8 KEUNIKAN TEOLOGI REFORMED

Ada 8 Keunikan teologi reformed, yaitu:
1.KEDALAUTAN ALLAH, 2.MANDAT INJIL, MANDAT THEOLOGI, dan MANDAT BUDAYA, 3. SOLUS CHRISTUS dan SOLI DEO GLORIA, 4.HANYA MELALUI ANUGERAH, 5.OTORITAS ALKITAB, 6.WAHYU UMUM DAN WAHYU KHUSUS 7.TEOLOGI KOVENAN, 8. TULIP.
8 KEUNIKAN TEOLOGI REFORMED
1.KEDALAUTAN ALLAH.

Keunikan teologi Reformed poin pertama adalah Kedalautan Allah.

1. Kedaulatan dan Kemuliaan Allah

Kedaulatan Allah dan kemuliaan Allah adalah 2 kata yang sangat penting dalam teologi reformed. Karena Allah adalah Allah yang berdaulat, maka segala sesuatu ada karena Dia yang menghendakinya. Segala sesuatu telah ditetapkan oleh Dia. Dosa dan kejahatan dari makhluk bermoralnya pun ada di dalam ketetapan Allah yang bersifat mengizinkan, walaupun menurut natur-Nya yang suci Allah tidak pernah menghendaki hal itu terjadi.

Tetapi oleh kebijaksanaan-Nya yang kekal, Allah memilih untuk mengizinkan hal yang tidak dikehendaki-Nya tersebut untuk suatu tujuan yang mulia bagi diri-Nya sendiri. Kedaulatan Allah juga bersangkut paut dengan kontrol-Nya atas segala sesuatu. Tidak ada satu hal pun yang lepas dari kontrol-Nya. Jika Allah berdaulat mutlak atas segala sesuatu, maka tujuan utama dari segala sesuatu yang ada hanyalah untuk diri-Nya sendiri. Itu sebabnya di dalam pertanyaan pertama Katekismus Singkat Westminster dikatakan “apakah tujuan utama hidup manusia?” Jawabannya adalah “tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya”.

Alkitab mengajar kita bahwa Allah yang berdaulat adalah Allah yang menciptakan dunia ini beserta isinya dan juga manusia (Kejadian 1). Selain itu, Ia memelihara alam ciptaan-Nya itu. Manusia sebagai ciptaan terakhir-Nya menjadi ciptaan teragung di mana apa pun yang manusia lakukan termasuk kondisi jatuh ke dalam dosa sudah ada dalam kedaulatan-Nya. Raja Daud mengakui bahwa Allah mengetahui semua keinginan (Mazmur 38:10) bahkan Ia mengetahui semua kesalahan manusia (Mazmur 69:6). Ia pun mengetahui isi hati manusia ketika memilih Daud untuk menggantikan Saul (1Samuel 16:7). Hal ini membuktikan bahwa Ia berdaulat mutlak atas segala sesuatu dan Ia tidak perlu terkaget-kaget dengan segala sesuatu di dunia maupun dalam diri manusia.

Berikut adalah definisi kedaulatan Allah yang Berdaulat dan Mahakuasa. Ada beberapa makna yang terkandung di dalam pernyataan kedaulatan Allah, yaitu :

Teologi Reformed memiliki prinsip dasar yaitu kedaulatan Allah. Apa arti kedaulatan Allah? Saya membagi 7 prinsip kedaulatan Allah secara ringkas beserta aplikasinya:

1. Allah yang berdaulat adalah Allah Pencipta dan Pemelihara alam semesta

Allah orang Kristen sejati adalah Allah yang menciptakan alam semesta sekaligus memeliharanya. Allah yang menciptakan segala sesuatu (Kejadian 1) berarti Dia adalah sumber segala sesuatu. Ia yang menciptakan manusia, berarti Ia jugalah sumber kita mengerti manusia. Alangkah tidak masuk akalnya jika seorang manusia mau mengerti manusia bukan dari Allah, tetapi dari ilmu-ilmu dunia bahkan dari interpretasi sendiri. Itulah kegagalan manusia berdosa. 

Dr. John Calvin di dalam bukunya Institutes of the Christian Religion mengajarkan, “Without knowledge of self there is no knowledge of God” (= Tanpa pengenalan akan diri tidak ada pengenalan akan Allah). Hal serupa ditekankan sebaliknya oleh Calvin sebagai satu konsep integratif, “Without knowledge of God there is no knowledge of self” (=Tanpa pengenalan akan Allah tidak ada pengenalan akan diri). Artinya pengenalan akan Allah dan pengenalan akan manusia adalah dua hal yang bisa dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Dari dua pernyataan ini, Calvin menyatakan bahwa pengenalan akan diri dimulai dari pengenalan akan Allah, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, Allah adalah sumber kita mengenal diri sendiri. Hal ini akan dibahas pada doktrin manusia dan dosa.

Selain sebagai Pencipta, Allah juga adalah Pemelihara ciptaan-Nya. Bukan seperti Deisme yang mengajarkan bahwa setelah menciptakan alam semesta, Allah meninggalkan ciptaannya untuk diatur oleh hukum alam, Kekristenan sejati mengajarkan bahwa Allah yang mencipta juga adalah Allah yang memelihara ciptaan-Nya. Ini membuktikan adanya providensia Allah. 

Pemeliharaan Allah atas alam juga mencakup adanya anugerah umum Allah untuk mencegah (bukan menghilangkan) kerusakan alam ini. Hal ini memberi kekuatan bagi iman kita di kala kita putus asa. Banyak orang Kristen masih khawatir akan hidupnya, biarlah Allah sebagai Pemelihara ini menjadi kekuatan bahwa Ia yang menciptakan kita, tidak akan meninggalkan kita dan alam ini begitu saja, sebagaimana dikatakan oleh Tuhan Yesus, “Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai.

Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?... Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” (Matius 6:25, 31-34) Allah yang memelihara adalah Allah yang mencukupi kebutuhan anak-anak-Nya asalkan kita terus mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya.

2. Allah yang berdaulat adalah Allah yang Kekal dan tidak bergantung pada siapa/apa pun.

Allah adalah Tuhan dan Pencipta segala sesuatu, oleh sebab itu Ia pasti tidak sama dengan ciptaan. Perbedaan antara Pencipta dan ciptaan di bagian ini adalah Allah itu Kekal, sedangkan manusia itu relatif/sementara. Allah yang Kekal berarti Allah yang melampaui ruang dan waktu, Ia bekerja dan menetapkan sebelum dunia dijadikan. Dalam hal keselamatan pun, Allah telah menetapkan beberapa orang untuk menjadi umat-Nya. 

Ini semua adalah hak dan kedaulatan Allah yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam bagian ini, kita juga mengerti Allah yang Kekal juga Allah yang tidak bergantung pada siapa/apa pun (atau lebih tepatnya, Allah tidak membutuhkan siapa pun untuk menasehati-Nya). Mengenai predestinasi dan keselamatan yang berkaitan dengan kedaulatan Allah (Roma 9-11), Rasul Paulus di dalam Roma 11:34 mengatakan, “Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?” 

Apa signifikansi konsep ini? Allah yang Kekal dan tidak bergantung pada siapa/apa pun mengajarkan kepada kita tentang Allah yang harus menjadi Sumber Pengharapan dan tempat di mana kita dapat beriman mutlak. Di saat menghadapi penganiayaan, dll, kita bisa terus berharap hanya pada Allah, karena kita percaya hanya pada Dia sajalah kita menemukan Pengharapan sejati. “Allah” yang tidak kekal dan plin-plan, seperti yang diajarkan oleh Arminianisme dan Open-Theism, bukanlah Allah Kristen sejati, dan akibatnya, “Allah” seperti ini tidak layak menjadi Sumber Pengharapan, mengapa? Karena “Allah” seperti ini tidak ada bedanya dengan manusia yang serba plin-plan, lalu ketika kita mengalami penderitaan, kepada siapa kita harus berharap, jika “Allah” yang disandari adalah “Allah” yang plin-plan.

3. Allah yang berdaulat adalah Allah yang Berkuasa mutlak

Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam khotbahnya di National Reformed Evangelical Convention (NREC) 2006 mengaitkan kedua konsep ini bahwa beriman di dalam Allah yang Mahakuasa seharusnya juga berkait dengan beriman di dalam Allah yang Berdaulat mutlak. Di dalam Alkitab, Pdt. Dr. Stephen Tong memberikan contoh kasus Hananya (Sadrakh), Misael (Mesakh) dan Azarya (Abednego) yang menolak menyembah ilah asing dalam bentuk patung emas. 

Mereka berani mengatakan kepada raja Babel, Nebukadnezar (yang sedang menjajah Israel) bahwa mereka tak mau menyembah ilah asing, karena mereka percaya di dalam Allah yang sanggup melepaskan mereka dari hukuman bagi mereka, yaitu dapur perapian. Tetapi seandainya, Allah tidak melepaskan, mereka pun berani mengatakan bahwa mereka tak akan mengkhianati Allah dengan menyembah ilah asing (perhatikan ucapan mereka di dalam Daniel 3:16-18, “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. 

Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu.”) Inilah iman Kristen yang benar, yaitu memercayai Allah yang sanggup melepaskan umat-Nya dari penderitaan sekaligus Allah yang Berdaulat yang bisa juga tidak melepaskan umat-Nya tersebut. Saya menyebutnya sebagai terobosan iman. 

Iman Kristen bukan iman yang “memercayai” “Allah” yang menurut pada kemauan kita untuk diklaim janji-janji-“Nya”, tetapi iman Kristen adalah iman yang berani menerobos segala kesulitan dengan berharap dan beriman mutlak di dalam Allah yang berdaulat yang bisa melepaskan kita dari kesulitan, dan bisa juga tidak melepaskan kita dari kesulitan, tetapi memberikan kekuatan kepada kita untuk menghadapinya. Mengapa kita dapat beriman sedemikian? Karena kita percaya satu hal bahwa rancangan dan jalan Tuhan bukanlah rancangan dan jalan kita (Yesaya 55:8).

4. Allah yang berdaulat adalah Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Tiga Pribadi, yaitu Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah Roh Kudus

Mengapa saya membedakan masing-masing Tiga Pribadi Allah ini dengan menambahkan kata Allah di depannya? Karena Allah Tritunggal bukanlah satu pribadi, tetapi Tiga Pribadi Allah yang berbeda (bdk. Matius 28:19 terjemahan bahasa Inggris dan teks asli Yunaninya). Keberbedaan masing-masing Pribadi Allah ini TIDAK berarti kita memercayai tiga Allah, tetapi justru kita memercayai 1 Allah yang Esa yang berpribadi tiga. Inilah paradoksikal iman Kristen yang tidak mungkin ditembus dan dimengerti oleh logika orang-orang yang bukan umat pilihan Allah. Lalu, mengapa Allah harus menyatakan diri-Nya di dalam tiga pribadi, bukan satu pribadi saja atau bahkan banyak pribadi? 

Perhatikan. Jika Allah menyatakan diri-Nya hanya di dalam satu pribadi, lalu Ia berfirman bahwa Ia adalah Kasih, bagaimana umat-Nya bisa memahami kasih Allah jika tidak ada objek kasih? Ingatlah, Allah itu selain Roh, juga adalah Pribadi, berarti tetap harus ada Subjek dan objek kasih. Adalah suatu absurditas (ketidakmasukakalan) suatu agama yang memercayai “Allah” yang hanya satu pribadi, lalu berkoar-koar bahwa agamanya penuh “cinta kasih”. 

Sebaliknya, jika ada agama yang memercayai banyak “allah”, itu juga merupakan suatu absurditas. Mengapa? Karena jika “allah” itu banyak, maka masing-masing pribadi bisa saling bertengkar, dan itu berakibat fatal bagi konsep ketuhanan agama tersebut (konsep “allah” yang kacau memengaruhi cara pikir manusia yang menyembah “allah” seperti itu). Tidak ada jalan lain, Allah sejati bukan satu pribadi, dan juga bukan banyak pribadi, tetapi hanya tiga pribadi.

Lalu, kita akan berlanjut pada pengertian Tritunggal sendiri. Di dalam Allah Tritunggal, masing-masing Pribadi Allah memiliki perbedaan kehendak, tetapi menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu tujuan Allah Bapa. Beberapa orang mengatakan hal ini sebagai bidat, benarkah? Tidak. “Berbeda” di sini tidak berarti terpisah, berbeda di sini berbeda namun memiliki satu tujuan yang sama. Satu tujuan yang sama di sini berarti unity (kesatuan), bukan oneness (ketunggalan/keseragaman). 

Di dalam doa-Nya di Taman Getsemani, Tuhan Yesus pernah menyatakan, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.” (Matius 26:39) Pdt. Sutjipto Subeno pernah memberikan tafsiran ayat ini bahwa di sini ada dua kehendak yaitu kehendak Allah Bapa dan kehendak Tuhan Yesus, tetapi Kristus rela membatas diri demi mengerjakan apa yang Bapa-Nya kehendaki. Inilah bukti bahwa masing-masing Pribadi Allah memiliki perbedaan kehendak, tetapi bersatu di dalam tujuan Ilahi. 

Signifikansinya bagi kita adalah pentingnya unity (kesatuan) di dalam truth (kebenaran). Tidak ada salahnya dengan perbedaan, karena kita hidup di zaman yang penuh dengan perbedaan. Tetapi pertanyaan yang lebih tajam, apakah perbedaan itu mengancam iman dan kebenaran Kristen? Lebih tajam lagi, apakah kita yang mengklaim sebagai “pengikut Kristus” rela mengkompromikan Kebenaran Kristus yang paling agung dan berharga itu demi supaya disesuaikan dengan orang lain? Di dalam beberapa aliran Kristen kontemporer mengajarkan konsep bahwa semua gereja itu sama, yang penting Kristusnya. 

Sepintas benar, tetapi jika diteliti lebih dalam, benarkah semua gereja itu sama? Tidak. Gereja berbeda, tetapi gereja yang berbeda sungguh menarik dan unik jika masing-masing memberitakan Injil Kristus dan berfokus hanya kepada Kristus yang sama. Gereja Injili, Reformed, Pentakosta, dll adalah gereja yang berbeda secara denominasi, tetapi sejauh mereka memberitakan Kristus dan Injil yang murni (tanpa embel-embel yang tidak perlu), maka mereka layak disebut Gereja. Itulah makna sejati dari unity in diversity in truth (kesatuan di dalam keberbedaan di dalam Kebenaran).

Selain, ada keberbedaan (bukan keterpisahan) di dalam masing-masing Pribadi Allah Tritunggal, kita juga belajar adanya tingkatan sekaligus kesetaraan di dalam masing-masing Pribadi Allah Tritunggal. Biasanya kita sering mendengar adanya kesetaraan saja di dalam masing-masing Pribadi Allah Tritunggal, tetapi saat ini kita akan belajar sisi tingkatan di dalam Pribadi Allah Tritunggal. 

Prof. Dr. Louis Berkhof di dalam bukunya Teologi Sistematika memaparkan, “Subsistensi dan tindakan dari ketiga pribadi ditandai oleh satu tingkatan yang jelas dan tertentu.” Beliau memaparkan bahwa tingkatan ini bukan tingkatan secara prioritas waktu atau kemuliaan esensial, tetapi hanya pada tingkatan logis derivasi (turunan). Allah Bapa adalah sumber segala sesuatu, Allah Anak secara kekal diperanakkan oleh Allah Bapa, dan Allah Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak dari kekal sampai kekal. 

Kata “diperanakkan”, “keluar”, dll berada di dalam Keberadaan Ilahi yang kekal. Sekali lagi, tingkatan-tingkatan ini tidak berarti adanya subordinasi di dalam esensi Allah. Artinya, tingkatan-tingkatan ini tidak boleh ditafsirkan bahwa Allah Bapa lebih berkuasa dari Allah Anak dan Roh Kudus. Bagi Berkhof, Tritunggal secara ontologis ini dan kesetaraannya adalah dasar metafisik dari Tritunggal ekonomis yang nantinya tercermin dalam opera ad extra yang lebih tertuju pada masing-masing Pribadi Tritunggal. Dengan kata lain, kita belajar bahwa Allah Tritunggal adalah Allah yang memiliki ordo (tingkatan) sekaligus kesetaraan di antara masing-masing Pribadinya. 

Apa signifikansinya? Paradoksikal ini berpengaruh pada kehidupan Kristen kita. Konsep ini mengajarkan bahwa kita harus memandang semua manusia itu sama di hadapan Allah, sekaligus berbeda. Misalnya, antara bos dan karyawan, dua-duanya sama-sama manusia, tetapi meskipun sama, dua jabatan ini jelas berbeda. Bos tetap adalah bos, sedangkan karyawan tetap adalah karyawan, sehingga tidaklah mungkin karyawan bisa memerintah bos, yang terjadi justru sebaliknya, bos yang memerintah karyawan. 

Begitu juga dengan konsep pria dan wanita di mata Allah. Pria dan wanita diciptakan sama di hadapan Allah, tetapi juga diciptakan bertingkat, artinya, wanita/istri diperintahkan Allah untuk taat kepada pria/suami seperti jemaat tunduk kepada Kristus (Efesus 5:22-30). Melawan konsep ini bukan hanya melawan konsep Paulus, tetapi melawan konsep Alkitab secara integral, karena bukan hanya Paulus yang mengajar hal ini, Petrus juga mengajar hal ini (1Petrus 3:1) dan bahkan Perjanjian Lama dengan tegas mengajar hal serupa.

5. Allah yang berdaulat adalah Allah yang transenden (nun jauh di sana) sekaligus imanen (yang dekat dengan kita)

Kita melihat ketidakseimbangan konsep ini ditekankan oleh agama-agama non-Kristen. Ada agama yang mengajarkan bahwa Tuhan itu nun jauh di sana, tidak terjangkau, sehingga kalau melakukan ibadah harus menggunakan pengeras suara. Sebaliknya, ada agama lain yang menekankan imanensi Tuhan sehingga semua manusia jika mengamalkan cara tertentu bisa menjadi “allah”. Kekristenan sendiri tidak seimbang dalam mengajar hal ini. Ada golongan Kristen kontemporer yang terlalu subjektif, Allah dipandang hanya sebagai teman/sahabat terbaiknya, dan bukan lagi sebagai Tuhan dan Allah, sehingga mereka tidak menghormati Allah di dalam kebaktian. 

Sebaliknya, gereja-gereja Protestan arus utama terlalu kaku, menekankan transendensi Allah (dan imanensi Allah yang kacau). Bagaimana Kekristenan sejati bisa berdiri tegak? Alkitab mengajarkan bahwa Allah yang berdaulat adalah Allah yang transenden (nun jauh di sana), sekaligus Allah yang dekat dengan umat-Nya (imanen). Di dalam Perjanjian Lama, konsep ini dijelaskan. Allah menunjukkan kekudusan-Nya kepada umat Israel di Gunung Sinai, sehingga selain Musa, tidak ada yang boleh naik ke Gunung Sinai (baca: Keluaran 19). Di sisi lain, Allah menunjukkan imanensi-Nya dengan menyebut umat Israel sebagai anak-Nya (baca: Keluaran 4:22, 23; Hosea 11:1). 

Di Perjanjian Baru, kita juga mendapati hal serupa. Penulis Ibrani mengingatkan bahwa kita jangan sekali-kali menolak Kristus atau pun Allah, “Sebab Allah kita adalah api yang menghanguskan.” (Ibr. 12:29) Di sisi lain, Allah juga digambarkan sangat mengasihi umat pilihan-Nya, sehingga mereka disebut anak-anak-Nya, “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: "ya Abba, ya Bapa!" Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.” (Roma 8:14-16)

Apa signifikansi konsep ini? Konsep ini berimplikasi di dalam dua hal, yaitu: spiritualitas dan konsep pelayanan. Spiritualitas sejati adalah spiritualitas yang didasarkan pada transendensi dan imanensi Allah. Artinya, hidup kerohanian kita tetap berfokus kepada Allah yang adalah Tuhan sekaligus Sahabat terbaik kita. Sehingga di dalam hidup, kita tidak boleh melecehkan Allah hanya sebagai “pembantu” kita, dan di sisi lain, kita tidak perlu takut hanya karena Allah seperti “hantu” yang menyeramkan. Begitu juga di dalam ibadah. Sangat disayangkan banyak orang yang mengaku diri “Kristen” ketika beribadah ke gereja sama sekali tidak menghormati Allah. 

Mereka dengan rasa tak bersalah mengobrol, mondar-mandir, mengetik SMS, bahkan menerima telepon ketika khotbah disampaikan. Mereka berpikir bahwa Allah itu sahabat baik bagi mereka, sehingga kalau disebut sahabat, berbuat apa pun tidak menjadi masalah. Sebaliknya, beberapa gereja arus utama terlalu menekankan transendensi Allah, sehingga ibadah bagi mereka sangat kaku, ada tata caranya, harus dihafalkan, dll. Theologi Reformed Injili tidak mau terjebak di dalam dua ekstrim ini. 

Teologi Reformed Injili mau seimbang. Mengapa? Karena Alkitab mengajar hal itu bahkan di dalam bagaimana beribadah dengan bertanggung jawab. Perhatikan apa kata pemazmur. Mazmur 2:11-12 mengajar, “Beribadahlah kepada TUHAN dengan takut dan ciumlah kaki-Nya dengan gemetar, supaya Ia jangan murka dan kamu binasa di jalan, sebab mudah sekali murka-Nya menyala. Berbahagialah semua orang yang berlindung pada-Nya!” Di saat yang sama, kita diajar juga, “Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai! 

Ketahuilah, bahwa Tuhanlah Allah; Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya. Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur, ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya! Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan kesetiaan-Nya tetap turun-temurun.” (Mazmur 100:2-5) Di satu sisi, kita tetap beribadah dengan penuh kegentaran karena kita menghadap Raja di atas segala raja. 

Di sisi lain tanpa berkontradiksi, kita tetap bisa beribadah dengan bersukacita, karena kita tahu bahwa Allah itu yang menjadikan kita dan kita ini adalah umat tebusan-Nya (baca: Mzm. 100:3-5). Hal yang serupa juga terjadi di dalam konsep pelayanan kita. Pelayanan sejati adalah pelayanan yang serius karena kita sedang melayani Raja di atas segala raja. Di saat yang sama juga, kita tetap bersukacita di dalam melayani Tuhan, karena pelayanan kita bukan untuk menambah jasa baik, tetapi sebagai respon ucapan syukur kita karena telah diselamatkan. Orang yang sudah diselamatkan seharusnya melayani Tuhan dengan gentar dan sekaligus berkobar-kobar.

6. Allah yang berdaulat adalah Allah yang menyatakan diri-Nya

Di poin kelima, kita sudah belajar tentang Allah yang transenden sekaligus imanen. Di poin ini, kita akan mengkhususkan tentang imanensi Allah, yaitu Allah yang menyatakan diri-Nya. Allah yang berdaulat adalah Allah yang berdaulat mutlak dan rela membatasi diri-Nya untuk dikenal oleh ciptaan-Nya (Roma 1:19). 

Penyataan diri Allah ini berkaitan dengan atribut-atribut Allah yang dikomunikasikan. Berkenaan dengan atribut-atribut Allah, teologi Reformed membagi dua macam atribut Allah, yaitu yang dikomunikasikan (communicable attributes of God) dan atribut yang tidak dikomunikasikan (incommunicable attributes of God). Atribut yang dikomunikasikan adalah atribut-atribut Allah yang dimiliki oleh manusia, misalnya adil, benar, jujur, bermoral, dll. Sedangkan atribut Allah yang tidak dikomunikasikan seperti Kekal, Mahatahu, dll tidak diberikan kepada manusia. Bagi atribut-atribut Allah yang dikomunikasikan inilah, kita dapat mengenal penyataan diri Allah. 

Berkenaan dengan penyataan diri Allah, teologi Reformed dengan tajam membagi dua, yaitu wahyu umum dan wahyu khusus. Wahyu umum adalah penyataan diri Allah kepada semua manusia melalui hati nurani (internal) dan alam semesta (eksternal) (mengutip pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong). Mengutip Pdt. Dr. Stephen Tong, respon terhadap wahyu umum bisa meliputi agama (respon terhadap hati nurani) dan kebudayaan (respon terhadap alam). Tetapi apakah cukup melalui wahyu umum Allah, manusia mengenal Allah? Tidak. 

Dr. John Calvin mengajar bahwa meskipun manusia ditanamkan sense of divinity (bibit agama), manusia sudah berdosa dan merusak apa yang sudah ditanamkan Allah di dalam manusia itu, sehingga respon terhadap wahyu umum Allah tidak mungkin dijadikan standar mutlak mengenal Allah sejati. Sehingga, Allah menyatakan diri-Nya secara khusus (wahyu khusus) hanya kepada beberapa orang yang telah dipilih-Nya sebelum dunia dijadikan, yaitu melalui Kristus (Penyataan diri Allah yang nyata dan final) dan Alkitab (Penyataan diri Allah yang tertulis). Dengan standar ini, kita dengan tajam memilah mana yang benar dan mana yang tidak benar berdasarkan wahyu khusus Allah.

Lalu, apa signifikansinya? Wahyu umum dan wahyu khusus mengajar kita bagaimana harus bersikap terhadap orang non-Kristen. Di satu sisi, kita sebagai orang Kristen tetap harus menghargai mereka yang bukan Kristen di dalam beberapa prinsip yang tidak esensial, misalnya menyangkut politik, etika, teknologi, dll. Sebagai respon terhadap wahyu umum Allah, mereka memiliki kebajikan-kebajikan tersendiri (yang tidak melawan Alkitab) yang bisa kita pelajari. Tetapi ingat, karena agama-agama non-Kristen hanya merupakan respon manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah, kita tidak boleh mengadopsi mereka semua untuk melengkapi apa yang sudah kita dapatkan di dalam wahyu khusus Allah. 

Justru sebaliknya, kita yang sudah mendapatkan wahyu khusus Allah menerangi mereka yang hanya meresponi wahyu umum Allah, sehingga nama Tuhan dipermuliakan. Prinsip-prinsip yang tidak melawan Alkitab dan Kristus boleh kita terima, tetapi prinsip-prinsip yang jelas-jelas melawan Alkitab dan Kristus harus kita buang, meskipun prinsip itu laris di pasaran dunia. Selain itu, kita juga dituntut untuk mempertumbuhkan spiritualitas kita untuk hidup kudus, jujur, adil, dll, sebagaimana yang dituntut oleh Allah di dalam firman-Nya.

7. Allah yang berdaulat adalah Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil (dan Mahakudus)

Allah yang berdaulat adalah Allah yang Mahakasih sekaligus Mahaadil. Kedua atribut Allah ini tidak bisa dipisahkan. Memisahkan kedua atribut Allah ini mengakibatkan munculnya bidat. Bidat di Amerika Serikat, Children of God terlalu mementingkan atribut Allah yang Mahakasih bahkan sampai melegalkan hubungan “kasih” di luar nikah. Baru-baru ini, di surat kabar, kita mendapatkan berita serupa tentang free-sex yang dilakukan oleh bidat Mormonisme (Gereja Orang-orang Suci Zaman Akhir—OSZA). 

Bukan hanya bidat, Kekristenan sendiri pun ada yang terlalu menekankan Allah yang Mahakasih, sehingga berbuat dosa apa pun tidak menjadi masalah, mengapa? Karena yang membuat manusia berdosa adalah iblis, maka yang perlu ditengking adalah iblisnya. Memang lucu, karena Alkitab mengajarkan, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” (1Yohanes 1:9) 

Di sini tidak dikatakan, jika kita mengaku iblis yang mencobai kita, tetapi dikatakan, jika kita mengaku dosa kita. Artinya, kalau kita yang berdosa, itu berarti bukan iblis yang disalahkan, tetapi kita yang disalahkan, karena kita mau ditipu oleh iblis. Di sisi lain, ada golongan Kristen yang terlalu mementingkan aspek keadilan Allah. Kita melihat hal ini di dalam Reformasi Luther. Ketika hidup di biara, Dr. Martin Luther tersiksa, karena setiap hari ia diindoktrinasi bahwa Allah menuntut perbuatan baik dari umat-Nya, jika tidak berbuat baik, maka umat-Nya akan dimurkai Allah. Konsep ini tidak salah, tetapi jika konsep ini terus ditekankan, bisa berbahaya. 

Puji Tuhan, Dr. Martin Luther tidak frustasi lalu bunuh diri, tetapi atas anugerah Allah, Luther mendobrak ajaran yang berat sebelah ini dan mengajarkan pembenaran hanya melalui iman, karena perbuatan baik tidak cukup syarat menjadi pembenaran umat pilihan-Nya. Mari kita tinggalkan dua ekstrim ini dan kembali kepada Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa Allah itu Mahakasih sekaligus Mahaadil. Di dalam kasih-Nya, Ia tetap menghukum umat-Nya yang bersalah (baca: Wahyu. 3:19, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!”)

Apa signifikansi konsep ini? Konsep ini mengajarkan reaksi kita sebagai umat-Nya terhadap Allah. Kita sering kali sudah belajar doktrin ini, tetapi hidup kita masih sembrono. Kita masih menganggap bahwa Allah itu Mahakasih, Maha Pemurah, dll, sehingga kita terus berbuat dosa tanpa mau bertobat. Mari kita hari ini bertobat dari konsep kita yang salah ini, karena selain Mahakasih, Ia juga Mahaadil dan Mahakudus yang menuntut umat-Nya untuk hidup kudus (1Petrus 1:16). Bagaimana kita bisa bertobat dari dosa ketidakkudusan? Caranya adalah terus memandang kekudusan Allah yang agung. 

Ketika kita memandang kekudusan Allah, kita baru tahu bobroknya kita dan di saat itu, kita perlu bertobat. Saya tersentuh sekali ketika membaca ucapan dari Dr. John Calvin di dalam bukunya Institutes of the Christian Religion, “… man is never sufficiently touched and affected by the awareness of his lowly state until he has compared himself with God’s majesty.” (= ... manusia tidak pernah cukup disentuh dan dipengaruhi oleh kesadaran akan statusnya yang rendah sampai ia membandingkan dirinya dengan keagungan Allah.) Biarlah ucapan ini menjadi perenungan bagi kita seberapa dalam kita merenungkan keagungan dan kekudusan Allah.

Namun sayangnya kedaulatan Allah mutlak ini ditentang oleh banyak orang Kristen yang tidak mengerti Alkitab dan bahkan oleh beberapa pendeta yang mengaku diri “Reformed”. Mereka memahami kedaulatan Allah atas segala sesuatu, kecuali dosa dan jodoh. Paham ini jelas bertentangan dengan Alkitab dan logika Kristiani. Mari kita pikirkan dan renungkan. 

Jika Allah berdaulat atas segala sesuatu, mengapa hal dosa dan jodoh dikecualikan dari kedaulatan-Nya? Jika ada orang Kristen atau bahkan pendeta percaya bahwa dosa dan jodoh di luar kedaulatan-Nya, berarti orang tersebut mengakui bahwa ada pribadi yang lebih besar dari Allah. Jika ada pribadi yang lebih besar dari Allah, masih layakkah Ia disebut Allah yang Mahakuasa? Dapatkah Anda membayangkan Allah yang Mahakuasa namun tidak berkuasa atas dosa dan jodoh? Konsep ini jelas tidak sesuai Alkitab dan logika Kristiani.

Lalu, apa signifikansi kita mengerti kedaulatan Allah mutlak ini?

1. Kita Tidak Perlu Kuatir Dalam Hidup

Memahami kedaulatan Allah mutlak mengakibatkan kita tidak perlu kuatir akan hidup ini karena kita percaya bahwa ada tangan Allah yang mengontrol segala sesuatu (Matius 6:25). Ketika kita mengalami kesusahan, percayalah bahwa Allah ada di sana dan akan memberikan jalan keluar sesuai kehendak-Nya yang berdaulat. Dr. John Calvin mengaitkan hal ini dengan sangat bijak, “... sebelum manusia diyakinkan bahwa semua masalah mereka datang karena ketentuan Allah, maka tidak akan pernah terlintas dalam pikiran mereka untuk memohon kepada-Nya kelepasan.”

Dengan kata lain, karena kita percaya bahwa adanya masalah itu karena Allah yang menentukan, maka kita dapat memohon kepada-Nya untuk melepaskan kita dari masalah itu. Coba bayangkan jika ada orang Kristen maupun non-Kristen yang tidak percaya kepada kedaulatan Allah kemudian mengalami masalah, apa yang mereka lakukan? Mereka mungkin dapat menghadapinya, tetapi sampai batas mana? Bukankah manusia memiliki keterbatasan? Jika mereka benar-benar tidak memiliki kekuatan lain untuk menghadapi masalah, apa yang akan mereka lakukan? Tidak ada, karena mereka tidak percaya pada Allah yang berdaulat mutlak.

2. Kita Taat Pada Kehendak-Nya yang Berdaulat

Kita mengerti kedaulatan Allah mutlak dengan tujuan agar kita mengerti bahwa Allah itu adalah Allah dan manusia tetap adalah manusia. Pengertian ini membawa kita taat mutlak di bawah otoritas-Nya. Sayang sekali beberapa orang Kristen Reformed yang sangat mengamini kedaulatan Allah mutlak, namun dalam praktiknya konsep ini hampir tidak diaplikasikan. Ketika orang tua Reformed mendidik anak, apa yang mereka didikkan kepada anak-anak mereka? 

Benarkah mereka mendidik anak-anak mereka untuk takut akan Allah (Ulangan 6:4-9) dan menggumulkan panggilan Allah dalam hidup si anak atau mereka mengikuti prinsip pendidikan orang tua duniawi yang mendidik anak-anak mereka untuk mematuhi orang tua lebih dari Allah? Ketika seorang pemuda/i Reformed sedang menggumulkan untuk masuk jurusan kuliah apa, apa yang ia pikirkan: panggilan hidup yang Allah tanamkan dalam dirinya atau desakan orang tua atau iming-iming dari teman-teman sebaya mereka?

Jika saya boleh share, memahami dan menaati kehendak-Nya yang berdaulat tidaklah mudah, tetapi bukan berarti itu menjadi alasan untuk kita melawan kehendak-Nya. Yang Allah inginkan adalah tekad kita melalui anugerah-Nya untuk terus-menerus taat pada kedaulatan Allah mutlak. Percayalah bahwa meskipun hal ini sulit, namun Paulus mengingatkan kita, “... Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Filipi 2:13)

Catatan: Antonius Steven Un

KEDAULATAN ALLAH DAN HIDUP ORANG REFORMED
Salah satu pengakuan yang paling penting dalam teologi Reformed adalah pengakuan bahwa Allah berdaulat. Allah berdaulat berarti Allah berhak dan berkuasa menetapkan segala sesuatu bagi kemuliaan-Nya di dalam keputusan-keputusan yang kudus, bijaksana dan mencerminkan karakter-karakter Allah. Semua yang dikehendaki Allah pasti terjadi, tanpa kecuali, bagi kemuliaan-Nya.

Doktrin kedaulatan Allah dapat diterapkan dalam kehidupan orang Reformed di dalam beberapa hal.

Pertama, mengaku Allah berdaulat berarti mengaku bahwa Allahlah yang memegang peranan dalam hidupku, bukan diriku, bukan orang lain. Karena itu, dalam segala hal aku mencari kehendak Tuhan sebagai dasarku untuk bertindak. Aku menjalankan apa yang dikehendaki Allah untuk menyenangkan-Nya. Hidupku berjalan sesuai dengan firman Tuhan. Ketaatan kepada Tuhan adalah keharusan.

Kedua, mengaku Allah berdaulat berarti mengaku bahwa segala sesuatu yang baik berasal dari Allah. Karena itu, aku datang kepada Allah dalam doa untuk menyampaikan permohonan bagi segala sesuatu yang baik. Orang yang mengaku Allah berdaulat seharusnya adalah orang yang sangat banyak berdoa.

Ketiga, mengaku Allah berdaulat berarti berani melakukan apapun yang menyenangkan Tuhan dan menolak melakukan apapun yang menyakiti hati Tuhan. Penyangkalan diri adalah konsekuensi logis dari pengakuan bahwa Allah berdaulat.

Keempat, mengaku Allah berdaulat berarti belajar mempercayai Allah dalam hal-hal yang tampak sulit dipahami dengan akal budi. Orang yang mengaku Allah berdaulat akan memuji Tuhan dalam keadaan apapun termasuk yang paling sulit dan pahit.

Kelima, mengaku Allah berdaulat berarti mengaku Allah-lah yang memimpin sejarah. Dalam segala peristiwa di dalam dunia, orang-orang yang mengakui kedaulatan Allah tetap tenang dalam iman.

2.MANDAT INJIL, MANDAT THEOLOGI, dan MANDAT BUDAYA

Keunikan teologi Reformed poin kedua adalah gereja (kelihatan) dan orang Kristen (gereja yang tidak kelihatan) harus menegakkan mandat: Injil (penginjilan), theologi, dan budaya. Mari kita mengerti masing-masing artinya dan signifikansinya bagi kita sebagai orang Kristen di era postmodern ini.

Mandat Injil (Penginjilan)Mandat terpenting yang diajarkan oleh Alkitab bukan mandat sosial, tetapi mandat penginjilan. Banyak penganut “theologi” religionum mementingkan aspek sosial di dalam misi dengan segudang “dukungan” ayat-ayat Alkitab, padahal inti berita Alkitab bukan itu, tetapi mandat penginjilan. Mengapa? Karena penginjilan adalah mandat dari Allah sendiri yang bertujuan membebaskan umat-Nya dari dosa/kegelapan menuju kepada Terang Allah yang ajaib (1Petrus 2:9-10). Mandat terpenting yang Tuhan Yesus perintahkan bukan untuk menolong sesama, tetapi memberitakan Injil. Mari kita menelusuri pengajaran Alkitab yang paling penting ini.

Mandat penginjilan terlihat jelas di dalam Amanat Agung di dalam Matius 28:19-20, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."” Sebelum ayat 19, di ayat 18, Tuhan Yesus menyatakan kuasa-Nya yang berdaulat (dari Allah Bapa) baik di Surga maupun di bumi. Dasar inilah yang menjadi dasar dan sumber Tuhan Yesus memerintahkan para rasul/murid untuk memberitakan Injil. 

Banyak orang “Kristen” bahkan “teolog/pemimpin gereja” yang mengajarkan bahwa Matius 28:19 hanya berlaku bagi para rasul, sehingga mereka menolak urgensinya penginjilan, lalu mereka menekankan pentingnya aksi sosial saja. Bahkan seorang pemimpin gereja dari gereja Protestan arus utama sampai mengatakan bahwa yang terpenting itu memberi sesama kita makan daripada menginjili mereka. Luar biasa aneh, seorang pemimpin gereja bisa menekankan pentingnya hal lahiriah ketimbang rohaniah.

Benarkah penginjilan tidak perlu dan hanya berlaku bagi para murid? Alkitab menjawabnya TIDAK!

Yang lebih unik lagi, pengabar Injil pertama bukan para rasul, tetapi seorang perempuan Samaria. Bacalah baik-baik diskusi Tuhan Yesus dengan perempuan Samaria di Yoh. 4:5-30 dan perhatikan reaksi perempuan itu setelah mengenal Tuhan Yesus di ayat 28-30, “Maka perempuan itu meninggalkan tempayannya di situ lalu pergi ke kota dan berkata kepada orang-orang yang di situ: "Mari, lihat! Di sana ada seorang yang mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat. Mungkinkah Dia Kristus itu?" Maka merekapun pergi ke luar kota lalu datang kepada Yesus.” Hal ini sangat berlainan dengan banyak orang Kristen di zaman postmodern ini. Mereka ada yang sudah banyak belajar doktrin, tetapi malas memberitakan Injil. Bahkan tidak sedikit para pemimpin gereja (yang sudah mulai liberal, meskipun mereka tidak mau mengakuinya) menolak dengan tegas pemberitaan Injil secara verbal, sebaliknya mengajarkan pemberitaan Injil melalui perbuatan baik. Tindakan ini jelas bertentangan mutlak dengan pengajaran Alkitab.

Contoh kedua, Filipus, salah seorang pelayan gereja mula-mula adalah seorang pengabar Injil. Dokter Lukas mencatat hal ini di dalam Kisah Para Rasul 8:5, “Dan Filipus pergi ke suatu kota di Samaria dan memberitakan Mesias kepada orang-orang di situ.” (bdk. Kis. 6:5) Filipus juga memberitakan Injil kepada sida-sida dari Etiopia (Kisah Para Rasul 8:26-40). Dan sida-sida Etiopia itu, meskipun tidak dicatat di Alkitab, juga memberitakan Injil kepada warga Etiopia, sehingga banyak warga Etiopia menjadi pengikut Kristus. Begitu juga seorang martir Kristus pertama, Stefanus, bukan seorang rasul, tetapi seorang pelayan Tuhan di gereja mula-mula (Kis. 6:5), tetapi dia juga seorang pengabar Injil yang rela mati demi Injil (baca: Kis. 7). Siapakah perempuan Samaria, Filipus, sida-sida dari Etiopia, dan Stefanus? Mereka bukan rasul, tetapi mereka tetap memberitakan Injil Kristus secara verbal.

Dari dua contoh singkat dari Perjanjian Baru ini, kita belajar bahwa penginjilan adalah tugas yang paling penting bagi gereja dan orang Kristen. Penginjilan sejati harus mencakup dua aspek: verbal dan perbuatan. Saya juga menambahkan bahwa penginjilan bisa melalui media internet, seperti email, Friendster, forum, milis, dll. Dengan kata lain, semua media baik cetak maupun elektronik bisa dipakai sebagai sarana penginjilan. Bagaimana dengan kita? Kristus memerintahkan kita untuk memberitakan Injil, sudahkah kita menjalankannya?

Mandat Theologi

Setelah kita memberitakan Injil, kita dituntut untuk mengajar mereka yang sudah diinjili. Kita dapat membaca urutannya di dalam Matius 28:19-20, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman."” Setelah memberitakan Injil, Kristus memerintahkan para rasul (dan juga kita) untuk membaptis mereka sebagai bukti mereka menjadi warga/anggota keluarga Kerajaan Allah, lalu dilanjutkan dengan mengajar mereka yang sudah diinjili dan dibaptis itu dengan semua perkataan Tuhan Yesus (=Alkitab). 

Mandat untuk mengajar inilah yang saya sebut sebagai mandat theologi. Dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru, kita mendapatkan gambaran total mengenai pentingnya pengajaran theologi/iman Kristen yang beres (baik kepada anak-anak sejak kecil maupun kepada orang dewasa/jemaat). Mari kita menelusurinya.

Selain mandat budaya, Calvinisme yang Injili mengajak orang Kristen untuk memberitakan Injil baik dalam perbuatan maupun perkataan/verbal.

Mandat Budaya

Setelah kita mengerti mandat penginjilan dan mandat theologi, tugas kita selanjutnya adalah menjalankan mandat budaya bagi kemuliaan Tuhan. Apa yang dimaksud dengan mandat budaya (cultural mandate)? Situs wikipedia memberikan definisi mandat budaya sebagai pengimplikasian iman Kristen di dalam kehidupan sehari-hari. (http://en.wikipedia.org/wiki/Cultural_mandate) Definisi ini cukup baik, tetapi kurang memadai. Mandat budaya yang benar adalah suatu mandat yang diperintahkan Tuhan sendiri kepada manusia untuk menaklukkan dan memelihara serta mengembalikan alam ciptaan-Nya itu untuk kemuliaan Tuhan. 

Di dalam Penciptaan, Tuhan Allah sendiri berfirman, “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."” (Kejadian 1:28) Tuhan memerintahkan manusia untuk menguasai alam ciptaan-Nya ini. Bukan hanya menguasai, Tuhan juga memerintahkan manusia untuk memeliharanya (Kej. 2:15). Artinya, Tuhan memerintahkan manusia untuk menguasai dan memelihara alam ciptaan-Nya untuk dipergunakan memuliakan-Nya selama-lamanya. Sehingga di dalam theologi Reformed, kita mengerti bahwa Tuhan memerintahkan kita bukan hanya mengurusi masalah rohani saja, tetapi juga kehidupan lain, misalnya politik, ekonomi, dll untuk menebus hal-hal tersebut bagi kemuliaan nama-Nya.

Dasar Mandat Budaya
Apa yang mendasari mandat budaya di dalam theologi Reformed?

Pertama, yaitu prinsip teologi Reformed yang memandang manusia sebagai nabi, imam, dan raja dari Allah. Rev. G. I. Williamson, B.D. di dalam bukunya Katekismus Singkat Westminster menguraikan arti dari Pertanyaan dan Jawaban ke-10 ini tentang bagaimana Allah menciptakan manusia. Sebagai nabi, manusia diciptakan Allah dalam hal pengetahuan-Nya. Artinya, manusia mampu memahami penyataan Allah sebelum mereka jatuh ke dalam dosa. 

Di dalam penciptaan, ini terlihat jelas ketika Adam memberi nama binatang (Kej. 2:20) dan Hawa, istrinya (Kejadian 3:20). Begitu juga, manusia sebagai nabi, berfungsi sebagai orang yang melihat kebenaran Allah dan menyatakannya bagi kebaikan orang lain. Dalam kaitannya dengan mandat budaya, sebagai nabi, manusia menaati perintah Allah untuk memelihara alam ini untuk kemuliaan-Nya. Sebagai imam, manusia diciptakan Allah di dalam hal kekudusan. 

Artinya, ia dikuduskan Allah untuk melayani-Nya. Dalam hal ini, juga berarti manusia dikuduskan Allah untuk menebus kembali ciptaan-Nya untuk memuliakan-Nya. Terakhir, sebagai raja, ia diciptakan Allah dalam hal kebenaran. Artinya, ia menjalankan dengan setia sesuai dengan apa yang sudah diketahuinya (sebagai nabi) dan kerinduan yang dikuduskan untuk melayani Dia (sebagai imam).Dalam kaitan dengan mandat budaya, manusia diciptakan sebagai raja untuk menguasai alam ciptaan-Nya ini dengan bertanggung jawab.

Kedua, prinsip anugerah umum Allah (common grace of God) dan anugerah khusus Allah (saving grace of God). Anugerah umum Allah berarti anugerah Allah yang diberikan kepada semua manusia tanpa kecuali dan tidak bersifat menyelamatkan. 

Anugerah ini berupa pemeliharaan Allah secara umum kepada semua manusia, misalnya seperti yang dikatakan Tuhan Yesus, “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Matius 5:45) 

Jadi, Allah memelihara alam semesta ini untuk manusia, dengan cara menurunkan hujan dan menerbitkan matahari sesuai pemeliharaan-Nya baik bagi umat pilihan-Nya maupun bukan umat pilihan. Anugerah umum juga bisa berupa suara hati nurani (ada sedikit kaitannya dengan wahyu umum Allah secara internal, yaitu hati nurani—istilah Pdt. Dr. Stephen Tong) yang sudah ditanamkan Allah untuk menjadi wakil Allah memimpin manusia untuk mengetahui mana yang benar dan salah. 

Anugerah umum ini diberikan Allah dengan tujuan untuk mengurangi kejahatan di dunia ini. Dari prinsip ini, kita belajar bagaimana melalui hati nurani dan pemeliharaan Allah secara umum, kita masih bisa menyaksikan kedaulatan Allah yang dipahami secara umum. Kita bisa belajar dari orang-orang non-Kristen tentang etika, keluarga, dll (saya lebih suka merekomendasikan banyak filsafat Kong Fu Tse dan Tao ketimbang agama-agama lain) karena di dalam filsafat-filsafat dan agama-agama tersebut terkandung suatu bijaksana sebagai respon terhadap wahyu umum Allah atau pun merupakan penerima anugerah umum Allah. 

Tetapi pengenalan akan Allah tidak cukup hanya melalui anugerah umum Allah. Allah memberikan anugerah khususnya yang bersifat menyelamatkan bagi umat pilihan-Nya, yaitu anugerah penebusan di dalam Kristus. Mengutip salah satu pernyataan Pdt. Sutjipto Subeno, Kristus sendiri yang berinkarnasi adalah wujud intervensi Allah sendiri ke dalam dunia ciptaan (Allah menjadi manusia). Dengan kata lain, inkarnasi Kristus sendiri menunjukkan proses penebusan budaya pertama kalinya. Lalu, hal ini diteruskan kepada kita sebagai umat pilihan-Nya untuk melaksanakan apa yang telah Kristus kerjakan. 

Dengan kata lain, anugerah khusus Allah yang menyelamatkan harus menjadi penerang dan penghakim anugerah umum Allah yang telah diselewengkan oleh dosa. Injil Kristus di Alkitab yang merupakan wahyu khusus Allah bukan hanya berbicara mengenai cara kita masuk Surga dan hidup dalam Kerajaan Allah, tetapi Injil juga mengajar kita tentang bagaimana hidup di dalam kerajaan dunia ini dengan pedoman dan fokus dari Kerajaan Allah. Setelah kita mengerti tentang signifikansi Injil ini, kita akan semakin memahami tentang menjadi garam dan terang bagi dunia. Menjadi garam berarti kita memberikan pengaruh kepada dunia kita melalui kehadiran kita di tengah dunia. Menjadi terang berarti kita memberikan terang Kristus yang menerangi kegelapan dunia berdosa. Dua hal ini jika digabung akan menjadi kekuatan kuasa anak-anak Tuhan dalam menebus budaya bagi Kristus.

Menjalankan Mandat Budaya
Lalu, bagaima kita menjalankan mandat budaya?

Pertama, percaya kedaulatan Allah dan Alkitab. Titik pertama yang mutlak ketika kita mau menjalankan mandat budaya adalah memercayai dengan mutlak kedaulatan Allah sebagai Pencipta, Pemelihara, Penebus, dan Penyempurna segala sesuatu (belajar lagi 7 prinsip kedaulatan Allah yang saya paparkan di atas) dan Alkitab. Mengapa? Karena dengan mempelajari kedaulatan Allah, kita semakin mengerti seberapa dahsyat dan agungnya Allah kita, dan di situ, kita baru menyadari bahwa mandat dari Allah yang Mahaagung itu harus kita jalankan dengan penuh kegentaran. 

Tidak heran, di mana teologi Reformasi/Reformed berada, para penganutnya selalu memberikan sumbangsih positif bagi negara/daerah di mana mereka tinggal melalui semangat mereka yang bekerja keras seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23). Geneva, tempat di mana Calvin pernah mengajar dan tinggal, menghasilkan barang berkualitas tinggi. Sumber wikipedia menyebut Geneva sebagai penghasil arloji berkualitas, seperti: Baume et Mercier, Chopard, Franck Muller, Patek Philippe, Rolex, Raymond Weil, Omega, etc. (http://en.wikipedia.org/wiki/Geneva) 

Pdt. Dr. Stephen Tong menuturkan bahwa Dr. Martin Luther adalah seorang petani yang memiliki semangat keakuratan, ketelitian, kejujuran, dan kesungguhan yang tidak bisa dikompromikan, sehingga semangat ini memengaruhi komposer musik klasik ternama, Johann Sebastian Bach (21 Maret 1685-28 Juli 1750). Begitu juga dengan George Frideric Handel (Jumat, 23 Februari 1685­-Sabtu, 14 April 1759). Kedua tokoh komposer musik ini dipengaruhi oleh theologi Reformasi/Lutheran. Lalu, baru setelah itu, Joseph Haydn, Wolfgang Amadeus Mozart, dan Ludwig van Beethoven ynag beragama Katolik juga ikut-ikutan menggubah musik setelah meneladani dua tokoh musik besar tadi. Ini membuktikan keterandalan negara-negara yang dipengaruhi oleh Reformasi dan Kekristenan. 

Contoh lain, bandingkan antara warga Jerman/Belanda dalam membangun rumah dengan warga Indonesia dalam membangun rumah. Orang-orang Jerman, Belanda, dll yang dipengaruhi oleh semangat Reformasi Luther maupun Calvin selalu membuat rumah dengan arsitektur yang indah, teratur, teliti, sedangkan banyak orang Indonesia (non-Kristen) kalau membuat rumah sangat kacau, jika dilihat dari atas, bangunannya tidak teratur dan asimetris.

Bukan hanya percaya pada kedaulatan Allah, umat pilihan harus percaya ketidakbersalahan Alkitab karena ketidakbersalahan Allah sendiri sebagai Pengwahyu Alkitab (baca penjelasan saya di poin kedua keunikan teologi Reformed tentang Otoritas Alkitab). Artinya, ia mengimani 100% apa yang diajarkan Alkitab sebagai Kebenaran yang tanpa salah. Baru setelah itu, ia baru bisa menjalankan mandat budaya dengan prinsip yang jelas. Sebagai contoh, konsep demokrasi muncul dari Kekristenan dipengaruhi oleh Reformasi baik dari Luther maupun Calvin. 

Konsep ini, menurut Pdt. Dr. Stephen Tong, tidak ditemukan dalam agama-agama lain, kecuali dalam Kekristenan yang dimengerti di dalam kerangka pikir teologi Reformasi dan Reformed. Apa arti demokrasi? Demokrasi berarti suatu pemerintahan bukan di tangan Allah atau penguasa, tetapi di tangan rakyat. Konsep ini sebenarnya bersumber dari pengajaran bahwa manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah. Sebagai pribadi yang diciptakan, Prof. Anthony A. Hoekema, Th.D. memaparkan konsep yang menarik, yaitu manusia adalah makhluk yang memiliki “kehendak bebas” sekaligus manusia yang harus bergantung dan taat mutlak pada Pencipta (yang diciptakan).

Karena manusia memiliki “kemandirian yang relatif”, maka manusia berhak menentukan hidupnya sendiri termasuk bagi masyarakat. Tetapi ia harus ingat bahwa manusia tetap adalah ciptaan yang harus bergantung pada Allah. Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, konsep kedua (manusia sebagai ciptaan) dibuang dan konsep pertama (manusia sebagai pribadi) dijunjung tinggi. Akibatnya, manusia mengerti kehendak bebas dengan seliar mungkin tanpa ada referensi dari Kebenaran. 

Di saat itulah, muncullah demokrasi tanpa kebenaran. Demokrasi ini muncul di dalam Perjanjian Lama, ketika bangsa Israel mengomel dan bosan karena setiap hari diperintah Tuhan, maka mereka meminta raja untuk memerintah mereka seperti bangsa lain yang memiliki raja (1Sam. 8:5). Lalu, apa jawab Tuhan? Perhatikanlah, Tuhan berfirman kepada Samuel, “Dengarkanlah perkataan bangsa itu dalam segala hal yang dikatakan mereka kepadamu, sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka. Tepat seperti yang dilakukan mereka kepada-Ku sejak hari Aku menuntun mereka keluar dari Mesir sampai hari ini, yakni meninggalkan Daku dan beribadah kepada allah lain, demikianlah juga dilakukan mereka kepadamu. 

Oleh sebab itu dengarkanlah permintaan mereka, hanya peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh dan beritahukanlah kepada mereka apa yang menjadi hak raja yang akan memerintah mereka.” (1Samuel 8:7-9) Lalu, Tuhan memberi tahukan hak raja yang menguasai Israel (baca ayat 11-18), dan akhirnya Israel tetap meminta seorang raja (ay. 19-20). Setelah itu, Tuhan mengabulkan permintaan mereka karena Ia mau membuktikan kesalahan dan kebebalan permintaan mereka kepada-Nya (ay. 21-22 dan pasal-pasal selanjutnya) 

Meskipun ada raja, Perjanjian Lama mengindikasikan bahwa ada raja yang takut akan Tuhan, dan sebaliknya ada raja yang tidak takut akan Tuhan. Inilah resiko yang diambil oleh orang Israel karena mereka bersungut-sungut meminta raja. Tuhan kadang kala membiarkan manusia memberontak untuk menunjukkan seberapa “kuat” mereka di hadapan-Nya. Begitu pula, Tuhan menunjukkan kepada kita kebebalan manusia berdosa serupa melalui dampak praktis demokrasi yang tanpa disertai Kebenaran ini muncul di negara-negara seperti Amerika, dan diadopsi oleh Indonesia yang mayoritas penduduknya belum berpendidikan tinggi (lebih tepatnya bermoral). 

Di Amerika, demokrasi mengakibatkan Amerika bukan sebagai negara yang bermoral baik, tetapi justru menjadikan Amerika sebagai pusat munculnya ajaran sesat. Perhatikanlah, dari mana munculnya bidat Children of God? Dari Amerika. Dari mana munculnya Saksi-saksi Yehuwa? Dari Amerika. Lalu, konsep ini mau diimpor dan diterapkan di Indonesia. Tidak heran, di negara kita, etika tidak lagi dijunjung tinggi, tetapi demokrasi. Semua orang mau menuntut hak, tetapi mengabaikan kewajiban. Semua buruh demonstrasi menuntut kenaikan gaji, tanpa mengintrospeksi diri apakah kewajiban mereka sudah dikerjakan maksimal atau belum. 

Di dalam Kekristenan, hal serupa terjadi. Banyak orang “Kristen” menuntut hak, mengklaim janji-janji Tuhan untuk memberkati, dll, tetapi mereka yang menuntut hak hampir semua tidak mau berkorban menyangkal diri, memikul salib, dll sebagai kewajiban mereka sebagai pengikut Kristus. Marilah sebagai orang Kristen sejati, kita tidak lagi menuruti arus dunia, tetapi kembali kepada kedaulatan Allah dan Alkitab, sehingga kita bisa menjadi garam dan terang bagi dunia. Caranya, dengan kita tidak terus menuntut hak, tetapi terus mengerjakan kewajiban asasi.

Kedua, mengamati kondisi dunia kita. Pengetahuan Alkitab tidaklah cukup jika kita mau menebus budaya dunia kita. Oleh sebab itu, kita juga perlu mengetahui dan mengamati kondisi dunia dan budaya yang ada di dalamnya yang mau kita tebus. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kita harus peka melihat tanda-tanda zaman. Kepekaan itu dimengerti sebagai kepekaan kita sebagai pengikut Kristus melihat semua zaman dan dunia berdosa dari kacamata/perspektif kedaulatan Allah (God’s perspective), bukan dari kacamata dunia berdosa. 

Ketika kita melihat segala sesuatu dari kacamata Allah, kita akan menemukan betapa pentingnya kita menebus budaya kita yang rusak ini untuk dikembalikan kepada Allah sebagai Pencipta dan Sumber. Prof. Dr. Ds. Abraham Kuyper, salah satu contoh theolog Reformed (sering disebut sebagai: Pendiri/Bapak Neo-Calvinisme) adalah seorang yang mengamati tanda-tanda zaman, di mana Kekristenan sudah pada waktu itu mulai diserang oleh liberalisme (“Reformed” liberal: Hervormd) yang mengakibatkan orang Kristen mengalami kelesuan (atau “ketidakgairahan”) rohani. Dr. Kuyper akhirnya membangunkan orang Kristen dengan mengajarkan iman Kristen yang beres yang diimplikasikan pada kehidupan politik, sains, seni, dll. 

Bacalah buku Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme (Lectures on Calvinism) yang merupan pidato beliau di Princeton Theological Seminary, U.S.A. pada tahun 1898 (lalu Princeton University memberikan anugerah gelar doktor dalam bidang hukum kepada Dr. Kuyper), Anda akan mengerti seberapa dalam pengaruh Calvinisme di dalam hampir setiap segi kehidupan dikontraskan dengan budaya dunia melalui agama-agama dan theologi yang tidak bertanggung jawab.

Ketiga, menjalankan apa yang kita percayai dengan gentar dan keluar dari hati yang taat. Setelah kita mengerti doktrin Reformed tentang kedaulatan Allah dan Alkitab serta budaya di mana kita hidup, kita dituntut untuk melakukan mandat budaya dengan mengintegrasikan iman Kristen yang sejati dengan setiap bidang kehidupan untuk memuliakan Tuhan. Mengerjakan mandat budaya ini selain dibekali dengan doktrin yang matang tentang kedaulatan Allah dan Alkitab juga harus keluar dari motivasi hati yang murni dan taat kepada firman Tuhan sambil disertai kegentaran melakukannya di hadapan Allah. Artinya ada kerinduan dari hati kita terdalam untuk taat pada firman Tuhan yaitu menjadi garam dan terang dunia. 

Dan kerinduan ini dipimpin dan dimurnikan oleh Roh Kudus melalui firman Tuhan, sehingga kerinduan ini dapat kita jalankan dengan hikmat dan kuasa Roh Kudus. Ingatlah satu hal, menjalankan mandat budaya tidak hanya dibutuhkan doktrin dan intelektualitas tinggi saja, tetapi yang lebih penting adalah kuasa Roh Kudus. Saya sudah mengalami bagaimana menjalankan mandat budaya, oleh karena itu saya bisa mengatakan bahwa mandat budaya seperti mandat penginjilan tidak bisa dilepaskan dari kuasa Roh Kudus yang dinamis. 

Teladanilah juga semangat Dr. Abraham Kuyper seperti yang telah saya paparkan di atas yang dengan berkobar-kobar memperjuangkan iman Kristen di dalam hal politik dan hukum, sehingga selain sebagai gembala sidang dan theolog, Dr. Kuyper juga menjadi negarawan dan sempat menjabat sebagai Perdana Menteri Belanda (1901-1905). Selain itu, Dr. John Hendrik de Vries di dalam kata pengantar buku Ceramah-ceramah Mengenai Calvinisme ini memaparkan bahwa Dr. Kuyper juga sebagai filsuf, ilmuwan, kritikus, pemimpin partai, pakar linguistik, dermawan, pakar publikasi, dll. 

Semua ini dilatarbelakangi oleh semangat dan hati beliau yang ingin menghadirkan Kristus di dalam setiap bidang kehidupan. Semboyannya yang terkenal, “There is not a single inch in the whole domain of our human existence over which Christ, who is sovereign over all, does not cry: Mine!” (terjemahan bebas: Tidak ada satu inci pun dalam seluruh keberadaan manusia tanpa Kristus berdaulat atasnya.) Adakah kita memiliki hati seperti Dr. Kuyper?

Keempat, mengetahui resiko dan tetap setia menjalankan mandat budaya. Dalam menjalankan mandat budaya, pasti ada resiko. Dan yang lebih berbahaya, resiko itu bukan datang dari orang non-Kristen, tetapi dari orang “Kristen” sendiri bahkan yang mengklaim diri “melayani ‘tuhan’”. Berapa banyak guru/dosen yang mengaku diri “Kristen” mengajar di kampus yang mengklaim diri “Kristen” ternyata adalah para praktisi atheis praktis yang melarang mahasiswa/inya menyebutkan iman Kristen dalam perkuliahan? 

Inilah tantangan terbesar dalam menjalankan mandat budaya dan saya sudah mengalami resiko ini. Lalu, apa yang harus kita kerjakan? Diam dan mengikuti apa yang dunia tawarkan? TIDAK. Sebagai pengikut Kristus yang mengerti mandat budaya, kita harus melawan dan bahkan menantang dunia. Tidak ada kata menyerah dalam kamus Kristen untuk menjalankan mandat dari Allah. Tuhan tidak mau kita terbuai oleh bujuk rayu iblis melalui resiko yang menghimpit kita. Tuhan mau kita menerobos semua kesulitan dengan pimpinan Allah. 

Sebagai kesaksian, saya telah mengalami resiko pahit yaitu dilarang mengatakan iman Kristen di dalam setiap perkuliahan, tetapi saya TIDAK pernah mengikuti larangan itu dan saya tetap memperjuangkan mandat budaya, dan terbukti hasil akhir perkuliahan saya yang diajar oleh dosen yang melarang saya itu cukup baik (meskipun tidak mencapai angka 8). Saya mengalami sendiri apa yang Tuhan janjikan, yaitu ketika kita taat kepada-Nya dan firman-Nya, Ia akan berjanji menyertai kita bahkan ketika kita diperhadapkan pada musuh. 

Ketika ada bahaya menyerang ketika menjalankan mandat budaya, jangan pernah menyerah, percayalah Roh Kudus akan memperlengkapi dan memimpin kita dengan kekuatan dan kuasa-Nya yang dahsyat. Kita hanya diminta taat dan selebihnya serahkanlah kepada kuasa-Nya yang melampaui segala sesuatu.

Setelah mengetahui prinsip-prinsip tentang mandat budaya, maukah kita dengan hati yang taat dan rela serta sungguh-sungguh mau menjalankan apa yang Tuhan perintahkan ini? Biarlah doktrin bukan menjadi doktrin yang menguasai rasio kita saja, tetapi menguasai hati dan perilaku kita di dalam menjalankan perintah-Nya demi kemuliaan-Nya.

3. SOLUS CHRISTUS dan SOLI DEO GLORIA.

Keunikan teologi Reformed yang ketiga adalah Kristus yang ditinggikan (Solus Christus) dan kemuliaan hanya bagi Allah Trinitas (Soli Deo Gloria).

Kristus yang Ditinggikan (Solus Christus) dan Kemuliaan Hanya Bagi Allah Trinitas (Soli Deo Gloria)
Teologi Reformed memercayai bahwa segala sesuatu harus dikembalikan untuk meninggikan Kristus di atas segalanya. Rasul Paulus mengajarkan hal ini di dalam Filipi 1:20-21, “Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku. 

Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Mengapa Kristus harus dipermuliakan? Pdt. Dr. Stephen Tong pernah memberikan suatu jawaban, yaitu karena Ia pernah direndahkan. Kemuliaan Kristus tidak bisa dilepaskan dari kehinaan yang ditanggung-Nya. Artinya, Kristus baru bisa dipermuliakan setelah Ia mengalami penghinaan kayu salib. Pdt. Dr. Stephen Tong mengutip Dr. Martin Luther yang mengatakan bahwa theology of glory (theologi kemuliaan) harus dimengerti dalam kerangka pikir theology of the cross (theologi salib).

Apa signifikansinya bagi kita?
Konsep ini menyadarkan kita bahwa tanpa penderitaan, tidak ada kemuliaan. Kita baru bisa mendapatkan kemuliaan kita setelah kita ditempa oleh Tuhan dengan menderita bagi-Nya. Melalui penderitaan karena nama Kristus, pada saat itu Kristus ditinggikan. Rasul Paulus sungguh-sungguh mengerti konsep ini, sehingga setelah ia mengatakan bahwa Kristus dipermuliakan di dalam hidupnya, lalu ia berkomitmen bahwa hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (Filipi 1:21). Apa arti hidup adalah Kristus? Hidup adalah Kristus berarti hidup hanya memfokuskan diri pada Kristus atau dengan kata lain hidup orang Kristen sejati adalah hidup yang men-Tuhan-kan Kristus yang melihat segala sesuatu dari sudut pandang Kristus (Kristosentris/Christ-centered). Dengan hidup men-Tuhan-kan Kristus, kita bisa:

Pertama, mengerti jalan keluar dari setiap pergumulan manusia berdosa. Paulus dengan tajam sekali melihat segala permasalahan manusia dan mengaitkannya dengan Kristus. Ambil contoh, tentang hubungan suami dan istri dalam pernikahan. 

Di dalam Efesus 5:22-33 dengan bahasa yang mudah dipahami, Allah melalui Paulus mengajarkan bahwa hubungan suami dan istri seperti hubungan Kristus dengan jemaat. Perhatikan ayat 22-24, “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu.” Di sini dikatakan bahwa istri harus tunduk kepada suami seperti kepada Tuhan. Artinya, seperti Kristus adalah kepala jemaat, maka suami adalah kepala istri. Kedua, seperti jemaat harus tunduk kepada Kristus, maka istri harus tunduk kepada suami dalam segala hal. 

Tetapi konsep ini tidak berhenti di sini saja, melainkan dilanjutkan dengan pengajaran di ayat 25-27, “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.” Istri yang tunduk kepada suami harus diimbangi dengan respon suami yang mengasihi istri. Semuanya itu memiliki referensi hubungan antara Kristus dengan jemaat.

Bukan hanya hubungan suami istri, hubungan tuan dan hamba juga direferensikan kepada Kristus. Hal itu diajarkan Paulus di Efesus 6:5-7, “Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia.” 

Di sini, menurut Pdt. Sutjipto Subeno, jelas sekali bahwa Alkitab tidak melarang perbudakan, karena Paulus sendiri mengajarkan bahwa hamba taat kepada tuan, seperti mereka taat kepada Kristus. Alkitab tidak pernah melarang perbudakan, tetapi Alkitab mengecam tuan yang kejam! Mengapa? Karena tuan di sini menunjuk kepada Kristus, dan Kristus bukanlah Tuhan yang kejam. Hal ini ditunjukkan Paulus di ayat 8, “Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan.” Bukan hanya hamba yang taat kepada tuan, tuan pun tidak boleh kejam kepada hamba (baca ayat 9). 

Hari ini, konsep ini dibuang dan dilawan habis oleh manusia berdosa. Mereka menginginkan kebebasan yang liar, tidak boleh ada pembedaaan antara tuan dan hamba, semua itu sama. Di satu sisi, mereka benar, bahwa baik hamba maupun tuan, mereka sama-sama manusia yang diciptakan Tuhan, tetapi di sisi lain, mereka kurang memahami bahwa meskipun sama, mereka tetap berbeda status, tuan berfungsi sebagai tuan, dan hamba berfungsi sebagai hamba, jangan pernah dibalik. 

Konsep ini merujuk kepada Kristus dan umat-Nya. Selama-lamanya, Kristus adalah Tuhan sekaligus Pemilik hidup umat-Nya, dan umat-Nya adalah hamba-Nya yang taat mutlak. Posisi ini tidak bisa dibalik, lalu kita menjadi “tuan” dan Kristus menjadi “hamba”. Ketika posisi ini dibalik, itulah dosa. Dosa adalah pembalikan posisi yang seharusnya: Allah yang seharusnya dihormati dan ditinggikan, malah manusia dan iblis yang ditinggikan (perhatikan kembali Kejadian 3).

Kedua, kuat dan teguh menghadapi beratnya hidup ini. Mengapa? Karena kita mengarahkan hati dan pandangan hanya pada Kristus yang tersalib dan menang (bangkit) bagi kita. Ketika menghadapi beratnya penderitaan, Paulus berani beriman, “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.” (2Timotius 1:12) Hidup yang terarah dan berpusat kepada Kristus mengakibatkan hidup kita tidak perlu khawatir, karena kita percaya pada Kristus yang memelihara hidup kita sampai pada hari Ia datang kedua kalinya. 

Tuhan Yesus mengajar bahwa kita tidak perlu khawatir, karena Allah memelihara hidup kita, oleh karena itu yang paling penting, kita harus mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya, maka apa yang kita butuhkan sehari-hari akan ditambahkan kepada kita (Mat. 6:25-31). Bukan berarti melalui ayat ini, kita tidak perlu bekerja keras. Kita perlu bekerja keras, tetapi di dalam kerja keras kita, kita tidak perlu terlalu khawatir, karena Allah memelihara kita senantiasa. Masih kita hidup khawatir? Bagi kita yang masih khawatir, firman Tuhan menguatkan kita untuk tidak perlu khawatir karena Allah memelihara hidup kita.

Kemuliaan Hanya Bagi Allah Trinitas (Soli Deo Gloria)

Selain Kristus yang harus dimuliakan, teologi Reformed juga mengajar bahwa segala kemuliaan hanya bagi nama Allah Trinitas (Roma 11:36). Apa arti memuliakan Tuhan?

Katekismus Singkat Westminster Pasal 1 mengajar kita tentang hal ini:
P.1. Apakah tujuan utama manusia
J. Tujuan utama manusia adalah untuk memuliakan Allah (1Korintus 10:31; Wahyu 4:11) dan menikmati Dia selamanya (Mazmur 73:25-26).

Katekismus ini merupakan penjabaran dari pengajaran Dr. John Calvin di dalam bukunya Institutes of the Christian Religion yang menggabungkan antara pengenalan akan Allah dan pengenalan akan diri. Ketika kita mau mengenal diri, kita harus mengenal Allah sebagai Pencipta kita, demikian sebaliknya. Dengan mengenal Allah, kita semakin mengenal diri bahwa diri kita memiliki tujuan ultimat yang harus dicapai, yaitu memuliakan Allah dan menikmati-Nya selamanya. 

Rev. Dr. John S. Piper dalam bukunya Desiring God mengganti kata “dan” dengan kata “dengan” (by), sehingga tujuan utama manusia adalah untuk memuliakan Allah dengan menikmati Dia selamanya. Dengan penggantian kata ini, kita lebih mendapatkan gambaran jelas bagaimana memuliakan Allah. Kita bisa memuliakan Allah dengan cara menikmati Dia. 

Apa arti menikmati Allah? Sebelumnya, kita perlu membedakan dua hal: menikmati Allah Vs menikmati berkat-berkat Allah. Banyak orang Kristen suka menikmati berkat-berkat Allah, tetapi tidak suka menikmati Allah itu sendiri. Ini suatu keanehan dan kebahayaan fatal. Menikmati berkat-berkat Allah itu fana (tidak kekal) sifatnya, sedangkan menikmati Allah itu kekal adanya.

Mari kita menelusuri apa arti menikmati Allah. Menikmati Allah berarti:
Pertama, menikmati Pribadi Allah itu sendiri. Menikmati berarti suatu pengalaman yang tidak akan terlupakan. Gambaran inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang Kristen, yaitu menikmati pengalaman bersama Allah. Menikmati pengalaman bersama Allah didahului oleh mengenal Pribadi Allah itu. Pengalaman yang didahului oleh pengenalan akan Allah ini bisa dibedakan dari pengalaman subjektif yang lebih banyak dikendalikan oleh sugesti. 

Contoh praktis membedakan dua hal ini adalah pada saat dunia menawarkan segala sesuatu yang “menguntungkan”, tetapi itu berdosa (merugikan orang lain), misalnya MLM, bermain saham, dll. Pengalaman subjektif akan menerima tawaran itu, karena orang yang mengalami pengalaman “bersama Allah” secara subjektif tidak mampu membedakan mana yang kudus dan benar dengan mana yang berdosa dan jijik. 

Tetapi pengalaman rohani sejati yang menikmati Pribadi Allah mampu membedakan mana yang benar dan kudus (Roma 12:2), karena ia menikmati Pribadi Allah sambil mengenal Pribadi Allah itu yang Mahakudus dan Mahaagung adanya. Inilah yang dialami oleh Asaf di dalam Mazmur 73:25-26. Konteks ayat itu menjelaskan bahwa Asaf diperhadapkan kepada suatu realita bahwa orang fasik semakin kaya, sedangkan orang percaya semakin miskin. 

Pertama-tama, Asaf sempat “protes” kepada Tuhan, sampai ia masuk ke dalam hadirat Tuhan (ayat 17), ia baru mengerti rencana-Nya di balik semuanya itu. Ketika itu, ia baru menyadari bahwa tidak ada lain yang diingini di bumi kecuali Tuhan saja. Ini berarti ketika kita menikmati Pribadi Allah sambil mengenal-Nya, kita baru tahu seberapa agung Allah itu jika dibandingkan dengan hal-hal lain yang fana. 

Beranikah kita memiliki pengalaman menikmati Pribadi Allah ini?Kedua, menikmati firman Allah. Menikmati Allah yang kedua berarti menikmati firman Allah atau Alkitab. Bukan hanya Pribadi Allah, kita juga harus menikmati firman-Nya di dalam hidup kita. Adalah sungguh aneh jika kita sebagai orang Kristen tidak menikmati firman-Nya, malahan bosan. Jika kita bosan membaca Alkitab, itu menandakan spiritualitas kita sedang berbahaya, marilah kita segera menyadarinya. Bagaimana kita menikmati firman-Nya? Kita menikmati firman Tuhan seperti kita membaca surat cinta dari pacar kita. 

Mengutip pernyataan Ev. Ivan Kristiono, M.Div. di dalam National Reformed Evangelical Youth Convention (NREYC) 2007, kalau kita membaca surat cinta pacar kita, kita tidak mungkin menyimpannya sembarangan, tetapi kita akan menyimpannya baik-baik, kalau perlu dibaca berulang kali. Seperti itulah yang seharusnya kita kerjakan ketika kita menikmati firman Tuhan. Kita menikmati firman-Nya dengan membaca berulang kali, mengerti dan memahaminya, serta melakukannya dalam kehidupan kita sehari-hari dengan mengoreksi semua konsep kita yang dahulu salah dan hidup baru sesuai firman-Nya.

4.HANYA MELALUI ANUGERAH (Sola Gratia)

Keunikan keempat dari teologi Reformed adalah konsep Sola Gratia yaitu segala sesuatu hanya melalui anugerah Allah. Prinsip ini pertama kali ditegakkan oleh Dr. Martin Luther, reformator gereja besar dari Jerman. Pengertian integratif akan Alkitab membuat kita lebih mengerti kedahsyatan anugerah Allah. Mari kita akan mempelajarinya satu per satu dari Perjanjian Baru.

Rasul Paulus di Surat Roma 3:23-24 memaparkan, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.” Di sini, Paulus memaparkan realita universalitas dosa (baca mulai Roma 3: 9) menuju pada kesimpulan di ayat 23, di mana semua manusia (tanpa kecuali) telah berbuat dosa dan tidak mencukupi kemuliaan Allah (diterjemahkan dari Alkitab bahasa Inggris). 

Tetapi apakah berhenti sampai keberdosaan manusia? TIDAK. Paulus melanjutkan di ayat 24 bahwa manusia yang berdosa tidak mungkin menemukan jalan keluarnya, sehingga oleh kasih karunia saja manusia yang berdosa bisa dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan di dalam Kristus. Di Roma 3: 24, Paulus mengulang konsep anugerah dengan pernyataan “oleh kasih karunia” dan “dengan cuma-cuma” (KJV: freely; arti: dengan bebas). 

Penekanan dua kali oleh Paulus jelas membuktikan bahwa keselamatan kita murni adalah anugerah Allah dan tidak ada sedikit pun jasa baik manusia! Hal ini ditunjukkan dengan jelas oleh Paulus di ayat 27 tentang dibenarkan melalui anugerah Allah di dalam iman kepada Kristus, “Jika demikian, apakah dasarnya untuk bermegah? Tidak ada! Berdasarkan apa? Berdasarkan perbuatan? Tidak, melainkan berdasarkan iman!”

Bukan hanya kepada jemaat di Roma, Paulus juga mengajar konsep serupa kepada jemaat di Efesus. Bacalah Efesus 1:7, “Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya,” Kata “kasih karunia” di dalam ayat 7 menggunakan bahasa Yunani yang sama dengan Roma 3:24. Mulai ayat 3 di pasal 1 ini, Paulus mengajarkan tentang doktrin Allah yang telah memilih manusia sebelum dunia dijadikan, lalu sampai pada ayat 7, ia menguraikan bahwa umat pilihan-Nya mendapatkan pembenaran dan penebusan hanya melalui anugerah Allah di dalam penebusan Kristus di kayu salib. 

Hal serupa diajarkan Paulus di Efesus 2:8-9, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” Efesus 2 dimulai dari ayat 1-7 yang menceritakan keberdosaan manusia, lalu diakhiri dengan jalan keluar dari pihak Allah terhadap keberdosaan manusia, yaitu melalui anugerah saja, umat-Nya diselamatkan oleh iman. Apakah tanpa adanya kata “hanya” di ayat ini tidak cukup jelas mengajarkan kita bahwa manusia itu berdosa dan hanya melalui anugerah-Nya kita diselamatkan? Apakah kurang jelas juga penjelasan Paulus di ayat 9 di Efesus 2 bahwa manusia yang dibenarkan BUKAN hasil pekerjaan orang percaya, sehingga mereka tidak perlu memegahkan diri.

Kepada anak rohaninya, Timotius, Paulus mengajarkan, “Aku bersyukur kepada Dia, yang menguatkan aku, yaitu Kristus Yesus, Tuhan kita, karena Ia menganggap aku setia dan mempercayakan pelayanan ini kepadaku-- aku yang tadinya seorang penghujat dan seorang penganiaya dan seorang ganas, tetapi aku telah dikasihani-Nya, karena semuanya itu telah kulakukan tanpa pengetahuan yaitu di luar iman. Malah kasih karunia Tuhan kita itu telah dikaruniakan dengan limpahnya kepadaku dengan iman dan kasih dalam Kristus Yesus.” (1Timotius 1:12-14) Anugerah Allah saja yang telah menarik Paulus dari kesesatan dan kebutaan rohaninya dahulu kembali kepada jalan yang benar di dalam Kristus.

Kepada Titus, Paulus juga mengajarkan hal yang sama, “Karena kasih karunia Allah yang menyelamatkan semua manusia sudah nyata.” (Titus 2:11) Sementara ini, kita tidak akan membahas penggunaan kata “semua” di ayat ini yang bisa membuat rancu dan salah tafsir. Kembali, kepada Titus, Paulus mengajar bahwa manusia (umat pilihan-Nya) diselamatkan hanya melalui kasih karunia Allah. Meskipun tidak ada kata “hanya” di ayat ini, tetapi hal ini sudah nyata baik dari konteks pengajaran Paulus kepada Titus maupun secara integratif dari pengajaran Paulus serupa di Surat Roma, Efesus, dll.

Apa signifikansinya bagi kita?

1. Anugerah Allah berbicara mengenai Allah sebagai Sumber
Ketika Firman Tuhan berkata bahwa manusia diselamatkan dan dibenarkan melalui anugerah Allah, itu berarti Allah itu sebagai Sumber Keselamatan sejati. Artinya, Dia yang menyediakan keselamatan itu bagi umat pilihan-Nya. Untuk menyediakan keselamatan itu, Dia telah memilih beberapa orang untuk menjadi anak-anak-Nya yang menerima anugerah keselamatan itu melalui Roh Kudus (Efesus 1:4-6; 1Ptr. 1:2). 

Selain sebagai Sumber, Allah juga sebagai Pribadi yang berinisiatif aktif menyelamatkan umat pilihan-Nya yang telah berdosa itu. Sebagai Inisiator keselamatan, Allah TIDAK perlu menunggu respon manusia berdosa, baru Ia menyelamatkan. Jika “Allah” bertindak seperti itu, berarti Allah bukan Sumber dan Inisiator keselamatan, tetapi Allah pasif terhadap keselamatan. Sebaliknya, yang benar, Allah bertindak aktif menyelamatkan umat-Nya bahkan ketika umat-Nya masih berdosa (Rm. 5:8). Mengapa Allah menyelamatkan manusia? Karena Ia menciptakan mereka segambar dan serupa dengan-Nya, tetapi dosa telah merusakkan segalanya. Oleh karena itu, Ia memulihkan gambar-Nya yang telah dirusak oleh dosa itu di dalam diri umat pilihan-Nya. 

Apakah anugerah Allah ini hanya berlaku di dalam hal keselamatan? Tidak. Anugerah Allah berlaku bagi seluruh kehidupan kita. Kalau kita hari ini bisa hidup, bernafas, bahkan telah menerima berkat Firman yang kita baca setiap hari, itu merupakan anugerah Allah yang tidak terbatas, sehingga kita patut bersyukur. Bukan hanya bersyukur, kita pun harus menyebarkan dan menyaksikan anugerah Allah itu di dalam kehidupan kita sehari-hari. Caranya adalah dengan menyaksikan Injil Kristus di dalam kehidupan kita baik melalui pemberitaan Injil, pelayanan di gereja, maupun di dalam pekerjaan/kehidupan kita sehari-hari. 

Artinya, kita mewartakan anugerah Allah itu dengan menjadikan Allah sebagai satu-satunya Sumber sejati di dalam segala sesuatu. Itulah yang dipaparkan oleh Pdt. Sutjipto Subeno sebagai men-Tuhan-kan Kristus. Beliau menuturkan bahwa banyak orang Kristen hanya mengakui sebagai Kristus sebagai Juruselamat, tetapi melupakan bahwa Ia adalah Tuhan dan Pemerintah hidup kita. Dengan menjadikan anugerah Allah di dalam Kristus sebagai sumber, berarti kita men-Tuhan-kan Kristus atau menjadikan Kristus sebagai Pusat yang harus dijadikan Objek penyembahan semua manusia.

Begitu juga dengan spiritualitas dan konsep pelayanan kita. Pdt. Billy Kristanto, Dipl.Mus., M.C.S. di dalam salah satu sesi tentang konsep pelayanan di National Reformed Evangelical Convention (NREC) pernah memaparkan apa bedanya konsep pelayanan Reformed dengan Arminian. Konsep pelayanan Reformed adalah pelayanan karena anugerah Allah, sedangkan konsep pelayanan menurut Arminian adalah pelayanan karena jasa baik (kehendak bebas) manusia. 

Di dalam theologi Reformed, kami percaya bahwa pelayanan kepada Tuhan adalah respon ucapan syukur kita setelah diselamatkan (bukan untuk diselamatkan atau supaya tidak murtad—seperti pandangan Katolik Roma dan Arminian). Sehingga kalau segala pelayanan kita karena anugerah Allah, berarti di dalam pelayanan, tidak ada lagi tempat bagi ambisi pribadi di dalamnya. Di dalam sejarah gereja, kita mendapati masih adanya ambisi pribadi di dalam gereja. 

Di zaman Abad Pertengahan, Pdt. Billy Kristanto menceritakan adanya perebutan kekuasaan Paus di Gereja Katolik Roma. Luar biasa, pemimpin gereja bisa berebut kekuasaan. Bukan hanya di zaman dahulu, di zaman sekarang, hal ini terulang kembali. Gereja saling berebut jemaat untuk memperkaya diri, bahkan dengan cara-cara yang tidak etis. Konsep pelayanan ini jelas bukan yang diajarkan Alkitab. Berkali-kali, Paulus mengatakan bahwa hanya melalui anugerah Allah, ia boleh melayani-Nya. Sehingga Paulus tidak pernah berambisi menyaingi Petrus, Yohanes, dll. Perhatikanlah apa yang dipaparkan Paulus di 1Korintus 3:6, “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan.” 

Paulus juga mengajarkan tentang konsep satu tubuh di dalam Kristus yang saling menolong dan melayani bersama di dalam Kristus (baca: 1Korintus 12). Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengajar satu prinsip yang indah bahwa tidak ada orang yang datang untuk membantu Tuhan, tetapi semua orang pilihan datang untuk melayani dan belajar bersama di dalam pekerjaan Tuhan. Tuhan tidak perlu dibantu manusia, Ia bisa mengerjakan sendiri, tetapi ketika Ia mengizinkan manusia pilihan-Nya melayani-Nya, itu adalah semata-mata anugerah Allah. Sudahkah kita melayani Allah dengan konsep anugerah, bukan dengan konsep ambisi pribadi?

2. Anugerah Allah berbicara mengenai ketidaklayakan manusia

Di sisi negatif, anugerah Allah membukakan kepada kita realita bahwa manusia itu sebenarnya tidak layak. Di dalam keselamatan, berkali-kali Paulus mengajar bahwa umat pilihan dibenarkan dan diselamatkan BUKAN karena perbuatan baik yang mereka kerjakan, tetapi hanya melalui anugerah Allah di dalam iman kepada penebusan Kristus (baca: Roma 3:27; Efesus 2:8-9). Mengapa Allah yang menyelamatkan manusia tidak melihat jasa baik manusia? Karena jasa baik manusia itu dipandang sia-sia oleh Allah.

Dari Perjanjian Lama, kita belajar banyak hal tentang standar Allah tentang kekudusan dan kebenaran (kebenaran/truth dan kebenaran-keadilan/righteousness). Allah tidak segan-segan mengatakan Israel munafik karena mereka pura-pura beribadah kepada Allah, tetapi hati mereka busuk. Tuhan Yesus sendiri di dalam Injil Matius 23 dengan keras menuding kemunafikan para ahli Taurat dan orang Farisi. Itu semua mengajarkan bahwa manusia dengan kesalehannya sendiri tidak mungkin bisa melepaskan diri dari kuasa dosa.

Di dalam kehidupan rohani dan pelayanan kita, biarlah konsep ini menjadi pelajaran berharga. Ketika kita mau melayani Tuhan baik di gereja maupun di dunia sekuler, kita harus ingat satu prinsip: kita tidak layak. Dunia akan segera melawan konsep yang Alkitab ajarkan ini. Terlalu banyak tawaran dunia mengancam Kekristenan kita terutama dari psikologi yang ditambah Gerakan Zaman Baru lalu mengajarkan prinsip-prinsip bahwa jangan pernah membicarakan diri ini tidak layak, tetapi bicarakanlah dan doronglah orang dengan kata-kata positif, misalnya, “Kamu bisa”, “Kamu dahsyat”, dll (berpikir positif). Tidak heran, di dunia postmodern, muncullah pikiran-pikiran bahwa yang kita pikirkan itu yang kita dapat. 

Di dunia sekuler, kita juga sering mendengar, “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan”. Semuanya mengajarkan bahwa asal kita ada keinginan, semua pasti berhasil. Yang lebih celaka, pelatihan seperti ini diimpor dan diajarkan oleh/di gereja. Hal ini juga diadopsi di dalam konsep pelayanan “Kristen”. Kita mendapati banyak orang Kristen yang melayani dengan konsep kehebatan diri, membantu sini sana, berfasih lidah di dalam berkhotbah, pintar dalam organisasi, dll, sehingga yang ditonjolkan di dalam pelayanan adalah dirinya yang hebat. 

Benarkah ajaran demikian? TIDAK. Inilah realita dunia kita yang tidak mau menerima realita negatif. Kekristenan yang beres tidak boleh mengikuti apa kata dunia, tetapi apa kata Alkitab. Realita negatif yang mengajarkan bahwa kita ini tidak layak bukan dengan tujuan melemahkan kita, tetapi berfungsi dua hal: pertama, untuk menyadarkan realita kita yang sebenarnya yaitu benar-benar tidak layak, karena kita telah berdosa dan rusak total, sekaligus, kedua, untuk mendorong kita tidak berfokus pada kehebatan diri kita, tetapi kepada Allah yang memimpin kita di dalam melayani-Nya. Dengan semakin memandang ketidaklayakan kita, kita semakin terus bergantung mutlak/penuh (total surrender) kepada-Nya.

5.OTORITAS ALKITAB.

Keunikan teologi Reformed poin kelima (akarnya dari Reformasi yang dicetuskan oleh Dr. Martin Luther) yang tidak dijumpai oleh semua teologi lain adalah otoritas Alkitab. Ketika berbicara mengenai otoritas, kita sedang membicarakan tentang mana yang berkuasa. Sehingga kalau kita diperhadapkan pada dua otoritas: Alkitab atau tradisi, mana yang harus dipilih oleh orang Kristen? Katolik memilih dua-duanya dengan dalih “melengkapi” (tradisi “melengkapi” Alkitab), tetapi Protestan (Reformed) memilih otoritas Alkitab (meskipun tetap menghargai sumbangsih tradisi gereja dari para bapa gereja). 

Semboyan Sola Scriptura (hanya Alkitab saja) pertama kali ditegakkan oleh Dr. Martin Luther, karena Luther menyadari Gereja Katolik Roma telah menyelewengkan Alkitab. Otoritas Alkitab juga ditekankan di dalam theologi Reformed, melalui Dr. John Calvin. Karena sebegitu pentingnya otoritas Alkitab, Dr. John Calvin di dalam bukunya Mutiara Kehidupan Kristen Bab 1 mencatat bahwa Kitab Suci adalah aturan bagi kehidupan. 

Beliau mendasarkan Alkitab sebagai pusat dan penuntun hidup yang taat pada kehendak Allah. Pengakuan Iman Reformed Injili mengajarkan, “Kami percaya bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah penyataan Allah yang sempurna yang diilhamkan Roh Kudus kepada para penulisnya dan karena itu adalah benar tanpa salah dalam naskah aslinya. Alkitab menyatakan di dalamnya kesaksian Roh Kudus, dan merupakan wibawa tunggal dan mutlak bagi iman dan kehidupan, baik untuk perseorangan, gereja, maupun masyarakat. Kami percaya bahwa Alkitab tidak bersalah dalam segala hal yang diajarkannya, termasuk hal-hal yang menyangkut sejarah dan ilmu.

” The Belgic Confession (Pengakuan Iman Belgia) di artikel 5 tentang Otoritas Alkitab mengajar, “We receive all these books and these only as holy and canonical, for the regulating, founding, and establishing of our faith. And we believe without a doubt all things contained in them—not so much because the church receives and approves them as such but above all because the Holy Spirit testifies in our hearts that they are from God, and also because they prove themselves to be from God. ...” (= Kami menerima semua buku dalam Alkitab ini sebagai satu-satunya yang kudus dan kanonis, untuk mengatur, membangun, dan menentukan/mendirikan iman kita. Dan kami percaya tanpa ragu bahwa segala sesuatu yang termasuk di dalamnya – bukan hanya karena gereja menerima dan menyetujuinya, tetapi Alkitab sendiri yang membuktikan dirinya sendiri dari Allah... .)

Mengapa otoritas Alkitab begitu penting (dan bukan otoritas tradisi/gereja)? Mari kita pelajari alasannya beserta implikasinya.

1. Otoritas Alkitab berkenaan dengan otoritas Allah
Di atas telah kita pelajari bahwa Allah menyatakan diri-Nya secara khusus dalam bentuk Kristus dan Alkitab. Dengan kata lain, Alkitab diwahyukan Allah. Karena Alkitab diwahyukan dari Allah yang tidak bisa bersalah dan setia adanya (baca: Ibrani 6:18; 2Timotius 2:13), maka Alkitab tidak mungkin bersalah dalam naskah aslinya dan Alkitab menjadi otoritas satu-satunya bagi iman dan kehidupan Kristen (Yohanes 17:17; 2Timotius 3:16-17). 

Sungguh suatu absurditas jika mengajarkan bahwa Alkitab itu tidak bersalah dalam aspek-aspek iman, tetapi bersalah dan perlu “dikritisi” dalam aspek-aspek kehidupan, misalnya tentang gender, dll. Dengan mengajarkan hal ini (meskipun yang mengajarkan ini tidak pernah mau mengakuinya), si pengajar dengan tegas memisahkan wahyu Allah menurut logikanya (lebih tepat diterjemahkan, nafsunya) sendiri. 

Itulah sebenarnya presuposisi di balik penolakan terhadap otoritas Alkitab. Ajaran tidak bertanggung jawab ini harus ditolak karena tidak sesuai dengan pengajaran Alkitab. Bahkan Rev. W. Gary Crampton, Th.D., Ph.D. di dalam bukunya Verbum Dei (Alkitab: Firman Allah) mengatakan dengan tegas, “Menyangkali inerransi berarti menjuluki Allah pembohong, tetapi Allah tidak dapat berbohong (Titus 1:2)... Waktu seseorang menolak Firman Allah ia menolak Allah Firman tersebut!”

Lalu, mengapa otoritas tradisi tidak bisa “melengkapi” otoritas Alkitab? Karena tradisi berkaitan dengan suatu zaman yang bisa berubah. Kita bisa melihat perkembangan sejarah gereja. Pertama, di dalam Katolik sendiri, sudah ada dua Konsili Vatikan yang berbeda doktrin. Di Konsili Vatikan Pertama diajarkan bahwa di luar Gereja Katolik tidak ada keselamatan. Sedangkan di Konsili Vatikan Kedua diajarkan bahwa bahkan di luar Kristus masih ada keselamatan. Sekarang, dengan akal sehat, jika memang tradisi berotoritas, tradisi mana yang layak dijadikan otoritas? Bukankah tradisi sendiri berubah-ubah sesuai dengan konteks zaman? Kedua, tradisi rasuli. 

Beberapa orang Katolik yang saya ajak diskusi mengajar bahwa tradisi rasuli memiliki otoritas. Mari kita buktikan. Alkitab mengajarkan bahwa Paulus menyuruh jemaat di Roma untuk melakukan cium kudus sebagai tanda persekutuan saudara seiman (Roma 16:16). Kalau mau konsisten, bukankah ini tradisi rasuli? Mengapa Gereja Katolik Roma dan Protestan tidak pernah melakukan hal ini sekarang?

2. Otoritas Alkitab berkaitan dengan pengenalan akan Allah yang benar
Seperti yang telah dikemukakan di atas, mengenal Allah yang sejati harus melalui wahyu khusus Allah di dalam Kristus dan Alkitab. Setelah menjelaskan tentang dosa yang merusak bibit agama (sense of divinity) yang ditanamkan oleh Allah di dalam manusia, maka Dr. John Calvin memaparkan bahwa untuk dapat mengenal Allah sebagai Pencipta, manusia harus kembali kepada Alkitab. Di sini, Calvin mengajar tentang pemulihan pengenalan akan Allah sejati melalui wahyu-Nya. Tanpa melalui Alkitab, kita tidak mungkin mendapatkan gambaran Allah yang sesungguhnya. 

Di dalam respon terhadap wahyu umum Allah, kita bisa memperoleh gambaran tentang Allah yang Mahakasih, Mahaadil, Mahakudus, dll, tetapi hanya di dalam wahyu khusus Allah, Allah berani menyatakan diri sebagai Kasih (bukan sekadar sifat, tetapi Pribadi Kasih itu sendiri) (baca: 1Yohanes 4:16). Kita juga mendapatkan pengajaran tentang Allah adalah Kudus (1Petrus 1:16), bukan sekadar Mahakudus (sifat). Di dalam wahyu khusus Allah, kita juga mengenal Allah di dalam Tritunggal/Trinitas: 3 Pribadi Allah di dalam Satu Esensi yang setara namun bertingkat, berbeda (peran dan kehendak) tetapi satu (ingat: Allah selain Roh, Ia juga Pribadi).

Lalu, mengapa otoritas tradisi tidak bisa membuat kita mengenal Allah dengan benar? Karena tradisi hanya mengenal Allah secara parsial, bukan komprehensif, bahkan ada juga tradisi gereja yang bisa menyesatkan kita jika kita tidak berhati-hati. Augustinus mengajarkan konsep Allah yang benar (mengikuti pandangan Anselmus yang mengajarkan bahwa mengenal Allah melalui iman baru mengerti), sedangkan Thomas Aquinas mengajarkan konsep pengenalan akan Allah melalui rasio dahulu, baru iman (mengerti dahulu baru beriman), karena ia percaya bahwa dosa manusia tidak termasuk dosa pikiran, sehingga pikiran masih “murni” dan bisa memikirkan Allah. Sekarang, kalau ada dua tradisi gereja seperti ini, tradisi yang mana yang layak dijadikan otoritas? Augustinus atau Aquinas? Silahkan renungkan sendiri jawabannya jika Anda berpegang pada otoritas tradisi.

3. Otoritas Alkitab berkaitan dengan kehidupan Kristen
Di dalam Injil dan Perjanjian Baru, Allah Trinitas menandaskan otoritas Alkitab sebagai wahyu-Nya yang berotoritas mutlak di dalam kehidupan Kristen. Perhatikan. Di dalam Yohanes 8:51, Tuhan Yesus berfirman, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa menuruti firman-Ku, ia tidak akan mengalami maut sampai selama-lamanya."” Hal serupa dikatakan Tuhan Yesus, “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.” (Yohanes 14:23) Rasul Paulus oleh ilham Roh menulis, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran.” 

(2Timotius 3:16) Rasul Petrus oleh ilham Roh menyatakan, “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah.” (2Petrus 1:20-21) Kata “Kitab Suci” dalam bahasa Yunani di ayat 20 ini sama dengan kata Yunani di 2Timotius 3:16. Ini membuktikan tulisan Kitab Suci diilhamkan/diwahyukan Allah dan menjadi standar iman dan kehidupan umat-Nya, serta tidak boleh ditafsirkan seenaknya sendiri.

Bagaimana dengan kita? Sampai di manakah Alkitab menjadi otoritas bagi iman dan kehidupan Kristen? Tidak diperlukan IQ besar atau gelar doktor sebanyak mungkin untuk menjadikan Alkitab sebagai otoritas, tetapi diperlukan sikap kerendahan hati dan keterbukaan mau dikoreksi oleh Firman Tuhan. Banyak doktor theologi sekali pun tidak mau rendah hati dikoreksi oleh Firman, bahkan dengan arogannya mengoreksi Firman mana yang sesuai konteks zaman postmodern dan mana yang tidak sesuai untuk dianaktirikan. 

Mari kita belajar dari para ahli Taurat. Mereka adalah seorang yang belajar Taurat dari kecil, menghafal Taurat, dll, tetapi herannya ketika Kristus datang ke hadapan mereka, mereka bukan malahan bersyukur, melainkan menyalibkan-Nya. “Hebat”, bukan? Tuhan Yesus disalib bukan oleh orang atheis, tetapi para pemimpin agama (mengutip pernyataan Pdt. Dr. Stephen Tong). Begitu juga di zaman postmodern ini, Tuhan Yesus “disalib” lagi bukan oleh orang atheis atau non-Kristen, tetapi justru oleh banyak orang “Kristen” bahkan banyak pemimpin gereja dengan segudang gelar doktor tetapi menghina salib dan kuasa Kristus, bahkan berani menulis artikel di surat kabar yang menyangkal kebangkitan Kristus dengan argumentasi ‘akademis’nya.


Bagaimanakah Alkitab menjadi otoritas bagi kehidupan (dan spiritualitas) Kristen?

Pertama, Alkitab menjadi sumber spiritualitas (atau kehidupan) Kristen. Sumber berarti pusat dan penentu. Ketika Alkitab mengajar kita untuk hidup kudus, maka sebagai orang Kristen, kita harus menjalankannya meskipun penuh dengan pergumulan. Spiritualitas tanpa pergumulan iman perlu diragukan. Mengapa? Karena kita hidup di dalam proses pengudusan, proses berarti ada kesinambungan, bukan suatu kemulusan.

Pergumulan iman itu sah-sah saja, dan perlu diluruskan, pergumulan iman itu tidak berhenti menjadi pergumulan, tetapi menjadi kemenangan iman. Mungkin secara kedagingan, kita sulit hidup kudus, tetapi di dalam pergumulan, kita dimampukan Roh Kudus melalui Alkitab untuk hidup kudus dan suatu saat kita pasti menang karena anugerah-Nya.


Kedua, Alkitab menjadi bahan yang mengobarkan spiritualitas Kristen. Kehidupan rohani kita mungkin suatu saat mandeg/berhenti bahkan menurun/tersesat. Di sini, Roh Kudus memakai Alkitab untuk mengobarkan api semangat spiritualitas kita dalam mengenal dan melayani-Nya. Ketika Augustinus melarikan diri dari Allah dan menganut Manichaeisme, Roh Kudus membuat dia bertobat dan berbalik kepada jalan yang benar melalui Alkitab. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita rela taat ditegur oleh Roh Kudus melalui Firman-Nya?

6. Wahyu umum dan Wahyu khusus

Wahyu umum.

Apakah itu wahyu umum? Wahyu umum adalah wahyu yang dinyatakan kepada semua orang secara umum dan isinya bersifat umum.

Semua orang dalam dunia ini tahu akan adanya Allah walaupun mereka belum pernah membaca Alkitab. Pengetahuan akan adanya Allah ini berasal dari wahyu umum. Semua manusia baik zaman dahulu, sekarang dan akan datang mengetahui keberadaan Allah. Wahyu umum ini sudah dimiliki oleh setiap manusia sejak mereka lahir ke dalam dunia ini dan Allah juga sudah menaruh wahyu ini sejak dunia diciptakan.

Selain dinyatakan kepada semua manusia, wahyu umum juga bersifat umum. Manusia hanya mengetahui secara umum dan terbatas tentang Allah. Mereka hanya tahu secara umum tentang kekuasaan Allah dan keilahian Allah yang bersifat kekal. Wahyu umum tidak memberikan keterangan tentang Allah sebagai penebus, tidak memberitahukan Allah Tritunggal. Hal-hal seperti itu dinyatakan dalam wahyu khusus.

Wahyu umum dapat dibedakan atas dua bagian, yakni Wahyu umum dikomunikasikan lewat perantara dan wahyu umum yang dikomunikasikan secara langsung.

Wahyu Umum yang dikomunikasikan lewat perantara adalah alam semesta. Alam semesta merupakan perantara atau alat yang dipakai oleh Allah untuk memberitahukan kepada manusia akan keberadaan diriNya dan akan sifat-sifatNya secara terbatas (Mazmur 19: 1-6; Ayub 38-40; Kis 14:17; Roma 1: 18-23). Calvin, mengatakan bahwa banyak bukti dalam alam mengenai eksistensi Allah. James Boice: terdapat cukup bukti tentang Allah dalam sekuntum bunga untuk memimpin seorang anak maupun seorang ilmuwan untuk menyembah Dia. Terdapat cukup bukti pada sebuah pohon, sebuah kerikil, sebutir pasir, sebuah sidik jari untuk membuat kita memuji Allah dan bersyukur kepadaNya. Ketika seseorang mempelajari kimia, biologi, fisika, antropologi, dll, maka ia sedang mempelajari wahyu umum. Itulah sebabnya Agustinus mengatakan:” belajarlah sebanyak yang anda mampu mengenai segala sesuatu, karena segala kebenaran adalah kebenaran Allah.” Kehadiran Allah yang Mahamulia ada disekeliling kita, namun kita seringkali tidak memperhatikannya. Kita hanya memperhatikan keindahan sebuah bunga dan keharumannya, namun seringkali lupa bahwa bunga itupun berbicara kepada kita tentang PenciptaNya yang sudah membuatnya indah dan harum. Bunga itu sedang berbicara tanpa bahasa tentang kemuliaan Sang Pencipta. Alam tidaklah bersifat ilahi namun kemuliaan Allah memenuhi alam dan dinyatakan melalui alam.

Wahyu umum secara langsung adalah penyataan kemuliaan Allah secara langsung kepada pikiran dan hati manusia tentang keberadaan diriNya

Roma 2: 12-16 menyatakan kepada kita bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati manusia yang belum pernah melihat, membaca kitab Taurat Israel. Ini yang kita sebut sebagai suara hati. Wahyu umum ini dibawa sejak lahir dan dimiliki oleh semua orang tanpa kecuali. Jadi terdapat pengetahuan yang dibawa sejak lahir tentang Allah dalam setiap manusia. Semua manusia diciptakan menurut gambar Allah dan memiliki hukum Taurat yang tertulis dalam hati mereka. Setelah kejatuhan, gambar Allah memang rusak pada diri manusia, tetapi tidak hancur total. Demikian juga hukum Taurat yang tertulis itu tetap tersisa dalam hati manusia. Taurat yang tertulis dalam hati manusia ini tidak sama dengan Taurat yang ada pada orang Kristen yang sudah lahir baru. Taurat yang tertulis dalam hati setiap manusia adalah suatu kesadaran moral/atau etis tentang kejahatan dan tidak mencakup jalan keselamatan. Sedangkan Taurat yang tertulis dalam hati setiap orang Kristen memiliki makna keselamatan dan ada Roh Kudus yang bekerja dalam hati untuk memampukan orang Kristen mentaati Taurat Allah. Taurat yang tertulis dalam hati setiap manusia ini disebut oleh Calvin sebagai kesadaran ilahi pada setiap pikiran manusia. Calvin berkata :” kesadaran ilahi ini ada di dalam pikiran manusia dan merupakan insting yang bersifat alamiah. Kita tidak perlu memperdebatkan masalah ini, oleh karena Allah sendiri telah memberikan kepada semua manusia semacam ide tentang Allah, dan ingatan yang terus menerus diperbaharuiNya dan sewaktu-waktu diperbesar”

Dengan adanya wahyu umum secara langsung ini, yakni hati nurani, atau kesadaran akan Allah, maka umat manusia pada dasarnya adalah mahluk religius. Manusia tahu dalam hatinya yang terdalam bahwa ada Allah. Hal seperti ini tidak bisa ditekan. Walaupun manusia berusaha menekan pengetahuan ini, tetapi suara itu tidak bisa dimatikan. Suara itu tidak dapat dihancurkan. Dan akibat dari kesadaran ini, maka manusia pun mencari Allah. Oleh karena tidak bertemu dengan Allah yang benar, maka mereka menyembah ilah-ilah buatan mereka sendiri. Dari sinilah muncul banyak agama dan kepercayaan. Itulah sebabnya orang-orang yang tidak percaya juga menganggap dirinya keturunan Allah ( Kis 17:28).

Wahyu Khusus

Pertama, wahyu khusus difokuskan pada Alkitab, yang memiliki 4 sifat penting yaitu mutlak diperlukan untuk mengubah cara pandang kita melihat Alkitab dan hidup kita, cukup untuk membuat kita mengenal siapakah Allah dan apa yang jadi kehendak-Nya, memiliki otoritas sehingga seharusnya segala sesuatu yang kita kerjakan harus tunduk di bawah otoritasnya, dan terakhir sangat jelas sehingga seharusnya kita mengerti firman Tuhan dengan baik sehingga dapat mengubah hidup kita yang tadinya berdosa menjadi takluk pada Allah yang mutlak. Keempat sifat ini tidak boleh dilihat secara terpisah karena wahyu Allah bersifat utuh.

Kedua, yang disebut wahyu khusus bukan hanya Alkitab saja, tetapi wahyu khusus juga tidak terpisah dari kehadiran Allah yang sudah bertindak untuk menyelamatkan kita dari dosa di mana tindakan penyelamatan ini dapat kita mengerti dari Firman-Nya. Dari prinsip ini kita dapat menarik pelajaran bahwa saat ini, Allah sendiri hadir di dalam diri kita dan dengan adanya firman Tuhan yang tertulis yakni Alkitab, Allah juga memberikan kepada kita pengertian akan Firman-Nya. Lalu, berdasarkan pengertian yang Allah berikan pada kita, Allah Roh Kudus akan membantu kita mengerti firman Tuhan dan inilah (pengertian akan firman Tuhan dan pekerjaan Allah Roh Kudus) yang akan mengubah hidup kita. Inilah bentuk wahyu khusus yang ada pada hidup kita sekarang.

Maka, dengan melihat apa yang sudah Allah kerjakan dalam hidup kita, apakah kita berani untuk tidak mengerjakan bagian kita yaitu mempelajari firman Tuhan dengan lebih sungguh-sungguh lagi? Beranikah kita masih bermain-main dengan Tuhan dengan jalan tidak mempelajari Firman-Nya? Beranikah kita membuang anugerah Allah dengan membuang atau menyia-nyiakan apa yang sudah Allah kerjakan bagi kita? Mari kita memohon anugerah Tuhan supaya kita boleh merespons Tuhan dengan benar. Kiranya apa yang sudah kita bahas ini boleh mendorong kita menjalankan apa yang Allah minta dari kita yaitu untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, dan segenap kekuatan kita. Mulai hari ini, biarlah kita boleh mempelajari firman Tuhan yang ada pada kita dengan sebaik-baiknya dan bukan menggantinya dengan hal-hal yang kata rasul Paulus adalah sampah.

7.TEOLOGI  KOVENAN: Titik Tolak Pengenalan Allah

oleh: Pdt. Drs. Thomy J. Matakupan, S.Th., M.Div.

Pendahuluan

Teologi Kovenan adalah keunikan ke tujuh dari teologi Reformed yang memiliki akar pengertian berdasarkan penyataan Allah di dalam firman-Nya. Dapat dikatakan bahwa Alkitab mengungkapkan prinsip ini di seluruh bagiannya, baik di dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Itulah sebabnya pengertian teologi kovenan ini tidak lepas dari usaha hermeneutik, penafsiran Alkitab. Usaha hermeneutik yang bertanggung jawab pada akibatnya akan melihat Alkitab sebagai sebuah sistem kebenaran, dalam arti sebuah pokok permasalahan tertentu yang muncul di dalamnya harus memiliki konsistensi prinsip.

Hal ini pada akibatnya, tidak saja melihat kesatuan Alkitab sebagai firman Allah yang tertulis, melainkan juga kepada pengenalan akan diri Allah sendiri. Dengan kata lain, Theologi Kovenan memberi nilai dari kehidupan iman sejati sesuai dengan maksud dan rencana Allah di dalam kehidupan orang percaya. Jika demikian, apakah yang dimaksud dengan theologi kovenan itu? Mengapa kemudian mempunyai dampak praktis serius di dalam kehidupan Kristen sejati?

Dapat dikatakan bahwa para Reformatorlah yang “menemukan kembali” theologi kovenan ini di tengah-tengah kesimpangsiuran ajaran gereja pada masa itu. Bahwa hal ini adalah harta gereja yang memberikan kehidupan bagi gereja yang telah ditinggalkan begitu saja. David L. Neilands mengatakan di awal bukunya, Studies in the Covenant of Grace menyatakan,

The church is no longer conscious. We have failed ti grasp the importance of covenant theology, covenant thinking and covenant living. Even Reformed churches that once knew the glory of the covenant of grace have lost this vital life-giving fountain of scriptural teaching.

Bangunan iman Kristen dibangun atas dasar teologi kovenan, maka jika kehidupan Kristen (baca: “Gereja”) tidak lagi menempatkan theologi kovenan menjadi pusat theologinya, maka gereja telah kehilangan inti imannya. Gereja yang sedemikian telah kehilangan esensi dan arah keberadaannya di tengah-tengah dunia ini. Pada akibatnya akan mengalami kesulitan yang besar di dalam perjuangannya sebagai saksi Kristus dan akan lebih mudah berkompromi dengan berbagai macam sistim pemikiran dunia yang tidak menurut Kristus.

Makalah ini akan mencoba menyoroti aspek keutuhan prinsip theologi kovenan ini. Memang perlu diakui bahwa pembahasan mengenai theologi kovenan ini sangat luas dan menyangkut aspek-aspek praktis yang dapat diteliti satu demi satu. Karena itu pembahasan hanya akan meninjau secara global saja.

Pertama-tama perlu dilihat apakah yang dimaksud dengan “Theologi Kovenan itu?” Di dalam Perjanjian Lama, kata yang kemudian diterjemahkan sebagai kovenan adalah berit. Sedangkan di dalam Perjanjian Baru menggunakan istilah diatheke. Kedua istilah ini secara umum mempunyai pengertian adanya perjanjian yang dibuat antara dua pihak dengan berbagai persyaratan, tata cata dan konsekuensi yang ada di dalamnya. Sementara secara khusus - jika kemudian dikaitkan dengan pengertian theologi kovenan – hal ini berarti sebuah pemikiran theologi yang berdasar pada kenyataan perjanjian yang ditetapkan Allah sebagai Pencipta dan pihak manusia sebagai ciptaan.

Tentu saja kedua pihak ini tidak dapat dilihat di dalam kedudukan yang sejajar. Perjanjian ini dilakukan oleh Allah Tritunggal sendiri di dalam inisiatifNya yang mutlak untuk mengikat Perjanjian dengan manusia. Bahwa Allah menghendaki adanya ketaatan sepenuhnya dari manusia kepada-Nya dan bahwa Allah di dalam kerelaan kehendak-Nya mengikatkan Diri di dalam janji mencurahkan berkat-Nya jika manusia menuruti di dalam ketaatan kepada kehendak-Nya ini.

Perjanjian Kerja Perjanjian pertama yang dilakukan antara Allah dan Adam, manusia pertama, wakil dari semua manusia dan dikenal pula dengan istilah “Perjanjian Kerja.” Allah menuntut manusia hidup di dalam ketaatan kepada-Nya dan Ia berjanji memberikan berkat-Nya kepada mereka, yaitu suatu kehidupan di dalam taraf yang tinggi, hidup di atas kematian. Janji kehidupan semacam ini akan lebih dapat dimengerti pada saat melihat kehidupan dari orang-orang yang percaya melalui penebusan Kristus, Adam terakhir.

Sebaliknya, jika mereka tidak taat, akan mendapatkan hukuman Allah, yaitu mati di dalam arti yang paling mendalam. Tidak saja berarti kematian jasmani, melainkan juga termasuk kematian rohani dan kematian kekal, keterpisahan kekal dengan Allah. Disebut sebagai Perjanjian Kerja oleh karena adanya kondisi kerja yang ditetapkan bersama. Kerap juga disebut dengan nama lain, yaitu sebagai perjanjian kehidupan oleh karena berisi janji kehidupan atau perjanjian legal oleh karena adanya tuntutan ketaatan sempurna kepada hukum Allah.

Perjanjian PenebusanPerjanjian ini ditetapkan antara Allah Bapa kepada Allah Anak di dalam kekekalan untuk menyelamatkan manusia berdosa. William G. T. Sheed mengatakan,

The Father appointing the Son to be the mediator; the Second Adam, whose life would be given for the salvation of the world, and the Son accepting the commision, promising that he would do the work which the Father had given him to do and fulfill all righteousness by obeying the law of God.

Semua penetapan persyaratan menjadi hak utama Allah sendiri. Bahwa Bapa menyatakan Oknum Kedua Tritunggal, Yesus Kristus, Sang Anak harus menerima sifat manusia dengan segala kelemahannya meski tanpa dosa sehingga Ia dapat berada di bawah hukum Taurat guna memenuhi semua tuntutan hukum tersebut dan dapat memberikan kehidupan kekal bagi setiap orang yang dikasihi-Nya. Bahwa Yesus menyatakan kesiapan-Nya untuk melakukan kehendak Bapa dalam menjadi korban bagi dosa. Bahwa Ia harus menambahkan jasa-Nya kepada umat-Nya oleh pekerjaan pembaruan oleh Roh Kudus. Dengan demikian menjadi pengabdian hidup mereka kepada Allah.

Untuk menggenapi rencana ini, Bapa sendiri yang kemudian mempersiapkan sebuah tubuh bagi Kristus, mengurapi-Nya dengan Roh Kudus dan mendukung semua pekerjaan penebusan-Nya. Bahwa Ia kemudian akan membangkitkan Anak dari kematian dan memberikan tempat terhormat di sebelah kanan-Nya. Bahwa Ia juga kemudian akan memberikan Roh Kudus yang akan membawa setiap orang pilihan menjadi objek penyataan kasih karunia, kemurahan dan pemeliharaan-Nya.

Dengan demikian, Kristus menempati posisi yang penting sekali. Ia adalah Kepala Perjanjian dan sekaligus Penjamin Perjanjian. Ia menjadi Adam kedua yang daripada-Nya Allah menyatakan anugerah-Nya yang tidak terkira. Ia dijadikan berdosa untuk menanggung hukuman dosa guna memenuhi tuntutan hukum Taurat bagi orang berdosa supaya mereka mendapatkan hidup. Paulus mengatakan bahwa Yesus adalah Pemberi Roh yang menghidupkan. Kristus adalah yang satu-satunya memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan Allah Bapa di dalam Perjanjian Penebusan ini yang kemudian menjadi dasar dari Perjanjian Anugerah.

Perjanjian Anugerah

Disebut juga sebagai “Perjanjian Pengampunan” karena perjanjian ini adalah wujud nyata kasih Allah kepada manusia berdosa. Bahwa Allah menyatakan kebaikan-Nya di dalam pemberian anugerah keselamatan kepada umat pilihan di dalam Kristus, sang Mediator. Berkhof mengatakan beberapa karakteristik yang ada di dalamnya juga tidak berubah dengan apa yang ada di dalam Perjanjian Kerja.

Pada umumnya sama di dalam semua bagian, meskipun bentuk administrasinya berubah. Janji pokoknya sama, Kejadian 17:17, Ibrani 8:10; Injilnya sama, Galatia 3:8; syarat-syarat imannya sama, Gal. 3:6, 7 dan pengantara itu sama, Ibrani 13:8.

Janji utama dari perjanjian itu, “Aku akan menjadi Allah bagi mereka dan bagi keturunan mereka.” Penggenapan janji ini sangat bergantung pada pribadi dan pekerjaan penebusan Kristus dan diterima oleh manusia berdosa di dalam bentuk anugerah. Itulah sebabnya aplikasi nyata perjanjian ini tidak bergantung kepada pekerjaan baik atau jasa yang dapat dilakukan manusia. Tuntutan yang ada di dalamnya agar manusia memberikan kehidupannya dan percaya kepada Allah berdasarkan jasa Kristus dan mendapatkan semua berkat sorgawi yang dijanjikan-Nya. Dengan demikian, perbedaan antara perjanjian Kerja dan Perjanjian Anugerah terletak pada Pribadi Kristus yang menjadi perantara tunggal antara Allah dan manusia berdosa.

Kontinuitas Perjanjian di dalam AlkitabTheologi kovenan ini mewarnai seluruh bagian isi Alkitab dari Perjanjian Lama sampai ke Perjanjian Baru. Di dalamnya menyatakan prinsip tuntutan dan aplikasi kehidupan yang tidak berubah – prinsip dasar etika Kristen, relasi sosial antar manusia, kehidupan iman sejati, pengharapan, dsb – yang sesuai dengan maksud Allah sendiri. Hal ini tidak saja menyatakan ketidak-berubahan perjanjian yang pernah ditetapkan Allah, melainkan juga menunjukkan sikap Allah.

“Aku akan mengadakan perjanjian-Ku” demikian perkataan Allah kepada Nuh. Perjanjian dengan Nuh adalah yang sangat bersifat umum oleh karena ditujukan kepada seluruh umat manusia sehingga perjanjian ini dimengerti pula sebagai pernyataan anugerah umum; bahwa Allah akan mencurahkan berkat umum kepada semua manusia.

Sementara itu, Esensi dari perjanjian Allah dengan manusia justru terletak pada perjanjian yang dibuat Allah dengan Abraham. “Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu.” Perjanjian ini lebih bersifak eksklusif seperti yang ternyata di dalam batasan yang Allah tetapkan, yaitu keluarga Abraham dan semua keturunannya. Ini adalah ketetapan resmi perjanjian itu, suatu permulaan pelaksanaan satu persatu dari perjanjian Allah di dalam Perjanjian Lama. Peranan iman sebagai syarat utama sangat menonjol di dalamnya dan ketetapan sunat menjadi meterai perjanjian itu.

Perjanjian di Sinai, pada dasarnya sama dengan apa yang dibentuk dengan Abraham, tetapi sekarang mencakup seluruh bangsa Israel. Bahwa Allah menetapkan umat Israel menjadi umat kesayangan-Nya dan memerintahkan mereka memegang perjanjian dengan-Nya di dalam kasih dan ketaatan.Ketetapan hukum Taurat dan sistim ibadah ditetapkan dalam hubungannya dengan perjanjian ini. Meskipun demikian hal ini tidak boleh dianggap sebagai bentuk baru dari perjanjian kerja. Alkitab mengatakan bahwa hukum Taurat justru membawa manusia kepada kesadaran akan dosa, dan menjadi jalan yang membawa manusia berpaling kepada Kristus. Materai perjanjian ini adalah ketetapan Paskah.

Perjanjian yang Baru sebagaimana dinyatakan di dalam Alkitab melalui nabi Yeremia, “Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, bukan seperti perjanjian yang Kuadakan dengan nenek moyang mereka …” Esensinya sama dengan yang ada di Perjanjian Lama, bahwa Allah berjanji akan menjadi Allah dari umat pilihan-Nya melalui penebusan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus.Perjanjian yang baru ini mempunyai nilai yang lebih tinggi dari yang lama oleh karena kehadiran Pribadi Kristus di dalamnya. Penulis kitab Ibrani mengatakan

Yesus adalah jaminan dari suatu perjanjian yang lebih kuat … Tetapi sekarang Ia telah mendapat suatu pelayanan yang jauh lebih agung, karena Ia menjadi perantara dari perjanjian yang lebih mulia, yang didasarkan pada janji yang lebih tinggi.

Perubahan yang terjadi di sini, perjanjian itu sekarang meniadakan relasi khusus dengan bangsa Israel, melainkan ditujukan dan berlaku kepada semua umat pilihan Allah. Berkat-berkat perjanjian itu diberikan kepada semua umat pilihan dari seluruh bangsa. Sakramen dari perjanjian ini adalah baptisan dan perjamuan kudus sebagai pengganti dari sakramen-sakramen di Perjanjian Lama.

Teologi Kovenan: Pengenal akan Allah Sejati

Konsep Kovenan ini memberikan pengertian yang lebih mendalam daripada sekadar sebuah perjanjian Allah-manusia. Diri Allah sedalam-dalamnya dinyatakan di dalamnya.

1. Gagasan kovenan menyatakan bahwa ada Allah yang hanya kepada-Nya semua arah ibadah dan penyembahan tertuju. “Aku akan menjadi Allahmu dan engkau akan menjadi umatKu.” Allah menempati posisi pertama oleh karena daripada-Nyalah semua ini ada. Manusia berada pada posisi kedua oleh karena mereka diciptakan di dalam gambar-rupa Allah. Kondisi semacam ini menempatkan manusia pada kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dilakukannya terhadap Allah. Ini adalah order of creation. Dosa terjadi oleh karena tidak menghargai urutan ini. Kovenan membawa manusia kepada kesadaran pertanggungjawaban pribadi kepada-Nya.

2. Allah berkepentingan untuk mengadakan perjanjian ini oleh karena Dia yang memulai, menentukan dan mengarahkan keseluruhan ciptaan ke tujuan yang ditetapkan-Nya sendiri. Dengan kata lain, semua kehidupan harus berjalan di dalam konteks perjanjian, dan hanya di dalam keadaan sedemikianlah kehidupan itu mencapai taraf yang mulia. Janji Allah menjadi jaminan pasti dan janji ini menjadi semacam pengukuhan bahwa Ia sendiri yang akan melaksanakan semua yang telah dijanjikan-Nya tersebut.

3. Pembicaraan tentang teologi kovenan ini harus dimulai dan diakhiri di dengan Allah. Dengan demikian pemahaman akan hal ini harus membawa kepada pengenalan sejati akan Allah. Fokus utama pengenalan di sini adalah pada Pribadi Allah; bahwa Allah adalah Allah Perjanjian. Ia tidak pernah berubah meski sikap dan tindakan manusia berubah terhadap-Nya. Perjanjian yang pertama disampaikan kepada Adam (Kejadian 2:16-17), Nuh (Kejadian 9:9-17), Abraham (Kejadian 17:9, 14), Musa (Keluaran 24:4-8). Daud (Mazmur 89:3). Semua perjanjian yang Allah terhadap umat-Nya ini menyatakan komitmen kekal Allah; bahwa Allah mau menyatakan kasih-Nya kepada manusia berdosa seperti yang ternyata di dalam pemilihan-Nya. Bahwa Ia memberikan pendamaian antara diri-Nya dengan mereka melalui perantaraan Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus. Di dalamnya ada janji sukacita kemuliaan kekal

4. Kovenan menunjukkan kasih Allah yang mungkin dimengerti dan dialami manusia. Adam memang segera harus menanggung akibat dari pelanggaran yang dilakukannya. Mereka terusir keluar dari Taman Eden. Meski demikian tidak berarti Allah membiarkan mereka terus hidup di dalam keadaan seperti ini. Di dalam inisiatif-Nya, Allah segera menyatakan pemulihan hubungan melalui janji penebusan (bdk: Kejadian 3:15; Rm. 5:17-18) yang kemudian di genapi di dalam diri Adam Kedua, Yesus Kristus. Pemulihan hubungan ini menjadi dasar sukacita manusia oleh karena bertemu dengan kenyataan bahwa Allah membuka tangan kasih-Nya dengan lebar dan mau bersekutu dengan mereka kembali.

5. Kovenan menjadi dasar pernyataan iman kepada Allah di dalam pelaksanaan sakramen, baik baptisan kudus maupun perjamuan kudus. Pelaksanaan kedua sakramen ini menunjukkan sikap penerimaan konkrit terhadap sikap Allah bagi umat-Nya. Di dalam Baptisan Kudus menyatakan materai perjanjian Allah, bahwa mereka menerima janji-janji Allah dan hidup di dalam iman kepada setiap janji itu. Sementara di dalam Perjamuan Kudus, iman orang percaya diarahkan kepada korban Kristus sebagai dasar keselamatannya.

8. TULIP

Keunikan teologi Reformed poin kedelapan adalah Tulip.

KERUSAKAN TOTAL MANUSIA BERDOSA

oleh : Ev. Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div.

Pendahuluan
Konsep Kerusakan Total orang Berdosa atau yang dikenal dengan Total Depravity of Sinners merupakan konsep pertama dari “Lima Pokok Calvinisme”, yang dirumuskan di Dortrecht, Belanda tahun 1600-an, untuk melawan pengajaran sesat dari Jacobus Arminius dan pengikutnya. Salah satu ajaran mereka adalah bahwa manusia pada dasarnya baik, tidak bersalah.

Selain kelompok ini, ada banyak kelompok dalam masyarakat yang menyatakan bahwa manusia itu baik, seperti tablet putih, tinggal penulisnya menuliskan warna apa. Ada yang berkata, tidak ada yang namanya dosa, yang ada adalah penyakit, dan seterusnya. Tetapi konsep Kerusakan Total jelas mengajar bahwa manusia sudah jatuh dalam dosa.

Arti Positif: ”Seluruh Aspek Hidup Manusia Tercemar Dosa”
Secara positif, konsep ini berarti bahwa seluruh aspek hidup manusia telah tercemar oleh dosa, tanpa kecuali. Bahwa semua manusia sudah jatuh dalam dosa tanpa kecuali, merupakan suatu konsep yang namanya Universalitas Dosa. Memang antara konsep ini dengan konsep Kerusakan Total tidak bisa dipisahkan, namun yang terakhir ini membicarakan tentang segala aspek hidup manusia telah tercemar.

Secara vertikal, pencemaran itu masuk hingga ke akar hati manusia (radical = radix = root = akar). Itu sebabnya Kejadian 6:5 menegaskan bahwa dalam dosa, kecenderungan hati manusia selalu membuahkan kejahatan semata-mata. Hal ini justru mengerikan karena hati manusia merupakan pusat kehidupan manusia, yang sangat dekat dalam hidup manusia, tersembunyi dan terus bekerja. Kalau begitu, hidup manusia sudah begitu dalamnya jatuh dalam dosa. Secara horisontal, pencemaran dosa merasuk masuk ke dalam segala aspek manusia, baik kemampuan agama (sense of divine), kemampuan bahasa, kemampuan seni, rasionalitas, kreativitas, moralitas, relasional, dan sebagainya.

Pencemaran ini menyebabkan kerusakan. Kata ”rusak” berarti tidak lagi berfungsi sebagaimana seharusnya. Itu sebabnya, segala aspek hidup manusia sebenarnya masih ada, tidak hilang, sebagaimana yang ditegaskan oleh John Calvin bahwa gambar Allah tidak hilang melainkan rusak alias tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Kemampuan akal dan agama misalnya, masih ada tetapi tidak lagi membawa akal dan agama kembali kepada Tuhan sejati tetapi kepada berhala dan allah palsu. Hal ini dapat diumpamakan dengan mobil dimana semua onderdilnya masih ada tetapi tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, tidak dapat bekerja seharusnya.

Jika seluruh aspek se dalam-dalamnya dan seluas-luasnya telah tercemar oleh dosa maka kita sekarang harus memikirkan kalau begitu apakah dosa itu, yang telah mencemari hidup manusia. Dosa secara esensi adalah perlawanan kepada Tuhan sebagaimana yang ditegaskan Daud dalam Mazmur 51:6: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kau anggap jahat.”

Hal ini tidak berarti bahwa dalam dosa Daud, ia tidak sama sekali merugikan orang lain. Jelas Daud merugikan Batsyeba dan Uria. Lihat saja, setelah Batsyeba hamil, Daud begitu jahatnya ingin menutupi dosa dengan berbuat licik kepada Uria. Ia memanggil Uria, memberi hadiah dan memabukkannya dengan maksud supaya Uria pergi dan tidur dengan Batsyeba, dengan demikian janin itu adalah benih dari Uria. Tetapi Uria begitu setia kepada Raja, mengingat pasukan kerajaan yang sedang berperang, ia merasa diri tidak layak untuk beristirahat dan enak-enakkan. Uria begitu setia kepada Daud tetapi Daud begitu jahat kepadanya. Tetapi, dalam refleksi akan dosa-dosanya, Daud menegaskan bahwa dosa itu sesungguhnya adalah melakukan apa yang Tuhan anggap jahat.

Di sini, dosa tidak berarti sekedar perasaan tidak enak saja, sekedar mengganggu perasaan orang lain, sekedar kelemahan dan ketidaksempurnaan, sekedar kerugian secara materi. Dosa banyak kali mengenakkan perasaan, didukung banyak orang dan mendatangkan keutungan secara materi. Tetapi jangan lupa bahwa dosa adalah melakukan apa yang jahat di mata Tuhan.

Kerusakan total ini memimpin kepada ketidakmampuan total. Ketidakmampuan total mencakup tiga aspek: tidak mampu memahami kebenaran sejati, tidak mampu menginginkan kebenaran sejati, tidak mampu melakukan kebaikan sejati. Ketidakmampuan mengenal kebaikan sejati tercermin dalam ungkapan “tidak ada yang berakal budi” (Mazmur 53). Di sini bukan soal ada tidaknya akal budi tetapi dalam bahasa Inggris jelas: no one who understand (tidak ada yang mengerti). Hal ini bahwa segala kebenaran itu bukan saja melampaui akal manusia tetapi bahwa tanpa pertolongan Roh Kudus, akal berdosa tidak bisa memahami kebenaran sejati. Itu sebabnya, penginjilan begitu sulit membuat orang memahami semua kebenaran ini.

Aspek kedua adalah tidak mampu menginginkan kebenaran sejati. Hal ini karena dosa adalah perlawanan kepada Allah sehingga semakin berdosa, semakin jauh dari Tuhan, berjalan bertolak belakang dengan Tuhan. Celakanya, semakin beragama, seperti dikatakan John Stott, semakin membawa manusia jauh dari Tuhan. Semakin beragama, semakin merasa diri benar, dan semakin tidak menginginkan Injil dan kebenaran sejati. Celaka!

Aspek ketiga adalah ketidakmampuan melakukan kebaikan sejati.Karena yang sejati hanyalah Allah Tritunggal maka kebaikan sejati haruslah memenuhi tiga standar: dalam iman kepada Tritunggal, menurut hukum Tritunggal dan bermotivasi memuliakan Tritunggal. Kalau begini maka tidak ada orang yang sanggup memenuhi apa yang seharusnya dan kebaikan yang dilakukan hanyalah kebaikan semu.

Hal ini yang tergambar jelas dalam perikop Lukas 18:18-27. Seorang pemimpin datang dan bertanya, “Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”. Terkandung beberapa kelemahan dalam pertanyaan ini. Pertama, ia memahami Tuhan Yesus sekedar sebagai guru yang baik. Kedua, ia merasa perbuatan baik manusia dapat diandalkan untuk mencapai keselamatan. Ketiga, ia merasa bahwa ia sanggup berbuat baik agar diselamatkan. Tuhan Yesus menjawab kelemahan-kelemahan ini dengan lugas dan tuntas.

Tuhan Yesus mengkritisi pengenalan sang pemimpin akan diri Tuhan Yesus, sekedar guru yang baik. Jika demikian, Tuhan Yesus berkata, tidak ada yang baik kecuali Allah. Kalau ia mengenal Yesus sebagai Allah, jelas baik. Sebab yang ditegaskan Tuhan Yesus adalah bahwa di antara manusai tidak ada yang baik. Tuhan Yesus juga menguji moralitas dengan memberikan lima hukum dari bagian kedua 10 hukum Taurat. Ia menjawab, “semuanya telah kuturuti sejak masa mudaku” (21). Kemudian Tuhan Yesus menguji moralitasnya: apakah sejati mencapai esensi atau tidak yaitu dengan menyuruhnya menjual segala harta dan memberi kepada orang miskin kemudian mengikuti Yesus.

Ada dua esensi dari 10 hukum: mengasihi Allah dan mengasihi manusia. Tuhan Yesus sedang menguji benarkah ia mengasihi Allah lebih dari harta? Ternyata tidak. Tuhan Yesus juga sedang menguji benarkah ia mengasihi manusia? Ternyata tidak. Jadi, apa yang dia lakukan Cuma fenomena, tidak mencapai esensi. Karena itu, sulit bagi manusia dengan perbuatan baik bisa diselamatkan, ibaratnya seekor unta masuk lubang jarum.

Arti Negatif: “Bukan Kerusakan Mutlak”
Kerusakan total bukan berarti kerusakan mutlak. Kerusakan mutlak berarti manusia berbuat serusak-rusaknya sesuai dengan potensi kemungkinan ia bisa berbuat dosa. Tidak! Di antara manusia yang jahat, banyak contoh kalau ada kebaikan semu yang bisa ia lakukan.

Lagipula, kerusakan total tidak berarti manusai tdiak dapat mengenal Allah sama sekali karena manusia diberi Wahyu Umum melalui alam, sejarah dan hati nurani.

PEMILIHAN TAK BERSYARAT ALLAH BAPA

oleh : Ev. Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div.

Pendahuluan
Predestinasi adalah istilah teologi yang berarti Allah menetapkan memilih sebagian orang berdosa untuk diselamatkan dan menetapkan menolak/membiarkan sebagian lagi untuk dibinasakan. Predestinasi adalah pengajaran Alkitab. 

Sejumlah ayat yang dapat kita lihat adalah pertama, Yohanes 6:37-38. Dalam ayat ini, Tuhan Yesus menegaskan bahwa Ia datang ke dalam dunia bukan untuk melakukan kehendakNya tetapi untuk melakukan kehendak Bapa yakni untuk menebus mereka yang telah diberikan Bapa kepadaNya.

Kedua, Yohanes 15:16. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa bukan manusia yang memilih Allah tetapi Allah-lah yang memilih, mengevaluasi, menetapkan dan menguasai hidup manusia, menjadikannya anak-anak Tuhan. Ketiga, dalam Kisah Para Rasul 13:48 menegaskan bahwa manusia bisa percaya kepada Allah bukan karena bergantung perasaannya, bukan karena ia mau atau tidak mau, bukan karena ia untung atau rugi tetapi bahwa mereka yang telah ditetapkan Allah untuk hidup kekal akan percaya. Percaya adalah akibat dari penetapan Allah sebelum dunia dijadikan.

Akhirnya, ayat paling terkenal tentang Predestinasi adalah datangnya dari Efesus 1:4. Jelas bahwa pemilihan itu telah dilakukan Allah sebelum dunia dijadikan dan hal itu dilakukan bukan berdasarkan kekudusan manusia tetapi justru supaya manusia memperoleh kekudusan.

Prinsip-Prinsip tentang Predestinasi
Pertama, Predestinasi adalah ajaran Alkitab bukan penemuan baru/inovasi dari John Calvin atau teologi Reformed. Ada ratusan ayat yang menegaskan tentang konsep Predestinasi. Itu sebabnya, jika kita percaya konsep sola scriptura dan tota scriptura maka tidak bisa tidak kita harus membahas dan menerima pengajaran Alkitab tentang Predestinasi. Ada sebagian orang Kristen yang menolak membahas topik-topik tertentu dalam Alkitab dengan alasan bahwa hal itu menimbulkan polemik atau kontroversi. Tetapi jika Alkitab firman Allah maka kontroversi dan polemik bukan lah datang dari Alkitab tetapi dari tafsiran manusia. Alkitab sebagai firman Allah secara total harus dibaca, direnungkan dan ditaati secara utuh tanpa pilah-pilih ayat mana yang kita suka.

Kedua, kita harus mempelajari Predestinasi dengan sikap hati yang benar. Sikap hati yang salah adalah mendekati doktrin ini dengan rasa ingin tahu/kuriositas. Kuriositas tidak boleh menjadi alasan utama mempelajari kebenaran karena kebenaran dipelajari bukan sekedar untuk diketahui tetapi untuk ditaati dan merubah hidup kita. Sikap hati salah yang lain adalah mempelajari predestinas dengan cara spekulasi. Hal ini akan membawa kita jatuh ke dalam kesalahan-kesalahan yang banyak dan tidak seharusnya karena kita memikirkan sesuatu yang tidak dipikirkan Alkitab. Kita juga tidak boleh mendekati doktrin Predestinasi sekedar untuk debat kusir dan kepuasan intelektual. Bukan itu tujuannya. Sikap hati yang benar adalah kita mempelajari kebenaran ini dengan hati yang takut dan gentar di hadapan Allah, karena Allah membukakan rahasia besar kepada kita yang tidak layak ini, dengan merendahkan diri dan belajar untuk taat kepada Allah.

Ketiga, Predestinasi harus dipahami dalam konteks doktrin kerusakan total manusia berdosa. Tanpa konteks ini, kita akan salah mengerti doktrin ini dan menuding Allah yang bukan-bukan. Bahwa manusia sudah rusak total dalam dosa adalah pengajaran Alkitab dan telah kita bahas dalam khotbah tersendiri. Kerusakan total ini mengajarkan bahwa seluruh aspek hidup manusia tanpa kecuali telah tercemar oleh dosa. Doktrin dosa juga mengajarkan bahwa manusia berdosa telah mati secara rohani dan kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata. Kalau begini maka keselamatan tidak mungkin berasal dari usaha manusia. Juga tidak ada kelayakan apapun yang membuat manusia berhak mengklaim anugerah keselamatan dari Tuhan. Jika Tuhan berkehendak menyelamatkan manusia, hal itu tidak harus dan bukan merupakan kewajiban tetapi merupakan belas kasihan Tuhan, kemurahan hatiNya dan kerelaan kehendakNya.

Keempat, Predestinasi tidak mengenal Allah yang kejam dan mengerikan tetapi Allah yang berdaulat, penuh kasih dan keadilan. Bahwa Allah berdaulat total dan penuh memang adalah ciri Allah yang diajarkan Alkitab. Hal ini diajarkan dalam ribuan ayat mulai dari PL hingga PB. Allah tidak pernah lepas kontrol atas apapun termasuk atas alam dan setan seperti yang digambarkan dalam kitab Ayub. Tetapi hal ini tidak berarti Allah kejam dan mengerikan karena Allah adalah kasih dan keadilan. Allah mempunyai belas kasihan dan pengampunan bagi manusia berdosa. Buktinya, Ia dengan rela hati mau memilih sebagian manusia berdosa untuk diselamatkan. Bukti lain, Allah mau memberikan anugerah umum untuk dinikmati oleh orang jahat. Bahkan orang jahat dan diluar Kristus kerap menerima anugerah umum jauh lebih besar dari orang percaya.

Tetapi Allah juga adalah Allah yang adil sehingga Ia menghakimi dan mengadili setiap perbuatan manusia dengan adil dan menjatuhkan hukuman yang setimpal kepada manusia berdosa sesuai dengan besar kesalahannya. Terpujilah Tuhan.


PENEBUSAN TERBATAS YESUS KRISTUS

oleh : Ev. Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div.

Pendahuluan
Alkitab menggunakan dua gambaran untuk menyatakan penebusan Kristus bagi orang percaya: gembala-domba dan suami-istri. Gembala yang baik, menurut Tuhan Yesus sendiri adalah gembala yang menyerahkan nyawanya bagi domba-dombanya. Penyerahan nyawa bukan satu-satunya karya bagi domba kesayangan melainkan merupakan puncaknya. Ketika merefleksikan imannya dalam Mazmur 23, Daud menegaskan bahwa Tuhan sebagai gembala telah menuntunnya dalam keseharian pergumulannya: lapar, haus, sakit dan tersesat.

Pengorbanan gembala bagi domba bersifat eksklusif, hanya bagi domba-dombanya, tidak untuk sembarang atau semua domba. Domba-domba itu adalah domba-domba yang memang menjadi tanggung jawab yang diserahkan pemilik kepada sang gembala, atau yang memang menjadi milik dari sang gembala. Di sini, merupakan metafora terhadap apa yang Kristus lakukan, Ia hanya mati bagi orang-orang yang diserahkan Bapa baginya.

Metafora penebusan Kristus dipertajam lagi di dalam tulisan Paulus dengan gambaran suami-istri. Suami diminta mengasihi istri sebagaimana Kristus mengasihi jemaat: kasih yang terbaik, eksklusif, penuh pengorbanan dan ketulusan. Dengan gambaran suami-istri maka eksklusifitas penebusan Kristus menjadi lebih sempit. Tidak mungkin mengharapkan seorang suami mengasihi semua wanita sama dengan kasih kepada istrinya. Dengan begini sebenarnya pengajaran Alkitab menekankan bahwa Kristus tidak mati untuk semua orang melainkan hanya untuk orang-orang pilihan yang akan percaya kepadaNya.

Penebusan Terbatas adalah Visi-Misi Tuhan Yesus
Apa yang dikerjakan Tuhan Yesus yakni mati bagi orang yang percaya kepadaNya, sudah nyata sejak kelahiranNya. Ia diberi nama ”Yesus” karena Ialah yang akan menebus ”umatNya” dari dosa mereka (Matius 1:21). Begitu kuatnya visi misi ini sehingga ketika Petrus menentang via dolorosa menuju Golgota, Tuhan Yesus dengan sangat marah menyatakan bahwa ide itu adalah berasal dari Iblis. Visi ini kemudian diperkuat lagi ketika Tuhan Yesus semakin dekat menuju salib. Yohanes dan Yakobus beserta ibunya menghendaki jabatan tinggi, suatu pengingkaran terhadap visi salib. Tuhan Yesus menegaskan lagi: “Anak Manusia datang untuk menyerahkan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Matius 20:28).

Menjadi tebusan berarti membicarakan harga: suatu harga yang harus dibayar. Harga itu adalah nyawaNya sendiri. Dan ia menjadi tebusan bukan bagi semua tetapi banyak orang (ransom for many, not for all). Banyak bukan semua, semua lebih dari banyak (many is not all, all more than many).

Penebusan Terbatas, Sufficient for All, Efficient for Elected
Penebusan terbatas bersifat sufficient for all, but efficient for elected. Hal ini berarti, Tuhan Yesus bukan tidak sanggup menebus semua manusia. Secara kapabilitas, Ia sanggup. Bayangkan saja, kematianNya 2000 tahun lalu berkuasa menebus orang percaya zaman sekarang. Tetapi, hal itu bukan apa yang Ia mau lakukan.

Tidak bisa tidak sama dengan tidak mau. Banyak orang yang sanggup membeli telepon seluler, tetapi mereka tidak mau, sebab terdapat pertimbangan tertentu. Kristus sanggup menebus semua tetapi Ia tidak mau karena hal itu bukan kehendakNya.

Mengapa Kristus tidak mati untuk semua orang?

Pertama, karena kematianNya di atas kayu salib adalah konsistensi paradoksikal kasih dan keadilan. Secara keadilan, upah dosa adalah maut sehingga semua orang berdosa harus dihukum maut di dalam neraka. Secara kasih, Allah memilih sebagian untuk diselamatkan padalah mereka seharusnya dihukum. Supaya tetap adil dan kasih, maka jatah hukuman bagi orang pilihan tidak dibuang tetapi dialihkan kepada Kristus. Jadi, Kristus datang untuk menanggung jatah hukuman yang seharusnya ditanggung orang pilihan.

Kedua, jika Kristus mati untuk semua orang tetapi banyak orang yang menolaknya dan akhirnya dihukum dalam neraka maka berarti Allah tidak adil karena menghukum dua kali. Ide ini datang dari Charles Spurgeon. Untuk kesalahan yang sama dihukum dua kali, pertama ditanggung oleh Kristus dan kedua oleh orang yang baginya Kristus telah mati tetapi karena tidak percaya, ia akhirnya dihukum pula.

Ketiga, menjamin karya Kristus tidak mubazir, bernilai dan dihargai. Barang yang dicetak khusus dan terbatas selalu bernilai berbeda. Undangan pernikahan dan brosur mempunyai kekuatan menggerakan orang berbeda karena yang pertama dicetak terbatas dan khusus sedangkan yang kedua dipabrikasi publik dan meluas. Jika Kristus mati untuk semua orang sedang banyak orang yang menolak Kristus menyebabkan karya Kristus direndahkan.

Keempat, menjamin konsistensi relasi internal Tritunggal. Jika Bapa telah memilih tetapi kemudian Kristus mati untuk semua orang termasuk yang tidak dipilih berarti karya Kristus dan karya Bapa bertentangan.

Dengan pemikiran bahwa Kristus tidak mati untuk semua orang, tidak harus mengurangi kesungguhan kita memberitakan Injil. Kita tidak memberitahu bahwa Kristus mati bagi semua orang tetapi hanya mati bagi mereka yang percaya padaNya.

KETEKUNAN ORANG PERCAYA SEJATI

(Ulangan 32:10; Lukas 22:31-32; Yohanes 10:28-29)

oleh : Ev. Antonius Steven Un, S.Kom., M.Div.

Pendahuluan
Tema “Ketekunan Orang-Orang Kudus” merupakan tema terakhir atau kelima dari pokok kesimpulan doctrinal Sinode Dortrecht Belanda 1618-1619 yang dikenal dengan “Lima Pokok Calvinisme”. Doktrin ini secara sederhana menyatakan bahwa sekali orang Kristen diselamatkan, akan tetap selamat. Tetapi untuk menghindarkan dari kesalahan, John Murray menegaskan bahwa istilah “ketekunan” digunakan sebagai wujud bahwa orang Kristen harus bertekun di dalam iman mereka kepada Tuhan dan bukan berleha-leha dalam dosa setelah mendapatkan kepastian keselamatan.

Tuhan Yesus dengan jelas memberitahu bahwa sekalipun setan ingin menggoncangkan iman Petrus, imannya tidak akan gugur karena berada dalam pemeliharaan Tuhan. Tetapi doktrin ini didasarkan atas asumsi bahwa orang yang mendapatkan jaminan keselamatan adalah ia yang benar-benar percaya Tuhan Yesus, bukan yang hanya secara fenomenal saja berada dalam Kristus. (Bdk. 1 Yohanes 2:19).

Banyak orang yang secara fenomenal kelihatan Kristen sebenarnya bukan orang percaya sejati. Itu sebabnya Anthony Hoekema menegaskan istilah “Ketekunan Orang Percaya Sejati”. Dari fenomena terluar adalah ia yang memiliki nama Alkitab seperti Daniel, Lukas dsb. Lalu, ia yang ber-KTP Kristen. Lebih dalam lagi, ia yang beraktivitas rohani Kristen seperti ibadah minggu, doa makan dst. Fenomena yang lebih masuk ke dalam lagi adalah ia yang terlibat dalam pelayanan Kristen. John Murray bahkan menegaskan ada orang yang kelihatan bertobat karena lebih dari semua itu, ia bahkan menangis dan “mau percaya Tuhan Yesus sungguh-sungguh”. Tetapi semua fenomena itu hanyalah fenomena luar. Orang yang kelihatan bertobat, mungkin pertobatannya hanyalah respon agamawi atau psikologis bukan hasil kelahiran kembali oleh Roh Kudus.

Orang yang belum benar-benar diselamatkan, tidak dapat dikatakan keselamatannya hilang karena ia belum pernah mempunyai keselamatan, bagaimana dikatakan itu hilang?

Mengapa Keselamatan Tidak Bisa Hilang?
Jika seseorang sudah benar-benar percaya Tuhan Yesus dan diselamatkan maka keselamatan itu tidak mungkin hilang/gugur. Mengapa? 

Pertama, karena keselamatan manusia adalah pilihan Allah yang merupakan isi hati Tuhan sejak kekekalan. Efesus 1:4 menyatakan bahwa Tuhan memilih manusia untuk kudus dan tak bercacat. Bagian Alkitab yang lain memberitahu bahwa kudus dan tak bercacat itu bisa terjadi nantinya di dalam surga. Berarti apa yang menjadi keinginan Tuhan untuk orang pilihan baru bisa tercapai nantinya di dalam surga. Lagipula, karena hal itu adalah isi hati Tuhan kekal sehingga Tuhan akan bagaimana “berusaha” sehingga isi hatinya bisa terkabulkan. Manusia saja kalau sudah mempunyai ketetapan hati, ia akan mati-matian berjuang hingga mencapai apa yang ia inginkan. Apalagi Tuhan, kalau ia ingin manusia pilihan itu kudus dan tak bercacat maka tidak bisa tidak, Tuhan akan mengerjakannya.

Kedua, karena Tuhan berjanji barangsiapa yang percaya kepada Tuhan Yesus akan beroleh keselamatan hidup yang kekal. Hal ini jelas dalam Yohanes 3:16; 6:47. Karena Allah adalah Allah yang tidak mungkin ingkar janji maka apa yang Ia janjikan pasti dipenuhiNya. Misalnya, ketika Tuhan berjanji kepada Yusuf, Musa, Yosua, Daud untuk menyertai mereka, Tuhan lakukan itu dengan setia, termasuk menyertai Yusuf masuk sumur, rumah Potifar dan penjara. Keselamatan tidak mungkin hilang karena Tuhan berjanji barang siapa percaya Tuhan Yesus pasti menerima hidup kekal.

Ketiga, karena Allah adalah Allah yang tidak berubah. Alkitab jelas menyatakan hal ini seperti dalam Maleakhi 3:6 dan Yakobus 1:17. Allah di dalam hakekat, janji, keputusan dan segala-galanya tidak mungkin berubah. Hal ini tidak berarti Allah mati, sebab yang mati juga tidak berubah/ bergerak. Allah bergerak aktif, ya aktif tetapi tidak berubah (immutability is not immobility). Karena itu, Roma 11:29 mengatakan bahwa Allah tidak menyesali panggilan dan kasih karuniaNya. Samuel juga pernah berkata bahwa Tuhan bukan manusia yang bisa menyesal. Tetapi di sisi lain, penyesalan juga terungkap dalam Kejadian 6 tatkala manusia sudah jatuh dalam dosa dan hidup penuh kejahatan. Penyesalan dalam kasus Kejadian 6, bukanlah ungkapan Allah berubah tetapi bahwa Allah sangat berduka. Tidak ada istilah yang lebih tajam menggambarkan dukacita Allah selain istilah penyesalan. Allah sangat berduka kala itu.

Keempat, karena tidak ada apapun yang sanggup merebut kita dari tangan Tuhan. Tuhan Yesus menyatakan dalam Yohanes 10:28 bahwa domba-dombaNya pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya karena tidak ada seorang pun yang “akan” merebut dari tanganNya. Di sini Tuhan Yesus menggunakan istilah “akan”, suatu ketidakmungkinan. Tetapi seolah-olah kurang, Ia menambahkan ayat 29, tidak ada seorang pun yang “dapat” merebut dari tangan Bapa karena Bapa lebih besar dari siapapun. Istilah “dapat” menggambarkan ketidakmampuan. Jadi, terdapat ketidakmungkinan dan ketidakmampuan siapapun untuk merebut kita dari tangan Allah. Karena itu, keselamatan tidak mungkin hilang.

Kelima, karena orang percaya sedang berada dalam proyek Roh Kudus untuk menjadikan kita serupa dengan Kristus. Inilah seluruh pekerjaan Roh Kudus yang disebut dalam doktrin keselamatan sebagai “Pengudusan”. Sehingga, makna kekudusan dan pertumbuhan rohani berarti semakin hari semakin serupa dengan Kristus. Karena itu, penderitaan dan kejatuhan dalam dosa bukannya menyebabkan keselamatan hilang, tetapi justru dipakai Roh Kudus membentuk kita serupa Kristus. 8 KEUNIKAN TEOLOGI REFORMED.
Next Post Previous Post