ARTI MANUSIA SEBAGAI GAMBAR DAN RUPA ALLAH (KEJADIAN 1:26)

Fajar Gumelar.
ARTI MANUSIA SEBAGAI GAMBAR DAN RUPA ALLAH
1. Pernyataan Alkitab Tentang Manusia 

a. Manusia Adalah Ciptaan

Alkitab menegaskan bahwa manusia bukanlah hasil dari evolusi, melainkan diciptakan oleh Allah. 

Ada beberapa kata Ibrani yang dipkai untuk menunjuk kepada penciptaan atau penjadian, yaitu kata bara, yatsar, asa, dan kun. Kata bara berarti menciptakan dari sesuatu yang tidak ada. Kata asa dan yatsar berarti membentuk dari materi yang sudah ada. Sedangkan kata kun berarti menegakkan, menguatkan, mengokohkan, menstabilkan, mendirikan.

Dalam kitab Kejadian 1:26 disebutkan: “baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita……..” Kata Ibrani yang digunakan untuk kata menjadikan adalah asa. Artinya adalah bahwa manusia itu dijadikan dari materi yang sudah ada (debu tanah -- Kejadian 2:7). 

Kemudian dalam Kejadian 1:27 disebutkan: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya…….” Kata Ibrani yang digunakan untuk menciptakan adalah bara. Artinya bahwa Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sebelumnya belum pernah ada (creatio ex nihilo), dan Ia belum pernah membentuk suatu makhluk lain seperti manusia. Manusia itu diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Ada begitu banyak pendapat dari para teolog mengenai arti ungkapan firman ini.

Allah tidak menciptakan manusia secara bagian per bagian (kakinya atau kepalanya dahulu, kemudian badannya, dan sebagainya), tetapi langsung jadi. Manusia pertama yang Allah ciptakan adalah manusia dewasa yang produktif, bukan bayi atau embrio. 

Manusia pertama yang diciptakan oleh Allah adalah Adam (laki-laki). Kemudian, dari tulang rusuk Adam Allah menciptakan (Ibr. Bana: membangun) Hawa (perempuan) sebagai penolong yang sepadan dengan Adam, sebagai isterinya. Kemudian dari Adam dan Hawa penuhlah bumi ini dengan manusia, dengan berbagai suku, bangsa dan bahasanya (Kejadian 1:28). 

b. Manusia Sebagai Makhluk yang Rasional dan Berbudaya 

Manusia adalah mandataris Allah yaitu pelaksana dan wakil Allah dalam memerintah dan memelihara alam semesta ini (Kejadian 1:28; 2:15). Manusia adalah satu-satunya ciptaan yang diberikan mandat ini. Manusia adalah ciptaan yang mulia, yang melebihi ciptaan-ciptaan yang lain. 

Manusia juga diberikan mandat untuk memenuhi bumi. Perintah atau mandat ini dikenal dengan mandat kebudayaan atau mandat untuk berbudaya. Perintah ini pun hanya diberikan kepada manusia bukan kepada makhluk ciptaan yang lain. “Mandat itu hanya bisa dilaksanakan karena Tuhan memperlengkapi manusia dengan potensi rasional (kemampuan rasional) yang menjadi salah satu ciri khas manusia dibandingkan dengan makhluk ciptaan yang lain, bahkan dengan binatang paling cerdas sekalipun.”

Rasional inilah yang menjadi keunikan manusia dari ciptaan yang lain. Rasional ini adalah karunia Allah kepada manusia sehingga manusia dapat memelihara dan mengusahakan bumi dan hidup berkebudayaan. Potensi rasional yang Allah berikan kepada manusia sangatlah mengagumkan. 

Olehnya manusia bukan saja dapat menciptakan teknologi modern, tetapi bahkan dapat memecahkan rahasia yang selama ini belum terpecahkan termasuk bepergian ke planet yang lain. Namun demikian, potensi yang Allah berikan ini dapat disalah gunakan sehingga menjadi potensi yang mengerikan. Melalui rasio ini, manusia dapat menciptakan senjata-senjata berbahaya atau kegiatan-kegiatan berbahaya yang dapat mengancam bumi dan peradaban manusia. 

Untuk itulah, manusia dengan akal budinya atau rasionya harus tunduk kepada otoritas dan kehendak Allah sehingga manusia tidak melakukan hal-hal yang tidak berkenan kepada Allah. 

c. Manusia Sebagai Makhluk Etis 

“Secara klasik, Alkitab menggambarkan bahwa manusia diberi “hukum” (Yun. nomos) oleh Allah dalam bentuk larangan memakan buah pohon pengetahuan hal yang baik dan jahat.” Dalam kitab Kejadian 2:16-17 dapat dilihat bahwa Allah memberikan suatu hukum atau aturan (nomos) kepada manusia. Nomos ini menempatkan manusia pada persimpangan jalan ketika ia dapat memilih di antara dua alternatif yaitu ketaatan atau pelanggaran terhadap nomos; berbuat yang baik atau jahat. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih dari dua pilihan yang diperhadapkan kepadanya. 

Ajaran Kristen mengedepankan adanya pilihan yang bebas, dan hanya karena adanya pilihan bebas itulah manusia tidak saja bertanggung jawab atas pilihannya tetapi juga diminta mempertanggungjawabkan pilihannya itu. Sebab tanpa pilihan bebas, manusia tidak dapat dituntut untuk bertanggung jawab. Kesadaran untuk membedakan yang baik dan yang jahat menunjuk kepada hakikat manusia sebagai makhluk etis.

Sebagai makhluk etis, manusia memiliki kesadaran etis, yaitu mampu membedakan yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah. Manusia memiliki pula kebebasan untuk menentukan pilihan, dengan kesadaran etis yang dimilikinya, serta bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya. 

d. Manusia Adalah Makhluk Sosial 

Dr. Theo Huijbers mengatakan bahwa manusia memperoleh suatu pengertian akan benda-benda yang ada di dunia melalui proses pengetahuan yang nyata, sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan manusia dengan realitas merupakan hubungan asli. Dalam kaitannya dengan realitas, manusia bukan hanya diperhadapan dengan benda-benda yang ada di dunia ini, melainkan dengan manusia (baik dirinya sendiri, maupun orang lain). 

Jika manusia hanya berhadapan dengan benda-benda dunia tanpa dihadapkan dengan manusia lainnya, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam memperoleh pengertian yang benar. Sebab pengertian manusia tercipta bukan hanya melalui interaksinya terhadap benda-benda dunia, namun juga melalui realitas dan relasinya dengan orang-orang yang ada di sekitarnya atau di lingkungannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sangat penting manusia menjalin hubungan dengan manusia lainnya yang ada di sekelilingnya. 

Seorang filsuf menggambarkan seperti “aliran listrik tak dapat mengalir bila kutub positif atau negatif dihapuskan, demikian juga dengan kehidupan manusia yang sejati hanya dapat berkembang bila ada komunikasi antara persona (pribadi) dan masyarakat.” Kehidupan manusia hanya dapat berkembang jika menjalin komunikasi dengan masyarakat, begitu pun sebaliknya. 

Kehidupan manusia tidak akan berkembang jika tidak menjalin hubungan dengan masyarakat yang ada di sekililingnya. Dengan adanya komunikasi atau hubungan antar pribadi dengan masyarakat, maka orang-orang akan membangun kehidupan pribadi mereka dan membangun pengertian yang benar. Dari realitas ini, dapat dimengerti bahwa manusia adalah makhluk sosial. Artinya bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa adanya manusia lain. 

Alkitab pun turut memberi kesaksian tentang hal ini. Ketika Allah telah selesai menciptakan manusia pertama, yaitu Adam, Dia berfirman, “Tidak baik manusia hidup sendirian. Aku akan membuat teman yang cocok untuk membantunya” (Kejadian 2:18 BIS). Ayat ini dengan jelas mengemukakan bahwa dari semula Allah telah menciptalan manusia itu untuk berinteraksi dan untuk hidup bersama manusia lainnya. Manusia berkomunikasi dengan sesamanya dan bersama-sama mereka mengusakan bumi yang dipercayakan kepadanya. Manusia adalah makhluk sosial, artinya bahwa manusia selalu membutuhkan manusia lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

2. Arti Gambar dan Rupa Allah 

Dalam naskah asli Perjanjian Lama kata Ibrani yang diterjemahkan sebagai gambar adalah tselem dan yang diterjemahkan sebagai rupa adalah demuth. Kata tselem dapat dipahami sebagai peta yang ada bentuk atau patronnya, sementara demuth dapat dipahami sebagai suatu model yang harus seperti bentuk aslinya. Kata tselem juga dapat berarti sia-sia (vain), empty (kosong), image (gambar, patung, kesan, bayang-bayang), likeness (persamaan) dimana pengertian dasarnya adalah to shade (melindungi, membayangi, menaungi).

“Di dalam bahasa Ibrani tidak ada kata sambung di antara kedua ungkapan tersebut; teks Ibrani hanya berbunyi “marilah Kita menjadikan manusia menurut gambar rupa Kita.” Baik Septuaginta maupun Vulgata memasukkan kata dan sehingga memberi kesan bahwa “gambar” dan “rupa” mengacu kepada dua hal yang berbeda.” “Tidak seharusnya kata penghubung “dan” menjadi faktor esensi pembeda kedua kata tselem dan demuth.” Kata tselem dan demuth sejatinya memiliki pengertian yang sama; keduanya saling melengkapi satu sama lain. 

Anthony A. Hoekema menjelaskan bahwa kata tselem (gambar), diturunkan dari akar kata yang berarti “mengukir” atau “memotong,” dimana kata ini bisa dipakai untuk mendeskripsikan ukiran berbentuk binatang atau manusia. Sementara kata demuth dalam Kejadian 1 bermakna “menyerupai.” Ketika pengertian kata tselem dan demuth ini diaplikasikan pada penciptaan manusia dalam Kejadian 1, maka kata tselem dan demuth menyatakan bahwa manusia menggambarkan Allah, artinya representasi Allah dimana gambar tersebut juga merupakan keserupaan. “Kedua kata itu memberi tahu kita bahwa manusia merepresentasikan Allah dan menyerupai Dia dalam hal-hal tertentu.”

Gambar menyatakan keserupaan bentuk, yang menunjukkan bahwa bentuk luar manusia mengambil bagian dari penggambaran Allah. Rupa menitikberatkan kepada kesamaan daripada tiruan, sesuatu yang mirip dalam hal-hal yang tidak diketahui melalui pancaindera. Dalam hal ini, manusia menjadi saksi kekuasaan Allah atas ciptaan dan bertindak sebagai wakil penguasa. Dengan demikian, kekuasaan manusia mencerminkan kekuasaan Allah sendiri atas ciptaan, yang melibatkan kreativitas dan tanggung jawab manusia. 

Gambar Allah menunjuk kepada keberadaan manusia yang berkepribadian dan bertanggung jawab di hadapan Allah, yang pantas mencerminkan Penciptanya dalam pekerjaan yang ia lakukan, serta mengenal dan mengasihi Dia dalam segala perbuatan mereka. Tubuh manusia dianggap sebagai sarana yang tepat untuk kehidupan rohani. Allah menciptakan manusia dan mengenalnya (Mazmur. 139:13-16), memeliharanya (Ayub 10:12), dan menuntunnya menuju akhir hidupnya.

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Dalam kenyataannya sebagai gambar dan rupa Allah itulah manusia dilihat sebagai makhluk mulia, makhluk yang memiliki rasio, makhluk yang sosial, makhluk yang berkebudayaan, makhluk yang istimewa di hadapan Tuhan. 

Stephen Tong secara lebih dalam menjelaskan makna “manusia diciptakan menurut gambar dan rupa/peta dan teladan Allah” sebagai berikut.

1. Allah adalah Sumber 

Manusia mempunyai satu induk atau satu asal dari suatu peta dan teladan (gambar dan rupa) Allah. Manusia dicipta seperti Dia. Ada suatu sumber bagi manusia, dan Allah itulah sumbernya. Segala kesulitan yang timbul dalam pertikaian dan perselisihan hidup manusia, harus dihentikan dan masing-masing kembali kepada Induk, mencari kekuatan baru dari-Nya. 

Ketika Allah menciptakan langit dan bumi, Dia mencipta dengan mudah, Ia berkata, “jadilah terang!” maka terang itu jadi. Ketika Ia mengatakan, “tegaklah!” maka tegaklah. “Lenyap!” maka lenyaplah. Hanya dengan satu kalimat keluar dari mulut Allah, segala sesuatu menjadi ada dan menjadi tidak ada, karena Allah demikian berkuasa. 

Tetapi waktu Ia menciptakan manusia, bukan demikian. Ia memakai peta dan teladan (gambar dan rupa) Allah di dalam diri manusia, sehingga manusia berbeda dengan segala makhluk. Manusia sudah dicipta dengan mempunyai peta dan teladan Allah. Sehingga pada momen-momen tertentu masih dapat dilihat sisa-sisa cahaya peta yang masih berada dalam diri manusia, yang mempunyai pengaruh yang bisa mengesankan orang, mempesona orang. 

Mengapa manusia bisa kecewa, senang, tertarik, terdorong oleh karena orang lain yang begitu mempengaruhinya? Karena ia mempunyai peta dan teladan Allah. Manusia mempunyai peta dan teladan Allah, mempunyai potensi-potensi besar yang hampir tidak terbatas. Manusia mempunyai teladan Allah juga mempunyai krisis yang begitu besar hampir tak terbatas. Itu sebabnya menjadi orang besar resikonya. 

Allah itu induk sumber manusia. Manusia tidak hanya berpusat pada diri sendiri, tetapi harus kembali kepada Allah, harus menyelesaikan segala kesulitan di sana dan manusia seperti Allah menunjukkan betapa terhormatnya manusia. 

2. Allah adalah tujuan hidup manusia 

Manusia seperti Allah mengajarkan bahwa hidup manusia seharusnya mempunyai tujuan. Manusia seperti Allah berarti manusia harus terus memperbaiki hidup sehingga seperti Allah penciptanya. Seperti Tuhanku berarti Ia bukan hanya sumber tetapi juga tujuan manusia. Allah itu sumber manusia dan Allah adalah tujuan manusia. Allah itu titik permulaan dan titik akhir dari manusia. Sehingga dari permulaan manusia berasal dari Dia dan berlangsung proses hidup untuk menyenangkan hati Tuhan. 

Orang yang mengerti arti peta dan teladan (gambar dan rupa) Allah, harus menjadikan Allah tujuan yang menetukan segala gerak-geriknya. Saya mengerjakan ini, menyenangkan Allah atau tidak? Saya mengerjakan itu, diperbolehkan Allah atau tidak? Saya mengerjakan ini, mempermuliakan Allah atau tidak? No matter what are you going to do, you should glorify God. Whatever you want to do, glorify God. Manusia harus mempermuliakan Allah, menjadi pendorong, penentu, dan penghakim dalam tindak tanduk yang manusia lakukan. Seharusnya Allah menjadi tujuan, karena manusia diciptakan menurut peta dan teladan Allah, menurut gambar dan rupa Allah. 

3. Manusia harus meneladani Allah sendiri 

Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, mengandung arti bahwa manusia seharusnya melihat dengan jelas dan meneladani Allah sendiri. Untuk memungkinkan terjadinya poin ketiga ini, Yesus datang ke dalam dunia, menjadi teladan yang paling sempurna, sehingga segala bangsa, jaman, dan setiap orang boleh memanggil-Nya sebagai teladan, sehingga hidup manusia menjadi sempurna. 

Manusia diamanatkan untuk mengikuti peta dan teladan Allah (gambar dan rupa Allah) yang menjelma menjadi manusia. Di dalam diri Kristus dapat dilihat kesempurnaan yang utuh. Di dalam diri Kristus dapat dilihat keadilan yang mutlak. Di dalam diri Kristus dapat dilihat sukacita yang sungguh berkemenangan. Di dalam Kristus, dapat dilihat ketabahan menghadapi segala macam kesulitan dan penganiayaan, Ia tetap tekun dengan tidak mengeluarkan kalimat yang mencela atau mencaci maki. Di dalam Kristus dapat dilihat kerendahan hati yang sungguh-sungguh. Di dalam Kristus, dapat dilihat segala yang paling tinggi mutunya, yang disebut moral, kesucian, segala sesuatu hanya berada dalam diri-Nya. 

Manusia diciptakan menurut peta dan teladan (gambar dan rupa) Allah berarti manusia bersumber, bukan orang yang tidak ada sumber dan tanggung jawab. Ini berarti manusia diciptakan sebagai orang yang bertujuan, bukan berkeliaran seperti anak terhilang. Manusia diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah, berarti manusia harus kembali kepada teladannya, Allah yang pernah menjelma menjadi manusia, yaitu Yesus Kristus. “Ikutlah Aku, pikullah kuk dan belajarlah dari-Ku dan terimalah teladan-Ku” (Matius 11:28-29). 

4. Manusia seperti Allah tetapi bukan Allah 

Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah berarti manusia seperti Allah tetapi manusia bukan Allah. Oleh sebab itu manusia jangan berperan seperti Allah. Ada begitu banyak manusia yang ateis dan menganggap bahwa manusia itulah Allah yang sesungguhnya. Sehingga segala aspek hidupnya semata-mata dipusatkan pada diri sendiri. Mungkin moralitas, etika dan hukum tetap dijumpai pada manusia-mausia yang ateis. Tapi itu semua didasarkan pada standarnya, bukan pada standar Allah. Manusia yang menganggap diri Allah hanya akan menemukan kegagalan. 

Manusia sebagai gambar dan rupa Allah juga dapat berarti bahwa manusia memiliki potensi/kemampuan untuk berhubungan atau merespons Allah, dan dalam arti ini manusia adalah makhluk religius. “Manusia diciptakan sebagai gambar Allah berarti manusia diciptakan sedemikian rupa untuk menjadi pihak lain yang diajak komunikasi oleh Allah.” 

Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, gambar dan rupa Allah yang ada pada manusia menjadi rusak. Artinya bahwa relasi antara Allah dan manusia menjadi rusak. Manusia tidak dapat memperbaiki relasi yang rusak ini. Hanya Allah saja yang mampu. Untuk itulah Dia datang ke dalam dunia untuk mencari mengadakan pendamaian antara diri-Nya dan manusia. 


“Penciptaan manusia menurut gambar Allah, secara negatif menyangkal manusia sama dengan Allah. Gambar Allah bukanlah Allah. Semulia-mulia manusia, ia tetap bukan Allah hanya gambar-Nya saja, yang ternyata hanya berasal dari debu tanah (Kejadian. 2:7) dan kembali kepada debu (Kejadian. 3:7). Jika ia memanipulasi untuk dirinya berbagai bentuk ketaatan dan dedikasi orang lain yang seharusnya untuk Tuhan, maka ia mencuri kemuliaan Allah.”

C. KESIMPULAN 

Sungguh luar biasa Allah menjadikan manusia. Tidak mengherankan ketika pemazmur mengatakan, “Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib” (Mazmur 139:14). Allah menjadikan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, sehingga manusia itu istimewa adanya. Manusia adalah makhluk yang istimewa, melebihi segala makhluk yang lain. 


Sebagai gambar dan rupa Allah manusia itu diberikan mandat oleh Allah untuk menjaga, memelihara dan mengusahakan bumi. Sebagai gambar dan rupa Allah manusia harus memandang kepada Allah yang adalah sumber kehidupannya. Manusia tidak boleh mendasarkan hidupnya pada dirinya sendiri karena dia bukanlah Allah. Tujuan hidup manusia adalah untuk kemuliaan Allah. Allah sendiri, melalui Yesus Kristus menjadi teladan hidup manusia. https://teologiareformed.blogspot.com/

DAFTAR PUSTAKA 

Huijbers, Theo. Manusia Merenungkan Dirinya. Yogyakarta: Kanisius, 1987. 

Hoekema, Anthony A. Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah. Surabaya: Momentum 2010. 

Nurwardani, Paristiyanti, Daniel Nuhamara, Daniel Stefanus, Swarsono, Edi Mulyono, Evawany, Fajar Priyautama, Ary Festanto. Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: Ristekdikti, 2016. 

S.J., N. Drijarkara. Percikan Filsafat. Jakarta: Pembangunan, 1978. 

Tong, Stephen. Peta dan Teladan Allah. Jakarta: Timur Agung, 1990. 

Williamson, G. I. Pengakuan Iman Westminter. Surabaya: Momentum, 2009. 

Busthan, Paskalinus C. Diktat Perkuliahan Teologi Sistematika 1. Makassar: STT Jaffray, 2017. 

Wijaya, Hengki. “Eksposisi Gambar Allah Menurut Penciptaan Manusia Berdasarkan Kejadian 1:26-28” ResearchGate. Diakses 22 Mei 2018. https://www.researchgate.net/publication/282854855_Ekposisi_Gambar_Allah_ Menurut_Penciptaan_Manusia_Berdasarkan_Kejadian_126-28. 
Next Post Previous Post