IMAN, PENGGENAPAN AGAMA DAN KRISTUS
Pdt. DR. Stephen Tong.
Apakah yang menjadi kekayaan sejati dalam kehidupan seseorang? Apakah yang menjadi kekuatan perjuangan hidup manusia? Apakah yang menjadi jaminan keharmonisan hidup masyarakat? Apakah yang menjadi unsur ketabahan di dalam pembangunan dan kemajuan suatu bangsa atau negara? Kekayaankah? Sumber alamkah? Kekuatan militerkah? Ilmu dan teknologi yang mutahirkah? Semua itu memang penting, namun satu kekuatan yang melebihi semua itu adalah kepercayaan : Kepercayaan terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.
Sedangkan sumber dan dasar kepercayaan adalah iman kepada Tuhan. Pribadi yang teguh adalah pribadi yang beriman. Masyarakat, bangsa dan negara yang kuat adalah yang terdiri dari pribadi-pribadi yang beriman teguh. Untuk menghadapi segala tantangan dan semua tanggungjawab di dalam kehidupan ini kita semua memerlukan iman. Tetapi dari manakah kita mendapatkan iman yang sejati? Dengan jalan apakah kita dapat mengerti hal ini? Dan dengan apa kita dapat memperkaya iman kita itu? Alkitab berkata: “Pandanglah kepada Kristus yang mengadakan dan menyempurnakan iman.”
Di dalam kehidupan Kristen, iman adalah fondasi dan kunci kemenangan dalam setiap langkah di sepanjang perjalanan kerohaniannya. Kita dipilih menjadi umat Tuhan semata-mata karena anugerah-Nya, dan kita datang kepada Tuhan di dalam iman. Kita dibenarkan oleh iman. Kita diampuni dan didamaikan dengan Allah juga melalui iman. Kita menjadi anak-anak Allah karena iman. Kita menerima Roh Kudus dan kita dikuduskan dengan iman. Dan pada akhirnya kita akan dipermuliakan oleh iman juga. Sebagai orang Kristen, bolehkah kita mengabaikan iman yang demikian penting ini? Tentu tidak! Sebab iman merupakan pemberian Allah dan sekaligus menuntut tanggung jawab kita terhadap-Nya.
Di dalam situasi kehidupan beriman orang-orang Kristen yang sudah simpang-siur dewasa ini, kami yakin tugas pembinaan iman Kristen adalah sangat penting dan iman kita tidak bisa dikompromikan lagi. Oleh karena itu kami mengadakan Seminar-Seminar Pembinaan Iman Kristen untuk menegakkan ajaran Kitab Suci yang benar dan untuk meneguhkan umat Tuhan sendiri. Setiap Seminar dimaksudkan agar menjadi berkat bagi kaum pilihan, sehingga mereka boleh: (1) mempersiapkan diri dengan keyakinan dan kepercayaan yang teguh; (2) memperdalam pengertian akan kebenaran yang memberikan sukacita di dalam hidup beriman kepada Yesus Kristus; (3) memperoleh kekuatan bersaksi bagi-Nya di dalam masyarakat yang berkebudayaan majemuk ini.
Kiranya melalui pembinaan-pembinaan ini kita pun mengembalikan segala kemuliaan kepada Allah Tritunggal yang menjadi sumber dan tujuan iman.
Jakarta, September 1989
Pdt. DR. Stephen Tong.
BAB I :
PENGERTIAN MENGENAI AGAMA
“Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Dia tidak jauh dari kita masing-masing.” (Kisah Para Rasul 17:26-27)
A. CARA MENGERTI AGAMA
Benarkah manusia “mencari Allah”? Apakah semua agama mencari Allah? Apakah manusia mempunyai kesanggupan mencari Allah? Kalau manusia diberi kesanggupan supaya bisa mencari Allah, mengapa di dalam kitab Roma 3:10-12 Allah sendiri menegaskan: tidak ada orang yang mencari Dia? Sekalipun agama-agama mengatakan manusia seharusnya mempunyai suatu potensi untuk mencari Allah, tetapi faktanya Allah mengatakan bahwa tidak ada orang yang mencari Dia. Jika tidak ada orang mencari Dia, kita bertanya: “Kalau demikian, apa yang dicari orang di dalam agama?” “Kalau tidak mencari Dia, apakah agama tidak membawa manusia kepada Allah?” “Dari manakah asal agama, dari Allah atau dari manusia?”
Untuk mengerti dan menjawab semua pertanyaan ini memerlukan banyak pemikiran kita. Tetapi, saya percaya iman Kristen adalah iman yang paling kuat dan paling memberikan kekuatan kepada manusia untuk mengerti kebenaran secara total. Itulah sebabnya di dalam seluruh perjuangan sebagai orang Kristen, khususnya sebagai pemimpin yang tidak boleh ketinggalan, kita pun perlu memakai rasio atau pikiran kita. Namun demikian, rasio tidak boleh diperilah. Orang Kristen harus menggunakan rasionya dengan sebaik-baiknya, tetapi tidak boleh memperilah rasio. Jika kita mau meneguhkan iman, rasio dan segala pengertian kita, itu bukan suatu hal yang mudah. Jika kita ingin benar-benar mengerti kebenaran Firman Tuhan, seumur hidup kita harus menjadi murid Kebenaran. Jika kita masih ragu-ragu akan kebenaran, lebih baik kita tidak banyak bicara, melainkan banyak belajar. Seorang pemimpin yang masih meraba-raba jangan memimpin orang lain, kecuali dia sungguh-sungguh mengatakan apa yang dia percaya dan mengerti dengan jelas, barulah dia dapat membangkitkan iman orang lain.
B. IMAN DAN AGAMA
Iman dan agama memiliki suatu kaitan yang tidak mungkin dipisahkan. Tidak ada agama yang tanpa iman dan tidak ada iman yang tanpa sifat agama. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Jika agama sudah kehilangan iman, agama hanya menjadi semacam topeng yang berisi pengetahuan misterius. Sebaliknya, jika iman tanpa agama, iman tidak mempunyai sarana dan tidak mempunyai kelengkapan yang sesungguhnya. Itulah sebabnya iman dan agama mempunyai hubungan yang sangat erat dan sangat penting. Namun, kita tidak boleh menyamakan semua iman dengan agama. Ada keyakinan atau kepercayaan yang bersifat agama dan ada yang tidak bersifat agama. Kita juga tidak boleh mencampur-adukkan takhyul dengan kepercayaan atau agama.
Kita perlu memikirkan apakah agama di dalam iman, atau iman di dalam agama, atau iman sejajar dengan agama? Semua ini memerlukan pemikiran yang lebih dalam lagi. Saya berpandangan: iman belum tentu adalah agama. Iman hanya mempnyai sifat agama. Atau, ada sifat agama di dalam iman. Iman tidak bisa dikatakan sama kuat dengan agama. Juga agama bukan takhyul dan takhyul bukan agama. Agama bukan keyakinan, keyakinan mungkin bukan atau belum jadi agama. Dalam hal ini ada dua hal yang sangat bertentangan, tetapi telah terjadi dalam kebudayaan beberapa abad terakhir ini. Orang-orang yang kuno selalu menjadikan takhyul menjadi agama. Lalu orang-orang modern mempunyai ekstrim yang lain, yaitu menjadikan semua agama sebagai takhyul. Orang bijaksana seharusnya bisa membedakan keduanya.
C. DISTORSI KONSEP AGAMA
Kalau demikian, kita perlu memikirkan apakah agama itu? Mengatakan agama ini apa, memang tidak mudah; mengatakan agama itu bukan apa, lebih mudah. Apakah agama itu takhyul? Bukan. Apakah agama itu liturgi? Juga bukan. Masih banyak orang secara tidak sadar menganggap agama hanya liturgi belaka. Sehingga mungkin saja ada orang yang belajar hidup dengan demikian sopan santun, beribadah dan dengan berjubah agama, lalu mengira sudah beragama. Agama bukan toga dan jubah pendeta atau imam; juga bukan liturgi. Agama bukan segala formalitas yang bersifat agama. Mungkin saja ada orang yang memakai jubah dan toga tetapi dibalik semua itu menyimpan setan-setan yang berliturgi seperti malaikat, tetapi hatinya murtad terhadap Tuhan. Malaikat menjadi setan karena Allah melihat di dalam hatinya sudah tidak ada ketaatan lagi. Pada saat itu ia masih menjalankan liturgi atau kebaktian, tetapi motivasinya sudah lain, tidak murni lagi. Saya sangat kuatir kalau agama sudah menjadi lawan atau musuh Tuhan. Kristus dibenci dan dibunuh bukan oleh orang-orang di luar agama, melainkan Dia dibenci dan akhirnya disalibkan oleh para pemimpin agama. Mereka itu orang-orang yang berliturgi, beragama, tetapi iman mereka tidak dikaitkan dengan Kristus. Agama dan Kristus itu juga berbeda lagi. Semua ini memerlukan pemikiran lebih mendalam.
1. Agama dan Takhyul
Banyak orang yang sengaja memakai salah satu unsur agama dan mengubahnya menjadi magic. Magic boleh dibagi dua macam: white magic dan black magic. White magic adalah tipu muslihat (trik), sedangkan black magic mengandung kuasa setan (demonic power). White magic adalah semacam keahlian untuk menipu mata orang lain sehingga dengan mata fisik mereka melihat hal yang mengheranklan terjadi, karena belum sanggup menguji dengan matanya sendiri mengenai bagaimana taktiknya. Black magic memakai kuasa supra-alamiah, sehingga orang yang berada di dalam lingkungan hukum alam diganggu atau dikuasai oleh kuasa di luar alam; inilah yang dimaksud demonic power atau kuasa dari iblis atas pesuruh-pesuruhnya. Maka kita membedakan white magic dengan black magic. Tapi, keduanya bukan agama. Ada pemimpin-pemimpin agama yang sebenarnya bukan nabi dan bukan yang diutus Tuhan, namun mereka memakai cara demikian dan menggabungkannya dengan agama.
2. Agama dan Organisasi
Agama bukan sistem administrasi, bukan semacam wadah di mana manusia kelihatan beribadah. Agama lebih dalam dari semuanya itu. Bukankah kita melihat banyak gereja yang organisasinya makin menuju kesempurnaan namun hidup kerohaniannya makin kering? Mengapa sampai terjadi demikian? Karena sebenarnya mereka sudah kehilangan agamanya. Mereka mencoba memperbaiki wajah dan rupa agama secara lahiriah, tetapi tidak sadar sudah kehilangan sifat agama yang sesungguhnya. Sebaliknya, ada gereja-gereja yang sekalipun tidak mempunyai organisasi dan administrasi yang cukup baik, tetapi mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dari fakta ini kita perlu memikirkan kembali apa yang masih ada di dalam gereja dan apa yang sudah hilang dari gereja. Gereja hendaknya jangan hanya berpapan nama gereja, tetapi harus benar-benar berfungsi sebagai gereja. Jika kita tidak mendapatkan kembali sesuatu yang dijanjikan oleh Tuhan dan yang sebenarnya bisa kita capai di dalam karunia Tuhan, maka kita mungkin telah menjadi seseorang yang berjubah dan berorganisasi agama saja.
3. Agama dan Kebudayaan
Ini satu hal penting lainnya yang harus benar-benar dimengerti. Walaupun ada agama yang merupakan hasil dari suatu kebudayaan, namun agama berlainan dengan kebudayaan. Kebudayaan memang merupakan salah satu hal yang sangat penting di dalam hidup manusia. Hidup manusia memerlukan kebudayaan. Namun demikian, kebudayaan tetap tidak boleh disamakan dengan agama. Hal ini disinggung oleh teolog bernama Reinhold Niebuhr di dalam bukunya yang berjudul Christ Anda Culture (Kristus dan Kebudayaan). Ada beberapa pandangan mengenai hubungan antara agama dengan kebudayaan ini.
(1) Agama tunduk kepada kebudayaan
(2) Agama mnelawan kebudayaan
(3) Agama sejajar dengan kebudayaan
(4) Agama melampaui kebudayaan.
4. Agama dan Politik
Agama kadang-kadang juga disamakan dan diperalat oleh politik, padahal agama mempunyai bidang yang berlainan dengan politik. Tetapi, ada orang-agama yang mempermainkan politik dan ada orang-politik yang mempermainkan agama. Cukup banyak orang yang mencampur-adukkan agama dengan politik, sehingga menyamakan agama dengan politik. Orang yang mencampur-adukkan segala yang berbeda menjadi sama adalah orang yang kurang bijaksana. Dan orang yang sengaja membedakan hal yang sama menjadi tidak sama adalah orang yang terlalu memperumit segala sesuatu.
Agama yang sungguh adalah agama yang mempunyai kewajiban yang sungguih-sungguh terhadap Allah, sesama manusia, negara dan bangsa. Namun demikian, agama yang sungguh juga tidak mau diperalat oleh politik yang tidak benar. Sebaliknya politik yang bijaksana sungguh-sungguh mengetahui bahwa agama adalah suatu anugerah dari Allah dan mempunyai pengabdian kepada Allah; tidak mempermainkan Allah dan agama, dan politik itu akan diberkati oleh Tuhan.
Indonesia mempunyai pemerintahan yang cukup diberi kebijaksanaan oleh Tuhan, sehingga pembangunan fisik dan spiritual pasti akan berkembang terus. Dan ini hanya bisa terjadi kalau anugerah Tuhan benar-benar ada di dalam diri setiap rakyatnya. Kalau seseorang harus mempunyai pengetahuan agama di dalam otak, tetapi hatinya tidak takut akan Tuhan, berarti orang itu belum benar-benar dididik secara agama. Adakah bangsa yang tanpa agama bisa menjadi bangsa yang kuat abadi? Tidak ada! Kalimat ini sudah dicetuskan oleh Plato, 2400 tahun yang lalu. Plato berkata: “Supaya suatu bangsa bisa menjadi kuat, perlu kepercayaan yang sungguh terhadap Tuhan.”
Agama menjadikan suatu bangsa kuat. Namun demikian, apakah agama itu menjadi suatu alat supaya pemerintah lebih mudah menguasai rakyatnya? Ini bisa terjadi kalau pemerintah itu kurang mengerti sifat agama. Ada orang beragama tetapi tidak mempunyai pengenalan yang sungguh akan arti agama; mereka dapat menjadi orang yang mempermainkan dan menyalah-gunakan agama, sehingga mereka yang memerintah maupun yang diperintah tidak bisa menjadi berkat di dalam masyarakat.
Kekristenan menyediakan segala jawaban terhadap semua pertanyaan penting di dalam pikiran, kebudayaan masyarakat dan hidup manusia, karena secara prinsip Alkitab sudah memberikan semua jawabannya.
BAB II : IMAN DAN AGAMA.
MANUSIA DAN AGAMA
A. AGAMA : ESENSI HIDUP MANUSIA
Apakah manusia harus beragama? Jikalau manusia harus beragama, apakah sebabnya? Jikalau tidak, apa akibatnya? Bagaimana kalau manusia tidak beragama? Apakah agama dapat lebih menyempurnakan manusia? Kalau tidak mempunyai agama, apakah manusia akan kehilangan suatu aspek kehidupan yang penting?
Orang-orang Komunis berusaha untuk menghilangkan aspek agama dari masyarakat di mana mereka memerintah. Sebagai akibatnya mereka yang meninggalkan Tuhan itu makin kacau, makin kosong dan hatinya makin mengalami kesulitan. Mereka berusaha memberikan suatu kesan kepada dunia luar bahwa tanpa agama dan tanpa Allah masyarakat mereka tetap maju dan kuat. Tetapi itu adalah suatu hal yang tidak mungkin.
Banyak orang di Rusia yang sebelumnya belum pernah ke gereja, tetapi pada waktu menikah ingin sekali agar pernikahan mereka itu bisa diberkati oleh pendeta, supaya pernikahan itu menjadi bahagia. Mungkin saja mereka telah menjatuhkan agama ke dalam kategori takhyul, namun ini tetap membuktikan suatu kekosongan yang tidak mungkin diisi di dalam pemerintahan yang tidak mempedulikan agama.
Demikian juga halnya di RRC. Ada seorang yang datang dari RRC dan sedang belajar di Amerika, bertemu dengan saya dan berkata: “Selama beberapa puluh tahun kami belum pernah diajarkan mengenai Kekristenan dan belum pernah mengetahui apakah agama itu sebenarnya. Yang diajarkan kepada kami adalah bahwa agama adalah racun, agama adalah opium yang menipu rakyat. Tetapi fakta menunjukkan kami yang tidak beragama selalu merasakan kekosongan yang sangat besar.” Pada waktu saya menanyakan: “Apakah sekarang Anda sudah jadi Kristen?” Dia menjawab: “Belum.” Kemudian saya menanyakan juga: “Maukah Anda menjadi seorang Kristen?” “Saya sedang memikirkan hal ini, sebab kami sadar komunisme tidak bisa menjawab semua persoalan. Komunisme tidak bisa mengisi kekosongan kami.”
Juga suatu kali setelah saya selesai berkhotbah di Madison, waktu saya masuk ke tempat parkir yang agak gelap, seorang profesor datang kepada saya, dia takut dilihat dan diketahui kawan-kawannya. Profesor yang pernah dipengaruhi oleh pemerintah komunis itu berkata kepada saya: “Yang Anda katakan tadi selama tiga jam khotbah dan tanya jawab, sangat berkesan bagi saya. Ini yang saya nanti-nantikan selama 40 tahun dan saya belum pernah memperolehnya di negara saya yang antipati terhadap agama. Saya datang kepada Anda di sini karena saya takut dilihat oleh kawan-kawan saya. Dan saya berkata, meskipun saya belum mengambil keputusan menerima Yesus, doakanlah saya. Saya mau mencari kebenaran yang lebih jelas lagi.”
“Negara dan bangsa yang tidak beragama tidak mungkin menjadi kuat.” Kalimat Plato yang diucapkan 2400 tahun yang lalu ini memang benar, meskipun motivasi atau pikiran Plato tidak bisa kita terima, karena dia mau memakai agama sebagai suatu alat supaya rakyat bisa lebih mudah diperintah. Namun demikian, sesungguhnya manusia mencari Allah bagaikan burung yang kecil mencari makanan, begitu alamiah. Hal ini juga dikemukakan oleh Plato. Maka, manusia harus beragama. Bagaimana kalau kita melihat negara-negara atau masyarakat yang beragama, bahkan yang beragama Kristen, juga banyak yang tidak beres? Apakah ini berarrti agama, termasuk Kristen, tidak bisa menyelesaikan persoalan manusia? Menjawab pertanyaan seperti ini saya berkata: “Bagaimana keadaan mereka kalau tidak ada agama? Ada agama saja mereka mempunyai kelemahan sedemikian banyak; bukankah keberadaannya akan lebih rusak tanpa agama?
Seneca pernah berkata: “Pergilah ke seluruh ujung bumi, engkau tidak akan menemukan suatu negara, bangsa atau suku bangsa apa pun yang tidak mempunyai agama.” Meskipun dia sendiri belum pernah mengelilingi bumi, namun ia mengetahui semua bangsa yang pernah dikunjungi dan yang dikenalnya mempunyai agama. Di Kalimantan, di suatu desa kecil yang pernah saya kunjungi, saya melihat rumah jangkung. Di setiap rumah itu saya melihat ada sebuah tangga yang ujung akhirnya entah ke mana. Saya tanyakan kepada mereka: “Tangga ini menuju ke mana?” Sebelumnya saya tidak pernah tahu ada tangga model ini, kecuali di dalam rjanjian Lama dalam mimpi Yakub, ada tangga yang menuju ke sorga. Mereka menjelaskan bahwa di kampung-kampung di daerah itu mnereka percaya bahwa tangga-tangga seperti itu menuju kepada Satu Oknum yang tinggi di sorga. Hal-hal semacam ini dapat kita temui juga di tempat-temnpat lainnya, walaupun dalam bentuk ekspresi yang berbeda. Dari sini kita bisa mengetahui bagaimana agama sudah merupakan suatu esensi yang demikian dalam dan aspek yang sangat penting dalam dsasar hidup manusia.
Dalam abad ke-20 timbul pertanyaan, bolehkah orang modern tidak beragama? Berkenaan dengan ini ada dua pemikir di dalam teologi Kroisten yaitu Paul Tillich dan Dietrich Bonhoeffer. Bonhoeffer adalah seorang teolog yang melihat perlunya mendobrak politik yang melawan Allah dan dia menganggap politik politik yang melawan Allah berasal dari setan, sehingga perlu dilawan. Dia berusaha dengan sekuat-tenaga mendobrak secara radikal dan mengadakan revolusi yang menggulingkan Hitler. Tetapi dia tidak bisa melihat Hitlker jatuh, karena dua minggu sebelum Hitler jatuh, dia sendiri di gantung di penjara. Pemikiran Bonhoeffer berlainan dengan Paul Tillich yang mendapat 21 gerlar Doktor tetapi imannya banyak yang tidak beres ditinjau dari sudut konservatiosme. Paul Tillich masih mempunyai pra-anggapan bahwa manusia adalah makhluk agama.
Tetapi Bonhoeffer berusaha meniadakan sifat agama dari Kekirstenan. Maka Bomnhorffer menciptakan suatu istilah: Religionless Christianity (Kekristenan tanpa agama). Saya tidak setuju dengan pandangannya ini. Saya percaya bahwa Kekristenan mempunyai unsur dan nilai yang lebih tinggi dari agama-agama lain. Namun demikian, saya tidak percaya kita harus menjadikan Kekristrenan tanpa agama. Paul Tiullich mengatakan bahwa manusia tetap mempunyai sifat agama. Dari pra-anggapan ini dia menghadapi manusia dengan menggabungkan pikiran filsafat dan pikiran teologi menurut metodenya. Ini semua memerlukan penjelasan yanglebih mendalam.
B. AGAMA DAN SISTEM KEPERCAYAAN
Sebelum ada agama-agama yang agung sudah ada hal yang bersifat agama, tetapi kurang memenuhi syarat sebagai agama. Seringkali hal-hal demikian ini disebut agama. Ini sebenarnya penggunaan istilah yang salah. Iman adalah kekuatan dasar yang begitu penting sehingga manusia bisa hidup dengan sesama manusia, dengan alam dan dengan Allah. Tetapi iman yang merupakan unsur dasar yang begitu penting dalam diri manusia ini sudah salah arah, sehingga manusia “turun” menjadi makhluk beragama dan salah menggunakan agama, yang pada akhirnya merusakkan manusia itu sendiri. Kepercayaan-kepercayaan dan sistem-sistem agama yang rendah dan rusak misalnya:
1. Animisme
Animisme berarti percaya bahwa segala sesuatu yang kelihatan mungkin mempunyai dewa-dewa di dalamnya, misalnya percaya kepada pohon, batu, gunung, sungai, laut, dan yang lainnya. Mungkin juga ada orang yang kelihatannya Kristen tetapi masih berjiwa animis; tinggal di dalam tingkatan animisme, meskipun mereka mengaku diri orang Kristen.
2. Naturalisme
Naturalisme menganggap seluruh alam seperti Allah, atau sebagian dari alam diperdewa. Mereka percaya gunung sebagai tempat suci untuk beribadah. Di sini kepercayaan manusia sudah dikaitkan dan diarahkan kepada alam.
3. Totemisme
Totemisme ditemukan di pedalaman Amerika Utara dan Australia. Mereka menganggap bahwa suku mereka adalah keturunan dari sejenis binatang. Mereka menganggap suatu binatang sebagai nenek moyang mereka. Maka binatang tersebut mereka perilah. Kita melihat bagaimana manusia mungkin menjadi demikian rusak dan demikian bodoh, yakni kalau pikiran manusia, yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah itu tidak mendapatkan iluminasi dari wahyu Allah yang sejati. Manusiua mungkin jatuh melarat dan menjadi bodoh seperti binatang jikalau tidak kembali kepada iman yang sungguh.
4. Ancestorisme
Ancestorisme adalah mempercayai dan memperdewa benek moyang. Banyak orang Tionghoa percaya dan memberikan sembah sujud kepada nenek moyang mereka, menganggap nenek moyang sebagai obyek ibadah mereka. Demikian juga orang Batak suka mengidolakan dan berziarah ke makam Sisingamangaraja. Sebenarnya orang-orang yang agung dari nenek moyang kita tetap manusia biasa, sekalipun memang mereka mempunyai jasa dan sumbangsih yangs angat besar jkepada kita. Mereka hanyalah orang-orang yang dipakai Allah untuk melahirkan keturunannya. Keturunannya tidak boleh menjadikan mereka sebagai Allah atau obyek penyembahan.
5. Fetishisme
Fetishisme adalah kepercayaan yang menyembah benda-benda yang dianggap keramat atau yang dikeramatkan. Istilah ini berasal dari bahasa Portugis, feitico, yang berarti jimat atau jampi atau ilmu sihir. Misalnya, ada orang yang menyimpan suatu batu kecil terbungkus kain merah sampai berpuluh-puluh tahun dan dianggap keramat. Sehingga ia percaya bahwa tanpa benda ini dia tidak bisa hidup. Ini berarti sudah memakai salah satu unsur manusia yang begitu penting, yaitu sifat agama untuk arah dan obyek ibadah yang sama sekali salah. Di Indonesia masih ada orang “Kristen”, bahkan pimpinan gereja sekalipun, yang masih percaya hal demikian, namun memakai nama Yesus untuk berdiri melayani di atas mimbar. Ini perlu didobrak, karena mereka menamakan diri “pengikut-pengikut Kristus”. Kalau kita percaya kepada Yesus Kristus, Tuhan Yang Mahaada dan Mahakuasa, mengapa masih memerlukan opo-opo (di Manado), mengapa masih percaya pada dewa atau ilah di dalam benda-benda? Semua itu sebenarnya adalah penyalah-gunaan sifat agama yang tidak berkenan di mata Tuhan.
6. Heroisme
Heroisme adalah kepercayaan yang menjunjung tinggi orang-orang yang dianggap sebagai pahlawan dan memperilahnya. Sebenarnya tidak ada orang yang terlalu agung sehingga dia boleh dijadikan allah. Seagung apa pun manusia tetap hanya ciptaan Allah; di dalam aspek tertentu mereka seperti Allah, tetapi bukan Allah. Barangsiapa tidak dapat membedakan antara yang diserupai dan yang menyerupai berarti belum mengerti perbedaan kualitas antara Pencipta dan ciptaan. Allah yang diserupai oleh manusia dan manusia yang menyerupai Dia. Manusia hanya seperti Allah tetapi bukan Allah, karena manusia mempunyai peta dan teladan Allah. Oleh sebab itu sekalipun manusia menggunakan segala potensi yang besar yang ada padanya, lalu mendobrak dan mengadakan revolusi, sehingga menjadi pahlawan bagi bangsanya, mereka tetaplah manusia, bukan Allah, Heroisme mungkin menjadi semacam agama bagi orang-orang modern juga.
Pada waktu Perang Dunia II selesai, Chiang Kai Shek mempunyai hati besar dan berkata: “Ampuni orang Jepang; jangan menuntut lagi dari mereka.” Orang Jepang, khususnya generasi yang lebih tua sangat mengingat budi atau jasa Chiang Kai Shek. Setelah Chiang Kai Shek meninggal, ada orang yang menambah satu tempat abunya di Jepang dan ditempatkan di salah satu kuil, kemudian orang-orang di sana menyembah dia. Ini contoh heroisme yang salah menggunakan sifat agama.
7. Ideologisme
Ideologisme adalah suatu isme yang menjadikan ideologi sebagai suatu obyek kepercayaan yang mutlak. Jkalau kita mendewakan suatu filsafat, sistem pikiran, atau ideologi, sehingga dimutlakkan, maka berarti kita telah merebut kledudukan dan kemuliaan Allah melalui proses kemutlakan itu. Sebenarnya hanya Allah yang mutlak. Saya memberikan sebutan bagi Allah The Absolute One, “satu-satunya mutlak yang mutlak”. Yang lain adalah mutlak yang tidak mutlak atau kemutlakan yang dipermutlak. Tetapi Allah adalah mutlak yang mutlak yang tidak perlu dimutlakkan lagi. Ada orang yangmenganggap bahwa Komunisme adalah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan semua kesulitan di dalam semua negara di dunia ini. Mereka telah memperilahkan Komunisme. Ini contoh ideologisme. Kalau ideologisme sudah menjadi Allah bearrti sudah memakai sifat agama untuk kepentingan lain.
C. TEORI TIMBULNYA AGAMA
Dari mana dan mengapa timbul agama? Sebelum abad ke-16 pertanyaan ini belum termasuk di dalam mata pelajaran akademis. Tetapi sesudah itu, khususnya di dalam abad ke-18 dan 19, pokok ini menjadi mata pelajaran yang begitu hangat diperbincangkan di dalam dunia akademis. Mengapa manusia bisa beragama? Mengapa bangsa-bangsa beragama? Mengapa suku-suku bangsa di mana saja mempunyai cara-cara beribadah, meskipun berlainan coraknya? Dari mana timbulnya semua itu?
Gotthold Ephraim Lessing (1729-1781), seorang teolog dan ahli sejarah bangsa Jerman mempunyai pikiran yang menimbulkan mata pelajaranm baru, yakni Perbandingan Agama. Perbandingan Agama menjadi suatu pelajaran penting sesudah zaman Lessing. Filsafat dan pikiran Lessing tentang agama sedikit sekali. Tetapi sesudah itu banyak orang mempelajari, menyelidiki, serta meraba-raba tentang apakah yang menjadi kemungkinan terjadinya agama.
Mengapa agama timbul di dalam kebudayaan manusia beribu-ribu tahun yang lampau? Mengapa agama yang besar, yang agung begitu sedikit, tetapi pngaruhnya demikian besar? Banyak orang jenius di bidang musik, arsitektur, kedokteran, sastra, filsafat, fisika dan lain-lainnya, tetapi orang jenius dalam bidang agama demikian sedikit. Berapa banyak orang jenius dalam agama? Yesus, Muhammad, Konfusius, Budha, demikian sedikit. Dari zaman dului sampai sekarang orang jenius dalam bidang agama demikian sedikit, tetapi mengapa pengaruh mereka demikian besar dan demikian luas? Banyak politikus berusaha mempertalat agama, bahkan menganiaya dan berusaha membasmi agama, tetapi akhirnya gagal dan agama itu tetap ada. Komunisme berusaha untuk mengikis agama dari akarnya,. Tetapi mengapa gagal dan agama itu tetap ada? Bukankah Mao Ze-dong sudah mati sedangkan agama tetap berkembang terus? Mengapa orang-orang jenius agama begitu sedikit, tetapi pengaruhnya demikian besar, demikian luas, lama dan mendalamn di dalam kehidupan umat manusia? Apakah agama itu sebenarnya? Mengapa timbul agama?
Pertanyaan kedua, mengapa agama timbul hanya dalam dunia manusia? Sifat-sifat agama yang muncul di dalam diri manusia tidak pernah nampak di dalam hidup binatang. Kita perlu memikirkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dengan Konsep Kosmos (world view) yang sesuai dengan Alkitab. Agama berasal dari luar ataukah dari dalam diri manusia? Kalau dari dalam, siapa yang telah menaruhnya di dalam manusia? Kalau dari luar, mengapa hanya manusia yang bereaksi terhadap agama sedangkan binatang-binatang tidak, sekalipun mempunyai lingkungan yang sama? Mengapa reaksi manusia begitu peka dan spontan terhadap hal-hal agama? Waktu kita masuk ke suatu lingkungan di dalam diri kita bisa timbul perasaan agama, tetapi binatang tidak; mengapa demikian? Perbedaan antara manusia dan binatang demikian banyak dan persamaannya terlalu sedikit. Oleh sebab itu, orang yang hanya mau mempelajari persamaan dan tidak mau mempelajari perbedaannya bukanlah orang yang bijaksana. Manusia diberi oleh Tuhan sesuatu yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain, sehingga di dalam manusia terdapat reaksi terhadap lingkungan luar yang menggugah perasaan agama di dalam dirinya. Perasaan agama itu telah ditaruh Allah di dalam manusia sejak ia diciptakan. Manusia diciptakan sebagai makhluk beragama. Seseorang mungkin saja tidak puas terhadap gereja dan Kekristenan, tetapi ia tidak bisa lepas dari Ketuhanan. Sebagai orang Kristen, kita perlu mengerti hal ini, kemudian biarlah kita mengisi kekosongan yang dirasakan oleh orang-orang yang tidak puas itu.
Kita akan memikirkan orang-orang yang melawan agama atau orang-orang yang menganggap dirinya lebih pintar dari mereka yang beragama. Mereka berusaha melepaskan diri seolah-olah mereka bukan manusia, lalu mereka menyelidiki manusia yang lain sebagai obyek penyelidikan. Mereka melepaskan diri dari orang lain, lalu semua orang lain dianalisa. Bukankah banyak psikiater berusaha mengerti manusia seolah-olah mereka lebih tinggi dari manusia? Para psikiater hendaknya hati-hati dalam hal ini. Di Amerika, statistik menunjukkan bahwa yang paling banyak bunuih diri adalah mereka yang berprofesi sebagai dokter, dan di antaranya yang paling banyak justru adalah doklter jiwa atau psikiater. Saya harap di Indonesia tidak terjadi demikian. Apa sebabnya sampai terjadi demikian? Karena mereka berusaha menempatkan diri seolah-olah diri mereka bukan manusia dan menganalisa manusia, padahal mereka sendiri adalah manusia.
Semua kesulitan yang terjadi pada orang lain, mungkin saja terjadi pada diri mereka sendiri. Maka dalam hal ini kita tidak bisa melepaskan diri, seolah-olah kita tidak sama dengan orang lain. Kita semua sama. Orang lain diciptakan menurut peta dan teladan Allah, kita pun demikian. Hampir semua psikiater dan bidang psikolog sudah dipengaruhi Sigmund Freud pada permulaan abad ke-20, sehingga mereka menganggap semua agama adalah pembiusan. Dari pra-anggapan itu, mereka menganggap bahwa merekalah yang paling tahu segalanya, sementara yang lain masih anak-anak. Sebenarnya pra-anggapan ini adalah semacam agama yang dipercayai mereka, sehingga dari kepercayaan yang salah terhadap agama itu mereka menguraikan agama yang lain. Bukankah ini lucu sekali? Mari kini kita lihat pandangan beberapa orang mengenai agama:
1. Aguste Comte (1798-1857)
Pada usia 14 tahun Comte mengumumkan: “Saya melepaskan diri dari agama Katolik dan menjadi seorang pemuda bebas.” Biasanya hanya orang tua atau dari kelompok orang yang mendirikan negara, yang berani bertindak demikian. Tetapi jika seorang remaja dengan tegas memproklamasikan suatu kebebasan diri lepas dari agama, menunjukkan suatu keberanian luas biasa. Comte berkeinginan mengerti seluruh umat manusia, segenap pikiran mereka dan menganalisa semua manusia. Sampai akhirnya, ia menganggap sudah mendapatkan jawaban dan mengerti seluruh kebenaran, karena ia menganggap jawaban itu kebenaran, yang bisa melepaskan umat manusia dari ikatan agama yang salah.
Dari kasus ini mari kita mengintrospeksi diri, apakah kita telah mengisi kebutuhan generasi muda yang pandai, yang berpotensi dalam gereja? Apakah kita sudah merasa puas hanya kerena gereja kita penuh dengan pengunjung setiap Minggu? Sudahkah kita mengerjakan pembinaan bagi mereka? Jika kita tidak waspada dan mengisi kebutuhan mereka, bayangkan kerugian dan bahaya yang mengancam gereja di masa yang akan datang. Pelayanan melalui kampus-kampus sebenarnya sedang mengerjakan hal penting, yang mungkin belum dikerjakan oleh gereja.
Aguste Comte membagi manusia dan sejarah umat manusia dalam tiga tahap: (1) Tahap Teologi; (2) Tahap Metafisika; (3) Tahap Positif. Menurutnya, karena belum berpendidikan dan belum mempunyai pengetahuan yang banyak, orang dulu tidak bisa menjelaskan dari mana segala misteri atau rahasia alam yang terjadi, misalnya mengapa gunung meletus, melandanya banjir atau terjadinya gempa bumi. Maka, mereka melarikan diri dari fakta alam dan membuat jawaban: “Karena Allah murka maka semua itu terjadi.” Semua disodorkan kepada Allah, maka timbullah agama. Itulah yang disebut tahap teologi. Jadi, menurut konsep Comte, Teologi adalah pelajaran orang-orang bodoh yaitu mereka yang melarikan diri dari fakta dan lari ke dalam kurungan Teologi. Yang masuk ke dalam Sekolah Teologi adalah orang-orang kuno yang bodoh, yang tidak mengerti apa-apa, yang lari ke bawah naungan teologi dan menganggap diri sudah mendapatkan jawaban. Benarkah pandangan Comte ini? Saya mengatakan: “Sesungguhnya, ada jawaban di dalam Alkitab. Alkitab selalu menunjukkan kebenaran, bisa menjawab segala tantangan yang bagaimana pun sulitnya dari orang-orang yangmenganggap diri kaum intelek.”
Sesudah itu, menurut Comte, manusia menjadi lebih pandai dan menganggap tidak perlu mengaitkan segala sesuatu dengan Allah. Yanmg penting adalah menyelidiki sebab semuanya itu terjadi.
Maka terjadilah tahap kedua di dalam proses sejarah, yang disebut tahap metafisika. Tahap metafisika ini merupakan suatu periode di mana manusia mau mencari kebenaran di luar dunia yang kelihatan. Istilah “metafisika” di dalam bahasa Yunani Ta meta ta physika, yang dalam bahasa Inggrisnya the thing after the physics atau the world beyond the physical world. Artinya, “segala sesuatu (dunia) di luar dunia yang kelihatan.” Apakah yang ada di balik segala yang kita lihat?
Sewaktu kecil saya membayangkan kalau kita naik kapal terbang, terus terbang ke Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus sampai ke Pluto. Lalu terbang lebih jauh lagi sampai ke ujung alam semesta, ke mana akhirnya? Menabrak tembokkah? Kalau ya, lalu tembok itu pecah, ada apa dibalik tembok itu? Kalau tidak ada tembok, berarti saya akan terbang terus tanpa henti. Kalau ada tepi, ada apa di luar tepi itu? Sampai sekarang saya tidak mengerti dan tidak mendapat jawaban. Comte memperkenalkan metafisika, mengenai hal-hal di luar dunia ini. Maka timbullah suatu periode yang mengarah untuk mengerti sebab-musabab yang mengakibatkan segala sesuatu terjadi di dunia yang kelihatan ini. Namun demikian, tidak ada jawaban yang pasti dan jawaban-jawaban yang ada simpang-siur.
Kemudian Comte melangkah ke tahap ke-tiga yang disebut tahap positif. Menurut dia, manusia menjadi dewasa kalau sudah menuju dan mencapai tahap ini. Di dalam tahap inilah manusia menjadi pandai, yakni dalam tahap ilmiah (scientific). Jadi, menurut Comte, manusia yang pandai adalah manusia yang berilmu, sedangkan manusia beragama adalah manusia yang masih bodoh. Manusia yang masih memikirkan tentang Allah adalah manusia dengan tingkat kecerdasan (IQ) terendah. Manusia harus sungguh-sungguh melepaskan diri dari agama untuk menjadi bebas. Ajaran Comte ini mempengaruhi orang Perancis, Jerman, dan dunia Barat sampai sekarang. Banyak pemuda-pemudi berpendapat: ”Kalau saya mempunyai pengetahuan cukup tinggi, maka saya tidak perlu Allah lagi; kalau saya tidak mempunyai pengetahuan, barulah saya lari kepada Allah.” Allah dianggapnya Allah bagi orang-orang bodoh, sehingga banyak orang pandai keluar dari gereja. Saya tidak rela melihat hal ini terjadi. Tugas kita adalah membawa kembali manusia, yang diciptakan Allah, supaya manusia melihat kemuliaan Allah dalam aspek jawaban intrelektual. Tugas ini sangat berat, namun kita percaya pasti ada jawaban.
Di dalam pemikirannya mengenai “Mengapa timbul agama?”, Comte seolah-olah tidak mendapatkan cukup jawaban karena memang manusia tidak mungkin mengerti. Terlalu banyak rahasia di dalam alam. Maka menurut Comte, manusia menganggap mereka mendapatkan suatu jawaban dengan menyatakan “Allah menciptakan segala sesuatu.” Oleh sebab itulah timbul agama. Dan teori ini diperdewa atau dipercaya seperti sifat agama oleh seluruh penganut Materialisme dan Komunisme sampai sekarang. Orang-orang Komunis tetap menganggap bahwa agama diperlukan kalau orang sudah tidak mengerti ilmu pengetahuan. Kalau seandainya demikian, pertanyaan saya adalah: “Apakah semua ilmuwan yang beribadah kepada Tuhan hanya berpura-pura saja?”
Di Taipei saya pernah berkhotbah di suatu universitas dan sengaja berkata: “Comte sangat bodoh.” Kalimat ini menimbulkan kemarahan seorang intelektual, yang mendewakan Comte. Ia langsung bertanya: “Apa sebabnya Anda mengatakan Comte bodoh?” Saya menjawab: “Jelas Comte seorang bodoh. Kalau pada zaman kuno karena tidak ada jawaban sehingga manusia harus membayangkan ada “allah”; atau menciptakan ”allah”, mengapa hal ini tidak terjadi pada binatang-binatang atau makhluk lain? Orang materialis menganggap manusia adalah makhluk intelektual dan binatang makhluk bodoh. Bukankah ini berarti yang pandai menjadi bodoh dan yang bodoh menjadi lebih pandai? Tidak logis bukan? Kalau karena tidak mengerti misteri-misteri dalam alam baru manusia menemukan Allah, mengapa ada di antara orang-orang yang mempunyai otak luar biasa dalam zaman modern sekalipun tetap percaya kepada Allah? Sejak Revolusi Industri sampai sekarang sedikit ada 300 ilmuwan yang terkemuka dan 262 di antaranya adalah orang Kristen. Apakah Anda mengira kepercayaan terhadap Yesus Kristus adalah kepercayaan orang-orang bodoh? Apakah percaya kepada Alkitab sudah ketinggalan zaman? Sesungguhnya Comte tidak dapat menjawab pertanyaan itu.” Bagaimana kita menjawab tantangan generasi hari ini? Tugas kita memang berat, tetapi kita harus menjawabnya.
2. John Lubbock (1834-1913)
Lubbock menganggap agama sebagai semacam proses mendewakan alam. Kesimpulan ini diambil manusia melalui melihat alam dan kemudian mempersonifikasikannya, yakni menganggap semua yang ada di alam semesta, bintang-bintang, planet, bumi dan segala isinya, ada oknumnya. Pikiran manusia memproses semuanya itu sehingga menganggap semuanya ini memiliki dewanya. Misalnya, manusia melihat gunung Agung demikian agungnya, lalu berpikir, siapa oknum di balik gunung Agung ini? Kemudian oknum gunung Agung dijadikan dewa, yakni diperoknumkan dan diperilah. Hal serupa ini bagaikan seorang anak kecil yang menggambarkan bulan dan matahari yang dibubuhi mata, hidung, mulut, bahkan janggut. Demikianlah proses timbulnya agama menurut Lubbock.
3. Edward Taylor (1832-1917)
Edward Taylor mengatakan bahwa manusia menciptakan agama melalui renungan mereka terhadap alam semesta. Dari alam semesta mereka berimajinasi, lalu menggabungkannya itu dengan pikiran manusia dan kemudian menggabungkan pikiran manusia itu dengan konsep mereka tentang Allah. Jadi di sini yang disebut allah adalah ciptaan, bukan pencipta. Maksudnya, waktu manusia melihat bahwa dirinya bisa tidur dan bangun, bisa bertumbuh dan menjadi tua, lalu gejala-gejala hidup ini diterapkan ke dalam alam, misalnya pohon melewati proses: ada permulaannya, lalu bertumbuh, berkembang, menjadi tua dan layu. Taylor berpendapat bahwa manusia melalui alam yang dibayangkan sebagai atau seperti manusia telah menciptakan allah. Seluruh alam semesta ini bisa mempunyai permulaan, menjadi besar, bertumbuh menjadi dewasa, lalu tua dan menjadi layu. Dengan demikian seluruh alam semesta ini pasti memiliki satu Spirit Kosmos (roh alam semesta) seperti manusia juga. Kalau manusia mempunyai hidup dan roh alam semesta, juga mempunyai hidup, maka dia disebut allah. Dengan demikian melalui penggabungan gejala-gejala alam yang dibayangkan atau dibandingkan dengan hidup manusia, manusia membayangkan Allah. Menureut Edward Taylor itulah sebabnya timbul agama.
4. Max Müller (1823-1900)
Teori yang lain mengenai timbulnya agama dikemukakan oleh Max Müller. Max Müller membagi agama menjadi tiga macam:
(1) Psychological religion (agama psikologis);
(2) physical religion (agama fisik);
(3) anthropological religion (agama anthropologis).
Apakah maksud Müller dengan pembagian agama ke dalam tiga kategori ini? Mengenai agama psikologis, Müller mengatakan bahwa di dalam perasaan manusia terdapat suatu konsep ketidak-terbatasan. Konsep ketidak-terbatasan ini dipikirkan menjadi satu Allah yang tidak terbatas. Jadi, dari konsep menjadi suatu bayangan ketidak-terbatasan di dalam realita atau realita itu hasil dari konsep mengenai ketidak-terbatasan. Dari sini manusia menyembah ketidak-terbatasan sebagai suatu cetusan atau proyeksi dari konsep ketidak-terbatasan yang terdapat di dalam hati mereka.
Mengenai agama fisik, Müller mengatakan bahwa mulanya manusia memikirkan matahari dan planet-planetnya. Manusia mengetahui matahari menguasai siang dan bulan menguasai malam. Disamping itu manusia juga mengetahui bahwa matahari merupakan sumber bagi segala makhluk untuk bisa hidup dan berkembang. Jadi, baik secara langsung maupun tidak, bumi ini bersangkut-paut dengan matahari. Kemudian matahari disembah sebagai dewa oleh manusia. Materi dijadikan dewa. Dengan demikian benda-benda digabungkan dengan konsep adanya dewa. Agama yang bersangkut-paut dengan dunia fisik atau material inilah yang disebut sebagai agama psikologis.
Seperti telah kita ketahui, orang Mesir kuno bersembah sujud kepada Dewa Matahari yang mereka namakan Ra. Sampai sekarang pun masih banyak orang yang mempunyai kepercayaan semacam demikian, yakni percaya kepada sesuatu yang dianggap berkuasa, yang bersangkut-paut dengan hidup mereka dan dijadikan Allah atau dewa mereka.
Mengenai agama anthropologis di dalam teori ini digambarkan seperti seseorang yang berbakti atau begitu hormat terhadap orang tuanya, sehingga lambat-laun di dalam diri orang itu timbul suatu pikiran mengenai penghormatan dari bawah ke atas dan dengan menggunakan suatu sifat berbakti dia mengira di atas sana pun pasti ada allah. Dari “ancertor worshipo” (penyembahan terhadap leluhur) menjadi semacam agama; ini yang disebut agama anthropologis. Itulah sebabnya timbul agama menurut Max Müller.
Semua interpretasi mengenai timbulnya agama diberikan oleh orang-orang yang sebenarnya tidak hidup pada permulaan timbulnya agama itu sendiri. Semua jawaban mereka adalah semacam pikiran imajinatif manusia yang dipergunakan untuk mempermainkan atau menindas agama. Mereka berusaha mengenal agama dari luar agama, seakan-akan mereka sama sekali tidak perlu agama. Mereka seolah-olah mau mengerti seluruh umat manusia dan berbuat atau berpikir seolah-olah mereka bukan manusia biasa melainkan manusia “super”. Mungkinkah mereka meletakkan umat manusia di atas meja untuk menjadi obyek penyelidikan mereka? Mutlak tidak mungkin! Karena setiap manusia mempunyai sifat agama. Kalau setiap orang mempunyai sifat agama, bagaimanakah mereka dapat percaya bahwa teori agama mereka ini benar? Kecuali kita kembali kepada Allah dengan sifat agama yang sejati, tidak mungkin kita mengerti asal-usul agama. Mari kita kembali kepada Allah agar kita tidak menganggap bahwa Tuhan adalah hasil pemikiran manusia. Kita kembali percaya manusia diciptakan Allah sebagai makhluk beragama. Di sinilah titik tolak perbedaannya. Apakah Allah yang menciptakan manusia atau manusia yang menciptakan Allah? Anthroposentris ataukah teosentris? Teologi hanya dua macam: teologi teosentris dan teologi anthroposentris. Kepercayaan hanya dua macam: kepercayaan teosentris atau kepercayaan anthroposentris. Gereja hanya dua macam: gereja teosentris atau gereja anthroposentris.
BAB III : IMAN DAN AGAMA.
BEBERAPA PANDANGAN MENGENAI AGAMA
“Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya. Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” (Pengkhotbah 3:10-11)
Ayat di atas adalah salah satu ayat yang sangat agung di dalam Alkitab. Allah menciptakan segala sesuatu pada waktu yang tepat. Lalu Dia menciptakan manusia dengan memberikan kekekalan di dalam hidupnya. Di sini kita melihat paradoks yang nampaknya bertentangan, padahal tidak, yaitu waktu dan kekekalan. Apakah perbedaan waktu dan kekekalan? Kekekalan diberikan kepada manusia, yang diciptakan di dalam lingkaran waktu; manusia dibatasi di dalam waktu. Tetapi kekekalan bukan waktu dan kekekalan tidak dibatasai oleh waktu. Itulah sebabnya menjadi manusia tidak mudah. Barangsiapa menganggap hidup sebagai manusia adalah suatu hal yang mudah, ia belum mengerti makna akan manusia dan arti hidup. Allah telah menciptakan segala sesuatu pada waktu yang tepat. Itu berarti Allah menciptakan segala sesuatu dan menaruh segala sesuatu di dalam waktu. Limitasi (keterbatasan) waktu telah menjadi suatu lingkaran di mana segala sesuatu telah dibatasi di dalamnya. Tetapi, manusia adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan di dalam waktu, namun demikian mempunyai unsur yang melampaui waktu. Unsur yang melampaui waktu itu mengakibatkan kita disebut manusia. Di atas dasar inilah terletak nilai, kehormatan dan kemuliaan eksistensi manusia. Patutlah kita bersyukur kepada Tuhan atas hal ini. Kita perlu merenungkan ayat ini lebih dalam. Kita pun akan memakai ayat ini seterusnya untuk menjelaskan apa sebenarnya sifat agama yang diberikan oleh Tuhan di dalam manusia.
Banyak definisi yang dikemukakan oleh pemikir-pemikir mengenai agama. Kita hanya akan melihat definisi dan penjabaran mengenai agama dan beberapa tokoh. Agama memang merupakan salah satu tema atau pokok pembahasan yang paling sulit dibicarakan. Begitu banyak orang yang berusaha mnempelajari agama, terjun begitu dalam di dalam bidang agama, padahal sebenarnya mereka belum mengerti apa itu agama. Tetapi, sebaliknya, ada juga orang-orang yang berpengetahuan tentang agama padahal belum beragama. Di Indonesia, jikalau kita menanyakan setiap orang umumnya mereka akan menjawab: “Saya beragama. Kalau tidak, saya tidak bisa menjadi warganegara ini.” Ada yang nilai ujian agamanya baik, tetapi sebenarnya tidak percaya apa yang dituliskannya waktu ujian. Sebenarnya jikalau seseorang tidak mempercayai apa yang dipelajari tentang agama, orang itu belum beragama.
Blaise Pascal (1623-1662), seorang filsuf, ilmuwan, tokoh agama dan teolog yang sangat hidup beribadah di hadapan Tuhan. Jarang ada orang sejenius Pascal. Dia pun seorang ahli matematika yang menemukan kalkulator sebelum berusia tujuh belas trahun. Pascal pernah mengucapkan suatu kalimat: “Tidak ada orang yang dapat mengenal Allah lebih daripada cintanya terhadap Allah.” Biarlah kita yang belajar teologi memperhatikan ucapan Pascal ini! Jikalau seseorang tidak mencintai Allah, sekalipun telah membaca banyak buku tentang teologi, tetap belum berarti dia sudah mengenal Allah. Itulah sebabnya saya tidak mau pembahasan ini hanya menjadi suatu tempat di mana kita menambah pengetahuan agama saja; tempat di mana kita mengisi pengertian-pengertian agama dan iman Kristen, lalu mencela dan mengkritik orang lain.
Sepanjang hidup saya selalu waspada kepada diri saya sendiri, lalu mengingatkan diri sendiri: “Stephen Tong, cintailah Tuhan, lalu belajarlah dari Yang kau cintai.” Kalau kita tidak mencintai Tuhan, lalu belajar banyak hal, semua mungkin akan diperalat untuk melawan Tuhan. Agama mengandung poengetahuan, tetapi pengetahuan tentang agama tidak sama dengan agama itu sendiri. Agama pasti meliputi pengetahuan dan pengetahuan itu dalam sekali dan pengetahuan rasio tidak dapat meliputi seluruh pengetahuan tentang kebenaran di dalam agama.
Banyak orang tanpa disadari mempunyai definisi dan pikiran yang keliru tentang agama dan berkata: “Semua agama sama, semua agama baik.” Kedua konsep tentang sama dan baik itu digabungkan, tanpa mengerti di mana persamaan dan di mana kebaikannya, pokoknya semuanya sama dan baik! Apakah karena semua agama mengajarkan yang baik, maka semua agama itu sama? Kalau seseorang mengatakan semua agama sama, maka hanya ada dua kemungkinan: pertama, dia tidak mengerti agama, atau kedua, dia bohong. Semakin kita mempelajari agama-agama, semakin kita akan mengetahui di mana perbedaannya. Dan semakin kita mengetahui perbedaan agama-agama, semakin kita tidak berani mengatakan: “Semua agama sama.” Memang agama ada persamaannya, tetapi lain. Semua agama ada keagungannya atau nilainya yang tinggi, tetapi kita tidak bisa mengatakan sama.
Sebagaimana agama-agama lain mengatakan agama kita tidak sama dengan agama mereka, demikian juga kita mengatakan agama lain tidak sama dengan agama kita. Namun demikian, sebagai orang-orang beragama, kita harus hidup dengan rukun dan damai dengan orang-orang yang beragama lain. Dan kita harus mengetahui iman kita dengan jelas. Di mana saja orang yang tidakmengerti agama selalu mengutip kata-kata ini: “Semua agama baik dan semua agama sama.” Banyak orang yang menolak penginjilan yang kita beritakan dengan kalimat semacam itu. “Oh, semua agama sama saja. Saya sudah mempunyai agama saya sendiri, sama saja.”
A. PANDANGAN TOKOH-TOKOH KEBUDAYAAN MODERN
1. Immanuel Kant (1724-1804)
Kant adalah orang yang penting sekali. Barangsiapa yang belum mengenal dan mengerti teori Kant, dia belum benar-benar belajar filsafat. Dan barangsiapa yang betul-betul mau mengerti filsafat, dia harus mengerti Kant. Tetapi ketahuilah, filsafat Kant tidak berdasarkan kebenaran yang dinyatakan oleh Tuhan. Apa sebabnya? Karena Kant tidak percaya bahwa manusia memerlukan penyataan Tuhan. Barangsiapa tidak percaya bahwa manusia memerlukan penyataan Tuhan, orang itu pasti tidak dapat mengerti penyataan Tuhan. Kalau manusia percaya ia tidak perlu penyataan, bagaimana dia bisa mengertinya?
Kant mencoba menggolongkan agama ke dalam dunia yang disebut dunia praktika, yakni di dalam dunia fenomena, bukan nomena. Dia membagi dunia di dalam dua kategori: pertama yang tidak bisa dicapai oleh rasio manusia disebut kategori nomena; dan kedua kategori yang bisa dicapai oleh rasio manusia disebuit kategori fenomena, yakni dunia di dalam gejala, yang bisa diraba, yang bisa dimengerti, yang bisa dipahami manusia. Ini disebut dunia fenomena dan di dalam dunia frenomena itu tidak ada unsur yang supra-natural; maka tidak ada unsur wahyu. Baginya wahyu tidak diperlukan sama sekali.
Kant menulis sebuah buku yang berjudul “The Religion Within The Limit of Reason Alone.” Judul bukui ini begitu cocok dengan isinya dan melaluinya kita bisa dengan jelas mengetahui titik pusat pemikiran Kant. Kant mempunyai pendirian bahwa agama tidak memerlukan penyataan Tuhan. Agama hanya berada di dalam lingkaran rasio dan pandangannya mengenai rasio yang bergabung dengan agama ini berbeda dengan pandangan pemikir rasionalis yang lain. Orang-orang rasionalis sebelum Kant sangat memutlakkan rasio sehingga seolah-olah memperilah rasio dan konsep mereka tentang rasio sangat sempit. Namun Kant tidaklah demikian. Kant menganggap rasio mempunyai golongan atau kategori tiga lingkaran. Dengan kata lain, dia membagi rasio menjadi tiga lingkaran, dan agama ditempatkan dalam lingkaran kedua yaitu rasio praktika.
Rasip praktika menunjukkan bahwa sekalipun ada hal-hal yang tidak dapat diuji dan dihitung secara matematis, namun kita bisa mengetahui bahwa pengetahuan itu benar. Di dalam rasio murni, pengetahuan kita dapat diketahui dengan tepat, misalnya 2+2=4, ini bisa diuji, bisa diulangi, bisa diajarkan kepada orang lain. Sedangkan di dalam rasio praktika kita bisa mengetahui hal-hal dengan tepat juga, misalnya saya mengetahui bahwa hidup saya berarti. Arti hidup ini tidak bisa diukur berapa bobotnya, tetapi saya tahu bahwa hidup saya berarti dan pengetahuan itu sama nilainya, sama sungguhnya, dipercaya dan boleh dipegang teguhnya seperti saya percaya 2+2=4.
Orasng-orang rasionalis sebelum Kant selalu menganggap rasio murnilah yang paling penting dan selain itu tidak ada kebenaran. Kant mengatakan: “Tidak demikian. Saya percaya akan hidup yang berarti. Saya percaya kalau di dalam hidup saya berbuat baik, itu lebih baik daripada tidak berbuat baik; dan kalau saya tidak berbuat baik, saya lebih tidak baik daripada saya berbuat baik. Semua ini saya tahu dan saya tahui bahwa saya harus berbuat baik.” Pengetahuan semacam ini adalam suatu pengetahuan yang tidak bisa dilalaikan dan ditolak. “Saya harus berbuat baik supaya hidup saya bernilai karena saya mempunyai kewajiban moral. Kewajiban moral untuk berbuat baik ini merupakan desakan supaya boleh memuaskan tuntutan hati nurani saya.” Dan Kant juga bertanya: “Dari mana datangnya hal-hal sedemikian?” Maka Kant mengasumsikan desakan moral ini adalah pusat sifat dasar agama dan juga merupakan bukti adanya Allah (moral argument).
Dengan demikian rasio saja tidak cukup, harus ditambah dengan moral dan moral ini pun bagi Kant adalah rasio (rasio praktika). Misalnya jika ada profesor-profesor atau guru-guru besar yang menganggap bahwa dunia hanya memerlukan ilmu; ilmu saja tidak cukup, yang lainnya tidak perlu, maka mereka mungkin mendidik murid-murid atau mahasiswa-mahasiswanya menjadi binatang-binatang yang lebih pintar saja, mungkin juga menjadi setan-setan yang lebih akademis, karena tidak bermoral. Selain hal ini (kewajiban moral dan pengetahuan tentang yang baik), saya juga ingin menanyakankonsep tentang kemutlakan dan ide tentang kesempurnaan, serta hal-hal lainnya yang seperti demikian dari mana asalnya? Kant menjawab: “Itu adalah rasio juga, itu pun pengetahuan; sesuatu yang dapat kita pegang teguh seperti para ahli matematika memegang teguh 2+2=4. Demikian teguh standar yang mereka miliki untuk pengetahuan mereka; seteguh itu pula saya sebagai manusia mempunyai standar pengetahuan mengenai baik dan mengenai tugas moral.”
Cuma dalam wilayah ini memang ada hal-hal; yang berlainan dengan wilayah ilmu pengetahuan. Wilayah ilmu pengetahuan memakai laboratorium dan eksperimen, wilayah agama tidak. Tidak ada laboratorium untuk menguji atau menghitung baik dan jahat. Ini semacam pengetahuan di dalam rasio dan rasio ini adalah sesuatu yang disebut oleh Kant sendiri dengan istilah “categorical imperative”, yang dimaksud adalah perintah tertinggi dari Allah yang mendesak manusia supaya bermoral. Kant tidak membuktikan Allah melalui penyataan dan Alkitab. Di sini perbedaan antara Kant dengan kebanyakan pendeta dan orang Kristen sekarang yang suka membuktikan segala sesuatu hanya dengan Alkitab. Kant menganggap dia juga bisa menyatakan Allah dengan caranya sendiri, yakni melalui kewajiban moral; setiap orang mempunyai kewajiban moral. Itu saja sudsah cukup. Oleh sebab itu jika ditanyakan, “Apakah agama itu?” maka Kant menjawab: “Agama adalah tugas dan perbuatan moral.”
Saya tidak setuju dengan pendapat atau pandangan Kant ini. Kita jangan langsung setuju akan pandangan seseorang yang baru pertama kali kita dengar sekalipun kedengarannya ada benarnya juga. Ini bahaya sekali. Waktu saya pertama membaca tulisan-tulisan Kant, saya kira benar. Waktu kemudian saya pikirkan kembali sambil berdoa dan meneliti atau membandingkan dengan Alkitab, saya mengetahui bahwa Kant salah. Kant adalah seseorang yang berbuat baik, lalu perbuatan baiknya sudah menjadi allahnya. Perbuatan baik memang perlu, tetapi perbuatan baik bukan Allah. Agama harus mengandung perbuatan baik, harus mengajarkan perbuatan baik, tetapi perbuatan baik tidak identik dengan agama.
Kant mempunyai popularitas luar biasa sampai seorang yang bernama Paul Tillich menganggap Kant sebagai seorang filsuf dari semua teolog Protestan. Saya tidak mengakui hal ini. Sebenarnya Kant bukan seorang Kristen yang sejati, bukan seorang Kristen yang telah diperanakkan pula, bukan seorang yang bertobat sungguh-sungguih. Kant tidak percaya kepada mujizat, penyataan Allah, kematian Kristus di atas kayu salib dan signifikansinya, dan sebagainya. Orang semacam ini seharusnya tidak menjadi filsuf dan teolog lainnya. Memang seolah-olah Kant telah melepaskan Kekristenan dari kesulitan yang besar di zamannya. Pada zaman Kant, di Eropa dan khususnya di Jerman, Kekristenan sudah dianiaya, dihakimi dan ditolak oleh orang-orang rasionalis. Kant seolah-olah sudah menolong Kekristenan dari situasi semacam ini. Tetapi Kant tidak membawa dirinya dan penganut-penganut pandangannya kepada iman Kristen yang sejati, karena bagi Kant agama hanyalah perbuatan-perbuatan baik. Agama yang berarti perbuatan baik itu dibatasi di dalam resiko praktika yang tidak memerlukan penyataan Allah. Nyatalah bahwa Kant sangat jauh dari iman Kristen.
2. Thomas Henry Huxley (1825-1895)
Dia adalah seorang agnostik yang berpandangan bahwa mnanusia tidak mempunyai kemampuan untuk mengetahjui yang terakhir mengenai Allah, kekekalan, kehidupan sesudah mati, dan sebagainya. Bagaimana bisa mengetahui keadaan sesudah mati, padahal kita belum mengalaminya? Bagaimana mengetahui tentang Allah, padahal Allah tidak berbicara langsung kepada kita? Menureut Huxley, pengetahuan tentang Yang Mutlak, Yang Akhir, dan Yang Kekal itu tidak mungkin dikatehui. Jikalau Kant membuka jalan ke arah mengetahui hal-hal itu, Huxley melengkapi dengan sistem Skeptisisme atau Agnostisisme di dalam zaman modern ini. Namun jika kita bertanya kepada orang Agnostik, “Apakah Anda melawan Allah?” Mereka akan menjawab, “Tidak! Saya tidak melawan, hanya saya tidak mengetahui mengapa saya bisa melawan yang tidak saya ketahui.” “Lalu mengapa Anda berkata bahwa Allah tidak bisa diketahui kalau Saudara tidak tahu?” “Ya, saya tidak tahu.” “Kalau tidak tahu, mengapa bicara?” “Yang saya bicarakan saya tidak tahu.” Lalu kalau kita tanyakan, “Pastikah bahwa Allah tidak bisa diketahui?” Mereka menjawab, “Saya pasti, saya berani dengan tegas mengatakan: Allah tidak dapat diketahui!” “Jadi Anda percaya dengan pasti bahwa Anda tidak tahu?” “Ya, saya percaya.” “Mengapa?” “Sebab Allah tidak bisa diketahui.” “Mengapa Saudara tahu bahwa Allah tidak bisa diketahui?” “Ya, saya tahu.” “Tahu apa?” “Tahu bahwa Allah tidak diketahui.”
Mereka tahu kalau Allah tidak mungkin diketahui dan mereka menganggap pengetahuan mereka itu mungkin diketahui. Jadi, Agnostisisme merupakan suatu teori yang menjatuhkan diri sendiri. Kalau kita tanyakan, “Kalau Allah tidak mungkin diketahui dan kebenaran tidak mungkin diketahui, apa yang Saudara katakan ini kebenaran atau bukan?” Mereka menjawab, “Ya, itu kebenaran.” Kalau kebenaran tidak bisa diketahui, kalau seseorang berani mengajar dengan teori itu supaya orang lain tidak mengetahui Tuhan, bukankah teori ini sangat lucu? Bukankah teori ini mungkin tipuan dari iblis? Jadi terhadap orang yang berkata, “Agama tidak mungkin diketahui”, kita dapat menantang, “Saudara tahu bahwa hal ini tidak mungkin diketahui, dari mana pengetahuan Saudara bahwa ini tidak mungkin diketahui?” Orang yang berkata bahwa Tuhan dapat diketahui akan menemui kesulitan. Orang yangberkata bahwa Tuhan tidak mungkin diketahui menghadapi lebih banyak kesulitan. Ini memang suatu hal yang sulit luar biasa, tetapi baik seseorang yang percaya bahwa Allah mungkin maupun tidak mungkin diketahui, orang itu telah percaya bahwa dirinya mempunyai keyakinan percaya atau tidak percaya; dan keyakinan itu juga adalah kepercayaan. Sama halnya dengan orang yang mengambil keputusan percaya dan menerima Yesus dan orang yang mengambil keputusan tidak mau percaya dan tidak mau menerima Yesus, keduanya sebenarnya mengambil keputusan.
Demikian juga orang yang mengatakan bahwa Allah tidak bisa diketahui; waktu ditanyakan kepadanya dari manakah ia tahu bahwa Allah tidak bisa diketahui, dia akan menjawab: “Kami tahu, bahwa Allah tidak bisa diketahui.” Itu adalah “kebenaran” yang tidak percaya akan kemutlakan dan itu sebenarnya bukan kebenaran, karena kebenaran sejajar dengan kemutlakan. Kita perlu mempelajari kebenaran dengan baik-baik, sekalipun sering kita merasa belum perlu. Jika kita menuntut, banyak membaca, mendengar dan berpikir, kita akan mengerti lebih banyak mengenai kebenaran. Banyak buku yang memaparkan hal-hal yang nampaknya seperti kebenaran, padahal kalau dinilai tidak mempunyai dasar yang kuat sebagai kebenaran, termasuk teori-teori Kant.
Apakah definisi agama menurut Huxley? Huxley mengatakan bahwa agama bukan sekedar perbuatan baik, agama adalah semacam penghormatan dan kasih terhadap etika yang berusaha merealisasikan hal itu di dalam hidup sehari-hari. Jadi teori Huxley ini tidak banyak berbeda dari Kant. Pengertian Huxley mengenai agama paling banyak hanya sampai di sana, sebab dia menganggap tidak mungkin mengetahui mengenai agama, tentang Allah, tentang hal-hal rohani, jiwa yang kekal dan kekekalan, dan sebagainya. Huxley mengatakan karena tidak mungkin kita mengetahui tentang hal-hal itu, maka lebih baik kita menggarap apa yang kita ketahui, yakni yang ada di dalam wilayah etika dan moral; dan bagi dia agama bukan sekedar etika dan moral, tetapi semacam penghormatan dan cinta kasih terhadap moral yang diusahakan direalisasikan ke dalam hidup. Saya bisa menghargai kalau orang, baik yang beragama maupun yang tidak, berusaha merealisasikan ide etika dan moralnya. Orang itu cukup dihormati di dunia ini. Tetapi, itu saja belum cukup di hadapan Tuhan. Dan yang paling disayangkan, banyak orang Kristen pun tidak pernah berusaha merealisasikan konsep etika dan moral yang berada di dalam Alkitab yang pernah dipelajarinya.
3. Ludwig Feuerbach (1804-1872)
Ia adalah seorang yang berasal dari Jerman yang menjadi perintis Materialisme; dan dapat dikatakan secara tidak langsung, guru dari Karl Marx. Dia menulis dua buku yang penting: The Essence of Christianity (1841) dan The Essence of Religion (1845), yaklni Esensi (Hakikat) Kekristenan dan Esensi Agama. Banyak orang pada zaman itu menganggap kalau sudah membaca kedua buku itu baru bisa mengerti tentang Kekristenan dan agama, padahal mereka sudah masuk ke dalam perangkap. Sebab, apa yang ditulis oleh Feuerbach tentang agama adalah untuk melawan Kekristenan. Dia menggabungkan semua agama dan Kekristenan di dalam semacam pikiran yang negatif bahwa agama adalah buatan manusia dan agama tidak berarti apa-apa.
Menurut Feuerbach, Allah dicipta oleh manusia menurut peta dan teladan manusia, persis terbalik dari ajaran Alkitab. Pikiran ini luar biasa jenius, tetapi itu adalah keagungan yang tidak berarah dan tidak berdasar. Kalau di dalam Alkitab, tertulis “Allah menciptakan manusia menurut peta dan teladan Allah”, maka Feuerbach menganggap sebaliknya. Dia berkata, “Segala sesuatu yang berada atau yang diucapkan di dalam khotbah atau teori-teori agama Kristen sebenarnya adalah semacam refleksi ide manusia itu sendiri saja.” Saya harus berkata bahwa setiap orang yang membaca atau mendengar hal-hal semacam ini harus memohon kekuatan dari Tuhan supaya tetap berdiri teguh, sebab jika tidak kita akan goncang. Tetapi jika kita mengalahkan semua ini, kita akan meneguhkan banyak orang termasuk mereka yang sudah digoncangkan oleh orang-orang akademis modern demikian.
Untuk menjelaskan teori dari Feuerbach ini, kita ambil contoh: Saya berdiri di sini dan dibelakang saya ada sebuah lampu. Semakin saya dekat dengan lampu di belakang saya, dengan sendirinya bayang-bayang saya di depan semakin besar. Waktu saya melihat bayang-bayang saya bergerak, saya tahu itu bukan saya dan saya bukan bayang-bayang itu. Kalau demikian, yang bergerak itu apa? Lalu saya pikirkan, “Itu Allah.” Menurut Feuerbach, proyeksi dari diri manusia itu dianggap Allah; itulah agama. Jadi manusia berusaha mencetuskan ide tertinggi lalu mengatakan bahwa ini adalah Allah. Mereka menciptakan Allah dengan imajinasi mereka yang digabungkan dengan refleksi mereka terhadap Allah dan menganggap itu adalah Allah. Racun semacam demikian sudah dipelopori dan disuntikkan oleh Feuerbach.
Saya ingin kembali kepada apa yang pernah saya bahas, yaitu mengenai “konsep kosmos” atau “pandang dunia” (world view); bagaimana kita menjelaskan, memberi arti, memberikan interpretasi atau menafsirkan segala sesuatu yang muncul di sekitar kita setiap hari; bagaimana kita memberikan penjelasan apakah arti hidup dan alam semesta ini? Feuerbach mempunyai kaca mata terbalik memandang semua ini. Dia memandang bukan Allah yang menciptakan manusia, tetapi manusia yang menciptakan Allah.
Kelihatannya cukup bisa diterima juga. Kita bisa setuju separuh dengan Feuerbach bahwa manusia menciptakan “allah”. Adakah manusia yang menciptakan “allah”? Ada. Tetapi itu Allah yang palsu. Allah yang palsu memang diciptakan oleh manusia. Manusia tidak bisa menciptakan Allah yang sejati, tetapi manusia bisa menciptakan Allahg yang palsu. Kalau ada seseorang berkata, “Saya paling senang dengan pengkhotbah A”, kita jangan langsung dipengaruhi oleh perkataannya. Mungkin yang dimaksudkan orang itu adalah, “Pengkhotbah itu paling cocok dengan keinginan saya. Saya senang khotbah-khotbahnya, karena dia tidak pernah menegur dosa saya. Saya tidak pernah dilukai. Dia selalu merestui saya.” Sebenarnya mungkin sekali di dalam orang itu sudah luka, hanya belum tersentuh. Luka yang parah mungkin masih belum terasa sakit sampai luka itu tersentuh sesuatu. Bukan karena tersentuh lalu menjadi luka, tetapi karena tersentuh baru ketahuan itu luka. Ada orang-orang yang mencari pendeta dan gereja yang cocok dengan dirinya. Kemudian “allah” dimanipulasi dan diperbudak untuk cocok dengan keinginannya. Jangan Saudara berusaha mencari pendeta, gereja, ajaran atau allah yang sesuai dengan dirimu, melainkan berusahalah supaya hidup Saudara cocok dengan Allahmu yang sejati. Terlalu mudah bagi orang-orang yang tidak sungguh-sungguh berbakti kepada Allah menciptakan allah palsu yang sesuai dengan dirinya.
Saya mempelajari pandangan-pandangan yang salah dan berusaha mengerti mereka. Dan saya bisa setuju dengan kalimat ini, “manusia menciptakan allah menurut peta dan teladan manusia”, tetapi itu adalah Allah yang palsu. Bolehkah orang Indoensia menciptakan Allah sesuai konsep orang Indonesia? Bolehkah orang Jawa, Sunda, Tionghoa, Amerika, India, dll. menciptakan Allah sesuai konsep mereka masing-masing? Semua Allah yang diciptakan menurut pikiran manusia itu sebenarnya adalah Allah yang palsu. Tetapi ini tidak bisa membuktikan bahwa Allah yang sejati juga diciptakan oleh manusia. Di sini kita melihat bagaimana orang-orang yang telah melawan Kekristenan mendefinisikan agama. Mereka mengatakan agama hanya proyeksi dan ide manusia sendiri saja; agama hanya proyeksi dari peta dan teladan manusia yang dibesarkan dan kemudian disembah oleh manusia itu sendiri.
4. Charles Kingsley
Kemudian seorang Kristen yang lebihmuda bernama Charles Kingsley mengadopsi pandangan Feuerbach itu dan menggabungkan dengan pikirannya sendiri. Di dalam salah satu karyanya, Kingsley menulis satu kalimat seperti demikian: “Hai orang Kristen, jangan membius dirimu dengan kebaktian-kebaktian Minggu dan kembali hidup yang berdosa setiap hari untuk kemudian membius dirimu lagi di hari Minggu.” Setelah kalimat ini dibaca oleh Karl Marx di British Museum, dia mengubah kalimat itu dan menjadikan satu kalimat: “Agama adalah opium yang membius rakyat.” Maksudnya: “Rakyat yang bekerja setengah mati dan tidak mempunyai hiburan patut diberitahu bahwa ada hari depan di sorga. Kalau di dunia ini kita hidup susah payah tidak mengapa, yang penting nanti bisa masuk ke sorga. Supaya para kaum buruh yang bekerja setengah mati itu terhibur, biuslah mereka dengan agama.”
Banyak orang menganggap pikiran itu berasal dari Karl Marx sendiri, padahal dia hanya mengutip saja. Pikiran semacam demikian tersebut demikian luas dan langsung mendapat sambutan luar biasa dan mereka yang menganggap diri berada di dalam kepicikan. Alkitab memang mengatakan tidak ada seorang pun di dalam dunia ini yang tidak menghadapi kepicikan dan kesulitan. Apakah menjadi orang kaya, berkedudukan tinggi dan mempunyai kuasa itu enak? Tidak. Seluruh umat manusia berada di bawah beban masing-masing. Tetapi Komunisme berusaha menghasut dengan menyatakan kepada kaum miskin untuk merebut kuasa melalui pertentangan lapisan masyarakat. Mereka menggugah perasaan kaum buruh bahwa mereka tertindas, sehingga harus memberontak. Saya tidak setuju akan Kapitalisme seratus persen. Saya pun tidak setuju kepada Komuniusme. Semua sistem yang ada di dunia ini tidak ada satu pun yang cocok dengan Alkitab. Kita perlu memikirkan dan membahas apakah prinsip-prinsip Alkitab. Kita perlu memikirkan dan membahas apakah prinsip-prinsaip Kristen mengenai hal ini.
Komunis berkata: “Satu-satunya milikmu di dunia ini adalah kekuatan dan tenaga untuk bekerja, padahal itu sudah diperalat oleh kaum kapitalis.” Kita harus mempelajari Kitab Suci dengan teliti dan memperbaiki kesejahteraan kaum buruh. Kita pun perlu mengerti masalah manusia seutuhnya di bawah terang Firman Tuhan, bahwa manusia bukan saja perlu dibebaskan dari ketidak-adilan, terlebih-lebih manusia perlu dibebaskan dari ikatan dosa dan kuasa iblis. Alkitab mengatakan: “Manusia telah ditindas dan diperas oleh dosa.” Di sini perbedaan Kekristenan dan Komuniusme.
Karena pikiran dari Marx ini, “Agama adalah pembius rakyat”, maka dengan cepat, dalam waktu tidak sampai seratus tahun, sepertiga umat manusia telah diperbudak di bawah Komunisme. Saya ingin melontarkan pertanyaan: “Bukankah faktanya kaum buruh di negara komunis bekerja lebih berat dan kurang mempunyai kebebasan dibandingkan kaum buruh di negara kapitalis? Bukankah fakta menunjukkan bahwa kesulitan-kesulitan sosial sudah menjadi semakin besar di negara-negara komunis? Bukankah Komunisme hanya membuktikan diri sebagai suatu cita-cita yang indah tetapi yang belum pernah tercapai? Bukankah pada akhirnya Komuniusme tetap tidak dapat melepaskan manusia dari belenggu-belenggu penindasan dan dosa?”
Itulah sebabnya banyak bangsa yang sebelum tibanya Komunisme di negara mereka, merindukan agar Komunisme cepat datang dan membereskan hidup mereka, tetapi setelah komunisme datang, di sana mereka baru mengetahui bahwa Komunisme bukan juruselamat sesungguhnya. Tidak salah kalau Paul Tillich mengatakan bahwa Komunisme bukan pengganti, melainkan saingan Kapitalisme; dan bagi saya sebenarnya Komunisme ini pun merupakan semacam Kapitalisme, hanya bedanya Kapitalisme tidak pada rakyat melainkan pada pemerintah pusat. Kapitalisme berada di sini, tetapi juga berada di sana, di negara-negara Komunis. Kalau seseorang tidak melihat dengan jelas prinsip-prinsip Alkitab, dia akan cepat percaya kepada teori-teori manusia.
Kalau Feuerbach mempengaruhi Karl Marx, kemudian Karl Marx mempengaruhi Lenin, maka Lenin mengatakan: “Tidak ada kekekalan. Tidak ada dunia yang tidak kelihatan. Kaum beragama dengan agama menciptakan hari depan, yaitu bahwa sesudah mati ke sorga, untuk menipu orang yang berada di bawah kuk penganiayaan terus menerus; itulah pemerasan yang dijalankan oleh manusia.” Akhirnya pandangan ini mempengaruhi Mao Ze-dong, dan tokoh-tokoh politik lainnya di negara-negara komunis lainnya yang begitu banyak di dunia ini.
Setelah saya selesai berkhotbah di Kanada, seorang bertanya kepada saya dalam dialog pribadi, “Perbudakan baik atau tidak?” Saya menjawab, “Tidak baik!” Lalu dia melontarkan pertanyaan lagi, “Mengapa komunisme berusaha menghapuskan ketidak-adilan dan sistem perbudakan di dalam masyarakat, sedangkan Alkitab mengajarkan ‘taatilah tuanmu’, sehingga seolah-olah menyetujui sistem perbudakan? Kalau demikian bukankah Komunisme lebih baik daripada Kekristenan?”
Saya belum pernah berusaha menghindari pertanyaan-pertanyaan atau kesulitan-kesulitan mengenai iman kita. Menghadapi kesulitan ini saya bertanya kembali, “Meskipun di dalam Alkitab masih ada istilah budak dan tuan, tetapi bukankah Alkitab telah menjadi sumber untuk memberikan kasih yang memperbaiki relasi antara tuan dan budak?” Alkitab mengajarkan “cintailah budak-budakmu, anggaplah mereka sebagai saudara-saudaramu di dalam Tuhan.” (Periksalah ayat-ayat mengenai hukum perbudakan di dalam Alkitab: Imamat 19:13; Ulangan 24:14-15; Yeremia 22:13 dst.; Efesus 6:59; Kolose 3:22, 4:1, bandingkan Ayub 31:13-15; Maleakhi 3:5; Yakobus 5:16; Filemon 18-19, 15-16, dll.).
Di dalam sepanjang sejarah telah terbukti bahwa iman Kristen berdasarkan Alkitab-lah yang sudah mengubah dan aklhirnya menghapus sistem perbudakan, sedangkan Komunisme meskipun menentang istilah budak, faktanya menunjukkan bahwa rakyat mereka telah diperas tenaganya dan bekerja lebih berat dari yang seharusnya. Istilah dan fakta belum tentu selalu cocok. Kepala negara Komunis yang tidak berpangkat raja, faktanya memiliki kuasa totalitariat yang jauh melampaui kuasa raja. Sedangkan negara-negara yang masih mempertahankan sistem kerajaan banyak yang telah mempraktekkan falsafah demokrasi. Biarlah orang bijak mengenal esensi dan tidak ditipu oleh fenomenba lahiriah. Akhirnya orang itu pulang dengan rasa puas dan berterima kasih karena pertanyaannya yang selama bertahun-tahun mengganggu imannya sudah terjawab.
A. PANDANGAN TOKOH-TOKOH KEBUDAYAAN MODERN
5. Sigmund Freud (1856-1930)
Ancaman lainnya lagi tidak datang dari dunia filsafat atau politik, tetapi dari psikologi. Psikologi pada permulaan abad ke-20 telah menjadi suatu ancaman yang besar; minimal ini dirasakan oleh kalangan Kristen. Kalau pada abad ke-17 dan ke-18 orang-orang Kristen merasakan sangat terancam oleh Rasionalisme, pada abad ke-19 oleh Materialisme dan oleh berbagai aliran ideologi serta filsafat, maka pada permulaan abad ke-20 serangan baru terhadap Kekristenan datang dari psikologi. Tetapi sekarang kita melihat ada perubahan yang sangat besar; sejak pertengahan abad ke-20 banyak dijumpai konselor dan psikolog Kristen. Sekarang bukan saja kita tidak menganggap psikologi melawan Kekristenan, melainkan di dalam dunia Kristen sudah banyak ahli psikologi yang sangat membantu dunia untuk maju.
Saya percaya satu hal: jika seseorang bukan seorang Kristen yang benar-benar bermutu baik, dan mengerti kebenaran, dia tidak mungkin menjadi seorang psikolog yang baik. Fakta hari ini menunjukkan, banyak keluarga psikiater dan psikolog tidak harmonis. Mereka dapat membimbing dan menolong banyak orang lain, tetapi tidak berhasil membimbing keluarganya sendiri. Sekalipun mereka mempunyai teori yang begitu handal, rumit, dan kompleks untuk menolong orang-orang lain, tetapi jika diri mereka tidak diletakkan di dalam kebenaran, semuanya tidak menolong diri mereka sendiri.
Para psikolog berusaha menjelaskan segala masalah dengan kunci seks, yakni mereka berpendapat bahwa segala masalah datang dari seks, atau seks yang menjadi masalah dasar bagi segala masalah yang lain, dan kalau tidak ada masalah dalam hal seks, maka segalanya tidak ada masalah. Teori ini dipelopori oleh Sigmund Freud, seorang psikolog terkenal bangsa Austria dan penemu teori Psiko-analisa. Apakah teorinya itu benar? Biarlah sejarah yang mengujinya. Meskipun saya tidak setuju dengan pandangan teologi dari banyak teolog, tetapi saya bisa mengutip kalimat-kalimat yang baik yang pernah diucapkan oleh mereka.
Salah seorang teolog Katolik yang bernama Hans Kung pernah berkata: “Waktunya sudah tiba dan kita harus melihat semua kelemahan ideologi-ideologi yang melawan Kekristenan.” Kelemahan mereka sudah terpapar dengan jelas semuanya. Kalau kita lihat dan memperhatikan baik-baik, lalu kita analisa, maka kita akan menemukan kelemahan-kelemahan dari semua teori dan filsafat yang melawan Tuhan itu. Saya percaya dan dengan iman mengatakan bahwa Alkitab yang diserang dari zaman ke zaman akan tetap teguh untuk selama-lamanya, karena Tuhan adalah Tuhan Kebenaran.
6. Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834)
Di sini saya juga akan memaparkan beberapa pemikir-pemikir besar lainnya di dalam sejarah. Pertama, Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, seorang pemikir dari Jerman. Schleiermacher mengatakan bahwa agama adalah suatu kesadaran perasaan bersandar yang mutlak (the sense of the absolute dependence). Jadi, menurut dia, agama tidak terjadi di dalam lingkaran rasio, kelakuan, etika, melainkan di dalam perasaan, yakni perasaan yang bersandar mutlak. Orang-orang yang percaya kepada dewa-dewa bersandar mutlak kepada dewa-dewanya. Perasaan bersandar mutlak dan kemutlakan perasaan bersandar itulah yang disebut agama. Menurut dia, kalau kita ke gereja tetapi belum menyandarkan diri secara mutlak kepada Tuhan, kita belum mengenal agama.
Pikiran Schleiermacher ini cukup mempunyai kekuatan untuk menaklukkan atau mempengaruhi banyak kaum intelektual pada zamannya, karena pada waktu itu sebagaimana Immanuel Kant berusaha melepaskan Kekristenen keluar dan lepas dari penganiayaan Rasionalisme, demikian juga Schleiermacher berusaha melepaskan Kekristenan keluar dari serangan Rasionalisme hanya saja caranya berbeda. Jikalau Kant memakai jalan kelakuan (etika), maka menurut Schleiermacher jika seseorang mempunyai perasaan bersandar yang mutlak, meskipun orang itu tidak beragama secara lahiriah, dia sudah beragama di dalam hatinya, karena agama tidak terjadi di dalam dunia rasio, etika atau moral, melainkan di dalam perasaan hati.
7. Albrecht Ritschl (1822-1889)
Pemikir kedua yang ingin saya kemukakan di sini adalah Albrecht Ritschl. Menurut Albrecht Ritschl, ilmu hanya memaparkan fakta, sedangkan agamalah yang menentukan nilainya. Fungsi agama adalah menentukan semua nilai. Agama bukan pengetahuan, agama bukan perasaan, bukan kelakuan, melainkan semacam penilaian. Bagaimana menilai sesuatu lebih bernilai dibandingkan yang lain, itulah tugas agama. Dan agama merupakan sumber di mana manusia menciptakan nilai dan sumber menciptakan nilai berasal dari Kristus. Itulah sebabnya menurut Ritschl, di sinilah letak keilahian Kristus.
9. Rudolf Otto (1869-1937)
Pemikir lainnya yang juga berasal darei Jerman pada abad ke-20 bernama Rudolf Otto. Mengenai timbulnya agama, Otto berpendapat bahwa agama timbul karena beberapa konsep yang penting. Pertama, karena manusia mempunyai konsep kesadaran bahwa ada sesuatu oknum yang sangat menakutkan (the sense of the awfulness). Kalau seseorang pada suatu saat masuk atau berada di dalam suatu wilayah (keadaan) atau mengalami sesuatu yang begitu menakutkan dan mengerikan sehingga semua bulu kuduknya berdiri, maka perasaan yang timbul kemudian menyebabkan dia meninggalkan perasaan dan konsep yang lama. Perasaan itu meyakinkan dia ada sesuatu; jika tidak ada apa-apa mengapa bulu kuduk bisa berdiri waktu mengalami hal itu?
Itulah yang dimaksud dengan the awfulness, perasaan yang menakutkan. Itulah sebabnya pada saat kita melihat patung-patung dari agama-agama kafir dengan raut muka begitu kejam, begitu kita melihatnya kita langsung merasa ketakutan. Sebenarnya dalam kasus ini mempergunakan sifat the awfulness ini. Bagi sebagian orang hal ini dirasakan perlu sekali. Kalau misalnya, keberangan penjahat masih bisa dilawan dengan senjata, maka keberangan di dalam patung-patung itu tidak bisa dilawan dengan senjata; mau tidak mau harus takut. Menurut Otto, sesuatu ekspresi yang menakutkan itu menimbulkan perasaan agama.
Kedua, karena manusia mempunyai konsep kesadaran bahwa ada satu oknum yang begitu agung (the sense of the greatness). Kesadaran akan suatu oknum yang begitu agung dan besar ini juga menimbulkan unsur-unsur yang sama yang berada di dalam agama-agama yang berbeda. Sementara banyak filsuf dan teolog lainnya berada dan duduk diperpustakaan mereka hanya untuk membaca buku-buku pemikir lain, Rudolf keluar dari ruang kuliahnya dan pergi ke negara-negara Timur untuk melihat dan menghayati sendiri serta untuk memasukkan jiwanya ke dalam zat-zat atau substansi dasar agama-agama, untuk menemukan hal-hal yang paling penting yang sama-sama terdapat di dalam agama-agama.
Dan Otto menemukan unsur yang ke-tiga, yakni perasan akan hal-hal yang misterius, ajaib dan tidak dimengerti (the sense of mystery). Kalau mengerti semua, berarti ilmiah; semakin dimengerti, berarti semakin bersifat ilmiah; semakin tidak dimengerti, berarti semakin misterius dan semakin bersifat agama. Kalau dalam bidang agama diberi pengertian sampai semua hal dimengerti, justru sudah tidak menjadi agama lagi. Jadi, agama justru bersifat misterius.
Ada ahli-ahli dan pemimpin-pemimpin agama yang tidak perlu khotbah, memberikan ceramah atau penjelasan-penjelasan, namun bisa menarik banyak orang (jemaat). Kalau ada orang bertanya kepada mereka, maka mereka tidak mau menjawab; dan semakin tidak mau menjawab, semakin orang lain tertarik kepada mereka. Gereja pun ada yang bersifat misterius dalam sekali dan ada yang dangkal. Kalau kita masuk ke Katredral-Katedral seakan-akan begitu agung dan mistis, begitu serius dan khidmat, tenang dan khusuk kesannya. Begitu masuk ke sana, orang-orang langsung diam. Tetapi kalau masuk ke gereja Kristen, banyak orang yang ramai bicara. Ini sebenarnya ada pengaruh dari arsitektur dan psikologi yang bergabung menjadi satu. Cara membangun gedung tempat beribadah yang dapat mempengaruhi perasaan agama.
Dio sini saya tidak mengkritik atau memuji suatu agama atau pun gereja, saya pun tidak ingin mengatakan bahwa saya merasa memang ada gejala atau kecenderungan demikian. Namun, saya harus mengatakan bahwa itu bukan agama, hanya perasaan agama. Perasaan agama bukan agama, seperti panas lampu bukan lampu. Dukun-dukun mengetahui bagaimana mempergunakan sifat misterius agama ini, sehingga menciptakan semacam “iman” dengan menutup mata. Apa artinya kalau mereka menutup mata? Tutup mata berarti manusia harus menghayati hidup yang berada di luar hidup yang kelihatan. Manusia harus mengkaitkan diri dengan dunia yang tidak kelihatan dan di sini terdapat sifat agamanya. Hal yang misterius, yang agung dan menakutkan, semuanya ini bergabung menjadi sifat agama. Itulah teori Rodolf Otto mengenai agama dan timbulnya agama, tetapi pandangannya tidak konservatif.
Saya berusaha untuk menjelajahi semua kategori yang paling penting, lalu kembali menyajikan ajaran dan pandangan yang benar. Saya pernah berkata bahwa saya tidak setuju kalau kita menyelidiki agama dengan sikap seolah-olah kita bukan orang yang bersifat agama. Saya tidak berani mengemukakan teori mengenai asal-usul agama, karena saya tidak pernah berada pada zaman itu. Satu-satunya jawaban adalah kita harus kembali kepada Alkitab, kepada apa yang dikatakan Alkitab mengenai mengapa manusia beragama. Kita akan meninjau hal ini dari 5 (lima) sudut.
B. KONSEP-KONSEP DASAR AGAMA
1. Konsep Penguasa Tertinggi dalam Alam Semesta
Manusia bersifat agama karena manusia diciptakan dengan suatu konsep tentang Penguasa yang Tertinggi di dalam alam semesta. Ini merupakan suatu konsep dasar yang tidak mungkin hilang. Kalau konsep bahwa di dalam alam semesta ada satu Penguasa yang Tertinggi dicemarkan, didistorsikan dan ditekan oleh filsafat dan pikiran serta hati nurani manusia sendiri, ini hanya membuktikan bahwa dosa sudah berada di dalam diri manusia dan bukan berarti Allah tidak ada.
Di dalam Roma 1:18-20 dikatakan bahwa di dalam hati setiap orang sudah dinyatakan bahwa ada Allah yang tidak kelihatan yang menjadi sumber dunia yang kelihatan. Melalui dunia yang kelihatan kita mengetahui bahwa ada Allah yang tidak kelihatan. Justru karena Allah tidak kelihatan, maka saya percaya Allah. Kalau kita menyelidiki di dalam pelajaran agama dan kebudayaan, kita dapat mengetahui, bahwa di dalam abad permulaan Perjanjian Baru bahkan jauh sebelum itu, di dalam zaman Plato, Herodotus, Sokrates dan Konfusius, sudah ada orang-orang yang menemukan suatu kebenaran umum bahwa tidak ada bangsa yang tidak mempunyai konsep allah.
Teori orang-orang liberal pada abad ke-19 tentang evolusi agama (bahwa monoteisme berasal dari politeisme yang lama kelamaan berkembang menjadi monoteisme) terbukti salah sama sekali. Sebenarnya justru politeisme merupakan kemerosotan monoteisme yang jauh lebih dahulu ada di dalam masyarakat kuno. Hal ini dibuktikan oleh banyak penemuan arkeolog abad ke-20. Banyak orang masih terkurung di dalam interpretasi yang salah dan teologi liberal ini.
Sejak permulaan sejarah, kita melihat bahwa semua bangsa percaya ada satu Allah, bukan banyak allah. Misalnya, Taoisme, yang berasal dari Lao-Tse, sudah memikirkan dan mengajarkan mengenai suatu kalam yang kekal dan hanya satu. Tetapi Taoisme di Tiongkok sudah merosot menjadi semacam takhyul di tengah-tengah rakyat jelata, yang dimulai oleh Chang Tao Ling. Chang Tao Ling sudah mengubah Taoisme menjadi suatu sistem takhyul kepada dewa-dewa, jin-jin atau setan-setan yang banyak. Ini sangat berlainan dengan filsafat Taoisme yang asli.
Di sebuah gereja di Rochester, New York, di antara pengunjung persekutuan mereka ada seorang yang berasal dari daratan Tiongkok, anak seorang pemimpin besar RRC. Seorang yang merasa kosong hati sehingga mendorongnya datang ke gereja. Pada waktu di kampusnya ketika mengikuti kuliah bahasa Inggris, teman di sisinya mengalami pergumulan hebat, bagaikan ada yang mau meletus dari dalam dirinya. Temannya ini,yang berasal dari Eropa Timur yang berpaham Komunis berseru, “Tuhan, betapa malangnya hidupku ini!”
Anak pembesar ini bertanya, “Mengapa Anda sedemikian saleh?” Temannya berusaha menyangkal, ”Tidak, sama sekaliu tidak!” “Apakah Anda percaya akan Allah?” “Tidak percaya!” “Jika tidak percaya, mengapa berseru kepada Allah?” “Saya sendiri tidak tahu mengapa saya berteriak demikian.” Kasus ini menunjukkan bagaimana konsep mengenai adanya Penguasa alam yang Tertinggi sudah tertanam begitu kuat di dalam diri manusia. Tidak seorang pun dapat memungkiri hal ini.
2. Konsep Kekekalan Jiwa
Pada waktu kita membeli suatu barang, rasanya senang sekali. Ketika barang itu rusak, kita merasa kesal. Mengapa? Karena ada sifat kekekalan dalam diri kita. Kita menjadi kesal pada waktu barang yang baik menjadi rusak. Isteri yang cantik menjadi tua dan kurang menarik lagi secara lahiriah mungkin membuat suami menjadi kesal, bukan karena mambenci isterinya, melainkan membenci kulit yang mulai kisut dan lisut. Ini merupakan ekspresi tuntutan sifat kekekalan dalam diri manusia, karena tidak mau kekekalannya digeser oleh waktu yang sementara.
Di dalam bagian permulaan pembahasan ini saya telah mengutip, ”Allah menciptakan segala sesuatu di dalam waktu yang tepat, lalu memberikan kekekalan yang melampaui waktu dalam hidup manusia.” Pada waktu kita menjadi tua dan memperhatikan wajah sendiri di cermin, timbuillah perasan tidak senang, karena kita tidak mau digeser oleh waktu. Pada waktu muda banyak orang mengira dirinya kekal, karena manusia memang mempunyai kekekalan, tetapi dengan kekekalan itu mereka hanya mencintai, mencari dan memegang segala sesuatu dalam dunia materi dengan sifat kekekalan kita.
Sampai masa tua tiba, kita baru sadar bahwa hal yang kita pegang adalah hal sementara dan tidak kekal. Sewaktu kita melihat diri menjadi tua melalui cermin, datang kesadaran bahwa bagian diri yang bersifat materi harus digeser oleh waktu. Sedangkan untuk menghadapi kekekalan, kita belum mempunyai pegangan apapun. Bukankah hal demikian berulangkali terjadi pada setiap generasi? Bukankah kita berada dalam kontra antara kekekalan dan kesementaraan? Bukankah ini merupakan pengalaman setiap manusia?
Di sinilah kesulitan keberadaan manusia, semakin tua konflik itu semakin besar, sehingga akhirnya manusia mau tidak mau harus mengalah dan menerima fakta keterbatasan jasmani yang mengikat sifat kekekalan itu. Apakah manusia memang sementara? Tidak! Kekakalan itu tetap ada. Yang sementara adalah badan, yang kekal adalah jiwa. Yang sementara adalah realita hidup dunia ini, yang kekal adalah iman kepercayaan yang tidak pernah berhenti.
Mengapa sebelum meninggal biasanya seseorang memberikan pesan-pesan yang penting sebagai kristalisasi pengalaman seluruh hidupnya? Bukankah ini membuktikan bahwa dengan kebenaran-kebenaran yang dialaminya dan dengan perkataan-perkataan yang dianggapnya kekal, dia berusaha menggeser waktu yang sedang menggeser dia? Mengapa ada orang-orang yang berusaha memulihkan nama baik orang yang sudah mati, misalnya Presiden RRC, Liu Shao Qi? Apakah orang komunis yang sudah diganyang dan dijatuhkan kedudukannya itu perlu dikembalikan nama baiknya meskipun ia sudah mati? Bukankah tindakan seperti itu membuktikan bahwa orang-orang atheis pun tidak lepas dari konsep bahwa manusia mempunyai kekekalan? Mati tidak berarti akhir dari segala sesuatu. Tidak peduli apakah kita Kristen atau bukan, materialis atau kapitalis, bangsa apa pun, setiap kita mempunyai konsep kekekalan, sesuai dengan ajaran Alkitab.
3. Konsep Kewajiban Moral
Siapakah yang tidak mempunyai perasaan tanggung jawab atas perkataan dan tingkah lakunya yang bersangkut-paut dengan yang baik dan jahat? Siapakah yang bisa hidup di dalam kejahatan terus-menerus tanpa teguran hati nurani? Bukankah setiap manusia mempunyai dorongan dari hatinya yang terdalam untuk menjalankan kewajiban moral? Sebagai manusia, kita tidak bisa tidak ingin berbuat baik. Konsep ini tidak bisa dihancurkan oleh kebudayaan apa pun di dalam dunia modern, tidak bisa dihanyutkan oleh teori apa pun. Justru di atas dasar itulah Kant menemukan kemungkinan bagi manusia untuk percaya bahwa Allah itu ada. Manusia adalah manusia, karena ia diciptakan sebagai makhluk yang bermoral. Manusia pada abad ke-20 mempunyai kecenderungan yang sangat kurang ajar, berusaha melegalisir hubungan seksual yang tidak sah.
Pada tahun 1984, ketika saya berada di San Fransisco, secara kebetulan lima kota di sana mengadakan pawai yang dilakukan oleh ratusan ribu orang yang menuntut “Legalisirkan homoseksual dan lesbian sebagai cara hidup yang wajar!” Apa yang terjadi sekarang? Allah membiarkan merajalelanya penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) di mana-mana. AIDS yang menimpa 70% dari orang yang mempraktekkan homoseksualisme bukan saja membahayakan kaum homo, tetapi juga mereka yang tidak pernah mempraktekkannya. Kita jangan main-main.
Sekalipun manusia berusaha dengan teori-teori yang paling modern mengubah konsep moral, tetapi apa yang ditentukan dan diberikan oleh Tuhan tidak dapat diubah, yakni konsep moral yang tidak mungkin dilawan. Kita harus baik-baik memelihara prinsip moral yang telah ditentukan oleh Tuhan, misalnya hanya boleh berhubungan dengan suami atau isteri sendiri. Kita adalah manusia yang dicipta menurut peta dan teladan Allah. Kalau kita bermain-main dengan diri sendiri, berarti kita bermain-main dengan ciptaan Allah yang sedemikian mulia. Moral tidak hanya menyangkut hubungan seks. Saya berpesan, biarlah dalam segala bidang moral kita menjalankan perintah Tuhan, maka kita akan diberkati oleh Tuhan. Berapa banyak orang yang dengan kepandaian dan teori-teorinya yang hebat serta kata-kata yang indah berusaha melicinkan jalan supaya boleh dan bisa berbuat dosa tanpa dihukum. Mungkin di antara mereka terdapat ahli-ahli hukum yang hebat. Sekalipun mereka berusaha supaya tidak dihukum, tetapi saya berkata, “Orang seperti demikian, yakni orang yang mengetahui apa yang baik dan yang jahat, tetapi tidak menjalankan sebagaimana mestinya, engkau akan dihukum lebih berat.” Saya simpati dan menaruh hormat kepada orang-orang yang berusaha menegakkan etika, tetapi agama bukan sekedar etika.
4. Konsep Kriteria Kebenaran
Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk beragama, karena Allah telah memberikan konsep kriteria kebenaran di dalam diri manusia. Itulah sebabnya manusia percaya bahwa ada kebenaran dan standar kebenaran, dan kesadaran bahwa manusia harus hidup berdasarkan standar kebenaran yang dipercayainya. Tetapi standar kebenaran dengan standar kebenaran yang dipercaya oleh seseorang tetap ada jarak atau perbedaannya. Kebenaran adalah kebenaran. Pengertian kita terhadap kebenaran tetap bisa berbeda dengan kebenaran itu sendiri. Orang Kristen harus bijaksana, jangan sampai ditipu oleh orang-orang yang mengaku mengajar kebenaran, padahal sebenarnya hanya mengajarkan konsep mereka mengenai kebenaran. Di manakah standar kebenaran? Hanya perkataan Allah yang menjadi dasar iman kita, tanpa itu kita tidak mungkin menemukan kriteria dan standar kebenaran yang sejati untuk iman kita.
5. Konsep Beribadah
Manusia diciptakan karena konsep bersembah-sujud dan menghargai nilai yang sejati. Apa sebabnya pada saat seorang anak kecil melihat seorang yang pandai timbul rasa kagum dalam hatinya dan ia ingin sekali menjadi seperti orang pandai itu? Apa sebabnya seorang mahasiswa sangat menghargai dosennya yang sangat pandai dan penuh pengabdian? Apa sebabnya banyak orang begitu menghargai pemimpin politik mereka yang tidak mempermainkan poilitik tetapi benar-benar mengabdikan diri untuk kepentingan nusa dan bangsa? Semua ini adalah semacam penggunaan konsep untuk menyembah dan menghargai atau menaruh hormat terhadap nilai yang sejati. Dan nilai yang sejati bersumber pada Allah.
Dari ke-lima konsep itu timbullah agama dan sistem-sistem agama. Di dalam agama-agama yang agung, semuanya mengajarkan kepada manusia bahwa ada satu Penguasa yang Tertinggi, bahwa hidup kita bukanlah milik kita sendiri, melainkan miliknya. Semua sistem agama mengajarjkan kepada manusia bahwa hidup manusia tidak sementara; setelah mati masih berada (kekal). Semua sistem agama mengajarkan, bahwa hidup kita harus bernilai moral, harus berbuat baik. Di dalam semua agama diajarkan bahwa manusia harus memegang semacam kriteria kebenaran yang menjadi dasar iman kepercayaan, supaya manusia berjalan di dalam kebenaran. Dan semua agama mengajarkan, bahwa kita harus menghormnati dan berbakti kepada “Yang Tertinggi”. Inilah dasar agama yang sesungguhnya, yang tidak dimengerti oleh kaum cendekiawan yang tidak rela takluk ke bawah Firman Tuhan (Alkitab).
Alkitab mengatakan, bahwa Allah telah membubuhi sifat-sifat agama ini di dalam diri manusia. Allah menaruh kekekalan di dalam hati manusia. Dia memberikan mahkota kehormatan dan kemuliaan kepada manusia. Allah memberikan sesuatu seperti papan Taurat di dalam hati manusia, agar dapat membedakan antara baik dan jahat. Alkitab mengajarkan, supaya manusia berbakti kepada Dia dan hanya kepada Dia saja. Semua konsep ini sudah ada di dalam Alkitab. Inilah sebabnya timbul agama. Mengapa manusia beragama? Karena Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat agama di dalamnya, sehingga mau tidak mau manusia mencetuskan perasaan dari dalam dirinya dan mendirikan sistem agama. Apakah sebabnya di dalam masyarakat dan kebudayaan manusia timbul agama? Satu-satunya sebab ialah karena manusia diciptakan Allah dengan sifat agama.
BAB IV : IMAN DAN AGAMA.
AGAMA DAN IMAN KRISTEN
Surat Roma 2 :
12. Sebab semua orang yang berdosa tanpa hukum Taurat akan binasa tanpa hukum Taurat; dan semua orang yang berdosa di bawah hukum Taurat akan dihakimi oleh hukum Taurat.
13. Karena bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan.
14. Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri.
15. Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.
16. Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus.
A. ALLAH : SUMBER SIFAT AGAMA
Ayat-ayat Alkitab yang setiap kali kita baca mengandung unsur-unsur yang penting untuk pembentukan manusia. Manusia dibentuk bukan hanya dari Karbon (C), Oksigen (O), Sulfur (S), Fosfor (P) dan unsur-unsur kimia lainnya. Dan manusia juga bukan hanya dibentuk dari RNA, DNA dan elemen-elemen yang lain yang ada di dalam organ-organ tubuhnya. Tapi manusia telah diciptakan Allah dengan dibubuhi unsur-unsur yang paling penting yaitu unsur-unsur yang bersifat agama di dalam diri kita masing-masing. Misalnya, di dalam Kisah Para Rasul 17:27 kita telah membaca: “Supaya mereka mencari Dia (Allah)....” Itu menunjuk suatu unsur, yaitu unsur bahwa manusia membutuhkan Allah dan manusia berusaha mau mencari Allah. Suatu unsur lainnya yang Allah berikan kepada manusia di dalam dirinya ialah kekekalan. Di sini, di dalam Roma 2 ini, kita melihat ada unsur hukumTaurat yang tertulis. Apakah maksudnya? Kalau pun manusia belum pernah membaca Kitab Suci, manusia tetap harus diadili; yang belum pernah mendengar Injil pun harus diadili. Sekalipun mereka belum pernah diberi hukumTaurat, mereka tetap harus diadili. Mengapa? Karena di dalam hati mereka sudah ada unsur hukum Taurat itu. Kita pun telah mengetahui manusia diberikan unsur kewajiban moral. Itulah sebabnya manusia demikian hormat, mulia dan agung. Manusia mempunyai keagungan martabat yang tinggi sekali. Manusia agung, mulia dan hormat, karena manusia memang diberikan unsur-unsur itu. Unsur-unsur itu membentuk manusia dan dengan ini manusia disebut manusia.
Kita telah membicarakan tentang agama-agama. Agama-agama muncul bukan karena ketakutan dan ketidak-mengertian manusia terhadap alam semesta, sehingga manusia terpaksa menciptakan suatu pikiran tentang allah yang menjadi dalang di belakang layar kosmos; allah yang mencipta alam semesta, padahal itu cuma hasil ciptaan pikiran manusia. Agama timbul bukan karena hal demikian. Secara teori dari manusia yang menganggap sudah mengerti tentang timbulnya agama adalah teori-teori subyektif manusia yang berusaha menginterpretasikan seluruh alam semesta dengan daya pikir manusia sendiri yang sudah dicemarkan oleh dosa. Ini sesuatu yang tidak mungkin. Bagaimana kita melihat hal ini dengan jelas, kalau kita tidak bisa mengerti kejadian ini? Tetapi Alkitab memberikan Wahyu Allah, sehingga kita bisa melihat dengan jelas di tempat di mana menjadi kelemahan, dasar yang paling lemah, sehingga manusia tidak mungkin memberikan penjelasan interpretasi kosmos atau interpretasi tentang diri sendiri dengan tepat.
Tidak ada cara untuk mendapatkan interpretasi yang akurat tentang kosmos dan tentang diri sendiri kecuali kita kembali kepada Tuhan dan menaklukkan diri ke bawah Firman-Nya. Agama timbul bukan sebagai hasil ciptaan manusia atau baru timbul kalau manusia merasa memerlukannya. Tetapi, agama merupakan suatu produksi dari sifat agama yang sudah ditanamkan oleh Allah di dalam diri manusia. Waktu Allah membentuk dan menciptakan manusia, Alah telah memberikan unsur atau sifat agama. Sejauh manakah sifat agama itu? Apakah sampai di tingkatan tertentu sudah cukup? Kalau sudah cukup, apakah sebabnya agama yang satu dengan agama yang lain bisa bertarung demikian hebat? Dan orang yang bersifat agama makin kuat, mungkin menjadi musuh kebenaran yang makin keras? Yang menyalibkan Kristus, bukan orang yang tidak beragama, melainkan pemimpin-pemimpin agama. Pemimpin-pemimpin agama itu mendengar kebenaran Yesus Kristus, tetapi karena bertentangan dengan konsep mereka dan karena mereka begitu mencintai agama mereka sendiri, maka mereka menyalibkan dan membunuh Yesus Kristus. Maka dengan hanya beragama, atau mengetahui soal agama-agama saja, tidak cukup. Sifat-sifat agama yang diberikan Tuhan di dalam diri manusia menuntut hal-hal yang lebih tinggi sehingga hidup manusia sehari-hari tidak bisa hanya dipenuhi dengan hal-hal materi. Jangan kira hidup orang-orang kaya enak sekali karena merasa sudah cukup. Mereka tetap mempunyai kekosongan hati yang tidak mungkin diisi kalau mereka tidak kembali kepada Tuhan. Orang-orang yang hanya kaya secara materi tetapi tidak mempunyai hal-hal lainnya di dunia ini adalah orang-orang yang paling perlu dikasihani di dalam dunia. Karena kaya, seringkali mereka mendengar perkataan atau laporan palsu dari bawahan-bawahannya.
Seseorang tidak akan puas kecuali mendapatkan sesuatu yang sungguh-sungguh dan berkaitan dengan yang benar itu. Oleh sebab itu jangan kira kita sudah cukup jika kita beragama. Orang yang sudah mempunyai agama tetapi tidak memikirkan dengan erius agama yang dianutnya itu dan apakah dirinya sudah berkait dengan sumber kebenaran, sebenarnya orang itu belum mencapai sasaran, masih ada langkah-langkah panjang yang harus ditempuhnya. Untuk menyimpulkan semua hal ini, saya memakai istilah religiousity, yaitu sifat agama itu sendiri. Sifat agama itulah yang menjadikan manusia makhluk beragama, makhluk yang mempunyai kemungkinan dan yang mempunyai potensi untuk beragama.
Dari manakah asal agama? Dari Tuhan atau manusia? Jkalau semua agama berasal dari Tuhan, mengapa terjadi konflik di antara agama-agama? Kalau agama-agama itu dari manusia, mengapa manusia bisa mempunyai agama? Tuhan telah memberikan bekal, kemungkinan dan sifat agama kepada manusia. Lalu sifat itu dikembangkan dan dijadikan satu sistem agama. Proses itu memungkinkan timbulnya jarak dan seringkali jarak itu jauh sekali dari kebenaran Tuhan sendiri. Agama bukan hanya pikiran agama. Pikiran agama adalah bagian dari agama. Agama juga bukan sekedar perasaan reaksi psikologis; itu hanya bagian dari agama saja. Perasaan yang begitu dalam, jiwa yang responsif atau daya respon jiwa merupakan sebagian dari agama, tetapi agama lebih daripada itu. Agama juga bukan semacam prihatin. Prihatin adalah sesuatu hal yang berkaitan dengan agama sedalam-dalamnya. Orang yang beragama berusaha memprihatinkan diri dalam memikirkan relasinya dengan Allah, memperhatikan masalah-masalah dalam masyarakat dan umat manusia keseluruhan. Prihatin merupakan suatu hal yang sangat dalam; prihatin merupakan suatu hal di mana manusia sadar akan religere, yaitu hubungannya dengan yang lain, bahwa eksistensinya tidak menjadi suatu pulau yang terpencil, melainkan dia mau mempunyai hubungan dengan sesamanya. Agama mengandung perasaan dan fungsi prihatin, tetapi prihatin bukan agama itu sendiri.
Agama mengandung semacam konsep dan perasaan kewajiban moral, tetapi keweajiban moral tidak bisa disamakan dengan agama. Agama lebih daripada konsep dan perasaan kewajiban moral. Agama bukan hanya semacam ide yang sangat ideal di mana di dalam agama itu manusia mempunyai ide, angan-angan, atau cita-cita yang dijadikan system doa dan permohonan. Banyak orang yang di dalam doa permohonannya hanya mencetuskan ide-ide pribadinya, tetapi doanya belum berelasi dengan penerima doa permohonannya. Alangkah indahnya waktu murid-muird datang kepada Tuhan Yesus dan berkata, “Tuhan, ajarlah kami berdoa.” Apakah agama hanya suatu cara atau jalan di mana manusia mencetuskan ide-ide idealnya? Agama tentu mengandung doa, tetapi dengan berdoa dan mencetuskan segala ide belum berarti sudah beragama. Agama juga bukan semacam konsep dan struktur pikiran serta ekspresi tuntutan tentang yang sungguh-sungguh, yang benar atau yang sejati, yang baik dan yang indah (True, good and beauty). Ketiga hal ini memang merupakan unsur-unsur yang sangat penting di dalam kemasyarakatan. Tetapi ketiga hal yang begitu penting ini, tetap bukan agama.
Di dalam agama ada ekspresi mengenai kesejatian, kebajikan dan keindahan, tetapi sekalipun ketiganya itu digabung tetap bukan agama. Banyak gedung-gedung atau tempat-tempat ibadah yang agung luar biasa dibangun untuk dipersembahkan kepada Tuhan, misalnya Katredral Notre Dame di Paris, Westminster di London, Saint Stephen Dome di Viena, Saint John The Divine di New York, Borobudur di Jawa Tengah, Mesjid Istiqal di Jakarta, dll. Semua bangunan yang sangat agung itu dibangun untuk mencetuskan iman kepercayaan yang mau ditujukan kepada Tuhan. Semua itu merupakan ekspresi manusia yang ingin memberikan keagungan, kebesaran, keindahan, kesejatian di dalam agama. Tetapi agama lebih dari hal-hal itu. Agama bukan seperti impian anak-anak yang belum menjadi kenyataan atau semacam kompensasi dari mimpi-mimpi yang belum tergenapi di masa kanak-kanak, sebagaimana yang dikatakan oleh Sigmnud Freud.
Freud menganggap barangsiapa beragama, orang itu belum matang dsan barangsiapa sudah dewasa hidupnya tidak memerlukan agama, hanya perlu seks. Semasa hidupnya, Freud dilawan oleh dua rekan kerjanya, seorang diantaranya adalah muridnya sendiri, Alfred Adler, dan seorang lainya adalah Karl Jung. Perlawanan juga datang dari keturunannya kira-kira lima puluh tahun kemudian. Sekarang banyak ahli psikologi menemukan kesalhan-kesalahan yang pada waktu itu dianggap benar. Biarlah semua ideologi dan sistem pikiran manusia keluar dan menyatakan diri. Akhirnya akan terlihat dan terbukti bahwa teori-teori manusia itu tetap mempunyai kelemahan luar biasa, sedangkan kebenaran yang dari Tuhan sekalipun ditentang, dilawan dan diserang sesengit mungkin, akan terbukti Firman Tuhan itu benar adanya. Kalau agama itu bukan ini dan itu, tidak begini dan begitu, agama lebih tinggi dari ini dan itu dan pada pihak yang lain diketahui agama itu bukan saja tidak ada apa-apanya, bahkan kadang-kadang menjadi musuh kebenaran, lalu bagaimana pemaparan jelasnya?
B. KARAKTERISTIK AGAMA
1. Konsep Mengenai Allah Yang Esa dan Penguasa
Dari manakah asal konsep mengenai penguasa alam semesta yang telah menjadi suatu fakta yang tidak bisa dicabut dari kebudayaan manusia itu? Tidak ada kebudayaan agung yang tidak menanamkan atau mengekspresikan konsep semacam itu. Saya menemukan di dalam seluruh kebudayaan Tionghoa ada satu kekurangan, apalagi setelah Konfusianisme menjalar ke mana-mana, yaitu konsep tentang penguasa alam semesta itu tidak jelas. Kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu kebudayaan yang paling lama dan paling besar di dalam dunia dan pengaruhnya besar sekali. Orang Jepang, Korea, Vietnam menganggap kebudayaan Tionghoa itu sebagai sumber kebudayaan mereka. Namun demikian kalau kita membaca syair-syair dari Li Bai, Du Fu, Pai Qi Yu, kita tidak dapat melihat konsep mengenai penguasa alam semesta yang begitu jelas. Meskipun di dalam filsafat dari Lao Tze dan Konfusius yang lebih kuno (lebih dulu) terdapat konsep itu, tetapi akhirnya sudah menjadi begitu merosot. Menjadi makin turun dan akhirnya hampir kehilangan konsep itu. Kebudayaan di negara-negara yang dikuasai atau dipengaruhi oleh Kekristenan mempunyai konsep penguasa ini begitu jelas, tetapi di tempat-tempat tertentu sudah merosot lagi menjadi pikiranb-pikiran yang dicampur-baur dengan politeisme. Di dalam pandangan Islam, konsep monoteisme ini jelas bukan main. Orang Islam tidak bisa menerima dan mati-matian melawan politeisme. Mereka menegaskan salah satu konsep yang paling jernih dan paling penting di dalam agama Islam, bahwa Allah itu hanya satu. Ini merupakan salah satu keagungan dari pikiran-pikiran Islam. Tetapi pikiran selanjutnya yang lebih penting ialah Allah Yang Esa. Allah yang bagaimana? Pikiran Kekristenan jelas mengenai hal ini: Allah yang satu itu adalah Allah Tritunggal. Tetapi orang Islam tidak bisa menerima hal ini. Di sinilah perbedaannya. Monoteisme, keyakinan bahwa Allah itu satu, esa, merupakan kepercayaan yang sungguh benar dan agung. Allah memanggil Abraham keluar dari suku bangsa dan tempat asalnya, karena saat itu di seluruh muka bumi Allah tidak melihat kemurnian kepercayaan monoteisme, seperti Abraham. Tetapi apakah monoteisme adalah kepercayaan yang ditemukan oileh Abraham? Tidak. Kepercayaan Abraham ini adalah suatu kebangunan iman, kepercayaan yang terjadi setelah manusia mengalami kemerosotan iman. Manusia yang poertama, Adam, mengetahui dengan jelas relasinya dengan Allah, yakni relasi di antara “aku dan Engkau”.
Kalau kita mau mengerti kalimat ini lebih dalam, harus membaca salah satu buku dari Profesor Martin Buber, seorang Yahudi yang mnempengaruhi dunia pikiran yang tertinggi dalam abad ke-20 ini. Orang-orang yang dipengaruhinya adalah Karl Barth, Brunner, Heidegger, Bultmann, dan beberapa teolog lainnya. Relasi antara “aku dan Engkau” begitu jelas sejak permulaan manusia diciptakan. Tetapi lambat laun manusia tidak lagi menganggap Allah yang tidak kelihatan itu sebagai pegangan bangsa mereka. Mereka berusaha menghubungkan kepercayaan terhadap sesuatu yang besar itu dengan sesuatu yang bisa dipegang, supaya bisa mendampingi mereka. Di sinilah terjadinya berhala-berhala atau idola. Monoteisme sudah merosot menjadi politeisme dan kemudian politeisme mengalami kebangunan serta dimurnikan kembali kepada monoteisme melalui Abraham. Manusia diberi konsep bahwa Allah itu hanya satu dan Dia adalah Penguasa alam semesta. Konsep ini menjadi akar atau dasar, unsur yang paling fundamental (hakiki) di dalam semua kebudayaan yang besar.
2. Konsep Hidup dan Kekekalan
Kita telah memikirkan konsep tentang hidup dan kekekalan. Ini tidak terjadi waktu kita membedakan atau menilai di antara hidup manusia dan makhluk lain yang bukan manusia. Misalnya waktu kita melihat seekor ayam ditabrak mobil, sekalipun kita merasa kasihan waktu mengetahui ayam itu mati, tetapi kita tidak memikirkan kelanjutannya. Tetapi sewaktu kita melihat seseorang ditabrak dan meninggal, perasaan kasihan kita sangat mendalam dan mulai memikirkan ke manakah dia pergi sesudah mati. Konsep kekekalan ini tidak dikaitkan dengan binatang-binatang tetapi hanya dengan manusia. Manusia masih mempunyai sesuatu kesinambungan perasaan keberadaan dirinya, yang luar biasa dalamnya di dalam jiwanya sendiri. Kadang-kadang kita memikirkan: kalau saya mati ditabrak mobil lalu terbaring, apakah saya melihat banyak orang mengelilingi saya di situ? Kita bisa mempunyai pikiran semacam demikian, karena itu merupakan suatu cetusan atau ekspresi dari konsep kekekalan di dalam hidup kita yang berlainan dengan binatang. Pada waktu manusia melihat manusia lainnya mati, timbul pikiran yang serius dan dalam yang berkaitan dengan kekekalan, serta menyadari bahwa dirinya adalah seorang yang berkekekalan di dalam kurungan kesementaraan tubuh jasmaniahnya. Apalagi jika yang meninggal adalah orang yang dikasihinya. Pikiran sedalam itu tidak pernah nampak terlintas di dalam binatang. Bukankah binatang memakan bangkai binatang lainnya? Binatang-bintang tidak mempunyai sifat kekekalan seperti yang terdapat di dalam manusia. Bersyukurlah kepada Tuhan kalau orang yang kita kasihi diambil oleh Tuhan, supaya kita boleh memikirkan ke manakah kita akan pergi besok. Bolehkah kita hanya memikirkan soal makan dan minum sehari-hari? Setiap hari mereka hanya mengurus hal-hal yang kurang bernilai. Mengapa menunggu sampai kematian orang yang paling kita hormati dan dicintainya baru kita sadar apa artinya hidup?
Pada saat kita menyadari kebodohan yang telah kita lakukan, berarti kita menyadari bahwa seharusnya kita tidak bodoh. Jadi kebodohan itu bukan sesuatu yang kekal, melainkan insidental. Kita harus berani berkata: “Sekarang kembali!” Waktu kita merasakan perlu kembali berarti kita digugah lagi, disadarkan lagi, kembali diberikan suatu kepekaan bahwa kita adalah manusia. Hal ini tidak pernah terjadi dalam makhluk yang lain, selain manusia. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dicipta dengan cara demikian. Konsep kekekalan itu begitu jelas di dalam hidup kita. Tetapi konsep ini pernah mengalami kemerosotan atau kemunduran.
3. Konsep Mengenai Kewajiban Moral
Manusia juga diciptakan dengan suatu konsep kewajiban moral. Konsep kewajiban moral memberikan kesadaran bahwa kita harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang kita lakukan dan nilai standar tindakan kita dalam kita melakukan sesuatu hal. Misalnya, saya menganggap saya boleh melakukan suatu hal karena semua orang juga melakukan hal itu. Dasar pemikiran ini merupakan salah satu dari semua, maka kalau semua melakukan hal itu, saya pun boleh mnelakukannya. Padahal kita tidak boleh lupa bahwa kita adalah satu individu, di mana di dalam satu diri saya masing-masing ada konsep semua dan kalau semua kurang saya berarti tidak lagi sempurna sebagai semua. Saya mempunyai satu konsep individu yang berada di dalam “semua” itu juga merupakan sebagaian konsep dalan hidup saya. “Bolehkah saya melakukan hal ini?” Kalau saya tidak melakukannya saya akan tersiksa dan dirugikan. Jika demikian apakah karena takut tersiksa dan tak mau rugi, maka saya menjual pendirian diri saya sendiri? Kalau setiap kali saya mempertanyakan mengapa dan apa sebabnya saya melakukan ini dan itu, saya akan mernyadari bahwa saya adalah orang yang tidak bertanggung jawab. Sebagian besar perbuatan kita dilakukan tanpa mempunyai relasi, religere, dengan perasaan tanggung jawab moral yang Tuhan berikan sebagai konsep dasar unsur agama.
Betapa banyak orang melakukan segala sesuatu hanya karena ikut-ikutan, karena arus masyarakat, tetapi bukan berdasarkan motivasi dan pendirian yang jelas. Oleh sebab itu banyak pemikir penting telah memikirkan apakah kriteria atau standar mutlak bagi kelakuan dan dasar daripada setiap kelakuan. Misalnya Konfusius mengatakan: “Yang kau tidak inginkan orang lain lakukan terhadap dirimu, jangan lakukan itu juga terhadap orang lain. Kalau kau tidak ingin dinodai oleh orang lain, jangan menodai orang lain. Kalau tidak mau diumpat oleh orang lain, jangan mengumpat orang lain. Kalau tidak mau difitnah oleh orang lain, jangan memfitnah orang lain.” Itulah kriteria kelakuan yang dikemukakan oleh Konfusius. Tetapi Immanuel Kant mengatakan: “Engkau boleh melakukan sesuatu, hanya kalau kau mengharapkan prinsip kelakuanmu itu menjadi prinsip universal.” Saya perhatikan banyak orang mempunyai kriteria kelakuan yang berbeda-beda; sikap mereka menghadapi diri sendiri dengan sikap menghadapi orang lain berbeda sekali. Kalau terhadap kesalahan orang lain mereka ingin cepat-cepat membuktikan dan menghakimi, tetapi terhadap kesalahan diri sendiri berusaha menutupi. Mengapa demikian? Karena setiap manusia mempunyai standar ganda. Apakah maksudnya? Kalau saya melakukan sesuatu, itu adalah karena saya dan kalau dia melakukan sesuatu, itu adalah karena dia. Dia bukan saya, dan saya bukan dia. Saya adalah saya dan dia adalah dia. Kalau saya berbuat salah, biarlah sedapat mungkin kesalahan saya itu ditutupi, karena saya harus mencintai saya. Kalau setiap saya mencintai saya (dirinya sendiri), maka setiap orang ada yang mencintainya, yaitu dirinya sendiri. Tetapi kalau orang lain berbuat salah, biarlah kesalahannya itu dibongkar, karena itu adalah kesalahannya, dia bukan saya. Dari sini kita melihat bagaimana setiap saya berusaha mempunyai standar ganda di mana standar untuk orang lain dibedakan dengan standar untuk diri sendiri. Maka Kant mengatakan: “Lakukanlah segala sesuatu hanya kalau kau ingin primnsip kelakuan itu menjadi prinsip universal; seluruh dunia boleh melakukan apa saja berdasarkan prinsip itu.”
Tetapi hal ini tetap nampak tidak mutlak. Yesus Kristus mengajarkan kriteria yang lain: “Apa yang kau inginkan agar orang lain lakukan terhadap dirimu, lakukanlah hal itu terhadap orang lain.” Kelihatannya hal ini sama seperti apa yang diajarkan oleh Konfusius, namun sebenarnya tidak sama. Memang di dalam agama-agama terdapat banyak persamaannya maka semuanya menjadi sama. Seorang profesor berkata kepada mahasiswanya: ”Yang sama tidak ada samanya, yang tidak sama ada samanya.” Kemudian seorang dari mahasiswa itu mengajak seorang kawannya menanyakan apa maksudnya kalimat itu. Profesor itu menyuruh mereka berdua saling berhadapan dan memandang, serta berkata: “Coba perhatikan, kalian berdua sama tetapi tidak sama; tidak sama tetapi ada persamaannya. Sama-sama mempunyai dua mata, satu hidung, satu mulut.”
Di dalam agama juga ada persamaan dan perbedaannya. Barangsiapa melihat banyak persamaan lalu menganggap semua sama adalah orang yang tidak bijaksana. Demikian juga orang yang melihat banyak perbedaan lalu mengatakan semua tidak sama. Kita harus mengetahui di mana persamaan dan dimana perbedaan antara semua agama, sampai di mana batasnya masih boleh ada persamaan, dan di luar itu bagaimana kita mengetahui perbedaannya. Ini sesuatu yang tidak mudah.
Setiap “saya” mempunyai suatu konsep kewajiban etika dan moral, di mana “saya” harus bertanggung jawab. Saya dan kelakuan saya harus sama-sama bertanggung jawab. Bolehkah saya melakukan sesuatu lalu melarikan diri dari kewajiban yang harus saya tanggung? Dalam hal ini telah terjadi suatu pemisahan dan ini adalah semacam sifat dosa. Bukankah banyak orang yang hanya mau berzinah tetapi tidak mau keluarganya berantakan? Berapa banyak suami-isteri yang menyeleweng tetapi tidak rela diceraikan oleh isteri atau suaminya? Mereka mau berdosa tetapi tidak mau menanggung akibat dosa. Di sini terjadi pemisahan antara perbuatanku dan hukumanku; antara dosaku dan pengadilanku. Semuanya itu berusaha dipisahkan secara paksa sehingga etika mereka berantakan. Mereka berusaha keras untuk mencari alasan dengan akalnya untuk menunjang sebab-sebab mereka melakukan sesuatu. Tetapi hal itu mustahil karena kebenaran merupakan suatu keutuhan antara sebab dan akibat yang tidak mungkin dipisahkan.
4. Konsep Mengenai Kriteria Kebenaran
Kebenaran adalah sesuatu yang sungguh-sungguh ada; kebenaran itu mutlak ada. Jika tidak demikian, tidak mungkin kita menuntut dan rela tunduk kepada kebenaran yang sungguh-sungguh. Motivasi kita mencari kebenaran yang sungguh-sungguh merupakan sebagian dari kebenaran. Wajarlah jika kita mau mencari yang sungguh-sungguh dengan sikap yang sungguh-sungguh. Kalau kita mau mengetahui kebenaran, biarlah kita mempunyai sikap benar-benar mau mencari kebenaran. Sikap benar-benar mencari kebenaran itu adalah sebagian dari kebenaran dan itu tidak pernah diberikan oleh Tuhan kepada makhluk yang lain, sehingga manusia menjadi satu-satunya makhluk yang mempunyai keinginan dan perasaan memerlukan kebenaran, percaya akan adanya kebenaran, serta mempunyai kemungkinan mengatahui kebenaran. Apakah kriteria atau standar mutlak dari kebenaran itu? Sayang sekali masalah pokoknya, yakni kriteria atau standar mutlak dari kebenaran itu sudah menjadi kabur setelah manusia jatuh ke dalam dosa.
5. Konsep Mengenai Nilai Persembahan atau Ibadah
Kalau saya merasa sesuatu bernilai, bukankah saya berusaha mencarinya dengan sungguh-sungguh karena saya menghormatinya? Menghormati sesuatu yang patut dihormati sama seperti mencari kebenaran dengan sungguh-sungguh. Saya harus dengan hormat mencari hal-hal yang memang patut dihormati. ”Hormatilah hal-hal yang dihormati.” Ini sesuatu yang diajarkan oleh Alkitab. Maka berbakti kepada Allah harus berdasarkan pengertian bukan hanya ikut-ikutan. Berbakti harus keluar dari hati yang sungguh-sungguh dan bukan hanya secara lahiriah. Tuhan Yesus berkata: “ Percumalah mereka yang menyebut aku ‘Tuhan, Tuhan!’ hanya dengan mulutnya, padahal hatinya jauh daripada-Ku.” Waktu kita berbakti, memberikan kehormatan kepada Yang Paling Hormat, memberikan kehormatan kepada Kehormatan Yang Tertinggi itu sendiri, di sinilah hormat bertemu dengan Yang Hormat, sikap benar-benar bertemu dengan Yang Benar, nilai bertemu dengan Nilai Yang Mutlak. Itu adalah kaitan, persamaan, antara diri kita dengan agama. Kalau kita lihat dari unsur-unsur semacam ini dan dari sudut-sudut ini, maka mau tidak mau kita harus mengakui bahwa semua agama berusaha mengembalikan nilai kepada Nilai Yang Mutlak, hormat kepada Yang Terhormat, benar kepada Kebenaran; namun siapakah Dia? Meskipun agama-agama itu agung tetapi kita harus tetap mengatakan bahwa agama adalah agama, sedangkan Yang Benar itu lebih tinggi dari semua agama. Sudahkah kita mempunyai kesungguhan mengenal Allah Penguasa alam semesta? Sudahkah kita mempunyai arah yang benar terhadap kekekalan hidup? Sudahkah kita mempunyai kriteria, standar yang mutlak daripada moral? Sudahkah kita betul-betul mengenal Dia yang paling hormat itu?
Kalau setiap agama mengatakan dirinya benar, mungkinkah semuanya benar? Tidak! Kesimpang-siuran di dalam agama-agama dan ajaran-ajaran gereja membuktikan hal ini. Namun ini tidak meniadakan keberadaan dari Yang Benar itu. Kita telah menyadari bahwa ke-lima konsep agama itu benar-benar ada. Tetapi ke manakah arah kekekalan kita? Di manakah standar moral kita? Siapakah Obyek ibadah kita? Hanya Kristus-lah jawaban yang dapat memulihkan sifat agama manusia kepada rencana Allah yang semula. Itulah sebabnya secara umum dapat dikatakan agama adalah suatu sistem dari moral dan ibadah yang menuntut kebahagiaan kekal. Namun, hanya di dalam Kristus kita berjumpa dengan Allah melalui iman kita serta menerima keselamatan hidup kekal dan Roh Kudus sebagai meterai. Inilah Kekristenan di luar segala persamaan agama-agama.
C. PERSAMAAN AGAMA-AGAMA
1. Konsep Manusia Sudah Berdosa Di dalam agama-agama ada persamaan yang besar, yaitu semua agama percaya bahwa manusia sudah berada di dalam dosa, kita semua berdosa. Ini adalah keyakinan yang umum yang terdapat di dalam semua agama yang berbeda-beda. Manusia bisa saja mengganti istilah dosa ini dengan “kesalahan”, “keteledoran”, “kekurangan”, “kekhilafan”, dsnya; tetapi itu tetap berarti dosa. Dosa itu meliputi kekurangan, tidak mencapai kesempurnaan, keteledoran, kekeliruan. Itu semua tercakup di dalam hamartia, istilah Yunani yang dipakai di dalam Kitab Suci untuk dosa. Hamartia mengandung pengertian dasar “tidak mencapai target atau sasaran”. Kita tidakmencapai target yang ditetapkan oleh Tuhan, itulah yang dimaksud dosa. Dalam hal ini, semua agama mengakui, dosa adalah suatu fakta.
2. Konsep Jalan Keluar Dari Dosa
Semua agama percaya pasti ada jalan keluar daripada ikatan atau belenggu dosa. Kedua persamaan ini, baik yang pertama maupun yang ke-dua ini begitu erat dan berakar di dalam semua agama dan termasuk di dalam tema “Iman Dan Agama”. Di dalam agama, manusia percaya dirinya berdosa dan percaya ada jalan keluar dari dosa seperti orang yang tahu bahwa dirinya sakit dan tahu bahwa ada orang yang dapat menolong, menyembuhkannya sehingga dia pergi ke dokter. Itulah dua aspek yang sangat penting dari agama-agama.
3. Konsep Nilai Dalam Moral
Semua agama percaya bahwa ada nilai di dalam moral. Semua agama mengajarkan berbuat baik adalah baik. Karena berbuat baik adalah baik, maka kita harus baik-baik berbuat baik. Berbuat baik adalah lebih baik daripada tidak berbuat baik dan lebih baik daripada berbuat tidak baik atau berbuat jahat. Kita tahu bahwa berbuat baik itu bernilai dan waktu kita berbuat baik, kita bukan saja mempunyai baik tetapi kita mengaitkan diri dengan kebajikan. Waktu kita menggabungkan diri dengan baik atau kebajikan, itu baik atau bernilai. Semua agama mengajarkan demikian.
4. Konsep Kuasa Supra-alamiah
Semua agama percaya bahwa ada satu kuasa supra-alamiah (supra-natural power). Agama mengajarkan di dalam alam ini kita hanyalah salah satu being (ada) yang terbatas, satu pribadi yang kecil. Kita memang mempunyai batas, tetapi di luar batas itu pasti ada yang lebih besar dari kita dan kita harus mengabdikan diri kepada kuasa itu sehingga kita melepaskan diri dari batasan. Dan itulah iman, yang melintasi batasan. Di sini kita melihat salah satu aspek yang paling besar dari iman, yaitu ingin melintasi keterbatasan dari diri dan eksistensi sendiri. Waktu kita mau keluar dari keterbatasan diri kita, kita memerlukan iman sebagai senjata untuk keluar. Ini ada di dalam setiap agama.
5. Konsep Kekekalan
Semua agama sama di dalam hal percaya adanya kekekalan. Semua agama percaya dan mengajarkan bahwa setelah mati tidak selesai tetapi masih ada kelanjutannya. Semua agama percaya akan ke-lima hal itu. Kalau begitu bagaimana dengan agama-agama atau sistem-sietem agama yang tidak percaya salah satu atau dua dari hal-hal itu? Sebenarnya mereka boleh dikeluarkan dari kategori agama karena kurang lengkap dalam sifat agama. Semua agama dan sistem agama yang besar mengandung keyakinan akan hal-hal ini. Ini berdasarkan sifat dan unsur asasi yang diberikan Allah kepada manusia yang diciptakan sebagai makhluk beragama. Ini adalah hal-hal yang paling hakiki yang berada di dalam manusia. Namun sekalipun semua agama percaya akan dosa, jalan keluar akan dosa, nilai moral dan kebaikan, kuasa alamiah dan kekekalan, tetapi konsep mengenai Allah itu seringkali menjadi kabur bahkan lenyap di dalam agama tertentu.
Ada agama agung tidak percaya adanya Allah, misalnya Budhisme. Kita tidak bisa mengeluarkan Budhisme dari agama. Budhisme memang merupakan salah satu agama yang terbesar di dalam dunia, tetapi kita tidak boleh melalaikan fakta ini. Di dalam satu kalimat dari “Sakiomonisatau” dari Budha Sidarta dikatakan, “Di atas adalah langit dan di bawah bumi, akulah yang terhormat.” Kalimat ini seolah-olah ingin memberikan satu konsep mengenai siapakah dia. Kalau dia yang paling hormat bukankah dia menjadi Allah? Maksud sebenarnya bukan demikian. Maksudnya ialah sifat Budha ada pada setiap individu. Kalau setiap orang bisa mengekspresikan atau merealisasikan sampai mutlak, orang itu bisa menjadi Budha, maka kehormatan itu ada pada eksistensinya.
Konsep Allah yang berpribadi tidak ada di dalam Budha. Yang ada pada Budha adalah penguasa alam semesta, tetapi bukan oknum (yang berpribadi); penguasa alam semesta itu adalah hukum-hukum (law) di dalam hidup. Di sinilah letak perbedaannya dengan Kekristenan. Maka Kekristenan tidak boleh disamakan dengan semua agama. Justru di tempat yang belum bisa digenapi oleh agama di situlah Kristus datang untuk menggenapinya.
D. PERBEDAAN AGAMA-AGAMA
Selanjutnya, sekalipun semua agama percaya akan ke-lima hal yang disebutkan tadi, namun semua agama berlainan di dalam menginterpretasikan hal-hal itu. Kita lihat di antara yang sama ada lainnya, yakni lain di dalam pengertian terhadap istilah yang sama.
1. Konsep “Baik”
Setiap agama memberikan definisi yang berlainan mengenai “dosa” dan “baik”. Yang baik menurut satu agama bisa menjadi yang tidak atau kurang baik menurut agama yang lain. Yang dianggap tindakan biadab oleh suatu agama, mungkin masih merupakan hal yang biasa oleh agama lainnya. Ada agama yang mengajarkan tidak menikah lebih baik daripada menikah, tidakmenikah lebih suci daripada menikah, tetapi ada agama yang mengajarklan barangsiapa tidak/belum menikah belum mengerti hidup. Ada agama yangmengajarkan pernikahan monogami, sedangkan agama lainnya memperbolehkan poligami. Jadi apakah kriteria atau standar baik itu? Semua agama percaya dan mengajarkan baik dan soal baik dan jahat (dosa); tetapi masalahnya apakah kriteria atau standar nilai baik dan jahat itu? Ini menimbulkan perbedaan yang sangat besar di antara agama itu.
2. Konsep “Dosa”
Demikian juga mengenai jalan keluar dari dosa, semua agama mengajarkan secara berlainan. Ada yang mengajarkan dengan cara menyiksa diri (asketisisme). Ada yang mengajarkan untuk melepaskan diri dari dosa harus dengan memecut diri, mencabuti rambut, tidur di atas papan yang penuh dengan paku, berpantang tidak makan daging, berpuasa, dsbnya. Kira-kira 15 tahun yang lalu, di India ada seseorang yang mengajar semacam jalan keluar dari dosa. Sambil berjalan di tepi sungai Gangga, dia mencabuti bulu-bulu di tubuhnya satu persatu, karena dia beranggapan kalau bulu-bulu di seluruh tubuhnya habis dicabuti berarti dosanya juga habis; dosanya sebanyak seperti bulu di tubuhnya. Tetapi baru dicabut bulu di sini, di sana sudah tumbuh lagi.
Di Filipina ada orang-orang yang mengaku dirinya Kristen memaku diri sendiri di atas kayu salib dan untuk paku terakhir tentu saja harus minta orang lain memakunya. Mereka mempunyai interpretasi yang salah, “Saya digantung di kayu salib seperti Kristus disalibkan untuk menanggung dosa dunia, saya menanggung dosa orang lain.” Ini adalah penghujatan terhadap Kristus yang luar biasa besarnya. Bagaimana pun kita disiksa, dihancurkan dan diremukkan, untuk menanggung dan menghapus dosa kita sendiri saja tidak bisa, apalagi untuk menanggung dan menghapus dosa orang lain. Di sana sampai-sampai ada orang yang membanggakan diri dengan disalibkan sebanyak 25 kali pada setiap Jum’at Aguing selama 25 tahun. Kasihan sekali orang-orang yang melakukan hal-hal demikian karena mereka tidak mengerti apa yang mereka perbuat. Dapatkah kita melepaskan diri daripada dosa-dosa kita dengan cara-cara demikian? Pengajaran mengenai butir yang ke-dua ini berbeda sekali di antara agama-agama dan Kekristenan. Semua agama percaya akan fakta dosa ini tetapi semua agama bersimpang-siur di dalam mencari jawaban.
3. Konsep “Moral”
Semua agama mempunyai cara mengajar nilai moral dan perbuatan baik. Tetapi masalahnya, apa itu moral dan apa itu baik? Mengenai hal ini agama-agama tetap bersimpang-siur seperti hal yang pertama, dan ke-dua.
4. Konsep “Kuasa Supra-alamiah”
Semua agama percaya kuasa supra-natural (supra-alamiah). Tetapi apakah kuasa supra-natural yang melampaui kuasa manusia itu? Mungkin ini kuasa dari Allah, mungkin kuasa dari setan, atau mungkin dari roh-roh jahat. Mengapa manusia pergi ke ahli nujum, ke kelenteng, ke masjid, atau ke gereja? Mengapa manusia berdoa, berkata-kata dengan yang tidak kelihatan? Menurut pandangan orang-orang di Kraton Solo, gerbang kraton itu dijaga oleh empat orang, padahal di situ hanya ada dua penjaga, sebab mereka percaya ada dua badan kasar dan dua badan halus yang tidak kelihatan ikut menjaga di situ. Banyak orang Jawa percaya akan hal itu. Mereka pun percaya ada satu kuasa di mana kita tidak bisa menjangkaunya dengan mata atau penglihatan dan tidak bisa dijamah atau dirasakan dan dipegang dengan tangan kita; tetapi kuasa itu sungguh-sungguh ada.
Semua agama percaya ada kuasa supra-natural, yaitu kuasa yang melampaui dunia natural atau alamiah, melampaui semesta (kosmos) yang kelihatan ini. Tetapi supra natural jangan dicampur-adukkan dengan metafisika. Metafisika adalah cara manusia memikirkan tentang dunia di belakang tirai dunia yang kelihatan, yakni kekuatan atau unsur apa yang telah menyebabkanm gejala-gejala yang nampak dalam dunia yang kelihatan. Tetapi kuasa supra-natural kadang-kadang berkaitan dengan oknum, kadang-kadang berkaitan dengan kuasa yang begitu besar dari sesuatu yang tidak kelihatan yang mempunyai hidup. Sementara di dalam, metafisika tidak memikirkan tentang oknum dan hidup. Itulah perbedaan antara supra-natural dengan metafisika.
5. Konsep “Kekekalan”
Semua agama percaya dan mengajarkan tentang kekekalan, sesudah mati mau ke mena? Semua agama percaya orang mati ada yang ke neraka dan ada yang ke sorga. Banyak orang di Timur mengatakan bahwa sorga ada di sebelah Barat. Tetapi orang di Barat juga mengatakan bahwa sorga ada di sebelah Barat. Jadi sorga sebenarnya di mana? Sebab Barat bisa menjadi Timur dan Timur bisa menjadi Barat. Semua agama percaya sesudah mati manusia pergi ke atas. Tetapi di manakah atas itu? Kalau bumi diputar yang di bawah bisa menjadi yang di atas dan yang di atas menjadi yang di bawah. Sebagian besar orang beranggapan, pokoknya yang lebih tinggi dari kepala kita itulah atas!
Jadi dari manakah harus ditinjau Barat dan Timur? Apakah dari seluruh alam semesta ini? Ataukah dari tempat di mana kita berdiri? Tentu saja semua pandangan mengenai ke mana manusia pergi sesudah mati telah dipikirkan sebelum manusia mengetahui bahwa bumi ini bulat. Kekekalan bukan semacam ekstensi (kontinuitas) waktu, bukan semacam ekstensi keberadaan di dalam dunia ini., Dan kalau supra-natural dan kekekalan itu semacam konsep yang benar-benar ada realitanya, bagaimana kita mengetahui sesudah mati kita ke mana? Tuhan di mana? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan besar yang tidak mungkin kita hindari dan juga tidak bisa kita jawab, karena kita sangat terbatas. Kita tahu dan kita percaya Tuhan ada. Kita tahu kita perlu akan Tuhan, tetapi kita tidak tahu Tuhan di mana. Manusia menjawab Tuhan mungkin di sini mungkin di sana, sekalipun secara total tempat sini dan sana dikumpulkan tetap kita tidak dapat mengatakan itu tempat di mana Tuhan berada. Tuhan yang menciptakan ruang, bukan ruang itu sendiri dan pasti lebih besar dari ruang serta tidak dibatasi oleh ruang.
Agama mempunyai persamaan-persamaan itu. Ke-lima hal tadi bisa kita terapkan kepada agama-agama yang besar di dunia. Misalnya tidak ada agama yang tidak mengajarkan tentang dosa. Kristen, Katolik, Islam, Budhisme, Hinduisme, Yudaisme, semua mengajarkan tentang dosa dan juga jalan keluarnya. Tetapi di manakah jawaban yang mutlak tentang hal-hal itu?
E. PENGGENAPAN AGAMA DAN KRISTUS
1. Konsep Allah Tritunggal
Mengenai konsep penguasa alam semesta, agama-agama telah kehilangan realita oknum dan ke-“Tritunggal”-an. Agama-agama tahu bahwa ada penguasa dan kuasanya yang besar. Tetapi bahwa penguasa itu mempunyai pribadi, bahwa Dia adalah Allah dan bahwa Dia adalah Allah Tritunggal, tidak ditemukan di dalam agama-agama.
2. Konsep Kekekalan
Semua agama mengajarkan dan berdasarkan kekekalan hidup. Tetapi di dalam agama-agama telah kehilangan arah kekekalan dan tujuan yang pasti. Dari mana kita mengetahui bahwa agama-agama telah kehilangan tujuan yang pasti dan arah yang benar? Mereka berbuat sebaik mungkin menurut standar yang diberikan oleh mereka (manusia) sendiri. Lalu mereka mengharapkan suatu hari kelak mereka boleh tiba pada tujuan dan mudah-mudahan bisa diterima di dalam kekekalan. Mereka berada di dalam unsur yang memang merupakan salah satu unsur yang paling penting di dalam agama, yaitu unsur pengharapan.
Pengharapan bukan suatu hal yang kecil atau remeh, melainkan merupakan salah satu unsur atau zat yang paling dasar dan penting di dalam agama. Karena ada pengharapan, maka eksistensi manusia mempunyai arti. Karena ada pengharapan, mereka menunjukkan pandangan ke depan dan berjuang mati-matian, berani menerima siksaan. Ini merupakan salah satu kekuatan yang sangat besar yang bisa diberikan kepada manusia dan merupakan salah satu hal yang paling penting dari sifat agama. Orang yang kehilangan pengharapan akan selalu kehilangan arti hidup, akan selalu kehilangan kepastian nilai sekarang dan yang paling banyak terdorong untuk bunuh diri. Jadi pengharapan itu penting sekali. Bagaimana pun besar dan suksesnya suatu negara, jika tidak mempunyai pengharapan, maka negara ini sedang menuju kepada keruntuhan. Pengharapan merupakan salah satu unsur yang paling penting dan terdapat di dalam setiap agama, namun demikian di dalam agama manusia hanya berharap-harap semoga bisa diterima di kekekalan, berarti tidak ada kepastian.
Di dalam agama ada pengharapan tetapi tidak ada kepastian. Lalu, apa yang diharapkan? Mengharapkan hal yang tidak pasti. Di dalam agama, manusia berharap hal yang tidak pasti tetapi pasti mereka terus berharap akan hal yang tidak pasti itu. Inilah kehilangan dalam unsur yang ke-dua di dalam agama. Kekekalan itu ada di dalam agama tetapi kepastian untuk mencapai kekekalan itu tidak ada di dalam agama. Jangan sampai kita mempunyai kepastian yang palsu, karena kepastian yang palsu lebih celaka daripada ketidak-pastian yang sungguh. Maksudnya, lebih baik kita tidak mempunyai pengharapan yang belum pasti tapi akan hal yang sungguh ada, daripada kita mempunyai harapan yang pasti akan hal-hal yang palsu.
Namun demikian tidak berarti kita cukup mempunyai kesungguhan di dalam pengharapan. Mempunyai kesungguhan di dalam pengharapan saja tidak cukup. Tetapi kalau kita mempunyai kepastian yang palsu pasti rusak. Seseorang, entah sudah diselamatkan atau belum, yang sungguh-sungguh mencari keselamatan lebih baik daripada seorang yang merasa pasti dirinya sudah diselamatkan padahal sesungguhnya dia belum diselamatkan. Orang yang mengatakan, “Saya sudah diselamatkan dengan pasti.” Tapi sebenarnya dia belum diselamatkan dan hanya menipu diri sendiri. Ada orang Kristen yang setia datang ke gereja dan sudah dibaptis mengira dirinya sudah pasti di dalam Tuhan dan pasti diselamatkan padahal sesungguhnya tidak. Paulus berkata jika seseorang menganggap dirinya milik Kristrus, biarlah dia memikirkan kembali bagaimana dia bisa menjadi milik Kristus (Roma 8).
Kita tidak boleh mengabaikan hal ini. Kita harus menguji iman kita, bagaimana kita beriman terhadap hal-hal yang pasti ini, supaya kita bisa berdiri teguh. Jangan kita sampai mempunyai kepastian akan hal-hal yang palsu. Tetapi Yesus juga pernah berkata, “Jangan menyangka setiap orang yang menyebut Aku: Tuhan, Tuhan, yang akan masuk ke dalam kerajaan sorga.” Kalau agama mau jujur, agama hanya mengajar agar kita berbuat baik dan mudah-mudahan bisa diselamatkan dan masuk ke sorga. Kekristenan mengajar kita akan hal-hal yang pasti. Tapi kalau orang Kristen berkata, ”Saya pasti diselamatkan dan masuk sorga!” namun mengatakan kepastian itu tidak berdasarkan kebenaran, maka orang Kristen itu lebih celaka daripada orang yang bukan Kristen.
3. Konsep Moral
Semua agama mempunyai dan mengajar konsep moral, tetapi sudah kehilangan standar mutlak. Kehilangan akan standar mutlak ini bukan saja terjadi dalam agama-agama lain, sekarang di kalangan orang-orang Kristen pun mulai banyak yang membuang akan hal ini dengan munculnya Etika Situasi. Etika Situasi telah memberikan kelonggaran kepada Kekristenan sehingga Kekristenan berkompromi tanpa standar. Bukan berarti bahwa setiap kelakuan kita harus ada standar mutlak, tetapi secara umum tidak bisa tidak ada standar mutlak.
Yang mutlak jangan direlatifkan dan yang relatif jangan dimutlakkan. Kriteria atau standar mutlak ini merupakan yang penting sekali. Manusia yang benar-benar mau menjalankan kelakuannya dengan semangat mutlak tapi tidak mempunyai standar mutlak akan terombang-ambing dengan kekuatannya sendiri. Tapi yang paling celaka adalah manusia yang tidak mempunyai kemutlakan tapi berani memutlakkan diri. Pada waktu seseorang menuding-nuding orang lain misalnya, “Itu salah!” berarti orang itu telah merampas kedudukan sebagai Allah, seolah-olah dirinya tidak bisa salah. Ini tidak berarti kita tidak boleh mengatakan bahwa orang lain salah. Tapi kita tidak boleh lupa bahwa itu merupakan suatu hal yang sangat serius, kecuali kalau kita benar-benar mengetahui kebenaran. Jangan sembarangan menasihati, mengkritik atau menyalahkan apalagi menghakimi dan menghukum orang lain.
Di dalam agama selalu diajarkan mudah-mudahan kita diterima oleh Allah, sesuatu yang tidak mutlak. Tetapi orang-orang penganut agama ini sering memutlakkannya, yang tidak mutlak dan yang mutlak selalu berdampingan dan ini merupakan gejala yang sudah umum terjadi.
4. Konsep Sumber Kebenaran Yang Asli
Di dalam hal mencari kebenaran, agama telah kehilangan sumber kebenaran yang asli. Bagaimana kita mengetahui apakah kebenaran yang kita terima sumbernya asli dan kita benar-benar mengetahuinya? Kita harus memberikan tanda tanya besar terhadap sumber kebenaran yang kita ketahui. Seringkali orang sudah menyebarkan suatu berita dan menganggap berita itu benar, padahal mungkin tidak benar, jadi kebenaran itu sudah berpisah dari sumbernya. Kalau mau mengetahui kabar mengenai seseorang kita harus menanyakan langsung pada orang itu. Demikian juga kalau kita mau mengetahui kebenaran, pertama-tama kita harus menanyakan apakah kebenaran itu ada sumbernya, apakah kebenaran itu mempunyai dasar yang teguh, apakah kebenaran bersifat utuh? Yang lebih penting lagi adalah ekspresi dari diri kebenaran itu sendiri.
Melalui firman Tuhan kita mengetahui diri kebenaran itu berseru, “Akulah Kebenaran.” Kalau itu adalah sumber dan ekspresi dari sumber itu sendiri, maka akan menjadi konklusi yang mempermalukan semua konklusi yang palsu. Sekali lagi, kalau sumber kebenaran itu sendiri mengekspresikan atau menyatakan dirinya sebagai “Kebenaran” itu, maka teriakan atau ekspresi dari sumber kebenaran itu akan menutup segala konklusi yang tidak bersumber padakebenaran. Agama memang selalu membicarakan kebenaran tetapi sayangnya justru hal yang terpenting telah kehilangan sumber. Sumber yang tidak benar atau kehilangan sumber (tidak ada sumber), keduanya tidak membawa manusia kepada kebenaran.
Oleh sebab itu, mempercayai sesuatu mudah tetapi membuktikan kepercayaan itu tidak mudah. Berteriak dan mengajarkan kebenaran itu mudah, tetapi mengaitkan diri dengan sumber kebenaran yang benar itu tidak mudah. Celakalah mereka yang menganggap kebenaran tidak mempunyai sumber atau yang menganggap diri sudah mengenal sumber kebenaran tetapi sebenarnya mengenal yang salah. Keduanya berbahaya.
5. Konsep Obyek Ibadah Yang Sejati
Semua agama mengajarkan berbakti dengan hormat, tetapi manusia umumnya suidah kehilangan obyek ibadah yang sejati. Berbakti, memberikan suatu unsur ibadah, menunjukkan fungsi kita sebagai manusia yang bereksistensi. Waktu kita menaklukkan diri beribadah, kita mempersembahkan rasa hormat kita yang tertinggi dan yang terdalam kepada yang kita anggap layak dihormati. Tetapi kalau obyeknya salah, sayang sekali.
Ada gadis muda mencintai pria dengan cinta yang murni dan tulusnya. Baru mendengar rayuan si pria, langsung menetapkan ingin menikah dengannya (padahal mungkin rayuan yang sama pernah dilontarkan si pria kepada gadis-gadis lainnya). Lalu ia mempersembahkan dirinya kepada pria itu, lalu gadis itu mendapatkan akibat yang buruk. Mengapa gadis itu mendapatkan akibat yang buruk padahal cintanya murni sekali? Sebab ia mempersembahkan cintanya yang murni itu kepada obyek yang tidak benar. Akibat dari persembahan cinta sangat tergantung kepada obyek yang benar atau tidak.
Demikian juga dalam hal kita beragama dan beribadah. Kita memang harus sungguh-sungguh beribadah. Tapi kesungguhan saja tidak cukup. Kita perlu menanyakan apakah obyek yang kita sembah itu sungguh-sungguh patut dihormati atau tidak? Kita tidak boleh sembarangan dalam hal beragama. Kita tidak boleh mempunyai konsep asal ada Allah, asal mempunyai agama, asal beribadah, asal ke gereja, sudah cukup. Itu seperti seorang yang mengatakan, “Asal menikah, dengan siapa pun boleh.”
6. Kristus adalah Jalan Kembali Kepada Allah
Marilah kita mencari jawaban. Siapakah sesungguhnya obyek ibadah yang benar, yang sungguh-sungguh patut kita hormati? Saya akan memberikan jawaban itu melalui ucapan Seseorang dan yang tidak pernah keluar dari mulut yang lain: “Akulah jalan, kebenaran dan hidup!” Dengan proklamasi kalimat itu, Dia sudah membuntukan jalan bagi jalan lain, membuntukan “kebenaran” yang sebenarnya bukan kebenaran. Dia telah menegaskan, bahwa hidup ada pada Dia. Kalau ada beberapa atau banyak orang pernah mengucapkan kalimat seperti itu, barulah kita perlu mengadakan diskusi dan melakukan perbandingan untuk mengetahui manakah yang benar. Tetapi kalau hanya satu orang yang pernah mengucapkan kalimat seperti itu, jangan kita abaikan.
Yang mengucapkan itu bukan Musa, Abraham, Konfusius, nabi-nabi atau rasul-rasul, melainkan Yesus Kristus. Kita perlu memikirkan apakah dasarnya Yesus Kristus mengatakan kalimat itu. Manusia biasa bolehkah mengatakan kalimat seperti itu? Tidak! Tidak seorang pun bicara seperti Yesus Kristus. Dari ucapan-ucapan-Nya, menunjukkan siapakah Dia. Dia adalah Allah yang benar, yang telah menyatakan diri di dalam rupa manusia. Sekarang, tantangannya bagi kita: bagaimana sikap kita memperlakukan Dia? Apakah hanya sebagai salah satu pendiri, pemimpin atau tokoh agama di mana kita berpendapat asal mempunyai agama sudah cukup? Agama hanyalah sistem ibadah atau moral yang bersangkut-paut dengan kebahagiaan yang kekal, tetapi Kristus memberikan apa yang tidak diberikan oleh agama.
PENUTUP :
Apakah manusia cukup hanya mempunyai agama? Apakah agama dapat membawa manusia kembali kepada Allah? Apakah dengan perbuatan baik dan moral yang dijalankan, dosa benar-benar bisa diampuni dan manusia boleh kembali kepada Allah? Firman Allah mengatakan, “Tidak!” Manusia tidak mungkin diselamatkan dengan agama, bahkan tidak mungkin diselamatkan oleh Taurat yang diberikan oleh Allah sekalipun.
Agama hanya membuktikan manusia memerlukan Allah, karena keberadaan manusia adalah keberadaan relatif dengan Pendiptanya, sedangkan Taurat bukan diberikan untuk keselamatan manusia melainkan hanya untuk membuktikan bahwa manusia sudah melanggar sifat moral Allah yaitu kesucian, kebenaran dan kebajikan-Nya.
Meskipun manusia mencari jalan dalam agama, namun satu-satunya jalan yang disediakan Allah bagi keselamatan manusia adalah di dalam Kristus Yesus, yang telah mengalahkan kuasa dosa dan kematian serta melepaskan manusia dari cengkeraman iblis. Apa yang sudah digenapi oleh Kristus di kayu salib dan kebangkitan-Nya dari kematian, jauh melampaui segala usaha agama sehingga kita memperoleh hidup yang kekal melalui Injil Kristus.
IMAN, PENGGENAPAN AGAMA DAN KRISTUS
Amin.