DOSA, ARAH DAN NILAI KEBUDAYAAN

Pdt. DR. Stephen Tong.
DOSA DAN KEBUDAYAANDi ambang pintu memasuki abad XXI, istilah globalisasi, demokratisasi dan hak asasi manusia sudajh tidak asing lagi bagi telinga orang zaman ini. Namun, kita juga melihat bahwa memuncaknya teknologi modern dan keunggulan ilmu pengetahuan mutahir telah menimbulkan berbagai masalah yang tidak pernah diduga sebelumnya dan fatal karena tidak dapat ditanggulangi oleh kebijaksanaan manusia sendiri.

Fusi, kerusakan lingkungan, penyakit AIDS dan kerusakan moral merupakan masalah yang berpotensi meruntuhkan segala keunggulan yang pernah dicapai berabad-abad lamanya hingga saat ini. Mangapa hal ini harus terjadi? Bukankah itu seolah-olah hanya merupakan proses pasang surutnya kebudayaan di sepanjang sejarah? Apa yang menjadi dalil penentunya? Bukankah kebudayaan kita telah mencapai puncak di dalam sejarah itu?

Namun fakta berbicara lain. Sejarah memberitahu kepada kita: setiap puncak kebudayaan selalu menjadi titik krisis kebinasaan atau kemerosotan kebudayaan itu sendiri. Di manakah kebudayaan Maya, Aztek, Machu Piccu, Mesopotamia, Babilonia, dll? Di manakah kemegahan Mesir Kuno? Di manakah kemuliaan militerisme yang tak tertandingi dari kekaisaran Romawi? Bukankah itu semua telah lewat dan tidak kembali lagi? Siapakah yang dapat memberi jawaban terhadap fenomena-fenomena kejatuhan kebudayaan yang kongkrit dan misterius ini?

Alkitab mengatakan: Dosa-lah yang menjadi faktor perusak yang sesungguhnya. Setelah kejatuhan Adam ke dalam dosa, sifat dasar dosa telah berakar dan mencengkeram di dalam segala upaya kebudayaan manusia. Anak-anak manusia telah dipengaruhi oleh sifat-sifat egois dan kecongkakan untuk hidup berpusat pada diri sendiri, dan tidak mau bersandar kepada kebijaksanaan dan kebenaran Sang Pencipta. Maka akibatnya, dosa ikut mencemari semua keberhasilan kebudayaan yang diraih manusia!

Jika mengabaikan faktor ini, kita bagaikan orang yang bermimpi di siang hari bolong,. Kita sangat mudah hidup dalam penipuan terhadap diri sendiri. Kita jatuh ke dalam optimisme palsu, yang bukan saja tidak sanggup menyelesaikan problema umat manusia, tetapi juga tidak mungkin memberikan jalan keluar yang sehat atas kelumpuhan-kelumpuhan yang sedang berada di dalam semua kebudayaan.

Kiranya Tuhan memberikan visi yang kelas kepada kita, sehingga kita tidak heran jika melihat Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) yang menjanjikan pencerahan baru, pada akhirnya memimpin manusia masuk ke dalam kekosongan dan kekacauan yang lebih parah lagi. Demokrasi modern yang mempergunakan kebebasan tanpa dikendalikan oleh kebenaran akan membawa manusia menuju Barbarianisme modern. Kita perlu pertobatan secara pribadi! Demikian pula kebudayaan-kebudayaan juga memerlukannya!

Pdt. DR. Stephen Tong.

PENDAHULUAN: DOSA DAN KEBUDAYAAN.

Alkitab tidak hanya berbicara mengenai masuk sorga dan kepercayaan saja. Alkitab juga mengajar kita memakai prinsip firman Allah yang orisinal untuk menyelesaikan berbagai masalah yang timbul, baik di bidang politik, masyarakat, seni, dan lain-lain. Kita perlu memahami bukan hanya theologi sistematika tradisionil yang membahas tentang keselamatan, Kerajaan Allah, dan rencana Allah yang kekal, tetapi juga topik-topik yang berkenaan dengan konsep politik, nilai, kebudayaan, maupun sejarah.

Kita yang hidup di dunia ini tidak dapat menghindari pembahasan semacam ini, karena konsep dasar secara langsung atau tidak langsung memengaruhi reaksi hidup kita. Bila kita merenungkan secara mendalam dan mempunyai pemahaman konsep yang tepat, maka kita akan menjadi orang Kristen yang mampu memuliakan Allah dan membawa berkat bagi sesama.

“Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” (Kejadian 1 : 28 dan 2 : 15)

Istilah “cultivate” (LAI : mengusahakan) yang terdapat dalam ayat ini berkaitan dengan istilah “culture” (kebudayaan). Berarti manusia diciptakan sebagai makhluk yang mempunyai sifat budaya.

BAB I : DOSA DAN KEBUDAYAAN.

SIRKULASI SEJARAH

Jika kita memandang sejarah sebagai sebuah sistem sirkulasi, kita akan menemukan bahwa di dalam sistem dan sirkulasi ini terdapat definisi-definisi yang seolah-olah tidak tampak namun sebenarnya ada. Bagaimana sirkulasi ini terjadi? Pada saat seorang yang bijaksana mendisiplin tindakan yang kurang bijaksana, maka keprimitifan pun akan dikikis secara perlahan-lahan, karena wisdom is conquering the barbarianism.

Pendidikan tampil ke permukaan dan membentuk masyarakat yang berbudaya, dan kebijaksanaan mulai melayani penguasa yang dominan. Seorang politikus yang mengerti hal ini kemudian akan bertekad untuk merebut dan menguasai orang-orang yang bijaksana untuk melayani ambisi mereka. Ambisi politik terdapat dalam diri para pemimpin yang bengis, yang menganut pemikiran diktator. Padahal kuasa diktator secara mutlak akan menjadi penghancur kuasa politik. Pada saat kuasa tertinggi hancur, maka irama sejarah kembali kepada barbarisme yang mendominasi kuasa politik yang tertinggi. Sirkulasi ini berlangsung sampai abad XX dan berkembang menjadi suatu pengharapan bahwa demokrasi dapat menyelesaikan masalah ini.

Demokrasi perlu dibangun di atas dasar neutral information (informasi netral, tidak terdistorsi) dan pendidikan kebudayaan secara menyeluruh. Dengan demikianlah demokrasi dapat berkembang. Namun hal ini adalah idealisme yang tidak mungkin. Bagi saya, kemenangan demokrasi mungkin sekali merupakan wujud pemikiran barbarisme dari orang-orang zaman modern. Jangan kita heran apabila suatu hari kelak kita menemukan negara Amerika – yang mempunyai hikmat dan pengetahuan tinggi – akan jatuh ke dalam tangan orang-orang yang menyebut diri demokrat, tetapi memberikan toleransi terhadap perdagangan narkotik, homoseksualitas, aborsi, dan lain sebagainya. Hal tersebut terjadi karena pada saat pemilihan presiden, calon presiden takut kalau-kalau rakyat tidak mau mendukungnya, sehingga dengan terpaksa dia berkompromi demi memperoleh kemenangan saat pemilihan. Sebenarnya, dia telah menggantikan demokrasi dengan kuasa.

Di tengah-tengah sistem sirkulasi ini, sejarah menunjukkan bahwa di dalam sistem sirkuliasi ini, kebudayaan yang dibangun manusia dengan susah payah telah menempatkan dirinya dalam suatu krisis, suatu masalah yang mendalam dan serius.

Siapakah manusia? Berapa pentingnya nilai sifat manusia? Berapa besar potensi dan krisis sifat manusia? Sesungguhnya manusia berpotensi untuk memahami masalah krisis ini hanya melalui terang firman Tuhan, yang bahkan dapat menembus dan memahami sampai sedalam-dalamnya. Maka hanya Kekristenanlah yang dapat menjelaskan krisis ini. Jika kekristenan hanya meraba masalah superfisial yang sehari-hari dihadapi manusia dan tidak menemukan prinsip dasar yang Allah wahyukan, maka sumbangsih kekristenan terhadap dunia hanyalah untuk menghadapi kesementaraan, serta tidak mampu bertahan lama.

Adakah unsur kejatuhan manusia dalam dosa juga tercakup dalam kebudayaan? Apakah kebudayaan dihasilkan setelah kejatuhan? Atau kebudayaan sendiri mempunyai kemungkinan untuk mencegah datangnya kejatuhan? Semua ini merupakan hal yang istimewa.

Ketika pemerintah menganjurkan rakyat untuk ber-KB (Keluarga Berencana), rakyat mengira KB dapat menyelesaikan masalah ekonomi dan masyarakat. Maka mereka memakai berbagai alasan untuk menunjang ketetapan itu. Namun 10-20 tahun kemudian, saat mereka mendapati bahwa mayoritas rakyatnya adalah ‘manula’, mereka kembali memberi semangat kepada rakyat untuk melahirkan banyak anak, sementara rakyat sudah terlanjur tidak suka mempunyai banyak anak. Saat mereka menemukan arah sejarah sudah susah dikembalikan, mereka baru menyesal akan keputusan yang pernah mereka tetapkan.

Lalu, apakah setiap kali strategi dan aksi masyarakat yang kita pilih akan selalu menelurkan kesalahan-kesalahan yang baru disadari pada kemudian hari? Ini hanya salah satu contoh untuk memikirkan apakah kejatuhan sendiri memang sudah tercakup di dalam kebudayaan.

Dari buku-buku dan hasil pemikiran rasio manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa, kita tidak berhasil menemukan penyebab kejatuhan. Hanya di dalam firman Tuhan kita bisa menemukan penyebab utama dari semuanya ini

Ketika kuasa politik berubah, ketika sistem dan cara pendidikan telah tersingkirkan, ada hal-hal yang lebih mendalam dan yang sama sekali tidak berubah, yaitu: (1) Kebudayaan/kultur; dan (2) Agama.


Hal yang bersifat budaya dan agama selalu melampaui hal yang bersifat politik, masyarakat, ekonomi, dan pendidikan. Komunis yang ingin mendongkel ajaran Confusionisme justru binasa, dan atheisme yang ingin memusnahkan agama juga mengalami kehancuran. Komunisme dan atheisme mengunggulkan konsep kosmologi mereka sebagai kebenaran yang mutlak. Mereka menggunakan konsep kosmologi untuk menyerang sistem pemikiran lama dan memperalat kuasa politik untuk memperoleh posisi yang menguntungkan. Tetapi taktik politik bukanlah hal yang kekal. Tatkala komunisme dan atheisme sudah lenyap, kebudayaan dan agama tetap ada. Yang membinasakan telah binasa, tetapi yang dibinasakan tetap berada.

BAB II : DOSA DAN KEBUDAYAAN.

SIFAT BUDAYA DAN SIFAT AGAMA

Allah adalah Pencipta manusia yang adalah gambar dan rupaNya. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia memiliki sifat dasar, yaitu sifat agama dan sifat budaya. Manusia disebut manusia karena manusia mempunyai sifat budaya dan sifat agama. Dengan demikian barulah manusia dapat hidup sebagai manusia di dunia. Ketika kedua sifat ini disingkirkan dari manusia, manusia tidak lagi menjadi manusia. Manusia adalah manusia karena dapat mandiri, dapat melampaui alam, mengalahkan alam, kecuali sampai pada hari di mana batasan yang alam berikan kepadanya telah sampai. Manusia bukan hanya hidup selama beberapa puluh tahun di dunia, setelah meninggal, sifat budaya masih bisa berpengaruh bagi generasi berikut, sedangkan sifat agamanya membawa dia pulang ke tempat kekekalan dengan sejahtera.

Dari manakah datangnya sifat budaya dan sifat agama yang membentuk manusia? Singkatnya memang ada secara alami. Begitu manusia lahir, dia sudah mempunyai sifat agama dan sifat budaya. Tetapi perhatikan, tujuan dari sifat agama dan sifat budaya tidak bisa disejajarkan dengan alam. Jika budaya adalah produk alam, maka kebudayaan tidak mungkin menjadi alat untuk menguasai alam. Jika sifat agama adalah produk alam, mengapa agama seringkali melampaui, menentang bahkan menggeser alam? Jadi bila yang bersifat agama dan yang bersifat budaya bukan berasal dari alam, pasti hal-hal itu berasal dari sifat yang supernatural.

Itulah sebabnya para ahli ilmu alam seperti Herbert Spencer dan Thomas Henry Huxley, di dalam keheranannya mengatakan kalimat yang istimewa: “Rasio dan hati nurani manusia sama sekali bukan produk evolusi“. Mereka sama sekali tidak memberitahukan dari mana asal rasio dan hati nurani manusia. Mereka hanya secara terpaksa mengakui adanya bagian supernatural di dalam diri manusia.

Kita menemukan dua macam unsur yang sama sekali berbeda telah membentuk sifat manusia kita yakni kita mempunyai tubuh yang hampir sama dengan binatang, membutuhkan makanan dan seks; namun di dalam diri manusia masih terdapat satu unsur lain, yang ikut membentuk bagian yang lebih dalam dan lebih penting yang bisa membuat kita tidak mengindahkan kemuliaan dan kemewahan dunia, memandang enteng akan kesengsaraan hidup, dan membuat kita mempunyai sifat-sifat transendental seperti tidak merasa iri, tidak membenci, dan tidak merendahkan mereka yang lebih hina dari kita. Jika manusia hanya mempunyai kebutuhan makan dan seks saja, hidup kita di dunia ini tidaklah memiliki nilai yang istimewa.

Dari manakah datangnya unsur transendental itu? Tidak ada satu kebudayaan yang bisa memberi jawaban pada pertanyaan tersebut, karena tatkala manusia mencari tahu tentang kebenaran ini, mereka langsung menetapkan bahwa unsur tersebut adalah produk dari kebudayaan sehingga mereka tidak betul-betul mempelajari dari mana unsur itu datang. Hanya Firman Tuhan menguraikan asal unsur-unsur itu dengan jelas. Sayang sekali, banyak orang sudah keburu meninggal dunia sebelum mereka mengerti kekristenan dengan benar.

Tapi yang paling kasihan adalah orang-orang yang setiap hari memperkenalkan kekristenan kepada orang lain padahal diri mereka sendiri sama sekali tidak tahu apa-apa. Jadi bukan saja ada orang yang belum sempat memahami dan sudah meninggal dunia, ada juga orang yang belum sempat memahami sudah berani mengajar orang lain, sehingga mereka bukan hanya tidak bisa menunjukkan nilai kekristenan sesungguhnya kepada dunia, bahkan diri mereka sendiri juga tidak menikmatinya dan hidup mereka tentu tidak berbeda dengan mereka yang bergumul dengan alam: tanpa arah dan tanpa prinsip.

Kebudayaan membuat manusia berniat dan berusaha melampaui alam. Maksudnya, tak perduli di dalam masyarakat yang paling maju teknologinya atau di antara bangsa yang paling primitif dan belum beradab sekalipun, kita akan menemukan sifat yang sama, yang melampaui alam, yang menguasai alam, yang menang atas alam, yang memanfaatkan alam, dan yang membuat alam takluk di bawah dirinya.

Inilah yang menyebabkan manusia tidak dapat dimusnahkan oleh binatang buas, melainkan tetap hidup di dunia ini. Manusia telah menaklukkan alam dengan kebudayaan. Manusia dapat menggunakan benda sebagai alat, dapat menjadikan hasil tanah sebagai suplai kebutuhan hidup dan dapat memakai semua fungsi yang transendental ini untuk mengubah prinsip alam sebagai hamba manusia.

Bila kita pergi ke daerah pedalaman, kita akan menemukan alat-alat yang mereka pakai, baik yang terbuat dari batu, kayu, bambu yang sangat sederhana, tetapi mempunyai hikmat yang tinggi. Orang-orang primitif memakai alat-alat itu untuk memelihara hidup mereka dan khasiatnya tidak berbeda dengan bom atom yang digunakan oleh manusia modern.

Menaklukkan alam adalah satu fungsi terbesar dari manusia, namun manusia juga menemukan bahwa sifat manusia yang bisa menaklukkan alam ini akan dihancurkan oleh alam. Maksudnya, manusia menaklukkan alam tapi pada waktu tua dan mati, manusia akan dikebumikan oleh alam. Jadi sebenarnya manusia yang menaklukkan alam atau alam yang menaklukkan manusia? Saling menaklukkan dan akhirnya ditaklukkan.

Manusia melampaui alam, tapi akhirnya manusia harus dikebumikan oleh alam. Manusia boleh saja memiliki tanah yang amat luas, tapi yang dia peroleh hanyalah sebidang tanah yang luasnya 2×1 meter saja. Kebudayaan pada akhirnya telah mendatangkan kehancuran bagi sifat manusia. Betapa ironis!

Lalu muncullah sifat lain yang ingin melebihi sifat pertama, yaitu yang disebut sifat agama. Sifat agama bukan saja memberikan rasa tanggung jawab moral dan kelakuan, memberikan kesadaran akan kekekalan yang melampaui kesementaraan, juga memberikan arah ibadah kepada Dia yang kekal. Lalu apakah akibat dari sifat agama ini?

Kita berharap bahwa di balik fakta yang menaklukkan kita dan pengalaman yang kejam itu terdapat sesuatu yang melampaui semua ini, sehingga suatu hari pada waktu kita tinggalkan dunia ini, kita masih tetap berada bahkan sampai selama-lamanya di dalam kebahagian yang kekal, di dalam nilai pengharapan yang kekal. Itulah segala yang bersifat masyarakat, yang bersifat politik maupun yang bersifat otonomi tidak mampu membasmi yang bersifat budaya dan agama. Manusia disebut manusia karena manusia dapat melampaui dan menaklukkan alam. Manusia yang hanya dapat menaklukkan alam tidak termasuk orang hebat, tapi mereka yang bisa sungguh-sungguh melampaui alam baru disebut orang hebat. Jadi kita bukan hanya memiliki hukum untuk menaklukkan alam, tapi juga memiliki arah dan hukum kekal. Dengan demikian barulah kita memiliki pengharapan dan arah yang kekal.

Kita telah membahas tentang pentingnya sifat budaya dan sifat agama dengan jelas. Lalu dari manakah sifat agama? Darimanakah sifat budaya? Kita tidak boleh menganggap sifat budaya dan sifat agama sebagai produk alam, juga tidak dapat menyebutnya sebagai proses evolusi. Bukan saja orang Kristen menolak pendapat ini, bahkan para ahli evolusi juga mengakui bahwa sifat ini sendiri pasti mempunyai sumber lain dan sumber itu adalah Allah yang menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya.

Manusia dicipta sesuai dengan gambar dan rupa Allah, jadi keberadaan Allah adalah dasar dari sifat budaya dan sifat agama. Allah adalah sumber utama dari sifat budaya dan sifat agama manusia. Sifat budaya dan sifat agama membuat manusia tidak bisa tidak memikirkan kebenaran-kebenaran penting, seperti keberadaan Allah dan hubungan langsung antara manusia denganNya. Ahli agama memikirkan tentang Allah, para ahli budaya juga demikian. Ahli agama merenungkan tentang relasi manusia dengan kekekalan, ahli budaya merenungkan tentang nilai kekekalan itu sendiri. Ahli agama merenungkan tentang hal-hal yang melampaui alam, ahli budaya juga merenungkan bagaimana menaklukkan alam.

Agama dan budaya mempunyai topik dan wilayah pemikiran yang sama tapi apakah agama itu budaya atau budaya itu agama? Bolehkah kita memperlakukan kebudayaan sebagai agama atau memperlakukan agama sebagai kebudayaan? Bolehkah kita membudayakan agama atau meng-agama-kan kebudayaan? Apakah agama yang sudah dibudayakan adalah agama yang murni atau budaya yang sudah diagamakan adalah budaya yang murni? Siapakah yang menetapkan jaminan dari sifat agama ini? Siapakah yang menetapkan nilai dari sifat budaya? Di sepanjang sejarah, manusia terus mengadakan evaluasi atas kebudayaan yang telah lalu untuk dikukuhkan atau ditolak.

Tatkala orang Spanyol ingin memperingati jasa Colombus yang ke-500 tahun, banyak orang menolak karena menganggap dia sebagai seorangpembunuh, seorang yang berambisi besar, dan seorang perampok. Jadi siapa Colombus, pahlawan atau penjahat? Ini relatif sekali.

Maka penetapan nilai dari sifat agama dan sifat budaya tidaklah berasal dari dalam diri manusia karena manusia adalah relatif, tidak mempunyai kuasa dan kemampuan untuk memberikan penetapan yang mutlak. Jadi penetapan itu hanya dapat dilakukan oleh Allah.

BAB III : DOSA DAN KEBUDAYAAN.

WAHYU UMUM

Apakah dasar penetapan nilai dari sifat agama dan sifat budaya itu? Kedaulatan dan wahyu Allah yang mutlak dan bijaksana. Kedaulatan Allah yang mutlak dan wahyu-Nya yang penuh hikmat bukan saja menetapkan, tapi juga memberikan inspirasi dan menggerakkan manusia untuk berbudaya. Dengan inisiatif-Nya sendiri Allah memberikan inspirasi yang berdasarkan kedaulatan-Nya untuk menyatakan hikmat-Nya, yang adalah sumber dari kebudayaan. Agama dan budaya adalah respon manusia terhadap wahyu Allah, yaitu wahyu umum (yang berlainan dengan wahyu khusus). Wahyu umum lebih berkaitan dengan alam, sementara wahyu khusus berkaitan dengan keselamatan. Yang kita bahas sekarang adalah wahyu umum. Pada saat wahyu umum diberikan, manusia memberikan respon karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat memberikan respon kepada Allah.

Pernahkah Saudara mengunjungi pameran lukisan, pameran barang-barang seni, pameran sutra, atau pameran barang-barang antik? Ada sebagian orang yang melihat-lihat lalu pergi, sama sekali tidak memberikan respons. Tetapi ada yang sambil melihat menyatakan kekagumannya dan mulai berbicara dan berkomentar. Ini memperlihatkan dia mulai memberikan respon. Pernahkah kita melihat seekor kucing yang dapat berdialog dengan barang-barang seni? Sekalipun kita membawa seekor anjing yang sangat pandai ke museum seni, dia juga tidak akan memberikan respons karena kemampuan untuk memberi respons hanya ada pada manusia.

Tatkala orang lain sedang membahas sebuah topik yang penting, sudahkah Anda menyimak apa yang dibahasnya atau Anda hanya memperlihatkan kesalahan tata bahasanya atau penampilannya?

Manusia yang dapat berespon terhadap wahyu umum Allah adalah orang yang menggunakan sifat manusia yang Allah ciptakan dengan baik.

Mengapa ada orang yang sambil membaca Alkitab sambil mengumpat Kekristenan? Karena dia tidak dapat menerima kebenaran yang ada di dalamnya, hanya mencari kesalahan saja. Maka, orang yang sama sekali tidak tergerak pada saat dia mendengarkan kebenaran yang penting, masalahnya bukan terdapat pada kebenaran itu, tetapi pada dirinya sendiri.

Wahyu umum yang diberikan Allah sudah selayaknya mendapat respons, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat memberikan respons terhadap wahyu Allah. Pada saat manusia tidak memanfaatkan fungsi respons ini, hidupnya pasti sangat mekanis, superfisial, dan membosankan, sekalipun mungkin dia masih dapat menikmati kebahagiaan dari hal-hal bersifat materi, jasmani, yang sementara, dan yang bersifat sensasi, tetapi dia tetap mendapati bahwa hidupnya hampa.

Respons manusia terhadap Allah akan timbul dari dua segi, yaitu :

(1). Respons eksternal (lahiriah) terhadap wahyu umum Allah, mengakibatkan timbulnya tindakan budaya atau aktivitas budaya.


(2). Respons internal (batiniah) terhadap wahyu umum Allah, mengakibatkan timbulnya aktivitas agama.


Secara ketat dapat dikatakan bahwa kultur dan agama adalah respon dasar manusia terhadap wahyu Allah. Jika kita tidak menemukan hubungan dari asal-usulnya, kita cenderung menganggap agama adalah suatu hal yang biasa, padahal tidaklah demikian. Renungan yang paling mendalam bagi seorang ahli agama adalah hubungan antara Allah dan manusia, dan bagi seorang ahli budaya adalah bagaimana memanifestasikan Allah. Dengan demikian agama merupakan satu perasaan yang agak bersifat internal, perasaan yang menerima wahyu, sedangkan budaya merupakan semacam ekspresi eksternal. Sebab itu sebuah karya sastra yang teragung akan mengungkapkan hubungan manusia dengan Allah yang melampaui sejarah dan transenden. Demikian juga karya seni yang teragung bukan hanya sekedar mengekspresikan perasaan rohani yang terdapat di dalam sifat manusia, tetapi juga mengekspresikan hubungan antara perasaan tersebut dan Allah. Jelas bahwa semua hal yang melampaui alam ini bukan merupakan produk alam, melainkan berasal dari Allah yang transenden. Itulah sebabnya manusia harus berespon terhadap Allah. Inilah yang disebut berasal dari Dia, bergantung pada Dia dan bagi Dia, karena Alkitab mengatakan, “Manusia dicipta Allah, melalui Allah, bersandar pada Allah dan bagi Allah” (Roma 11:36).


Pusat dari kebudayaan dan agama adalah hikmat Allah sendiri. Tatkala manusia dapat menyatakan dan mengenal hikmat Allah, barulah kebudayaan dan agama mencapai nilai dan makna sesungguhnya. Agama dan budaya mencapai puncak yang sesungguhnya pada kesadaran akan nilai. Manusia beragama adalah manusia yang mempunyai hikmat. Mereka yang memiliki bakat melukis, mengarang lagu yang agung, juga merupakan orang yang memiliki hikmat. Tetapi sampai di manakah manusia menuntut hikmat? Lalu siapakah pusat hikmat yang dicarinya? Alkitab langsung memberi tahu kita bahwa pusat hikmat adalah Yesus Kristus. (Ini memerlukan penjelasan, yaitu Krisitologi yang berkaitan dengan wahyu umum, yaitu kebudayaan dan agama berbeda penekanan dengan Krsitologi yang berkaitan dengan wahyu khusus, khususnya soteriologi.)


Respons terhadap wahyu umum Allah membuat manusia menemukan tiga jenis kewajiban yang harus dipenuhi :


1). Kewajiban karena keberadaanku, keberadaan transcending nature, yaitu keberadaan untuk menopang alam. Jadi, bukan sekedar mengontrol dan mengatur alam, tetapi juga memperbaiki alam. Alkitab mengajukan tiga macam prinsip : mengelola, mengatur, dan memperbaiki. Kita mengatur alam berarti kita harus menjadi tuan atas alam. Kita mengelola alam berarti kita berkewajiban mengurus dan mengatur alam. Kita memperbaiki alam berarti kita berkewajiban memperbaiki, memelihara, dan melindungi alam. Memasuki akhir abad kedua puluh ini, kita menemukan bahwa krisis karena perusakan alam sudah berada di depan kita, berarti kita tidak melaksanakan prinsip penciptaan Allah yang terdapat dalam Kejadian 1 dan 2. Saat kita mencapai puncak dari kemajuan teknologi, kita juga menemukan bahwa manusia tidak berdaya melindungi alam yang indah ini. Jika kebudayaan tidak mengaku telah dikuasai oleh Kejatuhan, berarti kebudayaan telah menipu diri sendiri, juga menipu orang lain.


2). Respons yang kedua terhadap wahyu umum Allah adalah bagaimana mengurus diri kita sendiri. Bagaimana kita mampu membatasi diri sehingga kita bisa menjadi manusia yang bertanggung jawab, baik terhadap alam, diri sendiri, orang lain, maupun Allah. Mengatur diri sendiri berada di atas mengatur alam.


3). Karena kuasa mengatur alam dan diri sendiri inilah maka timbullah respons beribadah dan takut akan Allah. “Aku bersyukur kepada-Mu karena alam. Aku mau bertanggung jawab atas alam karena Engkau telah memercayakan soal pengaturan alam ini kepadaku. Aku memuliakan-Mu karena rahasia yang kudapatkan pada saat menelkiti alam. Aku merasa kagum terhadap rahasia, hikmat, dan rancangan penciptaan yang tersembunyi dalam alam.“


Akibat dari penemuan terhadap rahasia ciptaan adalah rasa takut akan Allah, Pencipta alam semesta. Dan, hasil yang nyata dari takut akan Allah adalah rasa tanggung jawab terhadap alam. Ini adalah kelakuan yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan, karena ilmuwan mewakili seluruh umat manusia untuk menemukan fungsi yang Tuhan berikan pada manusia dalam hal mengatur, memahami, dan memperbaiki alam. Sedangkan ahli agama mewakili seluruh umat manusia untuk mengembalikan kemuliaan kepada Allah. Dengan demikian, agama dan kebudayaan telah melakukan fungsi yang sebenarnya.

BAB IV : DOSA DAN KEBUDAYAAN.

FAKTA KEJATUHAN DALAM DOSA

Di dalam proses hukum alam ini, kebudayaan telah berusaha dengan keras, begitu juga dengan agama, namun nyatanya telah terjadi suatu hal yang ironis, yaitu hal yang seharusnya dicapai oleh kebudayaan justru tidak tercapai. Demikian juga hal yang seharusnya dicapai oleh agama tidak tercapai dengan sungguh. Berarti di dalam tugas mengatur alam, manusia menemukan bahwa dirinya tidak berdaya menaklukan alam, juga tidak berdaya menaklukan diri sendiri. Di dalam proses mengelola dan mengatur alam inilah manusia justru menjadi perusak alam yang paling hebat.

Di manakah posisi manusia di tengah-tengah alam ini? Apa yang harus manusia lakukan di bidang kebudayaan? Pada saat orang utan merusak barang kita, atau ketika anjing kita memecahkan barang yang berharga, kita ingin membunuhnya. Tetapi, jika dipikirkan kembali, kita mendapati bahwa mereka tidak mempunyai resiko, tidak mempunyai latar belakang kebudayaan , sehingga meskipun kita marah setengah mati, tetapi tidak dapat berbuah apa-apa. Kuasa merusak alam yang manakah yang lebih hebat: Kuasa manusia atau binatang?


Manusia mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk merusak alam. Alam semesta hari ini bukan dirusak oleh binatang tetapi oleh manusia. Limbah air sungai dari daerah industri yang telah tercemar itu mengalir ke laut dan mengakibatkan semua makhluk di lautan tercemar oleh mercuri. Sebab itu, semua hasil laut di sana menyimpan racun-racun kimia. Bukan saja demikian, hari ini pencemaran udara yang terjadi di kota-kota besar di Asia telah beberapa kali lebih parah daripada Meksiko. Kita tahu soal ozon, juga soal pembabatan hutan-hutan tropis yang semua ini disebabkan oleh ulah manusia. Allah berfirman, Hai manusia, kelolalah alam, aturlah alam.” Tetapi sudahkah manusia mengelola alam dengan sukses? Tidak! Sudahkah manusia sukses dalam hal menaklukan alam? Sudah menaklukan sebagian, tetapi sudah congkak sebelum sungguh-sungguh sukses, dan pada saat mengalami banyak kegagalan, mulai marah terhadap Allah.


Apakah makna kegagalan manusia dalam menaklukkan alam? Dan apakah makna ketidakseimbangan antara menaklukkan dan mengatur alam? Mengapa kuasa perusakan kita terhadap alam demikian besar? Hanya ada satu jawaban: Kejatuhan manusia dalam dosa merupakan sebuah fakta. Jika kejatuhan bukan merupakan fakta, lalu mengapa hari ini terjadi ketidakseimbangan yang begitu parah? Akhirnya tibalah kita pada kesimpulan: Di manakah posisi manusia yang sebenarnya? Jika posisi asal manusia berada di dalam sifat kebinatangan yang mengerikan itu, seharusnya kita merasa sangat bangga terhadap keberhasilan kita merusak alam. Tetapi apakah posisi asal manusia memang demikian? Jika benar, lalu adakah keberadaan yang disebut evolusi di dalam proses sejarah kita yang begitu panjang? Mengapa Perjanjian Lama sema sekali tidak menyinggung akan pandangan ini? Alkitab orang Kristen memberitahukan bahwa leluhur kita lebih tinggi daripada kita. Meskipun hari ini ada keberhasilan yang hebat di bidang kebudayaan, sains ilmiah, dan teknologi, tetapi tetap tidak mampu membawa manusia kembali ke posisi asal pada saat ia diciptakan.


Apakah lawan kata dari kejatuhan? Evolusi. Sebab itu evolusi bukan saja merupakan topik ilmu alam, tetapi juga merupakan masalah theologi. Kita memang tidak boleh sembarangan mengkritik karya ilmiah, karena hal tersebut tidak akan dilakukan oleh orang-orang yang sungguh mencintai kebenaran. Tetapi kita juga tidak boleh menerima hal-hal yang tidak ilmiah sebagai yang ilmiah. Jika evolusi itu benar, maka Kejatuhan tentu salah. Jika evolusi salah, maka Kejatuhan benar. Apakah manusia yang tadinya rendah lalu berevolusi dan mencapai puncaknya pada hari ini? Atau manusia justru dari posisi awal yang tinggi lalu jatuh ke posisi yang demikian rendah?


Ini adalah topik yang sangat penting dan perlu direnungkan. Pertanyaan pertama yang diajukan kepada manusia yang telah berdosa, ” Di manakah engkau?” (Kejadian 3:9), menunjukkan posisi manusia dari tempat yang tinggi merosot ke tempat yang rendah! Apakah timbulnya kebudayaan adalah akibat dari Kejatuhan? Apakah timbulnya kebudayaan juga mengandung benih Kejatuhan? Apakah hasil dari kebudayaan tidak dapat luput dari unsur Kejatuhan?


Harapan saya adalah pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat merangsang kita untuk lebih banyak berfikir; mendorong kita untuk merenungkan bahwa di dalam kebudayaan, tersembunyi fakta Kejatuhan, suatu hal yang tidak terlalu diperhatikan oleh para sarjana kebudayaan. Oleh sebab itu, Alkitab mewahyukan rahasia ini kepada kita., Tatkala kebudayaan dengan pelbagai cara meningkatkan kebijaksanaan manusia untuk dapat memahami lebih mendalam, maka perangsang terhadap kebijaksanaan itu telah membuah-kan keberhasilan yang unik. Namun sejarah memiliki prinsip sirkulasi yang tampak dalam diri penguasa yang menggunakan kesuksesan untuk lebih leluasa menguasai. Kuasa politik memperalat kekuatan kebudayaan. Ini juga merupakan salah satu sebab di nmana kebudayaan dapat tetap terpelihara di dalam sejarah.


Apakah kebudayaan yang dipengaruhi oleh kuasa politik dapat sungguh-sungguh mempertahankan motivasi dan prinsip untuk bersaksi bagi kebenaran? Ini merupakan suatu tanda tanya. Kuasa politik yang berkembang sampai puncaknya, sering kali terwujud sebagai kekerasan. Sarjana kebudayaan, filsuf dan sejarawan Barat pernah memperhatikan suatu fenomena unik, kuasa yang paling besar dan sempurna seringkali berakhir dengan kehancuran yang total. Akhirnya, di balik kuasa politik inilah keberhasilan kebudayaan diserahkan kepada barbarianisme. Dan tatkala barbarianisme ini kembali merajalela di dalam masyarakat, maka tidak akan ada satu kebudayaan baru yang timbul (kecuali hati yang mempunyai sifat penciptaan muncul kembali).


Di tempat yang paling barbar sekalipun Anda dapat menemukan bukti arkelogis bahwa di sana pernah ada suatu peradaban tinggi. Hal ini membuktikan bahwa peradaban sendiri bukan merupakan sesuatu yang selama-lamanya tidak akan musnah atau sesuatu yang mantap. Di dalam setiap peradaban itu terdapat kemungkinan dimusnahkan atau meledak dengan sendirinya. Dengan kata lain, bom waktu telah ada di dalam setiap peradaban. Meskipun demikian, tidak satupun kehancuran kebudayaan yang tidak membuat manusia menyusun kembali satu kebudayaan yang baru.


Abad kesembilan belas menaruh pengharapan yang terlalu optimis terhadap abad kedua puluh. Pada awal abad kedua puluh timbul rasa percaya diri yang terlampau ekstrem. Sekarang kita menghadapi tahun-tahun terakhir dari abad kedua puluh, ternyata suatu gerakan yang unik, yaitu gerakan zaman baru (new age movement) melanda di sekitar kita. Terbukti bahwa dunia kita ini bukan dunia yang baru, tetapi satu dunia yang amat tua.


Kita telah menyinggung tentang barbarianisme zaman modern yang dengan istilah demokrasi mengusik keberadaan kita. Di dalam konsep para budayawan yang ternama, ada prinsip bahwa kebudayaan itu berbeda dengan peradaban. Kebudayaan dipersiapkan bagi keberadaban, puncak dari kebudayaan adalah keberadaban, sedangkan akar dari keberadaban adalah kebudayaan. Abad kedua puluh satu akan menjadi abad yang telah banyak diamati, diobservasi, dan dipersiapkan dengan kerja keras oleh orang orang non-Kristen, sedangkan orang Kristen malah tertidur di istana gading dengan tanpa sadar. Hari ini sedikit sekali orang yang menyadari bahwa Kekristenan kita telah bergeser begitu jauh dari tempat asalnya dan tidak sadar akan tanggung jawab yang harus diembannya.


Ketika manusia diciptakan, dia memiliki respon yang bersifat budaya. Maka tatkala Allah memberikan wahyu umum kepada manusia, satu-satunya makhluk yang dapat memberikan respon terhadap wahyu Allah, telah memberikan respon terhadap Allah, baik secara budaya maupun agama. Sistem nilai yang bersifat internal, yang timbul sebagai reaksi terhadap wahyu umum, tercakup dalam wilayah agama; sedangkan reaksi lahiriah/eksternal terhadap wahyu umum tercakup dalam wilayah kebudayaan. Kebudayaan adalah sesuatu yang serius, demikian juga dengan agama. Kebudayaan dan agama tidak dapat dimusnahkan, termasuk tidak ada kuasa perang yang mampu menghancurkannya. Para politikus ingin memperalat agama, juga memperalat kebudayaan, karena mereka tahu benar bahwa kedua macam kekuatan ini akan memberikan manfaat besar dan kemudahan bagi kuasa kepemimpinan mereka. Pada waktu kuasa politik hancur, kebudayaan dan agama masih dapat terus merajalela.


Ketika kebudayaan memberikan respon terhadap wahyu Allah, maka timbulah wilayah kehidupan manusia yang bertalian dengan alam. Cakupan dari wilayah ini begitu luas. Dari hal yang kecil, seperti cara berpakaian, bersepatu, berbicara hingga masalah yang besar yaitu bagaimana mempertahankan pernyataan (statement) Anda yang agung, konsep nilai yang ada dalam pemikiran Anda untuk membedakan pengaruh yang berjangka panjang pada sejarah dan sebagainya, semuanya tercakup di dalam kebudayaan.


Apa yang dicakup oleh kebudayaan? Kebudayaan mencakup bahasa, pemikiran, aktivitas, limitasi tingkah laku, segala adat istiadat, semangat, dan arah masyarakat, semua ekspresi sastra dan seni. Ditinjau dari segi logika, kebudayaan mencakup filsafat, pendidikan, dan pemikiran. Ditinjau dari segi emosi, kebudayaan mencakup musik, sajak, ekspresi manusia secara emosional dalam suka, duka, marah dan sebagainya. Ditinjau dari segi moral, kebudayaan juga mencakup standar apa yang akan kautetapkan sebagai dasar dari kewajiban dan tingkah laku manusia. Ditinjau dari segi kehendak, kebudayaan memberikan pengaruh bagi konsistensi dan semangat juang suatu bangsa, kebudayaan memberi pengaruh bagi perjalanan seluruh bangsa untuk maju terus.


Mengapa filsafat yang paling digemari oleh Hitler adalah filsafat Nietzsche dan musik yang paling digemarinya adalah musik Richard Wagner? Karena dia menganggap kehendak dan kuasa Nietzsche telah melengkapi bangsa Jerman dengan semangat yang luar biasa. Dia juga menemukan bahwa semangat yang terdapat dalam drama musik Richard Wagner telah memberikan pengharapan yang berapi-api bagi bangsa Jerman. Dengan demikian, dia ingin membangun semangat bangsa Jerman di atas kehendak dan perjuangan yang tak terhingga, yang berada jauh di atas bangsa-bangsa lain. Sebab itu, tatkala kita mengamati kebudayaan Jerman, kita temukan bahwa mereka mendapatkan semangat kebudayaan dalam kecermatan dan ketepatan yang serius dari reformasi agama. Dari tradisi inilah Jerman mewarisi semangat juang yang tak kenal kompromi. Maka budaya telah membangun dasar, baik pada segi logika, emosi, kehendak, moral, kehidupan, maupun setiap lapisannya. Bahkan kita dapat menyatakan bahwa semua keberhasilan dalam perjalanan hidup manusia adalah keberhasilan yang diwarnai oleh kebudayaan, sampai-sampai wilayah kebudayaan juga mencakup sistem agama.


Kita telah membahas bahwa respon manusia terhadap wahyu umum terdiri dari yang bersifat kebudayaan dan yang bersifat agama. Kebudayaan termasuk respon yang bersifat eksternal dan agama adalah respon yang lebih bersifat internal. Di antara kedua wilayah ini terdapat satu wilayah yang dapat membuat keduanya menjalin komunikasi, yaitu wilayah etika. Tidak ada satu pun agama yang agung yang tidak membangun esensi sejati, kebaikan dan keindahan di dalam wilayah moral. Demikian juga tidak ada satu pun kebudayaan yang agung yang tidak membangun esensinya di atas etika, di atas kesejatian, kebajikan dan keindahan. Maka, inilah tanggung jawab agama. Dan ketika wilayah ini menuju ke arah yang destruktif maka krisis kebudayaan pun tiba.


Sejak dini Mencius telah memikirkan tentang masalah ini. Menurutnya, bila seluruh negara akan menjadi makmur, maka akan terlihat tanda-tanda yang baik. Bila sebuah negara akan hancur, maka setan-setan pun bermunculan. Bila setan-setan sudah bermunculan, tandanya negara itu sudah akan tamat. Saya telah melihat banyak kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalam masyarakat komunis, tetapi dari segi etika masih terdapat sebagian hal yang tetap ingin mereka pertahankan prinsipnya agar mereka dapat bertahan untuk suatu jangka waktu tertentu. Dari segi politik terdapat banyak taktik yang tidak jujur, dari segi keuangan terdapat keegoisan dan ketamakan. Namun dari segi etika, khususnya etika seksual, mereka berharap masih dapat mempertahankan standar pada tahap-tahap tertentu.


Sebab itu, bukannya tidak ada kasus perceraian yang terjadi di dalam negara komunis, namun kasus broken home justru lebih banyak terjadi di dalam masyarakat demokratis yang dipengaruhi oleh kebudayaan yang terlalu bebas. Persentase perceraian di Florida dan California, dua negara bagian paling makmur di Amerika, sudah melampaui 100 persen. Mungkin Anda bertanya, mana mungkin bisa bercerai lebih dari 100 persen? Karena seseorang dapat saja melakukan dua kali perceraian. Bukan saja demikian, penyakit AIDS yang disebabkan oleh homoseksual boleh dikategorikan di dalam fenomena “setan-setan” seperti yang dikatakan oleh Mencius.


Kekaisaran Romawi mempunyai wilayah kekuasaan yang terbesar di dunia dan memiliki kuasa militer yang terkuat dalam fakta sejarah, namun akhirnya digulingkan oleh orang-orang barbar. Filsuf Prancis berkebangsaan Amerika yang bernama Will Durant mengatakan Kekaisaran Romawi tidak dihancurkan dari luar, namun hancur dari dalam. Maka, musuh yang terbesar dari segala kebudayaan terdapat di dalam kebudayaan, bukan di luar kebudayaan. Mengapa suatu kebudayaan mempunyai kemungkinan mengalami kehancuran secara mendadak pada saat mencapai puncaknya? Setelah merenungkan, meneliti, dan memperbandingkan, saya menemukan hanya Alkitab yang dapat memberikan jawaban yang sejati, yaitu bahwa Kejatuhan pernah menjadi fakta di dalam sejarah, pengaruh yang ditinggalkan oleh Kejatuhan merupakan suatu kekuatan dinamis yang tidak pernah berhenti dalam sejarah.

BAB V : DOSA DAN KEBUDAYAAN.

MANDAT BUDAYA

Dosa merupakan satu fakta dan merupakan suatu kekuatan yang terus-menerus tak pernah berhenti. Sebab itu apabila kebenaran yang dikenal oleh kaum Injili adalah begitu penting, begitu dalam dan begitu tepat, Anda akan tahu bahwa tanggung jawab kita adalah begitu besar. Tatkala kaum modernis berkompromi pada yang disebut ilmiah atau pengetahuan baru abad ke-19, sebenarnya mereka telah menjual hak kesulungan diri mereka sendiri secara tidak sadar, karena mereka sudah tidak berdaya untuk berdiri tegak, untuk mengarahkan dan memimpin kebudayaan kepada kebenaran.

Di dalam teologi Reformed, kita melihat dengan jelas bahwa tugas gereja Tuhan bukan hanya pada satu aspek saja. Apakah tugas itu? Yaitu memberitakan Injil ke seluruh permukaan bumi. Hari ini, banyak gereja yang mengetahui akan tugas ini, tapi mereka lari kian kemari sampai orang-orang yang ada di sekitar mereka pun tidak mampu mereka menangkan. Banyak gereja mengetahui kewajiban ini, namun sibuk kian ke mari sampai orang yang berada di sekitarnya tidak berkesempatan diinjilinya.

Gereja bahkan tidak melaksanakan amanat agung yang pertama. Bila gereja dapat sungguh-sungguh melaksanakan amanat agung yang pertama ini, apakah berarti gereja telah menunaikan tugas yang harus dilaksanakannya di bumi ini? Inilah yang disebut dengan The Gospel Mandate. Banyak gereja-gereja Injili mnengetahui harus melaksanakan tugas ini, namun gereja-gereja modernis tidak mengetahui dengan jelas akan apa yang disebut Injil.


Teologi Reformed dengan jelas menemukan bahwa amanat yang Alkitab berikan kepada kita bukan hanya mandat Injil saja. Selain memberikan mandat Injil, Allah juga memberikan mandat budaya.


Apa yang dimaksud dengan mandat budaya? Yaitu di dalam kebudayaan, kita harus memakai Firman Allah untuk mempengaruhi dunia ini. Orang Kristen tidak sepantasnya hanya duduk di bangku gereja, mengobrol sambil menantikan masuk sorga. Kita boleh memiliki gedung greja yang ber-AC, memiliki musik yang harmonis, memiliki paduan suara yang terbaik namun kita juga perlu memperhatikan akan sumbangsih kita terhadap dunia ini. Hari ini banyak orang yang memahami mandat budaya dan sumbangsih terhadap dunia hanya dengan cara memberikan sedikit sumbangan uang untuk menyantuni orang miskin. Kekristenan yang demikian belum menunaikan rencana yang sempurna yang telah Allah tetapkan bagi kita. Apakah mandat budaya itu? Yaitu Kristus menjadi yang utama di dalam segala hal.


Untuk apakah mandat budaya? Yaitu untuk memancarkan terang wahyu khusus yang Tuhan wahyukan kepada seisi dunia. Karena terang alami itu kurang cukup, maka perlu diterangi oelh terang supra-natural.


Ada orang bertanya: “Siapakah terang yang supra-natural itu?” Kristus. Tugas kita adalah membawa Kristus dan semangat Kristus itu kepada setiap lapisan budaya. Sebab itu sebagai orang Kristen, engkau yang berada di dunia bisnis harus mewakili terang Kristus; engkau yang sebagai dosen sedang mewakili terang Kristus di dunia pendidikan; sebagai dokter Kristen, engkau sedang mewakili terang Kristus di dunia kedokteran; sebagai seorang pekerja sosial, engkau harus mengembangkan semangat kebenaran Kristus di dalam masyarakat. Kita tidak dapat hanya saling menerangi di dalam gereja saja. Adakah kita juga menjadi terang di dalam masyarakat? Jika kita adalah tokoh penting dari kalangan ekonomi, bisnis, pendidikan, juga yang berpotensi dalam dunia politik, hukum, perbankan, bila kita membawakan semangat Kristus ke dalam masyarakat, pengaruhnya tentu akan sangat besar. Mandat budaya merupakan hal yang sangat penting di dalam teologi Reformed.


Sekarang marilah kita membicarakan tentang mandat buidaya dan keberhasilan yang dicapai oleh kebudayaan. Proses sejarah memper-lihatkan bahwa manusia telah membuahkan keberhasilan kebudayaan. Tetapi apakah keberhasilan kebudayaan sudah selaras dengan mandat budaya? Kita menemukan kesenjangan yang sangat besar di antara kedua hal ini. Lalu mengapa kesenjangan ini bisa terjadi? Kesenjangan ini adalah suatu fakta bahwa kita mempunyai konsep mandat buidaya, sebab itu kita berjuang, kita bekerja keras, berharap dapat mencapai mandat budaya itu dengan kerajinan yang kita miliki, kemudian kita mulai mendapatkan sedikit keberhasilan. Keberhasilan ini disebabkan oleh desakan yang bersifat budaya. Jadi, dari manakah sifat budaya ini? Kebudayaan itu sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan ini. Kita selalu beranggapan bahwa semuanya ini memang demikian adanya. Kadang-kadang saya berpikir dan berpikir sampai tidak dapat berpikir lagi mengenai hal ini.


Semula pada waktu Allah menciptakan anjing, waktu itu tidak ada mobil. Tetapi sekarang setiap anjing yang dilahirkan menyaksikan banyak mobil, padahal nenek moyang mereka belum pernah tahu apa itu mobil. Anjing zaman sekarang mengira bahwa dunia memanglah demikian. Sebenarnya dunia bukanlah demikian, tetapi dianggap demikian. Ini yang disebut “take it for granted.” Bila kita membalikkan sejarah sampai pada satu masa, kita akan menemukan bahwa semua yang kita nikmati hari ini, yang kita anggap biasa, sebenarnya merupakan hasil jerih payah banyak orang.


Coba pikirkan 200 tahun yang lampau. Raja sekali pun akan merasa sakit punggungnya kalau dia harus duduk terus-menerus selama dua jam, karena kursi yang didudukinya terbuat dari kayu, bukan kursi elastis yang terbuat dari spon seperti yang terdapat pada hari ini. Dari kursi kayu sampai kursi elastis telah melewati perjuangan, pemerasan otak sampai tidak dapat tidur, berkeringat sampai basah kuyup baru menemukannya. Semua keberhasilan kebudayaan ini adalah fakta yang kita nikmati dan kita gunakan pada hari ini.


Proses dari menemukan satu benda sampai menikmati keberhasilan itu adalah perjuangan dan bekerja keras. Manusia berjuang dan bekerja keras baru mendapatkan hasil. Yang benar-benar ditunjukkan manusia di dalam pencapaian hasil ini adalah menggunakan kemungkinan yang ada di dalam alam. Yang sungguh-sungguh manusia capai adalah kekuatan untuk menaklukkan alam.


Tujuan kebudayaan adalah menaklukkan alam. Tujuan agama adalah mengungguli alam. Tatkala kebudayaan ingin menaklukkan alam, ada perjuangan, ada pengorbanan. Adakah kau merasa puas atas keberhasilan yang telah engkau capai? Di sinilah kita menemui fenomena kontradiksi, di satu pihak kita memang merasa puas, tetapi di pihak lain kita juga merasa kurang begitu puas. Tatkala orang lain menilai kita kurang sukses, kita akan merasa jengkel. Tetapi tatkala engkau berkata kepada dirimu sendiri bahwa engkau sudah cukup sukses dan tidak perlu bekerja keras lagi, engkau juga mnerasa takut. Pengalaman hidup ini mengajarkan kepada kita, “Inilah yang memuaskan, itu yang tidak memuaskan.” Semua itu adalah kontradiksi yang timbul dari rhetoric kebudayaan.


Jika seorang ibu mengatakan kepadamu bahwa anaknya nakal sekali, janganlah engkau membenarkannya, karena dengan menjawab demikian akan menghasilkan rintangan budaya dalam hubungan itu. Sebaliknya, Saudara menjawab bahwa anaknya memang nakal, tetapi pintar sekali, maka orang itu akan puas. Di manakah letak permasalahannya? Di tengah proses perjuangan, kesuksesan yang dicapai tetap mengandung permasalahan. Kita menemukan bahwa ketidak-seimbangan yang sesungguhnya itu memang ada. Ketidak-seimbangan itu adalah antara hal yang kita harapkan dan realita yang kita capai, yang adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Apa yang terdapat dalam idemu, di dalam angan-anganmu, apa yang berada di dalam rasio dan yang terdapat di dalam realita, di dalam keberhasilan kita yang sungguh dan yang kita temukan dan yang diberikan kepada kita saat ini terdapat ruang yang sangat besar.


Tatkala kita melihat perbedaan yang terdapat pada fakta dan ide yang terdapat di dalam diri kita, sungguh kita merasa tidak puas. Namun tatkala kita menengok akan masa dahulu ketika hal tersebut belum ada sampai keberhasilan yang sekarang kita capai, baru kita akan merasa puas. Maka fenomena paradoks ini mengungkapkan beberapa hal yang sangat penting: Adakah yang kita capai itu telah mendapat hal yang seharusnya dicapai? Apabila telah mencapainya, mengapa kita masih merasa kurang puas? Apabila belum mencapainya, mengapa kita tidak mampu mencapainya? Semua ini semakin dipikir semakin membingungkan. “Aku sudah cukup bekerja keras, namun sudahkah aku mencapai apa yang seharusnya aku capai?” Saya katakan sekali lagi, jika telah mencapai hal yang harus dicapainya, mengapa manusia masih merasa tidak puas?


Jika kau tanyakan pada Beethoven, apakah arti kesuksesan? Dia kan menjawab, “Apakah saya yang seumur hidup hanya menulis beberapa lagu sudah harus meninggalkan dunia ini dapat disebut sukses?” Kalau kita tanyakan kepada Bach, komponis yang amat preoduktif, adakah dia sukses? Dia akan menjawab, “Bila Anda dapat bekerja keras seperti aku, pasti Anda juga akan memperoleh sukses yang besar.” Kalau kita tanyakan kepada Thomas Alfa Edison, apa itu sukses? Dia akan menjawab, “Satu persen genius ditambah sembilan puluh sembilan persen perjuangan.”


Dibalik keadaan ketidak-puasan secara psikologis ini, atau dibalik pertanyaan, “mengapa kita tidak dapat mencapai apa yang seharusnya kita capai”, ada satu masalah yang lebih besar: apa yang seharusnya kita capai? Siapakah yang meletakkan konsep tentang yang seharusnya kita capai itu di dalam diri kita? Mengapa saya harus mencapai kesuksesan itu? Orang yang sukses justru tidak merasa sukses; orang yang merasa dirinya sukses justru kelihatannya tidak terlalu sukses; orang yang dianggap sukses justru merasa dirinya masih jauh dari kesuksesan. Namun orang yang merasa dirinya sukses sungguh masih jauh dari kesuksesan. Orang yang berani menuliskan rahasia kesuksesan adalah orang yang terlalu berani. Engkau akan menemukan bahwa yang menulis buku demikian itu ternyata tidak terlalu berpengaruh di dalam sejarah. Boleh dikatakan bahwa dia sedikit sukses karena banyak menjual buku semacam itu. Orang yang sungguh-sungguh agung tidak mungkin memandang kesuksesan dengan standar yang begitu dangkal dan begitu rendah.


Di sini saya temukan bahwa tidak ada seorang pun yang sanggup menyelesaikan problema tentang kesenjangan antara mandat budaya dan keberhasilan kebudayaan. Apa itu harus? Apa itu belum? Semakin engkau mempunyai tujuan yang harus dicapai, hidupmu semakin susah. Semakin engkau memberikan respon yang sensitif terhadap sesuatu yang harus engkau capai, semakin engkau merasa kesepian.


Di dalam serjarah terdapat seorang yang bernama Rossini, yang sanggup mengarang satu opera. Bahkan sampai musiknya, hanya dalam kurun waktu dua minggu. Kecepatannya menulis opera memanng sungguh mengejutkan. Sebagaimana G.F. Handel mampu menuliskan Messiah dalam waktu 23 hari, demikian juga orang ini. Di dunia seni terdapat saeorang yang bernama Peter Paul Rubens. Pada tahun 1977 saya menyaksikan 800 lembar masterpiece-nya di kampung halamannya. Museum di seluruh dunia meminjamnya untuk pameran besar-besaran.


Tiga hari yang lalu saya bertanya kepada seorang pelukis. “Berapa waktu yang Anda perlukan untuk membuat kopi dari lukisan Peter Paul Rubens?” Jawabnya, “Dua bulan”. Bila setiap lukisan yang dikerjakan dengan tidak perlu berpikir hanya mengcopy saja memerlukan waktu dua bulan, setahun hanya dapat menyelesaikan 6 lukisan, 10 tahun baru 60 lukisan. Bisakah anda melukis sampai 50 tahun? Kalaupun mampu, hanya berhasil melukis 300 lukisan. Sedangkan Peter Paul Rubens, dia sendirilah yang memikirkan, merencanakan dan melukiskannya. Dia sendiri yang mempunyai daya cipta danm daya uintuk mengekspresikannya. Seluruh struktur, ide dan topik berasal dari inovasi yang ada dalam dirinya. Bagaimanakah semua itu terjadi? Namun kecekatannya yangmenakjubkan ini menunjukkan kepada kita bahwa keberhasilan seseorang di dalam kebudayaan mempunyai taraf kesensitifan yang luar biasa, didesak oleh rasa tanggung jawab yang luar biasa, amat sensitif terhadap waktu, yang sulit ditandingi oleh siapa pun. Mengenai tekanan dan hambatan yang pernah dialami oleh orang-orang tersebut memang tidak pernah kita ketahui.


Kebanyakan orang hanya dapat merasa iri terhadap mereka. “Mengapa engkau selalu berhasil kalau engkau melukis atau engkau menulis? Mengapa engkau dapat berkarya dengan begitu cepat?” Semua itu membuat orang lain merasa iri setengah mati. Tapi saya beritahukan kepada anda, kalau Anda yang disuruh menjadi dia, mungkin dua bulan saja sudah almarhum. Sebab itu, selama hidup saya sangat menghargai talenta-talenta yang ada. Bila saya bertemu dengan seorang yang bertalenta, dengan apa yang ada pada saya, saya akan bersyukur kepada Tuhan, akan memproteksinya, membimbing, mempromosikan dan membuatnya populer.


Di dalam Kerajaan Allah, baik mandat pemberitaan Injil maupun mandat budaya dapat menggenapkan kehendak Allah yang indah. Karena saya tahu menjadi seorang genius itu sangat menderita, kita perlu memahami hal ini.


Mengapa pergumulan antara rasio dan keberhasilan, antara mandat budaya dan keberhasilan kebudayaan tidak dapat mencapai keselarasan? Alkitab mengatakan, karena kejatuhan (fall) telah ada di dunia. Orang Kristen harus melihat dengan jelas akan adanya sejarah kejatuhan yang nyata dan pengaruh kejatuhan di dalam sejarah di antara mandat budaya dan keberhasilan kebudayaan. Bila tidak, maka sikap kita terhadap mandat budaya adalah terlampau optimis yang semu atau optimis yang naif. Bila kita tidak memahami iluminasi Alkitab tentang fakta ini dengan jelas, maka krisis yang utama adalah memberikan kemuliaan yang tidak semestinya kepada keberhasilan kebudayaan. Baik terlampau optimis terhadap mandat budaya, atau terlalu meninggalkan keberhasilan kebudayaan, akan mendatangklan krisis yang sangat besar, yaitu meninggikan posisi manusia sampai pada posisi Allah dan merebut kemuliaan Allah. Kebudayaan sendiri adalah kemuliaan manusia yang tertinggi. Keberhasilan kebudayaan adalah kemuliaan seluruh umat manusia. Kebudayaan memungkinbkan timbulnya tokoh lokal, yang berpengaruh secara historikal pada suatu zaman.


Sumbangsih dan keberhasilan kebudayaan seharusnya dimiliki oleh seluruh umat manusia. Ketika keberhasilan kebudayaan ini telah dibukukan menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah di laboratorium atau keberhasilan seni yang tidak dapat dibuktikan secara laboratoris baik keberhasilan ilmiah maupun keberhasilan seni tidak cukup layak dimonopoli oleh satu bangsa atau sekelompok orang yang berada di daerah tertentu.


Bila anda pergi ke Paris, anda bisa menyaksikan lukisan Monet, keberhasilan Renoir dan juga banyak lagi masterpiece yang agung. Bila anda ke Italia, anda bisa menikmati danmerenungkan keberhasilan Da Vinci, juga bisa mewarisi semangat Michelangelo. Bila anda ke Amerika, anda bisa teringat akan rumus yang diajukan oleh Einstein, anda juga bisa membawa pulang teori E=MC² untuk mengadakan riset di negara anda, karena keberhasilan kebudayaan adalah milik kita bersama, bukan milik pribadi.


Sekarang kita sudah melihat akan fakta yang mendasar yaitu kejatuhan berada di antara mandat budaya dan keberhasilan kebudayaan. Kembali kita merenungkan mengapa di antara rasio, ideologi dan realita, keberhasilan, yang ada di dunia ini terdapat kesenjangan yangs angat besar? Kita semua memiliki konsep Summum Bonum (the highest good). Konfusius juga mengharapkan manusia bisa mencapai taraf kebajikan yang tewrtinggi dan tertulus. Manusia seharusnya mencapai the highest good. Konsep Summum Bonum ini adalah keberhasilan yang tertinggi, yang ingin dicapai oleh kebudayaan. Namun, apakah Summum Bonum itu sudah tiba? Atau pernah tiba? Apakah dapat sungguh-sungguh terwujud? Yang kita lihat adalah pertanyaan yang tidak mempunyai jawaban, karena pada puncak yang paling tinggi dari setiap kebudayaan, dan pada kedalaman dari keberhasilan yang paling puncak sekalipun, selalu tersimpan satu krisis. Juga terdapat kemungkinan menghancurkan diri sendiri. Sebab itu semua ini merupakan satu tanda tanya. Namun di luar kerja keras dan pengharapan manusia untuk mencapai Summum Bonum, ada satu sumber lain yang pernah berkunjung, yaitu Summum Bonum yang riil, yang nyata. Bukan hasil dari pergumulan, perjuangan, tetapi kedatangan dari Summum Bonum itu sendiri. Summum Bonum itu sendiri mengunjungi dunia, itulah yang disebut Kalam menjadi manusia. Kalam Allah datang dalam bentuk jasmani untuk menyatakan Summum Bonum itu senbdiri.


Sekarang saya ingin mengajak anda sekalian untuk merenungkan filsafat dua orang filsuf Jerman tentang konsep ini. Yang pertama adalah Immanuel Kant. Menurut Kant, sebelum Summum Bonum itu datang, Kita perlu tetap bekerja keras. Manusia harus menuntut dengan sekuat tenaga untuk mencapai puncak dari kebajikan yang tertinggi. Namun sebelum kita mencapai kebajikan yang tertinggi, janganlah lupa bahwa dalam sejarah terdapat seorang Nazaret yang pernah menyatakan Summum Bonum itu di tengah-tengah kita. Inilah lukisan yang jelas yang diperlihatkan Kant kepada kita. Dari mandat budaya sampai proses pergumulan keberhasilan kebudayan, kita tidak boleh kendor. Kita perlu menuntut dengan serius. Namun ada seorang yang pernah menyatakan hal itu. Pernyataan diri dari Terang, diri Kebenaran dan diri-Nya sendiri di dalam sejarah itu seharusnya menarik perhatian dari kebudayaan setiap zaman. Menjadi perhentian, renungan dan pertimbangan di tengah-tengah pergumulan, penderitaan dan perasaan hampa dalam hari nurani.


Filsuf Jerman yang lain, yang bernama Goethe pernah mengatakan, “Meskipun peradaban dunia terus maju, namun tidak mampu melampaui jalan dan hidup yang Yesus Kristus pancarkan di dalam empat Injil.” Sebab itu, setelah kita membahas begitu banyak hal, saya akan tanyakan sampai di manakah posisi manusia sekarang? Jika kita meletakkan suatu alat yang sangat canggih di dalam mobil BMW, maka begitu Anda menekan tombol, anda akan tahu sekarang Anda sudah berjalan berapa kilometer dan masih ada berapa kilometer yang harus Anda tempuh. Dengan menekan tombol lagi, Anda akan tahu dengan kecepatan sekarang ini kira-kira berapa saat lagi yang Anda perlukan untuk sampai di tempat tujuan. Dengan menekan tombol lagi, Anda akan tahu satu liter bahan bakar dapat dipakai untuk berapa kilometer?


Saya pernah naik mobil seperti itu. Saya tekan tombol ini dan tombol itu, sungguh menarik, karena dapat memberitahukan saya di mana saya berada, bila saya dapat tiba di sana, jarak yang sudah dan yang belum ditempuh, sehingga saya dapat naik mobil itu dengan perasaan tenang, karena pada waktu saya akan pergi berkhotbah, saya tahu kapan saya tiba di sana. Emosi saya stabil tetapi saya selalu mengendarai mobil dengan kurang sabar. Sekarang di dalam diri saya ada komputer. Saya memakai cara ini untuk mengendarai mobil, saya memperkirakan 17 menit kemudian saya bisa sampai di mana, saya punya perhitungan dalam diri saya sendiri. Karena Jakarta terlalu besar, dan rumah saya ke tempat kebaktian saya adalah 30 kilometer. Kadang-kadang saya dapat menempuh jarak itu dalam waktu 18 menit saja, kadang-kadang jarak yang hanya 2 kilometer saja perlu lebih dari 1 jam. Ketika keadaan jalan macet, Jakarta menjadi tempat parkir yang terbesar di dunia. Kita yang terjebak di sana tidak dapat berbuat apa-apa, betapa pun canggih mobil yang anda miliki, namun situasi dan kondisi memaksa kita menjadi kura-kura. Anda tidak dapat mendaya-gunakan kecanggihan mobil Anda untuk memperkirakan kapan anda dapat tiba, masih berapa jauh jarak yang harus anda tempuh, apakah bahan bakar cukup?


Sekarang pertanyaan yang akan saya ajukan adalah, setelah manusia melewati sekian ribu tahun, mulai dari zaman Mesopotamia sampai tahun 1992 sekarang, seberapa jauh kita sudah melangkah? Pertanyaan selanjutnya adalah what next? Yang saya maksud bukan pribadi, tetapi seluruh umat manusia, kita masih akan ke mana? Dari mana kita datang? Sejak kecil kita semua pernah bertanya kepada diri sendiri, dari manakah saya berasal? Mengapa saya bisa di sini? Jika dulu ayah saya tidak menikah, tentu sekarang saya tidak ada di sini. Mengapa saya dilahirkan? Saya tidak minta dilahirkan dan dia juga tidak minta persetujuan saya untuk melahirkan saya. Tapi bila saat itu dia bertanya kepada saya, toh saya belum berada. Karena itu persetujuan saya tidak ada bagian di dalam keputusannya, ketidak-setujuan saya juga tidak bisa mengubah dia. Baik saya setuju maupun tidak, ya beginilah keadaannya.


Dari manakah datangnya manusia? Mengapa sekarang manusia sampai di tempat ini? Dan masih akan pergi ke mana? Berapa di antara kalian yang menyaksikan pameran barang antik dari dinasti Tang? Saya sudah menyaksikan 3 kali, waktu saya ke Singapura saya masih ingin menyaksikan sekali lagi. Pameran tersebut membawa kita mundur kira-kira 1400-1500 tahun, trade back to the historical journey. Saat itu manusia masih seperti itu, tapi sekarang sudah maju seperti ini. Masih akan ke manakah manusia?


Saya mengharapkan di antara kita ada orang-orang yang menjadi universal soul, universal person, universal man; bukan hanya mengetahui masalah-masalah besar dalam dunia, tapi engkau juga tahu apa yang sedang dilakukan oleh seluruh sejarah, dan fungsi orang Kristen sebagai nabi untuk melihat dunia ini akan menuju ke mana. Orang Kristren seharusnya mempunyai jabatan sebagai nabi, imam dan raja. Yesus sendiri adalah Raja di atas raja, Imam di atas Imam, Nabi di atas nabi. Sebagai orang Kristen yang mempunyai jabatan sebagai nabi, kita harus menunjukkan arah jalan yang ada di depan kepada seluruh umat manusia. Namun hari ini, sebagai orang Kristen, kita tidak tahu sama sekali akan peristiwa yang bakal terjadi. Kita hanya tahu kalau hari ini masih mempunyai uang atau tidak, kita segera dapat mengetahui jumlah uang yang ada di account kita di bank. Segera tahu apakah harga saham itu naik atau turun. Tatkala orang Kristen sedang tidur, siapakah yang memberitahukan apa yang akan terjadi di depan kita?


Alvin Toffler, Naisbitt, Megatrends, Gelombang Ke-tiga, 2000 and beyond, pemikiran-pemikiran yang penting ini telah menunjukkan manusia akan ke mana. Buku-buku yang terlaris ini semuanya ditulis oleh orang-orang non-Kristen. Di manakah fungsimu sebagai nabi? Di manakah mandat budayamu? Mungkin Saudara menjawab, “Saya sudah tahu akan hari depannya hari depan.” tapi yang Anda tahu hanya satu kalimat, “Percaya Yesus, maka Anda akan masuk sorga; kalau tidak percaya Yesus pasti masuk neraka.” Itu adalah satu-satunya statement dari fungsimu sebagai nabi.


Ke manakah dunia ini akan pergi? Apakah yang harus dilakukan oleh Kekristenan? Ke manakah manusia akan pergi? Ke manakah kebudayaan akan mengarah? Orang Kristen harus memberikan kontribusi. Kita mempunyai konsep Summum Bonum, pemikiran yang mutlak, penuntutan yang sempurna. Namun setelah mengalami pergumulan, kita menyadari belum mencapai kesuksesan itu. Lambat laun kita marasa puas dengan kesuksesan relatif. Kita menemukan bahwa di dalam diri kita masih terdapat banyak kekurangan. Apakah jawaban Alkitab kepada kita?


Tadi sudah saya katakan, bahwa kebudayaan adalah kemuliaan bagi seluruh umat manusia. Dapat mencapai keberhasilan kebudayaan adalah suatu hal yang sangat membanggakan. Tetapi apakah yang dikatakan Alkitab? Semua manusia telah kehilangan kemuliaan Allah. Manusia hanya dapat memiliki kemuliaan, kehormatan, karena Allah meletakkan sifat budaya dan agama di dalam diri manusia. Kekurangan kemuiliaan dan di dalam kebudayaan terdapat banyak hal yang tidak dapat memuaskan kita disebabkan karena dosa.


Dosa bukan dibangun atas tradisi atau makna yang agak sempit. Misalnya: Hari ini kau berdosa karena kau kurang berdoa; hari ini kau melakukan banyak dosa, karena kau tidak ikut kebaktian. Semua kekurangan ini tentunya salah, tetapi saya bertanya kepada Anda, apakah orang yang tidak bermabuk-mabukan dan tidak merokok itu adalah orang kudus? Dosa manakah yang lebih besar: menipu orang atau bermabuk-mabukan dan merokok? Saya bukan membela orang-orang yang bermabuk-mabukan dan merokok, tetapi saya kira banyak pandangan tradisi telah mempersempit definisi dosa pada perbuatan dosa yang terlihat dan bukan pada motivasi yang salah. Pada saat Alkitab menyinggung tentang dosa, adalah ditinjau dari prinsip total: hilangnya kemuliaan Allah.


Bila kita menyelesaikan masalah dosa dengan tuntas, kita akan menemukan bahwa alam adalah ciptaan Tuihan, alam diciptakan untuk mewahyukan kuasa Allah yang kekal dan sifat keilahian-Nya. Sedangkan manusia diciptakan seturut gambar dan rupa Allah, maka manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat memberikan respon terhadap wahyu umum Allah. Ketika manusia berespon terhadap wahyu Allah dan membuahkan kesuksesan di dalam kebudayaan itu karena Allah menjadikan kemuliaan dan kehormatan sebagai mahkota dan meletakkannya pada diri manusia, sehingga membawa keberhasilan dalam kebudayaan dan kemuliaan bagi seluruh umat manusia. Namun tujuan yang terakhir dari kemuliaan ini adalah mengembalikan kemuliaan kepada Allah, Pencipta alam semesta.


Pergumulan manusia membuahkan keberhasilan kebudayaan, namun sebagai akibatnya, manusia melupakan Pencipta alam dengan sengaja. Tujuan wahyu umum adalah agar manusia memuliakan Allah, diselewengkan dalam kebudayaan yang telah didistorsi oleh dosa. Marilah kita sebagai pengemban mandat budaya boleh berjuang seumur hidup kita untuk mengembalikan kemuliaan bagi Allah yang layak memilikinya.


BAB VI : DOSA DAN KEBUDAYAAN.


JALAN DAN RANCANGAN TUHAN


“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu. (Yesaya 55 :8-9).


Jika kita perhatikan apa yang dikatakan dalam Yesaya 55:8-9, maka kita akan menemukan penulis membuat perbandingan antara rancangan dan jalan Tuhan dengan rancangan dan jalan manusia. Dan boleh dikatakan bahwa ini bukan perbandingan antara perbedaan ukuran atau level, tetapi perbandingan antara perbedaan esensi yang sama sekali tidak mungkin dibandingkan. Jadi merupakan perbedaan kualitatif dan bukan perbedaan kuantitatif.


Pada abad kesembilan belas, seorang filsuf besar Denmark, Soren Aabye Kierkegaard, telah mengajukan sifat agama dan perbedaan secara kualitas. Menurutnya, perbedaan ini harus ditinjau dari tiga segi. Perbedaan antara dua level yang sama sekali berbeda. Karena langit yang sama sekali berbeda dengan bumi, demikian juga Allah dan manusia sama sekali berbeda, kekekalan dan kesementaraan juga sama sekali sekali berbeda.


Dengan kata lain, manusia tidak mungkin dapat mencapai Allah, sama seperti bumi tidak mungkin mencapai langit, demikian juga yang sementara tidak mungkin mencapai kekal. Sebab itu, tatkala Allah mengadakan perbandingan antara rancangan dan jalan-Nya dan rancangan dan jalan manusia, Dia mengatakan “Seperti jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.” Perbedaan antara langit dan bumi sungguh terlalu besar, tetapi dikemukakan di dalam perbandingan ini. Pertama menyangkut masalah rancangan, yang kedua mengenai masalah jalan. “Rancangan” berada di dalam, sedangkan “jalan” berada di luar. Rancangan adalah dasar dari seluruh pikiran, sedangkan jalan adalah ekspresi dari seluruh cara. Sebab itu, menggabungkan rancangan dan jalan berarti membahas tentang bagaimana konsep yang ada di dalam untuk mempengaruhi cara hidup yang ada di luar. Bagaimana rancangan seseorang, tentu akan berpengaruh pada kehidupannya. Bagaimana pikiran seseorang, akan menentukan cara hidup dan tingkah lakunya.


Psikologi mempunyai berbagai cara untuk menyatakan nilai kehidupan manusia. Manusia adalah apa yang dimakannya. Namun, Anaxagoras menentang pandangan itu dengan menyatakan bahwa apa yang dimakan tidak sama dengan yang ada. Misalnya, kita tidak makan rambut, mengapa tumbuh rambut? Pendapat lain menyatakan bahwa manusia adalah apa yang dipikirkan, namun kaum wanita menentangnya dengan berpendapat mengenai apa yang dirasakannya. Ada lagi yang berpendapat bahwa manusia adalah apa yang dikatakannya. Para ahli etika dan agamawan kebanyakan menekankan pada apa yang diperbuat oleh manusia.


Apakah manusia itu? Manusia adalah gabungan dari rancangan yang di dalam dirinya dan kehidupan yang di luar dirinya. Selama lebih dari 2.000 tahun ini, tatkala filsafat dan sejarah telah melakukan banyak riset yang berbeda-beda, Yesaya yang hidup lebih awal dari Konfusius maupun Socrates telah mengungkapkan kedua ayat tadi ;”Rancanganmu dan jalanmulah yang membentuk seluruh keberadaanmu, golongan antara pikiranmu dan perbuatanmu adalah ekspresi dari keseluruhan dirimu.”


Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan “rancangan” dan “jalan”? Menurut saya pribadi ini adalah dua aspek besar dari kebudayaan. Apakah aspek kebudayaan? Dari segi internal merupakan rancangan yang memimpin seluruh aktivitas masyarakat, dan secara eksternal merupakan ekspresi dari tingkah laku etika dan aktivitas masyarakat. Adapun kedua aspek itu adalah ideologi yang berada di dalam dan the way of life yang tampak di luar. Kehidupan orang India terbentuk berdasarkan rancangan India yang berada di dalam dirinya. Demokrasi di dunia Barat adalah ekspresi yang mencetuskan dambaan mereka terhadap rancangan demokrasi yang ada di dalam diri mereka. Tuhan bersabda, ”Jalan-Ku lebih tinggi daripada jalanmu, rancangan-Ku lebih tinggi daripada rancanganmu. Rancanganmu bukan rancangan-Ku, jalanmu bukan jalan-Ku.” Ini merupakan perbedaan kualitatif yang mutlak antara pikiran Allah dan pikiran manusia. Jalan Allah lebih tinggi daripada kebudayaan manusia. Pada saatnya, segala kesuksesan manusia dan kristalisasi kebudayaan manusia akan tampak kekurangannya ketika diperhadapkan dengan penghakiman Allah berdasarkan kebenaran-Nya.


Pada waktu manusia bergumul, berjuang di dalam proses menjalankan mandat kebudayaan dan memperoleh kesuksesan tertentu untuk penemuan mereka akan hikmat yang Tuhan sembunyikan di dalam alam semesta, manusia seharusnya merasa kemuliaan Tuhan itu begitu besar. Kesuksesan ilmiah manusia adalah menemukan hikmat Allah yang disembunyikan di dalam alam yang diciptakan-Nya. Tujuan terakhirnya adalah menyatakan kemuliaan, kuasa dan keilahian-Nya yang kekal. Bukan saja supaya manusia merasakan keberadaan-Nya, tetapi juga mengembalikan kemuliaan kepada-Nya.


Ayat ini sekaligus merupakan suatu proklamasi yang serius. “Jalan-ku lebih tinggi daripada jalanmu, rancanganKu lebih tinggi daripada rancanganmu.” Firman yang Allah wahyukan jauh melampaui pikiran filsafat manusia. Kemuliaan hidup Allah dan peta teladan Allah yang terhormat jauh melampaui semua kesuksesan moral etika manusia. Kristus yang datang ke dalam dunia adalah puncak manifestasi rancangan dan jalan Allah di dalam sejarah manusia dalam tubuh jasmani. Ketika Yesus Kristus datang ke dunia, Dia telah memanifestasikan firman Allah yang melampaui semua filsafat, sistem pemikiran, dan bentuk pemikiran manusia ke dalam dunia. Kehidupan Tuhan Yesus mewujudkan apa yang seharusnya dicapai, namun nyatanya gagal dicapai oleh manusia, yaitu sebagai gambar dan rupa Allah.

BAB VII : DOSA DAN KEBUDAYAAN.

KEBUDAYAAN :

JIWA DAN PROBLEMA MASYARAKAT

Apakah yang Tuhan katakan di sini? ”Jalan-Ku lebih tinggi daripada jalanmu, rancangan-Ku lebih tinggi daripada rancanganmu.” Di dalam sejarah, Kebudayaan pernah mengontrol dan menguasai bagian-bagian terpenting dari sifat manusia. Bagi saya, kebudayaan adalah jiwa masyarakat (the soul of the society).

Jika jiwa telah mengontrol seluruh aktivitas tubuh, maka aktivitas seluruh masyarakat pun akan dikontrol olehnya. Maka baik aktivitas politik, moral, psikologi, ekonomi, seni, sastra, drama, tradisi, maupun etika sosial, semua aktivitas masyarakat dikontrol oleh satu jiwa yang berada di belakangnya. Jiwa itu adalah kebudayaan.


Tatkala kita mengunjungi suatu masyarakat kita akan mengenali “jiwa” di balik kebudayaannya dari kegiatan masyarakat itu. Satu saat saya berbincang-bincang dengan seorang dari Italia. Kami terlibat dalam diskusi mengenai opera, kesenian Italia, Renaisans, dan kemudian mengenai masyarakat Italia sekarang ini. Ia membuat perbandingan antara masyarakat Italia dan masyarakat Jerman. Ia menggambarkan masyarakat Italia itu hangat namun agak santai (kata lain untuk malas), sedangkan masyarakat Jerman lebih serius (kata lain untuk kejam dan dingin) dan akurat. Lalu ia meminta saya untuk memberi kesan yang lain. “Waktu saya ke Jerman, saya menemukan orang Jerman itu tepat waktu, bersih dan rapi, sedangkan orang Italia agak kotor namun memiliki jiwa seni dan lebih manusiawi.” Teman saya ini menambahkan bahwa orang Italia lahiriahnya kotor, namun rumah mereka bersih dan rapi. Pembicaraan kami berkembang ke masyarakat Timur, Apakah Anda memperhatikan mengapa kota-kota di Timur begitu banyak debu? Oleh karena masyarakat di Timur menghilangkan debu dengan menyapu. Hari ini saya menyapu ke arah tetangga, mungkin esok giliran tetangga yang menyapu ke arah rumah saya. Mungkin ini disebabkan karena masyarakat Timur suka bergaul dan membalas kebaikan. Atau mungkin kita tidak terlalu peduli akan orang lain, yang penting rumah sendiri bersih. Di Barat, orang-orang membersihkan debu dengan cara menyedotnya, lalu dibuang di pembuangan. Mereka menggunakan penghisap debu (vacuum cleaner) dengan latar belakang pemikiran bahwa kotoran harus dibersihkan dengan tuntas. Dalam hal ini, pemikiran barat dipengaruhi Kekristenan. Mengapa demikian? Oleh karena Tuhan Yesus datang bukan untuk memindahkan dosa dari suatu tempat ke tempat lain. Ia datang untuk menanggung dosa kita dan menyelesaikannya dengan penderitaan dan kematian-Nya.


Bagaimana cara kehidupan luar kita merupakan pantulan “jiwa yang ada di dalam diri kita”? Tuhan berkata, ”JalanKu lebih tinggi daripada jalanmu.” Jalan yang berbeda menghasilkan kehidupan yang berbeda. Orang Tionghoa melahirkan anak dengan kesadaran bahwa ia adalah sumber anak-anaknya. Orang Barat beranggapan bahwa anak-anak ini dilahirkan dalam keluargaku. Ketika seseorang menjabat di pemerintahan, itu berarti ia memiliki kuasa untuk berbuat yang diinginkan. Orang Inggris berpendapat bahwa saat seseorang menjadi pejabat, ia berada dalam kuasa bukan menguasai kekuasaan. Kita tidak boleh mengabaikan konsep ini, oleh karena semua ini memengaruhi cara hidup kita.


Bila kebudayaan menguasai posisi yang sedemikian penting, mandat kebudayaan orang Kristen adalah menerangi kebudayaan dengan Firman Tuhan. Kalau Saudara berkecimpung di dunia politik, Saudara harus memakai firman Tuhan untuk mempengaruhi kehidupan politik. Kalau Saudara berkecimpung di dunia pendidikan, Saudara harus memakai kebenaran Allah Pencipta Jiwa manusia untuk menghibur, menerangi, mengoreksi ideologi yang ada di dalam diri manusia. Karena terang alam masih kurang memadai, sebab itu terang Allah dibutuhkan oleh dunia ini.


Itulah sebabnya Yesus Kristus berkata. “Kamulah terang dunia.” Terang alam ini masih kurang, maka kamu perlu memakai terang Tuhan untuk menerangi dunia. Jika pemimpin Kristen tidak menyadari bahwa firman Tuhan lebih tinggi daripada kebudayaan manusia; jika pemikir Kristen tidak berdaya menerangi terang rasio dengan terang yang lebih tinggi, maka kita belum pernah bersaksi bagi Tuhan.


Disebuah rumah makan di Surabaya, saya menemukan sebuah patung ukiran Yunani. Sebuah patung seorang yang sedang memegang sebuah lentera sambil mengernyitkan dahinya. Patung itu adalah Diogenes. Dia sedang mencari Summum Bonum tidak menemukannya. Ini mempunyai kemiripan dengan pemikiran Tionghoa. Di dunia ini ada dua orang baik, yang satu baru saja meninggal dunia dan satu lagi belum lahir. Diogenes berusaha mencari orang bijak. Meskipun sinar mata hari begitu terang, ditambah dengan cahaya lenteranya, ia tetap tidak menjumpai orang bijak di seluruh kota Atena. Ketika ditanyakan, ”Untuk apa membawa lentera di bawah terik matahari?” Ia menjawab, “Terik matahari belum cukup, itulah sebabnya saya membawa lentera namun saya tetap tidak menemukan Terang.” Tuhan Yesus berkata, “Kamulah terang dunia.” Terang alami masih belum memadai, maka terangilah dunia ini dengan terang yang berasal dari Kristus.


Jika pemimpin Kristen tidak memiliki terang Allah yang besar dari kebudayaan manusia, jika pemikir Kristen tidak mampu menerangi rasio manusia, maka kita belum bersaksi bagi Tuhan. Bersaksi bukanlah sekedar memuji Tuhan oleh karena kita diluputkan dari bahaya. Westminster Confession of Faith menegaskan bahwa terang alami tidak memadai, oleh karenanya dunia ini memerlukan terang wahyu khusus Allah.

Sekarang kita akan melihat apa kekurangan dari kebudayaan.

1. Bagaimanapun majunya suatu kebudayaan, bagaimanapun megahnya kesuksesan suatu kebudayaan, tetap tidak pernah menjelaskan masalah yang sesungguhnya tentang sumber dan arah manusia.

Alvin Toffer, Naisbitt, dan Herman Kahn adalah para futurolog terkenal. Buku tulisan mereka menjadi buku bestseller, di mana pun dijual. Namun, apakah arah dunia yang mereka tunjukkan sama seperti yang diberikan para nabi? Ditinjau dari segi tujuan fungsinya, mereka berharap bisa mencapai hal itu. Tapi ditinjau dari esensi praktis, mereka hanya menduga apa yang akan terjadi dari fenomena-fenomena yang ada. Tidak ada esensi wahyu Allah di dalam sistem mereka, tidak memakai janji Allah di dalam sejarah untuk mengontrol dan mengkonfirmasikan kata-kata mereka. Sebab itu, perkataan mereka yang berfungsi sebagai nabi itu tidak dapat sungguh-sungguh menunjukkan arah bagi kebudayaan dunia.

Apa yang tidak dapat kita jangkau di dalam kebudayaan? Sumber manusia dan masalah arah manusia tidak dapat diselesaikan oleh kebudayaan. Kebudayaan yang berada di dalam limitasi Kejatuhan dalam dosa. Maka kebudayaan sama sekali tidak mungkin mengakui dengan sungguh bahwa ia juga berada di dalam Kejatuhan. Jika fakta Kejatuhan ini menjadi kabur di kalangan kaum injili, maka kuasa kita pun hilang.

Mengapa hari ini banyak orang, pada saat menyampaikan berita Injil tidak berkuasa meyakinkan orang lain? Karena di dalam dirinya sama sekali tidak mempunyai kuasa untuk menyembuhkan dunia, karena dia telah terlebih dahulu merasa bahwa dunia mungkin tidak tersesat dan tidak membutuhkan pengobatannya, sehingga secara otomatis mereka kehilangan kuasa. Karena Anda tidak mengetahui di mana mereka jatuh. Seseorang yang tidak merasa hilang, kepadanya tidak perlu ditunjukkan arah yang baru. Para penghotbah agung dari zaman ke zaman, para penginjil besar dari zaman ke zaman, para misionaris agung dari zaman ke zaman, mengetahui bahwa umat manusia sudah terhilang. Mereka juga tahu bahwa Allah berjanji menunjukkan arah kepada kita. Berpijak dari kesadaran inilah mereka menemukan jalan dan cara penginjilan, agar manusia bertobat dan kembali kepada Allah.

2. Kebudayaan juga tidak mampu memperlihatkan standar yang mutlak. Bagaimanakah standar yang mutlak dibangun di antara iman kepercayaan dan kehidupan, kebudayaan tidak mampu memberikan jawaban kepada kita.

Bila anda meneliti filsafat Yunani dengan cermat, Anda akan menemukan perdebatan sengit antara dua kutub yang ekstrem yang kemudian berkembang menjadi topik perdebatan yang tidak kunjung habis dari zaman ke zaman. Mereka mengajukan pertanyaan dan selama ribuan tahun tidak mendapatkan jawaban. Masalah relatif dari dua kutub yang ekstrem itu mencakup apakah dunia ini terus menerus berubah atau tetap tidak berubah, apakah dunia ini terus berubah atau abadi. Konsep tentang “berubah” dan “tidak berubah” ini sedang berubah menjadi arah dari dua pemikiran. Selama ribuan tahun keduanya terus diperdebatkan. Semua pemikir yang agak condong ke kiri menekankan hal-hal yang berubah, sedangkan pemikiran yang agak condong ke kanan lebih menekankan hal-hal yang tidak berubah. Baik kita sadar atau tidak sadar, kita selalu hidup di dalam kontradiksi antara kedua kutub ini. Misalnya, Partai Konservatif di Inggris mewakili pemikiran yang tidak berubah, sedangkan Partai pekerja mewakili pemikiran yang terus berubah.

Dua konsep ini telah muncul. Apakah bersifat universal atau pribadi, yang umum atau yang khusus? Is it common or personal, is it general or particular, is it universal or special? Inilah yang menjadi topik perdebatan. Apakah yang diperjuangkan oleh filsuf Socrates dan Plato? Kebenaran adalah bersifat universal, kebenaran itu kekal adanya, kebenaran itu tidak berubah. Maka filsafat yang klasik, tradisional, dan tidak berubah ini percaya akan adanya eksistensi kebenaran yang mutlak, eksistensi kebenaran yang universal.

Tetapi kebudayaan sulit memberikan jawaban terhadap problema ini. Di dalam kebudayaan yang paling tinggi, hal-hal ini yang diakui oleh satu kebudayaan dikutuk oleh kebudayaan lain, hal yang dijunjung tinggi oleh satu kebudayaan dihina oleh kebudayaan lain. Sebab itu, bagaimanapun agungnya satu kebudayaan, tetap tidak mampu menelusuri asal-usul ataupun menunjukkan arah, tidak mampu menemukan standar yang mutlak, tidak mampu membuat kita memberikan tanggapan yang sama.

3. Kebudayaan tidak mampu melepaskan kita dari kekacauan pengetahuan.Kontradiksi pengetahuan ini ditinjau dari mana? Ditinjau dari level pengetahuan yang berbeda-beda, pengetahuan yang satu lebih tinggi daripada pengetahuan yang lain, pengetahuan yang satu lebih rendah daripada pengetahuan lain, ini yang disebut level dari epistemologi.

Sering kali kita mempunyai kelemahan yang sama, kita mempunyai penetapan nilai yang salah, yang bersifat sangat subjektif dan penuh percaya diri. Kita mempunyai konsep yang sangat selektif dalam memilih mana yang kita suka dan mana yang kita tidak suka. Di masa kekacauan level pengetahuan seperti ini, kita tahu bahwa kekacauan pengetahuan pun dimulai setelah kejatuhan.

Pada 300 tahun terakhir ini kita menyaksikan pemutarbalikan yang besar: pengetahuan ilmiah yang sebenarnya berada pada level terendah telah diangkat pada level yang tertinggi sedangkan pengenalan terhadap Tuhan, yang seharusnya berada pada level tertinggi, telah dipindahkan pada level terendah. Inilah kekacauan epistemologi. Mengapa disebutkan tadi bahwa pengetahuan sebenarnya berada pada level terendah? Mengapa pengenalan yang sungguh terhadap Tuhan adalah level yang tertinggi? Mengapa manusia zaman modern telah memutarbalikkan yang rendah menjadi yang tinggi dan yang tinggi menjadi yang rendah? Apakah penyebab kekacauan masa kini? Karena hal yang dibuktikan secara ilmiah hampir tidak dapat disangkal, maka manusia menganggap karya ilmiah sebagai pengetahuan yang pasti, yang terpercaya. Sebaliknya, banyak perkataan gereja yang tidak dapat dipercaya, tidak dapat dibuktikan melalui eksperimen, maka ditarik pada level yang terendah.

Beberapa waktu yang lalu, pusat gereja Katolik memutuskan untuk mengakui hukuman yang dijatuhkan oleh gereja Katolik kepada Galileo adalah salah. Sudah terlambat berapa lama? Kurang lebih 300 tahun kemudian, gereja baru mengakui salah. Dahulu gereja memfitnah ilmuwan, mengadili ilmuwan, menjatuhkan hukuman kepada ilmuwan. Akhirnya setelah lewat ratusan tahun, baru mengakui bahwa pada saat itu mereka telah melakukan kesalahan. Sudah terlambat. Selama ratusan tahun ini, banyak kaum intelektual menganggap gereja adalah organisasi yang menganiaya kebenaran. Dan orang-orang yang menganiaya para ilmuwan itu adalah mereka yang setiap hari berdoa dengan saleh, yang kelihatannya sangat dekat dengan Tuhan. Yang membuat para ilmuwan sejati tidak mau percaya Tuhan mungkin adalah orang-orang yang paling pandai berdoa ini. Karena perkataan gereja sudah tidak lagi dapat dipercaya, kebenaran gereja tidak dapat dieksperimenkan, maka pengetahuan gereja tentang kebenaran Allah dianggap sebagai suatu yang rendah, sedangkan pengetahuan terhadap alam dan ilmu dianggap sebagai sesuatu yang tinggi.

Tetapi mari kita perhatikan, apakah posisi pengetahuan ilmiah sudah pada tempatnya? Tidak! Disatu pihak saya ingin memutarbalikkan posisi ini, dilain pihak saya tidak menginginkan para ilmuwan memuliakan diri mereka sendiri. Karena pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang mempelajari alam yang lebih rendah posisinya dari pada manusia. Pengetahuan yang mempelajari manusia sendiri lebih tinggi daripada pengetahuan yang mempelajari alam, tetapi manusia justru menganggap pengetahuan yang mempelajari manusia lebih rendah daripada pengetahuan yang mempelajari materi. Ini adalah kekacauan konsep nilai.

4. Kebudayaan tidak mampu membawa kita menemukan posisi kita yang sebenarnya di dalam alam semesta. Dimanakah posisiku di dalam alam semesta ini? Kebudayaan tidak mampu meletakkan kita pada posisi kita yang sebenarnya di dalam alam semesta ini. Inilah letak permasalahan manusia modern di dalam kebudayaan.

Manusia memiliki kesuksesan di bidang ilmiah, matematika, filsafat, dan lain-lain, namun akhirnya manusia tidak tahu di mana mereka harus meletakkan dirinya. Butir keempat ini merupakan satu kelemahan yang sangat besar. Alkitab jelas mengatakan Allah lebih tinggi daripada materi. Segala kenikmatan materi adalah untuk manusia, dan manusia adalah untuk Allah. Kalau segala materi berada di bawahmu dan setelah engkau menemukan kesuksesan darinya lalu memuliakan Allah, berarti engkau mengenal posisimu dengan jelas. Kalau engkau pergi ke gereja, berdoa, dan berbakti, hanya ingin memperalat Tuhan untuk memperoleh materi, urutanmu sudah menjadi kacau. Inilah yang tidak dapat dilakukan kebudayaan bagimu.

Anda menyaksikan di berbagai tempat di mana kebudayaan telah berkembang dengan tinggi justru banyak terjadi kasus bunuh diri. Tempat yang paling maju secara materi dan paling makmur secara ekonomi justru adalah tempat di mana manusia merasa tidak begitu berarti. Justru di kota yang paling padat penduduknya, manusianya sering merasa kosong dan kesepian. Di desa hanya ada beberapa keluarga, di sini teriak di sana ada yang menyahut. Tetapi di kota, yang tingkat kepadatannya sangat tinggi, di mana satu rumah didiami oleh puluhan orang. Anda bahkan tidak mengetahui siapa nama tetanggamu. Sudahkah Anda menyadari akibat dari perkembangan kebudayaan yang begitu tinggi? Manusia tetap tidak terlepas dari hal-hal yang kontradiktif, yang kacau, yang tidak jelas posisinya, tidak terlepas dari pemutarbalikan level pengetahuan.

5. Kebudayaan tidak berdaya memberitahukan pusat dan makna hidup kepada kita. Setiap kebudayaan memikirkan tentang sistem nilai. Setiap agama, setiap kebudayaan berharap menemukan pusatnya, di manakah pusat itu? Kebudayaan tidak dapat memberikan jawaban kepada kita.

Bolehkah kita mengatakan bahwa selain hidup, waktu adalah pusaka yang penting dan yang berharga. Hidup kita sama panjangnya dengan waktu klita. Saya pernah memberikan tiga definisi untuk waktu :

Waktu adalah hidup – Time is life. Definisi orang Barat adalah Time is money. Is that all? I say, “No!” Time is life. Waktumu sama panjangnya dengan hidupmu. No more no less, time is your life.

Waktu adalah catatan kehidupan – Time is your record. Di dalam seluruh proses waktu. Engkau telah mencatat hidup yang kau miliki itu hidup yang bagimana, engkau tidak akan dapat menghapusnya kecuali engkau menerima pengampunan dari Yesus Kristus.

Waktu adalah kesempatan – Time includes all of the opportunity in your life. Di dalam seluruh proses hidup kita, kita berharap dapat menemukan pusat dari makna hidup yang sesungguhnya. Dapatkah kebudayaan memberikan ini kepada kita? Tidak!

Abad kedua puluh adalah saat di mana manusia paling maju karena kesuksesan kebudayaan itu begitu besar. Pada awal abad kedua puluh mungkin tidak sampai seper-sepuluh ribu orang menikmati penerangan listrik, karena saat itu Edison belum menemukannya. Tetapi pada akhir abad ini, tidak sampai sepersepuluh ribu manusia yang tidak tahu apa itu listrik. Di awal abad kedua puluh banyak orang belum memiliki kendaraan bermotor, hanya para miliuner yang dapat menikmati mobil. Tetapi di akhir abad ini, orang yang paling miskin pun naik mobil, meskipun tidak naik mobil pribadi, tetapi toh bisa naik kendaraan umum. Pada awal abad kedua puluh manusia masih merangkak di tanah, tetapi akhir abad ini pesawat ruang angkasa pun tanpa perlu dikemudikan oleh manusia dapat terbang ke ruang angkasa yang begitu jauh. Inilah hasil yang dicapai abad ini.

Tetapi abad kedua puluh ini adalah abad yang bagaimana? Abad kedua puluh adalah abad yang menjual dirinya sendiri. Kebudayaan abad kedua puluh telah menjual dirinya sendiri karena abad kedua puluh rela menyerahkan diri kepada abad kesembilan belas untuk menjadi hambanya. Apakah maksud dari perkataan ini? Abad kesembilan belas menghasilkan evolusi, lalu disebarluaskan pada abad kedua puluh. Abad kesembilan belas menghasilkan eksistensialisme, lalu di abad inilah kita mengadakan eksperimen untuk hal itu. Abad kesembilan belas memproduksi positivisme logis, abad keduapuluh mempromosikannya di kalangan intelektual. Kita menghidupi jalan evolusi, jalan eksitensialisme, jalan komunisme, jalan positivisme ilmiah. Sampai hampir berlalunya abad ini, manusia akhirnya baru menemukan terlalu banyak spekulasi di dalam evolusi, ancaman eksitensialisme terhadap eksistensiku terlalu besar, komunisme telah membunuh paling sedikit 80 juta orang tidak bersalah di Tiongkok dan Uni Soviet. Setelah selesai menjalani satu abad baru sadar. “Celaka, kita sudah salah jalan, -isme ini telah mencelakakan RRC.” Sesudah satu abad manusia baru menemukan terlalu banyak kesalahan di dalam Scientific Positivism. Pada saat manusia terbangun di akhir abad kedua puluh, manusia baru menemukan abad ini sudah habis.

Kita justru hidup di dalam zaman seperti ini, sebab dasarnya adalah kita terlalu membanggakan kebudayaan manusia, tetapi tidak mau firman Tuhan. Di dalam lubuk hati kita ada suara yang berkata, “Jalanku lebih tinggi daripada jalan-Mu, rancanganku lebih tinggi daripada rancangan-Mu.”

Kita yang berdiri di batas akhir abad kedua puluh mengharapkan hidup yang bagaimana yang akan ditempuh oleh mereka yang hidup di abad kedua puluh satu? Sebagai orang Kristen, apakah yang kau harapkan dari pengaruh Kekristenan di abad kedua puluh satu? Apakah masih seperti kita saat ini? Mungkin kita tidak memberikan sumbangsih apa-apa terhadap dunia. Kebangunan yang kita butuhkan bukan kebangunan tradisional yang hanya bersifat emosional, dan perubahan secara moralitas saja. Penginjilan yang kita butuhkan bukan hanya penyampaian firman secara lahiriah saja, lalu kita mengakhirinya.

Sumbangsih orang Kristen hari ini terhadap dunia adalah jauh melampaui hal-hal yang telah kita perbuat. Oswald Spangler, Sir Arnold Toynbee, atau Sorokin yang terkenal di Rusia, atau Solzhenitsyn, seorang tokoh penting dari kebudayaan, mereka semua memberi petunjuk bahwa dunia ini adalah dunia yang pesimistis. Pada saat kita memikirkan tentang kemungkinan yang optimistis, ada jiwa yang agung sedang mengetuk hati kita. “Hai manusia, jangan terlalu cepat tertawa, jangan terlalu cepat optimis.” Spangler menulis sebuah buku yang berjudul The Decline of the west. Hanya dia seorang diri yang melihat gedung-gedung pencakar langit, seni yang sudah dicapai, namun kemudian mengatakan, “Barat sudah hampir habis.” Orang lain memandangnya sebagai orang gila, namun saya beritahukan bahwa apa yang dikatakannya itu benar.

Toynbee juga mengatakan, “Kebudayaan juga mempunyai empat musim, ada hari di mana dia bisa mati.” Ini adalah perkataan seorang pengkhotbah besar yang dipengaruhi oleh pemikiran Spangler. Dia berpendapat bahwa Kekristenan dapat mewakili dunia. Sorokin memberi tahu kita, sekarang gereja pun berada di dalam krisis. Pada abad kedua belas dan ketiga belas, 65 persen orang jenius berada di dalam gereja, tetapi ketika abad kedua puluh sudah hampir berakhir, hanya kurang dari 6 persen orang jenius yang berada di dalam gereja, bahkan dari antara jumlah itu, banyak yang tidak jelas imannya.

Sekarang, kalau ada satu orang jenius di gereja kita sudah merasa hebat, puji Tuhan yang sudah membangunkan seorang jenius. Banyak orang merasa dapat menyanyi, tetapi terlalu sedikit orang yang mendengar. Maka mereka pun lari dan menyanyi di luar gereja. Hari ini kalau orang ingin melihat yang bagus, ingin mendengar yang bagus, ingin membaca yang bagus, ingin memahami yang bagus, tidak di gereja.

Adakah engkau melihat Amerika sangat sukses, sangat maju, sangat bebas, sangat kaya? Kali pertama saya ke Amerika, saya masih merasa sedikit berminat, tetapi semakin melihat semakin merasa ada yang tidak beres. Sepuluh tahun lagi. Amerika akan menjadi negara modern yang biadab, suatu negara ekonomi besar yang sangat miskin, suatu negara yang mempunyai kekuatan senjata tetapi tidak mempunyai kekuatan batiniah. Dia adalah negara kaya yang paling banyak utangnya. Sudahkah Anda melihat hal ini?

Kemajuan zaman ini akan menjadi sangat mengerikan di masa mendatang. Ketika dunia Barat mulai guncang kita menyaksikan beberapa hal :

Ancaman kekuatan nuklir,

Ancaman penyakit AIDS,

Ancaman pencemaran lingkungan,

Ancaman ekonomi yang kuat secara eksternal namun lemah secara internal,

Ancaman etika relatif,

Ancaman segala kekacauan sistem.

Di dalam kekacauan ini manusia tidak tahu lagi mau ke mana. Manusia zaman ini adalah binatang yang mengenakan busana yang cantik, manusia biadab yang menyandang kebudayaan tinggi, perampok yang sah. Banyak pejabat pemerintah adalah legalized robbers.

Ketika semua ancaman ini datang, orang Timur masih belum menyadarinya. Mereka masih sangat menyanjung negara Barat. Kalau saja kita dapat mengirim anak bersekolah si Amerika, atau di Inggris, kita sangat bersyukur kepada Tuhan. Akhirnya mereka membawa pulang ilmu pengetahuan tetapi juga mungkin membawa penyakit AIDS untuk ditularkan kepada orangtuanya yang mengirimnya sekolah. Dunia ini mengerikan sampai pada satu tahap, tetapi kita belum menemukan tulang punggung dan pusatnya.

BAB VIII :

ARAH DAN NILAI KEBUDAYAAN

Kemanakah tujuan kebudayaan? Orang Barat kuat secara lahiriah, tetapi mereka tahu ada sesuatu yang tidak benar di dalam. Sebab itu banyak dari antara mereka yang pergi ke Timur, membantu negara Timur untuk berkembang, padahal yang mereka incar adalah bunganya, karena bunga inilah yang dapat menunjang ekonomi negaranya. Ketidakseimbangan antara Timur dan Barat, ketidakseimbangan antara Utara dan Selatan menunjukkan kepada kita semua bahwa kebudayaan yang menjadikan materi sebagai tujuan akhirnya berada di ambang kehancuran. Semua kebudayaan yang tetap bertahan dalam semangat memutlakkan diri ada di dalam kemiskinan, dan sekarang sudah sampai pada masa pertarungan. Masa apakah itu? Yaitu masa yang mempertanyakan apakah Timur yang ingin menelan Barat, atau Barat yang ingin menelan Timur.

Sekarang saya akan memaparkan beberapa gerakan besar di dalam sejarah kebudayaan. Kebudayaan agung di zaman kuno adalah kebudayaan Tiongkok, India, disusul dengan kebudayaan Mesir, Babilonia, Timur Tengah, dan kemudian berpindah ke Barat dari kebudayaan Roma, Yunani, Eropa atau Barat. Kebudayaan yang agung ini mengembangkan potensi mereka dari segi yang berbeda-beda. Yunani dan Roma telah mengembangkan rasio, Tiongkok dan India telah mengembangkan spiritualitas mereka, sedangkan Mesir dan babilonia tidak mengembangkan kedua sifat yang amat ekstrem itu. Sebab itu agama timbul dari Timur, sedangkan filsafat dan logika timbul dari Barat. Ketika filsafat memimpin arah jalan ilmiah, politik, dan ekonomi, Barat sangat berdaya; sedangkan Timur hanya ada semangat tradisional dan nilai etika tidak diukur terlalu tinggi.

Di antara keekstreman Timur dan Barat, maka Allah mengaruniakan Firman-Nya. Yesus Kristus memberikan moral yang tertinggi agar diteladani oleh manusia. Dia memanifestasikan kebenaran yang sejati, pusat, keyakinan, makna, nilai, iman di atas dirinya. Kemudian kita menyaksikan di dalam 1.000 tahun yang terakhir ini, timbul beberapa gerakan penting :

Renaisans, yang mendapat stimulasi dari kebudayaan Barat, yaitu Roma dan Yunani, adalah satu gerakan kembali pada yang orisinal. Apakah yang mereka tekankan? Mereka berpendapat manusia seharusnya adalah pusat alam semesta. Rasio adalah satu-satunya perangkat untuk memahami kebenaran dan alam merupakan sasaran yang kita cari. Di tengah-tengah gerakan Renaisans, model atau teladan kita adalah kesuksesan Roma dan Yunani. Apakah semangat utama yang ditunjukkan Renaisans kepada kita? Posisi Allah digeser secara perlahan-lahan, nilai agama lambat laun disangkal, yang disebut sorga, neraka – hal-hal yang rohani- itu semakin diabaikan. Teladan Kristus semakin memudar. Setelah itu Iman Kekristenan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang penting. Sebab itu di Eropa terbentuk kebudayaan yang berpusat pada manusia. Bukan Allah, tetapi manusialah yang menjadi pusat.

Apakah gerakan yang kedua itu? Gerakan yang kedua ini amat istimewa, yaitu gerakan yang disebut Reformasi. Gerakan reformasi merupakan suatu gerakan yang paling agung dan paling bernilai di dalam sejarah. Satu gerakan yang tidak berpusat pada kebudayaan, tetapi berpusat pada kekuatan firman Tuhan yang melampaui kebudayaan. Semangat yang benar dalam gerakan Reformasi adalah jalan Allah lebih tinggi daripada rancangan manusia. Apakah kata-kata penting yang diucapkan Martin Luther dan Calvin? Sola Scriptura, Sola Fide, Sola Gratia. Hanya di dalam anugerah dan jalan Allah, di dalam firman Allah, di dalam iman yang murni, manusia baru mempunyai hari depan.

Pencerahan (Enlightenment). Kemudian timbul satu gerakan besar yang lain. Gerakan ini tidak mewarisi semangat gerakan Reformasi, tetapi mewarisi semangat gerakan Renaisans yang tidak mau Allah. Lalu apakah yang timbul? Semangat yang mirip dengan semangat Renaisans yang disebut sebagai Enlightenment atau Aufklarung di dalam bahasa Jerman. Pada masa itu, kebudayaan manusia memasuki tahap yang bagaimana?

Bukan hanya menjadikan manusia sebagai pusat, tetapi juga menyatakan manusia sekarang sudah dewasa, tidak lagi perlu ditipu oleh gereja, tidak lagi perlu bersandar pada Alkitab.

Dengan rasio saja manusia sudah mampu mencapai segala kebenaran, maka tidak lagi memerlukan wahyu Allah, bahkan menggunakan rasio untuk menentang wahyu.

Memutlakkan naturalisme dan menyangkal metafisika. Manusia bukan hanya menjadi pusat, tetapi sekarang manusia sudah bertumbuh dan sudah dewasa.

Di tengah-tengah masa ini, baik filsuf di Inggris, di Prancis, maupun di Jerman, mereka berdiri pada kepercayaan diri yang mutlak dan tidak lagi memerlukan gereja maupun iman Kristen. Ketika abad ketujuh belas dan abad kedelapan belas berakhir, gerakan ini menimbulkan hal yang sudah saya singgung di atas, yaitu pemikiran eksistensialisme, evolusi, komunisme, naturalisme, gerakan gerakan kebudayaan yang telah menyeleweng dari Alkitab dan menyangkal iman. Tetapi ditinjau dari segi fenomena abad kesembilan belas telah meraih sukses yang besar; seni yang agung, teologi yang agung, kebebabasan politik, keadilan di bidang hukum. Tidak lagi perlu penghakiman Tuhan, ada pengadilan saja sudah cukup; tidak perlu akan ajaran gereja, sekolah saja sudah cukup; tidak lagi memerlukan iluminasi Alkitab, pemikiran filsafat saja sudah cukup. Manusia boleh tidak pergi ke gereja, tidak perlu datang ke hadapan Allah, karena manusia sudah dewasa. Namun mereka tidak menyadari racun yang tersembunyi di dalam dalam telah berakar secara perlahan-lahan.

Di tengah-tengah masa ini, Allah mengizinkan terjadinya kemurtadan. Akhirnya tibalah masa abad kesembilan belas menguasai, mengontrol, mengadakan uji coba di abad kedua puluh, lalu apa yang terjadi? Uji coba membuktikan semua itu salah! Sesudah salah, apakah mau kembali ke kehadapan hadirat Allah? Tidak! Mau bertobat? Tidak! Apa yang terjadi? Muncullah jalan yang ketiga, New Age Movement. Apakah spirit dari New Age Movement? Mungkin Anda tidak tahu, atau tidak memperhatikan, pakaian yang kita kenakan, bangunan yang kita lihat, bahkan desain buku pun sudah dipengaruhi oleh gerakan tersebut. Dulu anda takut dikatakan ketinggalan zaman, lalu menyebut diri sebagai manusia modern, tetapi saya beritahu sekarang, bahkan modernpun sudah ketinggalan zaman. Jadi apa lagi setelah modern? Yaitu postmodernisme, maka yang aneh-aneh pun muncul.

Kalau Anda perhatikan, di negara Barat ada dua kota istimewa; Paris – Barcelona, atau London – Madrid, Roma –Jenewa, banyak ukiran-ukiran terdapat di sana. Di dalam gedung gereja yang besar, di depan bangunan, biasa dipenuhi dengan ukiran-ukiran. Waktu pertama kali memandangnya memang indah luar biasa, tetapi kalau setiap hari dipandang ya biasa-biasa saja, semakin dilihat semakin alergi, dan kalau dipandang terus akan terasa benci. Lalu bagaimana? Maka timbullah aliran impressionis, yaitu sesuatu yang samar-samar. Ini bukan refleksi dari realitas, bukan tiruan dari yang indah, bukan copy dari yang alami, juga bukan tingkah laku batiniah, melainkan refleksi dari impresi. Monet, Rubens, Renoir, van Gogh lambat laun tidak diminati. Lalu memasuki tahab yang lebih abstrak, yaitu Picasso. Seluruhnya berubah menuju defraksi dan dekonstruksi yang bertolak belakang dengan konstruksi. Tampaknya seperti terpecah-belah, seolah-olah disemprot dengan tinta.

Keindahan bukan lagi sesutau yang disusun melainkan saat-saat ketika proses defraksi itu terjadi. Ketika sebongkah es jatuh dan pecah, maka tampaklah keindahannya. Tatkala Anda menyaksikan pameran di museum seni modern, Anda akan menemukan refleksi kehancuran hati seluruh zaman yang terpancar di atas kanvas.

BACA JUGA: PRO DAN KONTRA PERAYAAN NATAL.

Sampai masa New Age Movement tiba, apakah yang diharapkan manusia? Yaitu kesatuan seluruh semesta. Seluruh semesta alam adalah satu, maka di dalam satu ini, semua agama adalah sama, agama Buddha, kristen, Taoisme, Hinduisme, Islam, semuanya sama. Di dalam kesatuan ini, kalau Anda ingin damai, janganlah mengkritik orang lain, tetapi menghargai orang lain, karena semuanya adalah sama. Bukan saja demikian, karena semuanya sama, dulu manusia ingin memutlakkan yang relatif, tetapi sekarang justru sebaliknya, merelatifkan yang mutlak. Yesus tidak mempunyai keistimewaan, karena Dia “in Buddha, in Confusionism, in Shintoism god and other kind of god and goddes,” Yang paling celaka lagi, Anda harus menoleh melihat diri Anda sendiri, apakah yang ada di dalam diri Anda? Anda bukan hanya pusat, bukan hanya telah menjadi dewasa. Sekarang Anda adalah allah, di dalammu ada sifat allah, di dalam meditasi dan kontemplasi, Anda mengembangkan potensi yang tidak terbatas di dalam diri Anda. Sebab itu Anda mempunyai kepercayaan diri. New Age Movement adalah gerakan yang pertama kali menginginkan kesatuan di dalam sejarah. Di dalam sejarah, gerakan ini adalah gerakan yang pertama di mana Barat membuka diri kepada Timur. Di dalam kepercayaan Toynbee yang kabur, dia mengatakan, “Ya Allahku, Engkau adalah Yahweh, Engkau adalah Buddha, Engkau adalah Konfusius, Engkau adalah yang dicari oleh semua agama.” Pemikiran seperti ini sebenarnya diawali oleh seorang filsuf Jerman yang bernama G. E. Lessing. Dia berpendapat ada tiga agama besar yang pada satu hari nanti akan bersatu, yaitu agama Kristen, Islam, dan Yudaisme. Ketiga agama besar ini sama-sama mengklaim mendapatkan wahyu dari Allah, tetapi wahyu yang sesungguhnya di mana? Tidak dapat ditinjau dari perkataan mereka, hanya dapat ditinjau dari buah mereka. Yang sungguh memiliki kasih, baru akan sukses. (Hal ini pernah mengakibatkan satu gerakan besar theologi pada abad kesembilan belas, yaitu perbandingan agama.)

Di abad kedua puluh, memberitakan Injil bukan merupakan satu hal yang disambut dengan baik, tetapi dialog antaragama menjadi satu topik yang penting. Maka di akhir abad kedua puluh manusia sedang menantikan datangnya New Age Movement, pada masa itu manusia mengklaim diri sebagai Allah. Selain Lessing, kita menyaksikan Hitler juga sedang merintis jalan. Perhatikan simbol yang dipakai oleh Hitler mirip dengan simbol Buddhisme. Filsuf yang paling dikagumi oleh Hitler adalah Nietsche, filsuf yang paling dikagumi oleh Nietsche adalah Schopenhauer. Adapun agama yang paling dikagumi oleh Schopenhauer adalah Buddhisme. Sebab itu kita menyaksikan jalan ini semakin kelihatan.

Waktu gereja masih belum mempunyai daya mengirim uang ke Afrika, penyanyi rock Inggris. Bob Geldof, yang mendapat banyak uang telah mengirim uangnya ke Afrika. Apakah Anda sudah paham yang saya maksudkan? Sebab itu, tidak perlu Kekristenan, tidak perlu bantuan Allah. “Tuhan, saya sudah lama berdoa, tetapi Engkau terlalu lambat. Kita sendiri adalah allah, kita bisa menolong orang lain.”

Tahukah Anda bagaimana masa depan Kekristenan? Kaum modernis semakin melakukan studi semakin menyisihkan Kristus, Gereja Kristen semakin berkembang semakin membawa hal-hal bukan Kristen. Gereja yang paling banyak tidak mengerti Roh Kudus. Yang menyebut diri sebagai gereja yang paling bersandar pada Roh Kudus adalah gereja yang paling melawan Roh Kudus.

Hari ini kita berada di dalam kebudayaan. Di dalam gereja, keadaan yang di dalam dan di luar sesungguhnya adalah melawan prinsip kebenaran Allah dan Injil-Nya. Sadarkah Anda akan kewajiban Anda? Apa yang harus Anda lakukan? Memelihara kebenaran yang sejati, mengembangkan spirit Kekristenan dan menghidupkan Injil di dalam hidupmu. Jika Anda berbicara tentang Roh Kudus, ingatlah terlebih dahulu bahwa Roh Kudus adalah Roh Kebenaran, Roh Kudus adalah Roh yang mewahyukan Alkitab, dan sekarang Roh Kudus memimpin Anda memasuki Wahyu, bukan memberikan Wahyu baru kepadamu. Roh Kudus memimpinmu agar kamu kembali kehadapan hadirat Yesus Kristus. Dia adalah Roh yang memuliakan Yesus Kristus. Roh Kudus adalah Roh yang menolong Anda membuahkan buah-buah Roh Kudus. Prinsip-prinsip ini tidak dapat dipalsukan, tetapi talenta-talenta dapat dipalsukan.

BACA JUGA: Peran Kehendak Bebas Dalam Keselamatan

Apakah kebudayaan itu? Kebudayaan adalah kesuksesan yang dicapai berkat pergumulan sifat kebudayaan yang Tuhan sudah berikan kepada kita, tetapi kebudayaan telah didistorsi oleh dosa, bayang-bayang Kejatuhan berada di dalam kebudayaan. Di dalam kebudayaan, kita yang sudah terlebih dulu diselamatkan dari dalam kejatuhan kebudayaan, bagaimanakah kita memakai firman dan terang firman itu untuk menerangi kebudayaan? Kewajiban kita yang begitu besar, jalan yang harus ditempuh juga begitu sulit. Kiranya Tuhan menolong kita agar kita tidak hanya duduk-duduk menikmati makanan dan minuman, kiranya Tuhan menolong kita menggertakkan gigi, memantapkan tekad, menaati prinsip Alkitab, menerima curahan dari firman Tuhan yang melimpah dan membagikan kepada dunia ini. Selain itu, saya tidak melihat jalan lain. Permisi tanya, di manakah orang seperti ini? Siapakah di antara kita yang berkata, “Ya Tuhan, tolonglah aku. Beritahukanlah apa yang harus aku lakukan, besertalah denganku. Berilah kekuatan kepadaku, peliharalah aku, aku tidak mau dipenuhi oleh Roh Kudus palsu. Aku tidak mau membohongi diri sendiri, tetapi aku mau melengkapi diri dengan kebenaran-Mu, untuk bersinar bagi-Mu,” Bersediakah Anda?

DOSA, ARAH DAN NILAI KEBUDAYAAN
Amin.
Next Post Previous Post