggi daripada “percaya atas apa yang diketahui”? Jikalau kita percaya tanpa memberikan pertanggung-jawaban atas apa yang kita percaya, apakah kepercayaan semacam itu merupakan kepercayaan yang sah?
Sejak usia 16 tahun saya berusaha untuk menyeleweng, melawan dan menjadi musuh Kekristenan. Saya telah mengambil keputusan untuk tidak lagi ke gereja/ Bahkan saya hampir mengumumkan bahwa saya merdeka dari ikatan Kekristenan. Pada usia 17 tahun, saya bertanya pada diri saya sendiri, “Bolehkah saya percaya tanpa mengerti?” Jawabannya adalah: Tidak! Kalau demikian kita perlu mencari pengertian tentang yang akan kita percayai. Untuk itu kita perlu mengerti dengan memakai rasio. Saya kemudian mencatat semua kesulitan saya sebagai orang Kristen. Saya mengalami konflik dengan Evolusi, Atheisme, Komunisme, Dialektika-Materialisme, dll. Setelah itu saya mulai bertanya kepada pendeta-pendeta atau penginjil-penginjil. Jawaban-jawaban dari para pemimpin Kristen itu adalah, “Jangan banyak bertanya, beriman saja. Jangan ragu-ragu, semua keraguan itu dari setan.” Saya ingin mengetahui, tetapi para pemimpin gereja tidak bisa memberi tahu. Saya ingin mengerti, tetapi mereka anggap saya dipakai oleh setan. Saya tahu di dalam Kekristenan terdapat iman kepercayaan yang sangat agung, tetapi bagaimana hal itu dipertanggung-jawabkan? Saat itu saya berjanji, jika Tuhan ada dan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, maka saya akan mau dipakai Tuhan pergi ke mana saja untuk menjawab kesulitan-kesulitan ortang di dalam pergumulan imannya. Sampai hari ini beban yang menjadi visi saya ini belum saya lepaskan.
Jika rasio bertentangan dengan iman, apakah kita harus memegang rasio dan melepaskan iman kita? Ataukah jika iman bertentangan dengan rasio, lalu kita memegang iman dan menginjak-injak rasio? Mungkinkah rasio bertanggung jawab karena mengerti iman, sehingga iman itu dapat dipertanggung-jawabkan karena dimengerti oleh rasio? Apakah ini prinsip Alkitab? Kalau memang prinsip Alkitab, di manakah Alkitab mengungkapkan hal-hal seperti ini?
Bagaimana dengan setiap Saudara yang mengaku sebagai orang percaya? Betulkah Saudara mengerti apa yang Saudara percaya? Ataukah banyak di antara Saudara yang hanya ikut-ikutan saja? Bukankah Alkitab telah ditulis sebelum ilmu pengetahuan berkembang luas? Bukankah di zaman kuno, mereka mudah sekali mencampurkan iman dengan takhyul? Bukankah di zaman nabi-nabi dan rasul-rasul belum ada kesulitan-kesulitan besar seperti kita yang hidup di zaman modern ini? Andaikata Paulus hidup di abad XX, apakah ia masih dapat menjadi orang Kristen? Andaikata Petrus hidup di abad ini apakah ia masih berani mengabarkan Injil?
Saat itu, saya meragukan semua yang ditulis dalam Kitab Suci. Saya mempertanyakan semua hal yang berhubungan dengan iman dan rasio. Tetapi puji Tuhan, tidak sampai setengah tahun kemudian, dengan buku-buku apologetika yang saya baca, saya boleh mendapatkan pimpinan Tuhan. Tuhan memang adalah Tuhan yang hidup. Ia menjawab dan memberikan prinsip-prinsip yang menenangkan hati saya. Akhirnya, dengan cucuran air mata saya menyerahkan diri untuk hidup menjadi hamba Tuhan.
Di manakah Kekristenan? Apa yang dikerjakan pada zaman ini? Betulkah pada zaman Paulus dan pada zaman nabi-nabi tidak ada konflik antara iman dan rasio? Jawabnya: Tidak! Zaman itu sama dengan zaman kita. Jika pada zaman kita mendapat banyak pertentangan antara ilmu dengan iman, demikian juga pada zaman mereka terdapat pertentangan antara rasio dengan iman. Setiap zaman memang mendapatkan serangan yang berbeda, tetapi memiliki dasar esensi yang sama, yaitu konflik antara iman dan rasio.
2. Iman dan Pengetahuan
Paulus pernah menegaskan di masa tuanya: “Aku tahu siapa yang aku percaya” (2 Timotius 1:12). Jika Paulus mengetahui dengan rasionya tentang apa yang ia percayai atau imani, maka pengetahuan dan iman dapat berjalan sejajar. Kita harus bersyukur, karena hal ini berarti ada jawaban.
Ketika kita membaca karya-karya orang besar, para pemikir yang sangat rasionil, terkadang kita bisa berkecil hati. Hegel (1770-1831), Charles Darwin (1809-1882), Karl Marx (1818-1883), Ludwig Feuerbach (1804-1872), Immanuel Kant (1724-1804) dan beberapa di antara mereka belajar teologi, akhirnya menjadi musuh-musuh gereja. Karl Marx dan Feuerbach pernah belajar teologi; Darwin bahkan hampir-hampir ditahbiskan menjadi pendeta; Friedrich Nietzsche (1844-1900) pernah belajar teologi dan akhirnya menjadi anti Kristus. Saya tidak mengatakan orang yang belajar teologi berada dalam bahaya. Tetapi jikalau seseorang tidak menemukan bagaimana caranya mempertemukan dan menyinkronkan, mengharmoniskan iman dengan pengetahuan, maka ia terancam bahaya.
Saya agak kecewa melihat orang Kristen di Indonesia karena terlalu sedikit yang senang membaca buku, tetapi mereka lebih senang mengikuti pembicara-pembicara yang memberitakan hal-hal yang aneh-aneh. Inilah Kekristenan yang besar di Indonesia. Begitu banyak pengkhotbah yang tidak sungguh-sungguh belajar, tetapi berani berkhotbah. Jikalau kita masuk ke dalam berbagai kesulitan yang pernah ditimpakan kepada Kekristenan, kita baru menyadari betapa sedikitnya orang Kristen yang siap menghadapi semua kesulitan itu dan memaparkan kebenaran Allah.
Rasio dan iman dapat berjalan sejajar. Tetapi jika mereka harus saling mengisi, siapakah yang lebih superior, yang mana yang harus lebih dipentingkan? Apakah kita harus menundukkan rasio ke bawah iman, ataukah menaklukkan iman ke bawah rasio? Paulus dengan tegas memakai satu kalimat untuk mendalami prinsip kesinambungan Perjanjian Lama sampai kepada Perjanjian Baru, yaitu: “Orang benar akan hidup melalui iman.” Dengan kalimat ini, jelaslah bahwa iman menempati posisi yang utama. Iman merupakan unsur primer, lebih penting daripada segala sesuatu. Tetapi iman itu harus dapat dipertanggung-jawabkan dengan rasio yang dapat dimengerti dengan sesungguhnya.
Iman harus mendahului dan menjadi fondasi dari rasio kita. Iman, yang menyebabkan kita dapat berdiri di hadapan Tuhan. Tetapi orang-orang yang berdiri dihadapan Tuhan juga harus berdiri di hadapan manusia. Pada waktu seseorang beriman kepada Tuhan, ia harus memberikan alasan di hadapan manusia mengapa ia beriman kepada Tuhan. Dengan iman kita berdiri di hadapan Tuhan, dengan pengetahuan kita mengerti mengapa kita berdiri di hadapan Tuhan, dan dengan pengetahuan yang sejati kita dapat membagi-bagikan iman yang murni kepada orang-orang sesama kita di zaman kita ini.
Rasio tidak boleh dibunuh oleh iman, karena rasio dicipta oleh Tuhan sebagai satu bagian yang penting di dalam urutan fungsi di dalam dunia iniu. Saya kira, melalui tempat Tuhan menempatkan organ-organ tubuh kita, Ia sudah memberikan indikasi kepada kita tanpa kita sadari, tentang tingkatan pentingnya organ tersebut. Ini bukan hukum yang mutlak, tetapi dapat merupakan indikasi. Otak diberikan tempat yang penting di bagian tubuh manusia, karena otak yang menguasai segala yang lainnya. Jika otak diletakkan di tempat yang teratas dalam tubuh manusia, biarlah manusia dengan otak dan pikiran dapat mengerti segala tingkah laku, penetapan, emosi dan kemauan manusia.
Di dalam filsafat Plato, manusia secara pribadi mempunyai tiga unsur yang penting, yaitu: (1) rasio, (2) emosi, dan (3) kemauan. Bagi Pluto, emosi berada di dalam hati, dan kemauan berada di dalam organ seks. Kita tidak perlu menerima konsep ini sepenuhnya. Ia mengatakan bahwa kemauan terletak di bawah emosi dan emosi berada di bawah rasio, sehingga kemauan harus dikendalikan oleh emosi dan emosi dikendalikan oleh rasio. Saya rasa urutan demikian ada benarnya, sekalipun kita tidak perlu memutlakkannya.
Allah memberikan otak kepada kita. Tuhan menciptakan rasio di dalam diri manusia yang dicipta menurut peta dan teladan Allah. Rasio yang mengenal kebenaran menjadi dasar dari keadilan dan kesucian. Dengan demikian, sifat moral membutuhkan moralitas yang benar, sifat hukum membutuhkan keadilan yang benar; sehingga kebenaran menjadi unsur yang paling penting. Kebenaran dan rasio adalah dua hal yang berbeda.
Rasio digunakan untuk mengerti kebenaran, sedangkan kebenaran harus dimengerti oleh rasio. Bukankah dengan demikian rasio menjadi subyek dan kebenaran menjadi obyek? Tidak! Kebenaran senantiasa harus menjadi subyek dan rasio harus senantiasa menjadi obyek. Jika orang Kristen mengerti dengan benar, maka fungsi rasio tidak boleh dimutlakkan. Memiliki rasio adalah anugerah Tuhan. Memutlakkan rasio berarti mengilahkan rasio, berarti merampas kemuliaan Tuhan dan melanggar anugerah Tuhan.
Rasio diberikan oleh Tuhan kepada manusia supaya manusia dapat mengerti kebenaran. Dan waktu rasio itu belum mengerti kebenaran, kebenaran itu sudah ada dan tetap adalah kebenaran. Rasio itu masih kosong. Tetapi setelah rasio mengerti kebenaran, maka kebenaran itu akan menguasai rasio, sehingga rasio itu menjadi rasio yang berkebenaran. Rasio itu berubah dari tidak mengerti kebenaran menjadi mengerti kebenaran.
Dari konsep di atsas, kita melihat bahwa rasio mengalami perubahan dan rasio berada di dalam proses. Karena rasio mengalami proses dan mengalami perubahan, maka rasio sendiri tidak boleh dimutlakkan. Apa pun yang berada di dalam proses tidak boleh dimutlakkan! Oleh karena itu, kita perlu mengerti konsep yang besar dan penting ini. Jika konsep ini telah Saudara mengerti, banyak kesulitan Saudara mengenai iman dapat dengan mudah diselesaikan.
Jika kita mengatakan “saya memetik bunga” atau “saya membezuk Andi” maka saya memang menjadi subyek dan inisiator. Tetapi jika kita mengatakan “saya mencari kebenaran” maka kita sedang membicarakan “kebenaran” yang berkaitan dengan diri Allah sendiri. Maka kebenaran yang dicari pasti lebih besar daripada yang mencari. “Saya mencari kebenaran” berkait erat dengan “saya percaya kepada Allah” di mana belum pernah diri Allah dan kebenmaran-Nya menjadi obyek.
3. Allah sebagai Subyek Kebenaran
“Saya seperti Allah” maka sepintas lalu kalimat ini memberikan ide “saya” sebagai subyek. Tetapi sebenarnya, karena “saya “ meniru Allah, maka sumber dari “saya” adalah Allah, sehingga Sumber itu menjadi asal, dan saya menjadi duplikatnya. Dengan demikian Sumber itulah sebagai subyeknya, dan saya justru menjadi obyek dari “yang asli” itu.
Jika Saudara memiliki seorang anak, lalu orang mengatakan, “Wah, engkau persis seperti anakmu.” Maka Saudara akan merasa aneh. Bukan Saudara yang mirip anak, tetapi anak yang mirip Saudara. Di sini struktur sumber dan akibat perlu dibereskan. Anak saya bereksistensi setelah eksistensi saya. Sehingga eksistensi saya mendahului, dan sekaligus menjadi induk dan sumber dari eksistensinya. Tanpa eksistensi saya, ia tidak mungkin bereksistensi. Sehingga tidak dapat dikatakan, “saya seperti dia; tetapi hanya dapat dikatakan “dia seperti saya.” Maka kata “dia seperti saya”, “saya” menjadi sumbernya dan bukan “dia”. “Saya mengerti kebenaran”, maka “kebenaran” menjadi subyek dan “saya” adalah obyek. Jika pengertian ini telah kita terima dengan baik, maka kita baru bisa menjadi seorang yang sungguh-sungguh rendah hati, tunduk di bawah kebenaran. Tidak ada seorang pun yang boleh membanggakan diri karena ia mengerti kebenaran dan tidak ada seorang pun yang dapat menjadi congkak karena mengerti kebenaran. Karena orang yang sungguh-sungguh mengerti kebenaran, ia sedang menyatakan bahwa ia membutuhkan, takluk dan taat di bawah kebenaran. Pengertian itulah yang mengubah dia, yang mengisi dia, dan yang menjadikan dia berbobot, bukan dia yang menjadikan kebenaran berbobot.
Ketika saya mengerti kebenaran, maka kebenaran itulah yang mengakibatkan pertumbuhan dan pengertian saya. Maka antara rasio dan kebenaran, subyeknya adalah kebenaran dan bukan rasio! Rasio adalah obyek dan obyek tidak mungkin lebih besar daripada subyek. Jika Saudara mempunyai rasio dan menggunakan rasio sebaik mungkin, hendaknya kita bersyukur kepada Tuhan. Rasio mempunyai tugas untuk mengerti kebenaran. Kebenaran tidak mengalami perubahan apa-apa, bahkan ketika seseorang mengerti kebenaran. Tetapi orang itu yang mengalami perubahan besar karena ia telah mengerti kebenaran. Setelah kebenaran dimengerti oleh seseorang, kebenaran itu tetap adalah kebenaran.
Rasio dan kebenaran membawa hubungan yang penting, yaitu: rasio kembali kepada kebenaran. Rasio tidak boleh dibunuh oleh iman, rasio juga tidak boleh menaklukkan kebenaran, melainkan dengan iman yang sungguh-sungguh sebagai berfungsi rasio, kita kembali kepada kebenaran.
Menjadi orang yang beriman, berarti menjadi seorang yang rasionya lebih murni kembali kepada kebenaran. Orang beriman adalah orang yang bertanggung jawab menjelaskan mengapa rasio kita kembali kepada kebenaran.
BAB III : IMAN, RASIO DAN KEBENARAN.
RASIO DAN IMAN
Surat Ibrani 11 :
1. Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.
2. Sebab oleh imanlah telah diberikan kesaksian kepada nenek moyang kita.
3. Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat.
6. Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia.
8. Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui.
13. Dalam iman mereka semua ini telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya dan yang mengakui, bahwa mereka adalah orang asing dan pendatang di bumi ini.
Ayat-ayat di atas ini sepintas lalu terlihat sebagai suatu konflik. Tanpa iman, tidak ada seorang pun yang diperkenan oleh Tuhan. Dan orang yang beriman, tidak memperoleh apa yang dijanjikan, tetapi mereka melihat dari jauh. Apakah yang mereka lihat? Mungkinkah mereka yang tidak memperoleh dapat melihat dari jauh? Ketika Abraham dipanggil, ia beriman kepada panggilan itu. Ia taat berdasarkan iman yang dinyatakan di dalam tindakan. Sehingga tindakan menjadi bukti iman. Tindakan dapat dilihat oleh manusia, tetapi iman dilihat oleh Tuhan Allah. Iman kepercayaan yang diakui oleh seseorang senantiasa tidak dapat dilihat oleh orang lain, tetapi iman kepercayaan yang dilihat oleh Allah itu, perlu dinyatakan di dalam ketaatan sebagai wujud tindakan, sehingga dapat menjadi saksi di hadapan manusia yang lain.
Kunci dari semua ini adalah: “Karena iman kita mengerti” (ayat 3). Ayat ini telah lama saya gumulkan dan telah menjadi prinsip yang banyak mempengaruhi sistem epistemologi saya. Dengan ayat ini saya menegakkan epistemologi saya. Saya melihat bagaimana kita dapat menegakkan cara menjadi seorang Kristen yang bertanggung jawab di dalam pengertian, dengan prinsip “karena iman kita mengerti”.
Istilah “epistemologi” tidak diketemukan di dalam kamus bahasa Inggris biasa, karena istilah ini merupakan istilah filsafat. Epistemologi adalah teori mengenai pengetahuan tentang bagaimana kita berpengetahuan. Ilmu ini bukan ilmu pengetahuan (sains) itu sendiri, tetapi ilmu pengetahuan tentang pengetahuan. Ilmu ini membahas tentang sumber, sifat, batasan, kemungkinan, keakuratan dan kredibilitas pengetahuan itu. Mungkinkah manusia mempunyai pengetahuan? Sampai berapa jauh kemungkinan itu? Andaikata tidak ada batasnya, mengapa tidak ada batasnya? Bagaimana dapat mencari cara yang benar, sehingga pengetahuan itu diterima, dipelajari, dimiliki dengan tepat dan tidak berbeda dari seharusnya, sehingga antara subyek yang ingin tahu dan obyek yang diketahui, tidak terdapat kesenjangan lagi? Ilmu seperti ini disebut sebagai epistemologi. Epistemologi adalah salah satu bidang dari lima bidang utama di dalam filsafat.
Kita dapat mengerti karena kita beriman, bukan karena kita mengerti maka kita beriman! Kita dapat mengerti karena kita memiliki iman. Alangkah hebatnya bila seseorang dapat percaya kepada Tuhan, tetapi alangkah bahagianya bila ia dapat mengerti mengapa ia percaya. Hanya percaya tanpa mengerti mengapa percaya, akan mengakibatkan orang sedemikian tidak memiliki pegangan, dan tidak mempunyai hak untuk menyatakan imannya kepada orang lain. Tetapi dengan mengerti apa yang menyebabkan kita percaya, kita dapat dengan tegas dan teguh untuk membagi-bagikan iman kepada orang lain.
Mengalami anugerah Tuhan adalah satu aspek penting. Tetapi mengerti anugerah yang dialaminya merupakan aspek penting lainnya. Banyak orang mau menerima anugerah, tetapi tidak berusaha mengerti anugerah yang diterimanya. Alangkah indahnya bila keseimbangan ini dapat kita capai. Biarlah ada satu gerakan besar di dalam Kekristenan, yang menyadarkan setiap orang Kristen bukan hanya mau mempunyai pengalaman menerima anugerah Tuhan, tetapi juga mempunyai pengertian tentang anugerah yang diterima itu, sehingga kita berdiri teguh dan memiliki pegangan untuk membag-bagikan iman kepercayaan kita kepada orang lain. Mereka perlu diberi pengertian tentang kepercayaan kita dan sekaligus pengertian tentang kesalahan mereka yang tidak mau percaya seperti kita di dalam Yesus Kristus.
1) Rasio : Di manakah Tempatnya?
Kita telah membahas bahwa manusia berbeda dari binatang, karena manusia memiliki rasio, sifat hukum, dan sifat moral. Selain tiga hal ini, banyak hal lain yang tidak dibahas di sini. Tidak mungkin manusia mengerti siapa dan apa manusia kecuali dari apa yang diwahyukan Tuhan di dalam Alkitab. Tidak mungkin ada siapa pun atau apa pun yang lebih mengenal manusia kecuali dari Allah yang mencipta manusia dan yang mewahyukan Alkitab. Kitab Suci merupakan jawaban yang paling tuntas bagi semua kesulitan pribadi maupun masyarakat, baik secara antropologi maupun sosiologi.
Ketika manusia dicipta menyerupai Penciptanya, ia memiliki hak yang khusus, yaitu: memiliki rasio. Oleh karena itu, jika orang Kristen tidak mementinglkan rasio atau meniadakan fungsi rasio di dalam kepercayaan atau sistem iman kita, maka kita telah menjual hak yang penting di dalam diri kita masing-masing. Tetapi celaka pula jika orang Kristen memperilah rasio, sehingga rasio yang dicipta dimutlakkan seperti Allah yang mencipta. Ia akan mengalami kesulitan yang lebih banyak lagi.
Jangan meniadakan rasio, tetapi juga jangan memperilahkan rasio. Jangan menyangkal rasio dan jangan mendewakan rasio. Rasio hanya suatu fungsi yang tinggi sekali yang dicipta oleh Tuhan di dalam diri manusia, yang serupa dan segambar dengan Tuhan sendiri. Oleh karena itu, rasio bukan tidak ada gunanya, tetapi rasio juga tidak setara dengan Tuhan Allah. Ilmu pengetahuan bukan tidak ada apa-apa, ilmu pengetahuan juga bukan segala-galanya, tetapi ilmu pengetahuan adalah sesuatu hal. Bepikir bukan tidak ada nilainya, pikiran juga bukan segala-galanya, tetapi pikiran adalah sesuatu yang penting. Tidak benar perkataan pemimpin-pemimpin yang tidak bertanggung jawab yang menganggap bahwa rasio itu tidak ada gunanya, yang hanya mengutamakan aspek percaya saja. Jika pemimpin-pemimpin gereja tidak mau berpikir, lalu berharap jemaatnya juga tidak berpikir, maka yang ada hanyalah orang bodoh yang memimpin orang bodoh, dan menjadi gereja yang bodoh. Hanya pemimpin yang bodoh takut jemaatnya berpikir lebih banyak daripadanya. Ini adalah peperangan yang sulit bagi kita.
Kita berada di dalam abad di mana teknologi semakin hari semakin pesat berkembang. Jika kita tidak mempersiapkan diri, maka di dalam beberapa tahun yang akan datang, seluruh dunia akan masuk ke dalam zaman masa berlalunya Kekristernan, “post-Christian era”. Saya tidak ingin melihat Indonesia masuk ke dalam zaman seperti ini. Pada saat seperti itu, gedung-gedung gereja menjadi kosong. Itu sebabnya kita perlu berjuang bagaimana kita mempergunakan rasio sebaik mungkin untuk memuliakan nama Tuhan, tetapi tidak boleh menjadikan rasio itu sebagai Tuhan. Orang Kristen harus rasionil, tetapi orang Kristen tidak boleh menjadi rasionalis.
Allah adalah Pencipta rasio, rasio dicipta oleh Allah. Antara Pencipta dan yang dicipta selalu ada tenggang yang penting yang disebut sebagai Kualitas Pembeda, “qualitative difference”. Perbedaan secara kualitas dan perbedaan secara esensi menunjukkan bahwa antara Pencipta dan yang dicipta pasti tidak sama.
Alangkah bodohnya jika seseorang mengatakan, “Hal ini tidak dapat diterima oleh akal saya.” Karena tidak masuk akal saya, maka itu bukan kebenaran. Orang seperti ini telah berbuat kesalahan dengan memutlakkan rasio yang pada hakekatnya tidak mutlak. Memperluas batasan rasio menjadi tidak terbatas akan menjerumuskan diri sendiri.
Jika seseorang menjadi seorang rasionil, maka kita harus menggunakan rasio kita sebaik mungkin. Jika kita memperdewakan rasio, maka kita mengetahui bagaimana pun kita mempergunakan rasio kita tetap ada batasnya. Di dalam kedua hal yang penting ini kita mencari jalan yang benar, dan di sana kita menemukannya, yaitu penaklukan rasio kepada kebenaran.
Jika memang rasio terbatas, apakah masih ada kebenaran di luar batas tersebut? Jika memang ada, bagimana rasio dapat bertanggung jawab untuk kebenaran yang berada di luar batas tersebut? Di sini diperlukan penaklukan rasio kepada Kebenaran. Kebenaran lebih besar daripada “yang mengerti kebenaran” dan “yang mengerti kebenaran” mengalami perubahan karena kebenaran mengisi, memenuhi dan mencerahkannya.
Barangsiapa mengerti kebenaran hidupnya pasti berubah, dari gelap menjadi terang, dari berpandangan sempit menjadi luas, dari terikat menjadi bebas. Sesuai dengan perkataan Yesus Kristus, “Jika engkau mengenal kebenaran, maka kebenaran itu akan memerdekakanmu.” (Yohanes 8:32). Ayat ini merupakan penghiburan yang agung bagi manusia yang berasio untuk menikmati hidup yang seindah mungkin. Orang yang kaya dengan uang belum tentu bebas, tetapi orang yang kaya kebenaran pasti bebas.
Kebenaran mungkin tidak akan menjadikan Saudara kaya, tetapi kebenaran pasti akan menjadikan Saudara bebas. Kaya akan kebenaran menyebabkan hati manusia tidak diikat oleh konsep=konsep yang salah. Inilah kebenaran yang sejati. Seorang yang di luar penjara mungkin terikat oleh berbagai macam konsep yang salah, tetapi seseorang yang dipenjarakan oleh karena kebenaran, pikirannya yang bebas tersebut tetap tidak dapat dipenjarakan. Kalimat ini merupakan kalimat agung dari Tuhan Yesus, tetapi juga pernah dikemukakan oleh seorang filsuf Stoikisme, yaitu Seneca. Ia mengatakan: “Kebenaran membebaskan, tetapi tidak memperkaya.” Kebenaran akan memperkaya kekebasan kita sampai kita menjadi orang yang sungguh-sungguh merdeka. Celaka sekali orang yang rasionya diikat oleh konsep-konsep yang salah. Hanya kebenaran yang dapat melepaskan mereka, yang dapat mematahkan belenggu-belenggui yang mengikat pikiran yang dicpta oleh Tuhan.
Khotbah yang baik adalah khotbah yang membebaskan orang dari belenggu konsep yang salah. Gereja yang baik adalah gereja yang membawa manusia kepada Kebenaran dan melepaskannya dari pikiran-pikiran yang salah. Di situ iman seseorang menikmati suasana surgawi sekalipun ia masih berada di dunia. Kebenaran tidak bersifat menipu. Kebenaran tidak membunuh dan mematahklan rasio. Dengan kebenaran yang mencerahkan rasio, maka akan timbul respon yang wajar, yaitu seseorang yang sudah mengerti kebenaran akan menaklukkan rasionya ke bawah kebenaran. Itulah iman.
2) Relasi Iman, Rasio dan Kebenaran
Jadi, iman adalah pengembalian rasio kepada Kebenaran. Iman bukan sekedar mau percaya tanpa mengetahui apa yang ia percaya. Iman bukan sekedar pengertian di dalam otak tanpa kelanjutan apa pun. Tetapi iman harus sampai pada menerima, mengakui apa yang ia mengerti. Banyak anak-anak sekolah yang pelajaran agamanya mencapai nilai sembilan bahkan sepuluh, tetapi pada hakekatnya mereka ahanya mengetahui dan belum percaya sungguh-sungguh kepada Tuhan. Iman bukan persetujuan rasioniol, iman juga bukan sekedar ucapan mulut saja. Iman adalah penaklukkan rasio ke bawah kebenaran.
Iman membawa rasio kembali kepada kebenaran. Oleh karena itu, orang yang beriman rasionya tidak menjadi negatif dan terikat. Orang yang beriman rasionya akan kembali kepada Kebenaran yang mencipta rasio itu. Dengan definisi ini, kita harus belajar sungguh-sungguh, kemudian berdiri dan memberikan jawaban kepada setiap orang yang mempertanyakan tentang iman kita (1 Petrus 3:15). Seorang Kristen yang bertanggung jawab adalah dia yang setiap saat berdiri memberi jawaban dengan tegas, karena rasionya sudah tunduk kepada kebenaran dan mengerti kebenaran yang lebih besar daripada rasio itu sendiri. Kebenaran lebih besar dan lebih agung daripada rasionya, maka rasio yang sudah tunduk itu, kini berfungsi dengan baik.
Saya tidak berasumsi bahwa semua orang akan dapat berdiri dan memberikan semua jawaban tantangan terhadap iman Kristen, tetapi di antara orang Kristen harus ada orang yang berdiri untuk menjawab tantangan-tantangans emacam itu.
Di atas telah diungkapkan bahwa banyak filsuf-filsuf yang pernah sekolah teologi yang akhirnya sangat menentang Tuhan. Mengapa? Karena Kekristenan tidak memiliki orang-orang yang siap memberikan jawaban kepada pemikir-pemikir yang tajam seperti mereka. Pemikir-pemikir yang tajam mengalami banyak kesulitan berkenaan dengan iman, dan dengan rasio mereka berusaha mencari jawaban. Tetapi sayang, Kekristenan belum bersedia dan belum siap memberikan jawaban. Hal ini membawa kita kepada pertanyaan, sebenarnya berapa besar Kekristenan itu?
Pada hakekatnya, Kekristenan jauh lebih besar daripada apa yang Saudara ketahui. Ada orang Kristen yang imannya sedemikian kecil dan pengetahuannya sedemikian sempit, sehingga ia hanya mengetahui sedikit sekali dan hanya bagian tertentu saja. Lalu ia menganggap jika orang lain mengetahui yang tidak sama dengan yang dia ketahui, orang lain itu dianggap bukan Kristen. Padahal Kekristenan pasti lebih besar daripada semua konsep kita yang telah kita mengerti. Bahkan sampai di sorga pun kita akan memuji Tuhan, karena Kristus jauh lebih besar daripada apa yang kita ketahui. Iman yang sudah kembali kepada kebenaran itu akan menikmati semakin hari semakin dalam, tidak henti-hentinya sampai ia kembali ke sorga.
Iman adalah pengembalian, yaitu sebagai pengarah, tetapi iman sekaligus juga sebagai penerobosan yang bersifat dinamis. Iman adalah penaklukan rasio kepada kebenaran, pengembalian rasio yang dicipta kepada Kebenaran yang mencipta. Berarti iman adalah penerobosan dari yang terbatas menuju kepada yang tidak terbatas. Di situlah seseorang menikmati hal-hal di luar rasio.
Dua butir telur ayam yang hampir menetas, sudah menyadari keberadaannya yang begitu sempit di dalam telurnya. Kedua ayam di dalamnya berusaha untuk memecahkan batasan dari kulit telurnya. Kulit telur itu bagaikan belenggu, pembatas, pengikat bagi si ayam. Ayam pertama, dengan tanpa pengalaman mematukkan mulutnya yang keras ke kulit telur itu, maka kulit itu pecah. Ia terkejut, di balik pembatas itu ternyata ada langit yang sangat luas. Ada cahaya matahari yang kuat masuk dari lubang yang dibuatnya. Ini di luar pengalamannya. Selama ini si ayam merasa damai dan aman di dalam kulit telur ityu, tetapi sekarang ada pengalaman lain setelah kulit telur itu pecah. Maka mula-mula reaksinya adalah menolak pengalaman baru itu. Ini adalah daya dasar yang melawan sesuatu yang mengubah kebiasaan kita. Tetapi lama-lama ia mulai terbiasa dengan cahaya itu, ia mulai mengintip keluar, ia mulai melihat banyak pemandangan yang menakjubkan. Ia mulai kagum dan menyenangi hal itu. Ini namanya penerobosan, masuk kepada pengalaman yang lebih luas. Lalu ia memecahkan kulit itu lebih besar dan mulai mengeluarkan kepalanya. Di situ ia mulai sadar bahwa langit tidak setinggi kepalanya, bumi tidak sebesar kanan kirinya dan tanah tidak sesempit kulit yang ada di bawah telapak kakinya. Ia kagum melihat langit yang luas, pohon-pohon besar, dan melihat seluruh alam. Setelah itu ia mulai takut, berusaha masuk kembali ke dalam telur, tetapi telurnya sudah pecah. Maka, ia memperpendek kepalanya. Lalu ia mulai berbicara kepada ayam yang lain yang masih di dalam telur.
“Hei ayam B, apakah engkau masih di dalam telur?”
“Apa yang kau tanyakan? Bukankah semua ayam di dalam telur?”
“Tidak. Saya tidak.”
“Ah, kamu sudah gila.”
“Saya beritahu bahwa saya tidak mungkin kembali ke temnpatku, tetapi engkau pasti akan mengalami apa yang saya alami. Tahukah kamu ada langit?”
“Ya, langit itu ada di atas kepalaku.”
“Bukan, itu bukan langit, itu langit-langit telur. Apakah engkau melihatnya?”
Ayam B tidak mungkin melihatnya. Sebelum ada penerobosan, tidak mungkin seseorang dapat melihat suatu pengalaman di dalam kebenaran yang luas. Ia masih berada di dalam kegelapan.
Iman adalah penglihatan terhadap segala sesuatu yang belum dilihat. Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibrani 11:1). Jika seseorang memiliki dasar yang kuat di dalam apa yang ia harapkan, dan mempunyai bukti yang kuat atas apa yang tidak kita lihat, ia sungguh-sungguh orang beriman. Tetapi semua harus sungguh-sungguh memiliki kredibilitas yang cukup. Jika tidak itu tetap merupakan takhyul. Dalam aspek ini, kita perlu membedakan antara iman Kristen yang benar dengan iman Kristen yang tidak benar.
Ada suatu cerita tentang dua orang wanita di Malaysia. Yang seorang tidak menikah dan yang seorang dibuang oleh suaminya. Karena hidup mereka begitu sedih, mereka menjadikan agama sebagai pelarian mereka. Mereka datang ke gereja, menangis-nangis di sana, lalu katanya mendapat Roh Kudus. Setelah itu mereka dapat berbicara seperti Yesus. Mereka datang pada seorang anak perempuan yang terkena kanker. Dan dua perempuan ini berkata, “Saya Yesus, saya akan menyembuhkan engkau secara perlahan-lahan.” Bagaimana tanggapan majelis gereja? Betulkah itu dari Roh Kudus? Mereka tidak pernah mau memikirkan hal-hal seperti ini. Mereka menerima saja.
Saat itu saya ada di sana. Ketika mereka bertanya, saya mengajak mereka untuk menguji masalah ini dengan menaklukkan rasio di bawah kebenaran Tuhan. Beberapa pertanyaan perlu diajukan: (1) Pernahkah di dalam Alkitab seseorang yang menyembuhkan orang mengatakan, “Aku Yesus”? Jawabnya: Tidak ada! (2) Pernahkah Roh Kudus memenuhi seseorang lalu orang itu berkata, “Saya Yesus”? Jawabnya: Tidak pernah! (3) Pernahkah Tuhan Yesus menyembuhkan orang dengan mengatakan, “Saya sembuhkan engkau secara perlahan-lahan”? Jawabnya: Tidak pernah!
Kita harus memakai rasio. Rasio itu perlu ditaklukkan kepada firman, jika tidak maka Kekristenan Saudara akan berbahaya sekali. Saya katakan kepada mereka, bahwa itu bukan Roh Kudus, itu pasti roh yang jahat. Mereka tidak mau menerima dan menganggap saya menghujat Roh Kudus. Kalau seorang wanita yang ditinggalkan pergi suaminya, pada tengah malam mendengar orang mengetuk pintu dan mengatakan, “Aku suamimu.” Lalu tanpa menguji langsung membukakan, ia adalah perempuan yang bodoh. Tuhan mengetahui bahwa mungkin sekali orang Kristen di dalam kepolosannya juga dapat berbuat hal-hal yang bodoh, sehingga dapat ditipu oleh setan. Itu sebabnya Alkitab mengajarkan bahwa “Jangan percaya segala roh. Kita harus menguji setiap roh.” (1 Yohanes 4:1-3). Roh yang asli, Roh Kudus memperbolehkan, bahkan memerintahkan manusia untuk jangan menerima sembarang roh, tetapi harus mengujinya dengan ketat. Kalau ada rfoh yang mengatakan, “Jangan diuji, percaya saja.” Pasti itu berbeda dengan Roh yang mewahyukan Alkitab.
Keluarga anak permpuan yang mengidap kanker itu tetap ragu-ragu. Saya menghargai keraguan mereka. Keraguan adalah hak setiap orang. Jika keraguan itu sungguh untuk mencari kebenaran dan ingin mengetahui kebenaran, silahkan lakukan. Kita perlu berani menghargai setiap orang yang mencari kebenaran dengan jujur. Ayah anak itu belum Kristen, tetapi ia memikirkan dan mulai percaya kebenaran apa yang saya katakan. Ibunya yang terlalu sayang kepada anaknya, menerima apa saja yang dapat menyenangkan telinganya. Saya tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak pernah melakukan mujizat kesembuhan, tetapi manifestasi Roh Kudus yang demikian adalah salah.
Kemudian saya berkata, “Demi mengoreksi iman ibu yang salah, dan demi kebenaran firman Tuhan, mungkin sekali Tuhan justru akan memperkenankan anak ibu meninggal.” Ia sangat terkejut. Kemudian saya berbicata dengan anak itu dan mempersiapkan dia untuk menghadapi kematian. Enam bulan kemudian, saya bertemu lagi dengan ibu ini. Anaknya telah meninggal, tetapi ibu itu sudah sadar apa yang salah dan apa yang benar. Bahkan suaminya telah ke gereja, karena ia melihat ajaran Kristen yang benar.
Ajaran seperti ini berbeda dari banyak aliran yang sedang beredar di Indonesia. Banyak orang yang lebih setuju kalau anak itu disembuhkan. Mereka menganggap dengan demikian baru dapat menyatakan kuasa Allah. Banyak orang merasa harus menjadi kaya, baru dapat menyatakan kemuliaan Allah. Teologi seperti ini adalah teologi yang melawan teologi Alkitab yang menegaskan bahwa kalau perlu kita harus memikul salib, menderita untuk mengikut Tuhan. Kadang-kadang Tuhan membiarkan orang Kristen mengalami kesulitan, penderitaan dan kematian, bahkan mati syahid karena ingin menyatakan kesetiaan mereka kepada kebenaran Tuhan. Pada saat seperti itu Tuhan tidak menolong melepaskan mereka. Terkadang Tuhan membiarkan kita mati dalam keadaan yang begitu sulit, kejam, dan tidak menyenangkan. Terkadang Tuhan memperbolehkan anak-anak-Nya mati dimakan oleh singa-singa buas, mati kecelakaan atau kadang-kadang terbunuh. Tuhan menginginkan kita memiliki iman yang sejati, bukan iman yang egois, yang hanya mau menikmati kesenangan dan keuntungan sendiri. Iman adalah penaklukan diri ke dalam kebenaran. Iman yang sejati adalah iman yang terus dipertahankan sampai mati, sekalipun harus mengalami berbagai kesulitan karena kebenaran.
Kebenaran adalah diri Allah, Kebenaran bersumber dari Allah, sehingga Kebenaran lebih besar daripada hidup. Jadi Kebenaran lebih besar daripada rasio yang ada di dalam hidup. Kebenaran itu kekal adanya.
Rasio adalah ciptaan Tuhan. Karena manusia dicipta menurut peta dan teladan Tuhan, rasio harus kembali kepada Kebenaran Allah, untuk menaklukkan yang dicipta kepada Yang mencipta. Arah dan ketaatan ini, yaitu mengaku menaklukkan rasio ke bawah Kebenaran ini, disebut iman. Iman berarti menaklukkan rasio kepada yang lebih besar daripada rasio.
BAB IV : IMAN, RASIO DAN KEBENARAN.
KETERBATASAN RASIO
Marilah kita memperdalam lagi pemahaman kita terhadap rasio. Kita perlu mengerti bagaimana sifat rasio, wilayah rasio dan aspek-aspek rasio.
1. Natur Rasio
Apakah rasio mempunyai keterbatasan? Untuk ini manusia harus menyadari naturnya yang dicipta, terbatas dan tercemar, “created, limites and polluted”. Demikianlah kondisi dari rasio manusia. Rasio manusia tidak datang sendiri. Rasio itu dicipta oleh Allah. Rasio manusia juga terbatas di dalam fungsinya, seturut dengan keterbatasan manusia itu sendiri, sebagai ciptaan Allah. Dan karena manusia telah jatuh ke dalam dosa, maka seluruh manusia rasionya juga telah tercemar.
Jika seseorang mengerti dan menyadari natur rasio seperti ini, maka bagaimana pun orang itu memperkembangkan rasionya semaksimal mungkin, ia tetap harus mengakui bahwa ia tetap hanyalah manusia yang terbatas. Ia juga akan mengerti dan menyadari bahwa pencemaran dosa juga sudah melingkupi aspek rasio juga.
Salah satu perbedaan Thomas Aquinas (1225 – 1274) dengan para Reformator, yaitu perbedaan antara doktrin Roma Katholik (teologi natural) dengan doktrin Reformasi (teologi Reformasi dan Reformed) terletak di dalam masalah ini. Orang Katholik sampai sekarang masih percaya bahwa tanpa perlu dilahirkan kembali, tanpa perlu diperbaharui, rasio dapat membuktikan sifat dan keberadaan Allah secara benar. Teologi Reformed di dalam arus Reformasi menegaskan bahwa hal seperti itu tidak mungkin terjadi. Manusia tidak mungkin dapat membuktikan keberadaan dan diri Allah secara tepat. Manusia hanya dapat menerima Allah yang mewahyukan diri di dalam alam. Pendekatan Katholik merupakan pendekatan antroposentris (pendekatan yang berpusat pada diri manusia), sedangkan pendekatan Reformed adalah pendekatan teosentris (pendekatan yang dimulai dari sudut pandang Allah). Pendekatan yang dari bawah, dari manusia, menganggap diri sanggup menemukan Allah. Pendekatan yang dari atas, dari Allah, menegaskan bahwa manusia tidak mungkin sanggup, oleh karena itu Allah yang berinisiatif.
Pencemaran dan kuasa dosa telah melanda sampai ke semua aspek manusia, baik sifat rasio, sifat hukum, sifat moral, juga sifat kekal dan keberadaan manusia. Tidak ada satu aspek pun yang tidak tercemar oleh dosa.
Bukankah para ilmuwan bukan Kristen dapat menemukan penemuan-penemuan ilmiah yang begitu baik dan cukup akurat, bahkan banyak ilmuwan Kristen yang lebih bodoh daripada mereka? Bukankah ini suatu bukti dan fakta bahwa orang bukan Kristen fungsi rasionya dapat lebih baik? Oleh karena itu, celakalah para pelajar Kristen yang tidak mau belajar sungguh-sungguh dan mendapatkan nilai yang baik. Apakah ini berarti rasio orang bukan Kristen tidak tercemar, atau mungkin juga rasio orang Kristen masih tercemar sehingga tidak berfungsi dengan baik?
Jikalau ilmuwan-ilmuwan bukan Kristen dapat menemukan penemuan-penemuan ilmiah, yang adalah ciptaan Alah, dengan sangat akurat, karena rasio mereka berfungsi begitu jernih dan begitu baik, mengapa semua itu tidak menjadikan mereka kembali mempermuliakan Allah, yang adalah Sumber serta asal dari semua ilmu pengetahuan? Hal ini disebabkan karena mereka bisa mengerti wahyu umum dan semua yang ajaib di dalam ciptaan ini tanpa bisa mengasosiasikan dengan Kebenaran sebagai sumber dari semua pengetahuan ini, akhirnya mereka tidak sanggup mengembalikan kemuliaan kepada Pencipta, dan mereka kemudian mempermuliakan diri sendiri.
Berapa banyak ilmuwan dunia, para profesor, yang semakin mereka menemukan banyak penemuan-penemuan di dalam alam semesta yang dicipta oleh Tuhan Allah, semakin mereka berani melawan Tuhan Allah; mempergunakan pengetahuan-pengetahuan yang diberikan di dalam alam semesta untuk merusak sesama manusia. Obat-obat perangsang seks bukan dibuat oleh orang-orang bodoh, melainkan dibuat oleh orang-orang yang berasio jernih dan pandai sekali. Mereka memiliki kemampuan untuk menemukan berbagai hal yang tinggi. Tetapi akhirnya, ilmu itu menjadi alat untuk membunuh dan merusak sesama manusia. Bukankah ilmu pengetahuan itu sendiri telah berada di bawah penguasaan manusia yang tercemar oleh dosa? Saya tidak akan pernah mengatakan bahwa orang yang bukan Kristen tidak dapat menemukan ilmu pengetahuan. Bahkan orang yang berdosa besar dapat menemukan ilmu yang tinggi. Namun, asosiasi dan integrasi kaitan antara ditemukannya semua penemuan ilmiah di dunia ciptaan ini dengan Allah Pencipta menjadi lepas dan tidak terelasi.
Lembaga Reformed Injili Indoesia didirikan dengan salah satu tujuan utamanya adalah bagaimana mendidik orang Kristen agar dapat mengetahui tugas mereka sebagai orang Kristen yang memancarkan kemuliaan firman di bidang mereka masing-masing. Saudara harus menjadi ilmuwan Kristen yang baik, menjadi dokter Kristen yang baik, profesor Kristen yang baik, sesuai dengan profesi masing-masing. Selama menjadi orang Kristen sampai hari ini, berapa banyakkah terjadi perubahan mutu kekristenan Saudara di bidang Saudara masing-masing? Jikalau hal itu belum terjadi, maka Saudara belum mencapai kesanggupan mengintegrasikan rasio dengan iman, profesi dengan agama di dalam mempermuliakan Allah dalam kebenaran yang diwahyukan.
2. Lingkup Rasio
Kita kini perlu memikirkan apa yang dipikirkan atau dikerjakan oleh rasio. Hal ini meliputi kategori-kategori penjelajahan fungsi rasio. Salah satu tujuannya, manusia diciptakan untuk berpikir. Oleh karena itu, kini kita mempersempit salah satu tujuan penciptaan ini, yaitu hanya di wilayah rasio.
Hampir tidak ada manusia yang tidak berpikir. Memang ada manusia yang tidak suka berpikir. Tetapi untuk dapat tidak berpikir, manusia harus berpikir bagaimana caranya menghindar dari tugas berpikir.
Tugas berpikir adalah tugas yang berat. Ketika masih kecil, saya pernah berpikir dan bertanya dalam hati, mengapa sapi tetap gemuk walaupun tidak makan vitamin, tetapi mengapa manusia perlu makan makanan bergisi dsbnya. Jawaban dari penelitian ilmiah adalah karena manusia memakai pikiran. Karena manusia perlu berpikir, ia memerlukan protein, gizi yang cukup, dsbnya, khususnya jika tugas pikiran itus emakin berat.
Saya juga pernah bertanya dalam hati, mengapa orang yang berpikir keras, yang memikirkan hal-hal yang besar, ketika berusia 60 tahun kelihatan sangat tua. Tetapi orang yang hanya berjualan kacang, ketika berusia sama, juga kelihatan tua. Jawabnya, orang yang berpikir, dia berpikir; orang yang tidak memikirkan apa-apa, juga berpikir. Ada orang-orang yang merasa apa yang dia pikirkan terlalu ringan, sehingga ia memikirkan hal-hal yang lebih besar lagi. Tetapi ada juga orang-orang yang untuk makan saja merupakan pekerjaan yang terlalu berat baginya. Jangan Saudara menganggap bahwa hanya orang-orang yang berpikir hal-hal yang besar kepalanya akan berambut putih, tetapi orang-orang yang setiap hari memikirkan hal-hal yang kecil pun kepalanya juga akan berambut putih.
Oleh karena itu, saya menganjurkan kepada Saudara unruk segera mengalihkan pikiran Saudara dari memikirkan hal-hal yang sederhana dan kurang penting menjadi memikirkan hal-hal yang besar dan lebih penting. Karena semua akan mati, daripada berpikir hal-hal yangkecil, lebih baik berpikir hal-hal yang besar sehingga dapat lebih berfungsi untuk memuliakan nama Allah dan untuk menyejahterakan sesama manusia. Manusia akan terus menerus berpikir. Jika manusia berhenti dari satu pokok pikiran, ia akan beralih ke pokok-pokok pikiran yang lain.
Ketika manusia berpikir, pikiran rasio manusia paling sedikit dapat di bagi menjadi tiga kategori atau bidang pikiran yang besar, yaitu: (1) memikirkan hal-hal di bawah diri manusia; (2) memikirkan hal-hal di dalam diri manusia; dan (3) memikirkan hal-hal yang lebih jauh, lebih besar dan lebih tinggi daripada diri manusia.
Manusia memikirkan hal-hal yang berada di bawah diri manusia, di dalam diri manusia, dan di atas diri manusia. Hal-hal yang berada di bawah diri manusia adalah alam semesta ini; yang di dalam diri manusia, adalah manusia itu sendiri; dan yang di atas diri manusia adalah Allah. Allah – manusia – alam, merupakan urutan dari atas ke bawah di dalam kategori pengetahuan manusia. Urutan ini tidak boleh dibalikkan. Mengenal Allah adalah pengenalan sistem terbuka, mengenal alam adalah sistem tertutup. Itu alasan di dalam Kolose 3, rasul Paulus berkata tentang bagaimana mempergunakan rasio dengan baik: “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi.” Jangan pikirkan hal-hal yang di dunia saja, tetapi pikirkan juga hal-hal surgawi.
Memikirkan hal-hal di dunia, tentang kebutuhan keluarga, pribadi, keuangan, dsb, tidak akan pernah selesai sampai kita mati. Tetapi memikirkan hal surgawi, banyak mencari dan mengejar kerajaan dan kebenaran Allah, maka hal-hal lainnya akan secara otomatis terselesaikan. Pada saat seperti itu fungsi pikiran menuju ke atas.
(a) Lingkup Rasio dan Alam
Pada saat seseorang berpikir ke bawah, ia mempergunjingkan masalah alam. Mungkin ia memikirkan bagaimana bunga bertumbuh. Kemudian menyelidiki jenis bunga itu, menganalisa dan mengkategorikannya. Maka ia menemukan suatu pelajaran yang berkaitan tentang tumbuh-tumbuhan. Jika menyelidiki kucing, harimau, gajah, dll., maka saya menemukan satu bidang studi yang disebut sebagai Zoologi. Jika saya menyelidiki lapisan-lapisan bumi, sifat-sifat tanah, dsb., maka saya akan mengkategorikannya sebagai Geologi. Demikian juga proses-proses kimia dikategorikan di dalam ilmu Kimia. Dalil atau rumus-rumus alam diselidiki di dalam Ilmu Fisika. Cara-cara perhitungan di dalam matematika, dsbnya. Sistem-sitem pelajaran ini di dalam bahasa Yunani diakhiri dengan akhiran “logi”karena di setiap “logi” ini dituntut pertanggungjawaban rasionil yang disebut sebagai logika.Logika dipakai oleh logikos (manusia) dalam usaha untuk mengerti Logos. Logos adalah kuasa universal yang mengatur segala sesuatu dan merupakan esensi dasar segala sesuatu.
Suatu studi yang indah apabila kita menyelidiki konsep Logos Kosmis (Cosmic Logos) yang diperbandingkan dengan Logos yang sejati yaitu Kristus, di mana kita akan melihat bagaimana Allah menciptakan seluruh isi alam semesta ini melalui Kristus.
Semua usaha untuk menyelidiki segala sesuatu yang ada di bawah manusia di sebut sebagai Sains, ‘science’ atau ilmu pengetahuan. Istilah science berasal dari bahasa Latin ‘scio’ yang berarti ‘Saya tahu’. Apakah yang diketahui? Ketika seseorang mempelajari ilmu fisika, maka ia mengetahui fisika. Pengetahuan yang saya ketahui tentang fisika, disebut sebagai ilmu fisika. Tetapi harap kita camkan, bahwa sebelum para ilmuwan menyelidiki ilmu apa pun di dalam alam semsta ini, ia harus terlebih dahulu mempunyai satu set pra-anggapan yang didasarkan pada iman bahwa ia bisa tahu! Karena saya percaya, saya bisa tahu; maka saya berusaha untuk mengetahui. Kemudian saya mulai menyelidiki dan pada akhirnya saya betul-betul tahu. Semua ini merupakan proses, mulai dari iman sampai pada pengetahuan.
Tidak ada satu penemuan apa pun di dalam bidang ilmu pengetahuan yang tidak didasarkan pada pra-anggapan yang bersifat imaniah. Iman lebih penting daripada rasio. Ketika seseorang menyelidiki sesuatu, ia yakin dan memiliki kepercayaan bahwa ia dapat mengetahui, sehingga dengan dorongan itu ia mulai menyelidiki. Semua penelitian dan pengujian ilmiah didasarkan pada suatu keyakinan yaitu iman. Maka, iman mendahului pengetahuan. Oleh karena itu, anggapan bahwa jika rasio bekerja maka iman tidak diperlukan, atau jika rasio yang menggarap sesuatu maka iman boleh dibunuh adalah tidak benar. Anggapan seperti ini sama sekali tidak benar, bahkan di dalam bidang ilmiah sekalipun.
Setiap orang yang melakukan studi, baik menggunakan metode induksi, deduksi atau metode lainnya, tanpa disadari ia telah jatuh kepada hakekat yang paling dasar, yaitu iman. Di dalam menyelidiki, seseorang menginginkan bukti. Tetapi sebelum bukti itu muncul, ia telah memulai dengan suatu pra-anggapan yang bersifat iman.
Misalnya, metode deduksi dan silogismne yang dipelopori oleh Aristoteles. Semasa hidupnya Aristoteles tidak begitu populer. Setelah ia meninggal selama 1500 tahun, pikiran-pikirannya diterima dan mempengaruhi seluruh dunia. Tiga agama sekaligus berusaha untuk menjunjung tinggi pikirannya untuk dikombinasikan dengan agama masing-masing, agar agama cukup ilmiah, cukup intelektual dan cukup rasionil. Suatu gejala yang lucu sekali. Maka metode ilmiah Aristoteles kembali diangkat. Aristoteles di dudukkan kembali di atas takhta. Di dalam Kekristenan, tokoh yang berusaha melakukan hal seperti ini adalah Thomas Aquinas dengan Teologi Naturalnya. Dalam Yudaisme ditokohi oleh Moses Maimoneides(1135-1204), dan dalam Islam oleh Averroes (1126-1198) dan Avicenna (980-1037). Kita tidak perlu menerima pendekatan ini.
Aristoteles memakai tiga tahap silogisme untuk mwenemukan kebenaran dengan rasio. Yang pertama disebut premise mayor; yang kedua adalah premise minor; dan ketiga adalah kesimpulan. Misalnya, semua manusia bisa mati (premis mayor), Stephen Tong adalah manusia (premise minor), maka Stephen Tong bisa mati (kesimpulan). Tetapi kita perlu menyadari bahwa premis mayor dalam silogisme seperti ini, dimulai dengan iman. Kalimat “semua manusia bisa mati” merupakan iman yang belum pernah dibuktikan. Ketika seorang mengatakan, ”Saya melihat memang semua orang akhirnya mati.” Maka kalimat itu tetap belum sah, karena yang melihat sendiri belum mati. Berarti belum “semua’ mati. Kalau diri yang melihat telah mati, maka ia sendiri tidak dapat membuktikan apa-apa, karena ia sudah mati. Saudara melihat semua orang yang sudah mati, tetapi Saudara belum pernah melihat kematian orang sesudah Saudara mati. Maka teori ini tetap belum terbukti. Premise mayor yang dijadikan dasar rasio berpijak untuk mencari pembenaran dalam hal ini belum dibuktikan,. Maka ini merupakan iman. Ilmu pengetahuan tidak lepas dari iman.
Alangkah naifnya orang yang mengatakan, “Orang Kristen bodoh, tetapi harus pakai iman baru mendapatkan bukti. Kalau saya tidak punya bukti, saya pasti tidak mau beriman, karena saya orang rasionil.” Kalimat itu omong kosong. “Buktikan baru saya percaya” merupakan kalimat yang sering kita dengar. Padahal kalimat itu pun merupakan iman kepercayaan. Kalau terbukti baru dapat dipercaya adalah hal yang belum pernah dibuktikan, sehingga untuk meyakinkan perlu adanya bukti untuk dapat mempercayai sesuatu, itu merupakan iman.
(b) Lingkup Rasio dan Manusia
Setelah jemu memikirkan hal-hal di bawah diri manusia, maka manusia biasanya mulai memikirkan di dalam dirinya sendiri. Mulai memikirkan bagaimana tubuh dapat bertumbuh dan menampilkan bermacam-macam postur yang berbeda. Di dalam tari ballet, gerakan tubuh mengungkapkan perasaan hati seseorang dan dapat menyentuh mereka yang melihatnya. Kemudian mulai memikirkan mengapa manusia makan nasi, tetapi tumbuh rambut, tumbuh alis, tumbuh kuku. Anehnya, rambut di kepala semakin lama semakin panjang, tetapi alis tidak. Apa jadinya jika terbalik? Lebih jauh lagi, manusia mulai memikirkan bagaimana pikirannya dapat berpikir. Saya sedang memikirkan pikiran. Jadi saya sedang menggunakan pikiran untuk berpikir bagaimana pikiran saya itu berpikir. Maka yang berpikir adalah pikiran, sedangkan yang dipikirkan juga pikiran. Maka sampai pada tahap ini, tanpa disadari rasio sedang menghadapi jalan buntu, karena subyek dan obyek kini menjadi satu.
Ketika saya memikirkan bunga, maka rasio menjadi subyek dan bunga menjadi obyek. Tetapi pada saat memikirkan rasio, maka rasio menjadi subyek, sekaligus menjadi obyek. Di sini terjadi percampuran antara subyek dan obyek. Oleh karena itu, jangan dikira dengan rasio semua hal dapat menjadi jelas. Karena sekarang kita memasuki tahap di mana kekacauan terjadi. Kita tidak mungkin memikirkan dengan jelas mengenai bagaimana kita memikirkan cara kita berpikir.
Ketika manusia menggunakan pikiran untuk mengetahui bagaimana pikiran itu berpikir, maka ia sedang masuk ke dalam siklus diri sendiri, “self-cyclus”. Siklus seperti ini tidak akan pernah berakhir. Dalam hal ini kita membuktikan bahwa rasio mempunyai keterbatasan.
Pada waktu seseorang memakai pikiran untuk memikirkan bagaimana pikiran itu berpikir, maka ia paling banyak hanya dapat menemukan syaraf-syaraf otak yang mana yang dipergunakan untuk berpikir. Tetapi kita tidak pernah akan mengerti bagaimana sel-sel itu memikirkan apa yang kita pikir. Tidak ada satu manusia pun yang dapat sampai pada pengertian terakhir itu, kecuali Pencipta pikiran itu sendiri. Seorang sastrawan Amerika Serikat, Ralph Waldo Emerson (1803-1882) mengatakan, “Ironis terbesar bagi mata adalah ia dapat melihat segala sesuatu, tetapi ia tidak dapat melihat diri sendiri.” Bahkan mata kanan tidak dapat melihat mata kiri. Demikian pula ketika pikiran mau memikirkan segala sesuatu, ia sendiri mengalami kesulitan untuk memikirkan diri sendiri. Sebabnya adalah karena adanya limitasi. Keterbatasan. Rasio telah mengalami jalan buntu, tetapi ia tidak mau mengakuinya, bahkan ia mau melompat lebih jauh lagi.
(c) Lingkup Rasio dan Allah
Rasio bukan hanya mau memikirkan hal-hal di dalam diri manusia atau rasio itu saja, bahkan manusia mau memikirkan hal-hal di atas diri manusia dan rasio itu sendiri. Ia mau memikirkan tentang Allah.
Manusia, dengan rasio yang dicipta, mau mengerti, mau menganalisis Allah Pencipta rasio. Usaha itu merupakan suatu lelucon yang terlampau besar; merupakan keberanian yang terlampau nekad. Usaha ini adalah usaha yang mustahil. Tidak mungkin rasio memikirkan Allah yang mencipta rasio itu sendiri. Tetapi manusia yang bodoh tidak mengerti dan menganggap dapat mengerti Allah dengan rasio.
Saya tidak ingin mematahkan pengharapan manusia untuk mengerti Allah, tetapi manusia tidak mungkin mengerti Allah melalui rasio yang Allah cipta. Manusia hanya dapat mengerti Allah melalui inisiatif pewahyuan Allah kepada manusia.
Allah rela mewahyukan diri kepada manusia dan Allah rela menyatakan diri kepada rasio manusia, sehingga rasio manusia yang terbatas dicerahkan oleh cahaya wahyu dan kebenaran itu, sehingga ia dapat kembali kepada kebenaran.
3. Kesimpulan: IMAN, RASIO DAN KEBENARAN.
Ketika saya memikirkan hal-hal di bawah saya, maka saya menjadi subyek dan alam yang di bawah menjadi obyek. Allah memang memberikan hak kepada manusia untuk boleh mengerti alam yang barada di bawahnya. Manusia memang dicipta lebih tinggi daripada alam. Itulah alasannya sehingga semua penemuan ilmiah adalah hal yang sewajarnya. Tidak ada hal yang dapat dimegahkan. Semua itu adalah usaha yang wajar saja. Dalam hal itu, manusia hanya mempergunakan rasio yang dicipta oleh Allah untuk menemukan kebenaran-kebenaran dan dalil-dalil yang disimpan oleh Allah di dalam alam. Ilmu adalah hal yang wajar dan merupakan hak bagi manusia yang berasio, karena manusia adalah peta dan teladan Allah. Sampai tahap ini, manusia mutlak dapat mengetahui ilmu di dalam alam.
Pengetahuan akan ilmu adalah pengetahuan yang rendah sifatnya, karena ilmu hanya merupakan sistem-sistem pengetahuan yang diungkapkan melalui rasio manusia yang merupakan anugerah Allah, untuk menemukan dalil-dalil ciptaan yang memang disembunyikan di dalam alam. Ini adalah kebenaran yang paling rendah. Pengetahuan alam merupakan tingkat yang paling rendah di antara tingkatan-tingkatan pengetahuan, karena tahap ini hanya menemukan sesuatu yang telah disimpan oleh Allah di dalam alam. Ilmuwan-ilmuwan tidak boleh sombong setelah menemukan keajaiban ciptaan. Mereka hanya boleh mempermuliakan Allah karena mereka boleh menemukan dalil-dalil yang tersembunyi itu. Penemuan ilmu hanyalah penemuan ciptaan di dalam alam, sehingga penemuan ilmu jauh berada di bawah teologi.
Istilah “menemukan” perlu ditegaskan, yaitu sebelum ditemukan, dalil itu sebenarnya telah ada. Sebelum Albert Einstein (1879-1955) menemukan hukum relativitasnya, hukum itu sudah ada dan sudah berlaku di dalam alam. Setelah Einstein menemukan hukum ini, maka manusia baru mengetahui bahwa hukum ini dapat dipakai untuk meledakkan uraniummenjadi tenaga yang besar sekali. Namun, bagaimanapun juga dalil ini telah ada di dalam alam, sehingga penemunya tidak berhak menjadi sombong di hadapan Tuhan Allah. Oleh karena itu, Teologi Reformed menekankan, biarlah setiap ilmuwan mengembalikan kemuliaan kepada Allah. Konsep ini yang diperjuangkan di dalam Reformasi dan prinsip Alkitab yang ketat. Setelah seseorang manusia menemukan hukum alam ini, ia harus membagi-bagikan kepada manusia yang lain untuk dipergunakan demi kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Inilah pendidikan.
Pendidik-pendidik adalah orang-orang yang membagi-bagikan rahasia pengetahuan kepada orang lain, sehingga ia dan orang yang menerima pengetahuan itu dapat bersama-sama mempermuliakan Allah. Apakah motivasi Saudara menjadi dosen, doktor dan profesor? Sungguhkah Saudara berusaha untuk mengembangkan pengetahuan bersama-sama orang yang Saudara didik untuk dapat mempermuliakan Allah, Pencipta pengetahuan itu?
BAB V : IMAN, RASIO DAN KEBENARAN.
PENCERAHAN RASIO
Sekarang kita akan menyelidiki bagaimana relasi antara iman dan rasio.
1) Iman Dasar Pengertian
“Jika kamu tidak percaya, sungguh, kamu tidak teguh jaya” (Yesaya 7:9). Ayat ini mempengaruhi sejarah Kekristenan dan telah mempengaruhi salah seorang pemikir Kristen yang terbesar, yaitu Agustinus (354-430). Jika seseorang tidak percaya, ia tidak mungkin dapat berdiri tegak. Kalimat ini menjadi kalimat penting bagi Agustinus. Ia mengutipnya dari LXX (Septuaginta). LXX atau Septuaginta adalah Alkitab Perjanjian Lama (yang asalnya dalam bahasa Ibrani) di dalam terjemahan bahasa Yunani. Alkitab ini diterjemahkan oleh sekitar 70 orang ahli di Iskandariah, Mesir. Di dalam terjemahan ini, kalimat yang dipakai dalam bahasa Latinnya adalah Nissi creditelitas non-Inteligetis, yaitu “Jikalau engkau tidak percaya, maka pasti engkau tidak akan mengerti.”
Memang Tuhan mencipta manusia dengan daya pikir yang berbeda-beda. Ada orang yang memiliki daya pikir yang sangat kuat, sehingga hal-hal yang sangat sulit dapat dijelajahi dan ditelusuri oleh pikirannya sampai tuntas. Tetapi ada orang yang tidak dapat berpikir sedemikian. Mereka hanya memikirkan hal-hal yang sepele, yang tidak penting.
Orang-orang yang pikirannya begitu dalam dan luas, senantiasa memiliki visi dan ketajaman penglihatan dan kepekaan, sehingga mereka begitu cepat bereaksi terhadap apa yang terlintas di dalam pikiran mereka. Akibatnya mereka selalu terlebih dahulu dapat melihat bahaya-bahaya yang mungkin akan menimpa zaman atau generasinya. Mereka begitu peka menganalisis kesulitan-kesulitan dari pikiran-pikiran yang menyeleweng dari kebenaran, sekalipun pada mulanya penyelewengan itu baru sedikit sekali porsinya. Orang-orang seperti ini dapat memiliki sifat seperti seorang nabi dan pelayanan mereka disebut pelayanan profetis. Orang-orang seperti ini selalu tersendiri dan tidak dimengerti, tetapi merekalah yang akan mengubah zaman dari kemerosotan dan penyelewengan untuk kembali kepada arah dan arus yang benar. Orang-orang seperti ini terlalu sedikit, tetapi jika orang-orang seperti ini muncul, Saudara harus mendoakan mereka, agar sebelum mereka meninggal dunia mereka dapat melayani Tuhan dengan setia dan tekun, dengan otak dan pikiran yang tajam, yang diurapi oleh kuasa Roh Kudus.
2) Pencerahan kepada Agustinus
Agustinus, pada usia muda, telah menjadi dosen dan profesor dalam bidang retoris dan tata bahasa yang sulit sekali. Sebelum usia 17 tahun, ia telah menjelajahi pikiran-pikiran filsafat yang paling penting dari zaman Yunani Kuno sampai zamannya sendiri, Ia juga memahami secara mendalam beberapa aliran filsafat yang besar, seperti Stoiksisme, Epikurianisme dan Skeptisme. Pada zamannya sendiri berkembang filsafat yang disebutr sebagai Neo-Platonisme. Pikiran-pikiran filsafat ini bagaikan penjual-penjual, ‘salesman’, yang mau menawan jiwa seseorang yang pikirannya tajam.
Ia dilahirkan oleh seorang ibu Kristen yang sangat beribadah. Tetapi ayahnya seorang kafir yang suka mabuk, marah-marah dan mempunyai tabiat yang keras. Maka ia mewarisi kedua sifat ini, baik ketegasan, ketajaman pikiran dan kekerasan hati dari ayahnya; dan keinginan beribadah, hidup suci yang diwarisi dari ibunya. Dua sifat yang kontras dalam diri seorang genius ini telah mengakibatkan ia mengalami konflik yang luar biasa. Ia berusaha mencari jalan yang benar. Rasionya tidak selalu dapat menyetujui konklusi-konklusi orang-orang yang mengaku memiliki kebenaran. Ia selalu memikirkan dan meragukan jika ada orang yang mengemukakan sesuatu, karena kadang-kadang yang mendengar lebih pandai daripada yang berkhotbah. Inilah kesulitan gereja.
Akhirnya ia jatuh dalam kesulitan, karena ia berusaha mencari ajaran yang cocok dengan pengalamannya. Sebenarnya sikap seperti ini kurang rasionil, tetapi selalu terjadi di dalam bidang para cendekiawan. Akibatnya, ia dicengkeram dan dikurung oleh ajaran filsafat yang tidak benar, yaitu Manicheisme. Manicheisme mengajarkan adanya kuasa atau prinsip yang jahat yang selalu memerangi prinsip atau kuasa kebaikan. Kedua sifat ini terus berperang. Medan peperangannya adalah hati manusia.
Ketika Agustinus mengalami hidup yang seperti ajaran Manicheisme,ia menganggap bahwa inilah kebenaran. Ia berada di dalam ajaran sesat ini selama sembilan setengah tahun. Hampir sepuluh tahun ia tersesat, sampai suatu malam ia sadar akan kesalahan ajaran sesat ini.
Setelah ia keluar dan menjadi orang Kristen yang sungguh, ia mengembalikan rasionya yang begitu tajam untuk takluk di bawah kebenaran Tuhan Allah. Ia menemukan prinsip bahwa pikiran yang tajam tidak perlu dikuburkan karena seseorang beriman atau beragama. Orang beragama tidak seharusnya menjadi orang bodoh. Kalau agama mengakibatkan orang itu semakin bodoh, mak agama itu pasti tidak beres. Maka ia mengerti bahwa iman kepercayaan tidak meniadakan fungsi rasio. Relasi antara keduanya ditemukan di dalam Yesaya 7:9 ini, dan dengan ayat itu ia menetapkan prinsip apologetikanya selama sisa hidupnya, yaitu: jikalau engkau tidak percaya, engkau tidak mungkin mengerti. Iman kepercayaan menjadi dasar pengertian.
3) Integrasi Percaya dan Mengerti
Prinsip di atas di dalam bahasa Latin dirumuskan sebagai: Aku percaya, maka aku mengerti; dan agar aku bisa mengerti, aku harus menetapkan aku percaya, ‘credeut intreligas, credo ut intelligam’.
Di dalam pernyataan yang besar ini terkandung pula pengharapan yang besar bahwa iman tidak membunuh rasio. Kepercayaan tidak meniadakan fungsi pikiran, sehingga orang dapat mengerti sedalam-dalamnya apa yang ia percaya. Di dalam reaksi dan interaksi seorang dengan yang lain, maka selurtuh pikiran Agustinus, boleh dikatakan: karena aku percaya, maka aku menjadi mengerti; dan karena aku mengerti, maka aku dapat semakin percaya lagi. Dengan demikian iman menghasilkan pengertian, dan pengertian mengokohkan iman. Dengan dasar iman, Tuhan menambahkan pengertian kepada orang yang beriman. Dan dengan pengertian itu, imannya akan terus semakin bertambah. Prinsip ini tepat sesuai dengan apa yang dikatakan di dalam Roma 1:16-17: dari iman menuju kepada iman. Konsep ini merupakan perjalanan kemuliaan anak-anak Tuhan. Di tengah perjalanan kita kembali kepada Tuhan, Allah berjanji:
(1) Dari kekuatan kepada kekuatan; berarti semakin lari semakin kuat. Konsep ini berbeda dari para pelari dan para olahragawan.
(2) Dari anugerah kepada anugerah. Seseorang yang telah menerima anugerrah, jika ia menggarapnya anugerah itu terus akan semakin besar.
(3) Dari iman kepada iman; sehingga titik mulanya adalah iman dan titik akhirnya juga iman. Iman pertama adalah Alfa dan iman terakhir adalah Omega. Kristus yang pertama menanamkan iman di dalam diri manusia, dan Kristus pula yang menggenapkan iman di dalam diri orang percaya. Kristuslah Alfa dan Omega. Itu sebab di dalam Ibrani 12:2 dikatakan bahwa hendaknya kita memandang kepada Kristus yang mengadakan dan menyempurnakan iman di dalam diri kita. Iman yang pertama bersangkut paut dengan wahyu umum yang diberikan kepada setiap orang. Iman kedua bersangkut paut dengan wahyu khusus yang menyempurnakan iman orang percaya di dalam diri Kristus dan di dalam Alkitab. Inilah perjalanan orang Kristen, karena “orang benar hidup oleh iman.” Melalui iman kita dibenarkan. Konsep dibenarkan oleh iman merupakan konsep penting Reformasi. Martin Luther (1483-1546) sangat mementingkan doktrin ini. Istilah “karena” di dalam bahasa Yunani lebih tepat diterjemahkan sebagai “melalui”, sehingga lebih tepat diungkapkan: kita dibenarkan melalui iman di dalam Yesus Kristus.” Maka bukan karena kelakuan, bukan karena pikiran manusia dan bukan segala macam jasa, atau kualifikasi orang berdosa, melainkan karena iman seseorang boleh dibenarkan dan menuju kepada kemuliaan.
Dan akhirnya,
(4) Dari kemuliaan kepada kemuliaan. Dari kemuliaan pertama, kita menerima Kristus dan mendapatkan hidup yang baru. Hidup menjadikan kita semakin lama semakin dikuduskan, dilimpahkan dan dipenuhi dengan kemuliaan surgawi, sehingga pada saat kematangan kedewasaaan kerohanian kita, kita menjadi seperti Kristus, yaitu pada saat kita bertemu muka dengan muka dengan Dia.
Jikalau Saudara merasakanb hidup Saudara begitu jauh dari hal-hal ini, janganlah Saudara kecewa dan mau dipatahkan oleh setan. Tetapi hendaklah Saudara berdiri tegak, beriman kepada Tuhan, dan mau mengerti melalui pencerahan dari Roh Kudus. Karena tanpa beriman, manusia tidak mungkin mengerti.
Sebelum Agustinus menegakkan prinsip di atas, maka di sepanjang sejarah gereja mempunyai tanggapan yang berbeda-beda tentang bagaimana seseorang beriman kepada Yesus Kristus khususnya dalam reaksinya terhadap rasio sebagai fungsi yang berada di dalam diri manusia.
Ada Bapa-bapa gereja yang menekankan bahwa percaya saja sudah cukup, tidak perlu terlalu banyak berpikir. Pikiran seperti ini mirip dengan pikiran banyak pendeta pada zaman ini. Ada sebagian orang yang mulai bertanya-tanya, kalau memang cukup percaya saja, mengapa Tuhan menciptakan pikiran? Akibatnya, ada orang yang terlalu mementingkan rasio, sehingga mau menggunakan rasio untuk memimpin iman, tetapi Alkitab dengan tegas mengajarkan bahwa iman yang takluk pada kebenaran yang harus memimpin fungsi rasio. Konflik seperti ini muncul beratus-ratus tahun, sampai munculnya Agustinus yang menegakkan prinsip iman memimpin rasio, dan rasio yang telah dipimpin oleh iman akan memperkuat iman itu kembali.
Baik Thomas Aquinas dari Katolik Roma dan Martin Luther atau John Calvin (1509-1564) dari Reformasi, sangat terpengaruh oleh pikiran Agustinus ini. Tetapi pembedaannya, Agustinus pada saat itu tidak mengagungkan filasafat Aristoteles, sedangkan Thomas Aquinas mau cepat-cepat menjunjung tinggi metodologi filsafat Aristotrlrs, sehingga terjadi kompromi.
Di dalam pikiran Agustinus, terdapat prinsip yang teguh, yaitu filsafat harus menjadi hamba dari teologi. Biarlah filsafat yang adalah buah pikiran manusia melayani firman Tuhan. Di dalam kita mengerti wahyu Allah, kebenaran tentang Allah, kebenaran tentang manusia dan kebenaran tentang alam yang dicipta, hendaklah seluruh sistem pengenalan yang dimungkinkan karena wahyu ini dapat dipelajari lebih sistematik dengan menggunakan logika. Inilah pengertian filsafat yang sesungguhnya. Maka sifat ini menjadikan filsafat genduk dari teologi yang menjadi tuannya. (genduk = bujang wanita kecil. Inggris: mermaid). Filsafat harus melayani firman Tuhan.
Prinsip ini wajar, karena bertapa pun tajamnya pikiran manusia dan fungsi rasio itu dipakai dengan sangat dalam, tetap terbatas adanya. Hasil filsafat seperti ini tidak mungkin dapat melampaui kebenaran Allah yang diwahyukan kepada manusia. Oleh karena itu, hendaknya secara metodologi filsafat harus menunjang firman Tuhan.
Namun, sampai masa Aquinas prinsip ini melemah secara luar biasa. Aquinas menganggap bahwa pencemaran dosa, hanya sampai wilayah kemauan saja, tidak sampai menyentuh wilayah rasio. Mereka menganggap hanya kemauan yang tercemar, sehingga kemauan itu tidak lagi dapat dikontrol secara benar, karena kebebasannya telah rusak. Maka dosa merupakan tindakan yang salah di dalam keputusan yang telah tercemar. Maka Aquinas menganggap rasio dan pikiran masih murni adanya.
Sampai pada masa Reformasi, John Calvin menegaskan bahwa pencemaran dosa sudah meliputi semua aspek dan semua bidang dari sifat manusia. Maka sifat rasio tercemar, sifat emosi tercemar dan sifat kehendak dan moral manusia juga tercemar. Tidak ada satu pun aspek yang masih bersih. Konsep ini sesuai dengan apa yang dikatakan di dalam Roma 7, yaitu tidak ada yang bajik di dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, rasio tidak mungkin melampaui firman Tuhan. Namun, bagaimana pun juga, tidak seharusnya orang Protestan menghina orang yang berasio atau meremehkan fungsi rasio. Sekalipun rasio telah kehilangan kaitan dengan Sumber kebenaran itu sendiri, namun Tuhan mau manusia kembali kepada-Nya dan rasio masih mempunyai peranan yang sangat penting.
BAB VI : IMAN, RASIO DAN KEBENARAN.
KEBENARAN
Pada waktu manusia belum kembali kepada kebenaran, ia selalu menganggap bahwa dirinyalah kebenaran itu. Akibatnya,semakin lama ia hidup di dunia, ia menjadi semakin kukuh dan semakin menganggap dirinya benar. Di dalam pertikaian antar keluarga yang terjadi berulang kali,semakin banyak bertikai, kita akan semakin merasa benar, dan kasus seperti itu semakin sulit diselesaikan. Setiap pihak akan memakai rasio untuk memberikan dukungan logika yang cukup untuk menjadikan diri sebagai pusat kebenaran. Inilah kelemahan manusia.
Kekakuan ini dapat berlanjut terus sampai akhirnya ia memutuskan bahwa dirinya tidak dapat bersalah. Sampai tingkat ini, ia telah mempersamakan diri dengan Allah. Pada saat seperti itu, Tuhan akan tidak senang dan membiarkan ia mati saja. Maka orang itu mati. Orang muda tidak terlalu berani mengatakan dia yang benar, tetapi semakin tua ia akan semakin kaku juga, dan pada saat tua sekali ia mulai memutlakkan diri seperti orang tua sebelumnya, maka ia pun mati. Sehingga di dalam alam semesta tetap hanya ada Satu Allah yang memang mutlak dan kekal.
Mungkin sekali Saudara dapat juga masuk kedalam jerat seperti itu. Manusia dapat terus memproses dirinya masuk ke dalam kekakuan, sehingga akhirnya ia tidak lagi mempunyai lubang keterbukaan terhadap keterbatasan rasio. Saudara menjadi tertutup, tidak lagi mau menerima nasihat, tidak mau mengakui kalau diri Saudara mungkin salah, maka Saudara telah berperan bagaikan allah kecil yang palsu dan sangat berbahaya. Oleh karena itu jangan sekali-kali memutlakkan rasio.
Sebelum seseorang mengembalikan rasio kepada kebenaran, ia akan selalu menganggap dirinyalah kebenaran itu.
1. Kristus sebagai Kebenaran Asali
Salah satu hal yang saya rasa paling lucu adalah masalah surat kabar di Moskow. Surat kabar di sana berjudul “Kebenaran”(Pravda). Jadi orang Komunis yang tidak percaya ada Allah, mereka tetap percaya ada kebenaran. Jika ditanya siapakah yang menjadi standar kebenaran itu, maka mereka akan menjawab bahwa merekalah yang menjadi standar kebenaran itu. Mereka tidak mau Allah, tetapi memperallah diri sendiri. Setiap agama pasti mengaku memiliki kebenaran atau dirinya kebenaran. Dalam hal seperti ini setiap orang dituntut untuk sungguh-sungguh mempelajari di manakah kebenaran sejati itu berada.
Di dalam Alkitab, kita melihat bagaimana Kristus menjadi satu-satunya orang di dalam sejarah yang sah mengatakan bahwa diri-Nyalah kebenaran (Yohanes 14:6). Andaikata Ia bukan kebenaran dan mengaku sebagai kebenaran, maka pasti akan ada kesenjangan yang besar di dalam hidup-Nya. Tindakan demikian akan menjadikan Kristus seorang pembohong atau pendusta yang terbesar di dalam alam semesta, karena penipuan seperti ini, bukan sekedar penipuan untuk mengambil sedikit uang, atau sekedar memutar-balik suatu kejadian, atau mempermainkan hukum, tetapi ini merupakan penipuan yang berskala dunia, karena mengaku sebagai kebenaran. Tetapi jikalau memang Kristus adalah kebenaran, maka manusia tidak boleh sembarangan memberikan penafsiran yang tidak benar terhadap proklamasi yang sangat agung ini.
Mengapa tidak ada seorang tokoh agama atau tokoh filsafat pun di sepanjang sejarah manusia, selain Kristus, yang berani mengatakan “Akulah kebenaran”? Hanya ada dua kemungkinan: (1) Kristus memang pembohong, dan (2) memang Ia sungguh-sungguh kebenaran. Kalau memang Kristus pembohong, silakan buktikan apakah Dia pembohong terbesar, dan jika Ia memang adalah kebenaran itu sendiri,maka setiap orang wajib takluk kepada-Nya. Setiap manusia harus membagi-bagikan sekuat kemampuan rasio kita untuk membawa orang lain kembali kepada Kebenaran. Ini sebabnya, tugas orang Kristen berat dan sangat serius.
C.S. Lewis (1898-1963), seorang pujangga besar Inggris pernah mengatakan, “Jika Yesus bukan Allah, maka siapakah Dia?” Untuk sekedar mengatakan Yesus bukan Allah atau Yesus bukan kebenaran, mudah sekali. Tetapi jika Ia bukan Allah atau Ia bukan kebenaran, maka silakan berikan definisi yang tepat, sesuai dengan apa yang Ia lakukan dan saksikan. Tantangan itu merupakan tantangan yang paling berat bagi para intelektual, yang mempergunakan rasio, agar mereka berpikir secara kristis dan cermat dengan kepekaan logika, untuk membedakan para pemuka masyarakat, pendiri agama dan para tokoh filsafat terpenting di dalam sejarah manusia dengan Kristus. Di sanalah manusia harus memberikan pertanggung-jawaban yang serius.
2. Berbagai macam Kebenaran
Ketika rasio kembali kepada kebenaran, ini disebut iman. Oleh karena itu, iman bukan sekedar mengatakan “saya percaya”lalu dibaptis dan menjadi anggota gereja. Iman adalah keseluruhan pribadi seseorang sebagai manusia dengan rasio yang kembali kepada kebenaran. Iman adalah penaklukkan kebebasan manusia kepada kedaulatan Allah. Maka iman merupakan tindakan secara keseluruhan.
Suatu hari, di harian “Kebenaran” Moskow,ada berita tentang pertandingan antara dua mobil, yang satu mobil Amerika dan yang lainnya mobil Rusia. Akhirnya mobil Amerika yang menang. Maka harian“Kebenaran” itu mencatat: “Perlombaan Mobil Internasional. Akhirnya, muncul sebagai juara kedua adalah Rusia, dan juara kedua dari belakang adalah Amerika.” Salahkah berita ini? Secara kalimat demi kalimat, berita ini tidak dapat dipersalahkan, tetapi berita ini tidak jujur dan ada usaha manipulasi. Ada data yang disembunyikan, yaitu pembaca tidak tahu berapa negara yang ikut perlombaan. Pembaca mungkin mengira ada 30 mobil yang ikut, sehingga Rusia lumayan mendapat juara kedua, dan Amerika sangat buruk karena menjadi juara ke 29 (nomor dua dari belakang). Padahal pesertanya cuma dua, sehingga juara dua berarti yang paling belakang, sedangkan nomor dua dari belakang justru adalah juara pertamanya. Ini adalah lelucon dalam “Kebenaran”. Di dalam pandangan Kristen, berita ini seluruhnya salah, karena kebenaran bukan sekedar kebenaran fakta, tetapi kebenaran harus menyangkut beberapa tingkatan:
a. Kebenaran Fakta
Yang ‘ya’, katakan “ya”, dan yang “tidak”, katakan“tidak”. Itulah fakta. Kalimat seperti ini adalah kalimat dari Tuhan Yesus yang diri-Nya adalah Kebenaran itu. Adolf Hitler (1889-1945) pernah mengatakan, jika perkataan bohong diulangi terus menerus sampai seratus kali, maka bohong itu menjadi kebenaran. Ini sikap yang sangat kurang ajar. Maka pada tingkatan pertama, kebenaran harus sesuai dengan fakta. Mungkin fakta itu bersalah,tetapi ketika Saudara menyatakan fakta yang pada hakikatnya salah, sambil menunjukkan kesalahannya, maka Saudara sedang mengatakan kebenaran. Ketika Saudara menyaksikan kebenaran seorang anak yang membunuh ayahnya di depan pengadilan, maka Saudara sedang melakukan kebenaran. Tetapi bukan berarti pembunuhan itu adalah kebenaran. Faktanya yang adalah kebenaran. Inilah aspek pertama, yaitu: Kebenaran adalah fakta. Ini adalah aspek yang paling rendah.
Fakta hanya menyatakan kesungguhan keberadaan sesuatu atau peristiwa, tanpa memberikan penilaian fakta itu sendiri pada hakikatnya benar atau tidak benar. Peristiwa yang saya saksikan mungkin tidak cocok dengan prinsip kebenaran yang lebih tinggi. Penemuan-penemuan di dalam alam semesta, yang merumuskan begitu banyak dalil-dalil dan aksioma-aksioma di berbagai bidang studi, adalah fakta. Tetapi fakta bukanlah kebenaran menyeluruh, hanya menyatakan hal-hal yang “memang demikian”. Tetapi istilah “memang demikian” tetap relatif.
Seorang yang beratnya 75 kg, jika dibawa ke Kutub Utara akan menjadi 74 kg lebih, tidak murni 75 kg lagi, karena tingkat gravitasi yang berbeda. Sains sangat dekat dengan kebenaran yang mutlak, serta dapat memberikan jawaban yang berulang-ulang. Sifat ini berbeda sekali dengan seni. Seni tidak dapat diulangi. Setiap kali seni itu muncul, selalu merupakan ekspresi dari jiwa pada momen tertentu yang tidak pernah terulangi lagi. Tetapi seni tingkatnya lebih tinggi daripada penemuan sains.
Dalam kasus perlombaan mobil di atas, sekalipun secara kalimat kelihatan benar, tetapi di dalam keseluruhannya ada kesalahan. Kesalahan ini muncul karena adanya problema motivasi. Tulisan itu dibuat dengan motivasi cinta Soviet dan membenci Amerika. Maka tulisan itu dibuat bukan dengan memutarbalikkan faktanya, tetapi memutarbalikkan relasi antara satu fakta dengan fakta yang lain.
Maka dalam aspek ini, kebenaran bukan sekedar memaparkan fakta kebenaran saja, tetapi menyangkut dunia atau wilayah yang lain. Jikalau seseorang yang sudah studi sampai tingkat yang tinggi, kemudian mulai tidak mempedulikan orang lain, tidak mempedulikan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dsbnya, maka ia perlu segera ingat bahwa ia baru mengenal kebenaran pada tingkatan yang paling rendah. Ia tidak boleh sombong,karena masih banyak kebenaran dalam aspek-aspek yang lain. Masih ada kebenaran dalam aspek moral atau etika, kebenaran dalam aspek motivasi.
Pada zaman Rasionalisme, beberapa tokoh yang terpenting seperti Leibniz (1646-1716), Spinoza (1632-1677) dan Rene Descartes(1596-1650), memperkembangkan cara berpikir dengan metodologi Rasionalisme. Gerakan ini menghasilkan reaksi sikap skeptik terhadap rasionalisme oleh David Hume (1711-1776) dan Immanuel Kant (1724-1804). Immanuel Kant adalah seorang yang sangat lucu, tingginya hanya 152 cm. Hidupnya sangat teratur. Ia sangat tidak suka ke luar kota. Seumur hidupnya tidak pernah meninggalkan kota tempat tinggalnya. Paling jauh ia pergi tidak lebih dari 20 km. Ia lahir di Konigsburg, besar di sana, sekolah di sana, mengajar di sana, jalan-jalan juga di sana, tua di sana, bahkan mati dan dikubur di sana juga. Setiap jam 3.00 sore tepat, ia pasti berjalan kaki untuk olahraga. Kecepatan jalannya juga konstan, dan mengikuti jalur yang tetap, sehingga tiba di rumah selalu tepat. Sehingga tetangga-tetangganya dapat mencocokkan jam di rumah mereka menurut perjalanan professor ini. Ia bukan seorang Kristen yang sejati, sekalipun dilahirkan di dalam keluarga Kristen.
Ia merasa bahwa rasio bukan hanya di dalam otak. Pengetahuan bukan hanya di wilayah rasio. Ia mengatakan bahwa rasio mempunyai tiga wilayah, yaitu: (1) rasio murni, (2) rasio praktika, dan (3)rasio kritis.
Sekalipun matematika adalah logika, Kant tidak menganggap semua logika berada di dalam matematika. Blaise Pascal (1623-1662), yang menemukan kalkulator, pernah mengatakan, “Ada semacam pengetahuan yang berbeda dari pengetahuan lainnya. Pengetahuan itu adalah pengetahuan di dalam hati, bukan pengetahuan di dalam otak.” Jadi ada orang-orang yang mengetahui secara rasional, dan tahu secara hati. Jika Saudara dapat membedakan antara tahu yang pertama dan tahu yang kedua, maka Saudara sudah memiliki tahu yang ketiga, yaitu tahu membedakan tahu pertama dan kedua.
Ketika seseorang memperingatkan teman saya yang baru menerima warisan untuk berhati-hati mempergunakan uangnya, teman saya berkata: “Aku tahu.” Ini adalah pengetahuan secara rasional. Tetapi kemudian ia benar-benar tertipu dan habis semua hartanya. Ketika orang itu kembali mengingatkan peringatan yang telah diberikannya, teman saya ini sekarang dengan hati yang berat mengatakan, “Aku tahu, sungguh-sungguh tahu.” Tahu yang kedua ini adalah “tahu” yang keluar dari hati. Tahu setelah melihat semua relasi yang begitu sulit, bukan sekedar suatu analisis otak saja.
Immanuel Kant mengatakan bahwa dua tambah dua hanya merupakan pengetahuan matematika, yang ia sebut sebagai rasio-murni. Tetapi ada juga rasio-praktis. Kalau seseorang tidak pernah menerjunkan diri ke dalam pengalaman itu, ia tidak akan pernah tahu apa itu. Kita dapat mengetahui kalau pohon anggur disiangi akan bertambah berbuah banyak. Tetapi pengetahuan itu bukan pengetahuan sesungguhnya jika kita belum pernah melakukan dan melihat hasilnya. Itu hanya sekedar pengetahuan imigrasi, dipindahkan dari orang lain. Kita baru tahu sesungguhnya jika kita melakukannya, dan setelah itu kita baru mengerti apa yang dikatakan di dalam Yohanes 15:1-8 secara lebih baik.
Sebagai manusia, kita memiliki kewajiban moral, harus berbuat baik, manusia tidak dapat menipu dirinya sendiuri, manusia harus berjuang dengan gigih. Pengetahuan seperti ini juga adalah pengetahuan rasio, tetapi tidak dapat diselesaikan di dalam laboratorium. Laboratorium ilmiah terlalu rendah, sehingga ia tidak berhak menguji pengetahuan yang lebih tinggi. Pengetahuan ilmiah tidak dapat menjelajah ke wilayah itu. Lalu, apakah ini bukan kebenaran? Ini tetap adalah kebenaran. Maka rasio tidak hanya berada dalam wilayah rasio murni, tetapi juga di dalam rasio praktika, yang menyangkut wilayah etika, moral, dan praktika.
Selain itu ada suatu rasio lainnya. Ada seorang yang sangat menikmati musik dangdut, atau keroncong, atau rock, atau klasik.Tetapi heran sekali, orang yang menyukai dangdut, kalau sudah menyukai klasik, ia tidak akan melepaskan kesukaannya pada musik klasik. Orang yang suka dangdut dapat melepaskan kesukaan itu, demikian juga orang yang suka pop atau lainnya.Tetapi seseorang yang menyukai musik klasik akan senantiasa langgeng.
Ketika seseorang mengatakan musik klasik lebih enak daripada pop atau country, maka ia sedang menggunakan rasio kritis, yaitu aktivitas rasio untuk menilai atau menghakimi. Tidak dapat dibuktikan. Ketika kita memilih kekasih yang kemudian menjadi suami atau istri kita, kita memilih berdasarkan rasio kritis, karena tidak dapat dibuktikan mengapa kita memilih dia. Setiap orang dapat memiliki selera dan kesukaannya masing-masing, dan selera ini tidak dapat dibuktikan. Inilah rasio kritis. Maka rasio kritis merupakan hal yang penting untuk hidup kita, namun tidak tersangkut-paut dengan rasio yang lain.
Rasio jangan dianggap hanya berada di wilayah pengetahuan ilmu saja. Rasio sangat besar, tetapi kebenaran lebih besar lagi daripada rasio.
b. Kebenaran Sejarah
Kebenaran ini juga disebut sebagai kebenaran yang bersifat fakta sejarah. Indonesia merdeka pada tahun 1945. Ini adalah kebenaran, tetapi kebenaran ini berbeda dari kebenaran ilmu. Ketika kita mempelajari dan mengetahuinya, kita mendapatkan kebenaran. Peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi. Demikian pula jika kita mengetahui bahwa presiden Amerika Serikat, John Kennedy (1917-1963) dibunuh pada tahun 1963. Pada tahun1986 presiden Filipina, Ferdinand Marcos (1917-1989) tumbang dari kedudukannya dan diusir keluar dari Filipina. Semua peristiwa ini pernah terjadi pada waktu yang disebutkan. Ini kebenaran.
Tetapi banyak kebenaran yang benar-benar terjadi, pada hakikatnya tidak sesuai dengan kebenaran yang sejati. Sejarah terkadang merupakan catatan tentang kesalahan-kesalahan yang pernah terjadi, dimana catatan itu sendiri tidak salah. Aspek sejarah adalah “dengan tidak salah mencatat hal-hal yang salah.”
c. Kebenaran Manusia
Kebenaran-kebenaran yang disebutkan di atas adalah kebenaran yang mati, bukan kebenaran yang hidup. Tetapi kini ada kebenaran yang berada di dalam diri manusia, yaitu kebenaran yang menyangkut kehidupan itu sendiri, kebenaran-kebenaran yang menyangkut kehormatan dan harkat manusia, hak asasi manusia, yang terjadi di dalam masyarakat. Jika kebenaran ini diganggu gugat, maka akan timbul akibat dan penyakit yang disebut sebagai penyakit jiwa, baik pribadi atau seluruh bangsa.
Penyakit jiwa yang berakibat dan berpengaruh terhadap sekitarnya akan menghasilkan problema sosial, sehingga timbullah sosiologi. Sosiologi mempelajari terbentuknya masyarakat, munculnya kesulitan-kesulitan dalam masyarakat dan bagaimana menyelesaikan semua kesulitan dan gejala yang tidak benar di dalam masyarakat. Ini adalah kebenaran juga.
d. Kebenaran Relasi
Kebenaran yang mencakup kebenaran di dalam relasi antar oknum. Hubungan atau relasi antar manusia dengan manusia, antara manusia dengan alam, antara manusia dengan ilah-ilah atau setan-setan.
Fakta adanya relasi, bagaimana cara berelasidan seberapa jauh relasi itu mungkin terjadi, juga merupakan kebenaran yang harus dimengerti. Kebenaran sampai tingkat ini sudah melampaui wilayah fisika, tetapi tetap perlu dipelajari. Kebenaran seperti ini memang kebenaran yang perlu diketahui, tetapi tetap bukan Kebenaran yang tertinggi itu sendiri.
e. Kebenaran Pencipta
Kebenaran yang tertinggi adalah mengenal Pencipta. Kebenaran yang tertinggi adalah Tuhan Allah sendiri, yaitu Kebenaran itu sendiri. Kebenaran ada pada-Nya, karena Ia yang menciptakan segala sesuatu, Ia yang menentukan semua rumus dan dalil, yang telah disimpan di dalam alam semesta. Ia juga yang mengatur seluruh pergerakan alam semesta. Ia Penentu segala sesuatu. Jangan sekali-kali ada orang yang mencoba menurunkan Allah dari posisi-Nya sebagai Pencipta untuk dikurung di dalam dunia ciptaan yang dicipta oleh Dia sendiri. Itu adalah tindakan bunuh diri.
Allah berada di luar semua dalil manusia. Hidup ini sendiri sudah tidak dapat dikurung oleh hukum-hukum dan dalil-dalil yang kaku dan sempit. David Hume, seorang Skeptik terbesar di dunia dari Skotlandia, ketika tua ia berkata, “Natur atau alam ini terlalu kuat untuk logika dan prinsip.”
Pada umumnya, jika kita sudah mempelajarisesuatu, kita cenderung memakai prinsip-prinsip yang sudah kita pelajari itu untuk mengatur segala sesuatu, termasuk prinsip kita. Terkadang saya ingin tertawa terhadap orang yang terlalu percaya pada sistem, seolah-olah sistem itu adalah Tuhan Allah. Saya percaya Allah lebih besar daripada sistem manusia manapun. Jikalau gereja memperilah sistem, maka gereja itu mulai menggali kuburan untuk dirinya sendiri.
Heran sekali, saya memperhatikan bahwa gereja-gereja yang organisasinya besar dengan sistem yang kaku, keuangan yang kuat, justru adalah gereja yang tidak berkembang, tetapi kalau mengadakan rapat waktunya sampai pagi. Mengapa? Karena yang dirapatkan dan didiskusikan adalah hal-hal yang lebih bersifat administratif, yang sepele, membicarakan cara memindahkan dan menjatuhkan orang, dsbnya; tetapi justru tidak membicarakan bagaimana menginjili orang, bagaimana memperlebar Kerajaan Allah. Akhirnya diri sendiri mengurung diri sendiri. Celakalah gereja seperti itu, jika kita tidak memfokuskan diri ke dalam hati Tuhan, kehendak Tuhan dan rencana Tuhan yang agung, dan mengilahkan sistem.
Hidup terlalu kuat untuk logika dan kasih terlalu kuat untuk rasio. Kita terbiasa berjalan di dalam sistem yang kita buat sendiri, lalu mengkotak-kotakkan segala sesuatu dan dimasukkan ke dalam sistem yang kita biasa pakai. Padahal kebenaran jauh lebih besar daripada itu, apalagi kebenaran Tuhan Allah sendiri.
Alkitab dengan tegas menyatakan perkataan Allah: “Menurut engkau, siapakah Aku?” Allah jauh melampaui kemampuan pikiran kita. Itu sebab, seorang teolog liberal yang bernama Albert Schweitzer dari Jerman (1875-1965), pada saat tua mengungkap kalimat: “Terlalu sulit untuk menangkap Kristus agar kita dapat mengerti Dia di zaman kita.” Bagaimanapun usaha manusia membuat suatu kotak, lalu menurunkan Kristus, memasukkan ke dalam kotak itu, lalu berusaha menyelidikinya, Ia pasti lepas, tidak mungkiin dapat terkurung. Kristus jauh lebih besar daripada kemungkinan rasio kita memikirkannya.
Namun, ada satu hal yang membuat kita dapat kembali kepada-Nya, yaitu iman yang sejati yang sesuai dengan wahyu Allah yang sejati di dalam Kitab Suci. Kecuali jalan ini, tidak ada lagi jalan yang lain. Pada saat seseorang menaklukkan terlebih dahulu pikirannya, kekuatan rasionya kepada kebenaran, maka ia menjadi orang beriman.
3. Rasio dan Kesetiaan pada Kebenaran
Iman dalam bahasa Yunani: pistis dan dalam bahasa Latin: fide. Di dalam bahasa Inggris adaistilah “fidelity”. Istilah ini merupakan perkembangan dari istilah fide atauiman. Iman berarti setia kepada kebenaran. Inilah istilah yang paling singkat dan tepat untuk iman.
Suara stereo yang baik sering disebut hi-fi, singkatan dari high fidelity. Fidelity adalah kesetiaan, sehingga hi-fi adalah kesetiaan yang tinggi. Jika Saudara sering mendengar pementasan musik klasik, Saudara pernah mengikuti pagelaran konser dari NewYork Philharmonic Orchestra yang dipimpin oleh Zubin Mehta di Balai Sidang, maka Saudara akan melihat ada daerah-daerah yang ditutup dan tidak dipakai untuk tempat duduk penonton. Daerah-daerah itu disebut sebagai “tidak layak duduk” (insufficiency seat). Karena arsitektur akustik gedung ini kurang baik untuk konser. Saya berani mengatakan hal seperti ini, karena saya mempelajari arsitektur.
Gedung ini hanya kira-kira cukup untuk 1.800 orang yang mendengar musik secara paksa. Sebenarnya gedung yang baik, semua konser tidak perlu memakai mikrofon. Kalau gedung itu pakai mikrofon, itu tandanya akustiknya kurang baik. Seorang penyanyi yang baik akan menyanyi dari diafragma, sehingga suaranya mempunyai proyeksi yang cukup tanpa mikrofon. Jika sering mendengar musik-musik yang begitu tinggi mutunya, Saudara baru dapat membedakan berbagai macam-macam amplifier dan speaker. Belum tentu yang harganya mahal atau produk terbaru lebih baik dari yang lebih murah atau yang bekas.
Orang di Indonesia biasa membunyikan musik sekeras mungkin. Saya tidak mengerti cara seperti ini. Alat penguat musik yang baik akan mampu mengeluarkan semua alat musik setepat aslinya, bukan suara terompet seperti trombone, atau suara biola seperti organ, suara manusia seperti burung. Di sini alat-alat penguat musik ini diuji kesetiaannya terhadap yang aslinya. Jepang, baru sekitar sepuluh tahun ini mampu membuat speaker yang baik, karena di Jepang tidak ada orchestra yang baik dan baru sekarang ada. Empat puluh tahun yang lalu ada speaker Mitsubishi yang lumayan baik, harganya sangat mahal, hanya untuk konsumsi para bangsawan. Tetapi di Eropa, khususnya di Inggris, London selalu menjadi pusat pagelaran. Banyak orang yang dapat menangkap secara cermat suara Oboe, Clarinet, Drum, Timpani,Piano, dll., sehingga mereka mampu segera membedakan suara alat reproduksi musik yang setia atau kurang setia. Di sinilah muncul istilah hi-fi.
Banyak kaum intelektual merasa kalau percaya kepada Yesus Kristus berarti membunuh rasio dan memusnahkan fungsi intelektualnya. Saya tidak meminta Saudara membunuh rasio dan menjadi percaya takhyul. Silakan ragu, tetapi dengan hati nurani yang murni dan motivasi yang jujur ingin mencari kebenaran, bukan mau menegakkan kebenaran sendiri. Akhirnya Tuhan pasti akan memimpin Saudara. Dan ketika Saudara mengerti bagaimana penafsiran kebenaran yang sejati, Saudara mungkin menjadi setia. Ketika Saudara setia kepada kebenaran, berarti Saudara dapat beriman.
Tidak benar orang yang mengatakan jika seseorang mencapai pengetahuan yang tinggi sekali, ia tidak dapat beriman dan tidak dapat percaya Yesus Kristus. Mereka mungkin percaya kepada Yesus Kristus, asal kita dapat menjelaskan kebenaran sebenar mungkin, sehingga mereka mengetahui penafsiran yang benar. Itulah tugas kita sebagai orang Kristen. Setiap orang Kristen harus mampu menjelaskan iman kita sejelas dan sebenar mungkin, dan untuk itu kita perlu belajar banyak hal.
Di Indonesia terlalu banyak pendeta,majelis, pengurus gereja yang sudah merasa puas diri. Terlalu banyak orang Kristen yang baru belajar sedikit sudah berani khotbah. Akhirnya kebenaran dikhotbahkan menjadi ketidak-benaran. Orang yang harusnya dapat percaya dengan benar jadi tidak percaya. Akibatnya orang-orang pandai yang berpikiran tajam semua berada di luar gereja, yang masuk gereja adalah yang bodoh dan yang pikirannya tidak tajam. Celakalah kekristenan seperti ini.
Setiap pekerjaan besar dan tugas kenabian perlu revolusi. Untuk pekerjaan ini perlu dukungan Roh Kudus yang kuat untuk memutarbalikkan seluruh nasib kekristenan di dalam sejarah, yang perlu kita garap di Indonesia. Semua yang sungguh-sungguh mempelajari Alkitab, sebenarnya hanyalah murid kebenaran saja. Kita perlu berjuang untuk sesetia mungkin kepada kebenaran, sehingga kemurnian iman semakin dapat didekati dan dicapai. Perjalanan kita beriman adalah perjalanan kita menaklukkan diri kepada kebenaran. Semakin setia, makin beriman teguh. Berhati-hatilah dengan rasio, karena rasio seringkali berubah arah.
Martin Luther pernah mengatakan kalimat yang mengejutkan: “Rasio itu pelacur.” Mengapa? Karena rasio selalu mencari alasan untuk mendukung apa yang telah ia tetapkan terlebih dahulu. Kalau seseorang sudah berniat berbuat dosa, lalu ia mencari berbagai macam alasan, sehingga jika ia ditanya ia dapat membela diri untuk menyatakan dirinya tidak bersalah. Dengan demikian, ia sudah memperalat rasio untuk menaati ketidak-setiaan manusia yang tidak berarah. Oleh karena itu, rasio disebut sebagai pelacur. Jika isteri Saudara hari ini mengatakan kepada Saudara, “Engkau suamiku”, lalu esok mengatakan kepada orang lain, “Engkau suamiku”, lalu esoknya lagi berbicara dengan nada yang merdu kalimat yang sama kepada orang lain lagi, maka Saudara pasti akan benci sekali kepadanya. Itulah kemungkinan rasio Saudara. Kita perlu mempertahankan kesetiaan rasio kita di hadapan Tuhan, karena rasio kita adalah mempelai Tuhan yang adalah kebenaran. Kesetiaan ini disebut sebagai fide, yaitu: iman. Gereja adalah mempelai Kristus, pikiran adalah mempelai dari kebenaran Kristus.
Biarlah pikiran kita dipenuhi oleh firman. Tuhan menciptakan otak dan Tuhan mewahyukan kebenaran supaya otak yang dicipta tersebut dipimpin dan dipenuhi oleh kebenaran yang diwahyukan. IMAN, RASIO DAN KEBENARAN.
Amin.