TEOLOGI PERJANJIAN SEBAGAI KEUNIKAN TEOLOGI REFORMED

Pdt. I. Bagus Seta.
TEOLOGIA PERJANJIAN SEBAGAI KEUNIKAN TEOLOGI REFORMED
TEOLOGI PERJANJIAN SEBAGAI KEUNIKAN TEOLOGI REFORMED. Pemahaman teologia Reformed seringkali dipahami hanya sebagai predestinasi saja. Padahal sebenarnya, teologia Reformed berbicara tentang satu wawasan berpikir yang utuh dan terintegrasi. 

Dalam membentuk dan menyusun suatu rancang bangun teologia, dibutuhkan satu cara penafsiran yang mencakup keseluruhan benang merah dari Alkitab. 

Di sinilah teologia Reformed menunjukkan keunikannya dibandingkan dengan paham-paham teologia yang lain: Konsep Perjanjian (Covenant) yang bersifat dinamis dan aktif. Konsep perjanjian menurut paham teologia Reformed ini merupakan satu turunan dari pemahaman mengenai Kedaulatan Allah yang mutlak, manusia sebagai mahkota ciptaan yang jatuh dalam dosa, serta anugerah keselamatan dalam Kristus Yesus. 

Dari mana asal konsep perjanjian ini? Tidak lain dari Alkitab sendiri, yang dibaca secara utuh dan sebagai satu kesatuan kanonik yang berotoritas sebagai Firman Allah. Di dalam kerangka berpikir inilah Wawasan Reformed (Reformed Wildview) dibentuk untuk membawa kemuliaan hanya bagi Allah saja (Soli Deo Gloria). 

Pengertian Istilah 

Pemahaman konsep Perjanjian merupakan salah satu keunikan teologia Reformed yang tidak banyak dipahami oleh orang. Padahal, pemahaman ini merupakan salah satu pembeda antara teologia Reformed dengan theologia yang lain. Penulis masih ingat ketika di sekolah teologia, dosen Teologia Sistematika, Chris Balzer, menegaskan bahwa banyak teolog yang menyebut diri Reformed tetapi sesungguhnya tidak memiliki pemahaman yang utuh mengenai Teologia Perjanjian (Covenant Theology). Bahkan, banyak dari para pemikir di dunia teologia yang hanya membaca dan mengerti Teologia Perjanjian tetapi tidak sungguh-sungguh mendalami dan merenungkan keajaiban teologia ini. 

James Packer bahkan berani menegaskan bahwa tidak ada pemahaman teologia yang sejati tanpa mengerti konsep Perjanjian. Mengapa kita harus berbicara tentang keajaiban Perjanjian (Covenant)? Karena konsep Perjanjian Allah adalah kekayaan teologi yang sangat praktis. Teologi — pelajaran tentang Allah, perenungan akan Pribadi dan rahasia-Nya — telah membuka suatu harta yang tidak pernah kita bayangkan. 

Kekayaan perjanjian bagi mereka yang ada di bawah, atau di dalam, perjanjian berarti memiliki hubungan dengan Allah. Dialah Kepala yang Kekal dari perjanjian itu, dan Dia peduli kepada mereka yang mengikat perjanjian dengan-Nya. Mereka ini adalah miliknya, dan Dia bertanggung jawab atas diri mereka. Bahkan, anak-anak dan keluarga merekapun ada dalam perlindungan perjanjian ini. 

Apa itu Perjanjian? Definisi umum adalah suatu kontrak, yang diselenggarakan oleh dua pihak yang setara dan sederajat statusnya. Namun ternyata, bukan definisi ini yang digunakan di dalam Alkitab. Di dalam Perjanjian, kita mendapat satu jaminan yang kekal dan hidup dari Kristus Yesus sendiri akan perlindungan dan pemeliharaan di dalam dunia ini. Jika kita ingin berbicara tentang jaminan hidup, maka hal yang sedemikian hanya dapat timbul dari keberadaan di dalam perjanjian Allah — yakni, perjanjian Sang Bapa sendiri. Menyadari akan hal ini memberikan perbedaan yang utama di dalam hidup kita dan memberikan kedamaian di dalam hati kita. 

Tentu saja, perjanjian ini bukanlah sekedar ide saja, melainkan janji yang teguh dari Allah, dan membantu kita untuk menegaskan pengharapan bagi masa depan yang lebih cemerlang. Mengerti Perjanjian hanya sebagai sebuah kontrak akan menyebabkan pemahaman yang salah tentang Allah. Allah dipandang bukanlah sebagai Allah yang berjanji melainkan Allah yang melakukan kontrak. Perjanjian bukan kontrak namun di dalamnya tetap mengandung satu kewajiban: kewajiban kasih dan ucapan syukur bahwa kita tidak perlu memikirkannya sebagai suatu kontrak. Jika demikian halnya, apakah perjanjian itu? 

Kata ‘perjanjian’ secara umum berbicara tentang relasi antara dua pihak, biasanya dalam bisnis. Pada jaman Israel kuno, istilah ini sangat umum dipakai. Hampir setiap budaya kuno mempergunakan kata ini. Ada perjanjian antara raja-raja dengan rakyatnya; ada perjanjian antar-pribadi; perjanjian tentang tanah dan lain sebagainya. Alkitab menggunakan kata ‘perjanjian’ ini beratus-ratus kali dalam berbagai situasi yang baru kita jelaskan. Istilah ini pertama kali muncul di dalam Alkitab yakni di dalam kitab Kejadian 6:18 — suatu perjanjian antara Allah dengan Nuh — dan penyebutan terakhir adalah di dalam kitab Wahyu 11:19 dimana disebutkan kata ‘tabut perjanjian’. Sejarah Kerajaan Allah pada dasarnya berbicara tentang Perjanjian Allah (God’s Covenant) dengan umat-Nya. 

Apa itu Perjanjian? Perjanjian adalah hubungan persekutuan yang intim antara Allah dengan manusia, ditetapkan, dipelihara dan dipenuhi secara berdaulat oleh Allah sendiri; dan menuntut baik hidup maupun mati dari kedua belah pihak.3 Ada tujuh tokoh penting dalam konsep Perjanjian ini sebelum Perjanjian itu mencapai puncaknya di dalam diri Tuhan Yesus Kristus: Adam dan Hawa, Nuh, Abraham, Musa (dan Yosua), Daud serta Para Nabi. Mereka semua termasuk di dalam Perjanjian Lama. Mereka memainkan peranan yang sangat penting dalam Perjanjian yang bersifat makin maju dan tersingkap (progressive and unfolding), yang dapat diringkas sebagai berikut: 

Adam dan Hawa — Perjanjian Penciptaan. 

Nuh — Perjanjian Pemeliharaan. 

Abraham — Perjanjian Anugerah Dijanjikan 

Musa (dan Yosua) — Pembaruan Perjanjian 

Daud — Perjanjian Kerajaan 

Para Nabi — Para Pengawal Perjanjian 

Ketika kita membahas tentang konsep Alkitab tentang perjanjian, kita harus membaca Alkitab seluruhnya. Alkitab menggunakan istilah perjanjian ini pertama kali ketika Allah berbicara dengan Nuh. Dalam Kejadian 6:18 perjanjian ini dilakukan pertama kali dengan Nuh, dan dengan perjanjian ini Allah menjanjikan Nuh bahwa dia dan keluarganya tidak akan dimusnahkan oleh air bah lagi. Perjanjian Allah dengan Nuh dan keturunannya ini bersifat kekal.4 Hal inilah yang kemudian memperluas perjanjian itu ke seluruh dunia, ‘perjanjian antara Aku dengan bumi ini.’ 

Perjanjian berikutnya dibuat antara Abraham dengan Allah perjanjian ini menjanjikan banyak berkat, dan seluruh bangsa-bangsa di atas bumi yang mengenal Abraham dan memberkati diri mereka dengan berkat Abraham ini akan juga dilimpahi berkat. Sebaliknya mereka yang mengutuk Abraham dan/atau keturunannya akan juga dikutuk. 

Sekalipun Allah menolak Ismail sebagai pewaris berkat dan perjanjian ini, namun Allah tetap menjanjikan berkat atasnya. Ishak, anak Abraham dari Sara, adalah sang pewaris dan berkat ini, dan anaknya, Yakub — dan bukannya si sulung Esau — adalah pewaris berikutnya. Anak-anak Yakub yang jumlahnya dua belas orang anak laki-laki yang merupakan nenek moyang dari seluruh bangsa Israel mewarisi janji-janji dan berkat-berkat dari Perjanjian ini. 

Selama berabad-abad Israel sering tidak menaati perjanjian yang telah dibuat Allah dengan mereka sebagai suatu bangsa, dan oleh karena itu Israel dihukum; kadang melalui pendudukan oleh bangsa lain; kadangkala melalui perubahan cuaca dan bencana alam; dan mencapai puncaknya melalui pembuangan mereka. Pembuangan Kerajaan Utara mengakibatkan lenyapnya kerajaan ini dari sejarah. Sedangkan Kerajaan Selatan yang terdiri atas suku-suku Yehuda dan Benyamin juga mengalami pembuangan, namun beberapa dari antara mereka kembali ke Palestina. 

Ketika Israel dalam keadaan yang cukup baik, Allah membuat suatu janji yang sebenarnya merupakan suatu perjanjian; yang dikenal sebagai Perjanjian Daud. Tentu saja Daud sendiri telah tiada, namun Allah akan membangkitkan seseorang yang seperti Daud, dan bahkan lebih besar dari Daud sendiri. Israel akan memperluas kerajaannya dan, melalui perjanjian ini, damai akan memerintah di atas bumi. Oleh karena itulah maka raja keturnan Daud yang baru ini adalah Sang Mesias. 

Sebagai seorang Gembala-Raja dia akan memerintah atas kawanan domba Allah, Israel, namun kemudian yang lain akan membawa domba-domba ini. Kita tahu bahwa para nabi sudah dibangkitkan Allah untuk menjadi utusan-Nya kepada umat-Nya. Mereka akan memperbaiki kesalahan, memberikan pandangan-pandangan yang segar akan Allah sebagai Allah yang telah berjanji kepada umat-Nya, menjaga hukum Allah sesuai nasihat mereka dan menubuatkan hal-hal yang akan terjadi di masa depan. 

Satu hal besar yang akan terjadi di masa depan adalah Perjanjian Daud dan Kerajaan Daud. Apa yang lambat laun tampak di permukaan adalah bahwa perjanjian Allah yang baru akan dibuat dengan umat-Nya, dan bahwa perjanjian ini akan menggantikan perjanjian yang telah Dia buat dengan Israel di gunung Sinai. Tidak ada petunjuk bahwa Perjanjian Baru ini akan menggantikan perjanjian yang telah dibuat dengan Abraham. Bahkan, Perjanjian Baru akan merupakan penggenapan dari Perjanjian Abraham ini. 

Oleh karena itu, tampaknya sejarah perjanjian bermula dari Nuh, dan perjanjian ini berkaitan dengan ciptaan. Segenap ciptaan akan dilindungi oleh perjanjian ini. Perjanjian dengan Abraham lebih diarahkan kepada berkat Allah kepada para keturunan Abraham, dan kemudian kita akan melihat bahwa para keturunan ini bukan hanya yang merupakan keturunan darah, melainkan juga yang menajdi keturunan secara iman. Janji-janji kepada Abraham mengalir melalui Israel dan, dalam Perjanjian Baru, ke seluruh dunia. Janji-janji ini hanya dapat diperoleh dengan iman. 

Hal ini berlaku untuk semua perjanjian. Jikalau kesimpulan ini benar, maka ada dua pertanyaan khusus yang harus kita lontarkan, “Apakah perjanjian mulai dengan Nuh?” dan “Apakah anugerah Allah mulai dengan perjanjian yang dibuat-Nya dengan Abraham?” 

Keberadaan Perjanjian-perjanjian Manusia 

Sebelum kita dapat menjawab pertanyaan ini kita perlu memahami keberadaan perjanjian-perjanjian Allah. Sebagian besar perjanjian manusia bersifat bilateral, yakni, kontrak yang dibuat oleh dua orang atau pihak. Jikalau hanya satu orang atau pihak yang menetapkan suatu persetujuan dan menetapkan semua syarat-syaratnya, maka ini disebut perjanjian unilateral. 

Beberapa pakar menduga bahwa Israel mendapat ide tentang perjanjian ini dari bangsa-bangsa di sekelilingnya.5 Memang harus diakui bahwa ide perjanjian memang ada. Hal ini disebabkan karena manusia tidak dapat hidup bersama tanpa terlebih dahulu menetapkan suatu kesepakatan atau persetujuan. Mereka juga perlu untuk menetapkan klausa-klausa pengikat dan bahkan hukum-hukuman atau pemulihan-pemulihan jika salah satu melanggar kesepakatan. Sistem-sistem politik juga bekerja dengan cara perjanjian atau kesepakatan. 

Demikianlah jika kita menganut suatu sistem demokratis, sosialis dan diktaktor dengan mana berbagai bangsa diatur. Dalam hidup manusia sehari-hari kita membutuhkan hal-hal seperti kesepakatan dan kontrak, dan hukuman bagi mereka yang melanggarnya. Alasan mengapa kita perlu membuat kontrak-kontrak dan kesepakatan-kesepakatan serta persetujuan-persetujuan adalah karena kita tidak dapat mempercayai orang-orang atau kelompok-kelompok atau bangsa-bangsa. Ini adalah hal yang wajar ketika kita mencoba untuk hidup di dunia dimana manusia tidak lagi dapat dipercayai. 

Keberadaan Perjanjian atau Perjanjian-perjanjian Allah 

Ketika kita kaitkan dengan Allah, maka perihal perjanjian ini menjadi berbeda. Hampir semua yang kita bicarakan di atas tidak dapat diterapkan pada perjanjian atau perjanjian-perjanjian Allah. Yang menyolok misalnya kenyataan bahwa Perjanjian-perjanjian Allah selalu bersifat unilateral dan bukannya bilateral. 

Bagaimana dengan indikasi aturan kontrak dalam isi Perjanjian antara Allah dengan manusia? Secara langsung kita kemudian menunjuk kepada Perjanjian Hukum yang dibuat dengan Israel di Sinai. Mereka menunjuk bahwa Allah berkata kepada mereka bahwa jika mereka menaati hukum-Nya, maka Dia akan menyelamatkan mereka. Sebenarnya tidaklah demikian, namun susah sekali untuk meyakinkan manusia yang sudah memiliki suatu pemahaman tertentu akan hal ini. 

Hukum ini diberikan dalam anugerah, dan dalam menaatinya haruslah dengan kasih: kalau tidak maka tidak akan disebut sebagai suatu ketaatan. Hukum itu sendiri sebenarnya merupakan suatu hal yang baik kalau ditaati. Yang paling dapat kita katakan mengenai manusia dalam upaya ‘menaati perjanjian’ itu adalah bahwa mereka harus melakukannya keluar dari tuntutan kasih. 

Apa yang menjadi pemikiran Allah tentang perjanjian? Allah adalah kasih dan ketika Dia mencipta ciptaan-Nya Dia telah menanamkan keseluruhan prinsip tentang perjanjian. Hal ini tidak perlu diungkapkan secara tersurat, dan oleh karena itu tidak secara jelas tertulis dalam naskah pasal-pasal awal kitab Kejadian. 

Allah kita pada hakekatnya adalah Allah yang menegakkan perjanjian. Karena ada Tiga Pribadi dalam satu hakekat keAllah-an maka terjadi satu kesatuan dalam kasih yang mengalir Bapa kepada Anak dan Roh Kudus, dan mereka menanggapinya dengan kasih kepada Bapa. Ketritunggalan Allah selalu berhubungan satu dengan yang lain. Masing-masing Pribadi bersesuaian dengan dua Pribadi yang lain. Mereka hidup dalam satu sama lain; yakni, mereka hidup dalam persekutuan kasih — ketiganya yang esa. 

Ketika Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, maka manusia hidup dalam hubungan persekutuan dengan Allah. Hubungan persekutuan ini harus dipahami sebagai suatu perjanjian dari mulanya, namun bukan dalam pengertian hidup secara kontrak. Allah tidak pernah mengatakan, ‘Jika engkau melakukan hal ini maka Aku akan melakukan hal itu’, atau ‘Aku memberikan ini tetapi kamu harus menaati-Ku, kalau tidak kamu akan dihukum.’ 

Hal ini tidak mudah diterima bagi beberapa orang. Beberapa dari orang-orang ini mempunyai anggapan bahwa di Taman Eden, Allah mengatakan kepada manusia untuk berlaku baik, kalau tidak maka ia — laki-laki dan perempuan– akan mati. Namun jika dia menaati Allah, yakni menjaga hukum Allah, maka ia akan diselamatkan. Ada orang lain lagi yang beranggapan bahwa Allah telah membuat suatu perjanjian dengan Sang Anak sebelum dunia diciptakan, dan kesepakatannya adalah bahwa Anak akan datang ke dunia untuk mati bagi manusia berdosa untuk menyelamatkan mereka. Inilah yang disebut ‘Perjanjian Penebusan.’ 

Lebih baik dikatakan bahwa Tritunggal adalah Esa secara hakekat, dan di dalam keesaan ini direncanakan keselamatan manusia sebelum adanya waktu. Ketika manusia dicipta, dia ada di dalam satu persekutuan dengan Allah, dan inilah hubungan yang kita sebut sebagai Perjanjian. 

Perjanjian ini diadakan dengan semua manusia, diwakili di dalam diri Adam. Ketika Adam memutuskan hubungan dengan Allah, dia memutuskan perjanjian; tetapi dari pihak Allah, Dia tidak melanggar perjanjian itu. Dia menetapkan untuk menebus manusia melalui Anak-Nya, dan inilah yang disebut sebagai Perjanjian Baru. Tidak ada satupun klausul perjanjian yang ditinggalkan oleh Allah, tetapi banyak yang telah meninggalkan Allah, dan oleh karena itu menggap dirinya telah ditinggalkan oleh Allah. 

Jika kita telusuri semua perjanjian yang disebutkan di dalam Alkitab — dengan Nuh, Abaraham, Israel, Daud dan Perjanjian baru dengan Kristus sebagai Pengantaranya — maka kita akan melihat bahwa semuanya dikeluarkan di dalam anugerah. Anugerah adalah kasih Allah dalam tindakan bagi manusia yang tak berlayak menerimanya. Tidak mungkin hal ini disebut sebagai suatu kontrak. 

Tentulah Allah mempunyai suatu pengharapan bahwa ketika Dia membuat suatu perjanjian maka mereka yang menerima perjanjian itu akan tinggal di dalam hubungan perjanjian, dan akan tetap menjaga ketentuan kasih. Mereka tidak akan menyia-nyiakan atau berpaling dari perjanjian yang sudah dibuat-nya karena mereka memiliki hubungan pribadi dengan Dia, dan oleh karena itu mereka akan bersatu dengan Dia, dan mencintai dan menjaga hukum-Nya. 

MELIHAT PERJANJIAN-PERJANJIAN DALAM ALKITAB 

Perjanjian Pertama 

Sebagai bentuk perjanjian yang bersifat ciptaan dan umum, perjanjian pertama muncul di dalam penciptaan. Berada di dalam keberadaan Tritunggal sudah ditanamkan di dalam diri manusia ketika diciptakan. Sebagaimana Pribadi-Pribadi dalam Tritunggal bersekutu satu dengan yang lain, demikianlah manusia ada di dalam hubungan dengan Allah ketika diciptakan dalam gambar-Nya. 

Kita tidak memiliki bukti Alkitab secara eksplisit mengenai hal ini, namun hal ini tidak perlu dipersoalkan jikalau kita bisa memahami pokok permasalahannya. Ayat yang paling dekat yang menunjukkan bahwa Allah memiliki suatu perjanjian dengan Adam adalah Hosea 6:7 yang oleh para Reformator digunakan untuk menyatakan bahwa Allah membuat suatu perjanjian dengan manusia yang pertama, ‘Tetapi mereka itu telah melangkahi perjanjian di Adam, di sana mereka telah berkhianat terhadap Aku.’ 

Terjemahan Authorised Version menafsirkan Adam sebagai pribadi, sementara sebagian besar penafsir menganggap kata Adam menunjuk kepada tempat. Bahasa Ibraninya berbunyi demikian, ‘sebagaimana Adam mereka telah melanggar perjanjian’, dan jika ini merupakan terjemahan yang tepat, akan mendukung kepada pemahaman bahwa memang ada perjanjian antara Adam dengan Allah. 

Namun apapun juga persoalannya, kita tidak dapat mendasarkan seluruh doktrin bahwa Allah mengadakan perjanjian dengan Adam pada satu ayat yang maknanya sendiri masih simpang siur. Satu penafsir menerjemahkannya demikian, ‘Tapi lihatlah — mereka melangkahi perjanjian-Ku seperti layaknya debu’. 

Cara terbaik untuk memikirkan tentang perjanjian yang diadakan dengan Adam adalah dengan melihat kepada perjanjian dengan Nuh, secara khusus dapat dilihat di dalam Kejadian 6:18 dan 9:8-17 dimana terdapat kalimat ‘… dengan engkau Aku akan mengadakan perjanjian-Ku.’ Kata mengadakan yang dipakai tidak mengacu kepada kata membuat perjanjian yang baru, melainkan bahwa Allah meneguhkan perjanjian yang sudah dibuat. 

Mungkin kita dapat menggunakan kata ‘mengulang’. Jelas terlihat bahwa mandat ciptaan yang diberikan dalam Kejadian 1:28 dibaharui di dalam Kejadian 9:1 dst., sehingga Nuh dapat dipandang sebagai semacam kedua. Istilah heqim berith diterjemahkan sebagai ‘meneguhkan apa yang sudah ada‘, sementara karat berith dipakai untuk ‘membuat suatu perjanjian’.

Perjanjian dengan Nuh 

Kita sekarang ada di dalam posisi bahwa jika perjanjian Allah dengan Nuh merupakan peneguhan atas apa yang sudah berlaku sejak pada masa penciptaan, maka pembaruan mandat penciptaan — sebagaimana yang diberikan dalam Kejadian 1:28-30 dengan menggunakan pengkalimatan Kejadian 9:1-7 — adalah hal yang biasa bagi perjanjian semacam ini, dan, oleh karena itu, menyingkapkan tentang makna kekalnya di masa depan. Pengakiman Air Bah terjadi oleh kaerna kebobrokan dan dosa manusia yang sudah meliputi segenap bumi. 

Anugerah dalam Perjanjian Nuh adalah bahwa Allah tidak akan menghakimi dengan cara yang sama lagi, bahwa jika kebobrokan manusia sudah meliputi segenap bumi. Hal ini tidak berarti bahwa Allah tidak akan menghakimi manusia menurut cara-Nya (Roma 1:18 dst). Fakta Alkitab adalah bahwa sekalipun Nuh sudah diberikan kesempatan kedua, namun keinginan dosa itu sudah ada di dalam keluarganya, dan hal ini terjadi jauh sebelum kita mendengar istilah penyembahan berhala (Roma 1:19-25). 

Perjanjian dengan Abraham 

Dalam Kisah Para Rasul 7:2 Stefanus mengatakan, ‘Allah yang Mahamulia telah menampakkan diri-Nya kepada bapa leluhur kita Abraham, ketika ia masih Mesopotamia.’ Inilah awal iman Abraham yang termasyur itu. Janji Allah kemudian diungkapkan dalam Kejadian 12:1-3, namun istilah perjanjian tidak muncul sampai dengan pasal 15. Di dalam pasal selanjutnya, Kejadian 17:7, muncul istilah Perjanjian kekal. Perjanjian inilah yang kemudian diturunkan kepada Ishak dan Yakub dan menjadi dasar pembebasan uamt Israel dari perbudakan di Mesir ke Kanaan yang sering diulas dan diungkapkan oelh Perjanjian Baru. 

Allah dan Janji-jani kepada Abraham 

Satu hal yang pokok dari Perjanjian Abraham adalah fakta bahwa Allah menjanjikan sesuatu kepada Abraham dan keturunannya. Di sini kita mulai melihat adanya Janji secara khusus dalam perjanjian. Ini mengindikasikan kepada kesetiaan Allah dan bahwa dalam memenuhi janji-janji-Nya Dia adalah Allah yang berpegang kepada perkataan-Nya. Paulus dan penulis surat Ibrani menangkap arti penting janji-janji kepada Abraham ini, dan menegaskan bahwa janji-janji ini juga berlaku bagi keturunan Abrahaman di dalam iman (Ibrani 11 dan Galatia pasal 3-5). 

Sifat Universalitas dari Perjanjian Abraham 

Perjanjian dengan Abraham merupakan tonggak yang juga kemudian mencakup Perjanjian-perjanjian yang lain: dengan Israel dan Daud, serta digenapi dalam Perjanjian Baru. Kitab-kitab dalam Perjanjian Baru melihat bahwa Perjanjian Abraham ini digenapi dalam Perjanjian Baru. 

Perjanjian dengan Israel 

Allah berjanji bahwa Ia akan menegakkan suatu perjanjian dengan Ishak (Kejadian 17:21; cf. 21:12; 26:1-5), dan Yakub digariskan untuk meneruskan garis perjanjian ini (Kejadian 25:23; 27:29; 28:12-15; Mal. 1:2-3). Yakub, yang kemudian disebut ‘Israel’, diberkati di dalam Perjanjian Abraham, namun ketika orang Israel mendapat kesulitan di Mesir, Allah mengingat perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Yakub, dan menolong bangsa Israel. Bangsa Israel kemudian dipelihara di dalam Perjanjian ini sampai mereka mencapai Sinai, dimana Tuhan memperbarui Perjanjian-Nya dengan mereka (Keluaran 19:24). 

Musa membaca buku Perjanjian ini, dan orang Israel berjanji untuk menaatinya. Pengabdian Israel ditegaskan di dalam Keluaran 19:5-6. Apa yang menjadi tanda ketaatan Perjanjian Allah dengan umat-Nya? Dengan cara memelihara Sabat (Keluaran 31:12-17). Roma 9-11 dan 2Korintus 3 memaparkan sifat kesementaraan dari Perjanjian Sinai ini. 

Perjanjian Daud 

Baca 2 Samuel 7:8-17. Inilah bagian penting dari Perjanjian Daud, yang mendapatkan penggenapannya dalam diri Tuhan Yesus Kristus, yang mempertemukan dan menyatukan antara pemahaman akan Kerajaan dengan Perjanjian Allah yang kekal. Yesaya 55:3 menegaskan sifat kekekalan dari Perjanjian dengan Daud ini, yang kemudian juga diteguhkan oleh Kisah Para Rasul 13:34. Mazmur 89 mengungkap kembali fakta Perjanjian Daud ini, juga Mazmur 132:11-12 menekankan pada hal ‘perjanjian’. Yeremia 33:19-26 menegaskan tentang nilai kekekalan dari Perjanjian Daud ini. 

Perjanjian Baru 

Setelah kita melihat pemahaman perjanjian dalam Perjanjian Lama, baru kita dapat beranjak ke Perjanjian Baru. Perjanjian Baru tidak mungkin kita pahami tanpa terlebih dahulu kita mengenali konsep perjanjian dalam Perjanjian Lama, perjanjian yang diberikan kepada Abraham dan Daud. 

Tiga Bagian Penting dari Perjanjian Penciptaan dan Perjanjian Baru 

Tiga bagian penting dari Perjanjian Lama adalah Pengabdian, Pernikahan dan Sabat. Ketiga-tiganya muncul dalam Perjanjian Sinai. Ternyata, konsep yang sama muncul dalam Perjanjian Baru. Pengabdian yang ditegaskan dalam Kejadian 1:28, muncul kembali di Perjanjian Baru dalam bentuk pemberitaan Injil ke seluruh dunia (Matius 28:18-20). 

Prinsip pernikahan muncul dalam pemahaman Kristus sebagai Mempelai Pria dan Gereja sebagai Mempelai Perempuan-Nya (Ef. 5:32). Ibrani 4-5 memaparkan tentang Sabat, di dalam perspektif ketika sejarah berakhir dengan Pernikahan Agung. Kota Suci, Bait Suci dan Surga Suci membawa seluruh umat tebusan masuk ke dalam Sabat yang kekal. Di sini kita menghargai pemahaman Kristus sebagai Imam Besar Agung kita. 

Pengajaran Perjanjian Baru dalam Kitab-kitab Perjanjian Baru 

Pujian Zakharia ayah Yohanes menunjuk kepada mulainya jaman Perjanjian Baru ini. Hidup dan Karya Kristus dalam Injil merupakan penggenapan dari seluruh nubuat Perjanjian Lama. Dalam Perjamuan Terakhir, Tuhan Yesus menetapkan tentang Perjanjian Baru, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa (Matius 26:27-28). Dengan mempertimbangkan Lukas 22:20 serta 1 Korintus 11:25 maka kita dapat menyimpulkan bahwa itulah saat Penetapan Perjanjian Baru (karat berith), yakni, pembuatan perjanjian melalui kematian di atas Salib. 

Perjanjian Baru dan Kitab Ibrani 

Kitab Ibrani secara tegas dan jelas menguraikan kebenaran ini lebih jauh, dengan menghubungkan antara Perjanjian Daud dengan Yesus Kristus sang Mesias, Pengantara dari Perjanjian Baru. Kitab Ibrani 1-10 membahas tentang pelayanan Kristus sebagai Imam Besar Agung.8 Perjanjian Baru ini dinubuatkan di dalam kitab Yeremia 31:31-34. Dalam Ibrani 10:29 dan 13:20, penulis surat Ibrani berbicara tentang ‘darah Perjanjian.’ Apa yang diuraikan dalam kitab Yeremia 31:31-34 — yang sedemikian pentingnya sampai dikutip dua kali oleh penulis surat Ibrani (8:8-12; 10:16-17)? Berikut prinsip-prinsip yang bisa ditarik: 

(a) Perjanjian Baru ini pertama-tama akan diberikan kepada bangsa Israel.9 

(b) Namun demikian, secara hakekat akan berbeda dari Perjanjian Lama yang dibuat dengan Israel ketika mereka dibebaskan dari tanah Mesir oleh Allah. 

(c) Perjanjian ini akan ditanamkan di dalam hati semua yang percaya kepada hukum Allah yang kudus, 

(d) Pengetahuan akan Allah tidak akan perlu diberikan lagi karena setiap orang akan mengenal Allah ‘dari yang terkecil sampai kepada yang terbesar.’ 

(e) Hasil utama dari perjanjian ini berupa pengampunan dosa oleh Allah. Ini merupakan pengampunan dosa bagi mereka yang mengenal Allah.10 Segala dosa-dosa dan pelanggaran yang terjadi di masa lamapu tidak akan diingat lagi. 

Kesimpulan Perjanjian Baru 

Perjanjian Baru memiliki kaitan yang erat dengan janji kepada Abraham, dan tema kesetiaan Allah kepada janji-Nya. Secara bentuk, Perjanjian Baru berbeda dengan Perjanjian Lama. Namun demikian, hukum masih ada dalam Perjanjian yang Baru.11 

Fakta yang luar biasa dalam Perjanjian Baru adalah bahwa pengampunan itu dapat datang kepada seluruh umat manusia melalui penumpahan darah Kristus. Ketika kita melihat bagian-bagian dalam Yeremia (31:31-34; 32:36-41) dengan Yehezkiel (36:24-28; 37:1-14) dan Yoel (2:28f.), maka kita akan dapat melihat bahwa inilah perjanjian yang terakhir — sebagaimana yang juga dijelaskan oleh Paulus dan penulis surat Ibrani. 

Perjanjian ini diantarai oleh Kristus, dan ditegaskan secara efektif oleh Roh Kudus yang mereka umat Perjanjian Baru ini kepada kemerdekaan Injil dan kebebasan hukum Kristus. Perjanjian ini juga ditandai dengan pertobatan, dan berlaku bagi anak-anak dari mereka yang percaya (Kisah Para Rasul 2:38-39). 

Sampai di sini kita melihat bahwa menjadi bagian dari Gereja, Keluarga Kerajaan Allah, berarti bahwa anggotanya juga berhak atas janji-janji dari Perjanjian yang diberikan Allah kepada mereka. Beberapa orang Kristen berpikiran bahwa anak-anak ada di luar Perjanjian Allah sampai tiba saat mereka menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat pribadi mereka. Pemahaman di dalam konsep Perjanjian Allah ini untuk menghadirkan Kristus secara nyata dalam rumah tangga sebagai Tuhan dan Juruselamat bahkan selagi belum ada anak-anak; terlebih lagi jika mereka lahir dan dibesarkan. 

Jika keluarga Kristen tetap setia di dalam Perjanjian Allah, maka janji-janji itu tetap berlaku. Namun jika mereka menolak, maka kutuk-perjanjian itulah yang akan terjadi. Kesetiaan untuk tinggal dalam Perjanjian Allah adalah keputusan pribadi seseorang. 

Pengampunan ini juga berbicara tentang karunia Roh Kudus, sebagai Penolong, Pembimbing dan Penghibur kita. Dialah yang mengerjakan kasih Allah dalam hidup kita. Pada saat yang sama, dia membawa hukum Allah dalam hati kita. Sekali kita dibenarkan di dalam Kristus, maka kita akan semakin bertumbuh mengenal Allah dan karya-Nya. 

KESIMPULAN: 

Buku-buku dan tulisan-tulisan menganai tpik perjanjian kurang memberikan definisi-definisi yang jelas dan baku karena pokok ini mencakup dimensi yang amat luas. Dalam Perjanjian Lama saja kita sudah melihat keberadaan berbagai perjanjian, dan para penafsir telah terjebak dalam pemahaman mutakhir akan perjanjian ini yang ditemukan di kalangan suku-suku dan bangsa-bangsa sekitar Israel, atau bangsa-bangsa besar yang berperang melawan Israel dan menaklukkan mereka. 

Kita dapat memilih untuk mempercayai apakah Israel mengambil ide-ide tentang perjanjian dari bangsa-bangsa ini atau bahwa pemahaman yang mereka miliki sebenarnya telah diterima dalam penciptaan dan dari berbagai tindakan perjanjian yang sudah dilakukan Allah dengan mereka. Namun apapun juga perihalnya, Israel jelas memiliki suatu pemahaman yang canggih tentang perjanjian ini. 

Dalam Perjanjian Baru kata Ibrani untuk ‘perjanjian’ (berith) yang diterjemahkan melalui Septuaginta adalah diatheke dan berarti ‘warisan’. Yang dapat kita ketahui mengenai hidup dalam perjanjian di Israel dan umat Perjanjian Baru, yakni Gereja, adalah bahwa kata perjanjian berarti: (i) masyarakat umat Allah yang hidup dalam kasih; (ii) anugerah penebusan dan oleh karenanya umat ini hidup dalam kemerdekaan; (iii) Kehadiran Allah dengan umat-Nya sebagaimana dalam Perjanjian Lama, “Aku akan menjadi Allahmu dan engkau akan menjadi Umat-Ku.” Keberadaan ini ditunjukkan dalam beberapa ayat-ayat pembukaan dalam Wahyu pasal 1; dan (iv) semua umat perjanjian akan mewarisi segala sesuatu yang dijanjikan Allah — perjanjian adalah perihal warisan. 

Next Post Previous Post