PEMILIHAN TANPA SYARAT/UNCONDITIONAL ELECTION, SANGGAHANNYA dan JAWABAN

Pdt.Yakub Tri Handoko, Th. M.
PEMILIHAN TANPA SYARAT/UNCONDITIONAL ELECTION, SANGGAHANNYA dan JAWABAN. Secara umum poin kedua dari TULIP ini dapat dijeaskan dalam satu kalimat: Allah sejak kekekalan telah memilih sebagian orang berdosa untuk mendapatkan anugerah keselamatan berdasarkan kehendak/kedaulatan dan kebaikan-Nya. Dari definisi ini ada tiga elemen penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, keselamatan manusia ditentukan oleh pilihan Allah. Kedua, pemilihan ini sudah dilakukan Allah sejak kekekalan. Ketiga, alasan di balik pemilihan ini murni berasal dari dalam diri Allah, bukan faktor manusiawi yang diketahui Allah sebelumnya (bukan berdasarkan pra-pengetahuan Allah).
PEMILIHAN TANPA SYARAT/UNCONDITIONAL ELECTION, SANGGAHANNYA dan JAWABAN
otomotif, business
Bagi sebagian orang doktrin pemilihan merupakan suatu momok yang menakutkan. Doktrin ini dianggap memperlakukan manusia seperti robot yang hanya menjalani hidup mereka berdasarkan skenario Allah. Doktrin ini juga dianggap mengajarkan ketidakadilan Allah sehubungan dengan mereka yang tidak dipilih. Terlepas dari kesulitan-kesulitan seperti ini (lihat bagian selanjutnya), Alkitab memang mengajarkan doktrin ini dengan cukup jelas, karena itu doktrin ini harus diketahui oleh setiap orang Kristen. Di samping itu, seperti dikatakan oleh Calvin, pengabaian doktrin ini “evidently detracts from the divine glory, and diminishes real humility”.

Penjelasan istilah

Ada beberapa istilah yang terkait dengan pemilihan tanpa syarat dan perlu dipahami sebelumnya untuk menghindari kerancuan. Pertama, pra-ketetapan Allah (foreordination). Dalam dunia teologi, istilah ini merujuk pada segala sesuatu yang sudah direncanakan Allah sebelumnya sejak kekekalan. Ketetapan ini mencakup segala sesuatu dan setiap detil (all-inclusive), misalnya hati manusia (Amsal 21:1), keputusan manusia (Amsal 16:1), kecelakaan (Keluaran 21:13), keisengan (1Raja-raja 22:30, 34), hal-hal yang sepele (Matius 10:29-30) maupun dosa (Kejadian 45:4-8; 50:20; Kisah Para Rasul 4:27-28). Ketetapan ini juga bersifat tunggal, dalam arti segala sesuatu (jamak) yang ditetapkan tersebut mengarah pada satu tujuan tertentu yang sama (tunggal). Konsep ketunggalan rencana Allah seperti ini tampak dari beberapa ayat Alkitab yang memakai bentuk tunggal untuk kata “rencana/tujuan Allah” padahal yang direncanakan mencakup segala sesuatu (Roma 8:28; Efesus 1:11; 3:11).

Istilah kedua adalah predestinasi (predestination). Istilah ini merujuk pada rencana Allah sejak kekal yang berhubungan dengan akhir hidup manusia dalam hal keselamatan. Predestinasi tidak membahas hal-hal lain di luar konteks keselamatan rohani. Predestinasi memiliki dua aspek: pemilihan atas orang yang akan diselamatkan (election) dan pengabaian orang-orang lain sehingga mereka binasa (reprobation).

Dari penjelasan istilah di atas kita dapat mengambil beberapa konklusi:

1. Pemilihan tanpa syarat merupakan salah satu bagian dari predestinasi.

2. Pemilihan tanpa syarat (dan predestinasi) merupakan bagian dari pra-ketetapan Allah, sehingga pembahasan tentang pemilihan tanpa syarat akan sangat berhubungan dengan konsep pra-ketetapan Allah secara umum.

3. Doktrin pemilihan tanpa syarat terfokus pada mereka yang ditetapkan untuk selamat. Reprobasi hanyalah penjelasan logis dan biblikal dari mereka yang tidak menjadi objek pemilihan.

Keselamatan berhubungan dengan pemilihan Allah

Sebagian orang Kristen memiliki pandangan yang salah tentang predestinasi. Mereka menganggap bahwa doktrin ini tidak pernah diajarkan di dalam Alkitab. Doktrin predestinasi dilihat sebagai salah satu ekses (bahkan kesesatan) yang dilakukan para teolog Reformed. Tuduhan ini jelas bertentangan dengan ajaran Alkitab. Ungkapan “umat pilihan” muncul berkali-kali dalam Alkitab (Matius 24:22, 24; Markus 13:20, 22; Kisah Para Rasul 9:15; Roma 8:33; 16:13; Kolose 3:12; 2Timotius 2:10; Titus 1:1). Beberapa teks lain memberi keterangan kapan pemilihan ini dilakukan, yaitu “sejak semula” (Roma 8:29-30; Efesus 1:5, 9, 11; 2Tesalonika 2:13), “sebelum dunia dijadikan” (Efesus 1:4), “sebelum permulaan jaman” (2Timotius 1:9).

Para teolog Reformed maupun Armenian sama-sama mengakui bahwa Alkitab mengajarkan predestinasi. Isu yang mereka perdebatkan bukan ada atau tidaknya predestinasi, tetapi alasan di balik predestinasi tersebut. Kalangan Armenian menganggap predestinasi didasarkan pada pra-pengetahuan Allah terhadap apa yang akan dilakukan manusia (pemilihan bersyarat), sedangkan kalangan Reformed meyakni bahwa pemilihan ini tidak didasarkan pada faktor apapun dalam diri manusia (pemilihan tanpa syarat).

Pemilihan yang tanpa syarat

Argumen yang mendukung konsep pemilihan Reformed sangat melimpah. Alkitab secara jelas dan konsisten mengajarkan pemilihan tanpa syarat. Apa yang diajarkan Alkitab juga diteguhkan oleh analisa logis terhadap isu kedaulatan Allah. Untuk mempermudah pembahasan, argumen tersebut akan dibagi menjadi lima kelompok: pola pemilihan Allah dalam Alkitab, data Alkitab tentang pemilihan tanpa syarat, konsekuensi logis dari kerusakan total, kelemahan konsep pilihan yang didasarkan pada pra-pengetahuan Allah, contoh konkrit pertobatan dari orang yang melawan Tuhan.

Pola pemilihan Allah dalam Alkitab 

Dalam bagian ini kita akan menyelidiki beberapa ayat penting seputar pilihan Allah. Walaupun tidak semua teks tersebut secara khusus dan eksplisit berbicara tentang pilihan keselamatan, namun semua itu tetap perlu untuk dikaji karena memberi pencerahan tentang pola pilihan Allah. Pertama, Allah memilih tidak berdasarkan kebaikan dalam diri orang yang Dia pilih. Pada waktu Abraham dipilih, ia sebenarnya adalah penyembah berhala (Yosua 24:2-3). Bangsa Israel dipilih bukan berdasarkan jumlah mereka yang banyak (Ulangan 7:7-8) maupun kesalehan mereka (Ulangan 9:4, 6). Tuhan berkenan untuk mengasihi nenek moyang bangsa Israel dan memilih keturunan mereka (Ulangan 10:15; terjemahan LAI:TB dalam ayat ini tidak tepat dan dapat menimbulkan kesan yang salah; lit. “tetapi Tuhan memiliki perkenanan atas nenek moyangmu untuk mengasihi mereka”).

Kedua, Allah memilih berdasarkan kedaulatan-Nya, bukan pra-pengetahuan-Nya. Teks yang paling jelas mengajarkan hal ini adalah Roma 9. Dalam teks ini Paulus menjelaskan bahwa Allah tidak memilih Ismael sekalipun dia adalah anak sulung. Sebaliknya, Allah memilih Ishak, karena dia adalah anak perjanjian (Roma 9:7-9; band. Kejadian 18:10, 14; 21:12). Untuk memperjelas poin yang ingin dia sampaikan (Roma 9:10a “bukan hanya itu saja. Lebih terang lagi…”) Paulus selanjutnya membandingkan Esau dan Yakub. Tidak seperti relasi Ismael dan Ishak yang berawal dari ibu yang berbeda, Esau dan Yakub berasal dari ibu yang sama dan lahir dalam waktu yang bersamaan. Menurut budaya Yahudi, Esau berhak mendapatkan berkat kesulungan, tetapi Allah justru telah menetapkan Yakub sejak dalam kandungan untuk memeproleh hak itu. Pemilihan ini tidak didasarkan pada pra-pengetahuan Allah (Roma 9:11), melainkan pilihan-Nya yang bebas untuk lebih mengasihi Yakub daripada Esau (Roma 9:13). Untuk mengantisipasi mereka yang berpikir bahwa Allah telah bertindak tidak adil (Roma 9:14), Paulus menjelaskan bahwa Allah berhak memberikan kemurahan kepada siapa saja yang Dia kehendaki (Roma 9:15-16).

Data Alkitab tentang pemilihan tanpa syarat

Alkitab secara eksplisit mengajarkan pemilihan tanpa syarat. Pemilihan Allah sejak kekekalan didasarkan pada kasih dan kerelaan kehendak-Nya (Efesus 1:5, 9). Dalam segala sesuatu Allah bekerja menurut kerelaan kehendak-Nya (Efesus 1:11). Hal ini tidak berarti bahwa Allah memilih secara acak, melainkan berdasarkan hikmat dan pengertian-Nya yang tidak terselami (Efesus 1:8). Karena pilihan ini merupakan kehendak Allah yang bebas, maka pilihan seperti ini layak disebut sebagai kasih karunia (Efesus 1:6-7).

Yesus secara jelas menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa bukan mereka yang memilih Yesus, tetapi Yesuslah yang memilih mereka (Yohanes 15:16). Yohanes juga menegaskan bahwa Allah lebih dahulu mengasihi orang percaya (1Yohanes 4:10). Orang percaya memang dituntut untuk memilih dan mengasihi Allah, tetapi dua hal tersebut hanya akan terjadi kalau Allah lebih dahulu bekerja di dalam diri mereka (Filipi 2:13). Kisah Rasul 13:48 mencatat “semua orang yang ditentukan Allah untuk hidup yang kekal menjadi percaya”. Iman, kasih dan pengharapan orang percaya merupakan hasil pilihan Allah (1Tesalonika 1:4). Di tempat lain Alkitab mengajarkan bahwa yang berhak mendekat kepada Allah adalah mereka yang telah dipilih-Nya (Mazmur 65:5).

Pilihan tanpa syarat juga dapat dilihat dari hubungan antara pilihan dan iman/kekudusan. Alkitab secara jelas mengajarkan bahwa manusia dipilih supaya menjadi percaya/kudus. Iman dan kekudusan seseorang bukanlah alasan bagi pemilihan Allah, tetapi tujuan. 2Tesalonika 2:13 “Allah dari mulanya telah memilih kamu untuk diselamatkan dalam Roh yang menguduskan kamu dan dalam kebenaran yang kamu percayai”. Allah memilih kita supaya kita kudus dan tidak bercacat serta menjadi anak-anak-Nya (Efesus 1:4-5). Dengan demikian, Allah tidak mungkin memilih berdasarkan pra-pengetahuan-Nya terhadap iman/kebaikan seseorang, karena hal itu akan membuat iman/kebaikan tersebut sebagai dasar/alasan pemilih.

Konsekuensi logis dari kerusakan total

Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, semua poin dalam TULIP telah disusun berdasarkan sistem pemikiran yang logis, koheren dan sistematis. Jika suatu poin diterima maka poin-poin lain secara logis juga akan diterima. Demikian pula dengan doktrin pemilihan tanpa syarat. Doktrin ini sangat berkaitan dan ddasarkan pada doktrin kerusakan total manusia akibat dosa asal.

Menurut doktrin kerusakan tota, setiap manusia lahir dalam keadaan yang mengenaskan. Mereka mewarisi dosa asal dari Adam yang mengakibatkan mereka memiliki status berdosa, dikuasai oleh dosa dan naturnya rusak oleh dosa. Masalah ini masih diperparah dengan otoritas iblis dan pengikutnya atas orang-orang yang di luar Kristus. Keadaan ini membuat manusia tidak mungkin memilih Allah. Tidak ada cara apapun juga yang dapat dilakukan dari pihak manusia.

Jika konsep di atas diterima, maka manusia membutuhkan inisiatif dan intervensi Allah dalam keselamatan mereka. Manusia membutuhkan anugerah Allah secara mutlak. Anugerah ini dinyatakan dan direalisasikan Allah dalam rangkaian proses keselamatan, termasuk di antaranya adalah pemilihan sejak kekekalan. Dalam kasih dan pegertian-Nya Allah memilih untuk menyelamatkan sebagian orang berdosa dan membiarkan yang lain dalam keadaan mereka yang tidak berdaya.

Pilihan yang dilakukan Allah tersebut tidak mungkin didasarkan pada faktor dalam diri orang berdosa. Jika doktrin kerusakan total diterima, maka dalam diri manusia tidak ada sesuatu pun yang baik yang dapat memuaskan hati Allah. Mereka semua bahkan layak untuk dibinasakan selama-lamanya. 

Kelemahan konsep pilihan yang didasarkan pada pra-pengetahuan Allah

Ada dua sisi kelemahan dari konsep pemilihan yang didasarkan pada pra-pengetahuan Alkitab. Sisi pertama dari Alkitab dan sisi kedua dari logika. Kedua sisi ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan, karena pemahaman Alkitab membutuhkan logika sedangkan kebenaran logika hanya dapat diteguhkan oleh kebenaran firman. Bagaimanapun, pembedaan antara keduanya akan mempermudah pemahaman.

Dari sisi Alkitab, pemilihan berdasarkan pra-pengetahuan Allah tidak memiliki dasar biblikal yang kuat. Kalangan Armenian biasanya memakai Roma 8:29 untuk mendukung pandangan mereka. Inti argumen mereka terletak pada kata proegnw (“mengetahui sebelumya”, band. mayoritas versi Inggris). LAI:TB menerjemahkan proegnw di Roma 8:9 dengan “dipilih”.

Penyelidikan yang teliti menunjukkan bahwa pemakaian kata dasar ginwskw untuk mendukung pandangan pemilihan berdasarkan pra-pengetahuan adalah tindakan tidak tepat. Kata kerja ginwskw (mengetahui/mengetahui) merupakan ungkapan umum di kalangan orang Yahudi untuk merujuk pada pegetahuan yang melibatkan relasi maupun kasih, bukan sekedar pengetahuan intelektual/kognitif. Tidak heran, dalam Alkitab – baik kata Ibrani yada (PL) maupun ginwskw (PB) – dipakai untuk hubungan seksual (melibatkan relasi yang intim, band. Kejadian 4:1; Matius 1:25; Lukas 1:34). Di samping itu, pemakaian ungkapan “mengetahui” dalam beberapa teks secara eksplisit tidak mungkin merujuk pada pengetahuan kognitif saja.

1. Mazmur 1:6 “Tuhan mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan”. Ayat ini jelas tidak mengajarkan bahwa Tuhan secara kognitif hanya mengetahui jalan orang benar, karena Dia mahatahu dan pasti mengetahui jalan orang fasik juga. “Mengetahui” di sini menyiratkan relasi.

2. Amos 3:2 “hanya kamu yang Ku-kenal dari segala kaum di muka bumi”. Apakah Tuhan tidak mengetahui bangsa lain?

Penggunaan kata proginwskw (“mengetahui sebelumnya”) maupun prognwsis (“pra-pengetahuan”) dalam Perjanjian Baru juga mendukung makna yang lebih dari sekedar pengetahuan kognitif (Douglas J. Moo, The Epistle to the Romans, 532). Jika dua kata itu dipakai untuk Allah, maka maknanya lebih dari sekedar pengetahuan kognitif. Bangsa Israel adalah bangsa diketahui Allah sebelumnya (baca: dipilih, Roma 11:2). Yesus telah diketahui Allah (baca: dipilih) sebelumnya untuk menjadi kurban penebusan dosa (Kisah Para Rasul 2:23; 1Petrus 1:20). Dalam 1Petrus 1:2 tertulis “orang-orang yang diketahui sebelumnya (baca: dipilih)….supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya”.

Konteks Roma 8:29 juga mendukung makna pengetahuan relasional (Moo, Romans, 532-533). Objek pra-pengetahuan dalam Roma 8:29 bukanlah benda, tetapi manusia (“semua orang yang diketahui sebelumnya”). Selain itu, cakupan pra-pengetahuan ini hanyalah sebagian orang. Jika “mengetahui sebelumnya” hanya dipahami secara kognitif, maka hal itu bertentangan dengan konsep kemahatahuan Allah. Cakupan yang terbatas ini jelas merujuk pada pada pengetahuan relasional.

Dari sisi logika, pemilihan yang didasarkan pada pra-pengetahuan juga tidak dapat dipertahankan, karena berkontradiksi dalam dirinya sendiri (self-contradictive). Berdasarkan kemahatuan Allah, jika Dia mengetahui sesuatu, maka apa yang Dia ketahui tersebut pasti akan terjadi. Jika Allah sejak kekekalan mengetahui bahwa orang-orang tertentu akan percaya kepada-Nya, maka mereka pastiakan percaya. Jika demikian, apakah gunanya Allah memilih mereka untuk diselamatkan? Bukankah kalau Allah tidak berbuat apapun (hanya mengetahui secara kognitif saja), maka mereka tetap akan percaya kepada-Nya? Jika demikian, bagaimana konsep Alkitab tentang keselamatan sebagai anugerah mutlak Allah?

Contoh konkrit pertobatan dari orang yang melawan Tuhan

Argumen terakhir yang mendukung pemilihan tanpa syarat adalah pertobatan dari orang-orang yang sangat menentang Tuhan. Contoh yang paling jelas adalah Paulus. Pertobatannya selama perjalanan menuju Damsyik merupakan sebuah “paksaan” dari Tuhan dan diibaratkan seperti bayi yang lahir prematur (1Korintus 15:8). Paulus selanjutnya menyadari bahwa dia telah dipilih Tuhan sebelumnya, bukan hanya untuk pertobatan tetapi juga untuk pelayanan sebagai rasul (Galatia 1:15-16). Robert D. Culver bahkan meyakini bahwa alasan ini pula yang embuat Paulus menjadi rasul yang paling bersemangat mengajarkan predestinasi (Systematic Theology: Biblical & Historical, 125). Pertobatan seperti yang dialami Paulus merupakan salah satu bukti bahwa hal itu terjadi murni dari inisiatif dan intervensi Allah. Paulus bertobat bukan ketika dia sedang mencari kebenaran, tetapi justru ketika dia berusaha membinasakan kebenaran itu. Dia bertobat bukan karena menemukan kebenaran, tetapi ditemui Sang Kebenaran (Yohanes 14:6).

Predestinasi ganda

Isu yang paling sulit sehubungan dengan predestinasi adalah tentang orang-orang yang tidak dipilih. Sebagian sarjana menyebut mereka yang tidak dipilih sebagai orang-orang yang ditolak, namun istilah “orang-orang yang ditolak” tampaknya tidak tepat. Istilah ini memberi kesan manusia berdosa telah mengindikasikan inisiatif untuk datang, tetapi Allah dengan aktif menolak/menghalangi mereka. Predestinasi didasarkan pada natur manusia yang berdosa. Tanpa intervensi Allah dalam bentuk paket keselamatan (dari predestinasi sampai pemuliaan), manusia tidak akan percaya kepada Allah. Karena manusia berdosa tidak mungkin datang kepada Allah, mereka tidak perlu ditolak.

Diskusi tentang orang-orang yang tidak dipilih telah menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan mereka yang menerima predestinasi. Sebagian hanya membatasi predestinasi pada orang-orang yang dipilih (predestinasi tunggal), sementara yang lain percaya bahwa predestinasi menyangkut orang-orang yang dipilih maupun yang tidak dipilih (predestinasi ganda). Pandangan predestinasi ganda dapat disarikan sebagai berikut “Allah telah memilih sebagian orang untuk diselamatkan berdasarkan kebaikan dan kedaulatan-Nya yang mutlak dan membiarkan sebagian yang lain dalam kebinasaan”.

Kata “membiarkan” di atas menyiratkan “ketidakaktifan” Allah dalam kebinasaan sebagian orang. Allah tidak perlu secara aktif membuat orang binasa. Mereka secara natur pasti akan binasa. Di sisi lain, kata “membiarkan” juga tidak boleh diartikan bahwa Allah tidak bisa berbuat apa-apa (pasif) terhadap apa yang akan terjadi dengan orang-orang yang tidak dipilih. Membiarkan berarti “secara aktif menetapkan untuk membiarkan sesuatu terjadi”.

Dasar Alkitab untuk predestinasi ganda

Alkitab tidak banyak memberikan indikasi eksplisit tentang orang-orang yang tidak dipilih. Berikut ini adalah beberapa ayat yang mengarah ke sana:

Amsal 16:4 “TUHAN membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing, bahkan orang fasik dibuat-Nya untuk hari malapetaka”

Kisah Para Rasul 1:16-20 Perbuatan Yudas Iskariot sudah dinubuatkan sebelumnya

Kisah Para Rasul 4:27-28 “Herodes…Pontius Pilatus…untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak-Mu”

Roma 9:6-18 Allah berdaulat untuk memilih maupun mengabaikan beberapa orang

Yudas 1:4 “orang-orang yang telah lama ditentukan untuk dihukum”

Wahyu 13:8 “…semua orang yang namanya tidak ditulis sejak dunia dijadikan di dalam kitab kehidupan”

Alkitab memberi penekanan pada ketetapan Allah untuk menyerahkan Yesus (Roma 5:6; 8:32). Yesus juga berkali-kali menyatakan bahwa Ia harus mati (Matius 16:21; 20:22; 26:54; Markus 8:31; 10:38). Kalau Yesus memang telah ditetapkan sejak kekekalan untuk menjadi juru selamat kita (band. Efesus 1:4), bukankah orang-orang yang menyerahkan-Nya juga sudah ditetapkan (Kis 1:16-20; 4:27-28)?

Argumentasi teologis-filosofis untuk predestinasi ganda

Predestinasi tunggal sebenarnya secara logis dan teologis tidak bisa dibenarkan. Berikut ini adalah runtutan pemikiran untuk membuktikan inkonsistensi predestinasi tunggal:

→ Seandainya Allah hanya memilih orang-orang tertentu untuk diselamatkan, bagaimana nasib orang-orang yang tidak dipilih? Apakah mereka memiliki peluang untuk diselamatkan?

→ Jawaban terhadap pertanyaan di atas ada dua: ya atau tidak

→ Seandainya tidak, berarti mereka pasti akan binasa (predestinasi ganda)

→ Seandainya ya, atas dasar apa mereka diselamatkan? Apakah Allah memiliki pola keselamatan yang berbeda untuk orang yang berbeda? Apakah seseorang bisa selamat tanpa intervensi Allah? Kalau begitu, apakah artinya keselamatan karena anugerah? (band. Efesus 2:8-10)

Predestinasi ganda sebagai sebuah misteri ilahi

Orang yang menolak predestinasi ganda biasanya memiliki anggapan, baik sadar atau tidak, bahwa tujuan utama penciptaan adalah kebaikan manusia. Hal ini kurang sesuai dengan Alkitab. Tujuan utama Allah menciptakan segala sesuatu adalah untuk kemuliaan-Nya (Roma 3:36; Kolose 1:16; Ef 1:5-6, 12, 13-14; 2:8-10; Wahyu 4:11). Allah tidak harus menciptakan sesuatu di luar diri-Nya. Tanpa apapun Allah sudah sempurna. Dia tidak membutuhkan apapun, sekecil apapun. Ketika Ia menetapkan untuk menciptakan segala sesuatu, semuanya itu hanya untuk kemuliaan-Nya. Ia membangkitkan dan menghukum Firaun hanya untuk menunjukkan kemuliaan-Nya (Keluaran 14:4; Roma 9:17). Ia berhak melakukan apa saja, karena Ia adalah Pencipta (Roma 9:20-21).

Hal yang lain yang perlu disadari adalah kecenderungan manusia untuk mengetahui segala sesuatu dengan tuntas. Hal ini tentu saja merupakan sesuatu yang mustahil untuk dicapai. Manusia terbatas dalam banyak hal. Selain itu, dalam konteks pengetahuan tentang Allah, Allah tidak bisa dipahami, karena Ia tidak terbatas. Manusia tidak akan pernah bisa memahami semua ketetapan Allah (Ulangan 29:29; Roma 11:33-35). Orang percaya seharusnya menerima doktrin ini dengan ucapan syukur dan kerendahhatian. Alkitab mengajar hal ini, karena itu orang percaya wajib mengetahuinya. Hal-hal lain yang berada di luar kapasitas rasio manusia kita terima dengan iman.

Apakah pandangan Armenian dapat memberikan solusi yang memuaskan?

Terlepas dari pandangan Armenian yang tidak Akitabiah, kita tetap perlu menanyakan pertanyaan di atas. Pertanyaan seperti ini perlu untuk dikemukakan, karena dalam diskusi tentang predestinasi seringkali Teologi Reformed menjadi objek serangan. Sebagian orang menganggap bahwa doktrin predestinasi Reformed tidak memuaskan dan sulit diterima, karena berkontradiksi degan natur Allah yang baik. Sebaliknya, mereka meyakini bahwa pandangan Armenian mampu memberi penjelasan yang memuaskan. Apakah benar demikian?

Kenyataannya, pandangan Armenian tetap tidak mampu memberi penjelasan yang tuntas. Sebenarnya kalangan Reformed dan Armenian menghadapi masalah yang sama yang berada di luar kapasitas otak manusia untuk memahaminya. Solusi yang ditawarkan pihak Armenian tetap menyisakan tanda tanya besar. Jika Allah hanya mengetahui sebelumnya bahwa sebagian orang akan percaya (selamat) dan menolak (binasa) Kristus, mengapa Dia masih mengijinkan orang itu untuk lahir ke dunia? Bukankah Allah yang menentukan keberadaan setiap orang? Sekalipun Dia tidak menetapkan sebagian orang untuk binasa (seperti yang diyakini kalangan Armenian), bukankah Dia tetap mampu mencegah hal itu untuk terjadi? Mengapa Dia tidak melakukannya? Bukankah membiarkan seseorang mati di depan kita padahal kita mampu menolong orang itu merupakan tindakan yang sulit diterima?

Kita lebih baik menerima ajaran Alkitab dengan penuh ketundukan, sekalipun hal itu secara psikologis sangat mengganggu kita. “Gangguan” ini terjadi bukan karena kesalahan dalam ajaran Alkitab, tetapi keterbatasan pikiran kita. Sama seperti seorang anak kecil yang sulit mempercayai kasih orang tuanya ketika dia dilarang bersenang-senang dengan pisau, dihajar karena suatu kesalahan atau merasa dikekang

Sanggahan dan Jawaban Terhadap Pemilihan Tanpa Syarat

Sanggahan dan jawaban

Konsep pemilihan tanpa syarat memiliki argumen biblikal dan logis yang cukup kuat. Meskipun demikian, sebagian orang tetap mengajukan keberatan-keberatan tertentu menentang konsep ini. 

Pertama, mereka menganggap pemilihan tanpa syarat membuat Allah sebagai Pribadi yang tidak adil, karena Dia hanya memilih sebagian orang untuk diselamatkan. Di balik keberatan ini terdapat asumsi bahwa Allah seharusnya tidak usah memilih siapapun atau sebaliknya memilih semua orang.

Terhadap keberatan ini kita perlu menegaskan bahwa sekalipun Allah menghukum semua orang, maka tindakan itu tetaplah adil, karena semua orang telah berdosa. Mereka yang dipilih telah menerima anugerah (sesuatu yang mereka tidak layak terima), sedangkan yang tidak dipilih menerima keadilan Allah. Dalam hal ini tidak ada satu pihak pun yang menerima ketidakadilan Allah. Tidak menerima anugerah Allah bukanlah bukti ketidakadilan Allah, karena Dia tidak harus memberikan anugerah kepada siapapun (Roma 9:15, 18). Jika anugerah adalah sebuah keharusan, maka hal itu tidak akan menjadi anugerah lagi, melainkan upah atau hak (Roma 4:4-5).

Keberatan di atas juga didasarkan pada konsep tentang keadilan yang tidak tepat. Adil tidak selalu sama rata. Tidak ada keharusan dalam diri Allah untuk memberikan kebaikan kepada semua orang dengan cara dan kualitas yang sama (Roma 9:20-21). Bahkan seandainya Allah memberikan kebaikan yang sama untuk semua orang, sebagian orang pasti tetap akan mempertanyakan keadilan-Nya (Matius 20:13, 15).

Pemilihan tanpa syarat yang adalah murni inisiatif Allah tetap tidak melanggar nilai keadilan, karena tindakan ini tidak dilakukan secara sembarangan. Alkitab mencatat bahwa pemilihan ini dilakukan dalam hikmat dan pengertian (Efesus 1:8). Kita tidak tahu secara pasti mengapa Allah memilih sebagian orang. Yang kita tahu adalah bahwa pemilihan itu tidak didasarkan pada faktor kebaikan orang tersebut. Berangkat dari kebenaran ini, kita seharusnya mempercayai bahwa Allah tetap adil, sekalipun kita tidak mengetahui alasan di balik tindakan-Nya. Seandainya Allah tidak adil, bagaimana Dia dapat menjadi hakim atas seluruh bumi (Roma 3:5-6)?

Keberatan kedua yang sering dikemukan adalah doktrin pemilihan tanpa syarat akan mematikan upaya penginjilan. Orang akan acuh tak acuh terhadap keselamatan orang lain, karena hal itu murni adalah perbuatan Allah. Kalaupun kita tidak memberitakan injil, orang pilihan Allah pasti juga akan selamat. Beberapa contoh dalam sejarah gereja menunjukkan adanya kecenderungan seperti ini di kalangan gereja-gereja yang menerima predestinasi.

Keberatan di atas dapat dijawab melalui beberapa cara. Yang paling utama, kita harus sepakat bahwa Allah memang mampu mempertobatkan seseorang tanpa penginjilan dari orang lain, sama seperti yang Dia lakukan terhadap Paulus (Kisah Para Rasul 9:1-19; 1Korintus 15:8-9). Kalau manusia diam, Allah bisa membuat batu-batu berteriak (Lukas 19:40). Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu (Matius 3:9//Lukas 3:8).

Walaupun demikian, kita tidak boleh mengabaikan ajaran Alkitab bahwa Allah bukan hanya menetapkan hasil pemilihan, tetapi proses dalam pemilihan tersebut. Pertobatan dan pelayanan Paulus tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah direncanakan Allah jauh sebelumnya (Galatia 1:15). Roma 8:29-30 menunjukkan bahwa pemilihan tanpa syarat sejak kekekalan pasti akan diikuti dengan penentuan, pemanggilan, pembenaran dan pemuliaan. Semua proses di atas hanya akan terjadi kalau ada yang diutus, pergi dan memberitakan injil (Roma 10:14-17). Orang-orang pilihan Allah di Kisah Rasul 13:48 akhirnya benar-benar menerima keselamatan melalui kotbah Paulus dan Barnabas.

Di samping itu, kita juga perlu memahami bahwa kita tidak tahu siapa yang dipilih dan siapa yang dibiarkan Allah dalam kebinasaan. Ketidaktahuan ini seharusnya memotivasi kita untuk lebih semangat memberitakan injil kepada siapapun juga, karena siapa tahu di antara mereka ada yang dipilih Allah untuk diselamatkan. Ingat, pedoman hidup kita bukanlah ketetapan Allah sejak kekekalan (karena tidak ada orang yang mengetahui hal itu), tetapi ketetapan-Nya dalam Alkitab. Kalau Alkitab mengajarkan kita untuk memberitakan injil (Matius 28:19-20), maka kita harus melakukan hal tersebut.

Sejarah gereja juga mencatat bahwa mereka yang memegang doktrin predestinasi adalah mereka yang justru sangat giat dalam pekabaran injil, misalnya Charles Spurgeon, George Whitefield, William Carey, David Livingstone. Kesuaman misi di kalangan gereja-gereja yang memegang doktrin predestinasi bukan bersumber dari teologi yang salah, tetapi sikap yang salah terhadap teologi tersebut. Akar masalah terletak pada ekses, bukan esensi dari konsep tersebut.

Keberatan lain terhadap pemilihan tanpa syarat didasarkan pada studi kata sifat “pilihan” (eklektos). Mereka yang menolak doktrin predestinasi berpendapat bahwa dari 22 kali pemunculan kata sifat ini, arti yang dimaksud bisa merujuk pada “orang-orang yang terpilih” atau “superior [dibandingkan yang lain]”. Mereka juga memberikan data dari Septuaginta (LXX) yang mendukung makna yang terakhir. Jika pendapat ini benar, maka pemilihan Allah hanyalah bermakna pengkhususan orang-orang tertentu, tetapi tidak menyiratkan seleksi, apalagi penolakan terhadap orang lain.

Walaupun keberatan di atas sekilas tampak meyakinkan, namun tidak didukung oleh penyelidikan kata Yunani yang memadai. Ide tentang predestinasi tidak hanya didapat dari bentuk kata sifat eklektos, tetapi juga dari kata benda eklogh (“pemilihan”) maupun kata kerja eklegw (“memilih”). Dari pemunculan kata eklogh sebanyak 7 kali dalam PB, 4 di antaranya secara eksplisit merujuk pada “pemilihan” (Roma 9:11; 11:5, 28; 1Tesalonika 1:4), sedangkan 3 yang lain artinya kurang begitu jelas (Kisah Para Rasul 9:15; Roma 11:7; 2Petrus 1:10). Kata kerja eklegw muncul 20 kali dalam PB dan 19 di antaranya secara eksplisit merujuk pada tindakan “memilih” (Markus 13:20; Lukas 6:13; 10:42; 14:7; Yohanes 6:70; 13:18; 15:16,19; Kisah Para Rasul 1:2,24; 6:5: 13:17; 15:7,22,25; 1Korintus 1:27,28; Efesus 1:4; Yakobus 2:5).

Keberatan lain terhadap pemilihan tanpa syarat didasarkan pada pemikiran logis sebagai berikut: seandainya orang-orang yang binasa memang sudah ditetapkan Allah untuk itu, maka mereka tidak perlu bertanggung-jawab terhadap dosa mereka; faktanya, Alkitab menuntut pertanggung-jawaban dari orang-orang berdosa, karena itu kebinasaan mereka pasti bukan karena ketetapan Allah, melainkan pilihan orang-orang itu sendiri.

Keberatan di atas didasarkan pada pemahaman yang keliru tentang predestinasi (terutama reprobasi). Reprobasi bukanlah penyebab keberdosaan manusia. Reprobasi hanyalah membiarkan manusia berada dalam keadaan mereka yang berdosa. Manusia berdosa menyukai keberdosaan mereka, karena itu mereka patut menerima hukuman atas tindakan tersebut.

Keberatan lain yang sangat sering diajukan untuk menolak doktrin pemilihan tanpa syarat didasarkan pada ajaran Alkitab yang tampaknya mengajarkan bahwa Allah menghendaki semua manusia diselamatkan (Yehezkiel 18:23, 32; 33:11; 1Timotius 2:4; 2Petrus 3:9). Dalam bagian Alkitab yang lain Allah menyatakan keinginan-Nya terhadap pertobatan manusia, yang akhirnya bisa terjadi atau tidak (Yesaya 30:18; 45:22; 65:2; Ratapan 3:31-36; Hosea 11:7-8; Matius 23:37//Lukas 13:34). Teks-teks yang eksplisit seperti ini dianggap sangat bertentangan dengan doktrin pemilihan tanpa syarat. Lebih jauh, mereka berargumentasi bahwa kita harus lebih memprioritaskan teks-teks yang lebih jelas daripada teks-teks lain yang masih kabur.

Harus diakui, keberatan ini merupakan salah satu yang paling sulit dijawab dengan tuntas. Dalam hal ini kita perlu membedakan antara kehendak Allah yang pasti akan terjadi (decritive will) dan kehendak Allah yang dinyatakan (prescriptive will), walaupun dua istilah teknis tersebut sebenarnya tidak terlalu tepat (Frame, Doctrine of God, 531). Alkitab memberikan banyak contoh bahwa tidak setiap kehendak Allah yang diekspresikan ternyata menjadi kenyataan. Allah menyesal ketika melihat semua manusia berdosa (Kejadian 6:6). Yesus sangat menginginkan keselamatan Yerusalem, tetapi hal itu tidak terjadi (Matius 23:37//Lukas 13:34). Sebaliknya, Alkitab mengajarkan bahwa semua rencana Allah tidak ada yang gagal (Ay 42:2). Fenomena di atas sangat banyak ditemukan dalam Alkitab dan bukan hanya berkaitan dengan keselamatan manusia saja.

Dua kehendak di atas tidak boleh dianggap sebagai sebuah kontradiksi. Dalam kehidupan kita sehari-hari pun dua macam kehendak tersebut sering muncul bersama-sama. Seorang yang menderita infeksi parah di tangannya memutuskan untuk menjalani amputasi (pemotongan anggota tubuh) supaya infeksi itu tidak menular ke seluruh tubuh. Orang ini memang memutuskan untuk mengamputasi tangannya, namun hal ini jelas bukanlah apa yang dia kehendaki dari semula. Seorang yang sedang membela diri dari serangan perampok terpaksa melawan dan membunuh perampok tersebut, walaupun dia tidak pernah berkeinginan untuk membunuh orang.

Jawaban kedua terhadap keberatan di atas terletak pada analisa konteks dari setiap teks yang didiskusikan. Dalam 1Timotius 2:4 jelas terlihat bahwa yang dimaksud “semua orang” bukanlah “setiap manusia”, tetapi “semua orang tanpa perbedaan status”, terutama mereka yang berada dalam posisi pemerintahan (1Timotius 2:1-2). Dalam 2Petrus 3:9 kata “kamu” di ayat tersebut sangat mungkin merujuk pada orang-orang percaya yang menerima surat itu. Hal ini akan tampak lebih jelas jika kita memperhatikan bahwa dalam pasal ini Petrus menggunakan kata ganti orang “kamu” untuk penerima surat (ayat 1-3) dan “mereka” untuk para pengejek kekristenan (ayat 4-7).

Keberatan paling serius terhadap doktrin pemilihan tanpa syarat berkaitan dengan kebaikan Allah terhadap orang-orang yang binasa. Mereka yang menolak doktrin ini berpandangan bahwa reprobasi bertentangan dengan kebaikan Allah, padahal Alkitab secara jelas mengajarkan bahwa Allah mengasihi semua orang (Mazmur 145:9). Dalam perspektif mereka, orang-orang yang binasa adalah mereka yang tidak dikasihi Allah.

Terhadap keberatan di atas, John Frame (The Doctrine of God, 429-437) memberikan jawaban yang tepat dan komprehensif. Menurut dia, mereka yang akan binasa sebenarnya telah menerima kebaikan Allah dalam berbagai bentuk, misalnya:

1. Allah membatasi dosa. Tanpa intervensi Allah maka semua manusia akan berbuat jahat secara maksimal. Kenyataannya, Allah masih membatasi hal tersebut (Kejadian 4:15; 11:6; 20:6; 2Raj 19:27-28; 2Tesalonika 2:7). Ia juga membatasi intervensi iblis dalam diri manusia sejauh Allah ijinkan (Ay 1:12; 2:6).

2. Allah menahan murka-Nya. Ketika semua manusia sudah sangat berdosa (Kejadian 6:3-6) Allah bisa saja membinasakan mereka semua, tetapi Ia memilih untuk memulai suatu keturunan baru dari keluarga Nuh. Dia menunda murka karena kesabaran-Nya (2Petrus 3:9).

3. Alah memberikan berkat temporal kepada semua orang berupa makanan (Mazmur 65:6-14; 136:25; 145:9, 15-16; Kis 14:17), pemerintah (Roma 13:4; 1Timotius 2:2; 1Petrus 2:4), kekayaan (Kejadian 39:5; Lukas 16:25), iklim yang teratur (Matius 5:43-48).

4. Allah memampukan orang-orang yang binasa untuk berbuat kebaikan (walaupun kebaikan tersebut bersifat relatif). Raja Yehu (2Raja-raja 10:29-31), Yoas (2Raja-raja 12:2) dan Koresy (Yesaya 44:28; 45:1, 13) adalah contoh dari orang-orang fasik yang masih bisa melakukan kebaikan.

5. Allah memberikan wahyu kepada semua orang untuk mengenal Dia (Matius 23:2-3; Roma 1:18-21; 2:12-16).

6. Allah memberikan berkat ilahi kepada orang-orang yang tidak benar, misalnya Bileam (Bilangan 22:1-24:25 [terutama 22:7; 24:1]; 2Petrus 2:15; Wahyu 2:14), Saul (1Samuel 10:9-11), Yudas Iskariot (Matius 10:5-8). 

Dari pemaparan di atas terlihat bahwa reprobasi tidak meniadakan kebaikan Allah atas orang-orang yang akan binasa. Mereka telah menerima kebaikan tersebut selama hidup mereka di dunia. Jadi, inti permasalahan sebenarnya terletak pada jenis dan waktukebaikan yang diberikan Allah. Sebagian orang dalam taraf tertentu “tidak” mendapat kebaikan Allah dalam bentuk kekayaan, kemakmuran maupun kebebasan hidup selama mereka hidup di dunia. Orang-orang fasik justru tidak jarang memiliki kualitas kehidupan temporal yang lebih baik daripada orang benar (Mazmur 73:3-16; Lukas 16:25). 

Manfaat praktis doktrin pemilihan tanpa syarat

1. Sekalipun semua manusia sudah rusak total, tetapi tidak ada seorang berdosa pun yang berkata, “aku terlalu jahat; aku telah berbuat dosa terlalu lama dan dalam; aku tidak mungkin diselamatkan”. Doktrin pemilihan tanpa syarat adalah kabar baik bagi orang-orang berdosa, karena keberdosaan mereka tidak menutup pintu keselamatan mereka.

2. Doktrin ini merupakan pondasi yang kokoh ketika kita merasa tidak layak dikasihi Tuhan setelah kita diselamatkan. Kalau ketika kita menjadi seteru Allah kita sudah dipilih berdasarkan anugerah-Nya, masakan sekarang ketika sudah menjadi anak-anak-Nya kita akhirnya tidak dikasihi (Rom 5:10).

3. Doktrin ini mendorong kita untuk mau mengambil insiatif dalam mengasihi orang lain, karena Allah lebih dulu memilih (Yoh 15:16a) dan mengasihi (1Yohanes 4:10) kita.

4. Doktrin ini menjaga manusia dari dosa kesombongan rohani, karena penentu keselamatan kita adalah Allah, bukan diri kita.

5. Doktrin ini membuat orang percaya lebih menghargai tujuan dan nilai hidup mereka. Hidup mereka berakar dari kekekalan dan menuju pada kekekalan. Nilai hidup kita bukan terletak pada kesementaraan, tetapi pada pemenuhan rencana kekal Allah. Hal ini sesuai dengan artikel pertama dari Katekismus Westminster “apakah tujuan utama manusia?”, yang kemudian dijawab “untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya”.

6. Doktrin ini menempatkan kedaulatan Allah pada tempat yang tertinggi sekaligus memberikan kenyamanan hidup yang didasarkan pada kedaualatan itu.

7. Dalam bidang pekabaran injil doktrin ini menolong kita untuk rendah hati ketika ada orang bertobat melalui pelayanan kita, sekaligus memberi optimisme ketika ada orang terus-menerus menolak dan menyerang injil yang kita beritakan.

8. Doktrin ini menjaga gereja dari kesalahan konsep bahwa perkembangan gereja – secara kualitas maupun kuantitas – ditentukan oleh program, orang yang berpengaruh maupun usaha-usaha manusiawi lainnya. Semua ini memang penting selama dipakai Tuhan sebagai instrumen untuk merealisasikan rencana-Nya, tetapi hal-hal tersebut tidak pernah menjadi kunci kesuksesan.


-AMIN-
Next Post Previous Post