EKSPOSISI AYUB 4:1-6

Pdt.Budi Asali, M.Div.
EKSPOSISI AYUB 4:1-6
Ayub 4:1-6 - “(1) Maka berbicaralah Elifas, orang Teman: (2) ‘Kesalkah engkau, bila orang mencoba berbicara kepadamu? Tetapi siapakah dapat tetap menutup mulutnya? (3) Sesungguhnya, engkau telah mengajar banyak orang, dan tangan yang lemah telah engkau kuatkan; (4) orang yang jatuh telah dibangunkan oleh kata-katamu, dan lutut yang lemas telah kaukokohkan; (5) tetapi sekarang, dirimu yang tertimpa, dan engkau kesal, dirimu terkena, dan engkau terkejut. (6) Bukankah takutmu akan Allah yang menjadi sandaranmu, dan kesalehan hidupmu menjadi pengharapanmu?”.

Ayub 4:1-2: “Maka berbicaralah Elifas, orang Teman: (2) ‘Kesalkah engkau, bila orang mencoba berbicara kepadamu? Tetapi siapakah dapat tetap menutup mulutnya?”.

1) Elifas yang berbicara paling dulu dari semua teman-teman Ayub, mungkin karena dia yang paling tua. Dan biasanya orang tua dianggap bijaksana, sedangkan orang muda diremehkan.

1Timotius 4:12 - “Jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.”.

Tetapi ucapan Elifas menunjukkan bahwa tua tidak selalu bijaksana. Tanpa pengertian Firman Tuhan yang baik, usia tua tidak ada artinya.

Bdk. Mazmur 119:98-100 - “(98) PerintahMu membuat aku lebih bijaksana dari pada musuh-musuhku, sebab selama-lamanya itu ada padaku. (99) Aku lebih berakal budi dari pada semua pengajarku, sebab peringatan-peringatanMu kurenungkan. (100) Aku lebih mengerti dari pada orang-orang tua, sebab aku memegang titah-titahMu.”.

2) Kata-katanya dalam ay 2 merupakan semacam permintaan maaf, karena ia berani bicara.
Mungkin ia merasa bahwa apa yang akan ia katakan tidak akan disambut dengan baik oleh Ayub, dan karena itu ia mengatakan kata-kata ini. Tetapi apakah Ayub akan marah atau tidak, ia tidak bisa diam. Karena setelah mendengar apa yang diucapkan oleh Ayub, yang secara implicit meragukan kebijaksanaan dan keadilan Allah, ia tidak bisa tidak mengucapkan apa yang ingin diucapkannya.

Barnes’ Notes: “He professes that he would not have spoken, if he had not been pressed by the importance of the subject, and had not been full of matter. To a great extent, this is a good rule to adopt: not to make a speech unless there are sentiments which weigh upon the mind, and convictions of duty which cannot be repressed.” [= Ia mengaku bahwa ia tidak akan berbicara seandainya ia tidak dipaksa oleh pentingnya pokok yang dibicarakan, dan seandainya apa yang akan ia bicarakan itu tidak penuh dengan hal-hal yang penting. Pada umumnya ini merupakan suatu peraturan yang baik untuk diambil: tidak berbicara kecuali ada pandangan yang membebani pikiran, dan keyakinan akan kewajiban yang tidak bisa ditekan.] - hal 142.

Bdk. Amsal 29:20 - “Kaulihat orang yang cepat dengan kata-katanya; harapan lebih banyak bagi orang bebal dari pada bagi orang itu.”.

Kata-kata ‘siapakah dapat tetap menutup mulutnya?’ menunjukkan bahwa Elifas terdorong untuk berbicara, dan ia berusaha menahan dorongan tersebut, tetapi akhirnya ia berbicara. Ini perlu dipersoalkan. Kalau kita merasakan adanya dorongan untuk berbicara, maka kita harus memeriksa dari mana datangnya dorongan itu. Kalau dorongan itu memang datang dari Allah, maka harus kita turuti. Ini bisa berupa banyak hal, seperti dorongan untuk memberitakan Injil, bersaksi, menegur orang menasehati orang, menghibur orang, meluruskan pandangan orang, dan sebagainya.

Tetapi dorongan seperti itu bisa datang dari diri sendiri atau dari setan, dan ini tentu justru harus dikekang. Kalau tidak, mungkin justru menimbulkan akibat yang tidak baik.

Dorongan yang datang dari Tuhanpun, kalau dituruti, belum tentu memberikan hasil seperti yang kita harapkan. Misalnya Stefanus yang berbicara atas dorongan Roh Kudus, ternyata dirajam batu sampai mati. Tetapi kalau itu memang dari Tuhan, kita tetap harus melakukannya, tidak peduli apapun hasilnya.

Jadi, keputusan apakah kita berbicara atau tidak, tidak boleh digantungkan pada untung ruginya kalau kita bicara, atau pada bagaimana kira-kira reaksi orang kalau kita bicara, tetapi pada apakah itu benar atau tidak, dan apakah itu kehendak Tuhan atau tidak.

Dalam kasus Elifas ini, saya beranggapan bahwa ia berbicara secara salah, dan seharusnya ia tidak menuruti dorongan untuk berbicara itu.

3) Elifas terdorong untuk berbicara dengan tujuan menegur / menyalahkan Ayub.

a) Clarke mengatakan (hal 36) bahwa setelah teman-teman Ayub ini berdiam diri selama 7 hari, mereka merasa sudah cukup melihat penderitaan Ayub, dan setelah mereka mendengar keluhannya yang pahit, mereka melupakan bahwa mereka datang sebagai penghibur, bukan sebagai pengkritik. Mereka lalu berusaha untuk mengambil dari Ayub satu-satunya penghiburan yang tersisa, yaitu kehidupannya yang saleh. Dan ini mereka lakukan dengan menegur / menyalahkan Ayub.

b) Sekalipun Kitab Suci memang jelas menyuruh kita menegur orang yang salah, tetapi Kitab Suci juga menekankan bahwa motivasi, cara dan saatnya harus benar.

1. Motivasinya tentu haruslah kasih, dan tujuannya harus untuk kemuliaan Tuhan.

1Korintus 13:1-3 - “(1) Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. (2) Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. (3) Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.”.

1Korintus 10:31 - “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”.

2. Cara bisa lembut dan bahkan tanpa kata-kata (bdk. Lukas 22:61), bisa juga keras (Galatia 2:11-14). Juga kadang-kadang harus secara pribadi (Matius 18:15-17), kadang-kadang harus di depan umum (1Timotius 5:20). Yang mana yang harus dipilih tentu harus digumulkan.

Lukas 22:61 - “Lalu berpalinglah Tuhan memandang Petrus. Maka teringatlah Petrus bahwa Tuhan telah berkata kepadanya: ‘Sebelum ayam berkokok pada hari ini, engkau telah tiga kali menyangkal Aku.’”.

Galatia 2:11-14 - “(11) Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah. (12) Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat. (13) Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka. (14) Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan mereka semua: ‘Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?’”.

Matius 18:15-17 - “(15) ‘Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. (16) Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. (17) Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.”.

1Timotius 5:20 - “Mereka yang berbuat dosa hendaklah kautegor di depan semua orang agar yang lain itupun takut.”.

3. Saatnya harus tepat.

Pkh 3:7b - “ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;”.

Amsal 25:11 - “Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak.”.

Pada saat seseorang sedang sangat marah, atau sangat sedih / depresi, biasanya bukan merupakan saat yang baik.

Tetapi juga perlu diperhatikan bahwa ada banyak orang yang memang selalu mempunyai kecenderungan untuk menunda, sehingga selalu mengatakan bahwa saatnya belum tiba, dan selalu mencari alasan untuk menunda. Untuk ini perhatikan:

a. Pengkhotbah 11:4-6 - “(4) Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai. (5) Sebagaimana engkau tidak mengetahui jalan angin dan tulang-tulang dalam rahim seorang perempuan yang mengandung, demikian juga engkau tidak mengetahui pekerjaan Allah yang melakukan segala sesuatu. (6) Taburkanlah benihmu pagi-pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik.”.

b. Amsal 22:13 - “Si pemalas berkata: ‘Ada singa di luar, aku akan dibunuh di tengah jalan.’”.

c. Amsal 26:13 - “Berkatalah si pemalas: ‘Ada singa di jalan! Ada singa di lorong!’”.

Ayub 4: 3-4: “(3) Sesungguhnya, engkau telah mengajar banyak orang, dan tangan yang lemah telah engkau kuatkan; (4) orang yang jatuh telah dibangunkan oleh kata-katamu, dan lutut yang lemas telah kaukokohkan;”.

Elifas memulai dengan mengakui hal-hal baik yang dilakukan Ayub selama ini, yaitu mengajar dan menguatkan / menghibur orang yang menderita.

1) Ayub dulunya telah menguatkan banyak orang.
Barnes mengatakan (hal 142) bahwa Ayub 4: 4 yang berbicara tentang ‘orang yang jatuh’ dan ‘lutut yang lemas’ bukan menunjuk kepada orang yang jatuh ke dalam dosa, tetapi kepada orang yang jatuh / tenggelam karena beratnya penderitaan.

Jadi, dalam hidupnya sebelum terkena bencana ini, Ayub banyak melakukan pelayanan dengan menguatkan orang-orang yang menderita. Perhatikan 2 hal ini:

a) Ayub dikatakan sebagai orang yang saleh, dan tidak mungkin ada kesalehan tanpa pelayanan!

b) Ayub adalah orang yang sangat kaya, tetapi ia melakukan pelayanan!
Banyak orang kaya yang maunya hanya memberi uang, tetapi kalau harus melakukan sesuatu, ia tidak mau!

2) Ini menunjukkan bahwa Ayub memang mempunyai kesalehan yang praktis.
Pulpit Commentary: “Job’s piety was not simply intellectual and emotional, but also practical, aiming at the good of others. ... Where works of faith and labours of love are entirely absent, there is bound to suspect that genuine religion is not present” [= Kesalehan Ayub bukanlah sekedar bersifat intelektual dan emosional, tetapi juga bersifat praktis, bertujuan untuk kebaikan orang-orang lain. ... Dimana pekerjaan iman dan usaha kasih sama sekali tidak ada, harus dicurigai bahwa agama yang asli tidak ada] - hal 71.

Bandingkan dengan:
a) Yakobus 1:27 - “Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.”.

b) Yakobus 2:15-16 - “(15) Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari, (16) dan seorang dari antara kamu berkata: ‘Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!’, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?”.

c) 1Yohanes 3:17-18 - “(17) Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya? (18) Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.”.


Matthew Henry: “It is not only our duty to lift up our own hands that hang down, by quickening and encouraging ourselves in the way of duty (Heb. 12:12), but we must also strengthen the weak hands of others, as there is occasion, and do what we can to confirm their feeble knees, by saying to those that are of a fearful heart, Be strong, (Isa. 35:3-4). ... A good word, well and wisely spoken, may do more good than perhaps we think of.” [= Kewajiban kita bukan hanya mengangkat tangan kita sendiri yang terkulai, dengan menggairahkan dan mendorong diri kita sendiri dalam jalan kewajiban kita (Ibrani 12:12), tetapi kita juga harus menguatkan tangan-tangan yang lemah dari orang-orang lain, kalau ada kesempatan, dan melakukan apa yang kita bisa untuk meneguhkan lutut-lutut yang goyah, dengan mengatakan kepada mereka yang hatinya takut-takut, Jadilah kuat, (Yesaya 35:3-4). ... Suatu perkataan yang baik, yang diucapkan dengan baik dan bijaksana, bisa melakukan lebih banyak kebaikan dari pada yang mungkin kita pikirkan.].

Ibrani 12:12 - “Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah;”.

Yesaya 35:3-4 - “(3) Kuatkanlah tangan yang lemah lesu dan teguhkanlah lutut yang goyah. (4) Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: ‘Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!’”.

3) Kesalehan praktis seperti ini harus SELALU ada dalam hidup kita.
Pulpit Commentary juga menekankan bahwa bukti dari iman adalah tindakan baik yang TERUS MENERUS dilakukan dalam seluruh kehidupan kita, bukan tindakan baik yang hanya dilakukan SEKALI-SEKALI / KADANG-KADANG saja.

Pulpit Commentary: “Isolated good deeds does not necessarily proceed from gracious hearts; there can be no better evidence of saintship than a lifetime of holy walking.” [= Perbuatan-perbuatan baik yang jarang / kadang-kadang saja belum tentu keluar dari hati yang baik; tidak ada bukti yang lebih baik bahwa seseorang adalah orang kudus dari pada kehidupan yang kudus seumur hidup.] - hal 71.

Ayub 4: 5: “tetapi sekarang, dirimu yang tertimpa, dan engkau kesal, dirimu terkena, dan engkau terkejut.”.

1) Elifas kelihatannya agak meremehkan penderitaan Ayub.
Perhatikan potongan ‘dirimu terkena’. Ini kurang tepat terjemahannya.

NIV: ‘it strikes you’ [= itu memukulmu / menabrakmu].
KJV: ‘it toucheth thee’ [= itu menyentuhmu].
RSV/NASB: ‘it touches you’ [= itu menyentuhmu].

Matthew Henry: “He makes too light of Job’s afflictions: ‘It touches thee.’ The very word that Satan himself had used, Job 1:11, 2:5. Had Eliphaz felt but the one-half of Job’s affliction, he would have said, ‘It smites me, it wounds me;’ but, speaking of Job’s afflictions, he makes a mere trifle of it: ‘It touches thee and thou canst not bear to be touched.’” [= Ia meremehkan penderitaan Ayub: ‘Itu menyentuhmu’. Ini adalah kata yang sama yang telah digunakan oleh Iblis sendiri, Ayub 1:11, 2:5. Seandainya Elifas merasakan ½ dari penderitaan Ayub, ia akan mengatakan ‘itu memukulku, itu melukaiku’; tetapi berbicara tentang penderitaan Ayub, ia meremehkannya: ‘Itu menyentuhmu dan engkau tidak bisa tahan untuk disentuh’.].

Catatan: kata ‘jamahlah’ dalam Ayub 1:11 dan Ayub 2:5 seharusnya adalah ‘sentuhlah’.

Penerapan: seringkali kita juga sama seperti Elifas dalam hal meremehkan penderitaan orang lain. Ceritanya akan lain kalau kita sendiri merasakan penderitaan itu. Itu salah satu alasan mengapa Tuhan memberi kita banyak penderitaan, yaitu supaya kita mengerti orang lain yang menderita.

2) Barnes mengatakan (hal 142) bahwa maksud dari ay 3-4 adalah: engkau telah mengajar banyak orang bagaimana caranya menanggung penderitaan / pencobaan, dan engkau juga mengajar orang bahwa Allah mengontrol segala sesuatu.

Dengan ay 5 Elifas memaksudkan bahwa sekarang Ayub harus mempraktekkan sendiri ajaran / penghiburannya itu. Barnes mengatakan bahwa kata-kata ini bukan dimaksudkan untuk menyakiti hati Ayub, atau sebagai suatu ejekan terhadap Ayub. Kata-kata ini hanya dimaksudkan untuk mengingatkan Ayub untuk melakukan apa yang ia sendiri telah ajarkan.

Tetapi Pulpit Commentary (hal 67) mengatakan bahwa kata-kata ini sama dengan kata-kata ‘seorang tabib tidak bisa menyembuhkan dirinya sendiri’.

Lukas 4:23 - “Maka berkatalah Ia kepada mereka: ‘Tentu kamu akan mengatakan pepatah ini kepadaKu: Hai tabib, sembuhkanlah diriMu sendiri. Perbuatlah di sini juga, di tempat asalMu ini, segala yang kami dengar yang telah terjadi di Kapernaum!’”.

Bdk. Roma 2:21a - “Jadi, bagaimanakah engkau yang mengajar orang lain, tidakkah engkau mengajar dirimu sendiri?”.

Berbeda dengan pandangan Albert Barnes di atas, maka Pulpit Commentary menganggap bahwa dalam kata-kata ini ada sarkasme, yang menunjukkan sikap keras dan tidak adanya kasih dalam diri Elifas, dan hal ini dirasakan oleh Ayub.

Pulpit Commentary: “In circumstances even the most favourable, it requires no little grace to receive admonition with equanimity; ... much more when that admonition is not only felt to be undeserved, but spoken at a time when the soul, crushed beneath the burden of its misery, wants of sympathy rather than reproof, and when, besides, the reproof is unfeeling in its tone and somewhat flavoured with self-complacency on the part of the giver. ... Reproof that lacerates seldom profits.” [= Dalam keadaan yang paling menyenangkan sekalipun, tetap dibutuhkan kasih karunia yang besar untuk menerima teguran / nasehat dengan hati yang tenang / sabar; ... lebih lagi ketika nasehat / teguran itu bukan hanya dirasakan sebagai tidak pantas untuk diterima, tetapi juga diucapkan pada saat dimana jiwa sedang tertekan di bawah beban kesengsaraan, dan sedang membutuhkan simpati dan bukannya celaan, dan disamping itu ketika celaan itu diucapkan dengan nada yang tidak berperasaan, dan agak dibumbui dengan rasa puas diri dari si pemberi celaan. Celaan yang mencabik / mengoyakkan jarang bermanfaat / menguntungkan.] - hal 70-71.

Pulpit Commentary juga menambahkan bahwa sekalipun Kitab Suci mengatakan bahwa orang kristen harus mau mendengar dan menerima teguran, tetapi Kitab Suci juga mengatakan bahwa orang kristen harus mengatakan kebenaran dalam kasih.

Efesus 4:15 - “tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.”.
Bagian yang saya beri warna biru ini salah terjemahan; bandingkan dengan terjemahan KJV di bawah ini.

KJV: ‘speaking the truth in love’ [= dengan mengucapkan kebenaran dalam kasih].

3) Keadaan ini menunjukkan bahwa:

Pulpit Commentary: “the world is never slow in remarking the deficiencies of good men;” [= dunia tidak pernah lambat dalam memperhatikan / mengkritik kekurangan-kekurangan dari orang-orang yang saleh;] - hal 71.

Pulpit Commentary: “it is easier to preach patience than to practise it,” [= adalah lebih mudah untuk memberitakan / mengkhotbahkan kesabaran dari pada mempraktekkannya,] - hal 71.

4) Pada satu sisi memang seorang pengajar harus melakukan apa yang ia sendiri ajarkan, tetapi pada sisi yang lain, kita juga harus menyadari bahwa pengajar itu sendiri juga adalah manusia yang lemah dan bodoh, yang tidak mungkin bisa melakukan semua yang ia ajarkan dengan sempurna.

Kalau saudara melihat seorang pengajar jatuh / tidak melakukan apa yang ia ajarkan, maka saudara harus melihat dahulu apa alasannya ia jatuh:

a) Kalau ia jatuh tanpa alasan yang berarti, maka pengajar itu layak ditegur, bahkan dengan keras. Ini yang Yesus lakukan terhadap ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Catatan: pada saat yang sama, jangan terlalu cepat menghakimi seseorang dengan ‘menganggap’ bahwa orang itu jatuh tanpa alasan yang berarti. Mengapa? Karena kita tidak maha tahu, dan karena itu kita sering tidak mengerti tentang orang itu dan problem yang ia hadapi.

b) Kalau ia jatuh karena memang bebannya sangat berat, seperti dalam kasus Ayub, seharusnya ia bukan ditegur tetapi dihibur.

5) Saya tidak setuju dengan penafsir-penafsir yang membenarkan sikap Elifas di sini, karena pada akhir dari kitab Ayub kita melihat bahwa teman-teman Ayub ini dilabrak oleh Tuhan!

Ayub 4: 6: “Bukankah takutmu akan Allah yang menjadi sandaranmu, dan kesalehan hidupmu menjadi pengharapanmu?”.

1) Ayat ini kabur terjemahannya sehingga ada bermacam-macam terjemahan.
KJV: ‘Is not this thy fear, thy confidence, thy hope, and the uprightness of thy ways?’ [= Bukankah ini rasa takutmu, keyakinanmu, pengharapanmu, dan kelurusan jalan / hidupmu?].

RSV/NIV/NASB seperti Kitab Suci Indonesia.

Dalam Latin Vulgate diterjemahkan: ‘Where is thy fear, thy fortitude, thy patience, and the integrity of thy ways?’ [= Dimana rasa takutmu, ketabahanmu, kesabaranmu, dan kejujuran jalanmu?] - Barnes, hal 143. Clarke menerima terjemahan ini.

2) Mungkin maksud pertanyaan ini adalah: jika engkau yakin akan kebenaran / kesalehanmu, engkau harus tetap percaya kepada Allah bahwa Ia akan membebaskanmu dari penderitaan ini. Bahwa engkau kesal menunjukkan bahwa engkau sebetulnya tidak yakin akan kebenaran / kesalehanmu.EKSPOSISI AYUB 4:1-6

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
-o0o-
Next Post Previous Post