EKSPOSISI SURAT YAKOBUS 2:14-26
Denny Teguh Sutandio.
Yakobus 2: 14, “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan ? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia ?”(Yunani :“Apakah gunanya, hai saudara-saudaraku, jikalau iman berkata ada orang (bahwa ia) mempunyai perbuatan-perbuatan tetapi tidak mempunyai ? {Dapatkah} (itu) iman menyelamatkan dia ?”).
Terjemahan bebas, “Percuma saja ada orang Kristen yang berkata bahwa ia memiliki iman yang menyelamatkan, tetapi tidak memiliki perbuatan-perbuatan yang membuktikan iman itu, karena iman semacam itu tidak dapat menyelamatkannya.” Yakobus membuka perikop ini dengan langsung mengajar dua hal antara iman dan perbuatan-perbuatan/pekerjaan-pekerjaan (New American Standard Bible/NASB : works).
Iman tidak bisa menyelamatkan jika tanpa disertai perbuatan, tetapi tidak berarti keselamatan karena perbuatan. Untuk menegaskan hal ini, Yakobus menggunakan bentuk pertanyaan retoris yang menghendaki jawaban “tidak”. Kata ‘padahal’ (NASB : but) menandakan suatu kontras/pertentangan di mana jika seorang berkata bahwa dirinya punya iman tetapi iman itu tidak dilakukan maka iman itu tidak menyelamatkannya.
Pernyataan, “Dapatkah iman itu menyelamatkan dia ?” harus dikaitkan dengan pernyataan sebelumnya (Yakobus 2:1-13) dan konteks penulisan Surat Yakobus yaitu kepada orang-orang yang sudah Kristen (bukan orang-orang secara umum) (lihat Yakobus 1:1 dan penggunaan kata “saudara-saudaraku yang seiman”/brethren di dalam Yakobus 2: 14) ! Yakobus dengan jeli melihat kurang berharganya sebuah iman Kristen jika orang Kristen yang mengaku memiliki iman yang baik, tetapi mendiskriminasi seseorang dari sudut ekonomi dan sosial saja (lihat Yakobus 2:1-4).
Untuk menegur orang Kristen semacam ini, pada pasal 2 ayat 5-7, Yakobus menjelaskan konsep paradoks di dalam keKristenan dan konsep di mana Tuhan justru memakai orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia (lihat ayat 5). Orang yang mengaku diri Kristen bahkan beriman jika masih tidak mengerti konsep ini, bagi Yakobus, itu suatu kesia-siaan dan bahkan iman seperti itu tidak menyelamatkan.
Pernyataan pada ayat 14 ini pun bisa merupakan kesimpulan dari pengajaran Yakobus pada pasal 2 ayat 8-13 yang menjelaskan mereka yang mengaku beriman baik hanya mau menjalankan beberapa dari hukum dan mengabaikan yang lain (ayat 10-11). Kalau situasi seperti yang tercantum dalam pasal 2 ayat 1-13 terjadi, maka kemungkinan besar orang Kristen akan diragukan oleh orang-orang non-Kristen sebagai orang yang beriman sejati karena mereka melihat sikap dan perbuatan orang Kristen sama sekali tidak menampakkan buah dari iman sejati itu melalui perbuatan-perbuatan mereka.
Oleh karena itu, Yakobus pada akhir ayat ini mengajukan kembali pertanyaan retoris tentang iman yang tidak berbuah di dalam perbuatan apakah mungkin dapat menyelamatkan orang Kristen yang memiliki iman tersebut.
Yakobus 2: 15, “Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari,” (Yunani : ean de adelfoς h adelfh uparcwsin kai leipómenoi thς efhmerou trofhς = “Jika seorang saudara (seiman) atau seorang saudari (seiman) yang kekurangan pakaian adalah dan berkekurangan sehari-hari makanan”). Terjemahan bebas, “Jika seorang saudara atau saudari Kristen yang kekurangan pakaian dan makanan sehari-hari,” Selain menggunakan contoh iman yang tidak berbuah dalam perbuatan pada pasal 2 ayat 1-4, di mana banyak orang Kristen yang beriman baik tetapi mendiskriminasi orang Kristen lainnya, kembali, Yakobus ingin memberikan contoh kasus mengenai seorang saudara/i Kristen (seiman) yang kekurangan pakaian dan makanan sehari-hari.
Di sini jelas, kasus ini tidak pernah terjadi di lingkungan tempat orang-orang Kristen yang dikirimi surat oleh Yakobus, karena itu Yakobus menggunakan sebuah pengandaian “Jika”. Hal ini untuk menjelaskan ayat 14 mengenai pentingnya buah dari iman itu terealisasi dalam perbuatan sehari-hari dengan suatu contoh pengandaian.
Pada ayat ini juga, Yakobus ingin memberi contoh konkrit kepada siapakah orang-orang Kristen/anak-anak Tuhan seharusnya pertama kali memberi bantuan. Yakobus tidak mengatakan bahwa anak-anak Tuhan boleh membantu semua orang (termasuk melalui lembaga-lembaga non-Kristen seperti yang PGI sering lakukan), tetapi Yakobus menspesifikkan bahwa anak-anak Tuhan/orang-orang Kristen pertama kali harus membantu sesama anak Tuhan/orang Kristen.
Ini tidak berarti orang-orang yang non-Kristen tidak perlu dibantu, tetapi itu merupakan hal kedua setelah kita membantu saudara-saudara seiman kita. Kembali, kita harus melihat surat Yakobus bukan merupakan surat umum untuk dibacakan di suatu daerah, tetapi ditujukan hanya kepada orang-orang Kristen yang pada saat itu mengalami penderitaan (perhatikan nasehat dan penghiburan Yakobus khususnya dalam Yakobus 1:2-4, 12-15 ; 5:7-11). Nah, melalui ayat 15, Yakobus ingin menyajikan suatu contoh pengandaian tentang beberapa orang Kristen yang benar-benar menderita.
Yakobus 2: 16, “dan seorang dari antara kamu berkata : ‘Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang !’, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu ?” (Yunani : eiph de tiς autoiς ex umwn upagete en eirήnh, qermainesqe cortazesqe mh dvte de autoiς ta epithdeia tou swmatoς, ti to ofeloς = “berkata lalu ada seorang kepada mereka dari kamu, Pergilah dengan damai sejahtera, jadilah hangat dan jadilah kenyang, tidak kamu memberi tetapi kepada mereka (apa-apa) yang diperlukan tubuh, apakah guna(nya) ?”).
Terjemahan bebas, “Percuma saja kalau kamu mengatakan diri orang yang beriman kepada Kristus jika kamu tidak menolong semampumu saudara-saudara seimanmu (yang terlantar) sambil mendidik mereka.” Setelah Yakobus memberikan contoh pengandaian pada ayat 15, ia menjelaskan sebuah reaksi ironi dari salah seorang dari orang Kristen yang mengaku diri beriman baik, tetapi malahan membiarkan saudara seimannya (atau mungkin orang-orang non-Kristen) mengalami penderitaan, bahkan berani mengatakan “damai sejahtera” kepada mereka yang menderita.
Dari contoh pengandaian yang ia paparkan dalam Yakobus 2:15 mengenai orang-orang yang sedang kekurangan pakaian dan makanan sehari-hari, Yakobus memberikan kemungkinan jawaban yaitu dengan munculnya, “jadilah hangat” (untuk orang-orang yang kekurangan pakaian) dan “jadilah kenyang” (untuk orang-orang yang kekurangan makanan){bahasa Yunani}.
Sebelum muncul kedua pernyataan ini, Yakobus menambahkan kata “Pergilah dengan damai sejahtera,” (bahasa Yunani) atau “Selamat jalan,” (LAI) untuk menunjukkan sikap orang Kristen yang sama sekali tidak membuktikan dirinya beriman baik, karena telah mengusir orang-orang/saudara-saudara seiman yang sedang menderita.
Bukan hanya itu saja, Yakobus kembali menambahkan suatu tindakan lain selain mengusir mereka, yaitu tidak satu pun memberikan sesuatu yang perlu bagi tubuhnya. Dengan teliti, Yakobus mengajarkan orang Kristen untuk tidak membantu secara membabibuta bahkan kalau perlu sampai menghambur-hamburkan uang Tuhan yang dipakai di dalam gereja hanya untuk membantu orang-orang miskin. Yakobus tidak mengatakan, “tetapi ia tidak memberikan memberikan kepadanya apa yang perlu bagi hidupnya, tetapi ia mengatakan, “tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuh (swmatoò)nya”.
Yakobus mengajarkan bahwa orang-orang Kristen hanya perlu membantu sesama saudara seiman (gereja, lembaga penginjilan, para misionari, dll) dan nantinya, orang-orang non-Kristen, semampu mereka yang ingin membantu tetapi tidak memanjakan mereka sehingga mereka yang menderita terus-menerus mengemis dan meminta bantuan kepada kita.
Pdt. Dr. Stephen Tong dalam khotbahnya mengenai Orang Kristen dan Harta memberikan contoh bahaya memanjakan orang-orang miskin untuk terus-menerus dibantu, di mana pengemis-pengemis di India setelah dibantu oleh IMF, beberapa tahun kemudian, pengemis-pengemis tersebut semakin bertambah 10 kali lipat. Beliau (Pdt. Stephen Tong) juga mengisahkan cerita pribadinya di mana karena kasihan melihat orang miskin, beliau pada suatu saat memanggil orang tersebut lalu mengajaknya ke rumah beliau untuk diberikan pakaian yang bagus dan disuruh mandi. Setelah itu, orang ini disuruh kembali ke lingkungannya.
Beberapa tahun kemudian, beliau (Pdt. Stephen Tong) sempat melihat orang yang telah ditolongnya ternyata menanggalkan pakaian barunya dan kembali mengenakan pakaian lamanya untuk menarik orang-orang lain agar kasihan dengannya. Dari kasus yang Pdt. Stephen Tong paparkan, begitu licik jiwa manusia yang sudah tahu hidupnya susah, ditambah natur berdosa, masih saja berbuat dosa menipu orang. Jika Yakobus menghubungkan belas kasihan dengan hal-hal sosial, maka Tuhan Yesus menghubungkan belas kasihan dengan jiwa-jiwa manusia yang tersesat (Matius 9:35-38, khususnya ayat 36).
Dari kedua hal yang kelihatannya “seolah-olah” bertentangan (tetapi sebenarnya tidak), orang Kristen pun seharusnya menyeimbangkan kedua hal ini yaitu belas kasihan yang pertama-tama berhubungan dengan adanya spirit mengasihi jiwa-jiwa yang tersesat akibat dosa dan belas kasihan yang berhubungan dengan hal-hal sosial seperti membantu korban bencana alam, dll.
Ketika orang Kristen tidak menyeimbangkan kedua hal ini, maka akan terjadi ketimpangan seperti yang dilakukan oleh banyak gereja-gereja Protestan mainline dan mayoritas “hamba-hamba Tuhan” dari gereja-gereja tersebut (seperti contoh alm. “Pdt.” Victor Immanuel Tanja, Ph.D. dari GPIB, “Pdt.” Dr. Ioanes Rachmat, M.Th. dari GKI, dll) yang menekankan aspek belas kasihan pada sisi membantu korban bencana alam, dll.
Bahkan dalam salah satu artikelnya di internet, saya pernah membaca pengakuan dari “Pdt.” Dr. Ioanes Rachmat, M.Th. yang setelah membabibuta mengkritik Gerakan Reformed Injili mengatakan bahwa dirinya adalah seorang humanis. Jelas sekali, bahwa ketimpangan yang terjadi mengakibatkan seorang “hamba Tuhan” yang berjubah dan bertoha “pendeta” ternyata adalah seorang humanis.
Oleh karena itu, dengan kaitan antara belas kasihan yang Tuhan Yesus dan Yakobus ajarkan, kita dididik untuk bersikap seimbang khususnya dalam hal penginjilan, di mana kita harus tetap memberitakan Injil secara perkataan (verbal) dan tidak melalaikan penginjilan melalui perbuatan hidup kita sehari-hari.
Kita memang tidak boleh hanya memberitakan Injil secara perkataan, tetapi perbuatan kita tidak karuan, itu yang Yakobus katakan sebagai iman yang percuma (sia-sia). Sebagai penutup pada ayat ini, Yakobus kembali memberikan suatu pertanyaan retoris, “apakah gunanya ?” untuk menegur orang-orang Kristen yang mengaku diri beriman tetapi tidak mempunyai perbuatan.
Yakobus 2: 17, “Demikian juga halnya dengan iman : Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” (Yunani : outwv kai h pistiv ean mh erga ech nekra estin kay eauthn = “Demikian juga iman, jikalau ia tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan, yang tidak berguna adalah {ia sendiri}.”).
Terjemahan bebas, “Begitu pula dengan iman, jika iman tidak menghasilkan perbuatan, iman itu akan sia-sia belaka.” Pada ayat ini, Yakobus memberikan kesimpulan pertama dari hasil pengajarannya pertama pada Yakobus 2: 14-16 yaitu jika iman itu tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan, maka sia-sialah iman itu. Di sini Alkitab bahasa Yunani dengan tepat menggunakan kata “menghasilkan”, karena perbuatan-perbuatan sejati dihasilkan dari iman sejati. Perbuatan yang dimaksud Yakobus tidaklah sama dengan arti perbuatan menurut Paulus. Jika Paulus mengungkapkan bahwa perintah Taurat itu sebagai sistem, yang olehnya seseorang dapat meraih keselamatan karena jasa (Paulus menolak ini), sedangkan Yakobus mengungkapkan Taurat adalah “Taurat yang memerdekakan” (Yakobus 2:12).
Apa yang Yakobus sebut sebagai perbuatan itu sama dengan istilah “buah Roh” yang Paulus ajarkan. Perbuatan bagi Yakobus adalah buah dari iman.Melalui ayat ini, Yakobus ingin mengajar bahwa bukannya iman tidak penting lalu kita semua (orang-orang Kristen) hanya mengandalkan perbuatan-perbuatan baik, tetapi ia mengajarkan bahwa iman sejati pasti menghasilkan (tindakan aktif) perbuatan-perbuatan. Inilah yang dimaksud oleh Pdt. Sutjipto Subeno, S.Th., M.Div. dengan statement-nya, “esensi menghasilkan/menunjukkan fenomena” (sedangkan fenomena belum tentu menghasilkan esensi sejati).
Jika kita melihat seluruh rangkaian Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, berkali-kali para nabi dan rasul mengajarkan iman, tetapi jika diteliti lebih lanjut, iman-iman tersebut bukan iman yang mati tetapi iman yang hidup (living faith) yang melepaskan seluruh kemampuan dan kehebatan diri kita (baik perbuatan baik, jasa, dll) serta hanya mengandalkan Tuhan Yesus Kristus untuk mendapatkan keselamatan. Iman inilah (living and saving faith) menghasilkan suatu tindakan konkret yang menaati apa yang Tuhan telah perintahkan (iman sejati tetap merupakan anugerah Allah yang diberikan hanya kepada umat pilihan-Nya, lalu Roh Kudus memimpin iman itu menuju kepada kesempurnaan iman).
Pertama, perhatikanlah doa dari Raja Daud di dalam Mazmur 26:1, “Berilah keadilan kepadaku, ya TUHAN, sebab aku telah hidup dalam ketulusan ; kepada TUHAN aku percaya dengan tidak ragu-ragu.” Daud dengan berani menyatakan bahwa dirinya percaya kepada TUHAN dengan 100% kepercayaan mutlak tanpa sedikitpun unsur keragu-raguan. Apakah sampai di sini kepercayaan/iman Daud lalu ia asal-asalan berbuat di dalam hidupnya ? Tidak. Pada ayat 2, ia menjelaskan dan meminta agar TUHAN menguji dirinya, menyelidiki batin dan hatinya. Ini bukti pertama, Daud beriman kepada TUHAN 100%, karena ia mau dengan rela hati diuji oleh Tuhan, diselidiki batin dan hatinya oleh Tuhan agar dirinya semakin sempurna di hadapan-Nya.
Dan selanjutnya, pada ayat 3, Daud menjelaskan alasan mengapa dirinya mau dengan rela hati dikoreksi dan dipimpin oleh Tuhan yaitu, “Sebab mataku tertuju pada kasih setia-Mu, dan aku hidup dalam kebenaran-Mu.” Ini bukti kedua Daud beriman kepada Tuhan, yaitu ia benar-benar mengarahkan mata-Nya kepada Tuhan dan hidup di dalam kebenaran Tuhan.
Mulai ayat 4-12, Daud mulai menjelaskan tindakan/perbuatan konkritnya yang membuktikan dia benar-benar beriman kepada Tuhan yaitu membenci dosa (ayat 4-6), memuji-muji Tuhan dengan nyanyian syukur (ayat 7), cinta akan tempat kediaman Tuhan (ayat 8), mengaku dosa dan kelemahan diri (ayat 9,11) dan hidup tulus (Yakobus 2: 11).
Dari sini, kita belajar bahwa iman sejati (yang Daud sebut sebagai “kepada TUHAN aku percaya dengan tidak ragu-ragu”) pasti menghasilkan buah melalui perbuatan-perbuatan, yaitu membenci dosa, hidup dalam kebenaran Allah, hidup dalam ketulusan, memuji Tuhan, mengakui dosa dan kelemahan diri serta mengembalikan seluruh puji, hormat dan kemuliaan hanya bagi nama Tuhan saja.
Kedua, perhatikan kembali pernyataan Raja Daud pada Mazmur 37:1-5 dengan perikop yang menceritakan pernyataan Daud kepada bangsa-bangsa Israel agar tidak ditipu dengan perilaku orang fasik yang kelihatannya hidupnya kaya dan lebih lancar. Pada ayat 1-2 dalam Mazmur 37, dengan jelas, Daud menggambarkan suatu situasi di mana orang-orang saleh selalu marah dan iri hati ketika melihat orang-orang jahat dan curang lebih lancar hidupnya.
Mulai Mazmur 37: 3, Raja Daud langsung mengajak orang-orang Israel untuk kembali percaya kepada Tuhan dan melakukan yang baik, berlaku setia ketika mereka sedang berdiam di negeri. Jelas, Raja Daud tidak memisahkan hubungan antara percaya/iman kepada Tuhan dengan perbuatan baik, tetapi justru ia menghubungkannya. Tetapi apakah perbuatan baik itu dilakukan secara terpaksa ? Tidak. Perhatikan kembali, ayat 4 pada Mazmur 37 menjelaskan bahwa kita harus bergembira karena TUHAN dan akibatnya, IA akan memberikan kepada kita apa yang diinginkan hati kita.
Jangan mencomot ayat ini, lalu mengklaim bahwa orang Kristen harus kaya, sukses, dan Tuhan pasti mengabulkan permintaan kita karena kita adalah anak-anak Raja. Itu tafsiran ngawur. Perhatikan ayat 3 dan 5 yang menjelaskan ayat 4, di mana ayat 3 menjelaskan bahwa kita harus percaya kepada Tuhan dan melakukan yang baik, dan ayat 5 menjelaskan bahwa di dalam kepercayaan kita kepada-Nya, kita harus menyerahkan hidup kita kepada Tuhan.
Janji Tuhan untuk memberkati kita harus didahului dengan perintah-Nya untuk tetap setia dan percaya kepada-Nya. Ketika kita menjalankan perintah-Nya dengan sungguh-sungguh, maka Ia akan (bukan pasti) memberikan kepada kita apa yang diinginkan hati kita, tetapi tetap berdasarkan kedaulatan-Nya. Kata “yang diinginkan hati kita” jangan diartikan keinginan kita yang menggebu-gebu, tetapi harus diartikan sebagai suatu keinginan hati yang mencintai Tuhan karena orang ini telah menyerahkan hidupnya dan percaya total kepada Tuhan, sehingga Ia akan mengabulkan permohonannya.
Ketiga, perhatikanlah Amsal 3:5 yang mengajar dengan tegas, “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar pada pengertianmu sendiri.” Dari ayat ini, kita belajar satu hal bahwa iman adalah hal mendasar di dalam keKristenan. Kita hidup ini pun hanya melalui iman kepada anugerah Allah yang mencipta, menyelamatkan, menebus dan menyucikan kita terus-menerus. Amsal 3:5 menjadi fondasi dasar hidup Kristen yaitu hidup percaya kepada Tuhan dengan segenap (seluruh) hati kita dan jangan bersandar pada pengertian kita sendiri (atau mengandalkan kehebatan atau kepintaran atau apa yang kita anggap baik).
Menurut Amsal 3:5-7, ada 3 ciri orang yang percaya kepada Tuhan, yaitu : pertama, tidak bersandar kepada pengertian kita sendiri. Orang yang percaya kepada Tuhan pasti mengakui bahwa dirinya sendiri itu berdosa dan tidak bisa dijadikan standart kebenaran sejati, oleh karena itu ia pasti mendasarkan dan melihat segala sesuatu dari sudut pandang Allah (theology from above) dan percaya kepada-Nya 100% mutlak. Ciri kedua yang Amsal ajarkan yaitu mengakui Dia dalam segala laku kita (Amsal 3:6). Orang yang mengaku percaya kepada Tuhan tetapi tidak mau menempatkan Tuhan di tempat yang pertama di dalam hidupnya adalah orang yang tidak layak disebut orang yang percaya kepada Tuhan.
Orang yang percaya kepada Tuhan seharusnya tahu siapa saya dan siapa Tuhan serta menempatkan Tuhan di posisi pertama bahkan melebihi pribadinya sendiri (seperti yang Paulus katakan bahwa hidupnya bukannya dia lagi tetapi Kristus yang hidup di dalam dirinya). Ciri ketiga yang Amsal ajarkan yaitu takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan. Sungguh aneh, jika ada orang yang mengaku percaya kepada Tuhan, tetapi tidak takut akan Tuhan apalagi yang masih dekat dengan kejahatan.
Orang yang mengaku percaya kepada Tuhan sesungguhnya ketika berhadapan dengan Tuhan Allah yang Mahakudus, dia menjadi takut kepada-Nya (=dalam arti menghormati dan sujud menyembah), karena dia tahu siapa manusia dan siapa Allah itu, serta ia dengan sendirinya membenci kejahatan dan jijik melihat dosa.
Orang yang mengaku percaya kepada Tuhan tetapi masih berkata, bertindak, berpikir kotor apalagi menghujat dan memaki-maki Tuhan serta menyalahkan-Nya kalau dirinya ada masalah, maka orang ini tidak layak disebut orang yang percaya kepada Tuhan meskipun mulutnya menyanyikan bahwa dia percaya kepada Tuhan bahkan mengasihi Tuhan. Inilah yang disebut atheis praktis. Orang seperti ini tidak mau dikatakan orang yang tidak beragama (atheis), tetapi dalam sikap hidupnya, cara pikirnya, cara bicaranya, cara kerjanya, orang ini jelas layak disebut tidak beragama (atheis).
Kata pisteuo bisa diikuti kata epi juga terdapat pada Kisah Para Rasul 9:42. Kisah Para Rasul 9:36-43 merupakan kisah Petrus yang membangkitkan Tabita (Dorkas) dari kematian. Setelah Tabita hidup, berita ini tersiar ke seluruh Yope dan banyak orang menjadi percaya kepada Tuhan (Kisah Para Rasul 9:42). Setelah orang-orang menyaksikan sendiri apa yang sudah Tuhan Yesus Kristus kerjakan melalui perantaraan Petrus, maka mereka mengalaskan iman mereka “di atas” Dia.
Kata pisteuo yang diikuti kata epi juga terdapat pada Roma 4:24, “Kita percaya kepada Dia yang telah membangkitkan Yesus Tuhan kita dari antara orang mati.” Juga, Yohanes 3:16 berkata, “Setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Iman adalah satu-satunya jalan, yang melaluinya manusia beroleh keselamatan.
Kata pisteuo kerap kali juga diikuti dengan kata bahwa (Yunani : oti), yang menandakan bahwa obyek iman adalah realita-realita tertentu. Hal ini penting, seperti Tuhan Yesus jelaskan kepada orang Yahudi, “Sebab jikalau kamu tidak percaya, bahwa Aku-lah Dia, kamu akan mati dalam dosamu.” (Yohanes 8:24 ).
Konteks ini sedang berbicara asal mula Tuhan Yesus yang bukan dari dunia ini. Yohanes 8:24 mengulang ayat 21 dan ayat 24 merupakan penjelasan (lihat kata penghubung “Karena itu tadi” atau therefore/oleh karena itu {Yunani : oun}) dari ayat 23 yang mengatakan, “Kamu berasal dari bawah, Aku dari atas ; kamu berasal dari dunia ini, Aku bukan dari dunia ini.” Kata “percaya bahwa” di sini hendak menunjukkan bahwa orang harus percaya kepada obyek iman sejati yaitu Tuhan Yesus Kristus yang diutus oleh Allah Bapa.
Yakobus juga mengatakan bahwa setan-setan pun percaya hanya ada satu Allah, namun “iman” ini tidak menguntungkan mereka (Yakobus 2:19). Pisteuo bisa diikuti keadaan ketiga (dativum), jika maksudnya adalah mempercayai atau menerima sebagai hal yang benar apa yang dikatakan seorang. Maka Tuhan Yesus mengingatkan orang Yahudi bahwa, “Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya.” (Matius 21:32).Di sini kata “percaya” tidaklah mengandung arti “mengandalkan diri” kepada Yohanes : orang Yahudi tidak percaya apa yang dikatakannya.
Hal ini juga terdapat pada Yohanes 8:45 di mana Tuhan Yesus mengatakan, “Kamu tidak percaya kepada-Ku” atau ayat berikutnya (Yohanes 8:46), “Aku mengatakan kebenaran, mengapa kamu tidak percaya kepada-Ku ?. Konteks ini berada di mana Tuhan Yesus berkata sedang berkata tentang keturunan Abraham yang tidak berasal dari Allah. Ketika Tuhan Yesus mulai menyinggung “bapamu” (ayat 38), orang Israel langsung mengatakan, “Bapa kami ialah Abraham.” (ayat 39). Lalu, Tuhan Yesus menantang mereka di mana kalau mereka mengaku anak-anak Abraham, mereka pasti melakukan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham.
Tetapi sebaliknya (perhatikan kata “Tetapi yang kamu kerjakan...”), mereka malahan ingin membunuh Tuhan Yesus yang datang dari Allah (ayat 40). Kemudian, orang-orang Yahudi juga tidak mau kalah mengatakan bahwa bapa mereka adalah satu yaitu Allah (ayat 41). Setelah itu, Tuhan Yesus menyambung mereka dengan mengatakan bahwa kalau Allah adalah Bapa mereka, maka mereka pasti mendengarkan-Nya (Kristus) karena IA keluar dan datang dari Allah yang mengutus-Nya (ayat 42).
Mulai ayat 43, Tuhan Yesus langsung mengadakan separasi/pemisahan dan alasan mengapa mereka tidak mengerti perkataan-perkataan-Nya. Pada ayat 44, Tuhan Yesus langsung membongkar total kebobrokan orang-orang Yahudi selama ini, yaitu yang menjadi bapa mereka yaitu iblis, bapa segala dusta, sehingga mereka tidak hidup di dalam kebenaran. Akibatnya, pada ayat 45, Tuhan Yesus menjelaskan bahwa, karena bapa mereka ialah iblis, maka mereka tidak percaya kepada-Nya. Pada ayat 46, Tuhan Yesus langsung menantang mereka untuk memeriksa apakah IA pernah berbuat dosa. Tantangan-Nya ini mengajarkan bahwa kebenaran sejati tidak mungkin ada dosa di dalamnya.
Sehingga, IA langsung mengatakan bahwa ketika IA mengatakan kebenaran, mengapa mereka masih tetap tidak percaya kepada-Nya ? Pada ayat penutup (47), Tuhan Yesus langsung mengajarkan satu prinsip yaitu orang yang berasal dari Allah pasti mendengarkan firman Allah dan IA menuding posisi orang-orang Yahudi yang tidak mau mendengarkan firman Allah karena mereka tidak berasal dari Allah. Dari ayat ini, kita bisa belajar bahwa orang yang berasal dari Allah (sama pengertiannya dengan orang-orang yang sudah dipilih dan ditetapkan oleh Allah Bapa sendiri) pasti mendengarkan firman-Nya.
Jadi, tidak ada istilah keselamatan di dalam Tuhan Yesus bisa hilang, karena orang-orang pilihan Allah pasti meresponi panggilan-Nya yaitu mendengarkan firman-Nya. Dan meskipun banyak terdapat orang-orang Kristen (Perjanjian Lama : orang Yahudi/keturunan Abraham), mereka belum tentu termasuk anak-anak Tuhan, jadi, mereka juga belum tentu mendengarkan firman-Nya. Dari konteks ini, kita belajar akan ada hubungan antara status orang-orang yang dibenarkan dan dipilih oleh Allah sebelum dunia dijadikan dengan reaksi/respon yang mereka lakukan.
Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa kepercayaan mempunyai isi kognitif, karena sebenarnya susunan kalimat ini juga mengacu kepada iman yang menyelamatkan (saving faith), seperti dalam Yohanes 5:24, “Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal”. Konteks ini (Yohanes 5:19-47), Tuhan Yesus sedang berbicara mengenai siapa Dia sebenarnya.
Yohanes 5:19-23, Tuhan Yesus mengajar terlebih dahulu bahwa IA datang dan diutus oleh Allah Bapa, IA melakukan apa yang Bapa lakukan dan Bapa menyerahkan segala penghakiman kepada-Nya, supaya semua orang menghormati Anak (Kristus). Pernyataan terakhir pada ayat 23 berbunyi, “Barangsiapa tidak menghormati Anak, ia juga tidak menghormati Bapa, yang mengutus Dia.” menandakan bahwa barangsiapa yang menolak bahkan menghina Tuhan Yesus, mereka pun pada dasarnya juga menolak dan menghina Allah Bapa.
Jadi, jangan mengira semua orang yang beragama mencari Allah, karena pada dasarnya melalui agama, mereka melarikan diri dari hadirat Allah. Logisnya, jika manusia ingin benar-benar “mencari” Allah melalui “agama”, maka ketika Kristus datang dan menyatakan diri-Nya sebagai satu-satunya Kebenaran Sejati, maka mereka pasti datang dan kembali kepada-Nya. Tetapi sayang sekali, manusia lebih suka tidak datang kepada Kristus, tetapi datang kepada ilah-ilah palsu yang mereka puja-puji sebagai “Allah” yang mati ! Ini pun merupakan suatu pengajaran kepada kita bahwa tidak ada satu orang pun yang bisa datang kepada Kristus, jika mereka tidak ditarik oleh Allah Bapa (Yohanes 6:39;10:29).
Yohanes 6: 23 dilanjutkan dengan ayat 24 yang mengajar, “Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup.” Orang-orang yang ditarik oleh Allah Bapa itu akhirnya bisa mendengar perkataan-Nya (Kristus) dan percaya kepada Allah, dan akibatnya, status orang-orang yang ditarik/dipilih oleh Allah Bapa itu berubah dari status anak-anak kegelapan menjadi anak-anak terang, sehingga mereka mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum.
Di sinilah maksud “percaya kepada-Ku” yang memiliki arti “iman yang menyelamatkan” (saving faith). Orang yang sungguh percaya kepada Allah, tentu akan bertindak selaras dengan iman itu. Dengan kata lain, kepercayaan yang sungguh bahwa apa yang dinyatakan Allah memang benar, akan nampak dalam iman yang benar pula.
Susunan tata bahasa khas untuk iman yang menyelamatkan, adalah kata kerja pisteuo diikuti kata eis yang artinya : percaya ke dalam. Maksudnya adalah iman yang mengeluarkan seseorang dari dirinya sendiri, dan menaruh dirinya di dalam Kristus (bandingkan ungkapan yang sering dipakai Paulus mengenai orang Kristen yaitu “di dalam Kristus”).
Pengalaman ini dapat juga disebut “kesatuan dengan Kristus melalui iman”. Maksudnya bukan iman dalam arti persetujuan intelektualis, tetapi iman yang melaluinya orang percaya berpaut pada Juru Selamatnya dengan segenap hatinya. Orang percaya dalam pengertian ini tinggal di dalam Kristus dan Kristus di dalam dia (Yohanes 15:4). Iman tidak berarti menerima hal-hal tertentu sebagai benar, tetapi menyerahkan diri (mengandalkan diri) kepada suatu diri, yaitu diri Tuhan Yesus Kristus.
Yang sangat khas dalam Perjanjian Baru adalah pemakaian mutlak kata kerja pisteuo itu. Sewaktu Tuhan Yesus berada di daerah samaria, banyak orang “menjadi percaya” karena perkataan-Nya (Yohanes 4:41). Tidak perlu ada tambahan pada apa yang mereka percayai, atau kepada siapa mereka percaya. Iman begitu khas dalam keKristenan, sehingga orang Kristen dapat disebut “orang percaya”. Pemakaian ini luas di seluruh Perjanjian Baru dan tidak terbatas hanya pada seorang penulis saja. Kita dapat menyimpulkan bahwa iman merupakan dasar keKristenan.
Hal waktu dari kata kerja pisteuo mengandung acuan waktu :
V aorist yang mengacu kepada tindakan yang terjadi pada waktu lalu. Dan bila dipakai demikian akan menandakan sifat yang menentukan dari iman. Jika seseorang menjadi percaya ia menyerahkan dirinya secara menentukan kepada Kristus.
V Present yang mengandung gagasan “berjalan terus” atau berulang-ulang. Ini menandakan bahwa iman bukanlah sesuatu yang berlalu, tetapi berlangsung terus-menerus.
V perfect yang mengandung kedua gagasan di atas dan membicarakan tentang tindakan masa kini yang merupakan kesinambungan tindakan pada waktu lalu. Tentang iman, ini menandakan bahwa orang yang menjadi percaya memasuki suatu keadaan yang menetap.
Tepatlah, apa yang dikatakan oleh hamba-Nya, Pdt. Dr. Stephen Tong dalam bukunya From Faith to Faith (Dari Iman Kepada Iman) bahwa iman pertama kali (aorist) adalah anugerah Allah yang diterima oleh manusia secara pasif akan membawa kepada iman yang berkelanjutan (iman secara aktif).
Perlu juga diperhatikan bahwa kata benda pistis kadang-kadang diperlengkapi dengan kata sandang, maksudnya, keseluruhan batang tubuh ajaran Kristen, seperti waktu Paulus menghimbau orang Kolose, “hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu.” (Kolose 2:7 )
Konteks Markus 9:14-29 merupakan suatu peristiwa di mana Tuhan Yesus mengusir roh dari seorang anak yang bisu. Pada ayat 17-18 dikisahkan bahwa ada seorang anak yang bisu yang kerasukan roh dan roh itu terus membantingnya ke tanah. Mulut anak itu berbusa, giginya bekertakan dan tubuhnya menjadi kejang. Orang yang membawa anaknya ini ternyata sudah membawanya kepada murid-murid-Nya, tetapi mereka tidak dapat.
Pada ayat 19, sekali lagi Tuhan Yesus menegur kebimbangan dan keraguan mereka yang tidak percaya. Pada ayat 20, si iblis ketika melihat Tuhan Yesus segera menggoncang-goncangkan dan anak ini terpelanting ke tanah dan terguling-guling dan mulutnya berbusa. Pada ayat 21-22a dapat diketahui bahwa roh ini sudah mengganggu anak ini sejak masa kecilnya. Perkataan si ayah pada ayat 22b perlu kita selidiki, karena si ayah mengatakan, “Sebab itu jika Engkau dapat berbuat sesuatu, tolonglah kami dan kasihanilah kami..
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa si ayah ini masih meragukan Tuhan Yesus. Mungkin menurutnya, Tuhan Yesus kira-kira bisa melakukannya. Hal ini yang Tuhan Yesus tidak suka, karena orang ini mulai meragukan siapa diri Tuhan Yesus sebenarnya. Pada ayat 23, Tuhan Yesus langsung bertanya balik, “Jawab Yesus : ‘Katamu : jika Engkau dapat ? Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya !’.
Kata pisteuonti (=percaya) di sini bisa diartikan mempercayakan sesuatu hal kepada seorang. Dalam konteks ini jelas sekali, bahwa Tuhan Yesus ingin menegur si ayah bahwa si ayah seharusnya mempercayakan segala sesuatu kepada-Nya (Kristus) bahwa Kristus dapat dan mampu melakukan segala sesuatu (termasuk mengusir roh jahat dari anaknya).
Perkataan “tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya” jangan sembarangan ditafsirkan, lalu mengatakan bahwa orang percaya bisa melakukan apa saja yang Kristus lakukan, jadi, klaim dan tuntutlah (name it and claim it), maka Tuhan pasti (?) mengabulkannya dan menyembuhkan penyakitmu.
Perkataan “tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya” mengajarkan kepada setiap orang yang mengaku diri percaya bahwa kita harus mempercayakan segala sesuatu hanya kepada Kristus yang mampu melakukan segala sesuatu sesuai kehendak dan rencana-Nya saja, bukan atas paksaan dan tuntutan dari manusia ! Atau dengan kata lain, Tuhan Yesus memang bisa (mampu) menyembuhkan penyakit dan mengusir setan, tetapi yang menjadi masalahnya, Tuhan Yesus belum tentu mau melakukannya.
Ketika Tuhan Yesus tidak mau menyembuhkan penyakit atau tidak mau mengusir setan karena ada alasan yang Dia miliki sendiri, pertanyaannya : siapa yang berani memaksa-Nya agar Ia melakukannya ? Jadi, perkataan “tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya” hendak menunjukkan iman/percaya kepada Kristus merupakan fondasi utama yang melaluinya manusia diselamatkan, dan mengenai akibat dari iman itu (entah itu apakah penyakitnya disembuhkan atau masalahnya diselesaikan atau yang kerasukan setan diusir, dll) biarlah Tuhan yang menentukan hasilnya.
Pada ayat 24, unik sekali, setelah mendengar pengajaran Tuhan Yesus, si ayah langsung berteriak, “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini !”. Bahasa Yunani menambahkan kata “Tuhan” (kurie) setelah kata I believe (aku percaya) hendak menunjukkan bahwa si ayah ini berteriak percaya kepada Tuhan Yesus. Si ayah akhirnya sadar bahwa ia harus mempercayakan masalahnya kepada Tuhan Yesus, tetapi ia pun juga sadar bahwa dirinya masih kurang beriman, sehingga ia pun berteriak minta tolong agar Tuhan menolongnya untuk percaya.
Ada dua keadaan/kondisi iman yang hendak dijelaskan. Pertama, si ayah memang beriman kepada Tuhan Yesus dan kedua, si ayah masih harus memperbaharui terus-menerus imannya agar imannya benar-benar diserahkan hanya kepada Tuhan Yesus.
Kondisi pertama, menandakan bahwa iman datang karena Allah memberikannya kepada umat pilihan Allah (sola gratia) dan kondisi kedua menandakan bahwa iman itu perlu pemurnian dan pendewasaan terus-menerus, sehingga janganlah kita merasa sombong bahwa kita telah memiliki iman, karena iman sejati adalah iman yang berjalan terus-menerus mengikuti pimpinan Roh Kudus melalui firman-Nya (progressive faith). Sebagai hasil dari iman si ayah dan atas kehendak-Nya, Tuhan Yesus mengusir roh jahat itu dan roh itu keluar (ayat 25-26).
Pada ayat 28, para murid-Nya bertanya mengapa mereka tidak dapat mengusir roh jahat itu. Dan pada ayat 29, Tuhan Yesus langsung mengajar satu prinsip yaitu jenis (setan) ini tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa. Di sini, Tuhan Yesus ingin mengaitkan hubungan iman dan doa. Memang benar, orang Kristen harus memiliki iman karena iman merupakan fondasi utama yang melaluinya manusia diselamatkan, tetapi iman jangan dipisahkan dengan doa, karena doa adalah suatu hubungan pribadi kita dengan Allah. Doa merupakan nafas hidup orang percaya.
Percuma saja kita memiliki iman, tetapi kita lupa untuk merendahkan diri kita di hadapan-Nya melalui doa. Melalui iman, kita semakin sadar bahwa kita tidak layak menerima anugerah-Nya ini, sehingga kita lalu sadar siapa diri kita dan akhirnya kita pun merendahkan diri kita di hadapan-Nya melalui doa. Ingatlah, hanya melalui anugerah Allah saja, kita memiliki iman dan iman itu bertumbuh terus-menerus melalui karya Roh Kudus.
Konteks Matius 17:14-21 merupakan suatu peristiwa di mana Tuhan Yesus menyembuhkan seorang anak muda yang sakit ayan. Orang yang membawa anak ini sudah datang kepada para murid-Nya, tetapi mereka tidak dapat menyembuhkannya (ayat 16). Pada ayat 17, Tuhan Yesus menegur para murid-Nya dan menyebut mereka sebagai angkatan yang tidak percaya dan yang sesat (bandingkan Ulangan 32:5 ; Matius 11:6).
Menurut Tafsiran Alkitab Masa Kini-3 terbitan Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF halaman 92, Tuhan Yesus menjadi kecewa karena ketidaksanggupan mereka melakukan apa yang patut dilakukan ketika Ia tidak bersama mereka, sebab secara badani Ia tidak akan bersama mereka lagi untuk waktu yang lama, sesudah itu mereka harus belajar bergantung kepada-Nya secara rohani. Dengan kata lain, Tuhan Yesus menegur mereka yang masih manja dan bergantung kepada-Nya terus secara jasmani, seharusnya mereka bergantung kepada-Nya secara rohani.
Pada ayat 18, Tuhan Yesus mengusir roh jahat dan setan itu keluar lalu anak ini sembuh seketika itu juga. Pada ayat 19, para murid-Nya bertanya mengapa mereka tidak dapat mengusir setan ini. Kemudian, pada ayat 20, sekali lagi, Tuhan Yesus berbicara tentang pentingnya iman .Kata “percaya” pada ayat ini diterjemahkan dengan kata pistin yang artinya percaya bahwa Allah itu ada, Kristus adalah Mesias.
Menurut Tafsiran Alkitab Masa Kini-3 halaman 92, pada ayat 19-20, cerita Matius yang lebih pendek lebih jelas memperlihatkan kekurangna iman murid-murid daripada cerita Markus dan yang menarik perhatian bahwa Rasul Matius termasuk murid yang dimarahi Tuhan Yesus, tetapi Petrus yang adalah sumber dari Injil Markus tidak termasuk. Kata “Gunung ini” harus diartikan secara kiasan mengenai suatu penghalang yang nampaknya tidak dapat disingkirkan (bandingkan 21:21-22).
Jadi, artinya, iman sejati (yaitu kepercayaan bahwa Allah itu ada dan Kristus adalah Mesias) dapat mengatasi segala masalah (bukan menghilangkan segala masalah). Iman menuntut kita untuk berfokus bukan pada masalah tetapi kepada Allah, Sang Sumber Hidup. Jika iman kita difokuskan pada Allah, maka kita dapat melewati dan menghadapi segala masalah dengan tegar dan berani karena kita percaya bahwa Allah itu ada dan menyertai kita dalam menghadapi masalah itu. Itulah iman yang Tuhan inginkan.
Konteks Lukas 17:1-6, Dokter Lukas sedang melukiskan suatu peristiwa di mana Tuhan Yesus sedang memberikan nasehat kepada para murid-Nya. Ada 2 perikop pembahasan yang kelihatannya tidak berkaitan yaitu ayat 1-4 (mengenai penyesatan dan dosa) dan ayat 5-6 (mengenai iman). Menurut Tafsiran Alkitab Masa Kini-3 halaman 226, berbagai-bagai ajaran kepada murid-murid Yesus dikumpulkan di sini (bandingkan Matius 18:6 dab, 15, 21 dab ; Markus 9:42).
Sekalipun Tuhan Yesus mengetahui bahwa “batu-batu sandungan” (TB : penyesatan) tidak dapat terelakkan di dunia ini, namun IA memperingatkan dengan keras terhadap bahaya yang menjadi penyebab kuat orang lain untuk berdosa. Adalah lebih baik orang yang menyesatkan itu bahwa ia mati tenggelam di laut daripada mengalami nasib yang dicadangkan bagi para penyesat. Karena itu biarlah setiap orang menjaga dirinya dalam hal ini.
Sebaliknya, murid-murid itu haruslah menolong setiap saudara yang sudah jatuh ke dalam dosa dengan memperingatkannya mengenai apa yang telah dilakukannya dan dengan bersedia untuk memberi ampun, tidak peduli berapa kali ini mungkin perlu (ayat 3-4). Mulai ayat 5, Lukas seolah-olah mengganti topik pembahasan mengenai iman (perhatikan kata penghubung, “Lalu”). Rasul-rasul-Nya berkata, “Tambahkanlah iman kami !”.
Ini berarti, para murid-Nya sadar bahwa iman sejati hanya didapat melalui anugerah Allah saja, sehingga mereka memintanya juga kepada Allah (yaitu kepada Tuhan Yesus) agar Ia menambahkan imannya. Kata “menambah” atau give more berarti iman itu bukan hanya iman yang pasif yang tunggal atau tidak bertumbuh, tetapi iman itu harus berbuah dan aktif mengerjakan apa yang Tuhan inginkan.
Pada ayat 6, menurut Tafsiran Alkitab Masa Kini-3, Tuhan Yesus memuji keinginan akan iman yang perlu untuk memungkinkan murid-murid menaati perintah-Nya ; malah “sejumlah” kecil iman pun dapat melakukan mujizat-mujizat besar. Di dalam konteks ini, jelas sekali, ada hubungan erat antara iman dengan perintah Allah.
Dengan kata lain, Tuhan Yesus ingin mengajar bahwa iman sejati adalah mengerjakan apa yang Allah inginkan dan perintahkan untuk dikerjakan (dalam hal ini, termasuk iman mengalahkan dan menghadapi segala masalah dengan berani dan tegar serta percaya bahwa Allah beserta kita/Immanuel).
Konteks Yohanes 3:1-21 sedang berbicara mengenai percakapan Tuhan Yesus dengan Nikodemus, seorang Farisi yang merupakan anggota Sanhedrin. Pada ayat 2, Nikodemus datang malam-malam untuk bertemu dengan Tuhan Yesus. Ia menyapa-Nya sebagai guru yang diutus Allah. Menurut Tafsiran Alkitab Masa Kini-3, tidak semua guru Yahudi dapat memperlihatkan bukti tentang penugasan ilahi, karena wibawa mereka diperoleh dari tradisi Sekolah-Sekolah Yahudi.
Nikodemus mengenali meterai Allah pada Yesus melalui corak dari tanda-tanda. Tanda-tanda inilah sesungguhnya yang menandakan kesejatian-Nya. Nikodemus mungkin saja ketakutan jika dilihat oleh orang Farisi lain, sehingga ia mendatangi Tuhan Yesus malam-malam. Yang uniknya, Nikodemus sudah tahu ada meterai Allah pada tanda-tanda Tuhan Yesus, tetapi ia tetap memanggil-Nya sebagai guru yang diutus Allah. Ini menunjukkan ia belum mengenal Kristus secara benar (ia hanya mengenal dari luarnya saja)─dalam hal ini saya kurang setuju dengan Tafsiran Alkitab Masa Kini-3, karena pada ayat-ayat berikutnya menunjukkan Nikodemus belum mengenal Kristus secara tuntas.
Oleh karena itu, pada ayat 3, Tuhan Yesus langsung menjawab, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.”. Kata “dilahirkan kembali” dalam bahasa Yunani berarti dilahirkan (menjadi) baru. Nikodemus belum dapat mengenal Kristus dengan benar karena ia belum dilahirkan kembali. Ini adalah kali pertama, Tuhan Yesus berbicara tentang kelahiran kembali (born again) sebagai syarat awal seseorang bisa melihat Kerajaan Allah dan mengenal Allah.
Jadi, tepat sekali apa yang theologia Reformed ajarkan yaitu bahwa kelahiran baru mendahului pertobatan ! Tanpa kelahiran kembali, mustahil orang berdosa bisa menyesali dosanya, bertobat dan percaya kepada Kristus. Tetapi yang aneh, pada ayat 4, Nikodemus mengerti konsep kelahiran kembali dari sudut pandang hurufiah, lahiriah dan biologis. Sebagai seorang pemimpin Yahudi, Nikodemus pasti bukan tidak tahu sama sekali mengenai gagasan kelahiran ulang (kembali) secara rohani.
Entah apa maksudnya ia membuat ucapan Tuhan Yesus nampak tidak masuk akal ? Mungkin ia benar-benar bingung, karena perubahan orang yang telah mencapai usia kematangan dan telah mempunyai kebiasaan-kebiasaan tertentu yang tidak dapat dibayangkan melalui cara-cara yang wajar. Satu-satunya yang dapat terpikir oleh Nikodemus adalah permulaan yang sama sekali baru, yang memang merupakan kemustahilan.
Untuk menjawab keragu-raguan Nikodemus, pada ayat 5, Tuhan Yesus menspesifikkan kelahiran kembali dengan dua macam pembagian sumber kelahiran kembali yaitu dari air dan dari Roh sebagai syarat awal agar dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Menurut Tafsiran Alkitab Masa Kini-3 halaman 267, mengenai “dilahirkan dari air” ada dua tafsiran (pendapat/pandangan) berbeda. Pandangan pertama mengatakan bahwa dilahirkan dari air itu sama artinya dengan baptisan.
Sedangkan, pandangan kedua mengidentikkan dilahirkan dari air itu sebagai kelahiran alamiah. Jika pandangan dilahirkan dari air itu sebagai kelahiran alamiah itu benar, maka dapat dikatakan suatu balasan yang logis pada pertanyaan Nikodemus, tetapi tidak ada satu ayat lainnya yang menunjang hubungan ini. Jadi, pandangan pertama lebih tepat dengan hubungan yang dekat dengan air baptisan dengan Roh baptisan dalam ayat-ayat lain (bandingkan 1:33 ; Matius 3:11).
Dari pembagian sumber kelahiran kembali ini, hal yang penting yang Tuhan Yesus tekankan justru bukan pada baptisan air, tetapi pada kelahiran dari Roh (atau baptisan Roh)─lihat ayat 6-8. Pada ayat 6, Tuhan Yesus membedakan dua macam orang yaitu pertama, orang yang dilahirkan dari daging adalah daging, dan kedua, orang yang dilahirkan dari Roh adalah roh (bandingkan dengan Galatia 5:16-26).
Orang macam pertama yang berasal dari daging pasti melakukan hal-hal yang bersifat daging (bandingkan dengan Galatia 5:19-21), sehingga orang ini tidak mungkin mengerti rencana dan kehendak Allah (bandingkan dengan ayat 12). Sedangkan, orang macam kedua dilahirkan dari Roh pasti mengerti hal-hal rohani dan kehendak Allah. Ia menunjukkan kedua macam orang ini berasal dari sumber yang melahirkan mereka. Mulai ayat 7, Tuhan Yesus mulai mengganti pola perlunya kelahiran kembali (ayat 6) menjadi suatu keharusan/sesuatu yang wajib dan tidak ada pemilihan.
Untuk menjelaskan hal ini, pada ayat 8, Tuhan Yesus menggunakan ilustrasi, “Angin bertiup ke mana ia mau, dan engkau mendengar bunyinya, tetapi engkau tidak tahu dari mana ia datang atau ke mana ia pergi. Demikianlah halnya dengan tiap-tiap orang yang lahir dari Roh.” Melalui ilustrasi ini, menurut Tafsiran Alkitab Masa Kini-3 halaman 267, Ia ingin menjelaskan tentang mukjizat kelahiran baru yang Roh Kudus kerjakan tidak dapat diatur oleh kecerdikan manusia, tetapi tetap dapat dilihat.
Menjawab pertanyaan Nikodemus yang bingung dengan perkataan-Nya (ayat 9), Ia langsung menyebut kedudukan Nikodemus yang sebagai Pengajar Israel (bahasa Yunani menggunakan kata sandang yang artinya kelompok), yang seharusnya mengerti tetapi ia gagal mengertinya (ayat 10). Pada ayat 11, menurut Tafsiran Alkitab Masa Kini-3, sering dalam Injil Yohanes, kesalahpahaman menjurus kepada penjelasan-penjelasan selanjutnya. “Kami berkata-kata tentang apa yang kami ketahui” menunjukkan Tuhan Yesus membedakan diri-Nya dari pengajar-pengajar rabiah yang kurang berwibawa.
Pada ayat 12, menurut Tafsiran Alkitab Masa Kini-3, kata “hal-hal duniawi” harus dihubungkan dengan pernyataan terdahulu, yang meliputi kebenaran-kebenaran rohani, seperti kelahiran baru, sedangkan kata “hal-hal sorgawi” adalah kebenaran-kebenaran yang tidak dapat sepenuhnya dinyatakan di dunia ini. Melalui ayat 13, Tuhan Yesus sedang menjelaskan tentang inkarnasi dan keprawujudan-Nya yang menggarisbawahi kewibawaan Sorgawi-Nya.
Untuk menjelaskan pekerjaan duniawi dari Anak Manusia, pada ayat 14, Tuhan Yesus mengutip Perjanjian Lama mengenai Musa dan ular tedung (Bilangan 21:8,9) di mana peninggian ini jelas mengacu kepada salib. Pada ayat 15, Ia hendak menunjukkan bahwa Ia (Anak Manusia) harus ditinggikan dan hal ini merupakan suatu kebutuhan yang wajib dan dengan tujuan ini Ia telah datang. Oleh karena itu, pembanding ini mengarah kepada iman yang sejati kepada-Nya.
Dengan maksud inilah Injil Yohanes diutarakan yaitu memberitakan hidup kekal kepada orang yang percaya melalui Injil. Pada ayat 16, Ia ingin mengulang penjelasan bahwa kasih Allah itu begitu besar kepada dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal, supaya barangsiapa yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Dari ayat ini, kita belajar bahwa memang benar Allah mengasihi dunia ini, tetapi hanya orang yang percaya yang beroleh hidup yang kekal.
Jika dispesifikkan lagi, siapakah orang percaya itu ? Banyak orang sembarangan menafsirkan orang percaya sebagai orang yang mau (dengan sendirinya) meresponi anugerah Allah. Hal ini sangat ditolak oleh theologia Reformed. Lalu, siapakah orang percaya itu ? Kalau kita kembali lagi melihat konteks ini (khususnya ayat 3), maka dapat disimpulkan bahwa orang percaya adalah orang yang telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus.
Tanpa Roh Kudus melahirbarukan orang berdosa, mustahil orang berdosa bisa percaya ! Kalau orang bisa percaya kepada Kristus, itu hanya karena kasih karunia-Nya saja yang diberikan kepada Allah hanya kepada umat pilihan-Nya sebelum dunia dijadikan. Jadi, iman/percaya itu pun juga merupakan anugerah Allah, sehingga kita tidak bisa bangga atau menyombongkan diri.
Jika iman bukan anugerah Allah, sangat mungkin sekali, orang yang meresponi anugerah Allah akan menghina orang yang tidak mau meresponi anugerah Allah ini, akibatnya sangat fatal tentunya. Pada ayat 17, Ia mendeklarasikan bahwa misi-Nya datang ke dunia (inkarnasi) adalah untuk menyelamatkan manusia yang berdosa bukan untuk menghukum. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi dan resikonya, pada ayat 18, Tuhan Yesus langsung membagi dua macam orang yaitu :
Orang yang percaya akan beresiko tidak dihukum.
Orang yang tidak percaya akan beresiko di bawah hukuman.
Kedua macam orang ini diukur dari tanggung jawab yang telah mereka perbuat apakah mereka telah percaya atau tidak percaya kepada Kristus dan mereka masing-masing harus menerima resiko baik buruknya. Sasarannya adalah Anak Tunggal Allah yaitu Kristus. Untuk orang yang tidak percaya, Alkitab terjemahan Yunani menjelaskan resikonya bahwa mereka telah dihukum (menggunakan present perfect tense yang berarti sudah/telah).
Ini berarti orang ini telah ditentukan Tuhan untuk binasa karena dosa-dosa mereka sendiri. Menurut Tafsiran Alkitab Masa Kini-3, ajaran khas Yohanes adalah hal kekekalan ditentukan kini dan di sini. Iman tidak melulu menjamin hidup yang kekal pada suatu masa depan yang tidak diterangkan, tapi juga memberi hidup yang kekal sekarang ini.
Pada ayat 19, Ia menjelaskan lebih dalam tentang orang yang tidak percaya sebagai orang yang lebih menyukai kegelapan dan pada ayat 20, orang ini pun membenci terang karena takut perbuatan-perbuatan jahatnya akan nampak. Sebaliknya, pada ayat 21, Ia menjelaskan bahwa orang yang telah dilahirbarukan oleh Roh Kudus pasti melakukan yang benar dan datang kepada terang. Jadi, menurut Yohanes 3, iman berkaitan dengan panggilan Allah melalui kelahiran baru oleh Roh Kudus yang direalisasikan dengan datang kepada terang (percaya kepada Kristus) dan melakukan apa yang Dia perintahkan.
Menurut Ensiklopedia Alkitab Masa Kini-1, bagi Paulus, iman adalah sikap khas Kristen. Tidak seperti Yohanes, Paulus memakai kata benda pistis lebih dua kali lipat dari kata kerja pisteuo. Kata pistis dikaitkan dengan beberapa gagasannya utama. Seperti, dalam kitab Roma 1:16, ia berkata, “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.”
Bagi Paulus, agama Kristen lebih dari sekedar pola nasehat yang baik dan Injil bukan hanya sekedar mengatakan kepada manusia apa yang wajib mereka lakukan, tetapi Injil itu sendiri memberikan kekuatan kepada mereka untuk melakukannya. Beberapa kali Paulus mempertentangkan kata-kata belaka dengan kekuatan, umumnya guna menekankan bahwa kekuatan Roh Kudus harus diperlihatkan dalam hidup orang Kristen dan kekuatan ini dapat berperan dalam hidup seseorang hanya jika ia percaya. Tidak ada yang bisa mengganti iman.
Perlu diperhatikan bahwa tema besar dari Surat Roma adalah iman dalam Kristus adalah satu-satunya tumpuan manusia untuk diterima oleh Allah (Handbook to the Bible halaman 654. Bandung : Yayasan Kalam Hidup). Sekedar informasi, Handbook to the Bible memberitahukan bahwa masyarakat Kristen di Roma terdiri dari campuran bangsa Yahudi dan bangsa-bangsa lain, tetapi tidak ada perselisihan yang serius di antara kedua golongan tersebut. Kota Roma sendiri merupakan kota yang kaya dan kosmopolitan serta merupakan pusat diplomatik dan perdagangan dunia yang dikenal orang waktu itu.
Kekaisaran Romawi dalam keadaan damai dan makmur (Pax Romana) menjamin keamanan perjalanan orang-orang yang pulang pergi ke situ (Roma). Pada kitab Roma 1:8-15, setelah menyampaikan salamnya, Paulus langsung berkeinginan untuk pergi ke Roma untuk memberitakan Injil karena dirinya merasa berhutang kepada orang Yunani maupun orang-orang bukan Yunani, orang-orang terpelajar maupun orang-orang yang tidak terpelajar (ayat 14). Dan pada ayat 15, ia menyampaikan tujuannya ke Roma yaitu untuk memberitakan Injil.
Apa alasan Paulus untuk memberitakan Injil ke Roma ? Kita kembali lagi ke ayat 14, karena Paulus merasa berhutang kepada mereka. Tetapi, apa yang menyebabkan Paulus rela berkorban demi Injil yang ia beritakan ? Pada ayat 16, ia menjelaskan alasannya (perhatikan kata “Sebab”) yaitu karena dia memiliki keyakinan yang kokoh akan Injil (terjemahan/arti Yunani : I am not ashamed of The Glad Tidings {Yunani : euaggelion} of The Christ). Dari terjemahan/arti Yunani ini, kita bisa lebih jelas bahwa Paulus bukan hanya sekedar memiliki keyakinan yang kokoh dalam Injil, melainkan ia sendiri tidak malu akan Injil Kristus. Mengapa dia bisa tidak malu akan Injil Kristus ?
Perkataan selanjutnya menjelaskan, “karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.” Di sini, Paulus langsung membedakan dua macam orang (berdasarkan ras) yaitu orang Yahudi dan orang Yunani, yang kedua-duanya berada di Roma (lihat konteks waktu itu). Jadi, Injil itu sendiri kekuatan Allah yang menyelamatkan orang-orang pilihan Allah yang tidak memandang ras/bangsa.
Di sini, Paulus tidak mengatakan bahwa Injil menyelamatkan semua orang, tetapi ia mengatakan bahwa Injil menyelamatkan setiap orang yang percaya (meskipun tanpa memandang status/ras/bangsa/suku). Dari konteks ini, iman menurut Paulus berkaitan erat dengan Injil. Hanya orang-orang yang telah dipilih oleh Allah terlebih dahulu baru dapat meresponi Injil lalu percaya.
Jadi, dari penyelidikan kita mengenai definisi iman di atas, jelaslah bahwa iman yang sejati pasti membuahkan hasil yaitu perbuatan-perbuatan yang memuliakan Allah dan bukan memuliakan pribadi (diri).
Yakobus 2: 18, “Tetapi mungkin ada orang berkata, ‘Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan’, aku akan menjawab dia, ‘Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.’” (Yunani : All έreί tiV su pίstin έceiv, kάgώ έrga έgώ deixón moi thn pίstin sou cwrίV tώu έrgwn, kάgώ pίstin = “Tetapi/Lalu akan berkata ada orang, Engkau iman mempunyai, tetapi aku perbuatan-perbuatan mempunyai ; buktikanlah kepadaku imanmu tanpa perbuatan-perbuatan, dan aku kepadamu akan menjelaskan dari perbuatan-perbuatanku (itu) iman.”).
Terjemahan bebas, “Jika ada orang yang berkata, ‘Kau punya iman dan aku punya perbuatan maka aku akan menjelaskan kepadamu imanku yang sejati melalui perbuatan-perbuatanku. Meskipun dia (kamu) menjelaskan imanmu kepadaku tanpa perbuatan, aku tidak akan percaya.” Yakobus menggunakan kata “kamu” dan “aku” untuk menunjukkan pertentangan di mana “kamu” bisa berarti orang-orang percaya yang salah (false believer) seperti yang diungkapkan pada ayat 14-17 dan kata “aku” hendak menunjukkan diri Yakobus.
Pada Alkitab Interlinear (bahasa Yunani), lebih tepat menggunakan sebuah pernyataan untuk menunjukkan ada pertentangan yaitu dengan kata “tetapi”, “Engkau iman mempunyai, tetapi aku perbuatan-perbuatan mempunyai ;” (atau “Engkau mempunyai iman, tetapi aku mempunyai perbuatan-perbuatan”).
Kata “mempunyai” tidak terdapat pada Alkitab LAI, tetapi sebenarnya kata ini cukup penting, karena kata ini hendak menunjukkan suatu kontras/perbedaan yang cukup signifikan antara orang (orang-orang percaya yang salah/false believer) yang bangga hanya mempunyai iman (tanpa perbuatan) dan Yakobus yang mempunyai iman dan sekaligus ada buah dari iman itu, yaitu perbuatan-perbuatan. Di sini puncak pertentangan yang Yakobus paparkan di dalam suratnya, di mana ketika ada orang Kristen yang mengaku diri beriman, tetapi tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan, Yakobus dengan berani menentang dan menantang mereka.
Dalam hal ini, Alkitab LAI memberikan satu pernyataan tambahan yaitu, “aku akan menjawab dia,”, yang berarti Yakobus ingin menyelesaikan pertentangan ini dengan satu jalan keluar yang cukup menantang. Jawaban yang Yakobus berikan bukanlah jawaban yang kompromi di mana orang yang mempunyai dan tidak mempunyai perbuatan tidak memberikan efek/dampak apa-apa, tetapi ia memberikan satu jawaban tegas dengan dua kali penguraian.
Pertama, “‘Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan,” (bahasa Yunani : “buktikanlah kepadaku imanmu tanpa perbuatan-perbuatan,”). Yakobus pertama kali menantang orang-orang percaya yang salah tersebut tetapi berani menyombongkan diri bahwa mereka itu benar (hanya mengandalkan iman), dengan cara menyuruh mereka untuk menunjukkan (Yunani : membuktikan) imannya kepada Yakobus tanpa perbuatan-perbuatan.
Dengan kata lain, Yakobus ingin melihat sebuah bukti nyata dan bukan hanya sekedar isapan jempol belaka, karena terlalu banyak orang Kristen di zaman Yakobus hanya berdusta ketika mereka mengaku diri Kristen, buktinya mereka masih mendiskriminasi orang, dll (Yakobus 2:1-4). Cara pertama yang Yakobus lakukan untuk menantang orang ini sungguh tepat, di mana Yakobus ingin segera melihat bukti dari iman bukan sekedar ucapan di mulut.
Bukankah kita juga seringkali mengaku diri orang percaya bahkan mengasihi Tuhan Yesus, tetapi perbuatan, perkataan dan seluruh hidup kita sama sekali tidak membuktikan bahwa kita seorang yang percaya ? Kita mengaku diri percaya, tetapi esensi kepercayaan/iman kita itu tidak bisa diuji ketika ada penderitaan, cobaan dan tantangan yang berat, bahkan kita dengan berani undur dan meninggalkan Tuhan ketika Allah menguji iman kita.
Yakobus ingin menegur kemunafikan kita melalui penguraian pertama ini. Bagi Yakobus, iman bukan sekedar sesuatu yang samar-samar, tetapi iman itu adalah iman yang hidup dan menyelamatkan (living and saving faith).
Kedua, “dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.’” (bahasa Yunani : “dan aku kepadamu akan menjelaskan dari perbuatan-perbuatanku (itu) iman.”). Setelah menegur orang percaya yang salah ini, Yakobus langsung menantang mereka dengan pernyataan Yakobus yang dengan berani menjelaskan kepada mereka iman Yakobus dari perbuatan-perbuatannya.
Bagi Yakobus, seorang yang mengaku diri Kristen adalah seorang yang bukan hanya memiliki iman yang baik, tetapi juga harus memiliki perbuatan-perbuatan (yang dapat dilihat oleh orang lain dengan jelas) yang menjelaskan sebuah iman yang tak bisa dilihat oleh orang lain dengan jelas.
Ibarat, di suatu ruangan yang gelap, tanpa cahaya, mendadak ada seorang yang masuk ke ruangan tersebut dan orang ini tiba-tiba tersandung oleh sebuah benda, lalu orang ini bingung benda apakah itu, kemudian dia mengambil sebuah senter (atau lilin atau menyalakan lampu ruangan tersebut) untuk menerangi ruangan tersebut dan pada akhirnya, orang ini tahu bahwa itulah pot bunga yang diletakkan di tengah-tengah ruangan tersebut.
Dari perumpamaan ini, pot bunga memang berada di ruangan itu baik sebelum dan setelah ruangan itu ada cahaya, tetapi pot bunga itu menjadi jelas dan dapat dilihat oleh orang lain ketika ada orang yang menerangi atau memberikan terang di dalam ruangan itu. Demikian juga dengan halnya dengan iman yang tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan, maka iman itu seperti pot bunga yang terus-menerus di dalam kondisi yang tidak dapat dilihat. Tuhan Yesus sendiri mengajarkan, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu di Sorga.” (Matius 5:16).
Perhatikanlah, Tuhan Yesus menasehatkan para murid-Nya dalam salah satu bagian di dalam Khotbah Di Bukit agar mereka menjadi terang dunia (selain menjadi garam dunia) yang menerangi/menjadi terang di sekeliling manusia yang hidup dalam dosa, untuk apa hal ini dilakukan ? Kembali, Tuhan Yesus mengajarkan bahwa mereka berlaku seperti itu bukan supaya mereka dihormati oleh banyak orang, tetapi agar mereka yang melihat perbuatanmu yang baik dapat memuliakan Bapamu yang di Sorga.
Ketika kita melakukan perbuatan-perbuatan baik sebagai buah dari iman kita yang sejati, pada saat itulah, kita sedang menyaksikan cinta kasih dan nama Tuhan Allah kita di tengah-tengah orang dunia serta sekaligus kita juga bisa sambil memberitakan Injil Kristus kepada mereka.
Yakobus 2: 19, “Engkau percaya, bahwa hanya ada satu Allah saja ? Itu baik ! Tetapi setan-setan pun juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” (Yunani : su pisteueiV oti eίV έstin ó θeóV, kalώV poieίV kaί tά daimónia pisteuousin kaί frίssousin = “Engkau percaya bahwa hanya satu adalah Allah, dengan tepat engkau bertindak ; juga roh-roh jahat percaya dan bergemetar (karena takut).”).
Terjemahan bebas, “Memang tepat jika engkau mempercayai hanya ada satu Allah, tetapi jangan salah, iblis-iblis pun juga mempercayainya dan mereka gemetar ketakutan karenanya.” Pada ayat ini, Yakobus ingin melanjutkan pembahasannya mengenai orang percaya yang salah di atas (pada ayat 14-18) yang berani mengatakan bahwa mereka mempunyai iman, tetapi tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan yang baik di mana ketika mereka mengklaim bahwa mereka beriman kepada Allah, Yakobus langsung mengatakan bahwa bukan hanya mereka saja yang percaya bahwa hanya ada satu Allah, iblis pun melakukan hal yang sama yaitu percaya bahwa Allah itu hanya satu dan mereka gemetar ketakutan.
Yakobus tidak berarti hendak mengatakan bahwa kita tidak perlu percaya kepada Allah yang Satu (perhatikan kata, “Itu Baik !” atau bahasa Yunani menerjemahkannya, “dengan tepat engkau bertindak”), tetapi Yakobus ingin membenahi konsep iman orang-orang percaya yang salah ini dengan membandingkannya dengan sikap iblis yang juga sama-sama percaya bahwa Allah itu hanya Satu.
Bagi Yakobus, ketika orang Kristen mengklaim bahwa mereka percaya bahwa Allah itu hanya Satu tetapi tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan baik, apa bedanya mereka (orang-orang percaya yang salah) dengan iblis-iblis yang bertindak sama dan mereka semua ketakutan (gemetar ketakutan) ? Jangan dikira iblis itu tidak percaya bahwa Allah itu hanya Satu.
Justru, iblis mempopulerkan hal itu bukan untuk mengagungkan nama-Nya, tetapi untuk menipu manusia, karena pada dasarnya iblis pun takut ketika mendengar nama Allah disebut. Di dalam kitab Injil Lukas 4:41 ; 8:28 disebutkan iblis pun ketika mendengar dan berhadapan dengan Tuhan Yesus pun, mau tidak mau mereka harus mengakui bahwa Tuhan Yesus adalah Anak Allah dan Ia berkuasa mutlak atas dunia ini bahkan atas setan-setan, tetapi pengakuan mereka bukan dengan tulus, tetapi dengan perasaan gemetar ketakutan.
Sekedar perenungan, kalau setan-setan ketika berhadapan dengan Tuhan Yesus, mereka langsung sujud menyembah, takut dan mengakui bahwa Tuhan Yesus adalah Anak Allah, bagaimana dengan orang-orang yang sampai sekarang tidak mengakui Tuhan Yesus adalah Allah, apakah orang-orang ini lebih baik atau lebih parah daripada si setan, Bapa Segala Pendusta ?!
Jadi, dengan jelas, Yakobus memaparkan suatu realita di mana setan-setan yang percaya bahwa hanya ada Satu Allah, bukan benar-benar percaya 100% bahwa hanya ada Satu Allah, karena mereka itu terpaksa dan dengan perasaan gemetar mereka mempercayainya.
Apakah itu juga terjadi pada orang-orang Kristen yang telah Ia pilih sebelum dunia dijadikan ? Tidak. Bagi Yakobus, kita sebagai anak-anak-Nya seharusnya mempercayai bahwa hanya ada Satu Allah bukan dengan perasaan gemetar seperti sikap si setan, tetapi dengan sikap bersyukur dan bersukacita. Ketika kita sedang melakukan hukum-hukum Tuhan, jangan mengatakan bahwa hukum-hukum tersebut memberatkan, karena ada dua pernyataan yang mau Alkitab ajarkan mengenai hukum-hukum Tuhan.
Pertama, hukum-hukum Tuhan itu hukum yang memerdekakan orang (Yakobus 2:12b) yang berarti hukum-hukum Tuhan itu tidak membelenggu kebebasan manusia. Justru, orang-orang dunia merasa bebas ketika mereka tidak menaati hukum-hukum Tuhan, karena bagi mereka, hukum-hukum Tuhan itu memberatkan dan membatasi kebebasannya.
Justru salah, ketika orang-orang dunia mulai tidak menghiraukan hukum-hukum Tuhan, justru di situ titik kehancuran mereka yang membuat hidup mereka tidak lagi bebas. Ambil contoh, seorang pengendara sepeda motor atau mobil paling jengkel ketika ada lampu setopan/lalu lintas (traffic light), karena baginya, itu mengganggu kebebasannya berkendara, tetapi bisakah kita membayangkan jika andaikata tidak ada traffic light, lalu kendaraan lalu lalang dan akan mengakibatkan kemacetan dan mungkin sekali bisa berakibat kecelakaan, yang justru sama sekali tidak bebas ?
Kedua, di dalam 1 Yohanes 5:3b, Yohanes ingin mengajarkan bahwa perintah-perintah-Nya itu tidak berat. Mengapa perintah-perintah-Nya itu tidak berat ? Pada ayat 4 dan 5, Yohanes menjelaskan bahwa orang-orang percaya (umat pilihan-Nya) atau semua yang lahir dari Allah mengalahkan dunia oleh iman kita bahwa Yesus adalah Anak Allah. Pada ayat 2, Yohanes langsung menggabungkan antara orang yang mengasihi Allah dengan orang yang melakukan perintah-perintah-Nya.
Kalau kita menyangka bahwa perintah-perintah-Nya adalah perintah-perintah yang berat, itu tandanya kita belum dapat dikatakan mengasihi Allah, karena kita masih menyangka perintah-perintah-Nya itu memberatkan, kuno dan mengikat kebebasan kita. Orang-orang Kristen harus memiliki paradigma yang paradoks dengan dunia di mana justru di dalam hukum-hukum Allah yang memerdekakan manusia, di situlah terdapat kemerdekaan sejati di dalam Kristus. Jadi, kita percaya bahwa hanya ada Satu Allah, disertai dengan suatu perbuatan untuk mau dengan rela hati menaati perintah-perintah-Nya.
Yakobus 2: 20, “Hai manusia yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah iman yang kosong ?” (Yunani : qeleiς de gnvnai, ώ anqrwpe kene, oti h pistiς cwriς twn ergwn apgh estin = “engkau ingin lalu mengetahui, oh manusia bodoh, bahwa iman tanpa perbuatan-perbuatannya yang tidak berguna adalah ?”).
Terjemahan bebas, “Hai manusia bodoh, ketahuilah bahwa iman yang tidak menghasilkan perbuatan itu tidak ada gunanya.” Pada ayat ini, Yakobus dengan keras menegur orang percaya yang salah di atas sebagai orang bodoh atau bebal karena mereka menyangka bahwa mereka hanya cukup mengandalkan iman tanpa perlu mempunyai perbuatan, padahal si setan pun juga sama-sama memiliki kepercayaan bahwa hanya ada Satu Allah juga, tetapi mereka tidak dapat berbuat baik.
Ayat ini merupakan teguran dan serangan langsung dari Yakobus kepada orang-orang percaya yang salah itu dengan satu kesimpulan kedua (yang pertama, ada pada ayat 17) bahwa iman tanpa perbuatan-perbuatannya adalah tidak berguna. Perhatikan, Alkitab bahasa Yunani lebih tepat menambahkan kata “-nya” pada kata “perbuatan-perbuatan” untuk menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan itu berasal dari iman. Yakobus dengan jeli melihat bahwa perbuatan-perbuatan sejati hanya berasal dari sebuah iman yang sejati kepada Allah yang sejati dengan cara yang sejati pula.
Sedangkan perbuatan-perbuatan yang palsu berasal dari iman yang palsu kepada ilah yang palsu dengan cara yang palsu pula. Dalam hal ini, sebagai orang Kristen, kita harus menjelaskan perbedaan (Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya sebagai : perbedaan kualitas/qualitative difference) antara perbuatan-perbuatan yang lahir dari iman sejati dengan yang lahir dari iman yang palsu kepada ilah-ilah palsu yang disembah oleh agama-agama non-Kristen tetapi dianggap sebagai “Allah”.
Yakobus tidak menghilangkan fungsi iman ketika membahas ayat ini, tetapi ia justru mempertegaskan sebuah kontras antara iman yang sejati dan palsu dari sudut perbuatan yang bisa dilihat secara kasat mata, tetapi intinya tetap iman, karena tanpa iman tak mungkin seseorang dibenarkan di hadapan Allah. Hal ini diajarkan pula oleh Paulus dengan tegas pada Roma 3:31 sebagai kesimpulan pengajarannya dalam pasal 3 bahwa ketika anak-anak Tuhan dibenarkan karena (melalui) iman, tidak berarti mereka membatalkan hukum Taurat, tetapi sebaliknya, mereka meneguhkan hukum Taurat.
Roma 7:12 pun, Paulus dengan tegas mengajarkan bahwa hukum Taurat itu kudus dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik. Paulus sama sekali tidak menentang hukum Taurat, tetapi ia menentang bahwa manusia dibenarkan karena melakukan hukum Taurat tersebut. Pada perikop Roma 7, Paulus ingin menjelaskan bahwa tidak ada yang salah pada hukum Taurat, karena hukum Taurat itu berasal dari Allah, tetapi manusia yang dalam keadaan natur berdosa tak mungkin bisa melakukan hukum-hukum Allah dengan sempurna. Oleh karena itu, Paulus menyebutnya bahwa oleh hukum Taurat, ia mengenal dosa (Roma 7:7).
Bagi Paulus, yang menjadikan dirinya berdosa adalah ketidakmampuan dirinya melakukan seluruh hukum Taurat dan sama sekali ia bukan menghina bahwa hukum Taurat itu dosa. Di sini, dengan jelas Paulus ingin mengajarkan satu prinsip bahwa memang manusia pilihan-Nya dibenarkan hanya melalui iman kepada Tuhan Yesus dan bukan berarti kita terus diam saja, kita pun harus melakukan apapun yang Allah telah perintahkan (hukum-hukum-Nya) sebagai bukti bahwa kita beriman dan mengasihi-Nya.
Jadi, Paulus dan Yakobus tidaklah bertentangan dalam mengajarkan hubungan iman dan perbuatan. Sudahkah kita dengan rela hati dan taat menaati apa pun yang telah Allah perintahkan sebagai bukti dari iman kita ? Sudahkah kita menjadi terang bagi dunia sekeliling kita ?
Yakobus 2: 21, “Bukankah Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah ?.“Abraham bapak leluhur kita bukankah karena perbuatan-perbuatan dibenarkan ketika menyembahkan Ishak anaknya di atas mazbah ?”).
Terjemahan bebas, “Ingatlah, bukankah Abraham bapak leluhur kita dibenarkan karena ia mematuhi Allah yang menyuruhnya untuk mempersembahkan anaknya Ishak di atas mezbah sebagai korban bagi-Nya ?” Yakobus mulai menjelaskan ayat 20 dengan contoh pertama dengan kalimat retoris (yang menghendaki jawaban “Ya, Abraham dibenarkan”) mengenai cerita Abraham yang dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya ketika ia mempersembahkan Ishak, anaknya, di atas mezbah.
Cerita ini diambil dari Kejadian 22:1-14. Cerita ini diawali dengan pemanggilan Allah kepada Abraham dan pemberian perintah agar Abraham mempersembahkan Ishak, anaknya yang tunggal itu, sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan dikatakan Allah kepadanya (Kejadian 22:2). Lalu, Abraham mengiyakan perintah Allah ini dan ia mulai berangkat dan menunaikan perintah-Nya (mulai ayat 3-10).
Tetapi Allah dari Surga melihat kesungguhan Abraham untuk takut akan Tuhan, maka Ia memberikan perintah lagi kepada Abraham untuk tidak membunuh Ishak, karena Abraham benar-benar takut akan Tuhan dan tidak segan-segan menyerahkan Ishak kepada-Nya (Kejadian 22:12). Ketika Yakobus 2:21 mengatakan bahwa Abraham dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, Musa melalui kitab Kejadian 22:15-19 (ayat 16-18), langsuung menyambung ceritanya dengan janji-janji dan berkat-berkat Allah kepada Abraham yang membuktikan bahwa Abraham dibenarkan oleh Allah karena perbuatan-perbuatannya.
Melalui ayat ini, Yakobus ingin mencontohkan Abraham yang perbuatannya dibenarkan karena sikapnya yang melakukan apa yang diperintahkan-Nya dan bukan hanya diucapkan saja. Ini harus dilakukan oleh orang Kristen, jangan mengaku diri Kristen, tetapi sikapnya tidak karuan. Ayat ini tidak berarti kita dibenarkan melalui perbuatan ! Jika dilihat konteks Abraham, maka Abraham benar-benar taat perintah-Nya bukan sekedar diucapkan saja yaitu mempersembahkan Ishak sebagai korban bagi-Nya.
Di sini Yakobus secara tidak langsung mengajak pembaca untuk mengerti mana yang penting dan terutama di dalam hidup kita, apakah untuk Tuhan atau untuk dunia ? Yakobus mengingatkan pembaca kembali secara tidak langsung akan adanya penyangkalan diri di dalam mengikut Kristus (Matius 16:24). Iman yang benar kepada Allah yang benar pasti akan mengerti resiko dan tanggung jawab yang diemban dalam mengikut Allah yang sejati.
Seperti contoh, Abraham, ketika ia disuruh Tuhan untuk meninggalkan tanah leluhurnya, Urkasdim, Abraham taat dan melakukannya. Ia bukannya berkata, “Ya, Tuhan, aku berangkat”, dan dia tidak melakukannya, tetapi ia berkata (menyanggupi perintah-Nya) dan melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Ia menjalankan perintah-Nya dengan pengertian iman yang benar kepada Allah yang benar bahwa Allah yang memanggilnya adalah Allah yang mempedulikan dan memelihara hidupnya.
Sudahkah kita sendiri sungguh-sungguh beriman akan providensia (pemeliharaan) Allah di dalam hdup kita ? Ataukah kita masih mempercayai diri lebih dari mempercayai Allah yang sejati ? Inilah maksud mengapa Yakobus mengatakan bahwa perbuatan Abraham ini dibenarkan oleh Allah yaitu Abraham memiliki iman yang benar kepada Allah yang benar dan ia menjalankan iman itu dengan mengetahui resiko dan tanggung jawabnya.
Yakobus 2: 22, “Kamu lihat, bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna. “Engkau sadar bahwa iman turut bekerja dengan perbuatan-perbuatannya, dan oleh (itu) perbuatan-perbuatan iman disempurnakan/dijadikan nyata,”.
Terjemahan bebas, “Sadarlah bahwa iman turut bekerja sama dengan perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatannya, iman menjadi sempurna/nyata.” Kembali, Yakobus mengingatkan para pembaca Kristen bahwa dari contoh kasus pertama mengenai Abraham, kita dapat belajar satu prinsip bahwa iman itu bekerja sama dengan perbuatan-perbuatannya dan oleh perbuatan-perbuatannya itu iman menjadi nyata/sempurna/disempurnakan.
Bagi Yakobus, iman tidak mungkin bisa dipisahkan dengan perbuatan-perbuatan, karena seseorang yang mengaku diri beriman kepada Allah, ia harus menjalankan perintah-perintah-Nya dan otomatis perbuatan-perbuatannya mencerminkan bahwa seseorang itu beriman kepada Allah atau bukan. Iman memang merupakan anugerah Allah (sola gratia) yang diberikan hanya kepada umat pilihan-Nya (iman pasif) dan iman itu tidak hanya pasif, tetapi juga aktif, di mana Allah bekerja di dalamnya untuk menyempurnakan iman itu melalui tindakan aktif manusia pilihan-Nya seturut dengan kehendak-Nya.
Kembali, Alkitab bahasa Yunani menambahkan kata “-nya” pada kata pertama dari “perbuatan-perbuatan” yang menunjukkan bahwa iman itu bekerja sama dengan buah dari iman itu yaitu perbuatan-perbuatan. Itulah yang Pdt. Sutjipto Subeno sebut sebagai esensi pasti melahirkan fenomena. Esensi (iman) sejati pasti menghasilkan fenomena (perbuatan-perbuatan yang nampak mata).
Jika esensi (iman)nya beres dan benar, pasti menghasilkan fenomena (perbuatan-perbuatan) yang benar, tetapi jika esensinya salah, maka pasti perbuatan-perbuatan/fenomenanya pasti palsu. Melihat perbedaan kedua hal ini, lihatlah dari ketahanan dan kekekalan perbuata perbuatan/fenomena tersebut, apakah perbuatan yang dikerjakan oleh seseorang yang beriman itu tahan lama atau hanya sebentar saja.
Mengapa ? Karena ayat ini selanjutnya memberikan penegasan bahwa oleh perbuatan-perbuatan, iman itu disempurnakan/dijadikan nyata. Kata “disempurnakan” berarti ada proses waktu yang tak mungkin berhenti sesaat, karena itu dikerjakan oleh pihak Allah. Kalau kita bisa berbuat baik, itu pun adalah anugerah Allah, tetapi bukan berarti kalau semua itu anugerah Allah, kita menganggur.
Kalau kita menyadari bahwa perbuatan baik kita pun adalah anugerah Allah, maka seharusnya kita sadar bahwa kita harus mempertanggungjawabkannya dengan baik, bukan malahan mengobral anugerah Allah itu lalu dengan alasan “amal” memberikan uang milik Tuhan yang dipercayakan kepada kita hanya untuk membantu orang-orang yang kekurangan (kembali ke ayat 16) atau kita malah menjadi sombong karena kita sudah berbuat baik.
Berapa banyak orang Kristen hari-hari sudah berbuat baik lalu menyombongkan diri bahwa dirinya sudah berbuat baik. Seorang yang berbuat baik lalu menyombongkan diri bahwa dia sudah berbuat baik, secara tidak sadar, dia sendiri bukan seorang yang berbuat baik, tetapi sangat jahat. Seorang Kristen (anak Tuhan) yang berbuat baik sejujurnya tidak mau dikatakan atau dilihat sebagai orang baik, karena sadar bahwa dirinya bisa berbuat baik itu pun adalah anugerah Allah yang dipercayakan kepadanya.
Tetapi jika ada orang “Kristen” berani membandingkan orang lain dengan dirinya yang selalu “baik” dan “berbuat baik”, itu bukan tanda orang Kristen sejati ! Ingatlah, ketika kita ingin sekali berbuat baik, jangan belajar pada orang-orang dunia (termasuk orang “Kristen” palsu) yang menganggap diri “lebih baik” dari orang lain, tetapi belajarlah dari Alkitab karena hanya Alkitab memberikan standar perbuatan baik yang Allah kehendaki dan inginkan yang sama sekali berbeda total dengan prinsip-prinsip dunia.
Alkitab dalam 1 Yohanes 3:11-18 (khusus ayat 18) mendukung pengajaran Yakobus mengenai bagaimana kasih Allah itu diterapkan dengan benar bukan hanya melalui perkataan atau dengan lidah saja, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.
Di dalam 1 Yohanes 4:10, Rasul Yohanes langsung memberikan penegasan bahwa poin/inti kasih bukan manusia yang dengan sendirinya bisa mengasihi Allah, tetapi justru Allah lah yang berinisiatif mengasihi manusia dengan cara mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Ayat ini disusul dengan ayat 11, di mana kalau Allah saja mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi. Ayat 16, kembali, Rasul Yohanes memberikan penegasan yang kedua yaitu Allah itu adalah kasih (God is love).
Allah itu bukan sekedar Mahakasih (sifat/atribut Allah), tetapi Ia adalah Kasih itu sendiri, artinya Allah adalah Sumber Kasih Sejati dan barangsiapa yang berada di dalam (sumber) Kasih itu, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia (1 Yohanes 4:16). Dan pada 1 Yohanes 4:19, kembali, untuk yang ketiga kalinya, Rasul Yohanes memberikan penegasan bahwa kita ini bisa mengasihi bukan karena kemampuan atau kehebatan kita, tetapi karena Allah lebih dahulu mengasihi kita.
Hal ini ia jelaskan pada ayat selanjutnya (1 Yohanes 4: 20), mengenai sikap-sikap orang Kristen yang tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak kelihatan, kalau mereka tidak mengasihi sesamanya yang kelihatan dan ditutup dengan satu pengajaran yang indah pada 1 Yohanes 4: 21 yaitu, “Dan perintah ini kita terima dari Dia : Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.” Kata “harus” pada ayat ini menunjukkan sebuah kemutlakan/kewajiban dari anak-anak Tuhan yang telah menerima kasih Allah di dalam hidupnya untuk menyalurkan kasih Allah itu kepada sesamanya.
Perlu diingat kembali, kalau kita berbuat baik, meskipun itu juga adalah anugerah Allah yang dipercayakan kepada kita, biarlah semua perbuatan baik kita dikembalikan hanya bagi kemuliaan Tuhan Allah saja {Soli DEO Gloria}(Matius 5:16 ; Roma 11:36).
Ingatlah, kita tak berhak menerima pujian dari orang lain ketika kita sedang berbuat baik, karena sejujurnya kita memiliki natur berdosa dan telah rusak total. Meskipun keadaan kita sudah rusak total, kita masih bisa berbuat “baik”, tetapi bukan seperti yang Allah kehendaki, melainkan seperti yang diri kita kehendaki. Nah, hanya melalui anugerah Allah yang mewahyukan diri-Nya secara khusus (wahyu khusus), kita bisa dibenarkan dan dikuduskan untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya yang Tunggal, yaitu Tuhan Yesus Kristus.
Proses pengudusan (sanctification) ini adalah sebuah proses yang berlangsung terus-menerus dan seperti yang Yakobus katakan proses ini menuju kepada kesempurnaan. Puji Tuhan, kita memiliki Allah Trinitas yang mengerjakan seluruh karya penebusan dari rencana keselamatan yang Allah Bapa tetapkan, kemudian Allah Anak yang menggenapi rencana keselamatan ini dan terakhir, Roh Kudus menyempurnakan karya penebusan Kristus dengan panggilan efektif kepada orang-orang yang telah dipilih oleh Bapa sebelum dunia dijadikan.
Yakobus 2: 23, “Dengan jalan demikian genaplah nas yang mengatakan: ‘Lalu percayalah Abraham kepada Allah, maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.’ Karena itu Abraham disebut: ‘Sahabat Allah.“sehingga dipenuhi nas Alkitab (yang) berkata, telah percaya lalu Abraham kepada Allah, dan (itu) diperhitungkan kepadanya sebagai status yang dibenarkan sehingga sahabat Allah ia dipanggil.”).
Terjemahan bebas, “Jadi, genaplah nas Alkitab yang mengatakan bahwa ketika Abraham percaya kepada Allah, ia dibenarkan secara status di hadapan-Nya dan ia disebut sahabat Allah.” Melalui ayat 23, Yakobus tetap mengatakan bahwa Allah memperhitungkan iman (kepercayaan) Abraham (bukan perbuatannya) kepada Allah sebagai status yang dibenarkan. Bagian ini mengutip kitab Kejadian 15:6 yang mengatakan, “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.”
Di ayat ini, tidak disebut sama sekali mengenai sebutan Abraham yaitu sebagai “Sahabat Allah”, tetapi jika ditarik kesimpulan, memang benar bahwa Abraham yang dibenarkan oleh Allah dapat dikatakan dan disebut sebagai sahabat Allah. Iman Abraham kepada Allah merupakan suatu iman yang luar biasa, mengapa ? Karena perlu diketahui, Abram dulu tinggal di suatu lingkungan penyembah berhala dan ketika Allah memanggil Abram untuk keluar dari Ur-Kasdim (Kejadian 12), Abram tidak banyak bertanya atau meragukan Allah, tetapi ia menjalankannya.
Di sini titik iman Abram yang luar biasa, oleh karena itu ia disebut bapa orang beriman. Tidak hanya itu saja, di pasal 15 kitab Kejadian, ketika Abram meminta keturunan dan Allah mengabulkannya dengan membawa Abram ke luar serta berfirman, “’Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya.’ Maka firman-Nya kepadanya, ‘Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.’” (Kejadian 15:5). Menanggapi firman Allah ini, Abram bukannya meragukan Allah atau menganggap Allah itu hanya menipu dia, tetapi ia mempercayai setiap firman Allah, sehingga Alkitab berkata, “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.”
Kepercayaan (iman) Abraham adalah respon pertama setelah Allah berfirman dan imannya dilakukan (sebagai bukti/hasil dari imannya yang sejati) sehingga Abraham disebut sahabat Allah. Perhatikan, apa yang terjadi pada kasus Abram, jangan ditafsirkan bahwa kalau manusia tidak beriman dan tidak meminta, maka Allah itu diam saja dan merasa “kasihan”, sehingga perlu ada jasa manusia di dalam rencana Allah. Tidak. Kalau ada anggapan seperti itu, bagaimana Abram bisa meminta kepada Allah, jika Allah tak pernah mencipta Abram, dan bagaimana Abram bisa mempercayai firman Allah, jika Allah tak pernah berfirman kepadanya.
Di sini, paradigma kita harus melihat segala sesuatu dari sudut pandang Allah, bukan dari sudut pandang manusia. Kita harus melihat Kedaulatan Allah (The Sovereignty of God) di atas segala-galanya, bukan “kehendak bebas” manusia. Sungguh unik, Yakobus dengan jeli menghubungkan antara kepercayaan Abraham kepada Allah dengan status yang dibenarkan.
Hal ini pula yang diyakini oleh setiap anak-anak Tuhan di mana ketika dianugerahkan oleh Allah sebuah iman yang menyelamatkan dan hidup (living and saving faith), di saat itu pula kita mendapat pembenaran (status pembenaran) di mana kita dibenarkan di hadapan Allah Bapa.
Jadi, di sini Yakobus mengajar bahwa karena iman saja manusia diselamatkan (sola fide). Hanya melalui iman yang benar kepada Allah yang benar yang merupakan anugerah Allah 100% kepada orang-orang yang telah dipilih-Nya sebelum dunia dijadikan lah, manusia (pilihan-Nya) beroleh status yang dibenarkan oleh Allah. Tanpa ada campur tangan anugerah Allah, manusia yang dalam keadaan/natur berdosa tak mungkin meresponi panggilan Allah melalui iman, karena manusia pada hakekatnya lebih suka melakukan sesuatu yang jahat ketimbang yang baik.
Hanya oleh melalui iman sajalah, manusia yang dalam keadaan berdosa boleh dibenarkan di hadapan Allah secara cuma-cuma dan proses pembenaran ini berlangsung sampai selama-lamanya serta proses ini tidak pernah akan hilang (Perseverance of The Saints) karena Allah yang menganugerahkan keselamatan, Ia pulalah yang memelihara keselamatan itu hingga akhirnya, sehingga tak satu kuasa manapun yang bisa merebut keselamatan anak-anak-Nya yang telah Ia pilih sebelum dunia dijadikan.
Pada saat kita telah percaya kepada Tuhan Yesus, kita bukan hanya mendapat status dibenarkan oleh Allah, tetapi Kristus menyebut kita sebagai sahabat (Yohanes 15:14-15). Kata “sahabat” yang dijelaskan pada Yohanes 15:13 mempunyai persamaan kata dengan anak-anak-Nya (umat pilihan-Nya), karena di situ Tuhan Yesus sedang berbicara mengenai kasih-Nya yang memberikan nyawa-Nya sendiri kepada mereka. Lalu, ayat ini disambung dengan pernyataan bahwa kamu (di sini menunjukkan para murid-Nya) adalah sahabat-Nya jikalau kamu (mereka) melakukan atau berbuat apa yang Kuperintahkan kepada mereka (Yohanes 15:14).
Status dibenarkan lalu disambung dengan status disebut sebagai sahabat, tetapi bukan hanya itu saja, seorang anak Tuhan disebut sahabat jika ia melakukan perintah-Nya. Apakah ini berarti jasa baik manusia diperhitungkan Tuhan baru setelah Tuhan menyebut mereka sebagai sahabat ? Tidak. Jika diperhatikan, pada ayat 9-10, Tuhan Yesus membuka pengajarannya dengan mengatakan, “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu ; tinggallah di dalam kasih-Ku itu. Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.”
Kedua ayat ini merupakan dasar utama ketika Tuhan Yesus mengatakan bahwa kita harus menuruti perintah-Nya, itu menunjukkan bahwa kita mengasihi Allah, sebagaimana Allah telah terlebih dahulu mengasihi kita, anak-anak-Nya. Jadi, ketika kita dapat menuruti perintah-perintah-Nya, itu bukan kemampuan kita, itu hanya karena anugerah-Nya yang memampukan kita untuk menaati perintah-Nya. Kalau Allah tidak terlebih dahulu mengasihi manusia yang berdosa, bagaimana bisa manusia mengasihi Allah dengan menaati perintah-Nya ?
Pada ayat 15, Tuhan Yesus menegaskan ulang pengajaran-Nya pada ayat 14 dengan membandingkan kata “sahabat” dengan kata “hamba”, di mana ketika seseorang telah percaya kepada Tuhan Yesus, statusnya bukan lagi sebagai hamba, karena hamba tidak mengerti apa yang dilakukan oleh tuannya, tetapi kita disebut sahabat, karena Kristus telah memberitahukan kepada kamu (anak-anak-Nya) segala sesuatu yang telah Ia dengar dari Bapa-Nya.
Apakah berarti kita pun mengetahui seluruh rencana Allah dengan sempurna ? Tidak. Kata “telah” di sini menunjukkan bahwa Tuhan Yesus hanya memberitahukan segala sesuatu yang Ia telah dengar dari Bapa, bukan yang akan Ia dengar atau yang sedang Ia dengar.
Mengapa ? Karena hanya Allah Bapa saja yang memiliki kedaulatan penuh atas rencana-Nya dan hanya Ia sajalah yang berdaulat memberitahukan manusia hal-hal yang perlu diberitahu dan menyimpan sesuatu yang hanya boleh diketahui oleh Allah Bapa sendiri (Ulangan 29:29), misalnya kedatangan Kristus yang kedua kalinya (dalam hal ini, Tuhan Yesus pun tidak tahu). Tidak hanya itu saja, ayat 16, Tuhan Yesus menegaskan kembali bahwa bukan manusia yang memilih Allah, tetapi Allah yang memilih manusia.
Ini sangat berkaitan erat dengan status sahabat di mana sahabat ini tentu dipilih oleh Allah, untuk apa ? Ayat ini melanjutkan bahwa ketika Allah memilih manusia, Ia menetapkan mereka untuk pergi dan menghasilkan buah dan buah itu tetap, supaya apa yang mereka minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.
Ayat ini seringkali ditafsirkan secara sembrono oleh mayoritas-mayoritas gereja Karismatik/Pentakosta di mana kebanyakan mereka mengajarkan bahwa setiap permintaan yang dialaskan dalam nama Tuhan Yesus pasti dikabulkan karena Ia sendiri menjanjikan demikian. Sekali lagi, ayat ini jangan dicomot lepas dari konteksnya. Ayat ini memang berupa janji Kristus yang akan memberikan segala sesuatu yang diminta oleh manusia, tetapi kalau manusia itu sudah melakukan apa yang diperintahkan-Nya yaitu menghasilkan buah. Jadi, istilahnya, perintah dijalankan, baru dapat hasilnya.
Sudahkah kita hari ini menyadari ketika kita dipanggil oleh Allah untuk percaya kepada Tuhan Yesus, itu merupakan anugerah yang sangat indah dan agung, karena Ia telah memilih kita dari sekalian banyak orang yang hidup di dunia dan kita dibawa masuk ke dalam Keluarga-Nya, menikmati status pembenaran dan disebut sahabat Allah ?
Dengan sangat tepat, Katekismus Singkat Westminster (Westminster Shorter Cathecism) pada pasal 1 menjelaskan bahwa tujuan hidup manusia yaitu untuk memuliakan Allah dan berbahagia di dalam Dia selama-lamanya. Kita bukan hanya memuliakan Allah saja, tetapi juga menikmati-Nya karena kita telah menjadi anak-anak-Nya dan hidup bersama-sama di bawah pimpinan Allah.
Yakobus 2: 24, “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman”. Terjemahan bebas, “Lihatlah bahwa manusia dibenarkan bukan hanya melalui iman saja, tetapi juga melalui perbuatan-perbuatan.” Setelah membahas mengenai Abraham yang secara status dibenarkan karena melakukan apa yang Ia perintahkan, Yakobus menjelaskan dan menyimpulkan bahwa manusia dibenarkan bukan hanya karena iman, tetapi juga karena perbuatan-perbuatannya.
Perhatikan kata “bukan hanya karena iman” yang berarti manusia tetap dibenarkan melalui iman kepada Tuhan Yesus Kristus, tetapi kalau iman yang menyelamatkan itu saja yang menjadi pegangan, bagaimana orang lain dapat melihat bahwa diri kita beriman, kalau perbuatan-perbuatan kita sama jahatnya dengan orang-orang dunia ? Di sini, Yakobus ingin menyeimbangkan dan mengintegrasikan iman yang menyelamatkan dan hidup dengan perbuatan-perbuatan sehari-hari yang memuliakan Allah.
Kalau ada orang-orang “Kristen” yang dengan sembrono menafsirkan ayat ini lepas dari konteksnya dan membuang kata “bukan hanya” lalu mengatakan, “Jangan teori saja, mana prakteknya ?”, mereka harus menyelidiki terlebih dahulu, apakah benar melalui perbuatan baik manusia dibenarkan ? Ketika ada orang Kristen lainnya mengkritik tindakan kita yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan, kita harus tetap menguji teguran/kritikan itu apakah sesuai dengan Alkitab atau tidak, jika sesuai, kita harus dengan rendah hati dan rela menerima teguran itu lalu bertobat dan tidak mengulanginya, tetapi jika tidak sesuai, kita tetap harus sadar diri, jangan malahan membalas kritikannya.
Tetapi yang sangat disesalkan, ketika ada orang Kristen menegur saudara seimannya, selalu dikaitkan dengan gerejanya atau doktrinnya, dengan mengatakan, “Orang Reformed kok berkata kotor ?” atau “Orang Kristen kok buang sampah sembarangan ?”, dll, padahal hal itu (status) tidak perlu dikatakan. Orang yang mengatakan hal ini pun kadang-kadang perbuatannya tidak lebih baik dari yang dikritik, tetapi mereka dengan sok tahu dan sombong menegur orang lain.
Kalau ada orang Kristen yang berani mengatakan, “Jangan hanya teori saja, mana prakteknya ?” dengan kata lain, dia tidak senang teori, hanya mau prakteknya, padahal yang sedang dia katakan adalah sebuah teori, aneh bukan ?! Perhatikan, kata “bukan hanya karena iman” ini harus ditafsirkan jika seseorang yang beriman kepada Kristus itu masih memiliki kesempatan yang panjang untuk mengaplikasikan atau menghasilkan iman itu dalam kehidupan sehari-hari.
Jika tidak ada kesempatan, seperti penjahat di sebelah Tuhan Yesus yang bertobat, apakah dia bisa menghasilkan perbuatan-perbuatan yang lahir dari imannya kepada Kristus ? Tidak, bukan ? Lalu, apakah berarti dia tidak bisa masuk Surga, karena tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan baik ? Juga, tidak ! Kemudian, jika ada orang yang hampir menuju ke kematian, kemudian ia setelah diberitakan Injil oleh anak-anaknya atau saudara atau temannya, tiba-tiba Roh Kudus menggerakkannya untuk percaya kepada Kristus, dan beberapa menit/jam kemudian, ia meninggal dunia, apakah berarti ia tidak masuk Surga, karena tidak berbuat baik ?
Tidak, itu pikiran sesat ! Dan perlu diperhatikan, kata “perbuatan” jangan ditafsirkan secara sembrono yaitu amal baik, misalnya banyak memberikan sumbangan kepada orang-orang yang membutuhkan, dll. Kata “perbuatan” harus dikaitkan dengan sikap kepatuhan kepada perintah-Nya, dan itu tidak hanya dalam bentuk memberikan amal, tetapi juga berserah total kepada-Nya, memperbaharui seluruh paradigma kita, membenci dosa, memberitakan Injil, dll.
Kalau menaati perintah-Nya hanya dibatasi dengan memberikan sumbangan/amal, lalu pemberitaan Injil, tindakan membenci dosa, memperbaharui seluruh paradigma, dll, itu termasuk apa ? Bukankah itu semua terdapat di dalam Alkitab ? Apakah hal-hal itu tidak disukai karena takut mengganggu privasi orang atau memiliki paradigma bahwa “semua agama itu ‘sama’”, jadi tidak perlu memberitakan Injil ?!
Kalau hal ini yang terjadi, percuma saja, orang “Kristen” ini memberikan sumbangan bahkan nyawa dan seluruh hartanya kepada orang miskin, jika dia tidak benar-benar mengerti perintah-Nya yang esensi yaitu mengerti kasih dengan pengertian yang benar.
Hari-hari ini, terlalu banyak orang “Kristen” yang tidak bertanggungjawab dengan sembrono menafsirkan kasih dan mengatakan bahwa sebagai seorang hamba Tuhan harus bersikap kasih, bahkan tidak boleh marah-marah, karena itu tanda kurang kasih. Kalau boleh saya katakan, zaman ini, orang “Kristen” memperlakukan hamba-hamba Tuhan seperti banci, yang kompromi dengan semua arus dunia, lemah lembut, panjang sabar, lemah gemulai, lalu hamba Tuhan siapa yang terlalu keras apalagi seperti Pdt. Dr. Stephen Tong, dianggap tidak ada ‘roh kudus’ atau kurang kasih.
Ini akibat pembodohan massa yang dilakukan oleh banyak “hamba Tuhan” yang tidak bertanggungjawab, lalu mengatakan bahwa kalau orang Kristen berdosa, yang berdosa itu adalah roh dosa (misalnya, kalau ada orang Kristen yang tidur di kebaktian, itu berarti ada roh ngantuk, jadi yang diusir adalah roh ngantuk). Ajaran-ajaran seperti ini telah merajalela di gereja-gereja Kristen dan anehnya banyak orang Kristen dengan mudahnya ditipu oleh mereka tetapi sampai sekarang tetap saja bodoh dan tidak sadar. Berapa bahaya orang Kristen sekarang, tetapi masih juga tidak sadar ?
Pdt. Dr. Stephen Tong menyebut ini sebagai : Krisis Zaman, di mana zaman ini adalah zaman yang tidak mau theologia, menggeser hal-hal yang bermutu dan menggantikannya dengan hal-hal yang remeh. Benarkah kasih itu wujudnya seperti “kasih” yang diajarkan oleh banyak gereja “Kristen” sekarang ? Lalu, apakah perkataan di dalam Wahyu 3:19 yang berkata, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar ; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah !” juga bukan wujud kasih yang Allah inginkan ?!
Kalau begitu, ketika Allah “membunuh” orang-orang Israel pada zaman Perjanjian Lama, itu juga berarti bahwa Allah tidak mengasihi mereka ? Demikian juga, ketika Tuhan Yesus menegur orang-orang Farisi di dalam Matius 23 juga termasuk tindakan kurang kasih ? Beranikah kita menghina Tuhan kita sebagai Tuhan yang tidak Mahakasih ? Lalu, bagaimana orang ini menafsirkan Ibrani 12:7-13 ? Inikah ciri hidup orang Kristen yang mengaku diri Kristen dan bahkan “melayani Tuhan” di gereja, tetapi berani menafsirkan sembarangan ayat-ayat Alkitab secara tidak bertanggungjawab ?!
Mari kita kembali kepada Alkitab yang mengajarkan bahwa kasih Allah tidak membiarkan anak-anak-Nya hidup di dalam dosa, Ia akan memukul mereka sebagai tanda peringatan, dan kita pun harus taat kepada-Nya. Sikap taat inilah yang oleh Yakobus sebut sebagai “perbuatan” yang lahir dari iman. Kalau orang Kristen yang mengaku diri beriman, tetapi tidak mau ditegur dosanya, lalu berani mengklaim bahwa dia sudah berbuat baik, sangat amat perlu diragukan bahwa dia itu orang Kristen ?! Jangan kira semua orang Kristen itu anak-anak Tuhan !
Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa masih banyak anak-anak Tuhan yang berkeliaran/indekos di dunia, dan juga terlalu banyak anak-anak setan yang masih indekos di dalam gereja. Kalau kita mengaku diri pengikut Kristus, sudahkah hidup dan hati kita diserahkan hanya bagi Tuhan kita dan sudahkah kita menempatkan-Nya di posisi pertama di dalam hidup kita ?
Yakobus 2: 25, “Dan bukankah demikian juga Rahab, pelacur itu, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia menyembunyikan orang-orang yang disuruh itu di dalam rumahnya, lalu menolong mereka lolos melalui jalan yang lain ?“.Sama halnya Dan juga Rahab (itu) pelacur bukankah karena perbuatan-perbuatan dibenarkan ketika menyambut (itu) utusan-utusan lalu lain melalui jalan menyuruh (mereka) pergi ?”).
Terjemahan bebas, “Dan sama halnya juga dengan Rahab, si pelacur, yang dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya yang telah menyambut para utusan di dalam rumahnya dan menyuruh mereka pergi melalui jalan lain.” Pada ayat 25, contoh Rahab ini tidak boleh dijadikan contoh (kedua) keselamatan karena perbuatan baik!Perhatikan konteks Rahab di dalam Yoshua 2:1-21 dengan jelas !
Konteks ini berbicara di mana Rahab dipakai Allah sebagai sarana untuk menyelamatkan dua orang pengintai Israel. Hal ini didahului dengan sikap dan rasa takut yang dialami Rahab ketika mendengar kedahsyatan kuasa Allah Israel (Yosua 2:9-11). Jadi, tetap konteksnya iman yang dipraktekkan /menghasilkan perbuatan adalah ukuran keselamatan (bukan perbuatan baik tanpa melalui iman).
Ayat 25 ini harus dibandingkan Yosua 2:1-24 ; 6:15-25 ; Matius 1:5 ; Ibrani 11:31. Yakobus memberikan contoh kedua dengan menggunakan kalimat retoris di mana Rahab yang pertama kali percaya kepada Allah Israel (Yosua 2:9) {hal ini tidak disebutkan oleh Yakobus dalam Surat Yakobus}, baru ia menyembunyikan kedua orang pengintai Israel dan menurunkan mereka dengan tali melalui jendela, sebab rumahnya itu letaknya pada tembok kota (Yosua 2:15). Setelah apa yang dilakukan oleh Rahab, ia diselamatkan (kata “dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya”) dari pemusnahan kota Yerikho (Yosua 6:17).
Menurut Handbook to the Bible halaman 237, Ibrani 11:31 menyebutkan (bahwa karena iman, Rahab dibenarkan) bukan perbuatannya yang tidak bermoral. Rumah Rahab dibangun di atas atau pada tembok kota, dengan atap yang datar untuk dipakai mengeringkan hasil panen. Ketika kita (Yosua 2:1-24), ia sedang mengeringkan batang rami yang nantinya akan dipintal menjadi benang lenan.
Memang rumah Rahab lah yang dapat dikunjungi oleh para pengintai itu tanpa menimbulkan kecurigaan sedikitpun ; dan tentu juga merupakan tempat yang baik untuk mendapatkan informasi. Setelah para pengintai Israel memenuhi janji mereka kepadanya (Yosua 6:22 dst), Rahab diterima di tengah-tengah bangsa Israel, kemudian menikah dengan Salmon. Dan melalui Boaz, putranya, (lihat Rut 2-4) ia menjadi nenek moyang Daud, bahkan nenek moyang Yesus sendiri (Matius 1:5).
Di sini, Allah tidak memandang orang tertentu untuk menggenapi karya-Nya, bahkan di dalam Ibrani 11:31, iman Rahablah yang dibenarkan oleh Allah, bukan perbuatannya yang tidak bermoral (pelacur). Ketika Yakobus berkata bahwa Rahab dibenarkan karena perbuatannya, kata “perbuatannya” itu harus diartikan perbuatan yang dihasilkan dari iman kepada Allah Israel yaitu dengan meloloskan kedua orang pengintai Israel.
Siapapun bisa dipakai oleh Allah untuk menggenapi rencana-Nya, sekalipun itu adalah seorang pelacur dan bukan anak-anak Tuhan, tetapi perlu diingat, kalau ada orang-orang yang bukan anak-anak-Nya dipakai oleh-Nya tentu itu bukan untuk kebaikan orang itu, melainkan untuk kebaikan anak-anak-Nya (misalnya untuk menegur anak-anak-Nya atau menggenapi rencana Allah di dalam karya penebusan Kristus melalui seorang perempuan sundal yang bernama Rahab di dalam Matius 1:5).
Contoh lain, di dalam Perjanjian Lama, Allah mengizinkan dan memakai Firaun untuk menjajah Israel sebagai sarana untuk mendisiplin umat pilihan-Nya untuk nantinya bisa berdiam dan tinggal di Tanah Kanaan. Ketika kita “seolah-olah” lebih miskin, susah, melarat ketimbang orang-orang di luar anak-anak Tuhan, ingatlah, apapun yang terjadi di dalam hidup kita, itu pasti dalam rencana Tuhan.
Meskipun keadaan susah sekalipun, seperti kejadian di dalam Kitab Habakuk, ada rencana Tuhan yang sangat indah yang tak mungkin dipahami oleh manusia pada saat itu. Allah di dalam kedaulatan-Nya memakai banyak cara untuk menggenapi rencana-Nya bahkan memakai orang-orang berdosa untuk kemuliaan-Nya juga.
Tetapi bukan berarti Rahab tidak dipakai oleh Allah atau dijadikan sarana hanya untuk melepaskan kedua pengintai Israel, karena kitab Ibrani 11:31 mencatat iman Rahab. Kalau ada orang “Kristen” yang selalu menuntut perbuatan baik dengan mengutip sembarangan ayat ini atau mengatakan, “Iman tanpa perbuatan adalah kosong” tanpa melihat konteks, coba tanyakan kepada dia, apakah Rahab juga berarti tidak dibenarkan dan diselamatkan, bukankah perbuatannya tidak bermoral (pelacur/perempuan sundal) ?
Bukankah Ibrani 11:31, mencatat iman Rahab dibenarkan oleh Allah. Kalau contoh Abraham dipakai oleh Yakobus untuk mengajarkan bahwa kita dibenarkan melalui iman yang menghasilkan perbuatan yaitu menaati perintah-Nya, pada contoh kedua, yaitu contoh Rahab, Yakobus ingin mengajarkan hubungan antara iman kepada Allah dengan perbuatan yang menggenapi rencana dan kehendak Allah.
Ketika kita beriman, iman tidak hanya berhenti pada iman yang statis bahkan mati, tetapi iman itu adalah iman yang hidup (living faith) dan iman itu selalu menghasilkan perbuatan-perbuatan yang menaati perintah-Nya di dalam Alkitab dan juga berhubungan dengan penggenapan karya Allah di dalam dunia ini. Ini pun terjadi karena Allah memimpin kita dan pimpinan Allah ini seharusnya kita pertanggungjawabkan, bukan disia-siakan. Marilah kita belajar melihat segala sesuatu yang terjadi di dunia ini bukan dari sudut pandang manusia tetapi dari sudut pandang kedaulatan Allah yang tidak mungkin berubah dulu, sekarang dan selama-lamanya.
Yakobus 2: 26, “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” Seperti Sebab tubuh tanpa roh mati adalah, demikian juga iman tanpa perbuatan-perbuatan mati adalah.”).
Terjemahan bebas, “Sebab seperti tubuh itu mati jika tanpa roh, demikian juga halnya dengan iman menjadi iman yang mati jika tidak menghasilkan perbuatan-perbuatan.” Di sini Yakobus menggunakan bentuk kiasan metafora (“Sebab seperti tubuh tanpa ...”), karena kata “tubuh” tak ada hubungannya dengan “iman” dan kata “roh” (=roh/nafas yang menghidupkan®Kejadian 2:7) tak ada hubungannya dengan “perbuatan”, tetapi kedua hal ini menjadi jelas karena adanya sifat yang sama di mana perbuatan menghidupkan iman seperti roh/nafas menghidupkan tubuh.
Kata Yunani : Pneuma, “spirit” (=“roh”) membawa ide Perjanjian Lama akan “life-giving breath” (=“kehidupan-memberikan/pemberian nafas”) {רה , rûah}. Sebuah tubuh tanpa nafas adalah mati (cf. Kejadian 6:17 ; 7:15 ; Mazmur 104:29 ; Yohanes 19:30 ; Lukas 23:46). Prinsipnya adalah jelas : sebuah iman (tubuh) yang tidak didukung oleh pekerjaan-pekerjaan (roh) adalah tak bernyawa. Seperti nafas memungkinkan sebuah tubuh untuk hidup, demikian juga pekerjaan-pekerjaan menghasilkan sebuah iman yang hidup.
Kesimpulan cocok dengan Matius 5:16 dalam konteks sebuah evaluasi positif akan “perbuatan-perbuatan baik” (“good deeds”) sebagai/seperti penyimpulan/kesimpulan/ringkasan Peraturan Emas/Golden Rule (Matius 7:12) dan “melakukan kehendak Allah” (“doing the will of God”) dalam Matius 7:21-23 ; 12:50) yang ditunjukkan dalam kasih terhadap tetangga seseorang (one’s neighbor), terutama dalam kebutuhannya (Matius 25:31-46).
Pada ayat terakhir ini, Yakobus ingin menjelaskan dan menentang prinsip pemikiran dualisme Yunani dari Plato yang mendualismekan antara dunia maya/ide (nomena) yang sempurna dan baik dengan dunia nyata/realita (fenomena) yang tidak sempurna dan jahat. Yakobus ingin mengajarkan bahwa iman dan perbuatan bukan sesuatu yang terpisah seperti pemikiran dualisme Yunani ini, tetapi jauh melampaui pemikiran ini yaitu adanya integrasi yang kokoh antara iman yang hidup dan menyelamatkan dengan buah dari iman itu yaitu perbuatan-perbuatan yang menaati perintah-Nya di dalam Alkitab.
Kalau tidak ada iman yang sejati yang berakar kuat di dalam Firman Tuhan (Alkitab), maka mana bisa menghasilkan perbuatan-perbuatan yang beres dan bertumbuh lebat ? Coba bayangkan jika buah dari suatu pohon tidak ada akar yang kuat, maka apakah bisa buah ini terus bertumbuh lebat ? Tidak mungkin, bukan ? Begitu juga, orang “Kristen” yang selalu menuntut perbuatan baik, lihatlah iman dia terlebih dahulu, pasti sama hancurnya dengan kita atau bahkan lebih parah dari kita, karena yang dituntutnya selalu berbuat baik.
Kalau mereka ditanya apa profesinya, selalu dengan sok rohani menjawab, “Melayani Tuhan”, tetapi dia sendiri tidak mengerti dengan benar esensi melayani Tuhan. Saya melihat berapa banyak orang “Kristen” dengan sok rohani mengatakan bahwa dia sedang melayani Tuhan, tetapi jika disuruh belajar theologia dan doktrin-doktrin yang sulit, dia menolak, inikah namanya melayani Tuhan ? Tidak, tetapi justru menghina Tuhan, mengapa ? Karena yang dia mau hanya dia yang bekerja melayani Tuhan, sedangkan dia tidak mau mendengarkan Firman-Nya, sama seperti kebanyakan gereja-gereja Karismatik/Pentakosta yang kalau berdoa ngotot, tetapi kalau mendengarkan khotbah atau Firman Tuhan selalu waktunya kurang atau mayoritas jemaat-jemaatnya tidur.
Inilah jiwa egois orang “Kristen” yang mengaku diri sedang melayani Tuhan. Ketika Allah mencipta manusia dengan tubuh nyata tetapi tanpa ada hembusan nafas dari-Nya, bisakah manusia itu hidup seperti sekarang ? Manusia itu menjadi makhluk yang hidup jika Allah memberikan nafas ke dalam hidungnya, tetapi tidak berarti yang penting nafas itu lalu tubuh dibuang. Aneh juga, bila ada nafas saja, tetapi tidak ada tubuh, lalu nafas itu mau dihembuskan ke bagian mana dari manusia ? Tubuh tanpa roh adalah tubuh yang mati, karena roh itu yang menghidupkan manusia, demikian juga iman itu merupakan esensi, tetapi jika iman itu tidak menghasilkan perbuatan, maka iman itu sia-sia/percuma saja.
Demikian juga, roh tanpa tubuh pun juga sia-sia. Sama halnya jika perbuatan saja yang ditekankan, kita malahan membanggakan perbuatan dan jasa baik manusia serta tidak kembali kepada anugerah Allah yang memberikan iman. Kedua hal ini harus seimbang dan tidak boleh berat sebelah. Iman kita menjadi hidup (sama seperti tubuh kita bisa hidup) ketika menghasilkan perbuatan-perbuatan yang menaati perintah-Nya (sama seperti roh yang Allah berikan ke dalam hidung manusia).
Sudahkah hari ini kita menyadari bahwa tanpa iman, tidak ada seorang pun yang berkenan di hadapan Allah dan tanpa menghasilkan perbuatan-perbuatan yang berkenan di hadapan-Nya (Roma 12:1-2), maka iman kita sia-sia adanya ? Sudahkah kita berubah oleh pembaharuan akal budi kita dan menyenangi apa yang Allah sukai dan membenci apa yang Allah benci ? Itulah perbuatan baik kita yang sejati yang berakar dari pengenalan kita pribadi terhadap-Nya dan dari Firman-Nya, Alkitab.
Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :
─Amin─