KERUSAKAN TOTAL/TOTAL DEPRAVITY, SANGGAHANNYA dan JAWABAN
Pdt.Yakub Tri Handoko, Th. M.
KERUSAKAN TOTAL/TOTAL DEPRAVITY, SANGGAHANNYA dan JAWABAN. Setiap aliran teologi pasti memiliki keunikan dan penekanan tertentu yang menjadi ciri khas dari aliran tersebut, sekaligus membedakannya dari berbagai aliran yang lain. Begitu pula dengan aliran Teologi Reformed. Walaupun Teologi Reformed memiliki beberapa konsep yang sama dengan aliran lain dalam lingkup teologi injili (misalnya konsep tentang ketidakbersalahan Alkitab, keilahian Yesus, finalitas Kristus dalam keselamatan, dsb.), namun Teologi Reformed memiliki keunikan sendiri.
otomotif, business, gadget |
Salah satu cara paling cepat dan cukup mudah untuk memahami keunikan Teologi Reformed yang sangat luas tersebut adalah melalui Lima Pokok Calvinisme yang disingkat TULIP: T = Total Depravity (Kerusakan Total), Unconditional Election (Pemilihan Tanpa Syarat), L = Limited Atonement (Penebusan Terbatas), I = Irresistible Grace (Anugerah yang Tidak Dapat Ditolak), P = Perseverance of the Saints (Ketekunan Orang-orang Kudus). Walaupun TULIP dirumuskan untuk meresponi suatu problem tertentu yang spesifik, tetapi doktrin ini tetap bernilai universal. Walaupun tidak dimaksudkan sebagai ringkasan dari keseluruhan Teologi Reformed, tetapi TULIP tetap mewakili apa yang menjadi karakteristik Teologi Reformed.
Latar belakang perumusan
Perumusan TULIP tidak bisa dipisahkan dari perkembangan tradisi Reformed di Belanda (lihat Earle E. Cairns, Christianity Through the Centuries, 315-318). Di tengah pergumulan bangsa Belanda untuk meraih kemerdekaan nasional dari tangan Spanyol, gereja-gereja di Belanda – yang mayoritas adalah gereja Reformed – terus berbenah diri. Sebuah sinode nasional di Emden pada tahun 1571 mengesahkan sistem pemerintahan gereja presbyterian. Sinode ini juga mengadopsi Pengakuan Iman Belgia (Belgic Confession) yang dipersiapkan Guido de Bres pada tahun 1561 dan direvisi oleh Francis Junius. Pengakuan iman ini sebelumnya telah diterima dalam sebuah pertemuan di Antwerp pada tahun 1566 dan selanjutnya disahkan dalam sebuah sinode nasional di Dort tahun 1574. Dengan demikian, Pengakuan Iman Belgia dan Katekismus Heidelberg (Heidelberg Catechism) menjadi standar teologi gereja-gereja Reformed di Belanda. Mereka juga mendirikan Universitas Leyden pada tahun 1575 dan menjadikannya sebagai pusat studi teologi Reformed. Tidak heran, gereja di Belanda telah menjadi sumber dari berbagai karya teologis yang berbobot dan sebagai salah satu pusat pemikiran Reformed yang sangat berpengaruh pada akhir abad ke-16 sampai abad ke-17 (John H. Leith, Introduction to the Reformed Tradition, 38).
Beberapa waktu kemudian Belanda juga menjadi pusat perdebatan teologis terkenal. Semua ini berawal dari seorang yang bernama Yakobus Armenius (1560-1609). Ia belajar teologi di Leyden dan Genewa, di bawah bimbingan Theodorus Beza, penerus John Calvin di Genewa. Setelah 15 tahun menjadi pendeta di Amsterdam, ia mulai mengajar di Universitas Leyden pada tahun 1603. Ia menganggap ajaran Reformed telah dilebih-lebihkan oleh Theodorus Beza dan Gomarus, karena itu ia berusaha untuk memodifikasi ajaran Reformed sehingga – menurut dia – Allah tidak dianggap sebagai pencipta dosa maupun manusia tidak bisa berbuat apa-apa di tangan Allah. Secara khusus ia menolak konsep tentang anugerah Allah yang tidak dapat ditolak, walaupun ia meyakini bahwa tidak ada orang yang bisa datang kepada Allah kalau tidak mendapat anugerah.
Usaha ini menuai protes dari koleganya di Leyden, yaitu Francis Gomar. Armenius lalu meminta diadakan sinode nasional untuk membahas masalah ini, tetapi ia meninggal dunia lebih dahulu sebelum pertemuan itu diadakan. Para pendukung Armenius – termasuk di antaranya adalah Hugo Grotius – mengumpulkan ide-ide mereka dalam Remonstrans pada tahun 1610. Armneius mengajarkan bahwa manusia dapat mengambil inisiatif dalam keselamatan setelah Allah memberikan anugerah dasar yang memampukan kehendak mereka untuk bekerja sama dengan Allah. Ia menerima doktrin predestinasi (pemilihan), tetapi ia menganggap penetapan ini didasarkan pada pra-pengetahuan Allah. Ia mengajarkan bahwa penebusan Kristus cukup untuk semua orang, tetapi hanya efektif bagi mereka yang dipilih untuk selamat. Ia meyakini bahwa manusia dapat menolak anugerah Allah. Sehubungan dengan orang percaya, Armenius berpendapat bahwa Allah akan memberikan anugerah kepada orang-orang kudus sehingga mereka tidak jatuh ke dalam dosa, namun ia mempercayai bahwa Alkitab tampaknya mengajarkan kemungkinan bagi seorang percaya untuk murtad.
Akhirnya sebuah pertemuan internasional diadakan di Dort pada tahun 1618-1619. Sekitar 130 orangd ari berbagai tradisi Reformed di Eropa menghadiri pertemuan ini. Hasil dari pertemuan ini adalah dirumuskannya Lima Pokok Calvinisme dan Kanon Dort (Canons of Dort). Selanjutnya para rohaniwan yang mengikuti Armenianisme dicopot dari jabatan mereka. Mereka yang memihak Armenius harus menghadapi penganiayaan sampai tahun 1625. Walaupun dianiaya tetapi ajaran Armenian mampu memiliki pengaruh yang cukup kuat di salah satu aliran gereja Anglikan pada abad ke-17, gerakan Methodis pada abad ke-18 dan Bala Keselamatan.
Beberapa penjelasan penting seputar TULIP
Sebagian sarjana melihat ajaran Armenian sebagai respon terhadap ajaran hyper-Calvinis yang dipopulerkan Beza. Mereka berpendapat bahwa Beza terlalu mengandalkan rasio (pemikiran logis) dalam merumuskan ajaran Reformed, sehingga dia telah salah memahami Calvin dalam beberapa aspek. Pendapat seperti ini tampaknya perlu dikaji ulang. Beza sebenarnya hanya berusaha untuk mengikat beberapa konsep Calvin yang tidak terlalu berkaitan sehingga menjadi sebuah sistem teologi yang logis dan koheren. Pendekatan ini merupakan respon Beza terhadap perubahan berpikir orang-orang waktu itu yang kembali menganut filsafat Aristotelian dengan penekanan pada koherensi dan sistematisasi konsep-konsep (Alister E. McGrath, Historical Theology, 169). Jika dibandingkan dengan pendekatan Calvin, upaya Beza ini jelas sangat berbeda, tetapi apa yang disampaikan Beza pada dasarnya sama dengan ajaran Calvin.
Hal lain seputar TULIP yang sering disalahpahami adalah istilah “Lima Pokok Calvinisme”. Penggunaan istilah ini bisa menimbulkan kesan bahwa semua pokok penting dari teologi Reformed sudah tercakup dalam TULIP, padahal sistem Teologi Reformed jauh lebih luas, seluas Alkitab itu sendiri (Edwin H. Palmer, Lima Pokok Calvinisme, ed. rev., vii). Akibat kesalahpahaman seperti ini, Teologi Reformed seringkali hanya diidentikkan dengan predestinasi, padahal Calvin sendiri tidak menekankan predestinasi. Ada beberapa bukti yang mengarah kepada konklusi ini:
1. Doktrin predestinasi Calvin sangat dipengaruhi oleh konsep Agustinus. Calvin sendiri mengakui pengaruh ini secara eksplisit dalam bukunya Treatise on Predestination.
2. Martin Luther juga memiliki konsep predestinasi yang sangat bernuansa Agustinian (De servo arbitrio, Desember 1525). Dalam perdebatannya melawan Erasmus yang menekankan kehendak bebas manusia, Luther menunjukkan ketidakmampuan manusia untuk mengingini yang baik. Keselamatan hanya dimungkinkan melalui kehendak Allah yang benar-benar bebas.
3. Dalam Institutio edisi ke-1 Calvin tidak memasukkan topik predestinasi. Topik ini baru dibahas di edisi ke-2, itupun dalam kaitan dengan ekklesiologi sehubungan dengan respon terhadap pemberitaan firman Allah. Dalam edisi tahun 1559, pembahasan tentang predestinasi menjadi lebih panjang dan diletakkan setelah doktrin Allah dan dalam kaitan dengan pengudusan serta pembenaran.
4. Ketertarikan Calvin terhadap doktrin berkaitan dengan aspek praktis. Ia ingin mengoreksi pandangan beberapa orang yang salah tentang predestinasi:
1. Melanchthon – predestinasi spekulatif dan tidak berguna
2. Albertus Pighius (De libero hominis arbitrio et divina gratia libri decem, 1542) – kerja sama antara kehendak dan anugerah Allah.
3. Jerome Bolsec – anugerah ditawarkan pada semua orang; hasil dari anugerah ditentukan oleh respon manusia.
5. Doktrin predestinasi Calvin didasarkan pada natur manusia yang sudah tercemar dan tidak mungkin bisa menginginkan Allah. Kemampuan untuk percaya pasti berasal dari anugerah Allah semata-mata. Jadi, predestinasi hanyalah konsekuensi dari konsep teologi lain yang lebih mendasar.
Istilah “Lima Pokok Calvinisme” masih menyisakan potensi masalah, yaitu pada istilah “Calvinisme”. Istilah ini terkesan memberikan penghormatan khusus pada Calvin, padahal Calvin sendiri berkali-kali menegaskan bahwa ia hanyalah mengajarkan apa yang diajarkan Alkitab. Mayoritas sarjana cenderung memilih istilah “Reformed” daripada “Calvinisme” dengan pertimbangan. Pertama, John Calvin sendiri sangat berhati-hati agar gerakan yang dimulai di Geneva tidak mengkultuskan dirinya. Ia seringkali menekankan otoritas Alkitab dalam membangun teologi. Kedua, tradisi Calvinis yang ada sekarang ini ternyata tidak identik dengan ajaran Calvin. Ia memang menjadi peletak dasar dan sistem teologi maupun kegerejaan, namun pemikiran Calvin telah dikembangkan begitu rupa oleh teman maupun pengikutnya sehingga membentuk apa yang sekarang disebut Teologi Reformed. Ketiga, teologi Calvinis tidak bermula dari John Calvin. Dalam tulisan Calvin terlihat bahwa ia sangat berhutang pada bapa-bapa gereja, terutama Agustinus. Ia sendiri mengklaim bahwa teologinya bukanlah sesuatu yang baru, tetapi hasil dari kembali pada sumber (ad fontes).
Sehubungan dengan istilah TULIP, pemakaian singkatan ini memang sedikit banyak dipengaruhi oleh pertimbangan praktis supaya mudah untuk diingat. Singkatan ini dipakai sesuai dengan nama bunga yang terkenal di Belanda. Akibat dari upaya ini, istilah-istilah dalam masing-masing poin seringkali tampak tidak terlalu tepat dan beberapa teolog Reformed telah mencoba menawarkan istilah lain yang lebih sesuai dengan isi penjelasan masing-masing poin. Walaupun dari segi istilah ada kekurangtepatan, tetapi hal itu tidak berarti bahwa konsep yang diajarkan hanya sekedar disesuaikan dengan nama bunga TULIP. Konsep tersebut dirumuskan lebih sebagai respon terhadap ajaran Armenian daripada penyesuian nama bunga Tulip.
Lebih jauh, masing-masing poin dalam TULIP sudah dirancang sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah sistem pemikiran yang logis dan sistematis. Lima pokok tersebut bukanlah doktrin yang terisolasi dan independen satu dengan yang lainnya. Jika satu pokok terbukti benar, maka yang lain dengan sendirinya akan mengikuti sebagai bagian sistem yang logis dan tidak terelakkan. Begitu pula sebaliknya, jika satu pokok ternyata salah, maka yang lain juga akan gugur (Loraine Boettner, The Reformed Doctrine of Predestination, 59).
Total Depravity (Kerusakan Total)
Penjelasan paling tepat dan komprehensif tentang kerusakan total dapat ditemukan dalam Pengakuan Iman Westminster IX.3 “manusia, melalui kejatuhannya ke dalam suatu keadaan dosa, telah kehilangan seluruh kemampuan kehendak kepada kebaikan spiritual apapun yang menyertai keselamatan; sebagai manusia alamiah – yang menolak kebaikan dan mati di dalam dosa – tidak mampu mempertobatkan diri sendiri maupun menyiapkan diri untuk itu dengan kekuatan sendiri”. Berdasarkan definisi di atas, ada beberapa aspek dari kerusakan total yang perlu dijelaskan secara lebih seksama.
Kejatuhan manusia ke dalam keadaan dosa
Teologi Reformed sangat menekankan status dan natur keberdosaan semua manusia yang diperoleh dari Adam. Ini biasanya disebut sebagai dosa asal. Istilah “dosa asal” lebih tepat dipakai daripada “dosa warisan”, karena istilah yang terakhir ini menyiratkan kesan bahwa dosa manusia diperoleh melalui orang tua mereka. Kenyataannya, dosa ini lebih berkaitan dengan relasi setiap manusia dengan Adam. Ketika Adam mendapat perintah dari Tuhan untuk menguji ketaatannya (Kejadian 2:15-17), ia bukan hanya berdiri sebagai pribadi, tetapi sebagai kepala perjanjian yang mewakili semua manusia. Apapun hasil ujian ini akan berdampak pada semua keturunan Adam.
Para teolog Reformed tradisional biasanya menyebut ini dengan sebutan “perjanjian kerja” (covenant of work). Penyebutan ini didasarkan pada beberapa elemen perjanjian kuno yang tersirat dalam perintah Allah di Kejadian 2:15-17. Istilah “perjanjian Adam” secara khusus muncul di Hosea 6:7 “Tetapi mereka itu telah melangkahi perjanjian di Adam, di sana mereka telah berkhianat terhadap Aku”. Teks yang dianggap sebagai dukungan utama dari doktrin ini adalah Roma 5:12-21. Dalam teks ini Adam pertama dan Adam terakhir (Yesus) dikontraskan. Adam pertama berdosa sehingga akibat dari dosa itu diperhitungkan kepada semua keturunannya, sedangkan Yesus hidup-Nya benar secara sempurna sehingga kebenaran itu diperhitungkan kepada orang-orang yang percaya kepada-Nya (band. 1Kor 15:22).
Berdasarkan doktrin di atas, semua manusia – bahkan bayi sekalipun – sudah berdosa (Mazmur 51:7 “dalam kesalahan aku diperanakan, dalam dosa aku dikandung ibuku”). Di tempat lain Paulus menyebut orang-orang di luar Kristus dengan sebutan “secara natur, kami adalah anak-anak kemurkaan” (Efesus 2:3b, ASV/KJV/NASB/RSV “we were by nature children of wrath”). Kecenderungan hati manusia pada kejahatan dimulai sejak kecil (Kejadian 8:21).
Hal tersebut semakin diperkuat dengan fakta kematian para bayi yang secara aktual belum bisa melakukan dosa. Seandainya tidak ada dosa asal, bukankah bayi dalam kandungan seharusnya tidak bisa mengalami akibat dosa (yaitu kematian)? Fakta lain yang mendukung adalah universalitas dosa manusia. Alkitab memberikan pernyataan yang tegas dan melimpah tentang tidak adanya seorang pun di dunia ini yang tidak berdosa (1Raja-raja 8:46; Ay 14:4; Mazmur 143:2; Amsal 20:9; Pkt 7:20; Roma 3:10-18). Seandainya ada satu manusia pernah ada di dunia ini yang tidak tercemar dosa, maka paling tidak di dunia ini akan ada satu atau dua orang yang mampu bertahan dalam kekudusan. Kenyataannya, semua manusia berbuat dosa. Universalitas dosa seperti ini secara logis menuntut adanya satu sumber atau keterkaitan yang sama bagi semua manusia, yang dalam Teologi Reformed dikenal sebagai dosa asal.
Akibat dosa Adam
Akibat dari keberdosaan Adam, setiap manusia lahir dalam kesalahan (guilt) dan pencemaran (pollution). Istilah pertama lebih berkaitan dengan aspek legal (hukum), sedangkan istilah kedua berhubungan dengan aspek moral (Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, 190-197). Dalam kalimat lain, istilah pertama merujuk pada status manusia di hadapan Allah sebagai orang berdosa (karena diwakili Adam), sedangkan istilah kedua lebih ke arah natur manusia yang sudah dicemari dosa.
Hoekema (Manusia, 192) membedakan aspek moral dari dosa asal menjadi dua jenis: kerusakan pervasif (pervasive depravity) dan ketidakmampuan rohani (spiritual inability), walaupun dia sendiri mengaku bahwa pembedaan ini kadangkala tumpang tindih (Manusia, 195). Pembagian ini mirip dengan versi Palmer (Lima, 8-19) walaupun istilah yang dipakai berbeda; Palmer memakai istilah positif dan negatif. Sekalipun perbedaan yang jelas antara dua jeni sini kadangkala sulit ditarik, tetapi pembedaan ini tetap bermanfaat.
Kerusakan pervasif lebih difokuskan pada kerusakan seluruh aspek natur manusia dan ketidakadaan kasih kepada Allah dalam diri manusia sebagai prinsip yang memotivasi hidupnya. Alkitab berkali-kali menegaskan kerusakan semua elemen hidup manusia, baik tubuh, rasio, kehendak, selera, motivasi, dsb. Dosa merusak pikiran, hati maupun perasaan manusia (Roma 3:10-18; Efesus 4:17-19; Titus 1:15-16). Dalam diri manusia terdapat elemen kejahatan yang membuat manusia tidak mampu melakukan kebenaran (Roma 7:14-24). Yesus mengajarkan bahwa semua hal yang jahat berasal dari dalam diri manusia (Markus 7:21-23). Yeremia mengeluhkan kejahatan hati yang begitu kuat (Yeremia 17:9). Segala kecenderungan hati manusia adalah pada kejahatan semata-mata (Kejadian 6:5). Dalam sebuah ajaran-Nya Yesus menggambarkan hal ini dengan relasi antara pohon dan buah (Matius 7:17-18).
Ketidakadaan kasih Allah dalam diri manusia juga diajarkan secara eksplisit oleh Alkitab. Yesus menegur orang-orang Yahudi yang menolak Dia bahwa di dalam hati mereka tidak ada kasih Allah (Yohanes 5:42). Manusia berdosa justru mengasihi kegelapan daripada terang (Yohanes 3:19). Paulus menjelaskan bahwa semua orang di luar Kristus adalah seteru Allah (Roma 5:10). Dosa yang membuat mereka memuaskan daging juga merupakan perseteruan dengan Allah (Roma 8:7a). Orang tertentu yang tampaknya sangat mencari Allah pun tidak disebut sebagai orang yang mengasihi. Mereka hanyalah orang yang giat untuk Allah (Roma 10:2). Orang yang tampaknya rohani dan mengasihi Allah sekalipun ternyata terbukti mengasihi dirinya sendiri (Matius 19:16-22//Markus 10:17-22//Lukas 18:18-23).
Kerusakan lain sebagai akibat dosa asal adalah ketidakmampuan rohani. Yang dimaksud istilah ini adalah ketidakmampuan manusia untuk memikirkan dan melakukan hal-hal yang sungguh diperkenan Allah serta mengubah arah hidupnya dari mengasihi diri sendiri menjadi mengasihi Allah. Tentang doktrin ini Alkitab memberikan dukungan teks yang cukup banyak. Dalam beberapa kasus teks-teks tersebut sekaligus mengajarkan kerusakan pervasif dan ketidakmampuan rohani. Tuntutan untuk dilahirkan kembali (bentuk pasif) sebagai syarat masuk ke dalam Kerajaan Allah mengindikasikan bahwa dengan natur alamiah manusia mereka tidak akan mampu melihat Kerajaan Allah (Yohanes 3:3, 5). Hidup manusia tidak akan berbuah kecuali berada di dalam Kristus, karena di luar Kristus manusia tidak dapat berbuat apa-apa (Yohanes 15:4-5). Sekalipun manusia secara kognitif mengetahui tuntutan Allah, mereka tidak mampu menaati itu, bahkan mereka justru menindas kebenaran itu (Roma 1:18, 32; 7:18-19). Manusia duniawi tidak mungkin menerima hal-hal rohani, karena baginya itu adalah kebodohan (1Korintus 2:14). Mereka yang di luar Kristus berada dalam kondisi mati secara rohani (Efesus 2:1; Kolose 2:13) dan satu-satunya pertolongan bagi mereka adalah jika mereka dihidupkan bersama-sama Kristus (Efesus 2:4-5; Kolose 2:13) atau diciptakan kembali (Efesus 2:10; band. 2Korintus 5:17). Tanpa intervensi Allah, manusia tidak akan mampu memilih Allah (1Korintus 12:3). Manusia baru dapat datang kepada Allah kalau ia ditarik oleh Bapa (Yohanes 6:44), diberi karunia oleh Bapa (Yohanes 6:65) atau dibuka hatinya oleh Tuhan (Kisah Para Rasul 16:14).
Selain faktor internal dalam diri manusia – kerusakan pervasif dan ketidakmampuan rohani – faktor lain yang perlu diperhatikan adalah dominasi iblis atas orang-orang yang belum bertobat. Alkitab mengajarkan bahwa mereka yang berada di luar Kristus dikuasai oleh penguasa kerajaan angkasa (Efesus 2:2; 6:12). Yesus menyebut orang Yahudi yang menolak Dia sebagai anak-anak iblis yang selalu menuruti keinginan bapa mereka (Yohanes 8:44). Iblis adalah penguasa dunia ini atas orang-orang durhaka (Yohanes 12:31).
Faktor internal dan internal inilah yang menjadikan manusia tidak mungkin mampu berpartisipasi dalam keselamatan. Semua proses keselamatan manusia dikerjakan oleh Roh Kudus. Baik kelahiran kembali maupun iman adalah pemberian Allah. Hal ini diajarkan dengan jelas di Efesus 2:8-9. Kata “itu” dalam dua ayat ini tidak merujuk pada iman maupun kasih karunia, karena kata “itu” dalam bahasa Yunani berjenis kelamin neuter (touto), sedangkan iman (pistis) maupun kasih karunia (charis) berjenis kelamin feminin. Bentuk neuter touto merujuk pada keseluruhan proses keselamatan dalam teks ini. Dengan kata lain, iman kepada Kristus pun adalah pemberian Allah.
Kesalahan umum tentang doktrin kerusakan total
Istilah “kerusakan total” dapat ditafsirkan dalam banyak cara, karena kata “total” memang sangat ambigu. Tidak heran, sebagian teolog Reformed mengusulkan beberapa istilah yang lain untuk doktrin ini, misalnya kerusakan pervasif (Hoekema, Manusia, 192) atau ketidakmampuan total (Boettner, The Reformed Doctrine, 61-82). Mengingat istilah ini sering disalahartikan, penjelasan via negativa (apa yang bukan dimaksud dengan kerusakan total) sangat dibutuhkan.
1. Manusia menjadi benar-benar rusak sampai serusak-rusaknya. Ini bukan kerusakan total (total depravity), tetapi kerusakan mutlak (absolute depravity).
2. Manusia tidak lagi memiliki hukum moral maupun hati nurani..
3. Manusia selalu jatuh ke dalam setiap kemungkinan dosa yang ada.
4. Manusia tidak dapat melakukan kebaikan yang berguan bagi orang lain.
Bagaimana hal di atas dapat dijelaskan? Pertama, semua kebaikan yang dilakukan manusia di luar Kristus adalah kebaikan relatif. Yesus mengakui bahwa orang berdosa dapat berbuat baik kepada orang lain, walaupun kasih itu terbatas pada orang lain yang berbuat baik kepada mereka (Matius 5:46-47; Lukas 6:33). Seorang ayah dapat mengasihi anaknya meskipun tanpa kelahiran baru dari Roh Kudus (Matius 7:11//Lukas 11:13). Orang-orang Farisi juga berbuat kebaikan (Matius 6:2, 5, 16).
Kebaikan di atas disebut relatif karena tidak diukur berdasarkan standar tertentu yang mutlak. Jika diukur dengan standar ilahi yang mutlak, kesalehan itu hanya seperti kain kotor (Yesaya 64:6). Katekismus Heidelberg Artikel 91 menjelaskan perbuatan-perbuatan baik sebagai “hanya hal-hal yang dilakukan dari iman yang benar (Yohanes 15:5; Roma 14:23; Ibrani 11:6), sesuai dengan hukum Allah (Imamat 18:4; 1Samuel 15:22; Efesus 2:10) dan untuk kemuliaan-Nya (1Korintus 10:31) dan tidak didasarkan pada opini atau pemahaman manusia (Ulangan 12:32; Yesaya 29:13; Yeh 20:18-19; Matius 15:7-9). Dari definisi ini terlihat dengan jelas adanya perbedaan antara kebaikan relatif (menurut pandangan manusia) dan kebaikan mutlak (menurut standar Allah). Kebaikan yang sesungguhnya hanya bisa terjadi jika didasarkan pada iman yang benar, sesuai dengan hukum Allah dan dilandasi motivasi untuk memuliakan Allah.
Kedua, Allah tetap memberikan anugerah umum kepada semua manusia. Allah menjaga mereka melalui hukum moral dan hati nurani (Roma 2:14-16). Allah juga memakai hukum dan pemerintah untuk meminimalisasi kejahatan dalam dunia (Roma 13:1-7). Dalam kasus-kasus tertentu Allah bahkan langsung intervensi dalam hati manusia, misalnya kebaikan Raja Koresh yang mengijinkan bangsa Yehuda pulang ke negeri mereka (2Tawarikh 36:22).
Manfaat praktis dari doktrin kerusakan total
Doktrin kerusakan total tidak hanya berfungsi sebagai bahan perdebatan teologis semata. Doktrin ini bukan sekedar pemuasan rasa ingin tahu manusia. Sebaliknya, doktrin ini memiliki implikasi yang luas dan praktis bagi orang percaya. Berikut ini adalah beberapa manfaat praktis dari doktrin ini:
1. Memberikan jawaban yang paling masuk akal atas sumber berbagai kejahatan di dunia.
2. Mengingatkan kita betapa buruknya kita seandainya Tuhan dalam anugerah-Nya tidak berintervensi ke dalam hidup kita.
3. Kesadaran ini membuat kita semakin menyadari, memahami dan menghargai anugerah Allah.
4. Kesadaran ini juga menolong kita untuk tidak menjadi sombong rohani dan merasa diri lebih baik daripada orang lain.
5. Memberi citra diri yang sehat dan seimbang – nilai diri kita bukan terletak pada apa yang kita miliki atau capai, tetapi apa yang Tuhan telah lakukan dalam hidup kita.
6. Memberi penghiburan dan melepaskan perasaan bersalah dalam diri kita apabila kita sudah berusaha memberitakan injil kepada orang-orang yang kita kasihi tetapi mereka masih tidak mau bertobat, bahkan jika mereka akhirnya binasa sekalipun.
7. Menghindarkan kita dari berbagai usaha filantropis semata-mata dalam penginjilan, karena teladan kebaikan saja tidak akan cukup untuk mempertobatkan orang. Kuasa injil (Roma 1:16-17) dan intervensi Roh Kuduslah (Yohanes 16:8-11) yang dapat mempertobatkan orang.
8. Meyakinkan kita tentang kepastian keselamatan – kalau ketika menjadi seteru Allah kita dikasihi begitu rupa, apalagi sekarang kita menjadi anak-anak-Nya (Roma 5:10).
9. Menyadarkan kita untuk terus bersandar pada Roh Kudus guna mengalahkan pengaruh natur manusiawi kita yang tercemar (Filipi 3:13).
10. Mendorong kita untuk lebih serius mendidik anak-anak dalam kebenaran, karena anak-anak bukan seperti kertas putih (kontra teori tabularasa John Locke), tetapi kertas hitam.
BACA JUGA: KEBEJATAN TOTAL
Sanggahan terhadap Total Depravity dan jawabannya
Doktrin kerusakan total didukung oleh argumen biblikal yang cukup kuat. Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa doktrin ini diterima oleh semua orang. Sebagaimana dahulu pada abad ke-4 M bapa gereja Agustinus berdebat dengan Pelagius seputar topik kerusakan diri manusia, demikian pula sekarang doktrin ini tetap dipersoalkan oleh para teolog. Apa saja yang membuat mereka sulit menerima doktrin kerusakan total?
Peristiwa kejatuhan Adam ke dalam dosa bukanlah sebuah fakta historis
Beberapa teolog modern menolak doktrin kerusakan total dengan dasar bahwa peristiwa kejatuhan Adam ke dalam dosa (Kej 3) bukanlah sebuah peristiwa historis. Sanggahan seperti ini ternyata tidak hanya dipegang oleh para teolog liberal – misalnya Karl Barth, Emil Brunner, Rudolph Bultmann – tetapi juga oleh teolog Reformed, yaitu H. M. Kuitert, dosen di Free University of Amsterdam. Lebih jauh, pandangan seperti ini ternyata bukanlah hal yang baru. Baik Philo (penafsir Yahudi yang terkenal pada abad ke-1) maupun Origen (bapa gereja abad ke-3) dahulu sudah menolak historisitas Kejadian 3 dan menganggapnya hanya sebuah mitos.
Menurut mereka, kisah ini hanyalah sebuah gambaran atau metafora yang tidak sungguh-sungguh terjadi. Kisah ini hanyalah contoh atau gambaran tentang apa yang akan dialami semua orang, tetapi peristiwa kejatuhan itu sendiri tidak memiliki pengaruh negatif langsung bagi keberdosaan semua orang. Sebaliknya, kisah ini bermanfaat untuk mengajar manusia tentang universalitas dosa dan dengan demikian mereka disiapkan untuk memahami signifikansi penebusan Kristus. Pendeknya, kisah kejatuhan adalah sebuah fabel, legenda/mitos atau perumpamaan.
Implikasi dari pandangan seperti ini jelas sangat besar. Jika kejatuhan tersebut bukan peristiwa historis, maka doktrin dosa asal (kerusakan total) tidak dapat dipertahankan lagi, karena tidak ada kaitan apapun antara Adam dan semua manusia. Setiap manusia hanya berdosa di dalam dan bagi mereka sendiri. Yang ada ada adalah dosa aktual, bukan dosa asal.
Sanggahan di atas memiliki banyak kelemahan serius. Sebelum menyelidiki kelemahan dari sanggahan seperti ini, satu hal yang perlu dipahami adalah kesatuan cerita dalam Kejadian 1-3. Kejadian 3 tidak akan dapat dipahami tanpa mengetahui Kejadian 1-2 lebih dahulu, karena beberapa ide dalam kisah ini berasal dari kisah sebelumnya: ular adalah binatang darat yang diciptakan Allah (3:1; 1:24-25); godaan iblis melalui ular (3:1-5) berkaitan dengan perintah Allah sebelumnya (2:16-17); taman tempat manusia tinggal dan dicobai iblis adalah taman yang sama yang diciptakan Allah sebelumnya (2:8-14; 3:24). Berdasarkan kesatuan ini, jika satu kisah adalah mitos, maka kisah yang lain juga termasuk mitos. Demikian pula jika suatu kisah adalah peristiwa historis, maka kisah lain juga bersifat historis.
Sekarang mari kita menjawab sanggahan terhadap historisitas kisah kejatuhan.
Pertama, cara penulisan Kejadian 1-3 menunjukkan bahwa kisah yang ada di dalamnya merupakan sebuah narasi historis (James Montgomery Boice, Genesis Vol. I, 123-124). Di Kejadian 2:8-14 penulis kitab Kejadian memberikan penjelasan geografis yang cukup detil tentang posisi Taman Eden. Dua sungai yang dicatat (Efrat dan Tigris) bahkan masih ada sampai sekarang. Seandainya Kejadian 1-3 bukan sebuah kisah historis, maka penjelasan seperti ini tidak diperlukan.
Kedua, cara pemaparan kisah di Kejadian 1-3 tidak memenuhi karakteristik sebagai sebuah fabel, legenda/mitos maupun perumpamaan (E. J. Young, In the Beginning, 80-87; Boice, Genesis Vol. I, 157-161). Sebuah fabel memaparkan dunia binatang yang semuanya bisa berbicara, namun Perjanjian Lama maupun kitab Kejadian mencatat kemampuan ular dalam berbicara merupakan sesuatu yang khusus (kisah lain tentang binatang yang dapat berbicara hanya dicatat di Bilangan 22:28-30). Kejadian 3 juga bukan sebuah legenda/mitos, karena tokoh yang ditampilkan (terutama Adam) muncul di kisah sebelum (Kej 1-2) maupun sesudahnya (Kejadian 4:1, 25; 5:1, 3, 4, 5). Jika Adam adalah tokoh mitos, bukankah itu berarti semua cerita yang melibatkan Adam hanyalah sebuah mitos? Lebih jauh, Adam dan Hawa ditampilkan sebagai nenek moyang banyak bangsa (Kejadian 5:1-32; 11:10-32). Jika Adam bukan tokoh historis, bagaimana dengan semua keturunannya? Berikutnya, Kejadian 1-3 juga tidak bisa dikategorikan sebagai perumpamaan, karena perumpamaan biasanya mencantumkan pelajaran rohani di awal atau akhir perumpamaan, sedangkan Kejadian 3 tidak diikuti oleh pelajaran semacam itu. Selain itu, perumpamaan biasanya tidak menceritakan tokoh tertentu yang spesifik, sedangkan Kejadian 3 menampilkan Adam dan Hawa (keduanya adalah tokoh riil, lihat pembahasan berikutnya).
Ketiga, Alkitab memberikan beberapa indikasi bahwa Adam adalah tokoh historis. Dalam daftar silsilah di 1Tawarikh 1-9 maupun Lukas 3:23-38, Adam menempati urutan pertama (1Taw 1:1; Lukas 3:38). Dari cara penulisan seperti ini terlihat bahwa Adam tidak dihasilkan dari proses peranakan, melainkan penciptaan (Anthony Hoekema, Manusia: Ciptaan Menurut Gambar Allah, 147). Dia adalah manusia pertama yang darinya semua manusia di bmi berasal. Hal ini sesuai dengan Kejadian 1-2.
Keempat, Yesus juga pernah menggunakan Kejadian 1-2 sebagai dasar dari argumentasi ketika Ia berdebat dengan orang-orang Farisi seputar perceraian. Yesus melarang perceraian dengan dasar Allah telah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan (Matius 19:4//Markus 10:6//Kejadian 1:27) dan mereka harus menjadi satu (Matius 19:5-6//Markus 10:7-8//Kejadian 2:24). Seandainya kisah penciptaan di Kejadian 1-2 hanyalah sebuah mitos, maka argumen Yesus tidak akan memiliki nilai sama sekali. Argumen Yesus akan menjadi kuat kalau Yesus sedang membicarakan dua manusia aktual (Hoekema, Manusia, 147).
Kelima, Paulus pernah memakai Kejadian 1-3 sebagai dasar argumentasinya ketika ia membahas tentang perempuan dan pengajaran. Dia melarang perempuan mengajar atau memiliki otoritas atas laki-laki karena “Adam yang pertama dijadikan, bukan Hawa” (1Timotius 2:13//Kejadian 2:5-7, 21-22). Alasan lain adalah karena “perempuan itulah yang tergoda” (1Timotius 2:14//Kejadian 3:6, 13). Inti dari penggunaan teks Perjanjian Lama di sini adalah kronologi. Jika Kejadian 1-3 bukan peristiwa historis, maka kronologi tidak akan memiliki makna apapun. Justru karena kisah penciptaan dan kejatuhan merupakan suatu peristiwa historis yang terjadi dalam waktu, maka kisah itu memiliki kronologi dan layak dijadikan sebagai argumen (Hoekema, Manusia, 147).
Keenam, Adam beberapa kali disejajarkan dengan Kristus dalam Perjanjian Baru. Secara khusus, perbandingan ini melibatkan keberdosaan Adam (Roma 5:12-21; 1Korintus 15:21-22). Terlepas dari perdebatan seputar akibat kejatuhan Adam (lihat bagian selanjutnya), perbandingan tersebut tetap mengarah pada historisitas kisah itu. Jika Adam hanyalah tokoh mitos, maka Kristus juga dipahami sebagai tokoh mitos (Hoekema, Manusia, 148; Young, In the Beginning, 86). Karena Paulus sebelumnya memahami Kristus sebagai tokoh historis (Roma 5:5-8; 1Korintus 15:1-11), maka perbandingan-Nya dengan Adam juga mengindikasikan bahwa Adam adalah tokoh historis, termasuk peristiwa kejatuhan yang dia alami.
Doktrin perjanjian kerja adalah konsep yang tidak Alkitabiah
Sanggahan lain terhadap kerusakan total didasarkan pada penolakan terhadap ide perjanjian. Sebagaimana kita ketahui, doktrin perjanjian (covenantal theology) – baik perjanjian kerja di dalam Adam maupun perjanjian anugerah di dalam Kristus – merupakan salah satu ciri khas Teologi Reformed. Sejumlah besar teolog Reformed mengajarkan doktrin ini. Bagaimanapun, beberapa teolog Reformed ternyata menolak ide tentang perjanjian, misalnya G. C. Berkouwer, Herman Hoeksema, John Murray, Anthony Hoekema.
Mereka yang menolak istilah perjanjian kerja biasanya memberikan beberapa alasan (lihat Hoekema, Manusia, 154-157).
1. Istilah “perjanjian kerja” dapat mengaburkan konsep tentang anugerah. Jika Kejadian 2:16-17 adalah sebuah perjanjian kerja, maka seandainya Adam berhasil menaati perintah itu ia akan mendapat sesuatu yang baik sebagai upah bagi ketaatannya. Dengan demikian, ketaatan manusia hanya dipahami sebagai instrumen untuk memperoleh sesuatu yang menyenangkan manusia, padahal sebagai ciptaan manusia memang harus menaati Allah.
2. Alkitab tidak menyebut Kejadian 2:16-17 sebagai sebuah perjanjian. Hosea 6:7 yang sering dipakai untuk mendukung doktrin perjanjian kerja ternyata dapat ditafsirkan dalam banyak cara. Kata Ibrani ke ‘adam dalam ayat ini bisa diterjemahkan “seperti manusia” (KJV/NKJV).
3. Kejadian 2:16-17 tidak memenuhi persyaratan sebagai sebuah perjanjian, karena tidak memiliki beberapa elemen penting perjanjian, misalnya pengesahan dengan sumpah (Kejadian 26:28; Ulangan 29:12, 14, 21; Yehezkiel 16:59; 17:18); upacara tertentu; benda tertentu sebagai bukti; sanksi dan janji jika isi perjanjian dilanggar atau ditepati.
4. Kata “perjanjian” selalu dipakai dalam konteks penebusan, sedangkan Kejadian 2:16-17 diberikan sebelum kejatuhan ke dalam dosa.
Dari semua poin di atas terlihat bahwa argumen untuk menolak konsep maupun istilah “perjanjian kerja” tidak sepenuhnya meyakinkan.
1. Allah memang berhak menerima ketaatan ciptaan dan Dia tidak wajib memberi imbalan atas ketaatan tersebut, namun dalam beberapa kasus Allah sendiri menjanjikan imbalan apabila orang memegang perjanjian-Nya (Keluaran 34:10-11; Imamat 26:3-13; Ulangan 5:2, 10; 8:18; 29:9).
2. Terjemahan “seperti manusia” di Hosea 6:7 menjadikan ayat ini tampak tidak masuk akal. Hosea 6:7a akan menjadi “tetapi seperti manusia mereka telah melanggar perjanjian”. Bukankah mereka adalah manusia? Lalu apakah artinya “seperti manusia”? Lebih masuk akal jika kata adam di sini dipahami sebagai nama orang (Adam), bukan “manusia”.
3. Ide tentang perjanjian di dalam Alkitab tidak selalu harus mencakup semua elemen dari sebuah perjanjian kuno. Dalam beberapa kasus ide perjanjian muncul secara eksplisit, tetapi tanpa elemen sumpah atau upacara tertentu (Kejadian 17:1-14), tanpa syarat yang harus dilakukan maupun sanksi bila melanggar (Kejadian 9:9-17; 15:18-21).
4. Kata “perjanjian” dalam Alkitab tidak selalu dipakai antara Allah dan manusia dalam konteks penebusan. Perjanjian dapat dilakukan antar manusia (Kejadian 21:27; 26:28-29; 31:44). Alkitab bahkan mencatat perjanjian antara Allah dan semua makhluk (termasuk binatang), yaitu di Kejadian 9:10, 12, 15. Dari teks ini terlihat bahwa kata “perjanjian” tidak selalu dalam konteks penebusan.
Satu hal yang perlu kita ketahui adalah bahwa sekalipun beberapa teolog Reformed menolak istilah “perjanjian kerja”, namun mereka tetap memegang teguh doktrin tentang universalitas dosa atas semua manusia akibat dari ketidaktaatan Adam (Hoeksema, Reformed, 223-226; Hoekema, Manusia, 157). Mereka tetap mengakui bahwa Adam adalah kepala dan perwakilan dari seluruh umat manusia. Yang dipersoalkan mereka sebenarnya hanyalah relasi antara Adam dan Allah, bukan Adam dan keturunannya. Jadi, terlepas dari isu apakah istilah “perjanjian kerja” tetap perlu dipertahankan atau tidak, hal itu tidak menyangkali fakta penerusan (pemerhitungan) dosa dari Adam kepada seluruh manusia.
Hal lain yang perlu kita tandaskan adalah konsep transmisi dosa bukan hanya didasarkan pada Kejadian 2:16-17. Kita masih memiliki teks lain yang sangat kuat mendukung gagasan tentang dosa asal, yaitu Roma 5:12-21 (band. 1Korintus 15:21-22). Berikut ini adalah argumen yang dapat ditarik dari teks ini (Hoeksema, Reformed, 225):
1. Oleh satu orang maut telah menjalar kepada semua manusia, karena semua telah berdosa (ayat 12). Bagaimana bisa maut ditularkan kepada semua orang karena dosa satu orang, kecuali mereka semua telah berdosa secara legal di dalam diri satu orang itu dan dengan demikian direpresentasikan olehnya?
2. Maut berkuasa dari Adam sampai Musa dan atas semua yang tidak berbuat dosa dengan cara yang sama yang dilakukan oleh Adam (ayat 14). Jika pelanggaran Adam hanyalah gambaran dari pelanggaran semua orang, untuk apa dibedakan antara dosa Adam dan dosa manusia yang lain?
3. Pelanggaran satu orang menyebabkan maut bagi semua orang. Di sini terlihat adanya pembedaan antara suatu dosa yang dilakukan satu orang dan banyak orang. Jelas, “satu orang” di sini merujuk pada Adam dan dosa ini dibedakan dari dosa aktual yang dilakukan semua orang.
4. Ungkapan “penghakiman” dan “hukuman” (ayat 18) jelas menyiratkan ide legal (forensik).
Doktrin perjanjian kerja mengajarkan ketidakadilan
Selain perdebatan seputar istilah “perjanjian kerja”, sebagian orang menolak teologi perjanjian dengan alasan bahwa hal itu tidak adil. Mereka berpendapat bahwa kesalahan seseorang tidak boleh diperhitungkan kepada orang lain. Orang itu harus bertanggung-jawab sendiri terhadap apa yang dia lakukan. Jadi, kejatuhan Adam ke dalam dosa hanya memberikan pengaruh negatif bagi Adam.
Terhadap sanggahan ini kita dapat menjawab melalui beberapa cara. Alkitab memberi banyak contoh tentang dosa seseorang yang membawa akibat bagi orang lain, misalnya dosa Akhan menyebabkan bangsa Israel kalah dari bangsa Ai (Yosua 7:1-4), dosa Daud membuat seluruh rakyatnya menderita (2Samuel 24:10-15). Secara logis tidak ada suatu hukuman kepada seseorang yang tidak membawa akibat negatif bagi orang lain. Contoh: seorang yang melakukan tindakan kriminal dan dipenjara pasti memberi dampak yang buruk bagi keluarganya (nama baik tercoreng, kehilangan figur suami/ayah/anak, dsb.). Yang paling penting, sanggahan ini tidak bisa dipertahankan jika dikaitkan dengan pembenaran yang kita terima dari Kristus. Orang percaya dibenarkan oleh Allah atas apa yang telah dilakukan Kristus (Roma 5:18). Jika dosa Adam yang diperhitungkan kepada manusia dianggap tidak adil, maka pembenaran Kristus yang kita terima juga tidak adil (Roma 5:12-21).
Alkitab memberikan contoh tentang orang-orang tertentu yang benar
Mereka yang menolak doktrin kerusakan total seringkali memakai beberapa tokoh Alkitab yang saleh sebagai bukti bahwa manusia bisa benar di hadapan Allah dengan kekuatan sendiri. Beberapa tokoh yang sering dikutip antara lain Habel (Kejadian 4:4; Matius 23:25), Henokh (Kejadian 5:22-24), Nuh (Kejadian 6:9), Ayub (Ay 1:1) dan “orang benar” di kitab Mazmur (1:5, 6; 5:13; 11:3, 5; 31:19-20). Deretan contoh ini dianggap bertentangan dengan konsep universalitas dosa manusia.
Penyelidikan yang lebih teliti menunjukkan bahwa semua contoh di atas tidak bertentangan dengan doktrin kerusakan total, karena semua tokoh itu disebut benar bukan karena kemampuan mereka sendiri dalam menaati Allah. Selain itu, kebenaran mereka tidak berarti mereka secara sempurna berhasil menaati Allah. Habel disebut benar berdasarkan imannya (Ibrani 11:4). Henokh diangkat oleh Allah bukan karena ia memiliki ketaatan yang sempurna. Sebutan “bergaul dengan Allah” (Kejadian 5:22, 24, lit. “berjalan bersama Allah”) bukan hanya ditujukan pada Henokh, tetapi juga beberapa tokoh lain, sekalipun mereka tidak diangkat ke surga (Kejadian 24:40; 48:15). Contoh yang paling penting untuk diperhatikan adalah Nuh, karena Nuh adalah tokoh pertama yang disebut sebagai orang benar di dalam Alkitab. Nuh mampu hidup dengan benar (Kejadian 6:9) karena dia mendapat kasih karunia dari Allah. Hal ini akan menjadi semakin jelas apabila kita bandingkan dengan keberdosaan semua manusia yang hatinya selalu cenderung pada kejahatan (Kejadian 6:5).
Alkitab mengajarkan keselamatan anak-anak
Mereka yang menolak doktrin kerusakan total memakai argumen dari ucapan Yesus bahwa “barangsiapa ingin masuk ke dalam kerajaan surga, dia harus menjadi seperti anak kecil” (Matius 18:3, 4). Kalau orang kecil dapat masuk surga, maka mereka pasti tidak berdosa, karena surga adalah tempat yang kudus. Dengan kata lain, bayi tidak mewarisi dosa asal.
Sanggahan ini dengan mudah dapat dipatahkan jika kita memperhatikan konteks ucapan Yesus dengan teliti. Apakah yang dimaksud “menjadi seperti anak kecil” adalah tidak berdosa sama sekali? Ternyata tidak. Menurut konteks, menjadi seperti anak kecil berarti merendahkan diri (Matius 18:4). Tafsiran ini sesuai dengan latar belakang teks ini yang menjelaskan tentang perselisihan di antara para murid tentang siapa yang terbesar dalam kerajaan surga (Matius 18:1). Hal ini juga sesuai dengan konteks kultural bangsa Yahudi yang menganggap anak kecil sebagai sesuatu yang tidak berharga (band. Lukas 9:48b).
Di samping kesalahan konteks seperti dijelaskan di atas, sanggahan ini didasarkan pada konsep teologis yang salah. Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa yang masuk ke dalam surga adalah mereka yang sempurna dalam kekudusan. Elia diangkat Tuhan ke surga (2Raja-raja 2:11), walaupun dalam kehidupannya dia bahkan pernah putus asa dan ingin mati (1Raja-raja 19:4). Jika orang harus sempurna dalam kekudusan baru layak masuk ke surga, maka tidak akan ada orang yang dapat masuk ke surga, karena setiap manusia berdosa (1Yohanes 1:8). Jadi, ucapan Yesus “barangsiapa ingin masuk ke dalam kerajaan surga, dia harus menjadi seperti anak kecil” tidak mengindikasikan suatu keadaan tanpa dosa.
Alkitab mengajarkan bahwa iman adalah respon seseorang
Sebagian orang menolak doktrin kerusakan total dengan cara menunjukkan bahwa iman adalah pilihan manusia yang diperlukan dalam keselamatan (Yohanes 3:36; Roma 1:16). Yosua menantang orang Israel untuk memilih menyembah TUHAN atau tidak (Yosua 24:15). Petrus menasehati orang banyak agar mereka memberi diri untuk diselamatkan (Kisah Para Rasul 2:40). Paulus menantang kepala penjara untuk percaya kepada Allah (Kisah Para Rasul 16:31). Mereka yang selamat adalah yang mengaku dengan mulut dan percaya dalam hati (Roma 10:9-10). Semua ini dianggap mengajarkan adanya partisipasi manusia dalam bentuk beriman.
Sanggahan di atas tidak sepenuhnya salah. Alkitab memang mengajarkan bahwa manusia perlu beriman agar mereka diselamatkan. Doktrin kerusakan total tidak menyangkal pentingnya iman seseorang dalam keselamatan. Bagaimanapun, yang menjadi isu utama adalah kemampuan untuk beriman. Dari mana manusia memiliki kemampuan untuk beriman? Alkitab menjelaskan bahwa iman pun adalah pemberian Allah (Efesus 2:8-9), bahkan dalam proses selanjutnya orang percaya tetap membutuhkan anugerah Allah untuk menguatkan iman mereka (Lukas 17:5). Mereka yang beriman adalah mereka yang lebih dahulu mengalami pekerjaan Roh Kudus dalam hati mereka dalam bentuk kelahiran kembali (Kisah Para Rasul 16:14). Mereka harus menerima anugerah lebih dahulu (Yohanes 6:44, 65).
Doktrin kerusakan total menyebabkan Yesus berdosa
Bagi mereka yang menolak kerusakan total, doktrin ini dianggap sangat berbahaya bagi konsep kristologis. Jika semua manusia – termasuk bayi – memiliki status dan natur yang berdosa, maka Yesus pun pasti tidak akan bebas dari kondisi ini, karena Yesus adalah manusia sejati. Kalau semua manusia mewarisi dosa asal, maka Yesus sebagai manusia juga pasti berada dalam kondisi tersebut. Jika ini benar, maka Yesus tidak dapat menjadi juru selamat karena hidup-Nya tidak sempurna.
Terhadap sanggahan ini kita perlu menyadari posisi Yesus sebagai kepala perjanjian yang baru. Dalam Roma 5:12-21 dan 1Korintus 15:21-22 Yesus disejajarkan dengan Adam dan disebut sebagai Adam terakhir. Kesejajaran ini mencakup posisi Yesus sebagai kepala perjanjian yang baru. Jika Dia adalah kepala perjanjian, maka Dia tidak boleh termasuk dalam kategori yang diwakili Adam (sebagai manusia yang tercemar oleh dosa). Dia harus menjadi manusia yang netral supaya Dia bisa menjadi kepala perjanjian yang baru. Alkitab memberikan penjelasan bahwa ketidakberdosaan Yesus ini berhubungan dengan karya Roh Kudus. Lukas 1:35 “Roh Kudus akan turun atasmu….sebab itu anak yang akan kau lahirkan itu akan disebut kudus…”.
Sanggahan di atas juga didasarkan pada konsep kesejatian kemanusiaan Yesus yang salah. Untuk menjadi manusia yang sejati, Yesus tidak harus mewarisi dosa asal, sekalipun semua manusia kenyataannya mewarisi hal itu. Mengapa? Karena keberdosaan tidak termasuk dalam hakekat kemanusiaan. Ketika Allah menciptakan Adam dan Hawa, mereka tidak memiliki natur yang berdosa (band. Kejadian 1:31), tetapi mereka benar-benar manusia sejati sama seperti kita.
-Amin-