MANUSIA SEBAGAI GAMBAR ALLAH (SUATU RINGKASAN TEOLOGIS (Anthony A. Hoekema)

MANUSIA SEBAGAI GAMBAR ALLAH (SUATU RINGKASAN TEOLOGIS (Anthony A. Hoekema)
MANUSIA SEBAGAI GAMBAR ALLAH (SUATU RINGKASAN TEOLOGIS Anthony A. Hoekema). BAB 5 INI BERTUJUAN untuk memberikan penjelasan teologis yang meringkaskan makna dan signifikansi dari doktrin gambar Allah. Seperti yang telah kita lihat, hanya manusia – bukan ciptaan lain – yang telah diciptakan menurut gambar Allah. Jadi, gambar Allah pasti menunjukkan keunikan manusia. Konsep tentang manusia sebagai gambar Allah merupakan inti dari antropologi Kristen.

Saat Alkitab mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, Alkitab jelas bermaksud berkata bahwa pada saat diciptakan, manusia sepenuhnya taat dan mengasihi Allah dengan sepenuh hati (lihat misalnya, Kejadian. 1:31 “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.”). Tetapi pernyataan “Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya” (ay. 27) jelas tidak sekadar mau menjelaskan integritas spiritual dan moral manusia. 

Penyataan ini memisahkan manusia dari semua ciptaan Allah yang lain, dengan mengindikasikan bahwa manusia dibentuk dengan cara yang unik. Pernyataan ini tidak hanya memberitahukan arah hidup manusia pada mulanya (yaitu di dalam ketaatan kepada Allah); ayat ini juga mendeskripsikan manusia di dalam totalitas eksistensinya. Menurut ayat ini, manusia merupakan keberadaan yang keseluruhan dirinya mencitrakan dan mencerminkan Allah.

Saat membahas pandangan Berkouwer tentang manusia sebagai gambar Allah, saya mengutip Herman Bavinck yang mengatakan bahwa menurut Alkitab, manusia tidak hanya menyandang atau memiliki gambar Allah, tetapi manusia adalah gambar Allah, dan bahwa gambar Allah mencakup manusia di dalam keseluruhan dirinya.1 Semua ini mengimplikasikan bahwa gambar Allah bukanlah hal yang bersifat aksidental bagi manusia, yang bisa ia hilangkan tanpa berhenti menjadi manusia, melainkan merupakan hal yang esensial eksistensinya.

Pemikiran dasar yang menggarisbawahi kata gambar (tselem dan demuth di dalam bahasa Ibrani) adalah keserupaan; kata-kata ini memberi tahu kita bahwa manusia sebagaimana ia diciptakan dulu adalah seperti Allah. Kejadian 1:26-28, yang mendeskripsikan penciptaan manusia menurut gambar Allah, tidak memberi tahu kita tentang seperti apakah tepatnya keserupaan dengan Allah ini. Kita akan berbicara lebih jauh tentang hal nanti. Tetapi kita harus mencatat sejak awal bahwa konsep tentang manusia sebagai gambar dan rupa Allah memberi tahu kita bahwa manusia diciptakan untuk mencerminkan dan mewakili Allah.

Pertama, manusia harus mencerminkan Allah. Sebagaimana cermin memberikan refleksi, maka manusia pun harus merefleksikan Allah. Saat seseorang melihat manusia, orang tersebut harus melihat refleksi Allah di dalam diri manusia tersebut. Atau dengan kata lain, di dalam diri manusia Allah menjadi kelihatan di bumi. Ciptaan lain memang bisa menyatakan kemuliaan Allah, dan bahkan langit pun bisa, tetapi hanya di dalam manusialah, Allah menjadi kelihatan. Para teolog Reformed berbicara tentang wahyu umum Allah, yang melaluinya Allah menyatakan kehadiran, kuasa, dan keilahian-Nya melalui hasil karya tangan-Nya. 

Tetapi di dalam penciptaan manusia, Allah menyatakan diri-Nya dengan satu cara yang unik, dengan menciptakan seseorang yang merupakan sejenis gambar cerminan diri-Nya sendin. Tak ada kehormatan lain yang lebih tinggi, yang bisa diberikan kepada manusia selain hak istimewa untuk menjadi gambar dari Allah yang menciptakan dia.

Fakta ini terkait dengan larangan untuk membuat patung, yang terdapat di dalam hukum kedua dari Sepuluh Perintah Allah, “Jangan membuat bagimu patung” (Keluaran. 20:4). Allah tidak ingin ciptaan-Nya membuat patung diri-Nya karena Ia telah menciptakan gambar diri-Nya sendiri: gambar yang hidup, berjalan, dan berbicara. Allah seolah berkata, “Jika kamu ingin melihat seperti apakah Aku, lihatlah ciptaan-Ku yang paling istimewa: manusia.” Ini berarti ketika manusia bisa menjadi sebagaimana ia seharusnya, maka orang lain akan bisa melihat sesuatu tentang Allah di dalam dia: sesuatu dari kasih, kemurahan hati dan kebaikan Allah.

Kedua, manusia juga mewakili Allah. Manusia diciptakan sedemikian rupa sehingga ia bisa mewakili Allah. Jika benar bahwa ketika orang melihat manusia ia melihat sesuatu tentang Allah di dalamnya, maka ini berarti manusia mewakili Allah di bumi. Para penguasa zaman dahulu sering mendirikan patung diri di wilayah-wilayah kekuasaan mereka yang jauh dan patung seperti ini mewakili sang penguasa, mewakili otoritasnya dan mengingatkan hamba-hambanya bahwa ia adalah raja mereka. 

Dalam Daniel 3, rnisalnya, Raja Nebukadnezar mendirikan patting di dataran Dura dan memerintahkan rakyatnya untuk menyembah. Meskipun teks Alkitab tidak secara spesifik menyatakannya, kita bisa mengasumsikan bahwa patung tersebut menyerupai Nebukadnezar, dan dengan demikian mewakili sang raja.

Jadi, manusia, baik laki-laki maupun perempuan, diciptakan menurut gambar Allah sehingga ia bisa mewakili Allah seperti seorang duta besar negara asing. Seperti seorang duta besar mewakili otoritas negaranya, manusia harus mewakili otonomi Allah. Sebagaimana seorang duta bertugas untuk mengedepankan kepentingan negaranya, manusia juga harus berupaya untuk memajukan program Allah untuk dunia ini. 

Sebagai wakil Allah, kita harus mendukung dan membela apa yang Allah nyatakan, dan mengedepankan apa yang Allah kedepankan. Sebagai duta-duta Allah, kita tidak boleh memaukan hal yang kita inginkan, melainkan apa yang Allah kehendaki. Melalui kita, Allah mengerjakan maksud-Nya di bumi ini. Di dalam diri kita, orang lain seharusnya bisa menjumpai Allah, mendengarkan firman-Nya dan mengalami kasih-Nya. Manusia adalah wakil Allah.3

Jika benar bahwa keseluruhan pribadi merupakan gambar Allah, kita juga harus memasukkan tubuh sebagai bagian dari gambar Allah. Sayangnya, para teolog sering kali menyangkal hal ini. Sebagai contoh, J. Gresham Machen berkata, “‘Gambar Allah’ tak mungkin mengacu pada tubuh manusia. Karena Allah adalah roh, maka gambar Allah pastilah mengacu pada jiwa manusia.'” 4 

Calvin sendiri tidak terlalu berat sebelah. Meskipun ia berkata bahwa tempat utama gambar Allah adalah di dalam jiwa, dia mengakui bahwa “tak ada satu bagian pun dari manusia, bahkan tubuh itu sendiri, yang di dalamnya percikan [dari gambar Allah] tidak berpijar.”5 Akan tetapi, Herman Bavinck, dengan jelas menegaskan bahwa tubuh manusia masuk dalam gambar Allah:

Tubuh manusia juga merupakan bagian dari gambar Allah…. Tubuh bukanlah kuburan melainkan mahakarya Allah yang ajaib, yang membentuk esensi manusia secara sama penuhnya dengan jiwa…. Tubuh merupakan bagian yang begitu esensial bagi manusia sehingga, meskipun dosa membuat tubuh dipisahkan secara paksa dari jiwa [di dalam kematian], tubuh akan disatukan kembali dengan jiwa di dalam kebangkitan.6

Ketika kita memikirkan manusia dalam kaitannya dengan berbagai relasi yang melalui semua itu ia berfungsi, kita akan bisa menyimpulkan bahwa gambar Allah di dalam diri manusia tidak semata-mata menyangkut satu bagian dari dirinya (aspek “jiwa” atau “spiritual”), tetapi menyangkut keseluruhan pribadi.

ASPEK STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL GAMBAR ALLAH

Pada saat membahas pandangan Berkouwer, saya telah mempertanyakan pembedaan antara aspek-aspek gambar Allah yang lebih luas dan lebih sempit. Di sana saya mengutip Louis Berkhof yang mendukung pandangan bahwa gambar Allah memiliki kedua aspek ini, dan kita membahas pemahamannya mengenai apa yang tercakup di dalam masing-masing aspek tersebut. Menurut pandangan ini, gambar Allah dalam pengertian yang lebih sempit telah hilang secara total melalui kejatuhan manusia ke dalam dosa; sedangkan gambar Allah dalam pengertian yang lebih luas tidak hilang tetapi rusak dan diselewengkan.

Pembedaan ini berkenaan dengan relasi antara aspek struktural dan fungsional manusia. Pertanyaannya: apakah gambar Allah di dalam diri manusia hanya berkenaan dengan apa itu manusia dan bukan dengan apa yang ia lakukan, atau hanya apa yang manusia lakukan dan bukan apa itu manusia, ataukah keduanya turut tercakup? Apakah “gambar Allah” hanya menjelaskan cara manusia berfungsi, ataukah juga menjelaskan jenis keberadaan manusia itu? Sejumlah teolog amat menekankan aspek struktural (apa itu manusia), sementara teolog lain menekankan aspek fungsional (apa yang manusia lakukan).

Saya yakin bahwa kita perlu mempertahankan kedua aspek tersebut. Karena gambar Allah mencakup keseluruhan pribadi, maka gambar Allah pastilah mencakup struktur dan fungsi manusia. Kita tidak bisa berfungsi tanpa adanya struktur tertentu. Seekor elang, misalnya, melintasi udara dengan cara terbang – ini adalah salah satu fungsinya. Akan tetapi, elang takkan bisa terbang jika tidak memiliki sayap – salah satu struktumya. 

Manusia juga diciptakan untuk melakukan fungsi-fungsi tertentu: menyembah Allah, mengasihi sesama, berkuasa atas alam, dan seterusnya. Tetapi semua fungsi ini takkan bisa kita lakukan jika Allah tidak mengaruniai kita kapasitas-kapasitas struktural tertentu yang memampukan kita untuk itu. Jadi, ketika kita memikirkan manusia sebagai gambar Allah, struktur dan fungsi sama-sama terlibat.

Telah terjadi pergeseran di dalam teologi Kristen dalam hal ini. Para teolog awal berkata bahwa gambar Allah di dalam diri manusia terutama terletak di dalam kapasitas strukturalnya (manusia memiliki rasio, moralitas, dan sebagainya),7sementara fungsinya dianggap sebagai tambahan. Akan tetapi, para teolog yang lebih belakangan telah menegaskan bahwa fungsi manusialah yang membentuk esensi gambar Allah (penyembahan, pelayanan, kasih, pemerintahan, dan lain sebagainya).8 Bahaya yang terkandung di dalam pandangan terakhir ini adalah godaan untuk melihat gambar Allah hanya sebagai fungsi – yang sama berat sebelahnya dengan mereka yang melihat gambar Allah hanya sebagai struktur.9

Gambar Allah meliputi struktur maupun fungsi. Banyak istilah telah dipakai untuk mendeskripsikan kedua aspek ini: gambar yang lebih luas dan lebih sempit (H. Bavinck,10 L. Berkhof), gambar formal dan material (Brunner), substansi dan relasi (Hendrikus Berkhof),11 karunia dan aktivitas (David Cairns).12 Tetapi, keduanya merupakan sisi-sisi yang esensial dari gambar Allah. Herman Bavinck menyatakan:

Dengan membedakan gambar Allah di dalam pengertian yang lebih luas dan lebih sempit, para teolog Reformed telah secara paling jelas mempertahankan relasi antara substansi dan kualitas, natur dan anugerah, penciptaan dan penebusan.13

Tetapi, apa sajakah yang tercakup dalam aspek gambar Allah yang lebih luas, formal atau struktural? Para teolog telah memberikan berbagai jawaban untuk pertanyaan ini. Pada sejarah awal teologi Kristen, kekuatan intelektual dan rasional manusia dinyatakan sebagai salah satu ciri terpenting, jika bukan satu-satunya ciri terpenting dari gambar Allah di dalam pengertian yang lebih luas. Yang juga dimasukkan adalah kepekaan moral (kemampuan untuk membedakan yang benar dan yang salah) dan hati nurani. 

Selain itu, ada pula kapasitas untuk penyembahan agamawi (yang disebut Calvin sensus divinitatis atau “kesadaran akan keilahian”). Kualitas penting manusia yang sering disebut oleh para teolog belakangan ini adalah tanggung jawab: kemampuan manusia untuk menanggapi Allah dan sesamanya, dan kemampuannya memberikan pertanggungjawaban atas tanggapannya tersebut.

Kita bisa menyebutkan berbagai kapasitas atau kualitas lainnya, seperti, misalnya, kekuatan kehendak atau kapasitas untuk membuat keputusan.14 Kualitas lain adalah perasaan estetika manusia, yang dengannya manusia bukan hanya bisa menghargai keindahan yang telah Allah berikan kepada ciptaan-Nya, tetapi juga bisa menciptakan keindahan artistik sendiri – di dalam lukisan, patung, puisi dan musik. 

Bahkan, karunia berpidato dan menyanyi juga merupakan kualitas manusia yang berkenaan dengan aspek estetika. Dan kita masih bisa membuat daftar ini lebih panjang lagi. Singkat kata, yang kita maksudkan dengan gambar Allah di dalam pengertian yang lebih luas atau struktural adalah seluruh karunia dan kapasitas yang memampukan manusia untuk berfungsi sebagaimana seharusnya di dalam beragam relasi dan panggilannya.

Mungkin akan muncul pertanyaan, Mengapa karunia atau kapasitas-kapasitas yang baru saja disebutkan di atas dianggap sebagai bagian dari gambar Allah? Jawabannya, di dalam semua kapasitas ini manusia seperti Allah, dan oleh karenanya mencitrakan Allah. Misalnya, kekuatan rasional manusia merefleksikan rasio Allah dan dalam satu pengertian, memampukan manusia untuk berpikir seperti Allah berpikir. Kepekaan moral manusia merefleksikan hal tertentu dari natur moral Allah, yang merupakan penentu tertinggi mengenai apa yang benar dan salah. 

Kapasitas kita untuk bersekutu dengan Allah di dalam penyembahan merefleksikan persekutuan yang dimiliki Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Kemampuan kita untuk menanggapi Allah dan sesama menyerupai kemampuan dan kesediaan Allah untuk menanggapi kita ketika kita berdoa kepada-Nya. Kemampuan kita untuk membuat keputusan merefleksikan sedikit kuat kuasa-Nya “yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya” (Efesus 1:11). 

Perasaan kita akan keindahan merupakan refleksi yang redup dari Allah yang memberikan keindahan secara berlimpah di atas puncak-puncak gunung yang diselimuti salju, lembah-lembah dengan danau yang bagaikan permata dan matahari terbenam yang membangkitkan rasa takjub. Karunia berbicara yang kita miliki merupakan tiruan dari Dia yang terus-menerus berbicara kepada kita, baik di dalam dunia-Nya maupun di dalam firman-Nya. Dan karunia menyanyi yang kita miliki menggemakan Allah yang bersorak-sorak karena kita dengan sorak-sorai (Zef. 3:17).

Kedua, apakah yang kita maksud dengan gambar Allah di dalam pengertian yang lebih sempit, material atau fungsional? Secara tradisional, para teolog Reformed menjelaskan bahwa gambar Allah dalam pengertian ini terdiri dari pengetahuan, kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.15 Kesimpulan ini sebagian mereka tarik dari dua ayat Alkitab: Kolose 3:10 (“… dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbarui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya”) dan Efesus 4:24 (“… dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya”). 

Banyak teolog telah menjelaskan aspek dari gambar Allah ini dengan berbagai cara: sebagai manusia yang memberikan jawaban yang benar kepada Allah (Brunner);16 sebagai manusia yang hidup dalam kasih kepada Allah dan kepada sesamanya (Otto Weber);17 sebagai manusia yang hidup dalam relasi yang benar dengan Allah, sesama dan ciptaan (Hendrikus Berkhof);18 atau sebagai “pengudusan yang nyata secara konkret” (G.C. Berkouwer).19 Maka, gambar Allah dalam pengertian yang lebih sempit ber-arti berfungsinya manusia secara benar di dalam keharmonisan dengan kehendak Allah bagi dirinya.

Kedua aspek gambar Allah (yang lebih luas dan lebih sempit, struktural dan fungsional, formal dan material) tidak pernah bisa dipisahkan. Setiap kali kita melihat seseorang, kedua aspek ini harus selalu dipertimbangkan. Tetapi, kejatuhan manusia ke dalam dosa telah merusakkan cara manusia mencitrakan Allah. Jika sebelum Kejatuhan kita mencitrakan Allah secara benar, setelah kejatuhan kita tak lagi bisa melakukannya dengan kekuatan kita sendiri, karena sekarang kita hidup di dalam pemberontakan terhadap Allah.

Karena itu, orang bisa saja berpikir bahwa setelah Kejatuhan, manusia tidak lagi menyandang gambar Allah (dan sejumlah teolog memang mengajarkan pandangan ini). Akan tetapi, dari data Alkitab yang kita teliti sebelumnya, jelas kita tidak boleh berkata seperti ini. Menurut bukti Alkitab (seperti yang kita bahas dalam bab 3), manusia yang telah jatuh masih tetap dilihat sebagai penyandang gambar Allah, meskipun bukti lain menunjukkan bahwa manusia tidak lagi mencitrakan Allah sebagaimana mestinya dan oleh karena itu harus dipulihkan kembali kepada garribar Allah. Maka, dalam satu pengertian, manusia yang telah jatuh tetap menyandang gambar Allah. Tetapi dalam pengertian lain, manusia harus diperbarui menurut gambar Allah tersebut. 

Maka, kita tak boleh berkata bahwa gambar Allah telah hilang secara total melalui kejatuhan manusia dalam dosa. Kita seharusnya mengatakan bahwa gambar Allah telah diselewengkan atau terdistorsi oleh Kejatuhan, tetapi gambar itu masih ada. Yang membuat dosa begitu serius adalah karena manusia memakai kekuatan-kekuatan yang Allah berikan untuk mencitrakan Dia, justru untuk melakukan hal-hal yang mencemooh Penciptanya.

Pembedaan aspek struktural dan fungsional ini menolong kita untuk menjelaskan kondisi manusia sebelum dan setelah Kejatuhan. Saat diciptakan pada mulanya, manusia memiliki gambar Allah di dalam pengertian struktural atau pengertian yang lebih luas, dan pada saat yang sama mencitrakan Allah secara benar di dalam pengertian fungsional atau pengertian yang lebih sempit, karena dia hidup di dalam ketaatan yang sempurna kepada Allah. 

Tetapi, setelah jatuh dalam dosa, manusia mempertahankan gambar Allah di dalam pengertian struktural atau pengertian yang lebih luas tetapi kehilangan gambar Allah di dalam pengertian fungsional atau pengertian yang lebih sempit. Maksudnya, manusia yang telah jatuh tetap memiliki karunia dan kapasitas yang telah Allah berikan kepada mereka, tetapi sekarang mereka memakai karunia-karunia ini dengan cara yang berdosa dan tidak taat.20

Dalam proses penebusan, Allah dengan Roh-Nya memperbarui gambar tersebut di dalam diri manusia yang jatuh, yaitu memampukan mereka untuk sekali lagi memakai karunia-karunia mereka yang mencerminkan Allah dengan cara sedemikian rupa sehingga mencitrakan Allah secara benar – paling tidak secara prinsip. Setelah kebangkitan tubuh, di bumi yang baru, umat manusia yang telah ditebus akan sekali lagi mampu mencitrakan Allah secara sempurna.

Jadi, gambar Allah di dalam diri manusia harus dilihat meliputi struktur (berbagai karunia, kapasitas dan kemampuan alamiah) dan fungsi (tindakan, relasi dengan Allah dan sesama, dan cara ia memakai karunianya). Menekankan salah satu aspek dengan mengorbankan yang lain berarti bersikap berat sebelah. 

Namun, kita perlu menilai struktur manusia sebagai aspek sekunder dan fungsinya sebagai aspek primer. Allah telah menciptakan kita menurut gambar-Nya supaya kita bisa menjalankan tugas, menunaikan misi dan mencapai panggilan kita. Untuk memampukan kita melaksanakan tugas tersebut, Allah telah memberikan banyak karunia – karunia-karunia itu mencerminkan kebesaran dan kemuliaan-Nya. Melihat manusia sebagai gambar Allah berarti melihat tugas sekaligus karunia, tetapi tugas adalah yang primer dan karunia adalah yang sekunder. Karunia merupakan alat untuk memenuhi tugas.

KRISTUS SEBAGAI GAMBAR ALLAH YANG SEBENARNYA

Saat kita bertanya tentang bagaimana kita seharusnya memahami gambar Allah, kita diingatkan bahwa dalam Perjanjian Baru, Kristus disebut sebagai gambar Allah yang tiada bandingnya; Kristus adalah “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kolose 1:15). 

Jadi, jika kita ingin mengetahui seperti apa sebenamya gambar Allah di dalam diri manusia, kita harus melihat pada Kristus. Ini berarti, apa yang sentral di dalam gambar Allah bukanlah rasio atau inteligensi melainkan kasih, karena di dalam kehidupan Kristus, tak ada yang lebih menonjol dibandingkan dengan kasih-Nya yang ajaib. Dengan kata lain, di dalam Kristus kita melihat dengan jelas apa yang tersembunyi di dalam Kejadian 1, yaitu seperti apakah seharusnya manusia sebagai gambar Allah yang sempurna.

Ketika kita memandang Yesus Kristus, kita menyadari bahwa terdapat ketidaklaziman ganda mengenai-Nya. Pertama, terdapat ketidaklaziman pada keilahian-Nya. Ia adalah Allah-manusia yang cukup berani untuk mengatakan bahwa Ia dan Bapa adalah satu – pernyataan yang membuat bangsa Yahudi menuduh-Nya menghujat (Yohanes 10:31-33). Ia juga mengampuni dosa – tindakan yang hanya dilakukan Allah. Dan Ia juga berani mengatakan, “Sebelum Abraham jadi, Aku telah ada!” (Yohanes 8:58).

Tetapi juga terdapat ketidaklaziman pada kemanusiaan-Nya. Meskipun Ia adalah manusia sejati, kemanusiaan-Nya sungguh unik. Ia sama sekali tidak berdosa. Ketaatan-Nya kepada Bapa sempurna, kehidupan doa-Nya tak tertandingi, kasih-Nya kepada orang lain tak terukur. Dan kemudian kita sadar bahwa ketidaklaziman ini membuat kita malu karena hal ini memberi tahu kita tentang bagaimana seharusnya diri kita. Ketidaklaziman manusia Yesus menjadi cermin bagi kita; ini merupakan ketidaklaziman yang menjadi teladan, karena menyatakan kepada kita apa maksud Allah bagi kita masing-masing.

Ketika kita melihat kehidupan Yesus lebih dekat lagi, kita melihat 

(1) Ia sepenuhnya terarah pada Allah. Di awal pelayanan, meskipun dicobai sangat berat oleh Setan, Yesus menolak cobaan tersebut dalam ketaatan-Nya kepada Bapa. Ia sering menghabiskan waktu sepanjang malam di dalam doa kepada Bapa. Ia pemah berkata, “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yohanes 4:34). 

Pada akhir hidup-Nya di bumi, saat tengah menghadapi pendenderitaan dahsyat yang harus Ia alami sebagai Penyelamat umat-Nya, Dia berdoa, “”Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki” (Matius 26:39).

(2) Kristus sepenuhnya terarah pada sesama. Ketika orang banyak datang kepada-Nya untuk meminta bantuan, baik kebutuhan akan kesembuhan, makanan atau pengampunan, Dia selalu siap membantu mereka. Satu kali, ketika Yesus beristirahat di sumur karena merasa letih setelah perjalanan-Nya, Ia bersedia melupakan rasa lelah-Nya dan melayani seorang wanita Samaria. Kepada Zakheus Ia berkata, “Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Lukas 19:10). 

Pada kesempatan lain, Yesus berkata kepada para murid, “Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:45). Yesus pernah mendefinisikan kasih terbesar yang bisa ditunjukkan seseorang kepada sesamanya, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yohanes 15:13). Ini adalah bentuk kasih yang ditunjukkan oleh Yesus sendiri: Ia memberikan nyawa-Nya bagi sahabat-sahabat-Nya.

(3) Kristus berkuasa atas alam. Dengan satu perintah Yesus meredakan badai yang mengancam para murid di Danau Galilea. Ia juga berjalan di atas air untuk menunjukkan kuasa-Nya atas alam. Ia bisa menangkap ikan dengan mujizat, melipatgandakan roti dan mengubah air menjadi anggur. Dia menyembuhkan banyak penyakit, mengusir roh-roh jahat, membuat orang tuli mendengar, orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, dan bahkan membangkitkan orang yang sudah mati.

Apakah mujizat ini membuktikan keilahian Knstus atau menyatakan apa yang bisa Kristus lakukan di dalam kemanusiaan-Nya yang bergantung pada Bapa-Nya yang di sorga? Kita tidak bisa memisahkan natur manusia Kristus dari natur keilahian-Nya. 

Konsili Chalcedon menyatakan bahwa kedua natur ini selalu berada bersama tanpa terjadi percampuran, perubahan, pembagian, atau pembahaan. Akan tetapi, ayat-ayat tertentu menjukkan bahwa Yesus melakukan mujizat-mujizat ini di dalam kemanusiaan-Nya yang sempurna, di dalam kebergantungan-Nya pada kuasa ilahi, “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu. (Matius 12:28); “Hai orang-orang Israel, dengarlah perkataan ini: Yang aku maksudkan, ialah Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu, seperti yang kamu tahu”‘ (Kis. 2:22, khotbah Petrus pada hari Pentakosta).

Akan tetapi, kita jangan bersikap dogmatis dalam hal ini. Yesus adalah Allah-manusia, dan dengan demikian apa pun yang dilakukan-Nya, Ia lakukan sebagai Pribadi ilahi sekaligus manusiawi. Jelas kita tidak bisa melakukan mujizat seperti yang Yesus lakukan; kita tidak bisa meredakan badai atau membangkitkan orang mati. Tetapi kita belajar dari kehidupan Kristus bahwa kuasa atas alam merupakan aspek yang esensial dari fungsi kita sebagai gambar Allah – aspek yang harus kita pikirkan penerapannya bagi diri kita sendiri.

Kesimpulannya, dengan memandang kepada Yesus Kristus, gambar Allah yang sempurna, kita belajar bahwa fungsi gambar Allah meliputi keterarahan pada Allah, keterarahan pada sesama, dan kuasa atas alam.21

MANUSIA DI DALAM RELASI RANGKAP TIGA

Seperti Knstus, gambar Allah yang sejati, berfungsi dalam tiga relasi, maka manusia pun harus demikian. Kejadian 1:26-28, yang menjelaskan penciptaan manusia menurut gambar Allah, menyatakan:

(Kejadian 1:26) Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” (27) Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. (Kejadian 1:28) Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”

Allah menempatkan manusia di dalam relasi rangkap tiga: antara manusia dan Allah, manusia dan sesamanya, serta manusia dan alam. Penciptaan manusia oleh Allah, berkat Allah kepada manusia, dan mandat yang diberikan Allah kepada manusia, mengindikasikan relasi utama yang di dalamnya manusia berdiri: relasinya dengan Allah. Kalimat “laki-laki dan perempuan, diciptakan-Nya mereka” mengindikasikan relasi manusia dengan sesamanya. Dan kuasa yang diberikan kepada kita atas alam mengindikasikan relasi kita dengan alam.

Mari kita memerhatikan masing-masing relasi ini secara lebih mendetail. Saat melakukannya, kita akan menemukan tujuan Allah bagi diri kita, bagaimana Allah menghendaki kita menjalani hidup kita.

Menjadi seorang manusia berarti terarah pada Allah. Manusia merupakan makhluk yang berhutang kepada Allah atas eksistensi dirinya, yang sepenuhnya bergantung pada Allah, dan yang terutama bertanggung jawab kepada Allah. Ini merupakan relasi yang pertama dan paling penting. Semua relasi lain harus dilihat sebagai relasi-relasi yang didominasi dan diatur oleh relasi manusia dengan Allah ini.

Jadi, menjadi manusia dalam makna yang paling mumi berarti mengasihi Allah di atas segalanya, memercayai-Nya, menaati-Nya, dan bersyukur kepada-Nya. Karena keterkaitan manusia dengan Allah merupakan relasi paling utama yang ia miliki, maka seluruh kehidupannya haruslah dihidupi secara coram Deo – hidup di hadapan Allah. Manusia terikat pada Allah seperti ikan terikat pada air. Ketika ikan ingin terbebas dari air, ia akan kehilangan kebebasan dan juga hidupnya. Ketika kita berusaha untuk “bebas” dari Allah, kita menjadi budak dosa.

Relasi vertikal manusia dengan Allah merupakan hal mendasar bagi antropologi Kristen, dan semua antropologi yang menyangkal relasi ini harus dilihat tidak saja sebagai antropologi yang tidak-Kristen tetapi anti-Kristen. Semua pandangan tentang manusia yang tidak bertitik tolak dari doktrin penciptaan dan yang melihat manusia sebagai keberadaan otonom yang bisa mencapai apa yang benar dan tepat tanpa Allah atau tanpa wahyu Allah di dalam Alkitab, harus ditolak sebagai pandangan yang salah.

Bertahun-tahun yang lalu Augustinus menyatakan, “Engkau [Allah] telah menjadikan kami bagi diri-Mu, dan hati kami akan terus gelisah sampai kami menemukan kelegaan di dalam Engkau.”22 Calvin mengekspresikan pemikiran yang senada ketika ia menulis, “Semua manusia dilahirkan supaya pada akhirnya mereka bisa mengenal Allah.”23 G.C. Berkouwer menekankan keterkaitan manusia yang tak terelakkan dengan Allah, “Alkitab berbicara tentang manusia di dalam relasinya dengan Allah dan ia tak pernah bisa dilihat sebagai manusia-yang-berdiri-sendiri.”24

Ini berarti, di dalam segala hal yang kita perbuat, kita sepenuhnya bertanggung jawab kepada Allah. Manusia diciptakan sebagai satu diri, sebagai pribadi, yang memiliki kesadaran diri dan ketetapan diri.25 Ini berarti manusia mampu menanggapi, menjawab, bersekutu dan mengasihi Allah. Implikasi dari semua ini bukan hanya berkenaan dengan ibadah kita tetapi juga keseluruhan hidup kita. Maksud Allah bagi manusia adalah agar ia melakukan segala sesuatu di dalam ketaatan kepada Allah dan bagi kemuliaan Allah, sehingga ia memakai semua kekuatan, karunia dan kapasitasnya untuk melayani Allah.

Menjadi seorang manusia berarti terarah pada sesamanya. Sekali lagi kita kembali pada Kejadian 1. Perhatikan kesejajaran di ayat 27 antara “menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia” dan “laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Ini lebih dari sekadar pembedaan seksual, karena pembedaan ini juga terjadi pada binatang dan Alkitab tidak mengatakan bahwa binatang diciptakan menurut gambar Allah. 

Apologetika yang dinyatakan dalam ayat ini adalah bahwa pribadi manusia bukanlah suatu keberadaan yang terisolir, yang lengkap di dalam dirinya sendiri, melainkan bahwa manusia ini, baik laki-laki maupun perempuan, merupakan keberadaan yang membutuhkan persekutuan dengan sesamanya, dan ia tidak lengkap tanpa sesamanya.

Poin ini bahkan dinyatakan dengan lebih jelas dalam Kejadian 2, yang mengisahkan penciptaan Hawa, “TUHAN Allah berfirman: `Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”‘ (ay. 18). Ungkapan bahasa Ibrani yang diterjemahkan menjadi “penolong yang sepadan” adalah ēzer kenegdō. Neged (kata yang diterjemahkan menjadi “sepadan dengan dia”) berarti “sesuai dengan” atau “menjawab.” 

Maka secara harfiah, ungkapan ini berarti “Penolong yang menjawab Adam.” Kata ini mengimplikasikan bahwa perempuan merupakan imbangan, penunjang dan pelengkap bagi laki-laki, bahwa perempuan kuat di mana laki-laki lemah, menutupi kekurangannya, dan memenuhi kebutuhannya. Jadi, laki-laki tidak lengkap tanpa perempuan. Sebaliknya, perempuan juga tidak lengkap tanpa laki-laki; laki-laki merupakan imbangan dan penunjang baginya, pemenuh kebutuhannya, dan kuat di mana perempuan itu lemah.

Tetapi, semua ini tak boleh ditafsirkan seakan-akan hanya seorang yang menikah yang bisa mengalami arti menjadi manusia sejati dan penuh. Dibandingkan lembaga manusia lain, pernikahan memang menyatakan dan mengilustrasikan polaritas dan saling ketergantungan relasi laki-laki perempuan ini secara lebih utuh, tetapi hal ini tidak bersifat eksklusif. Yesus sendiri, Manusia ideal, tidak pernah menikah. Dan di dalam kehidupan yang akan datang, ketika manusia akan disempurnakan sepenuhnya, takkan ada pernikahan (Matius 22:30).

Jadi, relasi laki-laki-perempuan mengimplikasikan kebutuhan akan persekutuan di antara manusia. Tetapi, Kejadian 1 dan 2 juga menunjukkan relasi dengan sesama secara umum. Bukan hanya laki-laki tidak lengkap tanpa perempuan, dan perempuan tidak lengkap tanpa laki-laki; laki-laki juga tidak lengkap tanpa laki-laki lain dan perempuan tidak lengkap tanpa perempuan lain. Laki-laki dan perempuan tidak bisa menjadi manusia sejati bila terisolasi; mereka membutuhkan persekutuan dan stimulasi dari sesamanya. Kita adalah makhluk sosial. Fakta bahwa manusia diperintahkan untuk mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri menunjukkan bahwa manusia membutuhkan sesamanya.

Manusia tidak bisa benar-benar menjadi manusia tanpa sesamanya. Hal ini bahkan berlaku dalam pengertian psikologis maupun sosial. Mendekati akhir abad ke-18, di dekat kota Aveyron, Perancis, ada. seorang anak laki-laki yang dibuang oleh orangtuanya dan dibiarkan bertahan hidup seorang diri di dalam hutan Lacaune. Saat anak ini ditemukan orang bertahan-tahun kemudian, ia lebih menyerupai seekor binatang daripada seorang manusia. Ia memakan kacang-kacangan, kenari, dan buah-buah liar. Ucapannya berupa geraman; ia tak pernah belajar berbicara secara koheren.26 Ini menunjukkan bahwa jika terpisah dari relasi dan persekutuan dengan manusia lain, manusia tak bisa berkembang menjadi laki-laki atau perempuan yang normal.

Fakta bahwa kita hanya bisa menjadi manusia yang utuh melalui perjumpaan dengan sesama juga bisa dibuktikan melalui cara-cara lain. Hanya melalui kontak dengan sesama, kita bisa mengetahui siapa diri kita, apa kekuatan dan kelemahan kita. Hanya di dalam persekutuan dengan sesama, kita bertumbuh dan menjadi matang. Hanya di dalam kerekanan dengan sesama, kita bisa mengembangkan sepenuhnya potensi kita. Ini berlaku di dalam semua relasi antarmanusia dimana kita mendapatkan diri kita berada: di dalam keluarga, sekolah, gereja, pekerjaan atau profesi, organisasi-organisasi rekreasional, dan sebagainya.

Kita saling memperkaya. Hal ini benar bahkan dalam suatu pengertian kolektif. Kita diperkaya oleh orang-orang dari ras yang berbeda, latar belakang yang berbeda, tingkat dan tipe pendidikan yang berbeda, panggilan dan profesi yang berbeda dari kita. Tidak baik jika seseorang hanya memiliki persekutuan sosial dengan mereka “yang sejenis dengannya.”

Keterkaitan manusia dengan sesama menunjukkan bahwa setiap manusia tidak boleh melihat karunia-karunia yang dimilikinya sebagai jalan untuk meninggikan diri sendiri, melainkan sebagai sarana yang dengannya ia bisa memperkaya hidup orang lain. Ini berarti kita harus bersemangat untuk menolong sesama, memulihkan mereka dari penderitaan, memberikan apa yang mereka butuhkan, menanggung beban mereka, dan berbagi sukacita mereka. Ini berarti kita harus mengasihi sesama seperti diri sendiri. Ini berarti setup manusia memiliki hak untuk diterima, untuk menjadi bagian dan untuk dikasihi oleh sesama. Ini berarti, dikasihi dan mengasihi merupakan aspek kemanusiaan yang esensial.27

Menjadi manusia berarti berkuasa atas alam. Kejadian 1:26-28 juga melihat manusia sebagai ciptaan yang mengatur atau berkuasa atas alam. Manusia diberi kuasa atas bumi dan segala isinya. Tetapi, para teolog berbeda pandangan mengenai signifikansi pengaturan ini. Ada yang berpandangan bahwa kekuasaan ini hanya merupakan efek samping dari penciptaan manusia menurut gambar Allah, bukan suatu aspek yang esensial dari gambar Allah tersebut.28 Akan tetapi, kebanyakan penafsir – secara tepat – meyakini bahwa pembeian kekuasaan atas bumi ini kepada manusia merupakan aspek yang esensial dari gambar Allah.29 

Seperti halnya Allah dinyatakan dalam Kejadian 1 sebagai yang berkuasa atas seluruh ciptaan, manusia juga digambarkan sebagai wakil penguasa bersama Allah, yang berkuasa atas alam sebagai wakil Allah. Jadi, menguasai bumi merupakan hal yang esensial untuk eksistensi manusia. Seperti halnya manusia tak boleh dipikirkan terpisah dari relasinya dengan Allah atau dengan sesama, manusia juga tak boleh dipikirkan secara terpisah dari kekuasaan ini.

Kejadian 1:28 memakai dua kata untuk mendeskripsikan relasi manusia dengan alam: taklukkanlah dan berkuasalah. Kata kerja yang diterjemahkan sebagai taklukkanlah berasal dari kata kerja Ibrani kābash, yang berarti “menaklukkan” atau “memperbudak.” 

Kata kerja ini memberi tahu kita bahwa manusia harus menggali berbagai sumber daya bumi, mengolah tanahnya, menambang hartanya yang terkubur. Tetapi, kita jangan hanya berpikir tentang tanah, tumbuhan dan binatang; kita juga harus mengingat eksistensi manusia sendiri, karena ia juga merupakan aspek ciptaan Allah yang baik. Manusia dipanggil Allah untuk mengembangkan semua potensi yang ditemukan di dalam alam dan di dalam diri umat manusia. 

Manusia harus berupaya untuk mengembangkan bukan saja agrikultural, hortikultural dan pengembangbiakan binatang, tetapi juga sains, teknologi dan seni. Dengan kata lain, pada bagian ini kita menemukan mandat budaya: perintah untuk mengembangkan suatu budaya yang memuliakan Allah. Meskipun kata-kata ini merupakan bagian dari berkat Allah kepada manusia, berkat ini mengimplikasikan sebuah mandat.

Kata lain yang dipakai dalam Kejadian 1:28, yaitu kata “berkuasalah,” diterjemahkan dari kata kerja Ibrani rādāh, yang berarti “memerintah” atau “mendominasi.” Dikatakan secara khusus bahwa umat manusia akan berkuasa atas binatang-binatang. Perhatikan juga Kejadian 9:2, di mana Allah berfirman kepada Nuh, selaku wakil umat manusia pasca-air bah, “Akan takut dan akan gentar kepadamu segala binatang di bumi … ke dalam tanganmulah semuanya itu diserahkan.” Mazmur 8 bukan hanya menggemakan pemikiran ini tetapi mengembangkannya:

Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah,

dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.

Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu;

segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya.

Mazmur 8:6-7.

Akan tetapi, kita perlu memperhatikan bahwa relasi yang benar antara manusia dengan alam bukan sekadar berkuasa atasnya. Saat beralih dari Kejadian 1 menuju Kejadian 2, kita melihat bahwa Adam diberi tugas khusus yang harus ia laksanakan, yaitu mengusahakan (‘ābad) dan memelihara (shāmar) Taman Eden, di mana ia telah ditempatkan (ay. 15). 

Kata Ibrani ‘ābad secara harfiah bermakna “melayani.” Kata shāmar bermakna “menjaga, menguwasi, melestarikan, atau merawat.” Dengan kata lain, Adam bukan hanya diperintahkan untuk berkuasa atas alam, ia juga diperintahkan untuk mengusahakan dan memelihara bagian dari bumi di mana ia telah ditempatkan. 

Jika manusia diperintahkan hanya untuk berkuasa atas bumi, maka perintah ini dapat dengan mudah dianggap sebagai undangan terbuka untuk melakukan eksploitasi yang tak bertanggung jawab terhadap sumber daya bumi. Tetapi perintah mengusahakan dan memelihara Taman Eden menunjukkan bahwa selain menguasai, kita juga harus melayani dan melestarikan bumi.30

Relasi ketiga ini menunjukkan bahwa meski manusia berada di posisi di bawah Allah, ia berada di posisi di atas alam sebagai penguasanya, sebagai orang yang diperintahkan untuk mengagumi beragam keindahannya, menemukan rahasia-rahasianya, dan menggali berbagai sumber dayanya. Tetapi manusia, yaitu kita, harus berkuasa atas alam dengan cara sedemikian rupa sehingga menjadi pelayannya juga. 

Kita harus memerhatikan pelestarian sumber daya alam dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Kita harus mencegah erosi tanah, perusakan benar-besaran terhadap hutan, pemakaian energi yang tak bertanggung jawab, polusi sungai dan danau, dan polusi udara yang kita hirup. Kita harus menjadi pelayan untuk bumi dan semua vang ada di dalamnya, dan untuk mendukung apa pun yang akan memelihara manfaat dan keindahan bumi ini demi kemuliaan Allah.

Bagaimanakah kaitan dari ketiga relasi ini (dengan Allah, sesama, dan alam)? Apakah ketiganya berdiri terpisah tanpa relasi satu sama lain atau terdapat relasi yang erat di antara mereka? Apakah salah satu relasi ini lebih utama dibandingkan dengan dua relasi lainnya? Pertanyaan-pertanyaan ini penting. Selama berabad-abad, gereja Kristen menyatakan bahwa hanya relasi pertama yang benar-benar penting, dan bahwa kedua relasi lainnya hanya berfungsi untuk menunjang relasi pertama. Mungkin kita bisa menyebut relasi pertama ini relasi vertikal. Tetapi, dalam tahun-tahun belakangan ini muncul sejenis kekristenan versi horizontalisasi. 

Banyak yang mengajarkan bahwa relasi yang paling penting adalah relasi yang kedua, dan bahwa relasi dengan Allah hanya mungkin terekspresikan di dalam relasi manusia dengan sesamanya. Selain itu, di dalam zaman teknologi kita sekarang ini, relasi yang ketiga tampaknya meredupkan dua relasi yang lain. Setidaknya di negara-negara industri, terlihat bahwa tenaga kita paling terkuras untuk relasi ketiga ini – untuk mempertahankan dan memajukan teknologi. Ada sejumlah kalangan yang berpendapat bahwa relasi ketiga ini sedemikian mendominasi hidup kita sehingga manusia modern dengan cepat menjadi budak mesin dan komputer.

Akan tetapi, Allah telah menempatkan manusia ke dalam ketiga relasi tersebut. Setiap relasi adalah sama pentingnya; tanpa salah satunya kita tidak bisa bereksistensi atau berfungsi secara tepat. Selain itu, ketiga relasi ini saling berkaitan. Manusia tidak bisa tidak berelasi dengan Allah; relasi ini memang merupakan relasi yang lebih dahulu dan paling penting. Tetapi relasi ini tidak ada tanpa dua relasi yang lain dan tak dapat direalisasikan tanpa kedua relasi lain. Di dalam relasi kita dengan sesama, relasi kita dengan Allah terealisasikan. Alkitab berulang kali mengajarkan bahwa kita menunjukkan kasih kepada Allah melalui kasih kepada sesama. 

Seseorang yang tidak mengasihi sesamanya berdusta saat berkata bahwa ia mengasihi Allah (lYohanes 4:20). Selain itu, kasih kita kepada Allah dan kepada sesama juga harus dinyatakan melalui penguasaan dan pemeliharaan kita terhadap ciptaan Allah. Ketika kita mengasihi sesama dan mengelola ciptaan Allah secara bertanggung jawab, maka pada saat yang sama kita melayani Allah.31

Kita harus ingat bahwa tak ada ciptaan lain yang hidup di dalam tiga relasi seperti ini. Ketika kita berkata bahwa manusia bertanggung jawab kepada Allah dan bahwa mereka harus secara sadar terarah kepada-Nya, kita menemukan satu relasi yang tidak ditemukan di dalam ciptaan lain kecuali malaikat. Ketika kita berkata bahwa manusia mampu memiliki persekutuan yang sadar dengan sesama dan bahwa hidup mereka harus terarah pada sesamanya, kita menemukan satu relasi yang tidak ditemukan di dalam ciptaan lain, dan bahkan mungkin juga tidak pada malaikat, yang tidak saling terikat dengan cara yang sama seperti umat manusia. 

Dan ketika kita berkata bahwa manusia ditunjuk oleh Allah untuk berkuasa dan memelihara bumi, kita menemukan relasi yang tidak ditemukan di dalam ciptaan yang lain, dan bahkan tidak juga pada malaikat.

Selain itu, masing-masing relasi ini merefleksikan keberadaan Allah sendiri. Tanggung jawab manusia kepada Allah dan persekutuan yang sadar dengan-Nya merefleksikan persekutuan dan kasih Allah kepada manusia. Persekutuan manusia dengan sesamanya merefleksikan persekutuan intra-Trinitas di dalam Keallahan (Godhead; bdk. Yohanes 17:24, “Sebab Engkau [Bapa] telah mengasihi Aku [Anak] sebelum dunia dijadikan”). Kuasa manusia atas bumi merefleksikan kuasa tertinggi yang dimiliki Allah Pencipta atas segala sesuatu yang adalah ciptaan-Nya – refleksi ini begitu erat sehingga waktu membicarakan kuasa manusia atas buatan tangan Allah, penulis Mazmur 8 bisa berkata, “Engkau telah membuatnya [manusia] hampir sama seperti Allah” (ay. 6).

Karena relasi rangkap tiga ini dimiliki manusia secara unik, dan karena ia mencitrakan Allah di dalam setiap relasi ini, maka kita bisa menyimpulkan bahwa fungsi yang benar dari gambar Allah harus tersalurkan melalui ketiga relasi ini: kepada Allah, sesama dan alam. Manusia telah dikaruniai Allah dengan berbagai kualitas dan karunia yang dengannya ia mampu berfungsi di dalam ketiga relasi ini. Tetapi meskipun penting, gambar Allah tidak boleh dilihat hanya di dalam berbagai kapasitas ini. Gambar Allah terutama harus dilihat dalam cara manusia berfungsi di dalam ketiga relasi tersebut.

MANUSIA SEBAGAI GAMBAR ALLAH YANG ORISINAL

Untuk memahami gambar Allah dalam kandungan alkitabiah yang sepenuhnya, kita harus melihatnya di dalam terang penciptaan, kejatuhan dan penebusan. Sebelum manusia jatuh dalam dosa, kita melihat gambar yang orisinal. Meskipun kita tidak tahu bagaimana persisnya gambar Allah menyatakan diri pada tahap itu,32 kita bisa mengasumsikan bahwa pasangan manusia pertama mencitrakan Allah dengan taat dan tanpa dosa. Menurut Augustinus, manusia pada saat itu “bisa tidak berdosa.”33

Maka kita juga bisa mengasumsikan bahwa pada tahap ini, Adam dan Hawa menjalani ketiga bentuk relasi yang telah kita bahas di atas dengan taat dan tanpa dosa: di dalam menyembah dan melayani Allah, di dalam mengasihi dan melayani sesama, dan di dalam berkuasa dan memelihara wilayah ciptaan di mana Allah telah menempatkan mereka.

Tetapi, masih diperlukan komentar tambahan. Meskipun pasangan manusia pertama ini tidak berdosa dan hidup dalam apa yang sering disebut para teolog sebagai “tahap integritas” (stage of integrity), mereka belum tiba di akhir perjalanan. Mereka belum menjadi penyandang gambar Allah yang telah berkembang sepenuhnya; mereka seharusnya maju ke satu tahap yang lebih tinggi, di mana ketidakberdosaan mereka tidak akan bisa hilang. Pada tahap yang pertama ini, masih ada kemungkinan untuk berdosa. Bavinck menyatakannya sebagai berikut:

Adam tidak berdiri di akhir melainkan di awal perjalanan; ia berada dalam kondisi yang bersifat sementara, sehingga kondisi ini tidak bisa tetap bertahan seperti itu dan harus berlalu, baik menuju tahap kemuliaan yang lebih tinggi atau menuju kejatuhan dalam dosa dan maut.34

Selanjutnya, menurut Bavinck, fakta bahwa Adam dan Hawa masih harus hidup dengan kemungkinan dapat berdosa, bisa disebut sebagai batasan dari gambar Allah:

Adam … memiliki posse non peccare [bisa tidak berdosa] tetapi belum memiliki non posse peccare [tidak bisa berdosa]. Dia masih hidup di dalam kemungkinan dapat berdosa … dia belum memiliki kasih yang sempurna dan tidak berubah yang meniadakan semua rasa takut. Jadi, para teolog Reformed benar saat menegaskan bahwa kemungkinan ini, yaitu kemungkinan untuk berubah-ubah dan kemampuan untuk berbuat dosa ini … bukanlah suatu aspek atau isi dari gambar Allah, melainkan batasan, limitasi, atau ujung dari gambar Allah..35

Hal ini jelas: integritas yang di dalamnya Adam dan Hawa bereksistensi sebelum Kejatuhan bukanlah keadaan sempurna yang telah digenapkan dan tak mungkin berubah. Manusia memang diciptakan menurut gambar Allah pada mulanya, tetapi ia belum menjadi “produk akhir.” Dia masih perlu bertumbuh dan diuji. Allah hendak menetapkan apakah manusia akan taat kepada-Nya secara bebas dan sukarela. 

Untuk alasan inilah Allah memberikan sebuah “perintah larangan” kepada Adam, “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kejadian 2:16-17). Jika Adam dan Hawa menaati perintah ini, siapa yang tahu akan menjadi seperti apa sejarah umat manusia. Tetapi, sangat disesalkan, mereka tidak taat sehingga mereka menjatuhkan diri mereka dan seluruh umat manusia yang lahir setelah mereka, ke dalam keadaan berdosa.

MANUSIA SEBAGAI GAMBAR ALLAH YANG MENYIMPAN

Setelah manusia jatuh dalam dosa, gambar Allah tidak musnah melainkan menyimpang. Dalam pengertian strukturalnya, gambar Allah masih ada – karunia, anugerah dan kapasitas manusia tidak dihancurkan oleh Kejatuhan – tetapi manusia sekarang mulai memakai karunia-karunia ini dengan cara yang bertentangan dengan kehendak Allah. Dengan kata lain, apa yang berubah bukanlah struktur manusia, melainkan caranya berfungsi dan arah yang ditujunya. Sekali lagi Bavinck menyatakan dengan baik:

Manusia yang jatuh … tidak berubah menjadi setan yang tidak bisa ditebus dan tak bisa lagi menyatakan ciri-ciri gambar Allah. Dia secara riil dan substansial tetap merupakan manusia dan masih memelihara semua kemampuan, kapasitas, dan kekuatan manusia. Tetapi, bentuk, natur, disposisi, dan arah dari semua kekuatan ini telah begitu berubah sehingga sekarang ia tidak lagi melakukan kehendak Allah melainkan memuaskan hasrat kedagingannya.36

Karena Kejatuhan, gambar Allah di dalam diri manusia, meskipun tidak hancur, telah rusak secara serius. Kita teringat pada Calvin yang berkata bahwa gambar Allah ini telah rusak, cacat, terpotong-potong, buntung, terjangkit penyakit dan kehilangan keindahannya.37 Herman Bavinck bahkan pernah memakai istilah “hancur berantakan” (verwoestte) untuk menggambarkan apa yang diperbuat dosa terhadap gambar Allah di dalam diri manusia38 (meski ia takkan menyangkal bahwa dalam satu pengertian, manusia yang jatuh masih mempertahankan gambar Allah).

Bagaimanakah penyimpangan gambar ini mempengaruhi cara manusia menjalani ketiga relasi yang di dalamnya Allah telah menempatkan mereka? Seperti yang telah kita lihat, manusia diciptakan untuk terarah secara benar kepada Allah; ia harus berelasi dengan Allah. Tetapi manusia yang jatuh bukannya menyembah Allah sejati, tetapi malah menyembah berhala. Dalam Roma 1, Paulus menunjukkan tak adanya dalih bagi penyimpangan terhadap relasi Allah-manusia ini:

… mereka tidak dapat berdalih. Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur kepada-Nya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar (ay. 20-23).

Jika manusia primitif membuat berhala dari kayu dan batu, maka manusia modern, yang mencari sesuatu untuk disembah, membuat berhala dengan bentuk yang lebih terselubung: dirinya sendiri, masyarakat, negara, yang, kemasyuran, harta, atau kesenangan. Semua pemberhalaan ini merupakan penyimpangan dari kapasitas manusia untuk menyembah Allah.

Selain itu, bukannya memakai rasionya sebagai alat untuk memuji Allah, manusia yang jatuh justru memakai rasionya sebagai alat untuk memuji dirinya atau memuji prestasi-prestasi manusia. Pengertian moral yang dikaruniakan kepada manusia dipakai secara menyimpang, yang salah dikatakan benar dan yang benar dikatakan salah. Karunia berbicara dipakai untuk mengutuk Allah dan bukannya memuji-Nya. Dan bukannya hidup di dalam ketaatan kepada Allah, manusia memilih untuk memberontak, hidup menantang Allah dan hukum-hukum-Nya.

Penyimpangan gambar ini juga mempengaruhi bentuk relasi kedua. Bukannya memakai kapasitasnya untuk bersekutu guna memperkaya kehidupan sesama, manusia yang telah jatuh memakai karunia ini untuk memanipulasi sesamanya sebagai alat untuk mencapai tujuannya yang egois. Manusia memakai karunia berbicaranya untuk menyatakan dusta dan bukan kebenaran; untuk menghancurkan dan bukan membangun sesamanya. 

Berbagai kemampuan artistik sering dilacurkan untuk memuaskan nafsu, dan kemampuan seksual yang Allah karuniakan dipakai untuk tujuan-tujuan hina dan menyimpang. Pornografi dan obat-obat terlarang telah menjadi bisnis besar; tujuannya bukan untuk menolong sesama, melainkan untuk mengeksploitasi mereka. Moto dari kebayakan orang hari ini tampaknya berbunyi, “Setiap orang harus menyelamatkan dirinya sendiri dan tidak perlu memedulikan orang lain.” Manusia tidak bisa tidak berelasi dengan sesama, tetapi bukannya mengasihi, manusia cenderung membenci sesamanya.

Di tengah masyarakat kontemporer, kecenderungan untuk membenci sesama sering terlihat dalam wujud ketidakpedulian atau sikap mengasingkan sesama. Ketidakpeduliaan terhadap sesama merupakan fenomena yang lazim dalam peradaban kota kita yang terus berkembang ini, di mana banyak orang hampir tidak mengenal tetangga mereka, dan yang lebih buruk, bahkan tidak merasa perlu untuk mengenal mereka. 

Pengasingan dalam bentuk yang paling ekstrem terekam dengan baik di dalam diktum Jean-Paul Sartre yang terkenal, “Neraka adalah orang lain.”39 Tingkat terburuk dari sikap ini terlihat di dalam diri para penjahat yang benar-benar membenci sesamanya sehingga ia akan mencuri, melakukan kebrutalan atau membunuh untuk memperoleh apa yang ia inginkan.

Penyimpangan juga terjadi di dalam bentuk relasi ketiga, yaitu relasi antara manusia dengan alam. Bukannya memerintah bumi dalam ketaatan pada Allah, manusia justru memakai bumi dan sumber dayanya untuk tujuan yang egois. Setelah melupakan bahwa ia diberi kuasa atas bumi dengan tujuan memuliakan Allah dan untuk mendatangkan manfaat bagi sesamanya, manusia menjalankan kekuasaan ini dengan cara-cara yang berdosa. Manusia mengeksploitasi berbagai sumber daya alam tanpa memedulikan masa depan: membabat hutan tanpa menanam kembali, menanam benih tanpa melakukan rotasi, tidak mencegah erosi tanah. Pabrik-pabrik mencemari sungai dan danau, dan cerobong-cerobong asap mencemari udara – dan tampaknya tak ada yang peduli. 

Penemuan rahasia nuklir bukannya menjadi berkat bagi manusia, tetapi mengancam kita seperti pedang Damocles, yang bahkan membuat tulang kita terasa membeku sampai ke sumsum. Dan di dalam prestasi-prestasi budaya yang telah dicapai – sastra, seni, ilmu pengetahuan, teknologi – tujuan manusia ialah untuk memuliakan dirinya sendiri, dan bukannya memuliakan Allah.

Melalui ini, gambar Allah dalam diri manusia telah diselewengkan setelah Kejatuhan. Gambar Allah sekarang mengalami malfungsi, tetapi tetap ada. Hilangnya gambar Allah dalam pengertian fungsional mempresaposisikan bertahannya gambar Allah dalam pengertian struktural. Untuk bisa menjadi orang berdosa, seseorang harus menyandang gambar Allah – ia harus mampu bernalar, berkehendak, membuat keputusan; seekor anjing, yang tidak memiliki gambar Allah, tidak mungkin berdosa. Manusia berdosa dengan karunia-karunianya yang mencitrakan Allah.

Faktanya, kedahsyatan dosa manusia justru dikarenakan fakta bahwa is masih merupakan penyandang gambar Allah. Yang membuat dosa begitu what adalah bahwa manusia melakukan karunia-karunia yang begitu menakjubkan ini. Corruptio optimi pessima: perusakan terhadap yang terbaik merupakan hal yang terburuk.

MANUSIA SEBAGAI GAMBAR ALLAH YANG DIPERBARUI

Karena gambar Allah telah menyimpang akibat kejatuhan manusia dalam dosa, gambar Allah tersebut perlu diperbarui. Pembaruan atau pemulihan gambar Allah ini terjadi di dalam proses penebusan. Apakah pemulihan ini berarti bahwa gambar yang sepenuhnya hilang sekarang diberikan kembali? Bukan demikian; lebih tepat bila dikatakan bahwa gambar Allah yang telah menyimpang namun tidak hilang sepenuhnya itu, tengah diperbaiki dan diluruskan kembali. Di dalam proses penebusan, manusia yang tadinya memakai kapasitas untuk mencitrakan Allah dengan cara yang salah, sekarang kembali dimampukan untuk memakai berbagai kapasitas ini dengan cara yang benar.

Dalam bab 3 kita melihat ajaran Perjanjian Baru tentang pemulihan gambar Allah melalui proses penebusan.40 Pemulihan ini dimulai dengan regenerasi, yang kadang disebut “lahir baru” – suatu peristiwa yang bisa didefinisikan sebagai “tindakan Roh Kudus, yang tidak boleh dipisahkan dari pemberitaan dan pengajaran Firman, yang melaluinya Roh Kudus membawa seseorang pada kesatuan yang hidup dengan Kristus dan mengubah hati yang dulunya mati secara rohani menjadi hidup kembali, sehingga ia sekarang siap dan bersedia memercayai Injil dan melayani Tuhan.” 

Pembaruan gambar ini dilanjutkan dengan karya pengudusan – yang bisa didefinisikan sebagai “karya Roh Kudus yang penuh anugerah dan berkelanjutan, yang melibatkan peran serta tanggung jawab manusia, yang dengannya Roh Kudus secara bertahap melepaskan orang yang telah lahir baru dari pencemaran dosa dan memampukannya untuk hidup memuji Allah.”

Jadi, kita harus mencatat bahwa pembaruan gambar Allah dalam diri manusia terutama merupakan karya Roh Kudus. Karena manusia yang jatuh telah mati secara rohani, maka Roh harus terlebih dahulu memberikan kehidupan rohani yang baru melalui regenerasi.41 Karena manusia yang jatuh memakai karunia-karunia yang mencitrakan Allah dengan cara-cara yang menyimpang, maka Roh harus memampukannya untuk memakai karunia-karunia ini di dalam cara yang memuliakan Allah; itulah yang terjadi di dalam proses pengudusan. 

Jadi, pengudusan harus dipahami sebagai pembaruan manusia secara bertahap di dalam gambar Allah. Pembaruan ini tidak terjadi terpisah dari pengaruh Firman Allah yang ada di dalam Alkitab, baik melalui khotbah, pengajaran atau pembelajaran; dengan sarana Firman inilah Roh mengajar umat Allah bagaimana mereka harus hidup di dalam ketaatan yang baru, dan memampukan mereka untuk hidup seperti itu.

Dalam pembaruan gambar ini, kita sekali lagi dimampukan untuk hidup di dalam kasih: kepada Allah, sesama dan alam. Dengan kata lain, pembaruan atau pemulihan gambar Allah berarti bahwa manusia sekali lagi diberi kekuatan untuk berfungsi secara benar di dalam relasi rangkap tiganya.

Maka, pembaruan gambar ini pertama-tama berarti manusia sekarang dimampukan untuk terarah secara benar kepada Allah. Ini berarti manusia bisa menyembah Allah dengan cara yang benar, berdoa kepada Allah bagi semua kebutuhannya dan bersyukur kepada Allah bagi semua berkat-Nya. Ini berarti kita bisa mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, pikiran dan kekuatan (Markus 12:30). Karena relasi kita dengan Allah adalah yang paling mendasar, maka pembaruan gambar ini juga memberi kita kekuatan untuk melakukan apa pun di dalam ketaatan kepada Allah dan demi kemuliaan Allah. 

Ini berarti kita bisa memakai kekuatan-kekuatan rasional kita untuk memuliakan Allah: untuk berpikir sesuai kehendak Allah, untuk memahami bahwa di balik keteraturan alam terdapat rencana Allah yang mahabijak, dan untuk mengagumi hikmat yang dengannya Sang Pencipta telah membentuk alam semesta ini. Ini berarti kita bisa memakai kemauan kita untuk menghendaki apa yang Allah inginkan untuk kita kehendaki, dan untuk tidak menghendaki satu hal pun yang bertentangan dengan kehendak Allah. 

Ini berarti kita bisa memakai indra estetika kita untuk mengapresiasi keindahan yang telah Allah karuniakan pada ciptaan-Nya dan untuk memuji Sang Pencipta keindahan tersebut. Ini berarti kita bisa memakai karunia berbicara kita untuk memuliakan Allah. Ini berarti kita bisa berelasi dengan sesama dan dengan alam di dalam ketaatan dan pujian bagi Allah.

Yang kedua, pemulihan gambar ini berarti manusia sekarang mampu untuk secara benar terarah kepada sesamanya. Ini berarti kita bisa mengasihi sesama seperti diri sendiri. Ini berarti kita siap untuk mengampuni sesama ketika mereka berdosa kepada kita. Ini berarti kita bisa berdoa bagi sesama, dan secara mendalam ikut memperhatikan kesejahteraan mereka. Ini berarti kita bisa memiliki keprihatinan terhadap keadilan sosial, hak-hak manusia, dan pemenuhan kebutuhan kaum yang miskin dan papa. 

Hal ini bahkan berarti kita bisa mengasihi musuh kita, karena, seperti yang Yesus katakan, hal ini merupakan tindakan kita yang secara unik mencitrakan Allah (Matius. 5:44-45). Ini berarti kita mengasihi sesama bukan karena kita merasa ia layak untuk dikasihi, melainkan karena Allah telah terlebih dahulu mengasihinya.

Pemulihan gambar di dalam relasi kedua ini berarti manusia dimampukan untuk hidup bagi sesama ketimbang bagi dirinya sendiri. Ini berarti kita bisa memakai seluruh karunia kita untuk melayani sesama. Ini berarti kita bisa memakai rasio dan kemauan kita untuk melakukan apa yang terbaik bagi sesama. Ini berarti kita bisa memberikan diri bagi sesama: berbagi sukacita dan dukacita, membantunya di kala membutuhkan. Ini berarti kita memakai karunia berbicara kita bukan untuk melabrak sesama atau merusak nama baiknya, melainkan untuk menjaga nama baiknya dan memberi semangat kepadanya. 

Ini berarti menolak godaan untuk merendahkan seseorang karena warna kulitnya, dan siap serta bersemangat untuk menerima dan menghormati orang-orang dari ras dan bangsa yang berbeda sebagai sesama penyandang gambar Allah. Ini berarti memakai berbagai kemampuan artistik dan kreatif untuk menciptakan keindahan di dalam berbagai media artistik, sehingga kehidupan orang lain bisa diperkaya. Sebagaimana Allah sedemikian mengasihi dunia ini sehingga Ia memberikan Anak-Nya yang tunggal, kita pun harus sedemikian mengasihi sesama sehingga rela memberikan diri kita demi mereka.

Yang ketiga, pembaruan gambar tersebut berarti manusia sekarang mampu untuk berkuasa dan memelihara ciptaan Allah secara benar. Artinya, manusia diberi kekuatan untuk menjalankan kuasa atas bumi dan atas alam dengan cara yang bertanggung jawab, taat dan tidak egois. Ini berarti manusia sekarang mampu melihat dirinya sebagai pelayan bagi bumi dan semua yang ada di dalamnya, dan bukan sebagai tuan yang memiliki kuasa yang mutlak dan sewenang-wenang. 

Ini berarti kita memiliki properti, mengolah tanah, menanam pepohonan yang menghasilkan buah, menambang batu bara, dan melakukan pengeboran minyak bukan untuk kepuasan pribadi, melainkan kita melakukannya dengan cara yang bertanggung jawab, untuk mendatangkan manfaat dan kesejahteraan bagi sesama. Di dalam dunia kita sekarang ini, hal ini juga akan berarti memperhatikan pelestarian berbagai sumber daya alam dan menentang semua eksploitasi yang mubazir atau tanpa dipikirkan terhadap berbagai sumber daya tersebut. 

Ini berarti memperhatikan pemeliharaan lingkungan dan mencegah segala hal yang akan merusak lingkungan: erosi, perusakan tanpa kendali terhadap spesies-spesies binatang, pencemaran udara dan air. Ini berarti memerhatikan pendistribusian makanan yang memadai, pencegahan wabah, dan perbaikan pengairan. Ini juga berarti memajukan investigasi, riset, dan percobaan sains, termasuk penjelajahan angkasa yang berkelanjutan. Semua ini harus dilakukan dengan cara yang menghormati perintah-perintah Allah dan memberikan pujian kepada-Nya.

Hal ini meliputi kepedulian terhadap pengembangan suatu budaya Kristen, sebagai penggenapan mandat budaya secara benar. Dengan kata lain, kita harus berupaya untuk melakukan karya filosofis, ilmiah, historis, dan sastra dengan cara yang secara unik bersifat kristiani. Hal ini juga meliputi kepedulian terhadap pengembangan suatu wawasan dunia dan kehidupan kristiani, yang akan mempengaruhi segala yang manusia pikirkan, katakan dan lakukan.

Maka, pembaruan gambar Allah ini mencakup suatu visi yang luas dan komprehensif dari pandangan Kristen tentang manusia. Proses pengudusan mempengaruhi setiap aspek kehidupan: relasi manusia dengan Allah, dengan sesama dan dengan seluruh ciptaan. Pemulihan gambar Allah ini tak hanya berkaitan dengan kesalehan religius dalam arti sempit, atau bersaksi kepada orang banyak tentang Kristus, atau aktivitas-aktivitas “menyelamatkan jiwa”; dalam arti yang paling luas, pemulihan ini meliputi pengarahan ulang atas seluruh kehidupan.

Perjanjian Baru menjelaskan pembaruan gambar Allah melalui berbagai cara. Satu ayat yang telah kita perhatikan adalah: “menanggalkan” manusia larva dan “mengenakan” manusia baru. Akan tetapi, ada pula berbagai gambaran lain yang dipakai. Hidup baru berarti “menyimpan Firman dalam bati yang baik dan mengeluarkan buah dalam ketekunan” (Lukas 8:15). Hidup baru ini berarti diubahkan oleh pembaruan akal budi (Rm. 12:2). Ini berarti hidup oleh Roh dan menghasilkan buah Roh (Galatia 5:16,22). Ini berarti menghidupi kehidupan kasih (Efesus 5:2), berjalan dalam kebenaran (2Yohanes. 4), hidup bukan untuk diri sendiri melainkan untuk Kristus (2Korintus 5:15).

Selain itu, diperbarui di dalam gambar Allah berarti menjadi semakin serupa Allah. Allah harus semakin nyata di dalam perkataan dan perbuatan kita. Karena Allah adalah kasih (1Yoh. 4:16), maka hidup di dalam kasih merupakan tindakan yang meneladani Allah.

Karena Kristus adalah gambar Allah yang sempurna, menjadi semakin serupa Allah berarti juga menjadi semakin serupa Kristus. Ini berarti mengikuti teladan Yesus, berusaha untuk hidup sebagaimana Dia–hidup. Selain itu, Galatia 3:27 menyebut pengenaan diri yang baru atau pribadi yang baru sebagai mengenakan Kristus (bdk. Rm. 13:14). Mengenakan Kristus berarti suatu keberadaan baru sebagai anggota tubuh Kristus (1Korintus 12:12-13); jadi, orang percaya mencitrakan Allah dengan menjadi bagian dari tubuh Kristus yang adalah gambar Allah yang unik.43

Hal ini menunjukkan bahwa pembaruan gambar Allah memiliki aspek gerejawi. Pembaruan tidak berkenaan dengan individu yang terisolasi; pembaruan berkenaan dengan orang-orang percaya sebagai anggota tubuh Kristus, dan dengan demikian berkenaan dengan gereja yang Kristus kuduskan (Ef. 5:26). Ini berarti pada saat ini, gambar Allah terlihat di dalam bentuknya yang paling kaya melalui Kristus bersama gereja-Nya, atau melalui gereja sebagai tubuh Kristus.44 Tetapi hal ini juga mengimplikasikan bahwa pemulihan gambar Allah di dalam diri manusia terjadi di dalam gereja, melalui persekutuan antara orang-orang Kristen. 

Orang percaya belajar menjadi serupa Kristus dengan mengamati sesama orang Kristen. Kita melihat kasih Kristus tercermin di dalam kehidupan sesama orang percaya; kita diperkaya oleh Kristus melalui hubungan kita dengan mereka; kita mendengar Kristus berbicara kepada kita melalui mereka. Orang percaya terilhami oleh teladan sesama mereka yang adalah orang Kristen, ditunjang oleh doa-doa mereka, diperbaiki oleh teguran-teguran mereka yang penuh kasih, dan didorong oleh dukungan mereka.

Sejauh ini kita telah membicarakan pembaruan gambar Allah sebagai tindakan Allah yang memampukan kita, sebagai buah karya Roh Kudus di dalam hati dan kehidupan orang-orang percaya. Akan tetapi, kita perlu ingat bahwa pembaruan gambar ini juga mencakup tanggung jawab manusia. Dengan kata lain, pembaruan ini merupakan karunia Allah sekaligus tugas kita. Kita telah membahas poin ini. 

Dalam bab 2 saya telah menunjukkan bahwa karena manusia adalah ciptaan, Allah di dalam anugerah-Nya yang berdaulat harus memulihkan gambar ilahi di dalam diri manusia. Tetapi, karena manusia juga adalah satu pribadi, dia bertanggung jawab di dalam pemulihan ini. Dalam bab 3 kita telah menelaah bukti Alkitab yang menunjukkan bahwa proses pengudusan merupakan karya Roh Kudus yang sekaligus melibatkan upaya-upaya kita sendiri.45

Tanpa mengulangi apa yang telah kita katakan sebelumnya, kita bisa mencatat cara-cara lain yang dengannya Alkitab menekankan kedua aspek kebenaran ini. Dalam 1 Tesalonika 5:23, Paulus berharap, “Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya.” Tetapi di dalam suratnya yang lain kepada jemaat di Korintus, Paulus menuliskan, “Karena kita sekarang memiliki janji janji itu, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, dan dengan demikian menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah” (2Korintus 7:1). 

Yang menarik, klausa terakhir secara harfiah berbunyi “membawa kekudusan pada tujuannya” (epitelountes, dari kata telos, yang berarti “tujuan”). Meski kita umumnya berpikir bahwa Allah yang akan membawa kekudusan kita pada tujuannya, tetapi di sini orang-orang percaya justru diperintahkan untuk melakukan hal tersebut. 

Dalam Roma 6:6 Paulus berkata, “Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan,” sedangkan dalam Kolose 3:9 dia berkata, “Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya.” Pada perikop pertama, Paulus menyatakan bahwa penyaliban atau pematian diri kita yang lama merupakan hal yang dilakukan bagi kita saat Kristus mati di atas salib, tetapi perikop kedua menyatakan bahwa menanggalkan manusia lama merupakan perbuatan kita sendiri. 

Selain itu, meskipun Paulus meyakinkan para pembacanya bahwa “baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada di dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Rm. 8:38-39), penulis surat Yudas menasihati orang percaya untuk memelihara diri dalam kasih Allah (ay. 21).

Menyempurnakan kekudusan, menanggalkan manusia lama dan memelihara diri kita di dalam kasih Allah, merupakan cara-cara yang di dalamnya pembaruan gambar Allah terjadi. Seruan-seruan lain di dalam Perjanjian Baru agar kita menghidupi kehidupan baru ini juga menggarisbawahi tanggung jawab orang percaya di dalam pembaruan ini: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang” (Matius 5:16); “Supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu” (Efesus 4:1); “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1Korintus 10:31). Bagian teks Alkitab yang meringkas semua ini telah kita kutip sebelumnya: “Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih” (Efesus 5:1).

Dari bagian-bagian teks seperti ini muncul pandangan tentang gambar Allah, yaitu bahwa gambar Allah ini tidak statis, melainkan dinamis. Gambar Allah di dalam Perjanjian Baru bukan seperti sebuah pajangan di museum yang hanya untuk dikagumi; sebaliknya, ia lebih menyerupai teladan yang hidup dan kita dinasihati untuk mengikutinya, yaitu teladan Kristus. 

Ajaran-ajaran Perjanjian Baru tentang gambar Allah tidak seperti sebuah perkuliahan yang disampaikan seorang guru besar yang kita coba untuk catat ke dalam buku catatan; ajaran-ajaran Perjanjian Baru lebih menyerupai kata-kata seorang pelatih yang tengah mencoba untuk membantu kita bermain lebih baik di dalam pertandingan. Gambar Allah dan pembaruannya menantang kita menuju suatu cara berpikir, cara berbicara dan cara hidup yang baru. Inti dari pembaruan ini adalah suatu seruan untuk mengasihi sebagaimana Allah mengasihi.

Maka pembaruan gambar Allah bukanlah suatu pengalaman yang di dalamnya kita bersikap pasif, melainkan pengalaman yang di dalamnya kita harus mengambil peran aktif. Tetapi – dan hal ini perlu ditekankan – pembaruan ini terutama tetap merupakan karya Roh Kudus. Kita tidak mampu memperbarui diri dengan kekuatan kita sendiri. Gambar Allah bisa dipulihkan di dalam diri kita hanya jika kita tetap tinggal di dalam kesatuan dengan Kristus. Kristus sendiri menyatakan hal ini dengan teramat jelas, “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak [gambaran lain untuk pembaruan gambar Allah], sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yohanes 15:5).

Seperti yang kita perhatikan sebelumnya,46 pembaruan gambar Allah tidak selesai selama masa hidup seseorang. Ini merupakan proses yang terus berlangsung selama orang itu hidup. Kita jangan pernah lupa bahwa sementara berada di dalam kehidupan sekarang ini, orang percaya telah benar-benar baru tetapi belum baru secara total. Mereka adalah pribadi-pribadi baru yang belum lengkap.

Hal ini mengimplikasikan bahwa sebelum kebangkitan terakhir nanti, belum melihat gambar Allah di dalam pengertian yang utuh. Kita memelihat gambar tersebut secara penuh di dalam Yesus Kristus, ketika dinyatakan kepada kita di halaman-halaman Alkitab. Tetapi Kristus tidak berjalan di atas bumi. Dan di atas bumi ini, yaitu di dalam orang-orang tengah diperbarui, kita melihat gambar Allah hanya seperti “melalui cermin, secara samar-samar.” 

Apa yang kita lihat sekarang ini hanyalah tanda dan isyarat mengenai seperti apa gambar Allah yang nantinya. Hanya dalam kehidupan mendatang, kekayaan sepenuhnya dari gambar Allah ini pada akhirnya akan terlihat; hanya pada saat itulah kita akan melihat Allah tercitrakan secara sempurna oleh umat manusia yang dipermuliakan. Sekarang, mari kita melihat kesempurnaan gambar tersebut

MANUSIA SEBAGAI GAMBAR ALLAH YANG DISEMPURNAKAN

Pembaruan gambar Allah tersebut baru akan genap pada waktu pemuliaan final manusia. Kesempurnaan final dari gambar Allah ini akan menjadi puncak rencana Allah bagi umat tebusan-Nya. Sekali lagi kita diingatkan pada Roma 8:29, “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya.” Kita bisa yakin bahwa kita akan dijadikan serupa seutuhnya, dan keserupaan dengan Anak Allah ini tidak kurang dari gambar Allah yang disempurnakan.

Maka, untuk melihat pandangan Kristen tentang manusia di dalam terang yang utuh, kita tak boleh hanya melihat manusia sebagaimana ia diciptakan pada mulanya; sebaliknya, kita harus maju melihat manusia sebagaimana adanya kelak. Kita harus melihat manusia di dalam terang tujuan akhirnya. Alasannya, Kristus melalui karya penebusan-Nya membawa kita lebih tinggi daripada Adam sebelum ia jatuh. 

Adam masih bisa kehilangan ketidakberdosaan dan keadaannya yang diberkati, tetapi orang kudus yang telah dimuliakan takkan bisa lagi demikian. Adam “bisa tidak berdosa dan mati” (posse non peccare et mori), tetapi orang kudus di dalam kemuliaan “tidak bisa berdosa dan mati” (non posse peccare et mori). Kesempurnaan yang tidak akan lenyap inilah yang telah ditetapkan menjadi tujuan akhir manusia – dan tidak kurang dari itu!

Akan tetapi, bagaimana kita tahu bahwa keadaan final maousia yang telah ditebus adalah keadaan di mana dia “tidak bisa berdosa dan mati”? Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa takkan ada kematian di dalam kehidupan yang akan datang: “Ia [Allah] akan meniadakan maut untuk seterusnya” (Yesaya 25:8); “Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan” (1Korintus 15:42); “Dan sesudah yang dapat binasa ini mengenakan yang tidak dapat binasa dan yang dapat mati ini mengenakan yang tidak dapat mati, maka akan genaplah firman Tuhan yang tertulis: “Maut telah ditelan dalam kemenangan” (1Korintus 15:54); “Maut tidak akan ada lagi” (Why. 21:4).

Selain itu, sejumlah bagian Perjanjian Baru mengajarkan bahwa orang-orang kudus yang telah dimuliakan tidak akan berdosa dalam kehidupan mendatang. Dalam Efesus 5:27, Paulus menegaskan bahwa tujuan puncak Kristus bagi gereja adalah “supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.” 

Penulis Ibrani memberi tahu pembacanya dengan satu acuan yang jelas kepada orang-orang percaya yang telah wafat dan sekarang berada di sorga menantikan kebangkitan, “Kamu sudah datang [sebagai mereka yang menjadi anggota ‘jemaat anak-anak sulung’] kepada roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna” (Ibrani 12:22-23). 

Yohanes melihat Kota yang Kudus atau Yerusalem Baru turun dari sorga, dari Bapa, dan menggambarkannya sebagai “pengantin perempuan yang berdandan untuk suaminya” – suatu acuan pada kesempurnaan akhir dari gereja yang dimuliakan (Wahyu 21:3). Gereja yang telah dimuliakan ini akan diizinkan melewati gerbang dan masuk ke kota milik umat Allah yang telah dimuliakan di bumi yang baru, sedangkan orang-orang yang belum disempurnakan takkan berbagian di dalamnya; “Tetapi anjing-anjing dan tukang-tukang sihir, orang-orang sundal, orang-orang pembunuh, penyembah-penyembah berhala dan setup orang yang mencintai dusta dan yang melakukannya, tinggal di luar” (Why. 22:14-15).

Kesempurnaan gambar Allah dalam diri manusia terkait amat erat dengan pemuliaan Kristus. Karena Kristus dan umat-Nya adalah satu, maka umat-Nya juga akan berbagian dalam pemuliaan-Nya. Jadi, kesempurnaan final dari gambar Allah tidak hanya dilakukan oleh Kristus; tetapi juga dibentuk menjadi serupa dengan Kristus. Di dalam kehidupan mendatang kita akan “memakai rupa dari yang sorgawi” (1Korintus 15:49). Di saat kebangkitan Ia akan “mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia” (Flp. 3:21). 

Jadi, kita akan secara utuh menyerupai yang dimuliakan, bukan hanya roh kita tetapi bahkan tubuh kita serupa Dia. Rasul Yohanes menyimpulkan, “Saudara-saudaraku yang kekasih, sekarang kita adalah anak-anak Allah, tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya” (IYohanes 3:2).

Saat merenungkan kesempurnaan gambar Allah ini di masa yang akan datang, kita sadar bahwa mustahil bagi kita untuk memvisualisasikan secara tepat atau persis, seperti apa gambar yang disempurnakan itu nantinya. Kita memang bisa menemukan analogi antara hidup kita sekarang ini dengan eksistensi kita di masa mendatang, tetapi hanya analogi dan tidak lebih dari itu. Bagaimana kita bisa tahu secara tepat seperti apakah dimuliakan itu – seperti apakah “tubuh rohaniah” (1Korintus 15:44) itu? 

Saat berbicara mengenai eksistensi di masa yang akan datang, kita hanya bisa memadai bahasa figuratif, seperti yang dilakukan Alkitab, khususnya dalam kitab Wahyu. Tetapi sejauh bahasa figuratif ini bisa diterjemahkan ke dalam konsep-konsep antropologis, kita masih dapat memiliki gambaran mengenai kondisi kita di saat relasi rangkap tiga kita telah dibawa pada kesempurnaannya yang final.

Pertama-tama, dan yang terpenting, kesempurnaan ini berkenaan dengan relasi kita dengan Allah. Manusia pada saat itu akan terarah sepenuhnya pada Allah. Kita akan menyembah, menaati dan melayani Allah tanpa salah, tanpa cela. Pujian dan kekaguman kita kepada Allah akan timbul secara alamiah dan konstan seperti kita bernapas sekarang ini. 

Wahyu menunjukkan bahwa sebagian pujian kita akan berbunyi, “Besar dan ajaib segala pekerjaan-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa!” (15:3); 47 “Haleluya! Karena Tuhan, Allah kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi raja. Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia!” (19:6-7). Bangsa-bangsa (yaitu orang-orang kudus yang telah dimuliakan) akan berjalan di dalam terangnya (21:24), dan tidak lagi dengan pemahaman mereka sendiri. Para hamba Allah akan melayani Dia (22:3) – tidak lagi secara terpecah-pecah, tidak memadai dan berdosa, tetapi secara sempurna.

Kesempurnaan gambar Allah ini juga meliputi relasi kita dengan sesama. Manusia akan mengasihi dan melayani sesamanya secara sempurna; apa pun yang pada saat ini menghalangi kasih akan lenyap. Akan terdapat persekutuan yang sempurna di dalam masyarakat yang sempurna. 

Semua penghalang yang saat ini memisahkan orang-orang – baik itu berupa suku bangsa, ras, bahasa, budaya, atau agama, akan lenyap. Pada saat itu hanya akan ada satu gereja dan Kristus adalah Kepalanya. Nantinya hanya akan ada satu “bangsa” dan Kristus adalah Rajanya. Semua penghuni bumi yang baru adalah anggota keluarga Allah, yang saling terikat dengan intim dan tak terputuskan. Tetapi, di tengah-tengah kesatuan ini tetap akan ada banyak perbedaan. Orang-orang percaya yang dimuliakan tidak akan menjadi seperti kacang kapri di dalam polongnya. 

Orang-orang percaya akan tetap memiliki bakat dan karunia-karunia yang unik, yang takkan dicemari oleh ketidaksempurnaan – yang akan dipakai untuk memperkaya semua orang. Seperti orkestra simfoni menghasilkan nada yang berpadu dari banyak alat musik yang berbeda, demikianlah persekutuan kita akan ditandai dengan kesatuan di tengah-tengah keragaman yang begitu luas tetapi harmonis.

Yang ketiga, kesempurnaan gambar Allah akan meliputi relasi kita dengan alam. Pada mulanya manusia diberi mandat budaya – perintah untuk berkuasa atas bumi dan mengembangkan budaya yang memuliakan Allah. Dikarenakan kejatuhan manusia dalam dosa, bahkan orang-orang percaya sekalipun tidak menjalankan mandat budaya ini sesuai kehendak Allah. Hanya di bumi yang baru nanti, mandat ini digenapi secara sempurna dan tanpa dosa.

Salah satu janji yang diberikan kepada orang percaya adalah bahwa pada suatu hari kelak, mereka akan memerintah bersama Kristus (2Timotius 2:12). Wahyu 22:5 bahkan memberi tahu kita bahwa orang-orang percaya yang telah dimuliakan akan memerintah selamanya. Dan kidung penebusan dari kitab yang sama juga menyatakan secara khusus bahwa pemerintahan ini akan terjadi di bumi (Wahyu 5:10).


Bagaimanakah kita memahami hal ini? Katekismus Heidelberg, yang mungkin merupakan kredo Reformasi yang paling terkenal, memberikan petunjuk kepada kita pemerintahan ini akan merupakan pemerintahan orang-orang percaya yang telah dimuliakan atas semua ciptaan.48 Di dalam hidup mendatang, orang-orang kudus yang dibangkitkan dan dimuliakan takkan berpindah-pindah dari satu awan ke awan lain di angkasa, tetapi akan hidup di bumi yang telah diperbarui.49 

Kemudian, untuk pertama kalinya manusia akan berkuasa dan memelihara alam sesuai kehendak Allah. Pada saat itu umat manusia akan menjadi pelayan-pelayan bumi, dan bukannya pengeksploitasi. Kita akan mengeksplorasi berbagai sumber daya bumi dan mengagumi keindahannya dengan cara yang akan memberikan pujian yang tidaa henti bagi Allah.50 Pada saat itu, bersama dan di bawah Kristus, kita akan memerintah ciptaan secara sempurna.

Wahyu 21:24-26 memberi tahu kita bahwa “raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya … dan kekayaan dan hormat bangsa-bangsa akan dibawa kepadanya [kepada kota kudus yang akan berdiri di bumi yang baru].” Kata-kata yang menarik ini menunjukkan bahwa sumbangan-sumbangan terbaik dari setiap bangsa akan memperkaya kehidupan di bumi yang baru, dan potensi dan karunia apa pun yang bernilai di kehidupan sekarang ini akan dipertahankan dan diperkaya di dalam kehidupan mendatang. 

Hal ini mengimplikasikan bahwa selain diskontinuitas, ada pula kontinuitas di antara kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang. Ini berarti, usaha-usaha budaya, ilmiah, pendidikan dan politis kita saat ini, menolong kita mempersiapkan kehidupan yang lebih utuh dan lebih kaya di bumi yang baru.51

Ada berbagai kemungkinan yang sekarang muncul dan memenuhi pikiran kita. Akankah ada “Beethoven yang lebih baik di sorga,” seperti yang pernah dikatakan oleh seorang penulis?52 Akankah kita melihat Rembrandt, Raphael, atau Constable yang lebih baik? Akankah kita membaca puisi yang lebih baik, drama yang lebih baik, dan prosa yang lebih baik? Akankah para ilmuwan terus menghasilkan prestasi teknologis, para geolog terus mengeksplorasi harta karun bumi, dan para arsitek terus membangun struktur yang mengesankan dan atraktif? 

Kita tidak tahu. Tetapi yang kita ketahui adalah bahwa kekuasaan manusia atas alam akan sempurna. Allah akan diagungkan oleh budaya kita dengan cara-cara yang bahkan melampaui mimpi-mimpi kita yang paling fantastis.

Jadi, di dalam kehidupan mendatang, ketiga bentuk relasi yang baginya manusia diciptakan akan dipertahankan, diperdalam dan diperkaya tanpa batas. Pada saat itu kita akan mengasihi Allah di atas segalanya, mengasihi sesama kita seperti diri sendiri, dan berkuasa atas ciptaan dengan cara yang sepenuhnya memuliakan Allah. Gambar Allah di dalam diri manusia pada saat itu akan disempurnakan.

Sebagai sinopsis singkat bab ini, kita perlu secara singkat menjelaskan terdiri dari apakah gambar Allah itu. Gambar Allah ternyata bukan sekadar sesuatu yang manusia miliki, tetapi sesuatu yang merupakan keberadaan manusia. Ini berarti manusia mencerminkan dan juga mewakili Allah. Jadi, terdapat satu pengertian yang di dalamnya gambar Allah ini meliputi tubuh fisik. 

Kita juga melihat bahwa gambar Allah meliputi aspek struktural sekaligus fungsional (yang kadang disebut gambar dalam pengertian lebih luas dan lebih sempit), meskipun kita harus ingat bahwa dalam pandangan yang alkitabiah, aspek struktural merupakan hal yang sekunder, sementara aspek fungsional adalah primer. 

Gambar Allah juga harus terlihat dalam relasi rangkap tiga yang dimiliki manusia: kepada Allah, sesama, dan alam. Ketika diciptakan pada mulanya, manusia mencitrakan Allah dengan tanpa dosa di dalam ketiga relasi tersebut. Setelah Kejatuhan, gambar Allah tidak hancur tetapi menyimpang, sehingga umat manusia sekarang berfungsi secara keliru di dalam ketiga relasi tersebut. Akan tetapi, di dalam proses penebusan, gambar ini terus-menerus diperbarui, sehingga manusia dimampukan untuk diarahkan secara benar kepada Allah, sesama dan alam. Di dalam gereja kita melihat pembaruan gambar Allah di dalam bentuknya yang paling kaya. 

Jadi, gambar ini tidak bersifat statis tetapi dinamis – suatu tan¬tangan yang konstan menuju hidup yang memuliakan Allah. Di dalam hidup yang akan datang, gambar Allah ini akan disempurnakan; umat manusia yang dimuliakan pada saat itu akan hidup secara sempurna di dalam ketiga relasi tersebut. Setelah kebangkitan, manusia yang ditebus akan berada di dalam keadaan yang lebih tinggi daripada manusia sebelum Kejatuhan, karena dia tidak lagi bisa berdosa atau mengalami maut.

MANUSIA SEBAGAI GAMBAR ALLAH (SUATU RINGKASAN TEOLOGIS Anthony A. Hoekema)

1 Lihat hlm. 84 dari buku ini. Bdk. Karl Barth, Church Dogmatics, III/1 (Edinburgh: T. & T. Clark, 1958), hlm. 184: “Dia [manusia] takkan menjadi manusia jika ia bukanlah gambar Allah. Dia adalah gambar Allah karena dia adalah manusia.”

2 Mengenai poin ini, lihat Berkouwer, Man, hlm. 81-82.

3 Gambaran tentang manusia sebagai seorang yang mencerminkan dan mewakili Allah, menjelaskan manusia sebagaimana mereka diciptakan pada mulanya, sebelum jauuh ke dalam dosa. Orang bisa berkata bahwa apa yang digambarkan di sini menjelaskan maksud Allah bagi manusia.

4 The Christian View of Man (New York: Macmillan, 1937), hlm. 169.

5 Inst. 1.15.3.

6 Dogmatiek, 2:601 [terj. penulis]. Bdk. Berkouwer, Man, him. 75-77, 229-232.

7 Lihat bab 4 sebelumnya, perhatikan khususnya pandangan Irenaeus dan Aquinas.

8 Perhatikan untuk hal ini pandangan Barth dan Berkouwer.

9 Untuk alasan yang diberikan (hlm. 82-84 dari buku ini), saya percaya bahwa pandangan Berkouwer tentang gambar cenderung berat sebelah (satu sisi).

10 Dogmatiek, 2:590-594.

11 De Mens Onderweg (The Hague: Boekencentrum, 1962), hlm. 46-47.

12 The Image of God in Man, ed. rev. (London: Collins, 1973), hlm. 199.

13 Dogmatiek, 2:594 [terj. penulis]. Meskipun pembedaan Brunner antara gambar formal dan material tidak memiliki makna yang persis dengan yang dimaksudkan oleh pembedaan Reformed tradisional antara gambar Allah yang lebih luas dan yang lebih sempit, pembahasannya tentang gambar Allah (lih. h1m. 67-74) menegaskan bahwa kedua aspek dari gambar Allah ini adalah esensial.

14 Leonard Verduin menyatakan, “Dalam pandangan Kristen, manusia adalah makhluk yang penuh pilihan, yang senantiasa diperhadapkan dengan alternatif-alternatif yang dari antaranya dia memilih, mengatakan ya kepada yang satu dan tidak kepada yang lain” (Somewhat less than God [Grand Rapids: Eerdmans, 1970], hlm. 84). Untuk pengembangan yang lebih luas dari pemikiran ini, lihat seluruh bab (hlm. 84-108).

15 Lihat Herman Bavinck, Dogmatiek, 2:599; J.G. Machen, The Christian View of Man, hlm. 174-177; dan Louis Berkhof, Systematic Theology, ed. rev. dan diperluas (Grand Rapids: Eerdmans, 1941), hlm. 207. Bdk. juga Katekismus Heidelberg,

Pertanyaan 6; Pengakuan Iman Westminster, IV.2; Katekismus Singkat Westminster, Pertanyaan 10.

16 The Christian Doctrine of Creation and Redemption, terj. Olive Wyon (Philadelphia: Westminster Press, 1953), hlm. 58.

17 Foundations of Dogmatics, vol. l, terj. Darrell L. Guder (Grand Rapids: Eerdmans, 1981), hlm. 574.

18 De Mens Ondenveg, hlm. 31-41.

19 Man, hlm. 114.

20 Brunner menyatakan hal ini sebagai berikut: “Hilangnya Imago dalam pengertian material mempresaposisikan Imago dalam pengertian formal” (Doctrine of Creation, hlm. 60).

21 Untuk pembahasan tentang gambar Allah sebagai yang terlihat di dalam hidup dan karya Kristus, saya sangat berhutang budi kepada Hendrikus Berkhof, De Mens Onderweg, hlm. 19-26.

22 Confessions, I.1.

23 Inst., I.3.3.

24 Man, hlm. 59-60.

25 Yang saya maksudkan dengan ketetapan diri (self-determination) adalah kemampuan untuk memilih suatu tindakan tanpa desakan eksternal. Saya tidak berkata bahwa dengan kekuatannya sendiri, manusia yang telah jatuh mampu mengubah pilihan dasarnya atas dosa menjadi kasih kepada Allah.

26 Untuk mengetahui kisah anak ini dan sejarah hidupnya selanjutnya, lihat tulisan Harlan Lane, The Wild Boy of Aveyron (Cambridge: Harvard Univ. Press, 1976).

27 Orang bisa menambahkan bahwa penerimaan seseorang terhadap sesamanya menuntut adanya penerimaan yang selayaknya terhadap diri sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Augustinus, terdapat kasih terhadap diri sendiri yang salah, tetapi juga terdapat kasih yang benar atau sehat terhadap diri sendiri, yang merupakan hasil dan sekaligus dukungan bagi pelayanan kita kepada Allah dan sesama. Kita akan berbicara lebih jauh tentang citra diri dalam bab 6.

28 Sebagai contoh, J. Skinner, Critical and Exegetical Commentary on Genesis (New York: Scribner, 1910), hlm. 32; H. Gunkel, Genesis (Göttingen: Vandenhoeck and Ruprecht, 1902), hlm. 99; Berkouwer, Man, hlm. 70-72. Opini Calvin yang berarti-hati telah dikutip di atas, “Kekuasaan manusia atas bumi merupakan sebagian, meskipun kecil, dari gambar Allah” (hlm. 43).

29 Luther, Lectures on Genesis (St. Louis: Concordia, 1958), hlm. 64; John Laidlaw, The Bible Doctrine of Man (Edinburgh: T. & T. Clark, 1905), hlm. 163; Bavinck, Dogmatiek, 2:569-570, 603; L. Vander Zanden, De Mens als Beeld Gods (Kampen: Kok, 1939), hlm. 51-54; L. Berkhof, Systematic Theology, hlm. 205; H. Berkhof, De Mens Onderweg, hlm. 37-41; L. Verduin, Less than God, hlm. 27-48; dan Cairns, The Image of God in Man, hlm. 28.

30 Elaborasi lebih lanjut tentang poin ini, lihat bab 13-15 (khususnya hlm. 208-211) dari Earth-keeping, ed. Loren Wilkinson (Grand Rapids: Eerdmans, 1980).

31 Untuk pemahaman mengenai ketiga relasi manusia dan kesalingterkaitannya, saya sekali lagi berhutang kepada Hendrikus Berkhof, De Mens Onderweg, hlm. 41-44.

32 Sebagaimana terlihat jelas melalui pernyataan ini, posisi yang diambil oleh buku ini adalah bahwa Kejatuhan yang tercatat di dalam Kejadian 3 merupakan peristiwa historis. Poin ini akan dijabarkan secara mendetail di dalam bab 7.

33 On Correction and Grace, 33. Dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Latin, “posse non peccare.”

34 Dogmatiek, 2:606 (terj. penulis).

35 Ibid., hlm. 617 (terj. penulis). Bdk. juga Wm. Shedd, Dogmatic Theology, vol. 2 (1888; Grand Rapids: Zondervan, t.t.), hlm. 150-152.

36 Dogmatiek, 3:137 (terj. penulis).

37 Lihat hlm. 55-56 dari buku ini.

38 Dogmatiek, 2:595.

39 No Exit, di dalam No Exit and Three Other Plays (New York: Vintage Books, 1949), hlm. 47.

40 Lihat him. 29-37 dari buku ini.

41 Bdk. Efesus 2:4-5, “Tetapi Allah yang kaya dengan rahmat, oleh karena kasih-Nya yang besar … telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita.”

42 Lihat him. 31-37 dari buku ini.

43 Herman Ridderbos, Paul: An Outline of His Theology, terj. John R. De Witt (Grand Rapids: Eerdmans, 1975), hlm. 225. Bdk. F.W. Eltester, Eikon im Neuen Testament (Berlin: Topelmann, 1958), hlm. 159.

44 Weber, Foundations of Dogmatics, 1:578.

45 Lihat hlm. 11-14, 36-39 dari buku ini.

46 Baca hlm. 39-40 dari buku ini.

47 Ketika saya dan istri saya sedang bepergian di Swis beberapa tahun yang lalu, kami sangat terkejut dan bersukacita menemukan kata-kata ini tercetak di atas plakat yang diletakkan di tempat di mana orang bisa melihat Matterhorn yang mengagumkan itu!

48 Katekismus Heidelberg, Jawaban 32: “Dan kemudian memerintah bersama Kristus atas segala ciptaan untuk selama-lamanya” (terj. tahun 1975, Christian Reformed Church).

49 Untuk penjabaran lebih lengkap dari ajaran alkitabiah mengenai bumi baru, lihat buku saya The Bible and the Future, ed. rev. (Grand Rapids: Eerdmans, 1982), bab 20.

50 Bdk. apa yang disebut sebagai lagu penciptaan di Wahyu 4:11.

51 Bdk. Hendrikus Berkhof, Christ the Meaning of History, terj. L. Buurman (Grand Rapids: Baker, 1979), hlm. 188-192. Untuk penjabaran yang lebih luas atas poin ini; lihat Richard Mouw, When the Kings Come Marching In (Grand Rapids: Eerdmans, 1983).

52 Edwin H. Palmer, “Better Beethoven in Heaven?”, Christianity Today, 16 Februari 1979, hlm. 29.

MANUSIA SEBAGAI GAMBAR ALLAH (SUATU RINGKASAN TEOLOGIS Anthony A. Hoekema).
-AMIN-
Next Post Previous Post