BUKU SUPERIORITAS DAN KEISTIMEWAAN ALKITAB

Pdt.Dr.Mangapul Sagala.
BUKU SUPERIORITAS DAN KEISTIMEWAAN ALKITAB
Sesungguhnya topik tentang Alkitab sangat penting. Ini adalah salah doktrin gereja yang sangat penting. Mengapa? Jawabnya jelas: karena sebenarnya seluruh doktrin gereja berasal dan dibangun dari topik ini.

Mengapa gereja percaya bahwa keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus? Mengapa gereja mengajarkan bahwa Yesus adalah Allah sejati dan manusia sejati? Mengapa kita percaya bahwa Yesus sungguh-sungguh mati untuk dosa manusia? Mengapa kita percaya bahwa Yesus sungguh-sungguh bangkit dalam bentuk tubuh? Mengapa kita percaya bahwa ada kebangkitan tubuh sesudah kematian? Mengapa kita percaya bahwa Yesus akan datang kedunia yang kedua kalinya? Banyak lagi pertanyaan lain yang dapat kita daftarkan di sini. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah: Karena Alkitab mengatakan demikian. Maka tepatlah syair sebuah lagu: Jesus loves me this I know, for the Bible tells me so.

Dengan demikian, orang Kristen tidak membangun imannya di atas pandangan- pandangan bapak-bapak gereja atau para theolog, sekalipun pandangan mereka tidak dapat kita abaikan. Akan tetapi orang Kristen membangun ajarannya di atas ajaran Alkitab. Itulah sebabnya sikap orang terhadap Alkitab mempengaruhi seluruh doktrin atau ajarannya. 
Bagi mereka yang melihat Alkitab sebagai wahyu Allah yang bersifat mutlak, maka mereka akan tunduk terhadap segala pernyataan-pernyataan Alkitab, tanpa kecuali, sekalipun nampaknya pikiran mereka dan pandangan ahli theologia berbeda dengan itu. Sedangkan bagi mereka yang melihat Alkitab sebagai buku biasa atau sekedar tradisi manusia belaka, maka pernyataan-pernyataan Alkitab tidak berarti apa-apa. Karena itu, marilah kita melihat berbagai pandangan yang diberikan kepada Alkitab.


1. Alkitab adalah tradisi manusia abad mula-mula

Bagi kelompok ini, yang hanya melihat Alkitab sebagai tradisi manusia abad mula-mula, tentu kurang menghargai Alkitab. Seorang hamba Tuhan pernah berbicara tentang Alkitab kepada seorang pemuda bahwa Alkitab tersebut benar dan penting untuk dibaca. Namun pemuda tersebut tetap menolak untuk melihat pentingnya membaca Alkitab. Karena itu, hamba Tuhan tersebut bertanya, "Mengapa Anda tetap bersikap negatif terhadap Alkitab? Apakah Anda melihat bahwa Alkitab itu banyak berisi kesalahan?" Maka pemuda tersebut menjawab, "Bagi saya, Alkitab tidak penting bukan karena banyak kesalahan. 

Saya setuju bahwa Alkitab tersebut banyak mengandung kebenaran. Masalahnya adalah, Alkitab tersebut tidak relevan lagi untuk abad modern ini". Kemudian, pemuda tersebut bertanya: "Bagaimanakah Anda melihat relevansi Alkitab yang merupakan tradisi manusia zaman primitif tetap dapat diterapkan pada abad modern ini?" Penulis juga memiliki pengalaman nyata tentang hal ini. Dalam sebuah diskusi bebas dengan seorang teman yang sedang mengambil program doktoralnya, kami mendiskusikan tentang topik Kristologi. Sebenarnya, topik tersebut adalah topik yang sedang Penulis bahas dalam penelitian Penulis. 

Dalam diskusi tersebut Penulis menegaskan bahwa Yesus itu sungguh-sungguh adalah Allah dan manusia. Dia adalah Juruselamat seluruh dunia. Maka dia menyanggah Penulis dan mengatakan hal itu tidak benar. Ketika kami terus berdebat, Penulis menegaskan bahwa itulah hasil penelitian Penulis. Karena itu, Penulis mengatakan: "Jika kita sungguh-sungguh mengerti Injil Yohanes serta mempercayainya, maka kita tidak bisa menyimpulkan lain dari pada itu. 

Sejak ayat permulaan (Yohanes 1:1) telah ditegaskan bahwa Firman itu, bukan saja bersama dengan Allah, tetapi Firman itu sendiri juga adalah Allah". Mendengar itu, saudara tersebut di atas, dengan nada kesal mengatakan, "Masa karena Yohanes mengatakan demikian, lantas saudara percaya begitu saja? Bagaimana kalau ternyata Injil Yohanes itu salah? Bagaimana Yesus yang hidup di Palestina in a small community dan hidup di abad pertama Saudara jadikan Allah seluruh dunia?…" Jadi, bagi mereka yang menganut pandangan seperti di atas, Alkitab tidak memiliki otoritas dalam hidup mereka.

2. Alkitab adalah buku biasa yang tidak luput dari kesalahan

Seorang pernah menulis dalam bukunya bahwa kalau kita membaca Alkitab harus mendekatinya sebagaimana kita mendekati buku lainnya. Kita tidak boleh membaca Alkitab dengan sikap menerima saja, tetapi kita harus membacanya dengan sikap kritis. Karena itu, dia menulis, "Semuanya harus dikaji, sebab prinsip-prinsip baru mulai berlaku. Prinsip itu mengatakan bahwa segala sesuatu harus 'mulai dengan keraguan, menuju kepemupukan pengetahuan berdasarkan dasar-dasar yang kokoh'. 

Alkitab pun tak terkecuali dan harus dikaji ulang". Jadi, dengan asumsi bahwa segala sesuatu harus "mulai dengan keraguan", bukankah ini bertentangan dengan seruan Alkitab itu sendiri agar pembacanya datang kepadanya dengan iman dan penyerahan penuh? Mari kita perhatikan penegasan Tuhan Yesus kepada orang-orang Yahudi di zamanNya: "Dan firmanNya tidak menetap di dalam dirimu, sebab kamu tidak percaya kepada Dia yang diutusNya. Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa olehnya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepadaKu untuk memperoleh hidup itu" (Yohanes 5:38-40).

3. Alkitab bukanlah Firman Allah, tetapi catatan tentang Firman Allah

Bagi mereka yang menganut pandangan ini, wahyu Allah tidak bisa dituliskan. Logikanya adalah, Allah itu tidak terbatas, maka FirmanNya pun tidak terbatas. Jadi sebenarnya, menurut teori ini peristiwa Allah berfirman terhadap Musa, Elia dan nabi-nabi lainnya sudah berlalu. Tetapi kemudian, peristiwa tersebut (baca: wahyu) dicatat. Itulah Alkitab. Jadi menurut pandangan ini, menyamakan Alkitab dengan Firman Allah adalah dosa. Jika Alkitab hanya sekedar catatan tentang wahyu Allah yang sudah berlalu, maka pertanyaan yang muncul adalah, sejauh manakah Alkitab tersebut memiliki kuasa dalam hidup mereka? 

4. Alkitab mengandung Firman Allah

Menurut pandangan ini, Alkitab bukanlah Firman Allah, tetapi di dalamnya terdapat Firman Allah. Disamping itu, Alkitab juga mengandung 'firman iblis' dan 'firman manusia'. Penganut pandangan ini setuju bahwa bagian Alkitab yang mengatakan, "Beginilah Firman Allah", atau "Demikianlah Firman Allah", memang adalah Firman Allah. Tetapi bagian lainnya, seperti "Ular itu berkata kepada perempuan itu: "Tentulah Allah berfirman…(Kej.3:1b), bukanlah Firman Allah. Demikian juga dengan nasehat-nasehat sahabat Ayub, yaitu Elifas, Bildad dan Zofar bukanlah Firman Allah, karena memang kemudian Allah menegur mereka dan menyuruh mereka minta maaf kepada Ayub atas segala nasehat mereka yang salah (Baca Ayub 42:7-9).

5. Alkitab menjadi Firman Allah ketika terjadi pertemuan atau pengalaman pribadi.

Menurut pandangan ini, ketika seseorang membaca Alkitab dan Allah berbicara melalui ayat-ayat yang sedang dibaca tersebut, maka pada saat itulah ayat tersebut menjadi Firman Allah. Dengan perkataan lain, ada saatnya Alkitab tersebut bukanlah Firman Allah yaitu sebelum terjadi pengalaman pribadi dengan ayat-ayat tersebut. Dengan demikian, Firman Allah menjadi sangat subjektif, tidak lagi objektif, tergantung manusia yang mengalaminya. Bagi orang tertentu ada kemungkinan ayat tertentu bukan Firman Allah kerena dia tidak mengalami apa-apa dari ayat tersebut. Tetapi orang lain, yang mengalami sesuatu dari ayat tersebut, itu adalah Firman Allah.

Nampaknya, pandangan inilah yang dianut oleh seorang pendeta dari gereja tertentu di Korea, dengan anggota jemaat ratusan ribu orang. Kelompok ini membagi Firman Allah menjadi dua, yang dalam bahasa Yunani disebut logos dan hrema. Logos dimengerti sebagai Firman Allah secara umum, sedangkan hrema dimengerti sebagai Firman Allah yang sudah berbicara kepadanya secara pribadi. Pandangan ini juga telah menjalar kegereja-gereja tertentu di Indonesia, yaitu gereja yang mengikuti aliran theologia gereja Korea tersebut di atas. 

Memang ada sebagian penafsir yang membedakan kedua kata tersebut. Namun sebenarnya tidak demikian. Dalam Injil Yohanes kita dapat melihat bagaimana kedua kata tersebut dipakai saling bergantian. Sebagai contoh adalah dalam Yoh.12:48 yang berbunyi: "Barangsiapa menolak Aku, dan tidak menerima perkataanKu (hremata), ia sudah ada hakimnya, yaitu Firman (logos) yang telah Kukatakan, itulah yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman". 

Selanjutnya dalam Yoh.17:8a dan 14, kita juga melihat kedua kata tersebut digunakan saling bergantian. "Sebab segala firman (hremata) yang Engkau sampaikan kepadaKu telah Kusampaikan kepada mereka…Aku telah memberikan firmanMu (logos) kepada mereka. Maka dari ayat-ayat tersebut jelaslah bahwa sebenarnya kedua kata tersebut tidak perlu dibedakan. Kita juga perlu menegaskan bahwa Firman Allah tetap adalah Firman Allah, sekalipun hal itu belum dialami secara pribadi. Masalah pengalaman pribadi kepada Firman Allah tersebut tidak tergantung kepada Firman itu sendiri, tetapi tergantung kepada pekerjaan Roh Kudus serta kepekaan dan keterbukaan kita sendiri.

6. Alkitab adalah Firman Allah

Menurut pandangan ini, Alkitab bukan sekedar tradisi manusia abad pertama, meskipun memang ada unsur tradisi di dalamnya. Alkitab juga bukan sekedar tulisan manusia, meskipun memang ada unsur keterlibatan manusia dalam penulisannya. Tetapi, sesungguhnya Alkitab adalah Firman Allah. Karena Alkitab adalah Firman Allah, maka Alkitab tidak bersalah terhadap segala hal yang dinyatakannya. Karena itu, Alkitab memegang kuasa dan otoritas tertinggi dalam kehidupan. Sebenarnya, menurut keyakinan kami, inilah pernyataan Alkitab tentang dirinya, dan ini jugalah yang merupakan pandangan kami. Kami setuju dengan tokoh reformasi, Martin Luther yang mengatakan:

"No one is bound to believe more than what is based on Scripture. The Word must be believed against all sight and feeling and understanding. It also has the primacy over dreams, signs and wonders. (Tidak seorangpun diharuskan untuk mempercayai sesuatu lebih daripada apa yang dikatakan Alkitab. Alkitab harus dipercayai melebihi penglihatan, perasaan dan pengertian. Dia juga memiliki keutamaan lebih dari mimpi-mimpi, tanda-tanda serta mukjizat-mukjizat). 

Alkitab Adalah Firman Allah

Apa dasarnya seseorang menerima Alkitab sebagai Firman Allah? Ada orang berpandangan bahwa Alkitab harus dibuktikan terlebih dahulu sebagai Firman Allah baru diterima. Bagaimana tanggapan Anda terhadap metode penerimaan Alkitab dengan cara pembuktian tersebut? Sesungguhnya, kalau kita mau jujur, maka ada beberapa kesulitan yang muncul dengan metode pembuktian ini.

Pertama, kalau Alkitab adalah Firman Allah, apakah ada bukti yang cukup syarat untuk membuktikan kebenaran Alkitab tersebut? Kalau ada (sebenarnya tidak ada), apakah bukti tersebut tidak perlu dibuktikan lagi? Nah, kalau sudah begini, jadi seperti lingkaran setan, bukan? 

Kedua, kalau kita mau menerima Alkitab sebagai Firman Allah berdasarkan bukti, manakah sekarang yang lebih tinggi dan berotoritas nilainya? Alkitab, atau bukti tersebut? Bolehkah hal ini terjadi? Seharusnya tidak boleh.

Ketiga, apakah peranan bukti terhadap yang dibuktikan? Jikalau Alkitab adalah Firman Allah, tetapi tidak ada yang berhasil membuktikannya sebagai Firman Allah, apakah Alkitab tersebut berubah menjadi bukan Firman Allah? Sebaliknya, jika ada kitab yang dianggap Kitab Suci dan berhasil dibuktikan sebagai Firman Allah padahal sebenarnya bukan apakah kitab tersebut berubah menjadi Firman Allah? Untuk hal ini, tentu kita semua dapat menjawabnya. Itulah sebabnya, kita harus menolak metode menerima Alkitab dengan pendekatan pembuktian.

Jika demikian halnya, bagaimanakah seseorang dapat menerima Alkitab? Dalam hal ini, John Calvin memberi jawaban: "Biarlah Alkitab sendiri membuktikan dirinya sebagai Firman Allah. Sebagaimana siang mampu membedakan dirinya dari malam, terang dari gelap, demikian juga Alkitab mampu membedakan dirinya dari kitab-kitab lainnya, yang memang bukan Firman Allah". Atau seperti apa yang pernah ditegaskan oleh seorang pembicara seminar: "Kalau singa itu adalah singa sejati, biarkanlah dia membuktikan kesejatiannya. Kita tidak usah ribut berdiskusi dan berdebat, apakah singa yang sedang kita lihat itu adalah singa sejati, atau hanyalah sebuah patung!".

Pendekatan seperti itulah yang disebut dengan the internal witness of the Holy Scripture (kesaksian internal Kitab Suci).

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah metode ini dapat diterima? Jawabnya, tentu, dan seharusnya demikian. Karena sesungguhnya kesejatian memiliki ciri-cirnya sendiri. Demikian juga sebaliknya. Karena itu, marilah kita melihat sepuluh alasan yang bersifat kesaksian internal, yang menunjukkan bahwa sesungguhnya Alkitab adalah Firman Allah. 

Pertama, Alkitab mengatakan dirinya Firman Allah.

Rasul Paulus menulis: "Segala tulisan diilhamkan Allah, memang bermanfaat untuk mengajar…" (2 Timotius 3:16) Jadi jelas terlihat dari ayat ini bahwa Alkitab diilhamkan Allah (kata diilhamkan dalam bahasa Yunani adalah qeopneustoV). Benar, kata "segala tulisan" menunjuk kepada Alkitab Perjanjian Lama. Karena itu, seorang bertanya, "Apakah semua tulisan dalam Perjanjian Lama diilhamkan oleh Allah? Bagaimana dengan keberatan kelompok tersebut di atas, bahwa ada 'firman iblis' dan nasehat dari sahabat-sahabat Ayub yang ternyata salah? 

Dalam hal ini, kita melihat pengertian Firman Allah secara langsung dan tidak langsung. Maksudnya, kata-kta iblis tersebut di atas dan nasehat-nasehat dari Elifas dan kawan-kawannya telah diilhamkan Allah untuk ditulis dalam Alkitab. Tentu saja Allah tidak bermaksud mengilhami para penulis Alkitab untuk menulis hal tersebut supaya diikuti. 

Sebaliknya, supaya pembaca Alkitab belajar dari padanya. Dengan perkataan lain, melalui hal itu, Allah ingin berfirman kepada manusia. Kenyataan lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa kalimat, "Demikianlah Firman Allah", atau "Allah berfirman" sering kita dapati dalam Perjanjian Lama, khususnya dalam kitab Musa. Sebagai contoh: Kejadian 1:3,6,9; Keluaran 5:1; 6:1; 7:1; Im.1:1; 4:1 dan seterusnya. Perlu untuk kita ketahui bahwa dalam kitab Musa, istilah tersebut di atas terdapat kira-kira 800 kali, dan sekitar 2000 kali dalam seluruh Alkitab Perjanjian Lama.

Kita telah melihat Alkitab Perjanjian Lama, lalu bagaimana kita mengerti Perjanjian Baru sebagai kitab yang diilhami Allah juga? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat otoritas atau wibawa para Rasul. Sebagaimana kita lihat dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus sendiri telah memilih mereka untuk menjadi murid-muridNya. Selama kurun waktu 3 tahun penuh Tuhan Yesus mengajar mereka melalui perkataan dan tindakan. Lebih dari itu, mereka menyaksikan sendiri apa yang dilakukan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus telah mempersiapkan mereka untuk kelak menjadi pemberita-pemberita Injil. Dia telah mengutus mereka dengan kuasa dari atas. Dia juga berjanji mengutus Roh Kudus yang akan menyertai mereka. 

Dia bersabda: "Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam namaKu, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu" (Yohanes 14:26) Sesungguhnya, ayat firman Tuhan ini sangat penting, khususnya berkenaan dengan apa yang sedang kita bahas. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kita yakin bahwa Roh Kudus mampu memimpin para Penulis Alkitab Perjanjian Baru untuk menulis apa yang mereka dengar, lihat dan saksikan? Sehubungan dengan ini, baik sekali kita melihat apa yang ditegaskan dalam 1 Yohanes1:1-3:

"Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup - itulah yang kami tuliskan kepada kamu. Hidup itu telah dinyatakan, dan kami telah melihatnya dan sekarang kami bersaksi dan memberitakan kepada kamu tentang hidup kekal yang ada bersama-sama dengan Bapa dan yang telah dinyatakan kepada kami. Apa yang telah kami lihat dan yang telah kami dengar itu, kami beritakan kepada kamu juga…" 

Sebagaimana Penulis katakan di atas, ayat ini sangat penting. Di sini ditegaskan pengalaman nyata penulis (rasul-rasul) dengan Tuhan Yesus. Hal itu ditegaskan dengan penggunaan kalimat perfect tense: telah kami dengar, telah kami lihat, telah kami saksikan, telah kami raba dengan tangan kami. Semua pengalaman tersebut sangat penting, dan sulit disangkali; terutama pengalaman "meraba dengan tangan". 

Bagi orang Yahudi, indra yang paling kongkrit dan paling sulit disangkali adalah "meraba dengan tangan". Selain ayat penegasan ayat tersebut di atas, rasul Petrus juga menegaskan hal yang sama. Dia menuliskan: "Yang terutama harus kamu ketahui ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah" (2 Petrus 1:20-21).

Kedua, sikap Tuhan Yesus yang menerima dan menjunjung tinggi Alkitab. Sesungguhnya, Tuhan Yesus adalah teladan hidup kita, termasuk dalam sikapNya terhadap Kitab Suci. Selama hidup Tuhan Yesus di dunia ini, kita melihat ketaatanNya yang sempurna kepada Alkitab (Perjanjian Lama). Sebagai contoh sangat nyata adalah ketika Dia mengalami pencobaan di padang gurun. Kita melihat dengan jelas bahwa semua godaan si Iblis dipatahkan dengan ketaatanNya kepada Firman. Menghadapi godaan tersebut, Dia mengutip Perjanjian Lama dengan memulai dengan mengatakan: "Ada tertulis…" (Matius 4:4,7,10).

Ada orang yang menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa Tuhan Yesus melawan Iblis dengan mengutip Firman, dalam arti Firman tersebut ditujukan buat si Iblis. Jika demikian, sepertinya, Iblis takut terhadap Firman. Kami tidak setuju dengan penafsiran seperti ini. Kami lebih setuju dengan pandangan yang mengatakan bahwa Iblis tidak memerlukan Firman Tuhan. Karena itu, Dia mengutip itu bukan buat si Iblis, tetapi buat diriNya sendiri, untuk ditaatiNya. Sungguh, di sini kita melihat teladan yang sempurna sedang diperlihatkan oleh Tuhan Yesus kepada seluruh umatNya, termasuk kepada kita semua.

Di tengah-tengah pergumulan yang sangat berat, di mana Dia dicobai berkali-kali, Tuhan Yesus berkali-kali pula mengingatkan diriNya akan Firman Allah: "Ada tertulis…" Menarik untuk diperhatikan bahwa pada peristiwa tersebut di atas, Tuhan Yesus mengutip dari Kitab Ulangan. 

Menurut kelompok tertentu, Kitab Ulangan bukanlah Firman Allah, tetapi hanyalah kata-kata Musa. Memang ada benarnya pendapat tersebut, karena memang hal itu dikatakan oleh Musa (lihat Ulangan 8:1). Namun penting untuk kita perhatikan bahwa istilah "Musa berkata" dan "Allah berfirman" sering saling ditukarkan. Jadi hal itu dilihat identik. Karena Musa berkata atas pimpinan dan kontrol Allah. Sebagai contoh, mari kita lihat kedua ayat berikut:

"Sesungguhnya kamu harus berpegang pada ketetapanKu dan peraturanKu. Orang yang melakukannya akan hidup karenanya; Akulah Tuhan. (Imamat 18:5).

"Sebab Musa menulis tentang kebenaran karena hukum Taurat. Orang yang melakukannya akan hidup karenanya" (Ro.10:5).

Contoh lain adalah ketika ahli Taurat dan orang-orang Farisi meminta tanda kepada Yesus. Yesus menegaskan:

"… tetapi kepada mereka tidak akan diberikan tanda selain tanda nabi Yunus. Sebab seperti Yunus tinggal di dalam perut ikan tiga hari tiga malam, demikian juga Anak Manusia akan tinggal dalam rahim bumi tiga hari tiga malam" (Mat.12:39b-40).

Kutipan di atas juga menarik, karena banyak orang menolak kisah nabi Yunus tersebut. Menurut mereka, peristiwa yang diceritakan Alkitab tersebut, "Yunus dalam perut ikan" sungguh tidak masuk akal. Itu adalah dongeng. Hal itu hanya cocok untuk cerita anak-anak sekolah minggu. Sedangkan untuk orang dewasa, yang benar, adalah "ikan dalam perut Yunus". Namun demikian, Tuhan Yesus menerima kebenaran kisah tersebut dan menjadikannya gambaran diriNya yang kelak juga akan ada di 'perut' bumi, dan bangkit pada hari ketiga.

Selanjutnya, jika kita melihat kisah dua orang murid Tuhan Yesus yang sedang berjalan menuju kota Emaus, di sana Tuhan Yesus bersabda: "…harus digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi dan kitab Mazmur" (Lukas 24:44). Hal itu dinyatakanNya untuk menjelaskan penderitaan dan kematianNya, di mana Dia dengan taat menjalaninya demi menggenapkannya.

Dengan tepat Prof. Donald Bloesch menulis:

"The absolute authority of faith, the living Christ Himself, has so bound Himself to the Sacred Scripture". (Penguasa mutlak iman itu, yaitu Kristus yang hidup itu sendiri, telah begitu mengikatkan diriNya kepada Kitab Suci).

Jika Tuhan Yesus telah memberi sikap yang sedemikian hormat dan taat kepada Alkitab, selayaknyalah kita juga mengikutinya. Ketika Tuhan Yesus menerimanya, siapakah kita yang berani menolaknya? Ketika Tuhan Yesus sedemikian menghormati Alkitab, siapakah kita sehingga berani meragukan dan merendahkannya?

Ketiga, superioritas dan keistimewaan ajaran Alkitab.

Sebenarnya dapat dikatakan bahwa isi sebuah kitab menggambarkan penulis (sumber kitab) tersebut. Karena itu, tulisan anak Sekolah Dasar dapat dibedakan dari tulisan mahasiswa di tingkat universitas. Hal itu cukup dilakukan dengan membaca isi tulisan tersebut, tanpa terlebih dahulu bertanya siapa penulis buku tersebut. 

Demikian juga, jika Alkitab adalah Firman Allah, maka isinya akan menunjukkan hal tersebut. Dan memang demikian halnya yang kita temukan, ajaran Alkitab menunjukkan nilai superior dan bersifat istimewa jika dibandingkan dengan kitab-kitab lainnya, termasuk tulisan para filsuf sekalipun. Jika kita simak baik-baik, ajaran Alkitab bersifat mutlak dan universal, tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. Contoh, ajaran Alkitab tentang kasih, kebenaran, dosa, penciptaan, dll. 

Mengenai kasih, Alkitab menguraikan: "Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong dan ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu" (I Korintus 13:4-7).

Jika kita perhatikan dan renungkan makna kasih sebagaimana dituliskan di atas, kita pasti kagum. Adakah penjelasan dan penguraian kasih yang sedemikian dalam dan lengkap seperti penjelasan Alkitab tersebut diatas? Lalu, bicara tentang kebenaran dan dosa, kedua hal ini seringkali sulit didefenisikan. Itulah sebabnya, masing-masing orang dapat memberi pengertiannya sendiri tentang makna kata "kebenaran" dan "dosa". Karena itu, pengertiannya bisa menjadi sangat relatif. 

Namun demikian, Alkitab dengan tegas dan jelas berbicara tentang kedua hal tersebut. Itulah sebabnya, ketika Daud, yaitu seorang raja yang begitu berkuasa penuh dizamannya, berzinah dengan Batsyeba, dia ditegur oleh nabi Natan (baca 2 Samuel 12:1-15). Raja Daud tidak bisa lari dari kebenaran Allah. Dia tidak bisa memutar balikkan kebenaran tersebut, betapa hebatpun kuasanya. Maka ketika dia diperhadapkan kepada kebenaran mutlak seperti itu, dia bertobat dan berkata: "Aku sudah berdosa kepada Tuhan" (2 Samuel 12:13). 

Dalam pengakuan dosanya, raja Daud berteriak: "Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kau anggap jahat" (Mazmur 51:6). Jadi, dari seruan Daud tersebut dapat kita lihat dengan jelas ukuran dosa, yaitu apa yang Allah anggap jahat. Allah merupakan ukuran dan standard kebenaran. Sikap Daud tersebut juga menjadi contoh yang baik bagi umat yang percaya. Sekalipun dia raja yang sangat berkuasa, namun dia tetap menempatkan Firman Allah di atas kekuasaannya. Karena itu, dia tunduk terhadap Firman yang disampaikan oleh hambaNya.

Bicara soal moral, Alkitab juga memberikan prinsip moral yang sangat agung: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka" (Matius 7:12). Ada sebagian orang yang menilai Alkitab tidak ilmiah, dan karena itu, menurut mereka ini, hanya orang bodohlah yang dapat menerima dan mempercayainya. 

Namun kami melihat bahwa tuduhan tersebut keterlaluan dan sungguh menyangkali fakta yang ada. Pada kenyataannya, banyak ilmuwan dan orang yang sangat genius yang pernah hidup di bumi ini menaruh imannya pada Alkitab. Dengan sangat mudah kita dapat menyebut nama-nama besar yang sangat setia kepada Alkitab. 

Sebagai contoh, Prof. C.S. Lewis (1898-1963), seorang yang sangat cerdas dan guru besar dari Universitas Oxford menegaskan bahwa tidak ada dokumen yang paling dapat dipercaya dan paling lengkap dibandingkan dengan Alkitab. Contoh lainnya adalah Prof. W.F. Albright seorang ahli arkeologi menulis: "Tidak diragukan lagi bahwa arkeologi telah meneguhkan fakta-fakta sejarah yang penting dalam tradisi Perjanjian Lama". 

Demikian juga dengan Prof. Miller Barrow dari Universitas Yale menulis: "Beberapa ahli purbakala makin lebih menghargai Alkitab karena pengalaman penggalian di Palestina dan ilmu purbakala membantah pandangan kritik modern dalam banyak masalah yang pernah dikemukakan"" Di pihak lain, Nelson Glueck menulis: "Tidak ada satupun penemuan purbakala yang bertentangan dengan keterangan-keterangan dalam Alkitab". Menarik sekali mengamati penegasan dan kesimpulan dari Arkeolog-Arkeolog tersebut di atas. Kelihatannya, ketika sebagian Teolog-Teolog meragukan Alkitab, Allah telah membangkitkan Arkeolog-arkeolog untuk menyatakan kebenaran Alkitab tersebut. 

Sebenarnya, kalau kita mau jujur dan terbuka terhadap Alkitab, kita dapat menemukan pernyataan-pernyataan Alkitab yang sejalan dengan science. Sebagai contoh, kita membaca bahwa Alkitab mengatakan, bumi ini bulat (Yesaya 40:21-22); bumi berputar (istilah ini tidak muncul, tetapi pengertian adanya kondisi siang hari di satu tempat dan pada saat yang sama, malam hari di tempat lain, dapat dijelaskan dengan adanya perputaran bumi, baca Lukas 17:24, 34-35). Alkitab juga menjelaskan bahwa bintang tidak terhitung banyaknya (Kejadian 15:5). Semua pernyataan di atas, sejalan dengan ilmu pengetahuan.

Keempat, kuasa Alkitab yang mengubah hidup

Adalah merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa berjuta-juta manusia yang hidup dalam dosa, frustrasi, tanpa pengharapan dan ingin bunuh diri, mengalami perubahan hidup setelah mereka membaca dan merenungkan Alkitab. Ada satu cerita yang menarik ditulis oleh Dr. J.M. Boice. Pada satu pertemuan dari kelompok Bala Keselamatan (Salvation Army) di tempat terbuka, Dr H.A. 

Ironside diundang untuk bersaksi di hadapan kira-kira 60 orang. Setelah dia menyaksikan kuasa Kristus melalui firmanNya yang telah mengubah hidupnya, seorang yang berpakaian rapi tiba-tiba maju ke depan dan menyodorkan kartu nama yg di baliknya ada tulisan "Tuan, saya mau menantang Anda untuk berdebat dengan saya mengenai Agnostisme versus Kekristenan di aula Academi Science, hari Minggu depan sore, jam 16.00". 

Tawaran tersebut diterima oleh Dr Ironside dengan satu persyaratan, yaitu dia harus membawa sertanya pada pertemuan tersebut seorang pria dan seorang perempuan, yang dahulu hidupnya rusak. Tetapi, setelah mendengar Agnostisisme tersebut, hidup mereka diubahkan menjadi orang baik dan setia mengikuti ajaran tersebut. Sementara itu, Ironside berjanji akan membawa 100 orang menyertainya dan menjadi saksi hidup di mana hidup mereka dahulu rusak, tetapi berubah setelah mendengar Firman Tuhan.

Kemudian Ironside menoleh ke arah pimpinan Bala Keselamatan tersebut dan bertanya: "Captain, have you any who could go with me to such a meeting?". Pemimpin tersebut menjawab: "We can give you forty at least just from this one corps". Setelah itu, Ironside berkata kepada orang tersebut diatas: "Now Mr…., I will have not difficulty in picking up sixty others from the various missions, Gospel halls, Evangelical Churches of the city… I will come marching in at the head of such a procession with the band playing 'Onward, Christian Soldier', and I will be ready for the debate". (Sekarang Tuan…, saya tidak akan memiliki kesulitan untuk mengumpulkan 60 orang lain lagi dari berbagai missi penginjilan, kebaktian penginjilan, dari gereja-gereja Injili di kota ini… kami akan datang berbaris diiringi musik band, dengan nyanyian, "Laskar Kristen Maju". Saya siap untuk perdebatan tersebut).

Apa yang terjadi kemudian? Ternyata debat tersebut tidak jadi terlaksana. Karena orang Agnostik tersebut tidak datang. Mengapa? Diduga karena dia mengalami kesulitan untuk membawa orang sertanya yang memenuhi persyaratan di atas. Artinya, sekalipun faham Agnostiknya tersebut dianggap hebat, namun pada kenyataannya, tidak ada orang yang mengalami perubahan hidup dari keadaan rusak menjadi baik setelah mendengar dan mengikuti faham tersebut. 

Sebaliknya yang terjadi dengan Injil. Allah telah merubah hidup berjuta-juta orang termasuk bapak gereja, Augustinus dan Reformator besar M. Luther. Ayat pertobatan Augustinus, yang pertama sekali sungguh mengubah hidupnya adalah: "Hari sudah jauh malam, telah hampir siang. Sebab itu marilah kita menanggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan mengenakan perlengkapan senjata terang! (Roma 13:12). 

Setelah membaca ayat tersebut, dia bersaksi bahwa Allah memberi kuasa dalam hidupnya untuk meninggalkan hidup lamanya yang rusak. Demikian juga dengan tokoh reformasi Martin Luther, dia mengalami peristiwa khusus dalam hidupnya. Atau meminjam kalimat yang digunakannya: "surga terbuka untukku pada saat membaca ayat itu. Ayat yang dia baca adalah: "Sebab aku tidak malu pada Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yg percaya...Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: 'orang benar akan hidup oleh iman' " (Roma 1:16-17))

Dengan melihat contoh-contoh di atas, maka semakin jelaslah kebenaran Alkitab yang mengatakan:

"Sebab Firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pemikiran hati kita". (Ibrani 4:12). "Bukankah FirmanKu seperti api, demikianlah Firman Tuhan, dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu" (Jeremia 23:29; baca juga Jeremia 20:7-9).

Semoga kita semua juga mengalami kuasa firman Tuhan tersebut dalam diri dan kehidupan kita sehari-hari.

Kelima, kesatuannya yang ajaib

Bagaimanakah sikap kita terhadap Alkitab yang sedang kita baca tersebut? Setiap kita membaca buku tentu dipengaruhi beberapa hal, antara lain: siapa penulisnya, penerbitnya, dan bagaimana proses pembuatan buku tersebut. Bicara soal faktor-faktor tersebut di atas, maka jelaslah Alkitab melampaui semua buku. Tidak ada yang dapat disejajarkan dengan Alkitab. Karena Alkitab yang terdiri dari 66 kitab itu ditulis oleh 40 orang penulis dari latar belakang yang berbeda. 

Ada dari latar belakang 'jenderal' seperti Musa, gembala seperti Amos dari Tekoa, raja seperti Daud, nabi seperti Yesaya dan Yeremia, nelayan seperti Petrus, dokter seperti Lukas, orang pemerintah seperti Matius, filsuf seperti Paulus. Selain itu, Alkitab juga ditulis dalam kurun waktu yang sangat lama yaitu kira-kira 1400 tahun! Proses penulisan kitab-kitab tersebut sampai akhirnya dikanonkan sungguh merupakan keajaiban juga. 

Hal lain yang menarik untuk diperhatikan adalah bagaimana Penulis-penulis tersebut dapat saling melengkapi dalam tulisannya. Padahal, mereka tidak pernah bertemu dan merundingkan batasan-batasan tulisan mereka. Bahkan ada yang berani menuliskan sesuatu yang bersifat nubuatan dan yang secara logika tidak masuk akal, meskipun dia tidak sempat menyaksikan penggenapan tulisan tersebut. Sebagai contoh, nabi Yesaya menuliskan seorang perempuan muda akan mengandung (Yesaya 7:14b). 

Dalam bahasa Yunani, kata "perempuan muda" adalah parthenos, yang juga berlaku untuk seorang dara (Inggris: virgin). Nubuatan tersebut baru digenapi jauh sesudah Yesaya meninggal dunia, yaitu kira-kira 700 tahun kemudian, di mana ketika Maria mengandung dari Roh Kudus, Matius menulis: "Supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi: 'Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung…' (Matius 1:23)'" 

Barangkali ada yang bertanya: "Mengapa Alkitab tersebut dapat saling melengkapi dan secara berkesinambungan memberitakan satu berita mulai dari penciptaan hingga datangnya Kristus yang kedua kalinya? Adakah pribadi yang mengatur mereka ini? Jawabnya tentu, ada. Sebagaimana disaksikan oleh rasul Petrus:

"Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah" (2 Petrus 1:20-21).

Keenam, kemurniannya.

Sekiranya ada orang yang masih ragu terhadap Alkitab, namun mau membaca Alkitab dengan hati yang terbuka dan sungguh-sungguh, maka kami akan bertanya kepadanya tentang kemungkinan penulis Alkitab tersebut. Jika disimak dengan baik, maka kita melihat Alkitab menelanjangi kelemahan manusia berdosa, tanpa kecuali. Termasuk di sini adalah kelemahan para nabi (Ini juga keunikan Alkitab dibandingkan dengan kitab suci lainnya). Itulah sebabnya, nabi Musa, pemimpin besar Israel itu dicatat dalam Alkitab bahwa dia pernah membunuh. 

Padahal, ketika Musa menerima kesepuluh hukum Taurat dari Allah, salah satu di antaranya adalah perintah untuk jangan membunuh (hukum ke-6). Dari sini kita dapat membayangkan kesulitan yang dialami Musa ketika menyampaikan Taurat tersebut kepada umat Israel, di mana umat Israel telah mengetahui sebelumnya akan peristiwa pembunuhan tersebut.

Kemudian, nabi Abraham yang disebut dengan istilah bapak orang beriman merupakan gelar yang sangat tinggi dan mulia yang hanya diberikan kepada Abraham namun Alkitab mencatat kelemahan Abraham ketika dia berkata kepada istrinya: "Katakanlah bahwa engkau adikku, supaya aku diperlakukan mereka (orang-orang Mesir) dengan baik… dan aku dibiarkan hidup" (Kej.12:13) Hal seperti ini dilakukannya lagi ketika dia bertemu Abimelekh (lihat Kej.20).

Hal yang sama juga terjadi kepada Daud. Dia adalah nenek moyang orang Yahudi. Mereka bangga serta menjunjung tinggi leluhur mereka. Meskipun demikian, Alkitab tetap 'mempermalukan' Daud dan orang-orang Yahudi, keturunannya, yaitu dengan mencatat penyelewengannya (perselingkuhannya) dengan Batsyeba. Daud kemudian ditegur oleh Nabi Natan (lihat Mazmur 51 dan II Sam.12:1-15). 

Sebenarnya masih banyak contoh lain lagi yang dapat kita catat di sini yang menunjukkan dosa-dosa tokoh-tokoh rohaniwan dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Mengapa demikian? Siapakah pengarang Alkitab sesungguhnya? Setan kah? Manusia berdosakah? Apakah itu ditulis semata-mata karena kehendak dan keinginan Nabi-nabi? Jika sekiranya Penulis bebas menulis menurut keinginannya, tentulah mereka akan menyembunyikan cacat-cacat mereka tersebut. Maka jawaban terhadap pernyataan di atas adalah, sumber Alkitab tidak lain adalah Allah, yang memerintahkan Penulis-penulis untuk menuliskannya.

Ketujuh, ketepatan nubuat dan nilai nubuat yang tiada tara. 

Bicara tentang nubuatan, memang Alkitab menubuatkan hal-hal yang luar biasa yang membuat kita kagum dan bersyukur kepada Allah atas nubuatan tersebut. Untuk itu, marilah kita melihat tiga nubuatan besar berikut: 

Pertama, tentang terbuangnya bangsa Israel ke Babel dan dilepaskan kembali setelah 70 tahun. Hal ini dapat kita baca dengan jelas dalam kitab Dan.9:1-2; Jer.25. Sebenarnya, ketika Alkitab menubuatkan bahwa bangsa Israel akan dikalahkan dan dibuang ke negeri asing, hal itu hampir mustahil terjadi. Karena ketika nubuatan tersebut diberikan, Israel justru sedang begitu kuat dan berkuasa. Mereka malah menaklukkan bangsa bangsa lain di sekitarnya. Namun Allah telah menyatakan kepada para Nabi apa yang akan terjadi pada bangsa Israel: bahwa Allah akan menghukum mereka akibat dosa-dosa mereka. Hal itu kemudian digenapi dalam sejarah.

Kedua, tentang tersebarnya orang-orang Yahudi ke berbagai penjuru dunia. Kita dapat membaca peristiwa ini dalam kitab Ulangan 28, Hosea 9, Jer.24, sedangkan nubuatan bahwa mereka akan kembali ke tanah mereka di Israel dapat kita baca pada Yehezkiel 36 dan 37. 

Ketika Alkitab menubuatkan bahwa orang-orang Yahudi yang tercerai berai ke seluruh penjuru dunia itu akan kembali bersatu, hal itupun merupakan keajaiban Allah juga. Orang bertanya: "Bagaimanakah hal itu mungkin terjadi? Alkitab telah melakukan kesalahan…" Tetapi, sejarah kembali membuktikan bahwa Alkitab sungguh benar. Karena ternyata benar, secara ajaib, orang-orang Yahudi tersebut kembali ke negeri asalnya, ketika mereka memprolamirkan kemerdekaannya.

Ketiga, nubuat tentang Tuhan Yesus. Alkitab juga mencatat hal yang luar biasa tentang Tuhan Yesus. Belum pernah ada satu buku yang mencatat hidup seseorang sedemikian lengkap sebelum orang tersebut dilahirkan kedalam dunia. Kita dapat mencatat buku tentang biografi atau kisah hidup seseorang. Tetapi hal itu dilakukan setelah dia lahir dan menjalani hidupnya. 

Tetapi Alkitab mencatat siapa dan bagaimana Tuhan Yesus justru sebelum Dia lahir ke dalam dunia. Alkitab mencatat kota kelahiranNya yaitu di sebuah kota kecil di Betlehem (Mikha 5:1), lahir dari seorang perempuan muda, yaitu perawan Maria (Yesaya 7:14). Tujuan hidupNya juga dicatat secara jelas yaitu untuk menghancurkan pekerjaan si Iblis (Kejadian 3:15). 

Namun demikian, dalam hidupNya, Dia akan banyak menderita bahkan mati secara memalukan (Yesaya 52:13-53:12). Tetapi Alkitab juga mencatat bahwa Tuhan Yesus akan mengakhiri hidupNya dengan penuh kemenangan dan kemuliaan, yaitu melalui kebangkitan dan kenaikanNya ke Sorga serta kedatanganNyakembali ke dalam dunia (Baca Maz.22-24).

Kedelapan, sifat universalnya

Apa yang disampaikan dan diajarkan oleh Alkitab melampaui batasan-batasan suku, kaum, bahasa dan bangsa. Oleh karena itu, isi Alkitab tidak pernah tidak cocok dengan suku atau bangsa tertentu. Mengapa? Karena Alkitab adalah Firman Allah yang melampaui segala batasan waktu dan tradisi manusia. Kita setuju jika seorang mengatakan bahwa Alkitab itu adalah handbooknya orang berdosa. Karena itu ajaran Alkitab selalu relevan dengan manusia, di mana manusia sudah berdosa dan membutuhkan berita pengampunan dosa. Itulah sebabnya, manusia di segala abad dan tempat, yang sungguh-sungguh mencintai dan membaca Alkitab telah beroleh banyak nasehat, pengajaran, penghiburan serta berkat yang melimpah.

Kesembilan, ketahanannya terhadap segala serangan

Marilah kita renungkan kenyataan ini: Alkitab adalah satu-satunya kitab yang paling banyak diserang dan dikritik. Alkitab juga adalah satu-satunya kitab yang paling terbuka untuk dikritik, karena ditulis dalam berbagai bahasa, di mana telah diterjemahkan ke lebih dari 1700 bahasa. Tetapi apa yang terjadi? Penyerang-penyerang Alkitab meninggal dan berlalu, namun Alkitab yang diserang tersebut tetap bertahan hingga sekarang dan menjadi berkat bagi berjuta-juta manusia yang mau terbuka dan sunguh-sungguh mau mencari kebenaran.

Konon katanya, Voltaire, seorang gembong rasionalist abad ke-18 pernah menghina Alkitab dengan mengatakan bahwa Alkitab (yang ketika itu ada di tangannya) akan segera lenyap tidak sampai 50 tahun lagi. Setelah mengatakan hal itu, dia melemparkan Alkitab tersebut dan dengan sangat berani mengatakan: "Tidak lama lagi, kitab ini hanya akan ditemukan di Museum". Pada kenyataannya, Voltaire yang di 'museumkan' alias meninggal dunia tidak sampai 50 tahun kemudian! Menarik sekali mendengar bahwa kemudian tempat tinggal Voltaire tersebut dibeli oleh orang Kristen dan dijadikan tempat percetakan Alkitab. Tidakkah hal ini juga dapat dikatakan suatu peristiwa yang ajaib?

Bagaimanakah kita menjelaskan semua hal di atas? Mengapa Alkitab dapat sedemikian kokoh dan tegar dan tetap 'berdiri' di tengah-tengah zaman yang terus memusuhinya? Hal itu, sebenarnya sudah ditegaskan oleh Tuhan Yesus, ketika Dia bersabda: "Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataanKu tidak akan berlalu" (Matius 24:35; baca juga Matius 5:18). 

Sepuluh, pengalaman pribadi

Setelah melihat semua hal tersebut di atas, sebenarnya kita masih dapat melihat dari berbagai sisi, sebagai internal witness (kesaksian internal) yang menunjukkan bahwa Alkitab sungguh menyatakan dirinya Firman Allah. Namun, salah satu hal yang sangat penting adalah pengalaman Anda sendiri. Sesunguhnya, pengalaman adalah guru yang sangat dapat dipercaya, meskipun tentunya kita tidak menjadikan pengalaman di atas kebenaran Alkitab. 

Tetapi, pengalaman tersebut dapat meneguhkannya. Apakah Anda memiliki pengalaman pribadi yang sungguh-sungguh nyata yang meneguhkan kebenaran dari apa yang sedang kita bahas, bahwa Alkitab adalah Firman Allah? Kalau ada, terpujilah nama Tuhan yang telah memberikan pengalaman itu, dan marilah kita dengan tekun dan gigih membagikan hal itu kepada orang lain untuk meneguhkan iman mereka. Tetapi, andaikata Anda belum pernah mengalami kuasa Alkitab sebagaimana dialami oleh orang-orang tersebut di atas, mohonlah rahmatNya agar hal itu juga Anda alami.

Pengilhaman Alkitab

Alkitab adalah Firman Allah, demikian pembahasan kita pada bab sebelumnya. Mengapa? Sebagaimana telah kita sudah lihat di atas, karena Alkitab mengatakan dirinya Firman Allah, karena Alkitab itu sungguh diilhami oleh Allah. Ini jugalah yang menjadi keyakinan kaum Injili. Tetapi apakah artinya Alkitab diilhami Allah? Bagaimanakah hal itu terjadi? Sejauh manakah Alkitab diilhami oleh Allah? Jikalau Alkitab sungguh diilhami Allah, apakah akibat pengilhaman tersebut? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan kita bahas di bawah ini.

1. Arti Pengilhaman (Inspirasi)

Ada dua ayat penting dan terkenal yang berhubungan dengan pengilhaman ini. Ayat yang pertama adalah: "Segala tulisan diilhami Allah, memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran" (II Tim.3:16). Sedangkan ayat yang kedua adalah: "Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah" (II Petrus 1:20-21).

Untuk mengerti arti kata pengilhaman (dalam bahasa Inggris adalah inspiration; Theopneustos dalam bahasa Yunani), marilah kita melihat pandangan beberapa tokoh besar.

B.B. Warfield, salah seorang teolog besar abad ke-20, yang memiliki pandangan yang tinggi (sikap hormat) terhadap nilai inspirasi Alkitab, menegaskan:

"The Greek term has, however, nothing to say of inspiring or of inspiration: it speaks only of a 'spring' or 'spiration'. What it says of Scripture is, not that it is 'breathed into by by God' or is the product of the Divine 'in breathing' into its human authors, but that it is breathed out by God…the product of the creative breath of God".

Karena itu, Warfield menegaskan bahwa apa yang dinyatakan oleh ayat yang sangat penting ini adalah bahwa Alkitab adalah hasil karya Allah. Alkitab itu bersumber dari Allah, di mana Allah bukan sekedar melakukan tindakan pengilhaman kepada diri Penulis Alkitab, lalu Penulis dengan bebas menulis apa yang diilhamkan tersebut. Akan tetapi, Allah sendiri melalui dan dari diri Penulis mengatakan kebenaranNya. Dalam hal ini Warfield mengakui bahwa dalam ayat di atas tidak ada petunjuk bagaimana Allah beroperasi menghasilkan Alkitab tersebut.

Demikian juga, J.I. Packer, seorang guru besar di Regent College, Kanada, memiliki pandangan bahwa 'inspired by God' sebagai 'breathed out from God". Untuk memberi ide utama istilah ini, Packer mensejajarkannya dengan kitab Mazmur 33:6, yang berbunyi: "Oleh Firman Tuhan langit telah dijadikan, oleh nafas dari mulutNya segala tentaranya". Kemudian Packer menulis:

"… the thought here is that, just as God made the host of heavens by the breath of his mouth, through His own creative fiat, so we should regard the Scriptures as the product of a similar creative fiat". (Ide yang terkandung di sini adalah seperti Allah menjadikan segala tentara Sorga oleh nafas mulutNya, oleh kuasa penciptaanNya, demikian juga kita melihat Kitab Suci sebagai hasil dari ciptaan Allah).

Di pihak lain, I.H. Marshall, guru besar bidang Perjanjian Baru di Universitas Aberdeen, setelah memberikan 7 macam pandangan tentang arti inspirasi, menyimpulkan bahwa: "The doctrine of inspiration is a declaration that the Scriptures have their origin in God; it is not and cannot be an explanation of how God brought them into being". (Ajaran pengilhaman adalah suatu pernyataan bahwa Alkitab bersumber dari Allah. Itu bukan dan tidak dapat memberi penjelasan bagaimana Allah menjadikan Alkitab). 

Sementara itu, Millard J. Erickson membedakan inspirasi dengan wahyu. Menurut Erickson, inspirasi adalah pengaruh supernatural dari Roh Kudus terhadap Penulis-penulis Alkitab yang menjadikan tulisan mereka "an accurate record of the revelation or which resulted in what they wrote actually being the Word of God". (Sebuah catatan yang tepat dari wahyu atau apa yang dihasilkan dari tulisan mereka sesungguhnya adalah Firman Allah". 

Selanjutnya, dia melihat wahyu sebagai kebenaran yang disingkapkan Allah kepada manusia (Penulis-penulis), sedangkan inspirasi adalah tindakan Penulis-penulis tersebut untuk mengkomunikasikan wahyu tersebut di atas kepada orang-orang lain dalam bentuk tulisan. Erickson menulis: "Revelation might be thought of as a vertical action, and inspiration as a horizontal matter". Karena itu, menurut Erickson, ada wahyu tanpa inspirasi dan ada juga inspirasi tanpa wahyu. Kami setuju dengan Erickson bahwa dalam seluruh Alkitab ada pernyataan Alkitab tersebut memiliki sumber yang bersifat ilahi atau "the actual speech of the Lord" (sabda Tuhan yang sesungguhnya).

Sebagaimana telah kita bahas di atas, Erickson menunjuk II Timotius 3:16 dan II Petrus 1:20-21 sebagai contoh bagaimana Penulis-penulis Alkitab Perjanjian Baru melihat Alkitab Perjanjian Lama sungguh-sungguh bersumber dari Allah. 

Disamping itu, dia juga menunjuk Kis.1:16, yang berbunyi: "Hai saudara-saudara, haruslah genap nats Kitab Suci, yang disampaikan Roh Kudus dengan perantaraan Daud tentang Yudas…" Ayat ini adalah merupakan kutipan dari Mazmur 69:25 dan Mazmur 109:8. Di sini rasul Petrus tidak hanya melihat kata-kata Daud bersifat otoritatif (memiliki kuasa) tetapi bahkan melihat ucapan Daud tersebut sebagai sabda Allah yang sesungguhnya, di mana rasul Petrus melihat hal itu sebagai "… disampaikan Roh Kudus dengan perantaraan Daud. (Kis.1:16b; lihat juga Kisah Para Rasul 3:18,21; 4;25).

Selanjutnya, mari kita lihat apa artinya "Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat…" (II Timotius 3:16). Dalam bahasa Yunani kalimat tersebut berbunyi: Pasa graphe Theopneustos kai ophelimos…" Ada dua cara menterjemahkan kalimat dalam bahasa Yunani tersebut: -Segala tulisan diilhamkan Allah juga bermanfaat; atau, -Segala tulisan diilhamkan Allah bermanfaat…

Apa bedanya penterjemahan yang mengandung arti yang hampir sama tersebut di atas? Bila yang pertama yang diambil maka penekanan kalimat ada pada fungsi atau bermanfaatnya tulisan tersebut. Tetapi bila yang kedua, maka penekanan kalimat ada pada peneguhan pengilhaman atau inspirasi seluruh tulisan (Alkitab Perjanjian Lama). 

Sebagai catatan di sini, cara Lembaga Alkitab Indonesia menterjemahkan dapat memberi kemungkinan yang lebih membahayakan, yaitu dengan adanya kata 'yang'; yaitu "segala tulisan yang diilhamkan Allah". Kata ini dapat memberi pengertian bahwa ada tulisan yang tidak diilhamkan Allah. Memang beberapa ahli theologia berpandangan demikian.

Cara manakah penterjemahan yang paling tepat? Erickson benar ketika dia menyimpulkan bahwa dari konteksnya kita tidak dapat menyimpulkan apa yang sesungguhnya yang mau disampaikan oleh rasul Paulus. Di pihak lain, penterjemahan yang memberi peluang untuk mengerti bahwa ada tulisan yang tidak diilhamkan Allah telah ditolak dengan tegas oleh Prof. Marshall.

Dia menulis,

"… This suggestion can be confidently rejected, since no New Testament writer would have conceived of the possibility of a book being classified as Scripture and yet as not being inspired by God". (Pandangan yang mengatakan bahwa ada tulisan yang tidak diilhami Allah harus ditolak dengan tegas. Karena tidak ada Penulis Perjanjian Baru yang berpandangan adanya kitab yang dapat dimasukkan dalam kanon Kitab Suci tetapi sesungguhnya kitab itu tidak diilhami oleh Allah).

Karena itu, meskipun konteks tidak memastikan cara penterjemahan yang harus diambil (apa yang sesungguhnya maksud rasul Paulus), tetapi dari sikap Penulis-penulis Perjanjian Baru dalam memperlakukan Perjanjian Lama, dapat kita simpulkan bahwa Alkitab Perjanjian Lama, seluruhnya adalah diilhami Allah. Hal itulah yang kita lihat dari II Pet.1:19-21; Yoh.10:34-35; Lukas 24:44-45.

Sekarang pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, dapatkah pengertian tersebut di atas juga diterapkan untuk Alkitab Perjanjian Baru? Jawaban kita, dapat. Sebagaimana Erickson juga menulis: "It should be clear that these New Testament Writers regarded the Scriptures as being extended from the prophetic period to their own time" (Adalah jelas bahwa Penulis-penulis Perjanjian Baru melihat Kitab Suci yaitu mulai dari periode Nabi-nabi Perjanjian Lama sampai ke zaman mereka). 

Sebenarnya, apa yang dikatakan oleh rasul Paulus pada II Tim.3:16 menjadi semakin jelas dari tulisan rasul Petrus pada II Pet.1:19-21. Sebagaimana Warfield menulis: "In that case, what Peter has to say of this 'every prophecy of Scripture' -the exact equivalent …in this case of Paul's 'every Scripture' (II Timotius 3:16) - applies to the whole Scripture in all its parts".

Beberapa Teori Pengilhaman

Pertama-tama perlu ditegaskan di sini, bahwa teori pengilhaman bukanlah merupakan hal yang sederhana. Marilah kita melihat beberapa teori dibawah ini.

Pertama, teori intuisi

Menurut teori ini, pengilhaman adalah semacam penglihatan yang amat tajam. Karena itu, Penulis-penulis dilihat sebagai seniman yang memiliki kemampuan berimajinasi atau mengembangkan perasaannya, sehingga mereka dianggap genius-genius dalam keagamaan.

Kedua, teori iluminasi (Pencerahan)

Teori ini mengakui keterlibatan Roh Kudus dalam diri Penulis-penulis Alkitab, tetapi keterlibatanNya hanya sebatas meningkatkan kemampuan normal mereka.

Ketiga, teori dinamis

Teori ini menekankan keterlibatan kedua pribadi yaitu Allah dan manusia dalam pengilhaman dan penulisan Alkitab. Roh Kudus dilihat sebagai pengarah ide atau konsep yang akan dituliskan. Tetapi membiarkan Penulis-penulis tersebut sepenuhnya mengembangkan kepribadiannya dalam memilih kata dan cara pengungkapannya.

Keempat, teori verbal

Teori ini menegaskan bahwa Roh Kudus tidak sekedar mengarahkan ide atau konsep sesuatu yang akan ditulis, tetapi melebihi itu, termasuk dalam pemilihan kata-kata. Jadi, keterlibatan Roh Kudus begitu penuh sehingga setiap kata adalah merupakan kata sesungguhnya yang Allah inginkan dalam menuliskan pesan Allah. Namun pandangan ini tidak sama dengan dikte.

Kelima, teori dikte.

Teori ini mengajarkan bahwa Allah sesungguhnya mendiktekan seluruh isi Alkitab kepada para Penulis Alkitab. Jadi bagaikan seorang guru kepada murid-muridnya, di mana guru tersebut mendiktekan kata demi kata yang kemudian dicatat oleh murid-muridnya. Demikianlah Alkitab didiktekan oleh Allah kepada para Penulis.

J.I Packer menegaskan bahwa inspirasi mengambil beberapa bentuk:

Pertama, a dualistic inspiration. 

Di dalam bentuk ini, penerima wahyu tetap dalam keadaan sadar akan perbedaan dirinya sebagai pendengar dan penulis wahyu dengan Allah sebagai Pembicara. Hasil dari komunikasi seperti ini adalah nubuatan nubuatan dalam Perjanjian Lama dan penglihatan-penglihatan yang diwahyukan kepada Daniel dan Yohanes di Pulau Patmos.

Kedua, lyric inspiration

Di sini pengilhaman Allah menyatu dengan proses pembentukan mental dan konsenterasi Penulis. Hasil dari inspirasi ini adalah kitab Mazmur, Amsal dan beberapa kitab Ayub serta beberapa bentuk doa dalam Alkitab.

Ketiga, organic ispiration

Bentuk inspirasi seperti ini menghasilkan kitab-kitab sejarah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, surat-surat rasuli dan kitab-kitab Amsal dan Pengkhotbah.

Dari berbagai teori tersebut di atas, kita melihat betapa tidak sederhananya teori pengilhaman tersebut. Karena itu, kita sulit memastikan pandangan mana yang benar. Kembali kepada apa yang telah ditegaskan oleh Dr. I.H. Marshall di atas, doktrin pengilhaman tidaklah menjelaskan bagaimana sesungguhnya Allah menjadikan Alkitab tersebut. Melihat berbagai bentuk teks Alkitab, barangkali J.I. Packer lebih mendekati kebenaran.

Walaupun kita tidak tahu secara tepat tentang proses pengilhaman tersebut, satu hal dapat dipastikan yaitu bahwa Alkitab tersebut bersumber dari Allah. Alkitab tersebut adalah hasil karya Allah yang seharusnya kita syukuri keberadaannya. Karena itu, kita akan membacanya dengan segenap hati serta berambisi untuk mentaatinya dalam hidup sehari-hari.

3. Akibat Pengilhaman

Di atas, kita telah melihat berbagai teori pengilhaman Alkitab. Sesungguhnya sikap dan keyakinan kita terhadap pengilhaman Alkitab tersebut sangat penting. Karena hal itu akan mempengaruhi sikap kita selanjutnya terhadap Alkitab tersebut.

Apa maknanya bahwa Alkitab diilhami Allah? Jika kita sungguh percaya bahwa Alkitab sungguh-sungguh diilhami Allah terlepas dari bentuk atau teori mana yang kita terapkan dari berbagai teori tersebut di atas dan jika kita percaya serta menerima akan keterlibatan Roh Kudus secara penuh mengontrol dan memimpin para Penulis Alkitab, maka kita dapat menyimpulkan hal-hal penting berikut ini:

a. Inspirasi dan kanon

F.F. Bruce menegaskan bahwa selama berabad-abad inspirasi dan kanon Alkitab telah begitu menyatu dalam pemikiran Kristen.

Karena itu, Bruce menulis: "… books are included in the canon, it isbelieved, because they were inspired". (Kitab-kitab dimasukkan ke dalam kanon Alkitab karena dipercayai bahwa kitab-kitab itu diilhami oleh Allah).

Sebenarnya, adanya kenyataan bahwa kitab-kitab Perjanjian Baru kemudian dimasukkan atau digabungkan dengan Alkitab Perjanjian Lama sebagai bagian dari "segala tulisan" (2 Timotius 3:16), secara wajar dapat disimpulkan bahwa kitab-kitab Perjanjian Baru tersebut adalah diilhami oleh Allah.

Bruce juga menegaskan,

"That they were (and are) so inspired is not to be denied". Demikian juga, Packer menulis: "God gave us the New Testament canon, by inspiring the individual books that make it up". (Allah memberikan kepada kita kanon Kitab Suci, dengan mengilhami tiap-tiap Kitab yang membentuk Kitab Suci tersebut).

b. Inspirasi dan kesatuan

Bicara soal kesatuan Alkitab ini, menarik sekali apa yang ditegaskan oleh Karl Barth, bahwa hanya dalam kesatuan inilah kesaksian Alkitab adalah kesaksian dari wahyu Allah. Demikian juga, Millard Erickson menyimpulkan bahwa kesaksian yang menyatu dari Penulis-penulis Alkitab menunjukkan bahwa Alkitab berasal dari Allah. Hal ini menurutnya menunjukkan fakta yang kuat dari adanya keterlibatan Allah mengilhami Alkitab tersebut.

c. Inspirasi dan infallability serta inerrancy

Apa yang dimaksud dengan infallibility dan inerrancy Alkitab? Infallibility berhubungan dengan pesan Alkitab, bahwa Alkitab tidak Akan menyesatkan pembacanya, sedangkan inerrancy menegaskan tentang Ketepatan sumber Alkitab tersebut. Kedua hal tersebut sangat penting. Karena itulah Packer berpendapat bahwa penolakan terhadap tuduhan yang diberikan terhadap Alkitab, yaitu bahwa Alkitab memberi pernyataan-pernyataan yang salah, telah menjadi ciri-ciri kaum Injili. 

Dia menulis, "As soon as you confict Scripture of making the smallest mistakes, you start to abandon both the biblical understanding of biblical inspiration and also the systematic functioning of the Bible as the organ of God's authority, his rightful and effective rule over His people's faith and life". (Segera Anda yakin bahwa Kitab Suci membuat kesalahan-kesalahan terkecil maka Anda akan mulai meninggalkan pandangan Alkitabiah tentang pengilhaman Alkitab serta fungsi Alkitab sebagai alat Allah yang berotoritas, kebenaran dan kuasanya atas iman dan hidup umatNya).

Kami setuju kepada pandangan bahwa inspirasi mencakup infallibility dan inerrancy (Nanti akan kita lihat di akhir artikel ini berbagai macam inerrancy).

Jadi, alasan kita untuk menerima infallibility dan inerrancy Alkitab adalah karena Alkitab diilhami oleh Allah. Martin Luther, sang reformator telah menegaskan ketidakbersalahan Alkitab ketika dia menghubungkan Alkitab dengan bapak-bapak gereja. Dia menegaskan:

"I am ready to trust them, only when they give me evidence for their opinion from Scripture which has never erred". (Saya bersedia mempercayai mereka hanya jika mereka memberikan kepada saya bukti terhadap pendapat mereka dari Kitab Suci, yang tidak pernah bersalah)

d. Inspirasi dan sikap dapat dipercaya

Bagi mereka yang menerima ketidakbersalahan Alkitab, baik dari segi pesannya (infallibility) dan ketepatan sumbernya (inerrancy), otomatis akan menerima sifat Alkitab yang sepenuhnya dapat dipercaya (trustwothiness of the Bible). Mereka bahkan membela sifat ketidakbersalahan Alkitab tersebut agar sifat dapat dipercaya ini dapat ditegakkan.

Menarik sekali mengamati pandangan tsb di atas, yg diberikan oleh para ahli kelas dunia, seperti J.I. Packer, seorang professor dan lulusan dari sebuah universitas terkemuka di dunia, yaitu Universitas Oxford. Dengan demikian kita bisa menegaskan bahwa pandangan yg Injili tsb di atas, tidak dikatakan oleh seorang yg bodoh, yang 'hanya' percaya kepada apa yang dituliskan dalam Alkitab. Di pihak lain, jangan dikira bahwa mereka yang menolak pandangan seperti itu adalah orang pintar. Sebaliknya, cukup banyak orang yang sesungguhnya bodoh dan masih dalam tahap pemula dalam belajar teologia, namun sudah memberikan pandangan yg merendahkan Alkitab.

Kita meyakini bahwa keempat hal tersebut di atas merupakan kebenaran yang sangat penting yang harus kita pegang teguh. Dengan demikian, kita akan semakin menghargai dan mempercayai Alkitab serta berambisi untuk melakukan ajaran dan perintahnya dalam hidup kita. Karena itu, marilah kita dengarkan seruan Rasul Yakobus berikut:

"Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna yaitu hukum yang memerdekakan orang dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya" (Yakobus 1:25).

Infallibility dan Inerrancy Alkitab

Kita telah melihat bahwa infallibility Alkitab berkaitan dengan pesan Alkitab, bahwa Alkitab tidak akan menyesatkan pembacanya, sedangkan inerrancy berkaitan dengan ketepatan sumber Alkitab tersebut. Pada umumnya kaum Injili menerima kedua hal tersebut. Tetapi ada juga yang hanya menerima infallibility Alkitab dan menolak sifat inerrancynya. Ada juga yang menolak keduanya. 

Sebagai contoh, Karl Barth menolak kedua sifat tersebut. Bagi Barth, Alkitab ditulis oleh manusia yang bersifat salah. To err is human, demikian penegasan Barth. Karena itu, tidak terkecuali dengan Penulis-penulis Alkitab, mereka juga tidak luput dari kesalahan ketika menuliskan Alkitab tersebut. Di sisi lain, ada juga yang tidak mau menggunakan kedua istilah tersebut di atas. Mereka memberi istilah lain yaitu the trustworthiness of the Bible (Sifat Alkitab yang layak dipercaya).

Karena menurut kelompok ini, dengan mengatakan Alkitab adalah Firman Allah, sudah cukup dengan mengakuinya sepenuhnya layak dipercaya. Mereka menolak istilah tersebut di atas karena menurut mereka, hal itu berbau ilmiah, sedangkan bahasa Alkitab bukanlah selamanya disampaikan dengan bahasa ilmiah. Karena itu, Alkitab tidak boleh dipaksa menyatakan kebenarannya dengan cara-cara ilmiah. Hal tersebut sama seperti karya sastra yang tidak boleh dibaca atau dimengerti dengan pendekatan matematik.

Telah kita sebutkan di atas bahwa umumnya kaum injili menerima infallibility dan inerrancy Alkitab. Tetapi ada juga kaum injili yang menerima yang pertama dan menolak sifat yang kedua. Mengapa? Karena menurut mereka mengatakan bahwa Alkitab tidak memberi pesan yang menyesatkan, itu pasti dan jelas. Namun, mengatakan bahwa Alkitab tidak bersalah dalam segala hal ditinjau dari segi apapun, termasuk dari hal ilmiah, akan menimbulkan masalah. Karena itu, kelompok yang menerima inerrancy Alkitabpun masih memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah tersebut. Karena itu, kita akan melanjutkan dengan berbagai macam pandangan tentang inerrancy Alkitab.

1. Beberapa Macam Inerrancy

Sebagaimana telah kita ihat di atas, teori pengilhaman Alkitab bukanlah sesuatu yang sederhana. Demikian juga dengan inerrancy. Karena itu, Millard J. Erickson membagi inerrancy menjadi beberapa macam, yaitu:

a. Absolute inerrancy

Kelompok ini percaya bahwa Alkitab sepenuhnya benar dalam segala hal, termasuk dalam hal-hal ilmiah dan sejarah. Jadi kalau Alkitab menulis tentara yang mengikuti Gideon sebanyak 32000 orang (Hak.7:3), maka memang angka tersebut persis demikian.

Sepertinya kelompok ini, percaya bahwa Penulis-penulis Alkitab memang bermaksud untuk menuliskan hal-hal yang berbau ilmiah dan sejarah secara persis. Nampaknya, kelompok ini dalam membela kebenaran dan ketidakbersalahan Alkitab telah melakukan kesalahan, yaitu dengan mencoba mengerti Alkitab dengan kacamata yang berbeda dari Penulis-penulisnya. Apakah memang maksud Penulis Alkitab sampai setepat (sepersis) itu? Apakah pembaca Alkitab pada zaman itu telah menuntut ketepatan seperti itu?

Ada yang berpandangan bahwa istilah dan cara penyampaian Alkitab yang ditulis dalam zaman primitif tidak boleh dimengerti dengan cara kita yang hidup di zaman modern. Bagi kami, sebenarnya permasalahannya bukan saja soal apakah yang satu zaman primitif dan yang lain zaman modern, tetapi soal gaya bahasa. Pada saat inipun kita sering membaca laporan dengan gaya bahasa Alkitab, meskipun kita hidup dalam zaman modern, dimana semuanya ingin diilmiahkan. 

Sebagai contoh, kita misalnya membaca laporan bahwa kebaktian kebangunan rohani di gereja X dihadiri sebanyak 3000 orang tiap malam. Pertanyaan kita adalah, apa artinya angka tersebut? Apakah itu berarti bahwa yang hadir persis 3000 orang, tidak kurang dan tidak lebih? Itukah sesungguhnya yang dimaksud oleh laporan tersebut? Kalau tidak persis demikian, salahkah laporan tersebut? Tentu tidak. Karena yang dimaksud di sana adalah bahwa yang hadir sekitar 3000 orang. Contoh lain lagi, jarak antara Jakarta- Bogor adalah 60 Km. Persiskah 60 Km? Tidak kurang, dan tidak lebih sekian meter dan sekian cm?

b. Full inerrancy

Kelompok ini sama dengan kelompok di atas dalam hal pengakuan bahwa Alkitab sepenuhnya benar, khususnya dalam hal yang menyangkut theologia dan hal-hal rohani. Mereka ini mengakui bahwa sekalipun tujuan utama Penulis-penulis Alkitab bukanlah menyodorkan data-data ilmiah dan sejarah, namun dalam hal inipun Alkitab benar. 

Perbedaan kelompok ini dengan kelompok di atas adalah dalam hal bagaimana mereka mengerti hal-hal yang berkaitan dengan ilmiah dan sejarah. Bagi kelompok ini, hal-hal tersebut bersifat fenomenal, yaitu memberikan gambaran atau perkiraan. Jadi, tidak harus persis demikian, kecuali memang Penulis Alkitab tersebut bermaksud memberikan hal yang persis, bukan perkiraan atau gambaran. Karena itu, kelompok ini mengatakan, "What they teach is essentially correct in the way they teach it".

Nampaknya, pandangan inilah yang dianut oleh banyak ahli dari kaum Injili, termasuk dianut oleh Millard Erickson. Ini jugalah yang dinyatakan oleh beberapa sekolah theologia Injili. Sebagai contoh, Trinity Evangelical Divinity School, Illinois, menulis dalam katalognya:

"We believe the Scriptures, both Old and New Testaments, to be the inspired Word of God, without error in the original writings, the complete revelation of His Will for the salvation of men, and the Divine and final authority for all Christian faith and life. (Kami percaya bahwa Alkitab, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, adalah Firman Allah yang diilhami Allah, tanpa kesalahan dalam naskah-naskah aslinya, wahyu yang sempurna yang menyatakan kehendakNya untuk keselamatan manusia, bersifat ilahi dan merupakan otoritas terakhir bagi seluruh iman dan kehidupan Kristen).

c. Limited inerrancy

Kelompok ini berpendapat bahwa ketidakbersalahan Alkitab adalah yang berkaitan dengan ajaran keselamatan orang berdosa. Bagi mereka ini, Penulis-penulis Alkitab ketika menulis hal-hal yang bersifat ilmiah dan sejarah mencerminkan pengertian mereka waktu itu. Mereka ini tunduk kepada keterbatasan mereka ketika menulis Alkitab. 

Jadi, adanya wahyu dan pengilhaman tidak membuat Penulis-penulis Alkitab melampaui kemampuan normal mereka. Allah tidak mewahyukan hal-hal ilmiah dan sejarah kepada Penulis Alkitab. Jadi mereka memang bisa salah dalam hal-hal itu. Namun tidak boleh dikatakan Alkitab bersalah, karena Alkitab tidak mengajarkan itu. Kelompok ini menegaskan bahwa untuk segala hal yang diajarkan Alkitab, Alkitab sungguh benar.

Pandangan ini nampaknya terlalu menekankan satu sisi dari penulisan Alkitab, yaitu unsur manusianya, dan melupakan unsur ilahinya, yaitu keterlibatan Allah dalam penulisan Alkitab. Kenyataan menunjukkan bahwa ketika kita membaca Alkitab, kita tidak hanya melihat unsur manusianya, meskipun hal itu ada. 

Namun kita juga melihat unsur ilahi di dalamnya. Sebagai contoh, bagaimanakah Yesaya dapat menuliskan bahwa bumi ini bulat (Yesaya 40:22) kalau dia hanya menulis berdasarkan kemampuannya saja? Bagaimanakah rasul Petrus, yang sebenarnya hanya seorang nelayan yang kurang berpendidikan dapat membingungkan manusia dan pemimpin agama di zamannya? Marilah kita perhatikan fakta yang ditulis berikut:

"Ketika sidang itu melihat keberanian Petrus dan Yohanes dan mengetahui bahwa keduanya orang biasa yang tidak terpelajar, heranlah mereka…" (Kis.4:13).

Sebagai catatan, kata "tidak terpelajar" dalam bahasa Yunani adalah agrammatoi kai idiotai. Bagaimanakah kita menjelaskan kenyataan bahwa rasul Petrus adalah seorang "idiotai", namun dapat menulis seperti surat-suratnya, di mana para ahli saat inipun tetap merasa kurang mampu sepenuhnya memahami tulisannya?

d. Inerrancy of purpose

Menurut kelompok ini, Alkitab tidak bersalah dalam arti Alkitab menggenapkan tujuannya. Wahyu yang dinyatakan dalam Alkitab adalah untuk membawa manusia kepada persekutuan dengan Allah. Jadi Alkitab bukan sekedar mengkomunikasikan dalil-dalil kebenaran. Karena itu, dalam hal ini, Alkitab secara effektif telah mencapai tujuannya.

Pandangan ini juga lemah, sebab dalam kenyataannya, tujuan Alkitab tidak hanya membangkitkan emosi dan kemauan manusia agar datang kepada Allah. Alkitab juga memberi pengertian kepada para pembacanya. Dan lagi, bukankah tujuan sangat dipengaruhi juga oleh apa yang dikomunikasikan? Kalau kita meragukan isi dari apa yang dikomunikasikan tersebut, apakah hal itu mencapai tujuannya?

2. Terdapat Kesalahan?

Memang benar, kepercayaan kepada inerrancy Alkitab bukanlah ajaran Alkitab itu sendiri. Keyakinan ini sebenarnya merupakan akibat wajar dari doktrin pengilhaman Alkitab, yaitu bahwa Alkitab itu diilhami oleh Allah. Kita sudah mengatakan di atas bahwa tidak ada penjelasan bagaimana proses pengilhaman itu terjadi. Alkitab hanya mengatakan bahwa "segala tulisan diilhami Allah". Lalu bagaimana dengan fenomena adanya kesalahan dalam Alkitab? 

Bagaimana kita menjelaskan adanya perbedaan keempat Injil? Sebagai contoh adalah Markus 6:8 dan Mat.10:9-10. Menurut Markus, Yesus memerintahkan murid-muridNya untuk membawa tongkat. Tetapi menurut Matius, Yesus melarang mereka untuk membawa tongkat. Lalu bagaimana kita menjelaskan adanya perbedaan angka-angka dalam Alkitab? Sebagai contoh, 2 Samuel 10:18 ada 700 kereta berkuda, sedangkan menurut kitab paralelnya, 1 Tawarikh19:18 ada 7000.

Untuk mengatasi masalah ini theolog-theolog yang setia kepada Alkitab mencoba memberi jalan keluar.

Pertama, pendekatan abstrak.

Pendekatan ini diwakili oleh B.B. Warfield. Dia mengakui terdapat kesulitan dalam Alkitab, di mana dia telah berusaha untuk memecahkan sebagian dari kesulitan tersebut. Namun demikian, dia berpendapat bahwa tidak semua kesulitan dan yang hal dianggap kesalahan tersebut harus dijelaskan. Bagi Warfield, kenyataan bahwa Alkitab diilhami oleh Allah dan sebagai akibat wajarnya adalah ketidakbersalahan Alkitab (inerrancy)- telah cukup bagi kita. Maka adanya kesulitan tersebut tidak boleh melenyapkan ketidakbersalahan Allah.

Kedua, pendekatan harmonis.

Cara ini diwakili oleh Edward J. Young. Kelompok ini juga menerima inerrancy Alkitab berdasarkan keyakinan bahwa Alkitab diilhami oleh Allah. Mereka ini menegaskan bahwa segala kesulitan yang nampak itu dapat dijelaskan. Karena itu, dengan segala cara kelompok ini mengharmoniskan kesulitan-kesulitan tersebut. Segala usaha untuk mengharmoniskan tersebut nampaknya terlalu dipaksakan sehingga menjadi kurang wajar.

Ketiga, pendekatan moderat-harmonis.

Metode ini mengikuti pendekatan harmonis dalam batas-batas tertentu. Segala kesulitan diakui dan dicoba untuk dijelaskan sedapat mungkin. Namun mereka ini sadar bahwa belum tentu segala kesulitan dapat diselesaikan seketika itu juga. Karena itu, mereka menghindari jawaban yang bersifat prematur. Kelompok ini memiliki keyakinan bahwa segala kesulitan dalam Alkitab akan dapat diselesaikan sekiranya data-data yang hilang dalam sejarah dapat ditemukan kembali. Atau jikalau kesulitan itu bukan karena kurangnya informasi -karena hilangnya data- maka kelak hal itu akan dapat diselesaikan seiring dengan perkembangan arkeologi dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya.

Keempat, pendekatan naskah asli.

Menurut metode ini, seluruh kesulitan timbul karena kita tidak memiliki naskah asli Alkitab, tapi hanya salinannya. Jadi jika dipaksa untuk menjelaskan seluruh kesulitan tersebut, boleh saja, asal diberikan naskah asli Alkitab, demikian jawaban kelompok ini. Mereka ini berpendapat bahwa kesalahan yang didapati dalam Alkitab seringkali akibat kelemahan salinannya. Jadi perbedaan angka-angka dalam Alkitab, sebagaimana disebutkan di atas, antara 700 dan 7000 kereta kuda, seringkali akibat kesalahan penyalinan, bukan pada naskah asli yang diilhami oleh Allah tersebut.

Kelima, Alkitab memang memiliki kesalahan.

Kelompok ini menegaskan bahwa Alkitab memang mengadung kesalahan. Jadi, daripada terus berusaha untuk menyingkirkan kesulitan-kesulitan yang nampak tersebut, lebih baik menerimanya, apa adanya. Karena itu, doktrin pengilhaman yang dimengerti menghasilkan inerrancy Alkitab harus ditinjau kembali, demikian penegasan kelompok ini.

Setelah melihat kelima pendekatan tersebut di atas, kembali kita diperhadapkan kepada kesulitan untuk memutuskan yang mana dari kelima pendekatan tersebut adalah pendekatan yang benar. Namun demikian, dari seluruh pendekatan tersebut di atas, kelihatannya pendekatan moderat-harmonis yang lebih memuaskan. Alasannya adalah kerena pendekatan moderat-harmonis ini, di satu pihak mengakui adanya kesulitan dalam Alkitab; karena itu, mereka telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencari jawabannya. 

Tetapi di pihak lain, metode tersebut melihat dan mengakui adanya keterbatasan dalam menjelaskan seluruh kesulitan tersebut. Tentu ini adalah hal yang wajar, khususnya ketika kita mengingat bahwa Alkitab adalah kitab yang memiliki jarak dan tenggang waktu yang begitu lama dengan kita. Tenggang waktu paling singkat adalah sekitar 2000 tahun! Sudah merupakan fakta yang tidak dapat disangkal bahwa semakin jauh jarak waktu antara pembaca dan tulisan yang dibaca, maka semakin sulit pula untuk mengerti. Itulah sebabnya dalam sekolah theologia, diberikan pelajaran hermeneutik, yaitu ilmu untuk menafsirkan Alkitab. 

Dalam pelajaran ini kita disadarkan bahwa pekerjaan menafsir Kitab Suci bukanlah hal yang mudah. Karena untuk itu, kita harus melihat berbagai faktor sebelum menafsirkan teks yang dibaca tersebut. Termasuk di sini adalah kemampuan dalam mengerti tata bahasa, konteks penulis, konteks lingkungan, latar belakang sosial budaya dan lain sebagainya. Sayang sekali ada orang yang terlalu berani menafsirkan Kitab Suci tanpa memiliki ilmu tafsir yang memadai. Akibatnya, berbagai kekacauan ajaran yang akan timbul tidak bisa dielakkan!

Kita telah mencoba membahas berbagai pendekatan terhadap fenomena kesalahan yg kelihatannya ada di dalam Alkitab. Semua pendekatan tsb -kecuali pendekatan yang kelima- mencoba mencari jawaban atas adanya kesulitan serta fenomena kesalahan yang ditemukan di dalam Alkitab. Selanjutnya, bagi mereka yang menerima inerrancy Alkitab, ada empat hal yang perlu diperhatikan di dalam memahami ketidakbersalahan Alkitab tsb.

Pertama, inerrancy harus dimengerti dari apa yg dinyatakan atau ditegaskan oleh Alkitab, jadi bukan sekedar apa yang dilaporkan. Sebagai contoh, kalau terdapat perbedaan antara silsilah Tuhan Yesus yang ditulis di dalam Injil Matius dan Lukas, itu tidak berarti bahwa Alkitab salah, yaitu Injil Matius atau Lukas Akan tetapi, perbedaan itu harus dilihat dari apa yang mau dinyatakan atau disampaikan oleh kedua Injil tsb, yakni bahwa Yesus sungguh2 memiliki silsilah yang jelas, yang dapat ditelusuri sampai kepada nabi Daud, bapak leluhur Yesus secara jasmani. Dengan demikian, janji Allah kepada Daud, bahwa Dia akan membangun takhta yang kekal melalui keturunannya telah digenapi.

Kedua, kita harus melihat kebenaran Alkitab dalam konteks budaya di mana Alkitab itu dituliskan. Kita tidak boleh memaksa Alkitab utk ditulis dengan metode dan budaya kita, tetapi harus mengertinya dalam budaya Alkitab itu sendiri. Jadi, kalau misalnya dalam budaya kita, segala sesuatu harus dinyatakan dengan angka dengan tingkat ketepatan yang sangat tinggi, tidak demikian dengan budaya Alkitab.

Ketiga, penegasan Alkitab adalah sepenuhnya benar jika dilihat dari tujuan penulisannya. Kembali kepada contoh tentara Gideon tersebut di atas, apakah salah kalau Alkitab menuliskan adanya 32000 tentara? Kemudian, setelah melalui proses seleksi yang Allah perintahkan kepada Gideon maka yang tinggal hanya 300? Tentu kalau dilihat dari tujuan penulisan Alkitab, yaitu yang memberikan ide atau angka perkiraan tentang jumlah tentara yang mengikuti Gideon, maka hal tersebut adalah benar. Sekali lagi kita ambil contoh laporan yang kita temukan dalam bulletin sebuah gereja. 

Jika dikatakan bahwa yang hadir dalam sebuah kebaktian kebangunan rohani sebanyak 5000 orang, apakah memang jumlahnya persis demikian? Apakah jumlah itu merupakan perkiraan atau hasil sesungguhnya yaitu angka yang diperoleh dengan menggunakan counter, yaitu menghitung satu demi satu? Kembali kepada jumlah 32000, apakah jumlah tentara sebesar itu juga menggunakan counter atau sejenisnya?

Keempat, kalau kesulitan dalam Alkitab tidak dapat dijelaskan, maka hal itu tidak berarti terdapat kesalahan. Rasul Petrus juga mengakui bahwa dalam tulisan rasul Paulus ada hal-hal yang sukar dipahami (2Petrus 3:16). Namun, Petrus tidak melihat hal itu sebagai kesalahan. Demikian juga seharusnya sikap kita.

Kami seringkali membaca buku-buku tafsiran yg ditulis oleh para ahli theologia. Setelah mereka mencoba menjelaskan ayat-ayat yang sulit, mk seringkali mereka menutup dengan kalimat seperti berikut: "Kalau argumentasi kita tersebut di atas benar, maka kita dapat menyimpulkan..." Dengan demikian, kita melihat bahwa meskioun mereka ahli theologia, mereka tidak memutlakkan pandangan mereka. 

Mereka bahkan seringkali secara jelas mengatakan bahwa ayat tersebut sulit ditafsirkan. Mereka mengakui adanya data-data yg kurang untuk dapat memberikan tafsiran yg cukup pasti. Mereka juga mengakui bhw jarak yang jauh antara mereka dengan waktu penulisan Alkitab menjadi faktor yang mempersulit penafsiran.

Demikianlah kiranya kita, juga dijauhkan dari sikap memutlakkan diri di satu sisi, dan juga tidak memutarbalikkan sesuatu yang tidak kita pahami dengan kemampuan spekulasi kita. Hal itu telah ditegaskan rasul Petrus ketika dia menulis:

"Anggaplah kesabaran Tuhan kita sebagai kesempatan bagimu untuk beroleh selamat, seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu... Hal itu dibuatnya dlm semua suratnya, apabila ia berbicara ttg perkara2 ini. Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar dipahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri" (2 Petrus 3:15-16).BUKU SUPERIORITAS DAN KEISTIMEWAAN ALKITAB.
(Selesai)
Next Post Previous Post