WAKTU DAN HIKMAT

Pdt. DR. Stephen Tong.

WAKTU DAN HIKMAT. Salah satu harta milik kita yang paling bersifat paradoks di dalam hidup kita adalah waktu. Waktu merupakan suatu esensi yang begitu riil karena hidup kita hanya sepanjang waktu yang ada pada kita. Waktu juga bersifat demikian abstrak karena kita sulit memegangnya, mengerti atau menjelaskannya. Aristoteles pernah berkata, “Masa sekarang berada di antara masa lampau dan yang akan datang. Berapakah panjangnya masa sekarang, saya tidak tahu.” Agustinus pun pernah berkata, “Jika Anda tidak bertanya, saya menganggap saya sudah tahu apa itu waktu, tetapi jika Anda menanyakan apa itu waktu, saya harus jujur mengatakan bahwa saya tidak tahu.”
WAKTU DAN HIKMAT
Manusia tidak mungkin melepaskan diri dari keterikatan dan keterbatasan waktu. Sebagaimana kita diikat dan dibatasi oleh tempat, demikian juga kita diikat dan dibatasi oleh waktu. Apakah ini menjadi suatu jalan buntu bagi makna hidup? Jika manusia tidak mempunyai kekekalan maka makna hidup manusia akan total ditelan dan dilenyapkan oleh waktu itu. Namun Alkitab mewahyukan kepada kita bahwa Allah telah membubuhi sifat kekekalan dalam hidup manusia sehingga manusia boleh mengalahkan nasib yang menakutkan itu dengan kebijaksanaan.
Siapakah orang yang berbijaksana dan dapat meluputkan diri, yang bukan saja ditelan oleh waktu melainkan mampu mengalahkan keterbatasan itu, kecuali mereka yang memiliki hikmat kekekalan? Tetapi bagaimana kita dapat memiliki hikmat kekekalan itu? Mari kita meneladani Musa yang berdoa kepada Tuhan, “Ajarkanlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur 90:12).

Kiranya buku yang kecil ini boleh menggugah kita dari kelelapan yang mengabaikan waktu dan menginsyafkan kita untuk menemukan kembali potensi-potensi yang ada pada kita demi memiliki hidup yang berbijaksana, yang boleh bermegah terhadap proses pengguguran waktu atas hidup kami yang sudah ada serta mempersiapkan diri demi hidup yang kekal, di dalam rencana Tuhan Yang Mahakuasa. Kiranya cahaya Tuhan menembusi awan-awan gelap dalam hidup kita dan membawa kebijaksanaan sorgawi ker dalam hati kita masing-masing. Soli Deo Gloria! Amin.

Mei 1990

Pdt. DR. Stephen Tong

PENDAHULUAN: WAKTU DAN HIKMAT.

“Ajarkanlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur 90:12).

Mazmur 90 boleh dikartakan salah satu yang paling kuno di antara karya sastra yang pernah ditulis. Lebih kuno daripada syair-syair yang ditulis oleh Hommer, baik Odyse atau Ulyses, di dalam sastra Yunani; lebih kuno daripada tulisan-tulisan Tu Fu, Phai Chi Li, Li Thai Phei, Wang Wei di dalam sastra Tiongkok, dan jauh lebih kuno daripada syair-syair panjang yang ditulis oleh Dante di Itali atau John Milton di Inggris. Tetapi syair di dalam Mazmur ini memberikan secara ringkas arti hidup dan makna eksistensi manusia di dunia.

Mazmur ini ditulis oleh Musa, seorang pemimpin masyarakat, politik, militer, dan pemimpin agama. Pengaruh dari Musa tidak bisa kita tiadakan atau lalaikan. Baik agama Yahudi, Kristen, maupun Islam menghargai Musa dan karyanya, di dalam dunia agama ketiganya telah mempengaruhi ribuah juta manusia. Di Parliament House Amerika di Washington DC, di antara nama-nama tokoh yang berpengaruh di dalam hukum dan sejarah umat manusia yang dicantumkan di sana, yang paling penting adalah nama Musa. Siapakah Musa?

RIWAYAT HIDUP MUSA

Musa adalah orang yang telah memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir di mana mereka telah menjadi budak selama 430 tahun. Dengan tangan Tuhan yang memimpinnya, Musa membawa kira-kira dua juta orang Israel menuju tanah perjanjian, di mana ada kemerdekaan dan kebebasan berbakti kepada Tuhan. Seluruh hidup Musa, 120 tahun, terbentuk dari tiga periode (tahap) yang masing-masing terdiri dari 40 tahun.

Di dalam 40 tahun yang pertama, Musa hidup dengan segala kemewahan, kemuliaan, dan kehormatan di istana Mesir. Pada zaman itu (sekitar abad 17 sebelum Masehi), Mesir merupakan kerajaan yang terbesar di seluruh dunia. Sejak bayi Musa diangkat oleh putri Raja Firaun sebagai anaknya (Keluaran 2). Menurut catatan sejarah kuno, Musa pernah berjasa besar di dalam memimpin tentara Mesir berperang dan menang melawan negara-negara seperti Etiopia. Musa mempunyai jasa, kuasa, dan kemuliaan besar di istana Mesir, meskipun dia seorang Ibrani. Meskipun dia seorang yang beriman sejak kecil, tetapi Tuhan menempatkan dia di tanah kafir terlebih dahulu. Kadang-kadang ada orang yang penting sekali, tetapi Tuhan membiarkan dia tidak menjadi orang Kristen terlebih dahulu. Setelah berpuluh-puluh tahun orang itu berada di suatu lingkungan atau keluarga yang bukan Kristen, baru kemudian Tuhan memimpin dia kepada suatu iman yang sejati. Sejak kecil Musa sudah beriman kepada Tuhan, tetapi Tuhan memimpin dia terlebih dahulu hidupo di lingkungan orang-orang kafir atau ateis, orang-orang yang menyembah berhala, di Mesir 40 tahun lamanya.

Kemudian, dia harus meninggalkan segala kekayaan, kemuliaan, kuasa politik atau militer, dan segala kenikmatan hidup di istana Mesir, karena secara konstitusional dia telah bersalah membunuh seorang bangsa Mesir (Keluaran 2:11-15). Selama 40 tahun berikutnya, dia harus hidup di padang belantara, di tengah-tengah kambing domba dan binatang-binatang yang tidak mengerti bahasanya. Kisah Para Rasul 7:22 mencatat pada waktu Musa masih muda dia telah mempelajari segala pengetahuan di Mesir pada masa itu. Jikalau kita membaca kelima kitab yang ditulis oleh Musa (Pentateukh: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan), kita mengetahui apa yang dipelajari dan diketahuinya, mulai dari bintang-bintang sampai binatang-binatang.

Penggolongan atau pengelompokan jenis-jenis binatang yang haram dan yang halal untuk dimakan demikian teliti dan akurat. Hal ini sudah dibuktikan melalui penelitian medis oleh seseorang di Inggris pada tahun 1950. Binatang yang termasuk kategori haram memang tidak baik (tidak sehat) diterima oleh tubuh manusia, khususnya bagi mereka yang sedang berjalan di padang pasir yang sangat kekurangan air. Pengetahuan Musa sedemikian hebat, tetapi akhirnya dia dipimpin oleh Tuhan, 40 tahun hidup sebagai penggembala ternak di padang pasir. Kalau 40 tahun pertama dilewatinya dengan menikmati segala sesuatu di istana Mesir, maka 40 tahun kedua ini dia meninggalkan segala sesuatu dan tinggal di padang belantara.

Akhirnya, setelah berusia 80 tahun, Tuhan memanggil Musa untuk kembali ke Mesir; bukan karena Firaun yang hendak membunuhnya dulu sudah mati, dan bukan untuk mendapatkan kembali segala kemuliaan yang dulu dimilikinya, melainkan untuk berdiri di hadapan Firaun dan meminta kepadanya supaya diizinkan membawa bangsa Israel keluar dari sana. Ini tugas yang sangat berat. Di dalam kehidupan kita sebagai orang Kristen, Tuhan tidak memanggil kita untuk menikmati kesenangan di dunia ini, melainkan untuk memikul salib yang berat. Pada waktu dipanggil oleh Tuhan, Musa mengemukakan alasan, “Aku tidak fasih lidah.” (Keluaran 4:10). Tuhan tidak pernah menerima alasan apa pun dari manusia yang menolak panggilan-Nya. Tuhan hanya menjawab Musa dengan berkata, “Siapakah yang membuat lidah manusia..... bukankah Aku, yakni TUHAN?” (Keluaran 4:11). Dan, “Aku telah mengangkat Harun, kakakmu., menjadi penyambuing lidah bagimu.” (Keluaran 4:14-17).

Maka 40 tahun yang terakhir, dari umur 80 sampai 120 tahun, Musa dipanggil sebagai pemimpin orang Israel keluar dari Mesir. Dialah pemimpin imigrasi terbesar di dalam sejarah. Kira-kira 2 juta orang banyaknya; ini disebut Exodus (Keluaran). Mereka keluar dari tanah perbudakan di Mesir menuju ke tempat di mana ada pengharapan.

PENGAJARAN DARI KEHIDUPAM MUSA

Itulah ketiga periode di dalam kehidupan Musa. Di dalam periode pertama, di dalam segala kehebatannya Musa meninggikan dirinya dengan berkata, “I am something. Saya hebat.” Pada waktu kita mengalami atau berada di dalam periode seperti Musa ini mudah sekali kita tergoda menyombongklan diri, menganggap diri lebih hebat dari orang lain. Kita perlu ingat bahwa cuaca tidak selalu cerah dan perjalanan hidup kita tidak selamanya akan lancar.

Di dalam periode kedua, Tuhan memimpin Musa untuk mempelajari dan menyadari dirinya yang sangat terbatas, “I am nothing. Saya bukan apa-apa.” Segala pengetahuan yang dimiliki Musa pada periode ini tidak berguna sama sekali; binatang-binatang yang digembalakannya tidak mengerti segala sesuatu yang telah dipelajarinya. Orang yang mempunyai isi mengajar orang lain yang tidakl mempunyai isi pun akan mengalami kesulitan besar, karena ada dua dunia yang sangat berbeda. Pada waktu hidup kita mengalami kesulitan seperti Musa dalam periode ini, barulah kita sadar bahwa diri kita sangat terbatas.

Pada periode ketiga, setelah Musa menyadari keterbatasannya sampai pada titik nol, barulah Tuhan bekerja, memberikan pengharapan kepadanya. Tuhan tidak bekerja pada saat kita merasa diri kita hebat dan tidak perlu akan Dia. Sebaliknya, Tuhan sering membiarkan kita berasa dalam kesulitan, keterbatasan, dan kepapaan, untuk kita belajar satu hal, “God is everything, atau Allah adalah segala-galanya.” Allah Yang Mahakuasa sangguop melakukan segala sesuatu dan segala sesuatu yang ada pada kita adalah semata-mata anugerah Tuhan. Segala sesuatu yang kita terima dari Tuhan sebenarnya tidak layak kita terima, tetapi kalau itu diberikan kepada kita adalah untuk memuliakan Dia. Kalau kita mempunyai keyakinan ini, barulah hidup kita bisa bertanggung jawab di hadapan Tuhan dan memuliakan Dia.

BAB I : WAKTU DAN HIKMAT.

MASA HIDUP MANUSIA

“Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” ( Mazmur 90:10)

Pada masa tuanya, Musa menuliskan syair yang dapat kita baca di dalam Mazmur 90 ini, “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.” Hidup manusia penuh dengan penderitaan dan keluhan. Ini bukan suatu konsep yang pesimis atau negatif. Kita harus mengetahui segala kesuilitan yang ada, tetapi dengan iman kita menyatakan kemenangan di dalam segala kesulitan itu. Kita tidak boleh menjadi orang optimis yang naif, tetapi juga tidak boleh menjadi orang pesimis yang tidak berpengharapan. Secara pesimis kita harus melihat bahwa kesulitan memang ada, tetapi secara optimis kita juga harus melihat bahwa ada pengharapan di dalam iman kepercayaan kita. Maksudnya, kita harus dapat melihat segala kemungkinan keadaan dan kesulitan yang paling jelek, tetapi setelah itu kita harus berani bertindak dengan iman menghadapi dan menyelesaikan segala kesulitan itu. Inilah iman yang sejati, yang dinamis, dan memberikan pengharapan serta kemenangan kepada manusia. Sejarah umat manusia telah ditulis oleh orang-orang yang mempunyai iman sedemikian. Berbeda dengan orang melankolik yang biasanya pintar sekali, sebab mereka sudah melihat atau memikirkan segala kesulitab sebelum mengalaminya. Tetapi, setelah melihat segala kesulitan lalu kehilangan pengharapan, celaka sekali.

Mengapa Musa menulis syair dengan kalimat seperti demikian? Karena Musa menyaksikan sendiri orang-orang yang dipimpinnya keluar dari tanah Mesir satu persatu mati dihukum oleh Tuhan karena dosa dan ketidak-taatan mereka, dan kebanyakan mereka yang mati itu berumur 70 sampai 80 tahun. Mengapa Musa sendiri berumur sampai 120 tahun? Karena Tuhan ingin memberikan tugas khusus kepadanya. Musa adalah orang pertama yang menerima Wahyu Allah untuk menuliskan kelima kitab yang pertama dari Kitab Suci. Dia menerima Wahyu Allah dan mengetahui bahwa dunia ini dicipta oleh Tuhan, dan segala rencana Allah di dalam sejarah. Musa mengetahui bahwa hidup manusia penuh dengan penderitaan dan keluhan.

Kemudian dia menuliskan kalimat-kalimat yang penting di dalam ayat 11, “Siapakah yang mengenal kekuatan murka-Mu dan takut kepada gemas-Mu?” Maksudnya, siapa yang benar-benar sadar akan klemarahan Tuhan? Di dalam Mazmur 2:11-12 kita membaca, “.....sebab mudah sekali murka-Nya menyala” Ini bukan berarti Tuhan Tuhan mudah sekali (cepat) marah. Terjemahan yang lebih akurat. “....Ciumlah Anak itu, karena cepat sekali (sebentar lagi) Dia sudah akan marah.” Maksudnya, kemarahan-Nya sudah dekat sekali, sebentar lagi akan dinyatakan. Kalau Tuhan sudah marah, tidak akan ada seorang pun yang tahan berdiri di hadapan-Nya. Kalau Tuhan masih sabar, bukan berarti Dia memperbolehkan kita berbuat dosa terus-menerus; bukan berarti Dia berkompromi atau setuju dengan perbuatan jahat yang kita lakukan. Tetapi, itu hanya memberikan kesempatan supaya kita bertobat. Di dalam Teologi Reformed, ini termasuk dalam Anugerah Umum (Common Grace). Anugerah Umum Tuhan mencakup juga toleransi-Nya kepada orang yang berbuat dosa. Maksudnya, kesabaran Tuhan menunggu manusia bertobat. Tuhan tidak mudah marah, namun tidak berarti Tuhan tidak akan marah. Tuhan yang suci dan adil pasti akan menghukum setiap perbuatan dosa.

Musa menulis, “Siapakah yang mengenal kekuatan murka-Mu dan takut kepada gemas-Mu?” Sangat disayangkan jika banyak gereja dan pemimpin gereja pada masa kini tidak suka membicarakan atau mengkhotbahkan tentang kemarahan Tuihan, lebih suka membicarakan cinta Tuhan. Kalau kita memberitakan Tuhan itu cinta adanya, ini tidak salah. Tetapi kalau kita tidak menyeimbangkan pemberitaan tentang cinta Tuhan dengan murka Tuhan, kita belum menjadi hamba Tuhan yang setia. Jikalau orang-orang datang ke gereja hanya karena tertarik mendengar cinta dan berkat Tuhan, tanpa mengerti bahwa Allah adalah suci dan akan menghakimi dunia, iman mereka tidak akan bertumbuh dengan baik.

Biarlah kita menjadi orang yang mengerti akan kesucian, kehormatan, dan kemuliaan Tuhan, serta takut akan Dia. Marilah kita berjalan di dalam rencana Tuhan, karena kita tahu bahwa Dia adalah Tuhan yang suci dan adil, yang akan segera menghukum dosa.

BAB II :WAKTU DAN HIKMAT.

DOA MUSA

“Ajarkanlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur 90:12).

Manusia umumnya pintar menghitung hal-hal ini : Pertama, uang (kekayaan). Setiap orang umumnya akan mengingat berapa besar hurtang orang lain kepadanya. Binatang tidak bisa menghitung dan menilai uang, sekalipun ada kera yang setelah dilatih bisa melakukan pekerjaan lebih baijk dari manusia. Kedua, manusia pintar menghitung kebaikan diri sendiri. Setiap orang biasanya ingat berapa besar jasa dan pengorbanannya bagi orang lain. Ketiga, manusia umumnya pandai menghitung kesalahan dan kejelekan orang lain; semua kesalahan orang lain dicatat atau diingat di otaknya.

Di dalam fabel mengenai Esof, seorang budak yang bijaksana, dikatakan bahwa manusia mempunyai dua kantong, satu di depan dan satu di belakang. Kantong yang di depan untuk mengisi kebaikan diri sendiri dan kesalahan orang lain, sedangkan kantong yang di belakang untuk mengisi kebaikan orang lain dan kesalahan diri sendiri. Maksudnya, setiap orang suka melihat kebaikan diri sendiri dan kesalahan orang lain dan menaruh semua itu di depan matanya. Tetapi, kesalahan dirinya sendiri ditaruh di belakang sambil menghibur diri. Tidak apa-apa, semua manusia bisa salah. Kebaikan orang lain juga ditaruh di belakang sambil berkata, “Memang sudah seharusnya dia melakukan hal itu.” Inilah sifat umum manusia yang egois, mengingat kebaikan diri sendiri dan kesalahan orang lain, serta melupakan kesalahan diri sendiri dan kebaikan orang lain.

Tetapi, Musa memohon kepada Tuhan, “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami.” Bagaimanakah kita menghitung hari-hari kita? Cara penghitungan manusia berbeda sekali dengan cara hitung menurut Alkitab. Manusia menghitung mulai dari terang menuju kepada gelap, tetapi Alkitab menghitung mulai dari gelap menuju kepada terang. “Jadilah petang dan jadilah pagi....” (Kejadian 1:5, 8, 13, 19, 23, 31). Manusia ingin mulai dari hal yang manis, lalu yang pahit; mengerjakan segala sesuatu yang enak lebih dahulu. Padahal jika demikian, tidak mungkin kita akan mencapai hasil yang baik. Kita harus belajar mulai dari hal yang pahit dan sulit dahulu, serta beriman kepada Tuhan. Orang yang belum pernah mengalami kesulitan, kemiskinan, dan kepicikan adalah orang yang belum mempunyai kesempatan melatih diri untuk hidup di dalam iman.

Kalau kita mau menghitung hari-hari kita, kita harus mempunyai perhitungan tentang hari-hari kita yang gelap dan susah, hari-hari di mana kita berani berjuang menghadapi kesulitan, baru kita berhak menuju kepada hari-hari terang. Musa mengetahui cara perhitungan menurut Tuhan ini, sehingga pada waktu menuliskan Kejadian 1, dia mencatat, “Ada malam ada siang, ada gelap ada terang”. Berapa banyak orang hanya mau hidup enak tanpa mengetahui bagaimana harus menempuh dan melalui segala kesulitan hidup.

BAGAIMANA MENGHITUNG HARI-HARI KITA?

Ada empat cara menghitung waktu sesuai dengan matematika.

Pertama, cara tambah. Itu adalah cara menghitung waktu dari orang-orang yang tidak suka berpikir, yang tidak berpengetahuan, dan yang tidak bijaksana. Anak-anak kecil biasanya mempunyai cara ini. Misalnya, waktu tahun baru atau hari ulang tahunnya, seorang anak kecil merasa senang karena umurnya bertambah, karena merasa sudah lebih besar. Tetapi orang tua biasanya tidak senang melewati tahun baru atau ulang tahunnya, karena mereka tidak suka memikirkan kapan mereka akan mati; malah banyak yang merasa takut , karena mengetahui sudah lebih dekat kepada hari kematiannya. Celakalah kita jikalau setiap hari umur kita bertambah, tetapi tanpa isi atau makna yang ditambahkan ke dalam hidup kita.

Hari-hari hidup kita akan terus bertambah, tetapi biarlah juga kebijaksanaan, moral, dan iman kita pun bertambah, menjadi arti atau makna di dalam hidup kita. Ada orang yang umurnya panjang sekali, tetapi hidupnya kosong. Di antara pemimpin-pemimpin agama seperti Musa, Abraham, Budha, Yesus Kristus, Muhammad, dan di antara filsuf-filsif besar seperti Plato, Sokrates, dan Aristoteles, yang berumur paling pendek adalah Yesus Kristus. Dia mati pada umur kira-kira 33½ tahun. Tetapi hidup manusia tidak bergantung pada panjang pendeknya umur, yang penting adalah bobotnya.

Kedua, cara menghitung kurang. Orang bijaksana bukan saja memikirkan umurnya yang bertambah, tetapi lebih memikirkan setiap tahun hidupnya sudah berkurang satu tahun. Ibu saya pada malam hari sering menyanyikan sebuah lagu, “Hidup sudah berkurang satu hari, kewajibanku sudah berkurang satu hari.” Hidupnya setiap hari dianggap sebagai kesempatan menjalankan kewajiban, membimbing anak-anaknya di dalam jalan Tuhan. Pada waktu berjumpa dengan Tuhan di pun merasa lega, karena dia sudah menjalankan kewajibannya dengan bertanggung jawab kepada Tuhan. Setiap tahun kita mengganti kalender, berarti kita sudah lebih dekat ke kubur satu tahun. Setiap hari kita merobek penanggalan kita, berarti hidup kita sudah berkurang satu hari lagi. Dengan pikiran demikian “kurang” kita akan menjadi orang yang bijaksana.

Ketiga, cara menghitung kali. Bsagaimana kita menghitung atau menggunakan waktu dengan cara kali? Dengan melakukan lebih dari satu pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Dr. Lie Sen Chang, seorang profesor teologi dari sebuah sekolah teologi di Boston menyaksikan bahwa setiap pagi sambil berolah raga selama kira-kira setengah jam, dia mendoakan kira-kira 70 orang. Inilah cara menggunakan waktu dengan sistem kali. Orang bijaksana yang sudah terlatih dapat melakukan hal seperti ini. Kita dapat melatih diri bagaimana dalam waktu yang terbatas bisa mengerjakan pekerjaan yang lebih banyak.

Mary Slassor, seorang wanita utusan misi yang dikirim ke Afrika, setelah meninggal dunia harus digantikan oleh tiga orang laki-laki untuk meneruskan pekerjaannya. Ia tahu bagaimana menggunakan waktu; dia bisa menggunakan hidupnya yang singkat, beberapa puluh tahun, untuk melakukan banyak hal. Banyak bankir yang pintar di dalam memikirkan hal ini, bagaimana dalam waktu yang singkat uangnya bisa berlipat ganda. Tetapi kita perlu memikirkan hal lain di samping uang; bagaimana kita meningkatkan hidup, menegakkan karakter dan kepribadian, serta menumbuhkan kerohanian dan iman kita, dengan cara mengalikan waktu kita. Kita bisa melipat-gandakan penggunaan waktu kita yang terbatas, bagaimana memakai waktu yang sedikit untuk mencapai hasil yang terbesar, yang bernilai kekal. Jangan kita membuang waktu, kesempatan, dan segala sesuatu yang sudah Tuhan berikan kepada kita. Kita harus bertanggung jawab melipat-gandakan segala kemampuan, sehingga tidak menyia-nyiakan waktu dan anugerah Tuhan.

Ke-empat, membagi-bagikan waktu. Ini berarti kita harus secepatnya memberikan atau membagi-bagikan kepada lebih banyak orang segala sesuatu yang kita miliki. Jikalau kita memiliki sesuatu dan kita memonopolinya hanya untuk diri kita pribadi, maka kita akan mati dan apa yang kita miliki itu akan dikuburkan bersama diri kita. Tetapi kalau kita rela membagi-bagikannya kepada orang lain, sehingga orang lain juga mendapatkannya, maka lebih banyak orang di dunia ini mendapatkan manfaatnya atau berkat dari Tuhan.

BEROLEH HATI YANG BIJAKSANA

Kerinduan hati Musa yang terdalam adalah memiliki hati yang bijaksana. Dia tahu, hal ini hanya dapat dicapai jikalau manusia mengerti bagaimana menggunakan waktu sebaik-baiknya. Keduanya mempunyai kaitan yang sangat erat. Itulah sebabnya Musa berdoa, “Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.”

Otak yang berilmu berlainan dengan hati yang bijaksana. Otak yang berpengetahuan hanya perlu penggarapan di dalam satu bidang saja, yakni rasio. Tetapi, hati yang berbijaksana memerlukan unsur-unsur lain yang bersifat rohani, yang memiliki pengenalan akan kekekalan, dan relasi pribadi dengan Tuhan Allah. Hati yang berbijaksana menguasai pikiran yang sudah diisi pengetahuan. Otak yang berpengetahuan bisa diperoleh melalui banyak belajar, membaca buku-buklu, bergaul untuk menerima pengalaman orang lain. Ada orang yang berpengetahuan banyak sekali, tetapi banyak hal yang dikerjakan dalam hidupnya tidak beres; pengetahuan mereka tidak pernah memberikan fondasi yang teguh dan arah yang benar untuk hidup. Sebaliknya, ada orang yang tidak mempunyai pengetahuan dan pengalaman belajar terlalu banyak, tetapi mereka mempunyai suatu dasar yang penting di dalam hati mereka, yakni kebijaksanaan. Mengapa ada tokoh-tokoh pendidikan yang tidak bisa mendidik anak-anaknya dengan baik? Mengapa sebaliknya ada ibu-ibu dan para janda yang tidak berpendidikan tinggi bisa membimbing anak-anaknya hingga mencapai sukses? Banyak hal yang tidak kita mengerti, karena di dalam arus manusia, dalil-dalil masyarakat, dan hukum-hukum yang kita terima di dalam kebudayaan kita, kita melihat banyak hal yang belum pernah bisa dirumuskan secara mekanisme.

Pada masa tuanya David Hume pernah berkata, “The nature is too strong for the principles” (Alam terlalu kuat dan melampaui akan prinsip-prinsip). Manusia mau merumuskan segala sesuatu melalui pengalamannya ke dalam prinsip-prinsip tertentu; ini tidak mungkin. Memang prinsip penting sekali, tetapi jangan lupa di dalam kita mau menjalankan prinsip-prinsip tanpa kompromi, kita tidak boleh memutlakkan prinsip-prinsip yang kita terima dan rumuskan dari pengalaman di dunia saja. Mengapa ada orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan seperti yang lain, tetapi mereka melihat lebih jelas, mengerti lebih tuntas, serta merasakan lebih peka akan hal-hal yang penting, sehingga hidup mereka sukses sesuai dengan kehendak Tuhgan? Karena mereka bukan saja mempunyai pengetahuan, tetapi juga hati yang berbijaksana.

Kita perlu memiliki dua hal yang penting ini: otak yang pintar dan hati yang bijaksana. Sayangnya, lebih banyak orang menuntut otak yang pintar lebih daripada mencari hati yang berbijaksana. Padahal kita tahu, kepintaran dan pengetahuan di dalam otak dengan kebijaksanaan di dalam hati, berbeda sekali. Yang diutamakan Musa di dalam Mazmur ini adalah hati yang berbijaksana. Tetapi, ini selalu tidak diperhatikan oleh kebanyakan orang, karena kebanyakan mereka yang menekan hal ini adalah orang yang otaknya kosong. Kalau seseorang otaknya kosong (tidak mempunyai banyak pengetahuan), lalu berbicara tentang hati yang bijak, tidak akan didengarkan. Tetapi, yang menuliskan Mazmur ini adalah Musa, seorang yang sudah mempunyai kepintaran dan pengetahuan yang banyak di dalam otaknya, dan sekarang ia menuntut hal yang lain, yakni hati yang bijaksana, sehingga menjadi seimbang. Khotbah-khotbah dan kuliah-kuliah atau ceramah-ceramah teologi tidak boleh hanya untuk mengisi otak para pendengar saja, melainkan harus juga mengisi hati para pendengarnya, sehingga mereka lebih dekat kepada Tuhan.

BAB III : WAKTU DAN HIKMAT.

HIDUP MANUSIA DAN WAKTU

Kita tidak mungkin hidup di luar jangka waktu kita hidup di dunia ini. Kalau Allah menciptakan kita, memberikan kemungkinan bagi kita untuk dilahirkan dalam salah satu jangka waktu di dalam sejarah, maka mulailah eksistensi kita yang berelasi dengan manusia yang lain di dalam masyarakat. Tetapi, ketika waktu itu berlangsung dan kita menikmati eksistensi kita di dunia ini, salah satu yang paling sulit kita mengerti adalah waktu itu sendiri. Agustinus, seorang Bapa Gereja yang pernah menulis banyak buku dan mencetuskan pikiran-pikiran yang banyak mempengaruhi para pemikir, filsuf, teolog, dan orang Kristen sepanjang sejarah selama kira-kira 1500 tahun sampai sekarang pernah berkata, “Jikalau Anda tidak menanyakan saya apakah waktu itu, maka saya tidak tahu apa itu waktu. Tetapi, jika Anda menanyakan saya apakah waktu itu, maka saya baru sadar saya tidak mengerti apa itu waktu.”

Apakah waktu itu?

Waktu adalah kata yang selalu kita ucapkan, Setiap hari kita berjumpa dengan waktu, kita menyebut istilah waktu, kita mempergunakan waktu, bahkan mungkin kita telah bermain-main dengan waktu. Sekarang, banyak di antara kita sanggup dan sudah membeli banyak jam dinding atau arloji untuk menunjukkan bahwa kita perlu melihat indikasi waktu. Memang, jam atau arloji makin lama makin murah harganya, tetapi kita tidak boleh lupa bahwa waktu belum pernah menjadi murah; waktu tetap merupakan sesuatu yang sangat berharga. Salah satu harta benda yang kita miliki, yang paling penting dalam hidup kita, adalah waktu.

Kalau kita berada di pekuburan dan melihat-lihat batu-batu nisan di sana, kita dapat melihat ada orang yang mati pada umur 8- tahun, ada yang lebih dari 90 tahun, tetapi ada juga yang baru berusia beberapa hari saja. Mereka sama-sama pernah mengunjungi sejarah, sama-sama dicipta di dalam waktu dan tempat, sama-sama pernah hidup di tengah-tengah masyarakat manusia, tetapi ada yang mempunyai waktu hidup yang panjang dan ada yang pendek. Salah satu yang paling penting di dalam hidup kita ialah bahwa kita pernah memiliki waktu. Salah satu harta yang paling berharga yang kita miliki di dunia ini adalah waktu. Tetapi, apakah ini menunjukkan kalau kita hidup panjang di dunia ini berarti kita mempunyai kekayaan hidup yang limpah? Sebaliknya, kalau hidup kita pendek (singkat) berarti kita miskin? Tidak tentu! Sejarah membuktikan kepada kita, ada orang-orang yang hidup panjang sekali, tetapi mereka memboroskan waktu-waktu mereka, hari-hari dan tahun-tahun mereka. Di dalam kefoya-foyaan, penghamburan, dan kekosongan dunia ini. Sebaliknya, ada orang-orang yang hidupnya singkat sekali, tetapi di dalam kesementaraan itu mereka telah mencapai kesuksesan yang luar biasa, bahkan mereka telah menguburkan sejarah dan zaman-zaman tidak mungkin menelan mereka; mereka akan meneruskan pengaruh mereka di dalam dunia ini serta melintasi zaman-zaman yang berusaha menelan mereka.

Salah satu hal yang paling penting kita sayangkan kalau melihat kehidupan di desa ialah banyak orang desa yang tidak mempunyai konsep waktu. Mereka terlalu hidup santai dan banyak membuang-buang waktu. Sepertinya mereka kebanyakan waktu. Sebaliknya, kita melihat kehidupan orang-orang di kota-kota besar seperti New York, Paris, London, dan Tokyo, sepertinya tidak ada waktu untuk santai. Mereka mengejar-ngejar waktu dan terus sibuk bekerja luar biasa seperti mesin-mesin atau robot-robot. Mereka kekurangan waktu, sementara orang-orang di desa kebanyakan waktu, keduanya sangat disayangkan. Kita masing-masing termasuk orang yang bagaimana? Dapatkah kita menggunakan waktu dengan baik, lalu mempunyai waktu luang untuk santai? Untuk itu kita perlu kebijaksanaan.

Hidup manusia tidak tergantung panjang pendeknya waktu yang ada padanya. Jikalau kita mempunyai hari-hari dan tahun-tahun yang panjang, tetapi kita melewati hidup kita di luar kehendak Tuhan, maka bukan saja akan mencelakakan diri kita sendiri, bahkan akan menjadi suatu bencana besar bagi orang yang pernah berjumpa dan bergaul dengan kita. Sebaliknya, kalau kita hanya mempunyai waktu yang singkat, tetapi baik-baik memakai waktu itu di dalam tangan Tuhan Allah, maka waktu itu akan berkait dengan kekekalan.

Semakin kita mau memikirkan tentang waktu, kita akan semakin sulit mengerti apa itu waktu. Semakin kita ingin menganalisa dan memperdalam konsep tentang waktu, kita akan semakin merasa gentar, karena kita harus bertanggung jawab di hadapan Tuhan Allah mengenai harta yang sudah Tuhan berikan kepada kita ini.

Dari kalimat-kalimat yang pernah diucapkan manusia di dalam hidupnya, kita mengetahui ada dua macam manusia. Ada orang-orang yang menghargai eksistensi hidup. Mereka selalu mengatakan kalimat-kalimat yang sangat penting sebelum meninggalkan dunia. Tetapi, ada juga orang yang tidak menghargai dan menaruh perhatian terhadap eksistensi hidup. Sampai mati mereka telah memakai waktu-waktu yang sangat terbatas untuk hal-hal yang bodoh, mencela Allah, mencaci maki orang lain, dan menyia-nyiakan hidup sendiri di dalam tangan setan. Bagaimana seharusnya kita menggunakan waktu yang telah diberikan Tuhan kepada kita?

Salah satu kalimat terakhir yang keluar dari mulut Chou En Lai adalah, “Waktu saya tidak cukup. Meskipun saya ingin memperbaiki Tiongkok, tetapi sorga (langit) tidak memberikan waktu yang cukup kepada saya.” Ideologi yang dianggap Chou En Lai sanggup merubah dan memperbaiki nasib RRC adalah komunisme. Dia memang seorang yang agung dan hidup sederhana, berusaha keras memperbaiki kehidupan rakyat Cina, tetapi sayang sekali waktu tidak cukup bagi dia. Ucapan-ucapan seperti itu selalu keluar dari mulut orang-orang yang berambisi besar, yang mempunyai banyak rencana, pandangan yang luas dan panjang, tetapi mereka selalu merasa terlalu singkat waktu yang ada pada mereka.

BAB IV : WAKTU DAN HIKMAT.

PANDANGAN TENTANG WAKTU

APAKAH WAKTU ITU?

Agustinus mengakui, "Kalau ditanyakan pada saya, baru saya sadar bahwa saya tidak mengerti apa itu waktu." Seorang sastrawan China pernah mengatakan, "Waktu adalah sesuatu yang tidak kelihatan, tetapi begitu nyata." Pada waktu kita berjalan, waktu itu lewat di antara kaki kita. Pada waktu kita tidur, "waktu" sedang lewat di sekitar tempat tidur kita. Ini semua memberikan keinsafan kepada kita, bahwa waktu sedang kita pakai, baik secara sadar maupun tidak. Kita sedang menjelajah di dalam sejarah, memakai waktu yang diberikan Tuhan kepada kita.

Di dalam sejarah filsafat, kita melihat pada abad ke-20, kesadaran dan kepekaan tentang waktu yang ditulis oleh banyak orang. Salah seorang pemikir terbesar dari Jerman di abad ke-20, yang bernama Martin Heidegger (1889-1976), menulis buku "Being and Time" (1927) -- Keberadaan dan Waktu, yang tebalnya lebih dari 1500 halaman. Kesimpulannya, manusia harus hidup secara otentik, hidup di dalam waktu. Tetapi para penganut eksistensialisme yang lebih pesimis mengatakan bahwa, keadaan dari keberadaan akan ditelan oleh ketidakberadaan. Maksudnya, ketika waktu kita selesai, kita akan menjadi nihil. Ini bukan konsep Kristen, tetapi konsep ini sudah muncul dalam pemikiran beberapa tokoh eksistensialisme sayap kiri yang atheis, seperti Jean-Paul Sartre (1905-1980). Inilah pemikiran orang-orang yang belum mengenal kebenaran, keberadaan manusia menuju kepada keberadaan yang nihil atau kosong. Artinya, sekarang kita ada, hidup dan menikmati segala sesuatu. Tetapi, pada suatu hari, pada waktu kita mati, segalanya selesai dan tidak ada apa-apa.

Kita sudah belajar bahwa salah satu hal yang paling sulit untuk kita mengerti mengenai waktu adalah realitas waktu itu sendiri. Ada beberapa butir yang penting mengenai waktu.

Pertama, waktu merupakan sesuatu esensi proses di dalam dunia yang relatif; waktu berkaitan dengan proses. Segala sesuatu yang berada di dalam proses tidak bersifat mutlak. Ini dalil yang sangat penting. Hanya Allah yang bersifat mutlak. Allah adalah Pencipta langit dan bumi; Dia telah menciptakan dunia relatif, maka Dia sendiri tidak terikat atau terbatas di dalam dunia relatif. Itulah sebabnya Allah tidak memerlukan proses; Dia adalah "I Am that I Am" -- Yang Ada dan Kekal Sampai Kekal, Yang Tidak Berubah. Tetapi kita semua yang diciptakan di dalam dunia mengalami proses, dan di dalam proses kita memerlukan waktu, dan proses mengalami suatu esensi waktu. Itulah sebabnya, waktu adalah esensi dari proses di dalam dunia relatif.

Kedua, waktu merupakan suatu harta milik yang bersifat paradoks dan eksistensi kita. Uang, rumah, mobil, emas, dan segala sesuatu yang kita miliki merupakan harta milik kita di luar diri kita, tetapi waktu merupakan harta milik di dalam diri kita. Jadi, waktu merupakan sesuatu yang begitu penting dan serius, karena waktu adalah harta milik yang selalu dijalankan oleh manusia. Banyak orang mementingkan uang, harta di luar diri mereka, dan menggantinya dengan harta di dalam diri mereka; sering kali mereka merasa menjadi orang yang sangat pandai karena bisa mendapatkan banyak uang. Namun, pada saat mereka kehilangan waktu yang ada dalam diri mereka untuk mendapatkan sesuatu yang nilainya kurang daripada waktu, mereka sebenarnya adalah orang-orang bodoh. Setelah mereka mendapatkan segala sesuatu, pada waktu mereka akan mati, mereka baru menyadari bukan saja semua itu tidak bisa dibawa mati, tetapi juga mereka sudah menghamburkan waktu yang penting untuk hal yang tidak bernilai kekal.

Uang memang penting dan kita perlukan, tetapi uang tidak pernah menjadi lebih penting daripada hidup kita. Mengapa kita harus menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun hanya untuk uang; beruang hanya untuk satu nilai? Salah satu penilaian yang paling tidak bernilai adalah penilaian yang diwarisi oleh kebudayaan Tionghoa, "Nilai satu-satunya adalah uang." Apakah bangsa yang paling mementingkan (mengejar) uang menjadi bangsa yang terkaya di dunia? Belum tentu! Sayang sekali, jika manusia tidak memunyai tujuan hidup yang lain, kecuali mencari uang; mereka sebenarnya adalah orang-orang miskin. Kita tidak boleh lupa, waktu yang ada pada kita adalah harta milik yang sangat penting dan paling berharga, dan yang tidak dapat digantikan oleh apa pun.

Musa begitu sadar akan hal ini. Dia adalah orang pertama yang mendapat wahyu Tuhan tentang ciptaan, tentang segala perubahan, tentang banjir besar pada zaman Nuh, tentang permulaan dosa dan kematian, dan dia orang pertama yang mencatat sejarah manusia. Waktu Musa mencatat, dia menyadari orang pertama (Adam) 930 tahun umurnya, yang paling tua (Metusalah) 969 tahun. Nuh 950 tahun, Abraham 175 tahun, Harun 123 tahun, dan Musa sendiri 120 tahun. Sedangkan orang-orang sezamannya kebanyakan hanya berusia 70 sampai 80 tahun. Dari sinilah Musa memunyai kesadaran yang belum pernah ada pada orang lain. Kesadaran ini begitu dalam di dalam diri Musa, sehingga dia menuliskan, "Tuhan, hari-hari kami dihanyutkan, dihanguskan di dalam gemas dan kemarahan-Mu".

Konsep waktu kita mengerti dengan jelas pada waktu kita memunyai keadaan yang memiliki relasi dengan Tuhan Allah. Kalau kita tidak hidup tanpa kesadaran eksistensi menghadap Tuhan Allah, kita akan hidup tanpa kesadaran akan waktu. Inilah perbedaan antara manusia dengan binatang. Manusia diciptakan bagi Allah, dengan pengertian dan kesadaran menghadap Allah, maka manusia memunyai kemungkinan kesadaran akan waktu, sedangkan binatang tidak. Binatang tidak pernah sadar bahwa waktu sedang memproses mereka menjadi tua dan mati. Musa adalah orang yang paling mengerti paradoks tentang waktu ini.

Ketiga, waktu merupakan suatu realitas yang berhubungan dengan ruang. Semua yang diciptakan Allah memunyai tiga unsur yang paling penting, yaitu ruang, waktu, dan eksistensi. Ruang dan waktu merupakan wadah eksistensi segala yang diciptakan Allah. Maksudnya, Allah menciptakan segala sesuatu dan segala sesuatu itu ditaruh di dalam dua wadah, yaitu ruang dan waktu. Sering kali kita hanya memikirkan ruang sebagai wadah, padahal waktu pun merupakan wadah. Jadi, ruang dan waktu merupakan wadah yang menampung eksistensi kita; ini penting kita sadari. Di surat kabar, kedua wadah ini secara tidak sadar diakui, hari ini tanggal..., terbit... halaman. Demikian juga di batu-batu nisan, lahir di..., tanggal/tahun...

Banyak orang hanya memikirkan soal ruang; sudah berapa luas tanah yang mereka beli, rumah yang mereka miliki, uang dan kekayaan yang mereka punyai, dan sebagainya. Sedangkan soal waktu mereka sama sekali buta. Mengapa sering kali manusia hanya melihat ruang sebagai wadah dan kurang bisa memandang waktu juga sebagai wadah? Karena sebagai wadah, ruang kelihatan lebih konkret dibandingkan dengan waktu. Orang yang bijaksana memunyai kepekaan terhadap waktu, dan waktu dengan ruang diseimbangkan; orang ini akan memunyai kekuatan yang luar biasa di dalam hidupnya.

Pengertian dan kesadaran akan waktu ini penting sekali. Dan kalau kita mau menggarap pekerjaan Tuhan, kita tidak boleh membuang-buang waktu hanya untuk perselisihan dan saling mengkritik. Ada orang yang demikian sempit di dalam memandang Kerajaan Allah. Paulus berkata, "Asal Injil (Kristus) diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur." (Filipi 1:18) Dia melihat waktu lebih penting daripada metode dan yang lainnya. Tetapi ini tidak berarti motivasi kita di dalam melayani Tuhan tidak penting, karena kita akan bertanggung jawab di hadapan Tuhan.

Keempat, waktu merupakan kebutuhan bagi benda bergerak di dalam ruang. Pada waktu suatu benda di dalam ruang bergerak, mendatangkan dimensi yang keempat. Apakah hal-hal rohani termasuk dimensi keempat? Bukan, karena hal-hal rohani termasuk dimensi tidak terbatas. Kalau kita mengerti hal-hal rohani hanya di dalam dimensi keempat, ini akan menjadi sangat sempit (dangkal). Sebenarnya, istilah dimensi keempat ini sudah dipakai di dalam bidang fisika sebelum tahun empat puluhan oleh Albert Einstein; dia mengatakan bahwa ruang adalah tiga dimensi, tetapi waktu termasuk dimensi keempat. Pada waktu titik bergerak menjadi garis, garis bergerak menjadi bidang, bidang bergerak menjadi ruang, dan pada saat ruang bergerak memerlukan waktu; inilah yang dimaksud oleh Einstein sebagai dimensi keempat.

Dimensi keempat ini hanyalah merupakan suatu pelengkap dimensi ketiga (ruang); keduanya sama-sama diciptakan Allah sebagai wadah bagi ciptaan. Sedangkan hal-hal rohani, hubungan kita dengan Tuhan, termasuk dimensi tidak terbatas, jauh lebih tinggi daripada dimensi keempat; semua yang terbatas tidak mungkin mengerti hal rohani. Di dalam peribahasa Tionghoa kuno, alam semesta dilukiskan dengan dua istilah. Istilah pertama, berarti atas, bawah, dan keempat sudut. Istilah kedua berarti dulu, sekarang, dan selama-lamanya. Atas, bawah, dan keempat sudut melukiskan ruang. Dulu, sekarang, dan seterusnya melukiskan garis waktu. Maka, ruang dan waktu membentuk alam semesta. Demikianlah waktu merupakan dimensi yang keempat, yang memperlengkapi ketiga dimensi lain yang menjadi unsur pertama.

Pada waktu Musa sudah tua, dia mengetahui usianya sudah cukup panjang, dan dia sadar waktu hidupnya sudah semakin singkat. Dia mau masuk ke dalam tanah yang dijanjikan Tuhan; waktunya sudah terbatas, tetapi ruangnya masih banyak sekali. Lalu dia mohon kepada Tuhan, "Izinkanlah aku masuk ke tanah yang Kau janjikan itu." Tetapi Tuhan berkata, "Tidak, karena engkau pernah tidak menguduskan Aku di hadapan umat-Ku" (Bilangan 27:12-14; Ulangan 3:23-27; 32:48-52). Tuhan hanya memerintahkan Musa naik ke puncak gunung Pisga dan memandang tanah perjanjian itu, tetapi dia tidak diperkenankan masuk ke sana; ruangnya bisa dilihat, tetapi waktunya tidak ada lagi.

Kelima, waktu merupakan suatu wadah untuk menampung segala peristiwa sejarah. Sejarah dicatat dalam buku, tetapi sejarah tidak ditampung di dalam buku, melainkan di dalam waktu. Waktu membentuk sejarah. Waktu dan kejadian-kejadian yang berada di dalam kelangsungan proses waktu membentuk keseluruhan sejarah; dan ini merupakan suatu hal yang sangat serius. Wells, seorang sejarawan Inggris yang bukan Kristen, pernah berkata, "Setiap titik dari sejarah demikian dekat pada Allah." Sayangnya, kita tidak memunyai kesempatan untuk menanyakan apa maksud perkataannya itu sebenarnya. Tetapi kebanyakan orang yang menyelidiki sejarah memang memunyai kepekaan yang luar biasa tentang waktu. Mengapa tidak semua yang terjadi di dalam waktu dicatat sebagai sejarah? Karena dianggap tidak bermakna. Hanya kejadian-kejadian yang bermakna yang dikumpulkan dan dicatat sebagai sejarah.

Di dalam bahasa Yunani (bahasa yang dipakai Allah untuk mewahyukan kebenaran Kitab Suci), kata yang dipakai untuk waktu ada dua, yaitu "kronos" dan "kairos". "Kronos" adalah urutan waktu, sedangkan "kairos" menunjukkan hakikat waktu. Orang Yunani sangat peka mengenai waktu, sehingga waktu dibagi ke dalam 64 tense. Bahasa Inggris memunyai 16 tense. Bahasa Indonesia tidak mengenal sistem seperti ini. Kalau kita mempelajari kebudayaan Yunani sebelum Kristus datang ke dunia, kita akan merasa kagum. Di dalam seni, mereka berusaha memakai ruang untuk menangkap waktu, dan hal ini diwariskan sampai Renaissance, bahkan hingga zaman modern. Lukisan, ukiran, dan patung-patung seni yang bermutu selalu berusaha menggabungkan ruang dan waktu. Banyak karya seni yang tinggi mencetuskan filsafat atau pikiran orang-orang yang berbobot, dan mengajar kita sebagai manusia yang pernah hidup di dalam dunia, untuk tidak membiarkan waktu kita lewat bersama ruang yang sekaligus menjadi wadah (penampung) dari eksistensi kita. Apalagi sebagai orang Kristen, kita harus memunyai kepekaan mengenai waktu yang melebihi orang-orang yang bukan Kristen.

KONSEP MENGENAI WAKTU

Kita perlu memikirkan kembali pandangan orang-orang dunia mengenai waktu. Mereka sering berkata, "Time is Money" -- waktu adalah uang. Pepatah ini bodoh sekali. Waktu bukan uang; kalau waktu adalah uang, maka kita bisa menukar waktu dengan uang. Ada peribahasa mengatakan, "Lebih mudah mencari uang dengan waktu, tetapi tidak mudah dengan uang mencari waktu." Pepatah Tionghoa kuno mengatakan, "Satu inci waktu sama dengan satu inci emas nilainya, tetapi satu inci emas tidak bisa menggantikan satu inci waktu." Kalau orang di Barat berkata, "Time is Money", maka orang di Timur (Tionghoa) berkata "Time is money, but money is not time". Kalau waktu bukan uang, bagaimanakah kita memandang waktu?

1). WAKTU ADALAH HIDUP

Berapa panjang hidup kita, itulah seberapa panjang waktu kita; selesai hidup kita, selesai pula waktu kita; berhentinya eksistensi kita ditentukan berhentinya waktu yang ada pada kita. Kalau kita benar-benar mencintai diri kita sendiri, cintailah waktu yang ada pada hidup kita sendiri. Apa yang dapat kita kerjakan sekarang, jangan tunda sampai besok; apa yang bisa kita pelajari di masa muda, jangan tunggu sampai tua. Berapa banyak orang yang menyesali hidupnya; mengeluh karena tidak mungkin memutar kembali (mengembalikan) sejarah atau waktu yang sudah lewat. Penyesalan merupakan suatu kesedihan yang perlu kita prihatinkan, tetapi kita tidak memunyai daya apa-apa untuk menolong, karena penyesalan berarti mengakui ketidakberdayaan diri kita yang berada di dalam keterbatasan. Agar hidup kita tidak penuh penyesalan, kita harus cepat-cepat mengerjakan apa yang Tuhan inginkan kita kerjakan sekarang.

2) WAKTU ADALAH KESEMPATAN

Sebenarnya waktu lebih daripada kesempatan, tetapi setiap kesempatan tidak mungkin berada di luar waktu. Semua kesempatan berada di dalam waktu. Hal ini tidak berarti kita boleh memilih setiap kesempatan berdasarkan interes (keinginan/kecenderungan) kita sendiri, tetapi kita harus peka terhadap pimpinan Tuhan, lalu kita menangkap semua kesempatan yang penting.

Di dalam mitologi Yunani, dewa kesempatan dilukiskan dengan kepala botak di bagian belakang dan rambutnya hanya di bagian depan, dan memunyai sayap di kakinya, sehingga dewa kesempatan berjalan cepat sekali. Dewa kesempatan jarang lewat, maka manusia harus mencarinya. Kalau dewa kesempatan itu lewat dan manusia berusaha mengejarnya; ia tidak mungkin dapat mengejarnya, karena ia memunyai sayap di kakinya. Lagi pula kita tidak bisa menangkapnya dari belakang, karena kepala bagian belakangnya botak. Tetapi kalau manusia sudah bersiap-siap untuk menangkapnya sebelum dia tiba, dan begitu dia tiba langsung menangkapnya, masih bisa menangkapnya dengan memegang rambutnya yang di depan. Kita tidak memercayai mitologi mana pun, tetapi di dalam mitologi seperti itu ada pelajaran yang bisa kita dapatkan. Hal ini digabungkan dengan tiga kalimat, "Orang bodoh selalu membuang kesempatan; orang biasa menunggu kesempatan; orang pandai (bijaksana) mencari kesempatan". Kalau hari ini kesempatan itu datang, biarlah kita sudah bersiap-siap menangkapnya. Ketika banyak kesempatan yang disodorkan kepada kita, kita harus memilih yang terpenting.

Hidup kita hanya sekali; kita tidak kembali lagi setelah mati. Kita harus mengerjakan apa yang Tuhan ingin kita lakukan selama hari masih siang, sebab pada waktu malam tidak ada seorang pun dapat bekerja (band. Yohanes 9:4).

3) WAKTU ADALAH CATATAN

Yakni catatan segala sesuatu di dalam hidup pribadi kita masing-masing. Tidak ada yang lebih serius dibandingkan dengan waktu, karena segala sesuatu dicatat di dalam waktu; segala sesuatu akan dan harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Pencipta, Penebus, dan Hakim kita yang agung. Segala yang kita pikirkan dan kerjakan pasti akan memperhadapkan kita kepada Tuhan Allah, dan pada waktu itu kelak tidak ada seorang pun dapat menolong kita. Biarlah sekarang juga kita bertobat, meninggalkan segala dosa, memperbaiki kehidupan kita masing-masing, dan serahkan diri kepada Tuhan. Selama kita masih ada waktu untuk hidup, selama masih bereksistensi, selama masih diberikan kesempatan oleh Tuhan, biarlah kita gunakan waktu kita sebaik-baiknya.

Kita tidak mengetahui hidup kita di dunia ini berapa lama. Marilah kita masing-masing menanyakan diri kita sendiri, "Sebelum saya pergi menuju kekekalan, menghadap Tuhan, apa yang sudah saya persiapkan dan yang akan saya persembahkan kepada-Nya?" Biarlah setiap kita memunyai kesadaran akan waktu ini.

BAB V : WAKTU DAN HIKMAT.

HAL-HAL YANG BERELASI DENGAN WAKTU

Kita harus mengaitkan waktu dengan bijaksana. Sementara banyak orang hanya mengaitkan waktu dengan pengetahuan, Alkitab mengaitkan 3 (tiga) hal: waktu, bijaksana, dan etika (time, wisdom and virtue). Paulus berkata,”Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada.” (Kol. 4:5). Di sini waktu digabungkan dengan bijaksana dan etika. Demikian pula di dalam Ef. 5:16 waktu digabungkan dengan etika: “Tebuslah waktu yang ada, karena zaman ini adalah zaman yang jahat.” (KJV: ‘Redeeming the time, because the days are evil.’). Di dalam Alkitab kita melihat ada kaitan-kaitan tertentu yang tidak terlalu nyata, tetapi kalau kita selidiki (analisa), kita melihat kaitan itu penting sekali.

Seorang yang bijaksana adalah seorang yang mengenal kesucian Tuhan Allah dan takut akan Dia, seorang yang mengetahui bagaimana menegakkan hidup yang beretika dan hidup suci di hadapan Allah. Seorang yang bijaksana adalah seorang yang mengetahui bagaimana menggunakan waktu dengan baik untuk memuliakan Tuhan. Seorang yang menghargai waktu dan mencintai waktu adalah seorang yang mengisi waktu (hidup)nya dengan etika yang sesuai dengan etika ilahi. Dan seorang yang mengenal Tuhan adalah seorang yang mengetahui bahwa kesementaraannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Allah yang kekal.

Kiranya Tuhan memberikan kekuatan dan kesadaran kepada setiap kita untuk baik-baik memakai salah satu harta yang paling penting yang kita miliki, yakni waktu hidup kita.

Waktu, Kesementaraan, dan Kekekalan

Apakah kesementaraan berkaitan dengan kekekalan? Jikalau kesementaraan berkaitan dengan kekekalan, di manakah kaitannya? Mungkinkah manusia mengerti mengenai kekekalan sejak di dalam kesementaraan atau dunia sekarang ini? Dan apa perlunya kita memikirkan soal kekekalan?

Alkitab merupakan buku yag penuh kelimpahan kebenaran dan rahasia memperoleh bijaksana. Di dalam Alkitab kita dapat menemukan hal-hal yang belum pernah dan tidak mungkin dipikirkan oleh filsuf-filsuf yang paling pandai sekalipun, prinsip-prinsip yang tidak pernah bisa dimengerti sekaligus oleh manusia seumur hidupnya yang singkat. Karena firman Tuhan berasal dari bijaksana yang kekal, maka tidak heran kalau di dalam kesementaraan kita tidak dapat mengertinya secara tuntas; kita hanya dapat mengertinya sebagian. Betapa celaka dan bodohnya orang yang mengejek, mengeritik, dan menghakimi firman Tuhan karena tidak mengertinya secara keseluruhan.

Berapa panjangkah hidup kita? Alkitab berkata, “Tujuh puluh tahun, dan kalau kuat delapan puluh tahun, dan yang menjadi kebanggaan kita hanyalah keluhan, kesukaran, dan penderitaan.” (Mzm. 90:10). Adakah manusia yang tidak pernah mencucurkan air mata, mengeluh, dan mengalami patah hati di dalam sepanjang hidupnya? Tidak ada! Janganlah kita menjadi orang Kristen, hamba Tuhan maupun jemaat, yang hanya mementingkan ayat-ayat Alkitab yang berkata kalau ikut Tuhan pasti hidup lancar, enak, dan kaya. Itu adalah konsep yang sangat sempit. Alkitab mengajarkan kita jauh daripada itu: Kalau kita mengerti rahasia kebenaran sebagai pangkal atau dasar hidup kita masing-masing dan kita mempunyai sumber bijaksana yang kekal, maka kita akan dapat menghadapi segala kesulitan kalau Tuhan memberikan penindasan itu kepada kita. Pada hari hari Tuhan menindas kita, kita pun dapat bersuka cita. Pada waktu Tuhan membolehkan kita mengalami kesulitan, kecelakaan, dan segala malapetaka, apakah yang menjadi kekuatan kita menghadapinya? Apakah rahasianya kita boleh mengalahkan semua itu dan tetap menang di dalam hidup kita yang singkat di dunia ini? Yakni pengertian yang seimbang, stabil, dan utuh akan kebenaran Tuhan.

Kita perlu mempunyai iman yang benar kepada Tuhan, sehingga sewaktu di dalam kesementaraan kita sudah menikmati kekekalan, dan kita mempunyai kelonggaran untuk membagi waktu kita dengan baik, sehingga hidup kita tidak dihamburkan dengan sia-sia. Banyak orang sampai pada saat menjelang kematiannya baru sadar bahwa mereka sudah membuang waktu terlalu banyak.

Beberapa orang dari Eropa pergi ke Afrika. Di tengah-tengah padang belantara yang panas mereka menjumpai suatu danau kecil. Di dekat danau itu banyak batu-batuan dan mereka menemukan sebilah papan bertuliskan: “Yang mengambil batu akan menyesal. Yang tidak mengambil batu juga akan menyesal.” Seorang di antara mereka tidak menggubris perkataan itu. Tetapi, seorang lainnya terus memikirkan apa arti tulisan itu. “Kalau saya membawa batu-batu itu saya akan tahu bagaimana menyesal karena membawanya. Kalau saya tidak membawa, juga akan menyesal, tetapi dengan penyesalan yang berbeda.” Akhirnya dia memutuskan untuk membawa sedikit batu-batu itu dan menyuruh yang lainnya tidak usah membawanya. Ada juga orang yang tidak menggubris kalimat itu dan bermain-main berlomba melemparkan batu-batu itu ke tengah danau, dan menganggap mereka tidak akan menyesal karena tidak memikirkan kalimat itu lebih jauh. Setelah kembali ke Eropa mereka menyuruh ahli batu-batuan untuk menyelidiki batu yang dibawa itu. Setelah diselidiki ternyata batu-batu itu adalah semacam Safir yang dari luar nampaknya jelek, tetapi di dalamnya merupakan permata yang sangat indah dan mahal. Yang tidak membawa batu itu menyesal karena tidak membawanya. Tetapi, yang membawa pun akhirnya juga menyesal, karena tidak membawa lebih banyak.

Di dalam cerita itu batu-batu mengilustrasikan waktu. Bisakah kita membawa waktu ke dalam kekekalan, ke dalam surga? Kesementaraan mungkinkah berkaitan dengan kekekalan? Kalau kita bisa mengaitkan kedua hal ini berarti kita orang yang berbijaksana. Bagaimana menyimpan kekekalan di dalam kesementaraan, dan bagaimana membawa kesementaraan ke dalam kekekalan; ini merupakan suatu bijaksana yang luar biasa. Orang-orang biasa hanya menganggap kekal adalah kekal dan sementara adalah sementara. Banyak orang waktu diajak percaya kepada Yesus Kristus untuk menerima hidup kekal sering mengutip perkataan Konfusius: “Mengenai hidup sekarang saja kita tidak mengerti, mengapa berani bicara tentang sesudah mati?” Banyak orang hanya mau memikirkan tentang hidup sekarang, dan tidak mau pikir apa-apa tentang sesudah mati bagaimana; yang penting bagaimana menggarap hidup yang sekarang, mengenai yang akan datang tidak perlu dipedulikan. Ini salah satu sikap manusia yang paling umum di dalam dunia. Mereka tidak pernah memikirkan kemungkinan mengaitkan kekekalan dengan kesementaraan; bagaimana menyimpan kekekalan di dalam kesementaraan dan bagaimana membawa kesementaraan ke dalam kekekalan.

Mengenai hal ini ada perbedaan yang terlalu besar antara binatang dan manusia. Binatang dicipta di dalam kesementaraan dan hanya mempunyai esensi kesementaraan itu saja. Tetapi, manusia adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan di dalam kesementaraan dengan dibubuhi esensi kekekalan, karena manusia telah dicipta menurut peta dan teladan Allah yang kekal. Kita adalah makhluk yang bersifat kekekalan; itulah sebabnya kita sering mendapat kesulitan untuk membagi waktu kita dengan baik, sehingga hidup kita tidak dihamburkan dengan sia-sia. Banyak orang sampai kadang-kadang mengeluh di dalam tubuh yang bersifat sementara. Kita merasa kesal pada waktu melihat wajah dan kulit tubuh kita menjadi kisut. Manusia berusaha untuk senantiasa awet muda, tetapi ini sesuatu yang mustahil. Faktanya kita semakin hari semakin bertambah tua. Rasa kesal karena mengetahui diri kita bertambah tua dan semakin digeser oleh waktu itu timbul dari suatu perasaan kita memiliki kekekalan. Kalau kita tidak memiliki kekekalan, kita tidak akan mempunyai ketidakpuasan dan kesadaran yang negatif terhadap eksistensi kita yang berada di dalam proses waktu yang menggeser kita menjadi tua. Waktu kita mengetahui barang yang kita sayangi rusak, waktu melihat orang-orang yang kita cintai sakit dan meninggal dunia, dan waktu menyadari kita harus menjadi tua, kita merasa susah sekali. Kita merasa tidak senang melihat segala perubahan itu, karena perubahan menggerogoti ketidakberubahan, kekekalan diancam oleh kesementaraan. Semua itu menimbulkan kerisauan yang tidak habis habisnya di dalam hati (hidup) kita.

Mungkinkah kekekalan berada di dalam kesementaraan? Dan mungkinkah kesementaraan dibawa ke dalam kekekalan? Alkitab menjawab: Mungkin! Bukan saja mungkin, tetapi memang harus demikian. Pada waktu yang sudah ditentukan, Allah menciptakan segala sesuatu dengan baik. Lalu Allah memberikan kekekalan di dalam hati manusia. Setelah manusia dibentuk dari debu tanah yang merupakan faktor yang sementara, Allah membubuhi kekekalan ke dalamnya. Karena kekekalan itu berada di dalam diri kita, maka kita mempunyai konsep sejarah, kita memiliki ambisi melawan dan melintasi, bahkan menguburkan sejarah. Tetapi setelah dosa berada (masuk) di dalam sejarah manusia, kesementaraan dan kekekalan tidak mempunyai kaitan yang normal, sehingga terjadi distorsi-distorsi; kadang-kadang kita susah sekali untuk hidup secara sukses. Ini bukan saja terjadi di dalam diri orang-orang ateis atau mereka yang berada di dalam filsafat-filsafat agama ! lain, tetapi juga di dalam diri orang-orang Kristen yang hidup rohaninya belum beres; mereka selalu mengalami konflik-konflik kesementaraan dan kekekalan di dalam jiwa mereka.

Yesus Kristus pernah memberikan suatu perumpamaan untuk memberikan pengertian hubungan antara kesementaraan dengan kekekalan. Ada seorang bendahara yang tidak jujur (baca Luk. 16:1-9). Bendahara yang tidak jujur itu tahu bahwa tidak lama lagi dia akan dipecat dari kedudukannya. Dia juga tahu, banyak orang berhutang kepada tuannya. Maka, cepat-cepat dia memberikan surat reduksi (keringanan) hutang kepada mereka. Setelah dipecat dari kedudukannya, orang-orang yang dulu pernah mendapatkan pertolongan dari si bendahara itu menerimanya dengan baik. Perumpamaan ini bukan untuk mengajarkan supaya kita meneladani ketidakjujuran dari si bendahara itu. Titik pusat perumpamaan ini adalah si bendahara itu mempunyai kebijaksaan yang luar biasa, yaitu dia mengetahui bagaimana memakai uang yang bersifat sementara untuk mempersiapkan nasibnya yang kemudian. Inti ajaran perumpamaan ini adalah bagaimana mengaitkan kesementaraan dengan kekekalan. Sudahkah kita mempersiapkan kekekalan pada waktu kita masih berada di dalam kesementaraan? Bagaimanakah caranya?

Kematian bagaikan sehelai pintu, menurut perkataan terakhir Sokrates, yang membawa manusia menuju kepada kekekalan. Kematian adalah semacam pintu yang memisahkan, seperti penyeberangan, atau perbatasan dari kesementaraan kepada kekekalan. Orang yang bijaksana adalah orang yang betul-betul mengetahui bagaimana menerima kekekalan sementara berada di dalam kesementaraan; yang bisa membawa sesuatu yang bernilai kekal menuju ke dalam wilayah kekekalan pada waktu mereka masih berada di dalam wilayah kesementaraan. Sehingga di dalam waktu sementara ini mereka menikmati hidup yang kekal, dan di dalam kekekalan mereka menikmati karya yang dikerjakan di dalam kesementaraan. Di dalam surga tidak ada orang yang menyesal karena menerima Yesus Kristus. Waktu kita menerima Yesus Kristus kita menyesali akan dosa-dosa dan segala perbuatan kita yang melawan kehendak Allah dan yang telah menjauhkan kita dari Dia; ini disebut penyesalan yang tidak mendatangkan penyesalan (unregretable regret) menurut istilah Alkitab. Setelah kita menerima Yesus Kristus di dalam hati kita, kita akan tenang hidup di dalam dunia; dunia yang sementara tidak lagi mengancam kita, sekalipun kita bisa menjadi tua, sakit, bahkan mengalami kematian dan dikuburkan. Kita sudah mempunyai kekekalan di dalam kesementaraan.

Kekekalan yang dicipta oleh Tuhan sudah tidak mempunyai arah setelah manusia jatuh ke dalam dosa, tetapi kekekalan ditebus oleh Yesus Kristus mempunyai arah yang tidak pernah berubah. Setelah kita menerima Yesus Kristus, Paulus menghimbau: Persiapkanlah dirimu untuk kekekalan.

Di dalam kesementaraan mengandung kekekalan dan di dalam kekekalan mengandung kesementaraan. Di dalam waktu hidup kita yang sementara kita menuju kepada kekekalan; apakah yang kita persiapkan untuk itu? Kalau kita hanya melihat dunia sekarang ini dan menikmati segala sesuatu di dalam hidup kita, seolah-olah sesudah mati hidup kita selesai, apakah bedanya kita dengan segala macam binatang? Marilah kita mempersiapkan kekekalan selama kita berada di kekekalan kita akan mengingat kembali dan menikmati apa yang sudah kita lakukan di dalam kesementaraan. Orang yang bisa mengaitkan kesementaraan dengan kekekalan, dan sebaliknya, adalah orang yang bijaksana. Namun, berapa banyak orang yang pada saat-saat terakhir hidupnya, selangkah sebelum menuju kekekalan, baru sadar bahwa mereka telah salah jalan selama didalam kesementaraan, tetapi tidak ada waktu lagi untuk kembali. Pada saat langkah terakhir di dalam kesementaraan dan harus menuju kepada kekekalan itu mereka mendadak menjadi orang yang bijaksana.

Sudah beberapa buku diterbitkan khusus untuk memberitahukan suara-suara yang tercetus dari orang-orang yang berada di tepi kekekalan; salah satu yang penting berjudul The Voices From The Edge of Eternity (Suara suara Dari Tepi Kekekalan). Di tepi perbatasan antara kesementaraan dan kekekalan itu barulah banyak orang yang sadar; salah seorang di antaranya adalah John Stuart Mill (1806-1873), seorang filsuf Inggris. Dia adalah seorang penganut Utilitarianisme yang hanya mementingkan akan keuntungan dan kebahagiaan hidup di dunia; salah satu motto mereka yang terkenal adalah mencari kebahagiaan sebesar mungkin untuk sebanyak mungkin manusia. Banyak orang, bahkan orang Kristen, secara sadar ataupun tidak, telah terjerumus ke dalam filsafat (pandangan) yang salah ini. Di dalam pandangan ini mayoritas akan menentukan nilai, padahal kadang-kadang kebenaran bukan berada di pihak mayoritas melainkan minoritas dan akhirnya mengalami penganiayaan, tetapi Dia mempunyai kebenaran. Di dalam hidupnya John Stuart Mill selalu berkata, I never believe in God, in Satan, in heaven, in hell; but only my wife, Saya tidak percaya akan Allah, setan, surga, neraka; hanya percaya akan istri saya. Namun, sebelum meninggal dia sempat menulis tiga tesis, di antaranya mengatakan: Sebenarnya Yesus Kristus merupakan nilai yang tertinggi.

Salah seorang lainnya adalah Thomas Scott, politikus dari Inggris. Sebelum menghembuskan nafas terakhir dia berkata: I never belief in heaven and hell before, but now I believe both, yet its too late —Saya tidak percaya ada surga dan neraka, tetapi sekarang saya percaya akan keduanya, namun terlambat. Tidak ada waktu baginya untuk bertobat. Marilah kita mengaitkan hari-hari hidup kita yang pendek di dalam kesementaraan dengan nilai kekekalan menurut janji Tuhan.

Apakah yang bisa kita kerjakan di dalam dunia yang bisa dibawa ke dunia sana? Apa yang bisa kita kerjakan di dalam dunia sementara yang bisa diingat di dalam kekekalan, kerjakan segiat mungkin. Tetapi tidak perlu kita terlalu mencurahkan perhatian, pikiran, dan tenaga terhadap apa yang tidak bersifat kekal. Biarlah hati dan pikiran kita terkonsentrasi hanya terhadap hal-hal yang bernilai kekal, termasuk di dalam penggunaan uang. Penilaian yang berbijaksana berkaitan dengan pengertian antara bagaimana mengharmoniskan kekakalan di dalam kesementaraan dan kesementaraan di dalam kekekalan; dengan ini kita bisa menuju kepada esensi yang bertahan. Demikian juga di dalam pelayan, pekerjaan, dan segala ucapan-ucapan kita. Kita jangan terlalu banyak memakai waktu untuk memikirkan rencana-rencana yang akan gugur untuk mengucapkan hal-hal yang terus menerus berubah. Tetapi kita harus memusatkan pikiran serta tenaga kita untuk mengerjakan hal-hal yang bernilai, untuk kekekalan, dan untuk kehendak Allah. Dengan demikian kita menjadi orang yang bijaksana.

Jikalau hari ini kita harus berjumpa dengan Tuhan, dan kita harus mempertanggungjawabkan di hadapan-Nya hari-hari yang diberikan kepada kita, siapakah kita? Sudahkah kita mempersembahkan waktu-waktu kita, harta, tenaga, talenta, pikiran, kekuatan, kesehatan, dan segala milik kita di atas mezbah Tuhan?

BAB VI : WAKTU DAN HIKMAT.

TEBUSLAH WAKTUMU!

“Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.” (Efesus 5:15-16)

Sebelum Paulus menuliskan “Hendaklah kamu dipenuhi oleh Roh Kudus” (ayat 18), terlebih dahulu dia memberikan beberapa prinsip yang sangat penting (ayat 15-17). Berapa banyak orang yang hanya menuntut apa yang tertulis di dalam ayat 18, tetapi mengabaikan ayat-ayat sebelumnya.

Alkitab menegaskan, sebelum seseorang dipenuhi oleh Roh Kudus, dia harus mempersiapkan diri dan mengerti hal-hal ini, memperhatikan kehidupan pribadi, teliti dan berhati-hati di dalam segala sesuatu, melakukan segala sesuatu dengan bertanggung jawab, jangan menjadi orang yang bodoh melainkan menjadi orang yang arif (bijaksana), mempergunakan waktu dengan baik-baik karena zaman ini sudah jahat, jangan menjadi orang sembarangan, tetapi menjadi orang yang mengerti kehendak Allah. Baru sesudah itu jangan bermabuk-mabukan, tetapi hendaklah kamu dipenuhi oleh Roh Kudus. Semua ajaran di dalam ayat-ayat ini saling berkaitan.

Hidup yang bijaksana adalah hidup yang takut akan Tuhan, mengerti bagaimana menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya, dan mengenal zaman ini yang penuh kejahatan. Di dalam firman Tuhan, ketiga hal ini dikaitkan: kebijaksanaan, waktu dan moralitas. Di dalam filsafat Sokrates, Plato, dan Aristoteles dikatakan, “the true virtue is the true wisdom and the true wisdom ia the true happiness.” Jadi disini kebijaksanaan digabungkan dengan kesucian (moral) dan kebahagiaan. Ketiga hal ini merupakan tiga sasaran yang penting di dalam tujuan hidup manusia, menurut filsafat baik di Timur maupun di Barat.

Manusia bergumul, berusaha, dan berjuang, untuk apa? Apa yang dicari manusia? Orang biasa mencari kesenangan, materi(uang), dan hal-hal yang hanya bersifat lahiriah. Tetapi mereka yang berpikiran lebih mendalam mencari bahagia yang sejati dan mereka mengerti bahwa bahagia yang sejati tidak harus didapatkan melalui sensasi (seks). Kita boleh menikmati seks dengan senang dan bahagia hanya di dalam rencana dan tujuan Allah menciptakan seks sebagai salah satu fungsi untuk mengisi kebutuhan hidup kita. Kita boleh menerima dan menikmati seks semaksimal mungkin hanya melalui jalur yang telah Tuhan tentukan, yaitu di dalam keluarga yang bersama-sama beriman kepada Yesus Kristus.

Inilah ketiga hal yang dicari oleh manusia pada umumnya: kebahagiaan, kebajikan dan kebijaksanaan. Orang-orang dunia, meskipun belum Kristen, juga mencari kebajikan, kebijaksanaan, dan sukacita yang lebih berarti. Maka di dalam sejarah filsafat, Sokrates, Plato, maupun Aristoteles menjadi tokoh klasik untuk segala zaman. Di dalam Wahyu Umum mereka telah melihat, memikirkan, dan mengaitkan segala sesuatu yang sangat penting; mereka mengetahui, tidak mungkin kebijaksanaan tidak digabungkan dengan moral, dan tidak mungkin moral tidak digabungkan dengan sukacita. Orang yang berbuat baik bukan orang bodoh, melainkan orang yang bijaksana, dan orang yang berbuat baik tidak mungkin tidak menerima imbalan, yaitu suka cita di dalam hatinya.

Tetapi di dalam Alkitab kita melihat kebijaksanaan dan moral sekaligus dikaitkan dengan waktu. Jadi, Alkitab memberikan pandangan filsafat yang lebih tinggi, juga memberikan dorongan bagaimana menghargai dan menggunakan waktu dengan baik di dalam hidup kita. Bisakah waktu di beli? Dapatkah waktu ditebus? Mungkinkah waktu diganti dengan uang?

Yang lalu kita telah memikirkan pandangan dunia ‘time is money’. Ini salah satu motto yang paling penting di dalam kebudayaan Barat. Di dalam menggunakan waktu untuk mengejar uang, khususnya didalam perdagangan, motto ini telah menjadi suatu nasihat yang memberikan banyak keuntungan bagi banyak orang didunia, tetapi sebenarnya itu terlalu dangkal.

Di dalam Efesus 5:16, di dalam terjemahan aslinya, Rasul Paulus memakai kata-kata yang luar biasa, “Tebuslah waktu…(KJV.“Redeeming the time…”). Ada terjemahan bahasa Tionghoa berarti “Cintailah, hargailah, evaluasilah, dan sayangilah waktu-waktu yang ada padamu.” Jadi, sekalipun kita tidak bisa membeli waktu, namun kita dapat menebus waktu (hidup) kita, yakni dengan menghargainya.

Kita juga telah memikirkan tiga hal yang sangat penting mengenai waktu: (1) waktu untuk hidup, (2) waktu adalah kesempatan, dan (3) waktu adalah catatan. Waktu sama panjang dengan hidup kita, waktu mengandung kesempatan-kesempatan yang penting sekali, dan waktu mencatat segala perbuatan kita. Kita harus sadar bahwa waktu sedang merekam segala pikiran, perkataan, dan tingkah laku atau perbuatan kita. Pada waktu kita sadar bahwa waktu sedang mencatat segala sesuatu, kita tidak akan bertindak sembarangan.

Apakah waktu bisa dibeli? Misalnya, apakah seorang pegawai di kantor dengan menerima gaji berarti waktunya dibeli oleh sang majikan? Kelihatannya waktu bisa di beli. Tetapi, kalau waktu itu tidak dibeli oleh sang majikan, waktu itu juga tidak bisa ditahan. Kalau kita tidak mau bekerja, misalnya selama sebulan, karena tidak mau waktu kita dibeli oleh atasan (majikan) kita, hidup atau umur kita pun tidak akan bertambah satu bulan. Apakah waktu bisa di beli? Apakah waktu bisa diganti dengan uang? Ini suatu bahan pemikiran yang sangat menarik. Kalau waktu bisa dibeli, berapa harganya? Waktuseorang pengemis kelihatannya murah sekali, waktu seorang majikan mahal sekali, waktu seorang presiden lebih mahal lagi. Kadang-kadang kelihatannya waktu bisa dibeli, tetapi sebenarnya tidak. Ini paradoks.

Kalau dari Jakarta saya mau ke Irian Jaya untuk melayani, apakah saya harus memilih naik kapal laut atau pesawat terbang? Kalau saya memilih kapal laut, saya harus membuang waktu lebih dari satu bulan hanya untuk perjalanan pergi dan kembali, tetapi biayanya murah. Kalau saya naik pesawat terbang, hanya perlu kira-kira sehari untuk pergi dan kembali, dan saya bisa mempunyai lebih banyak waktu untuk melayani, tetapi ongkosnya jauh lebih mahal.

Di sini kita melihat seolah-olah uang bisa membeli (menghemat) banyak waktu. Manusia terus berusaha dengan memakai banyak uang untuk bisa mencapai tempat-tempat yang jauh dengan singkat. Kalau dulu kita membutuhkan 80 hari untuk keliling dunia, sekarang tidak perlu 80 jam, dan beberapa tahun kemudian mungkin hanya memerlukan 8 jam.

Kira-kira 350 tahun yang lalu, Sir Francis Bacon (Bapak Ilmu Pengetahuan Modern dari Inggris) waktu menerima laporan bahwa di masa-masa yang akan datang manusia mungkin bisa bertamasya dengan kecepatan sampai 50 mil (sekitar 81 km) per jam, dia mengatakan tidak mungkin, karena pasir-pasir akan masuk ke dalam mata dan kita tidak sempat mengeluarkannya. Ini pandangan dari Bapak Ilmu Pengetahuan sebelum zaman modern, di mana belum ada kaca. Tetapi sekarang dunia sudah sedemikian berkembang. Sekarang kita bisa memakai banyak uang untuk mengejar atau menghemat banyak waktu, seolah-olah waktu bisa dibeli dengan uang, seakan-akan waktu bisa ditebus dengan harta benda. Tetapi, Alkitab jauh lebih tinggi daripada penebusan semacam ini. Banyak orang bisa naik kapal terbang dengan cepat, tetapi setelah itu waktunya tidak dipergunakan dengan baik-baik. Orang yang penting, waktunya akan lewat; demikian pula orang yang sederhana.

Bagaimana Kita Bisa menebus Waktu?

Pertama, kita harus sadar, insaf, dan mempunyai pengertian yang tepat, bahwa waktu kita harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Allah. Karena pengertian inilah, maka nabi Amos menyampaikan, “maka bersiaplah untuk bertemu dengan Allahmu, hai Israel!” (Amos 4:12). Setiap kita pasti akan berdiri dihadapan hadirat-Nya dan harus mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang pernah diberikan ke dalam tangan kita: harta, keluarga, kesempatan, dan khususnya waktu di dalam hidup kita. Itulah sebabnya perlu sekali kesadaran akan kekekalan yang mengakibatkan kita merefleksikannya ke dalam dunia sekarang; inilah eksistensialisme Kristen.

Di dalam eksistensialime non-Kristen, yang atheis, manusia juga mementingkan memegang waktu sekarang, tetapi mereka memegang waktu sekarang tidak melalui refleksi kekekalan. Inilah perbedaan antara orang Kristen yang mengerti akan eksistensi dan nilainya dengan mereka yang bukan Kristen. Yang bukan Kristen mau memegang sekarang ini dalam pengertian tentang sekarang, tetapi orang Kristen memegang sekarang melalui refleksi kekekalan yang kembali ke sekarang. Ini berarti sebagai orang Kristen kita mengetahui bahwa dunia ini bukan rumah kita yang kekal, bukan rumah kita yang sebenarnya; rumah kita sebenarnya di sana, di dalam kekekalan, yang harus kita persiapkan sekarang.

Dari pengertian inilah kita kembali kepada pengertian dan kesadaran akan waktu. Dengan demikian kita mempunyai kesadaran akan suatu relasi antara kekekalan dengan kesementaraan. Dan juga kita selalu ingat, apa yang kita perbuat sekarang di dunia ini adalah untuk nanti di sana. Demikianlah kita menjadi orang yang bijaksana, dan dengan perasaan serta kesadaran demikian kita mulai bertindak untuk menebus waktu.

Menebus waktu harus dengan berjanji dengan hati nurani kita. Bukankah banyak orang setelah menjadi tua baru menyesal karena mereka telah membuang banyak waktu dan kesempatan di dalam hidup mereka dengan melakukan hal-hal yang tidak penting dan tidak benar. Mereka hanya bisa menyesal dan berteriak, “Sudah terlambat!”


Pada waktu David Livingstone (seorang misionaris Inggris yang melayani di Afrika) meninggal dunia, atas permintaannya sendiri sebelumnya, ia minta agar jantungnya dikuburkan di Afrika; menunjukkan betapa dia mencintai rakyat Afrika. Maka dokter melakukan operasi untuk mengeluarkan jantungnya dan jenasahnya di bawa pulang ke London. Pada waktu itu diadakan upacara perkabungan dan beribu-ribu orang Negro yang dicintainya menghadirinya. Juga pada waktu jenasahnya di bawa kembali ke London untuk dikebumikan, beribu-ribu orang Inggris menghantarnya. Di tengah-tengah upacara yang begitu serius dan yang paling mengagumkan kota London, di perjalanan menuju ke pekuburan, seorang tua sambil berjalan di sisi peti jenasah berteriak-teriak,“Terlambat! Sudah terlambat! Saya menyesal!” Waktu ditanyakan mengapa ia berteriak-teriak seperti itu, orang tua itu menjawab, “Sebenarnya saya adalah teman sekolah Livingstone. Kami sama-sama dilahirkan pada zaman yang sama, bersekolah disekolah yang sama, bahkan kami sama-sama berdiri di hadapan Tuhan Yesus untuk menyerahkan diri kepada-Nya. Hari ini, dia sudah menyelesaikan tugas dan perjalanan hidupnya di dunia dan dia sudah menerima mahkota di sorga. Tetapi saya, meskipun saya sudah berjanji kepada Tuhan, akhirnya saya hanya bermain-main dan menghamburkan waktu hidup saya dengan berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Saya sangat menyesal.”

Marilah kita berjanji dengan hati nurani kita sendiri melalui kesadaran yang tidak mungkin diberikan oleh siapapun, selain oleh Roh Kudus. Pada waktu Roh Kudus bekerja memberikan iluminasi atau cahaya di dalam hati kita, biarlah kita berjanji kepada Tuhan dari dasar hati nurani kita. Di dalam psikologi, apa yang kita katakan kepada diri kita, sangat mempengaruhi hari depan kita. Apa yang kita janjikan sedalam-dalamnya hati kita kepada diri kita sendiri sangat menentukan tindakan kita di waktu-waktu kemudian.

Banyak orang sesudah mengalami sakit keras lalu berjanji pada dirinya sendiri; ada yang sesudah mengalami kecelakaan besar atau keadaan kritis berjanji di hadapan Tuhan. Biarlah kita menjadi orang-orang Kristen yang mengerti bagaimana berjanji dengan hati nurani kita sendiri dihadapan Tuhan. Dengan demikian kita bisa menebus waktu kita.

Kedua, kita bisa menebus waktu melalui pengenalan makna, berarti kita tidak mau hidup tanpa seleksi menerima segala sesuatu. Kita perlu menyaring (menyeleksi) segala sesuatu yang kita kerjakan; yang tidak bermakna kita tolak. Sebenarnya banyak hal yang tidak perlu dibaca, banyak film yang tidak perlu ditonton, musik yang tidak perlu didengarkan, dsbnya. Misalnya, kita perlu benar-benar menyeleksi di dalam membeli buku-buku; yang benar-benar berbobot, yang berisi kristalisasi kebudayaan dan pemikiran manusia yang sangat penting, baru kita beli dan kita baca. Dengan demikian kita telah menghemat banyak uang dan waktu. Banyak orang yang mempunyai konsep yang salah, mengira untuk bisa menjadi orang yang pandai harus belajar ke luar negeri, padahal sebenarnya tidak tentu. Immanuel Kant, sehari-hari dan seumur hidupnya tidak pernah keluar dari Konigsberg, tetapi pikirannya telah menjelajah dan berpengaruh ke mana-mana. Sesuatu (pengetahuan) bisa didapat dari tempat yang kecil asalkan kita dapat mencarinya dengan baik.

Demikian juga dalam hal mendengarkan khotbah-khotbah. Sekali pun kita telah mendengarkan ratusan khotbah, namun tanpa menyaring (menyeleksi)nya, maka iman kita tidak akan bertambah apa-apa. Kita hanya akan berputar-putar di suatu tempat bagaikan bangsa Israel yang hanya berputar-putar di padang gurun. Tetapi kalau kita menerima Firman yang berbobot, iman kita akan terus bertambah-tambah. Kita harus menyeleksinya, karena waktu kita tidak banyak. Jangan menjadi orang Kristen yang hanya mau mendengarkan khotbah yang ringan, mudah, enak didengar, tidak perlu digumulkan dan buang waktu, dan langsung jadi, tinggal terima. Orang semacam ini tidak mungkin menjadi orang Kristen yang berbobot. Kalau kita demikian pandai di dalam hal-hal duniawi, tetapi sangat bodoh dan buta di dalam hal-hal rohani, bagaimana kita bisa memenangkan orang-orang pandai yang perlu akan Tuhan Yesus? Bagaimana kita akan memberikan jawaban bagi segala pertanyaan mereka? Bukan berarti yang dangkal tidak berarti sama sekali. Terhadap anak-anak kecil, kita perlu berkata-kata secara sederhana, tetapi tetap dengan prinsip-prinsip yang mendalam (mendasar) untuk mengarahkan mereka kepada jurusan yang benar.

Biarlah kita mencari hal-hal yang berarti dan yang bermakna, lalu arti yang bermakna itu kita kumpulkan, sehingga didalam waktu yang sedikit (singkat) kita boleh mendapatkan kebijaksanaan yang besar. Menebus waktu berarti kondensasi makna, Maksudnya, yang tidak perlu kita buang, yang penting kita raih, kita olah baik-baik, dan kita pelihara.

Ketiga, kita harus membedakan antara waktu dan momen. Dua kata Yunani yang penting untuk waktu adalah kronos dan kairos; dan tense dalam bahasa Yunani dibagi menjadi 64. Ini menunjukkan orang Yunani mempunyai kepekaan terhadap waktu. Kronos menunjukkan waktu yang berjalan secara mekanis, sedangkan kairos menunjukkan suatu saat (momen) di dalam waktu yang tidak akan kembali lagi. Kalau kita diminta menuliskan riwayat hidup kita, kita tentu tidak akan menuliskan hal-hal rutin yang kita lakukan setiap hari, seperti sikat gigi,makan, minum, dll. Tetapi kita hanya akan menuliskan tahun berapa kita bersekolah (SD, SMP, SMA, dstnya), tahun berapa, bulan apa, kita bertobat atau menerima Tuhan Yesus, dibaptis, dsbnya. Ini semua merupakan momen-momen (kairos), unsur-unsur penting yang membentuk riwayat hidup kita. Hidup kita bukan dibentuk oleh waktu mekanis (kronos).

Mengerti kairos membuat kita lebih mudah menebus waktu, yakni bagaimana kita menciptakan saat yang bermakna atau momen yang bernilai kekal. Seringkali kita membiarkan waktu lewat begitu saja, seolah-olah tidak ada maknanya, sehingga di dalam hidup kita, kita menjadi pasif dan waktu menjadi aktif. Kita digeser oleh waktu. Tetapi kalau kita yang menjadi aktif dan waktu yang menjadi pasif, maka kita yang memperalat waktu. Setiap waktu kita ganti ganti menjadi momen, dan setiap momen kita ubah menjadi nilai yang bersifat kekal. Dengan demikian kita menumpuk harta yang sungguh-sungguh bernilai kekal untuk menghadap Tuhan.

Sebagai hamba Tuhan, saya selalu berdoa agar setiap kali saya menyampaikan firman Tuhan, para pendengar saya menemukan momen. Setiap kebaktian tidak berlalu secara rutin hanya untuk mengisi waktu. Berapa banyak momen yang berarti yang sudah kita jumpai, terima, dan ciptakan di hadapan Tuhan? Kadang-kadang momen (kairos) tidak mungkin kita ciptakan, melainkan semata-mata hanya merupakan anugerah Tuhan kepada kita. Tetapi, kita harus bisa melihat, menangkap, dan menggunakannya dengan sebaik-baiknya.

Keempat, kita harus bisa menemukan titik pusat hidup kita masing-masing; kalau tidak kita akan kehilangan seluruh arti hidup dan tidak bisa menebus waktu dengan baik. Banyak orang mempunyai hidup yang mungkin lebih panjang, tetapi tidak ada pusatnya, karena dia tidak dapat menemukannya. Kalau kita bisa menemukan titik pusat sesuatu (misalnya sebuah buku), maka kita dapat meletakkannya dengan seimbang hanya diujung satu atau dua jari tangan kita. Demikian pula, kalau kita bisa menemukan titik pusat seluruh kehidupan kita, maka kita dapat mengatur hidup kita dengan baik dan kita akan mempunyai kestabilan.

Adalah suatu pemborosan yang paling besar kalau kita menggunakan waktu dan pikiran kita untuk hal-hal yang negatif, kecemasan atau kekuatiran. Hal-hal yang kita kuatirkan itu sebenarnya tidak ada dan tidak akan terjadi. Banyak dokter memperkirakan penyakit secara fisik hanya kira-kira 25%, selebihnya 75% adalah karena pikiran (psikis). Maka salah satu cara kita bisa menebus waktu kita adalah dengan membuang banyak hal yang tidak perlu kita kuatirkan. Dengan demikian, titik pusat hidup kita itu kita pindahkan kepada yang memang perlu dan penting kita pikirkan.

Ada orang-orang Kristen yang pergi ke gereja setiap Minggu hanya untuk melepaskan (membuang) segala masalah hidupnya (kekuatiran, kecemasan, dsbnya) di hadapan Tuhan atau pendetanya (seakan-akan Tuhan atau pendetanya itu menjadi ‘tempat pembuangan sampah’), tetapi setelah itu dari Senin sampai Sabtu menumpuk kembali semua kecemasan dan kekuatiran hidupnya. Kita tidak perlu menumpuk hal-hal yang tidak perlu di dalam hati (hidup) kita, dan Tuhan akan memberikan kunci atau prinsip kepada kita, bagaimana menyingkirkan semua itu. Kita harus memikirkan setiap firman Tuhan yang dikhotbahkan di dalam kebaktian. Alkitab berkata, “Pikirkanlah Taurat Tuhan siang dan malam, maka engkau akan berbuah senantiasa seperti pohon yang ditanam di tepi aliran air.” (Mazmur 1:2-3). Kita membaca dan memikirkan firman Tuhan bukan untuk menjatuhkan orang lain, tetapi merenungkan dan merefleksikannya untuk diri kita sendiri. “Apa maknanya untuk diri kita, apa kewajiban yang harus kita jalankan, dan apa kaitannya dengan doktrin yang lain?” Ayat-ayat di dalam Alkitab kita kaitkan satu dengan yang lain dengan kebijaksanaan dari Tuhan yang semakin bertambah-tambah, kita hayati, menjadi sesuatu yang hidup di dalam diri kita.

Marilah kita bertanya pada diri kita masing-masing: Setelah sekian lama menjadi orang Kristen, berapa banyak pikiran yang saya pakai dipimpin Roh Kudus, dan berapa jauh kemajuan saya dalam mengerti firman Tuhan? Orang yang dipenuhi Roh Kudus adalah orang yang dipenuhi Firman, dipenuhi cinta kasih terhadap jiwa-jiwa yang terhilang, dan ketaatan terhadap pimpinan Tuhan. Biarlah kita kembali kepada prinsip-prinsip Alkitab yang jauh lebih penting, bukan menerima gejala-gejala yang sama sekali tidak berdasarkan firman Tuhan.

Akhirnya, secara praktis ada beberapa hal yang perlu kita usahakan:

Pertama, mengalihkan pemikiran dan mencoba bagaimana mengerjakan sesuatu yang belum pernah kita kerjakan. Kalau dulu kita mungkin telah membuang uang dan waktu terlalu banyak untuk memenuhi nafsu dan hal-hal yang jahat, sekarang kita bertekad di hadapan Tuhan, “Tuhan, tubuh, uang, dan waktuku kusucikan dan asingkan untuk pekerjaan-Mu.” Marilah kita mengerjakan pekerjaan Tuhan yang belum kita kerjakan, supaya kemarahan Tuhan tidak ditimpakan atas kita, meskipun ini bukan menjadi motivasi kita melayani Tuhan.

Kedua, berusaha melihat dan mencari orang-orang yang berpotensi melakukan pekerjaan Tuhan, lalu membantu dan mendidiknya. Sebuah kutipan dari sebuah buku mengatakan, “Sejarah dibentuk oleh bayang-bayang dari orang-orang yang penting di dalam sejarah.” Bukankah hal ini benar? Bukankah di dalam sejarah Perancis berada di bawah bayang-bayang dari Napoleon, Montesqueu, Rousseau, Louis XIV? Dan sejarah Inggris berada di bawah bayang-bayang Shakepeare, Churchill, Henry Purchell? Demikian juga sejarah Kekristenan berada di bawah bayang-bayang Matin Luther, John Calvin, Agustunus, B.B.Warfield, dan tokoh-tokoh besar lainnya. Penginjilan berada di bawah bayang-bayang tokoh-tokoh besar seperti Billy Graham dan Bill Bright.

Jikalau sekarang kita melihat orang-orang yang berpotensi, maukah kita membantu dan menunjang mereka, mempersiapkan dan memperlengkapi mereka, sehingga mereka berpengaruh untuk zaman yang akan datang? Ini cara yang sangat baik untuk menebus waktu. Ini perlu kita sadari dan pikirkan baik-baik. Seorang tua menyaksikan, “Sepanjang hidupnya D.L. Moody menginjili kira-kira 100 juta orang, dan setelah dia meninggal dunia, Amerika mempunyai pemimpin-pemimpin yang dipengaruhinya selama 25 tahun.”


Salah satu cara yang baik menebus waktu adalah mempengaruhi orang-orang lain yang mengabdikan diri dan waktu mereka bagi Tuhan. Kita berharap di dalam sepuluh tahun sebelum abad ke-20 ini kita bisa menemukan orang-orang yang paling pintar, yang berjiwa besar, yang bersemangat, dan yang paling berpotensi untuk Tuhan, dalam bidang teologi, musik, politik, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan khususnya di dalam penginjilan. Maka orang-orang yang lebih tua akan melihat dengan sukacita bagaimana mereka yang lebih muda meneruskan api obor Injil.

Biarlah setiap kita ikut ambil bagian didalam investasi yang sangat penting ini. Dan orang-orang muda tidak boleh lupa, ada tugas besar dari Tuhan yang menunggu. Jangan tunggu sampai selesai studi baru menginjili. Kalau Saudara sekarang tidak mencintai dan tidak mempunyai hati yang menangisi jiwa-jiwa untuk dibawa kepada Kristus, walau Saudara sekolah setinggi apa pun dan sampai kapan pun tetap tidak akan menginjili. Biarlah sekarang, dengan kesungguhan, kita melayani Tuhan.

Sebelum Tuhan Yesus datang kembali kedua kalinya, mari kita baik-baik mempergunakan waktu, menebus waktu, dan mempersiapkan diri menjadi pelayan Tuhan yang berguna dan setia. WAKTU DAN HIKMAT.

Amin.
Next Post Previous Post