Yakub:Sang Penikung yang Tertikung

Hendrik Santoso Sugiarto.
Yakub:Sang Penikung yang TertikungYakub:Sang Penikung yang Tertikung. Pernahkah kita ditikung orang lain, atau pernahkah kita menjadi penikung? Entah dalam pekerjaan, uang, pasangan, dan sebagainya; kisah menikung-ditikung bukanlah hal yang asing di telinga kita. 

Hanya ada 2 pilihan, tertikung atau menikung. Tragisnya, hal ini kadang dilakukan oleh orang yang dekat dengan kita. Menikung dan ditikung bukanlah fenomena baru dalam kehidupan manusia, tetapi pola ini sudah muncul dalam Alkitab Perjanjian Lama, artinya sudah lama dari zaman jebot. Mari kita menyoroti Yakub, tokoh yang merupakan manifestasi dari pola ini, si penikung ulung.

Jacob the Heel Grabber
Nama Yakub berasal dari bahasa Ibrani Ia’akov yang memiliki arti supplanter, yaitu orang yang merebut milik kepunyaan orang lain (dalam bahasa zaman now adalah penikung).[1] Nama ini diperoleh Yakub karena ia menarik tumit kakaknya, Esau, pada saat mereka dilahirkan. Sepanjang hidupnya, Yakub dipenuhi dengan pergumulan untuk mencari, merebut, dan mendapatkan hal yang ia harapkan. Jauh sebelum Yakub lahir, ia sudah berkelahi dengan Esau di dalam kandungan sehingga membuat Ribka sangat kesakitan sampai ingin mati.[2] 

Sebenarnya Ribka itu mandul, tetapi suaminya terus berdoa baginya. Ketika Tuhan mengabulkan doa suaminya, justru hidupnya malah menderita. Ribka pun berteriak kepada Tuhan, dan jawaban Tuhan sungguh mengagetkan. Allah berfirman bahwa ada dua bangsa dalam rahimnya, yang tua akan menjadi hamba yang muda. Ternyata kesakitan yang diderita Ribka adalah hal kecil jika dibandingkan dengan apa yang akan terjadi setelahnya, yaitu anak-anaknya akan menentukan masa depan bangsa-bangsa. 

Kita mungkin sering bertanya, "Jika ini adalah benar kehendak Tuhan, mengapa begitu berat dijalani?" Pimpinan Tuhan sering kita asosiasikan dengan kemudahan, kelancaran, sukacita, atau masa depan cerah penuh bahagia. Padahal Alkitab sering mengisahkan bahwa beratnya hidup adalah tanda Tuhan sedang bekerja.[3] Manusia sering kali salah berfokus, kita berfokus kepada penderitaan yang sedang kita alami dan gagal melihat apa yang Tuhan sedang ingin kerjakan di balik fenomena penderitaan tersebut.

Sejak dalam kandungan, Yakub sudah berusaha menikung posisi kesulungan, bahkan sampai proses kelahiran pun Yakub tetap menarik tumit Esau yang sudah keluar terlebih dahulu.[4] Tumit di sini mengingatkan kita pada perjanjian Allah dengan Adam di mana ular akan meremukkan tumit dari keturunan perempuan.[5] Yakub berusaha untuk merebut posisi pihak lain seperti usaha setan merebut posisi Allah.[6] 

Selain itu, setan – yang adalah bapa dari segala dusta – hadir dalam karakter penipu dari Yakub.[7] Melihat pola ini, seharusnya orang tuanya waspada terhadap perkembangan karakter Yakub, yang walaupun merupakan garis keturunan Mesias, namun mempunyai ciri keturunan ular. Alkitab kemudian mengisahkan Esau dan Yakub yang tumbuh dengan sangat berbeda. Adalah suatu hal yang baik jika mereka bisa mengembangkan potensi masing-masing. 

Namun, justru orang tua mereka malah menciptakan situasi yang tidak kondusif bagi pertumbuhan spiritual Esau dan Yakub.[8] Mungkin memang sulit bagi Ishak yang mencintai hidup berpetualang untuk bisa mengapresiasi Yakub, demikian juga sulit bagi Ribka untuk mengapresiasi Esau. Tetapi bukannya berkomunikasi dan mencari kehendak Tuhan, mereka justru memperlakukan anak-anak mereka sesuai preferensi masing-masing. Tidak ada kesehatian dalam keluarga; yang ada hanyalah kompetisi.

Kisah keluarga ini terus berlanjut. Setelah melakukan perburuan seharian, dengan perut lapar Esau pulang dan Yakub tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Yakub berhasil menikung hak kesulungan kakaknya yang berharga itu dengan semangkuk sup kacang merah. Banyak hal ironis yang kita jumpai di sini. Yakub mungkin peka bahwa Tuhan telah berjanji kalau ialah yang akan menerima hak kesulungan. 

Ia menginginkan hal yang baik, yaitu janji Tuhan dalam bentuk hak kesulungan. Sayangnya, ia tidak percaya akan waktu Tuhan dan memakai cara sendiri untuk memastikan kepemilikan hak itu dengan cara memanipulasi kakaknya untuk bersumpah kepadanya.[9] Namun di sisi lain, kita melihat bagaimana Esau terobsesi pada kebutuhan fisiknya sampai ia merendahkan hak kesulungan yang dianggapnya tidak berguna saat itu.[10] 

Dalam hidup ini, kadang kita melihat orang-orang yang sangat terobsesi pada janji Tuhan sehingga mereka melakukan segala cara untuk memperolehnya sekalipun waktunya belum tiba. Namun kita juga melihat orang-orang yang hanya memikirkan kebutuhannya sendiri dan menghina janji Tuhan kepadanya sebagai umat Tuhan.

Usai Yakub “menggenggam tumit” kakak kembarnya, tiba saatnya untuk menggenggam tumit ayahnya. Dalam Kejadian 37, dikisahkan bahwa Ishak merasa bahwa dirinya semakin tua, sehingga ia pun memutuskan untuk memberkati anaknya. Ironisnya, anak yang dipanggilnya bukanlah pilihan Tuhan, melainkan Esau, favoritnya. Bukan hanya mata jasmaninya yang rabun tetapi mata rohaninya juga. Padahal dalam pengalaman hidupnya sendiri, ia mengalami bagaimana Tuhan melewatkan Ismael dan memberikan hak kesulungan kepada dirinya sekalipun Abraham telah memohon agar Ismael-lah yang diperkenan Tuhan.[11] 

Dalam kasus Abraham, ia harus melepaskan Ismael karena itu usaha manusia, bukan pemberian Tuhan. Melepaskan sesuatu yang sudah kita usahakan dengan jerih payah memang sangat sulit. Padahal Tuhan sanggup memelihara Ismael melampaui yang Abraham mampu lakukan.[12] Sering kita tidak percaya kebijaksanaan Tuhan dan ingin mengontrol sendiri hidup kita. Hal yang sama dialami oleh Ishak. Ishak seharusnya tahu melalui firman Tuhan bahwa yang muda akan memperoleh hak kesulungan, tetapi cintanya kepada Esau membuatnya berusaha memberontak terhadap rancangan Tuhan. Atas nama cinta, manusia yang bodoh sering menolak pilihan Tuhan yang bijaksana. Pergumulan dalam memilih kehendak Tuhan atau keinginan diri ternyata dialami oleh Abraham, Ishak, dan puncaknya pada kisah Yakub nanti.

Sekali lagi, Yakub seharusnya beriman bahwa Tuhan akan memberikan berkat itu dengan cara dan waktu Tuhan. Namun ia lebih memilih ikut cara ibunya, yang sekalipun penampilan luarnya dikatakan Alkitab sangat cantik ternyata dalamnya sangat buruk.[13] Yakub awalnya menolak rencana ibunya, tetapi ironisnya bukan karena itu tindakan yang salah, tetapi karena risikonya besar. 

Diperlukan keberanian yang besar sekali untuk menipu ayahnya, karena jika gagal, bukan berkat tetapi kutukan yang didapatkan. Setelah dijamin dengan dukungan ibunya, Yakub pada akhirnya berani menipu ayahnya. Yakub hanya memulai dengan menggunakan satu kata saja, “Bapa!” karena takut identitasnya terbongkar melalui suaranya.[14] Ishak awalnya tidak percaya dan bertanya, “Siapakah kamu?” Lalu Yakub menjawab, “Esau anakmu.” 

Di sini, Yakub menipu identitasnya sendiri, sungguh ironis jika mengingat asosiasi nama Yakub. Dia tidak bisa menerima identitas dirinya dan ingin berada di posisi kakaknya Esau. Suatu motivasi tulus dari seorang anak yang mengharapkan cinta dan pengakuan ayahnya, karena selama ini ayahnya tidak pernah mencintainya.[15] Ishak menguji berkali-kali, tetapi tetap saja tidak menyadari penipuan Yakub. Matanya rabun, perabaannya tidak dapat membedakan bulu kambing dan bulu Esau, bahkan indra perasanya tidak dapat membedakan kambing ternak dan kambing buruan, sesuatu yang berkaitan dengan kegemarannya. Tetapi kebutaannya yang paling terutama adalah ia tidak lagi dapat melihat kehendak Tuhan, tidak dapat meraba pimpinan Tuhan, dan tidak dapat mengecap nikmatnya anugerah Tuhan.[16]

Setelah Ishak sadar bahwa Yakublah yang ia berkati, ia mendadak merinding ketakutan.[17] Bukan sedih, bukan marah, tetapi ketakutan. Inilah respons orang berdosa ketika Tuhan yang suci mendadak melakukan intervensi dalam hidupnya. Ia akhirnya sadar bahwa selama ini ia sudah melawan Tuhan. Bersyukur Ishak masih peka untuk mendengar suara Tuhan (seperti pendengaran fisiknya yang masih bekerja[18]). Kesadaran ini membuatnya dengan berat hati memberikan berkat yang lebih mirip kutukan kepada Esau. 

Karena ia ingat bahwa Tuhan sudah berfirman kalau Esau akan menjadi hamba Yakub sekalipun ia sangat mencintai Esau. Meski dengan meraung-raung sekalipun, inilah sesuatu yang pantas didapatkannya, karena sedari awal Esau merendahkan hak kesulungannya.[19] Selain itu, dalam hal memilih istri pun Esau nampaknya tidak memedulikan kehendak Tuhan maupun orang tuanya, sehingga ia memilih istri penyembah ilah asing. Esau menunjukkan sifatnya sebagai orang yang hanya peduli pada keinginannya dan tidak peduli keinginan Tuhan ataupun orang lain.

Tidak terima dengan kondisinya, ia ingin mencari siapa penyebab tragedi yang ia alami dan di matanya sudah jelas siapakah orang itu: sang penikung yang telah menipunya dua kali.[20] Suatu hal yang tidak bisa kita bayangkan bahwa saudara yang seharusnya saling mengasihi dan mengampuni akhirnya membenci sampai ingin membunuh. 

Pola Kain dan Habel sepertinya terulang di sini.[21] ESV memakai kata comforts himself untuk menjelaskan psikologi Esau.[22]Membenci dan menyakiti adalah cara manusia berdosa untuk mencari comfort dalam dirinya yang telah disakiti. Dalam dunia berdosa ini, kadang kita sering ditipu dan disakiti oleh orang lain entah dalam sekolah, pekerjaan, bisnis, persahabatan, dan lain-lain. Dan terkadang manusia mempunyai dorongan kuat untuk balas menyakiti dengan lebih kejam. Ini juga yang dirasakan oleh Esau. 

Sementara Yakub berpikir ia telah mendapatkan hak dan berkat kesulungan, maka berkat Tuhan akan turun atas dirinya, tetapi kenyataannya sekarang ia harus melarikan diri dengan tidak memperoleh apa-apa. Ia kehilangan semuanya, bahkan hak untuk tinggal aman sebagai anak di keluarga itu pun telah lenyap. Ia berpikir telah menikung hak Esau, tetapi seluruh haknya malah tertikung. Sebenarnya tikungan pertama ia peroleh dari ibunya sendiri. 

Dalam peristiwa ini, tanpa ia sadari ia sudah dijebak oleh manipulasi ibunya sendiri. Ribka mempunyai nama yang dalam bahasa Ibrani berarti mengikat atau menjebak.[23] Ribka yang merasa mempunyai kontrol atas hidup anaknya akhirnya malah tidak bertemu anaknya lagi selamanya. Yakub harus lari dan kehilangan keluarganya untuk menghindari murka Esau. 

Orang tua biasanya memiliki sifat seperti ini, mereka ingin memberikan yang mereka anggap baik kepada anaknya sehingga cenderung mengatur masa depan anaknya, padahal sering kali hal itu menunjukkan ketidakpercayaan kita kepada penyertaan Tuhan secara pribadi atas anak tersebut. Kita bisa melihat bahwa seluruh keluarga ini, baik Ishak, Ribka, Yakub, maupun Esau, adalah keluarga yang terpecah dan berantakan dengan dosa masing-masing. Tetapi bersyukur Tuhan masih mengasihi dan ingin memakai Yakub, sehingga Ia mencabut Yakub dari situasi keluarga yang toxic ini agar Yakub bisa bertumbuh melalui cara Tuhan.

Reflection
TUHAN tidak pernah lupa dan ingkar akan janji-Nya. Yakub yang sedang dalam pelarian bermimpi ada tangga turun dari sorga sampai ke bumi. TUHAN turun dan masuk dalam hidup orang berdosa seperti Yakub. Sebenarnya, dalam situasi Yakub sekarang, adalah sangat layak jika Allah yang adil mencari dan menghukum Yakub, tetapi justru sebaliknya yang terjadi. 

Yakub beroleh berkat yang melampaui berkat Ishak, yaitu perjanjian Allah kepada Abraham.[24]Ia yang tanpa tempat tinggal dijanjikan tanah, ia yang seorang diri dijanjikan keturunan, ia yang seorang perampas berkat orang lain dijanjikan akan menjadi berkat bagi seluruh bangsa, dan terutama ia yang tidak berdaya akan disertai oleh TUHAN.[25] 

Itulah Allah kita, Allah yang penuh kasih karunia terhadap umat-Nya yang berdosa. Sebelumnya Yakub hanya mendengar dari kakek dan ayahnya tentang siapakah TUHAN yang mereka sembah, tetapi inilah pertama kalinya Yakub berjumpa secara personal dengan TUHAN. Yakub terbangun dan ketakutan lalu ia segera mendirikan tugu batu dan bernazar untuk merespons perjanjian dengan Allah.[26] Ia segera berespons ketika firman Tuhan datang, berbeda dengan ayahnya yang tidak peka terhadap firman Tuhan. Sekalipun kerohanian kita naik turun seperti hidup Yakub, asalkan memiliki kepekaan akan firman Tuhan, itu jauh lebih baik dari pada hidup lancar yang tidak peka pada firman Tuhan seperti Ishak.

Kisah Yakub belum berakhir di sini. Di bagian kedua akan dibahas tikung-menikung dalam kehidupan percintaannya. Sebelum mengakhiri bagian pertama ini, Sinclair Ferguson melihat ada suatu kaitan menarik antara pribadi Kristus dengan Yakub dalam Surat Filipi:[27]

who, though he was in the form of God, did not count equality with God a thing to be grasped, but emptied himself, by taking the form of a servant, being born in the likeness of men. – Philippians 2:6-7 (ESV)

Yakub mempunyai tendensi untuk terus menipu, merebut, mendapatkan semua yang diinginkannya, tetapi Kristus mempunyai karakter yang sebaliknya, karena Ia bahkan tidak mempertahankan milik-Nya, tetapi rela melepaskan semuanya. Kristus benar-benar adalah the greater Jacob yang dinantikan perempuan Samaria di sumur Yakub.[28]Kristus tidak hanya menebus kegagalan Yakub, tetapi juga menebus kegagalan kita semua

Bayangkan jika apa yang Anda harap-harapkan akhirnya ditikung oleh orang lain, entah itu beasiswa, pekerjaan, atau misalnya pujaan hati Anda yang menikah dengan orang lain. Sedih, kesal, marah–semua perasaan bercampur aduk menjadi satu. Lagi-lagi, tema tikung-menikung kita jumpai pada babak selanjutnya dalam kisah kehidupan Yakub: pencarian pasangan hidup. Kali ini kita akan melihat bagaimana pernikahan Yakub harus berakhir dengan ditikung oleh orang yang dekat dengannya.

Di kisah sebelumnya, kita melihat bagaimana Yakub yang adalah seorang pendosa mengalami peristiwa spiritual yang menakjubkan. Yakub mendapat mimpi dan melihat tangga yang turun dari sorga sampai bumi, di mana pertama kalinya ada titik kontak antara sorga dan bumi, yang sebenarnya adalah bayang-bayang dari Kristus.[1] 

Sebelumnya kita ingat bahwa pernah ada usaha manusia untuk menghubungkan bumi dan sorga melalui pembangunan Menara Babel. Tetapi itu adalah usaha yang sia-sia, karena jarak sorga dan bumi adalah jarak spiritual, bukan jarak geografis. Demikian juga tangga yang mencapai langit ini bukanlah suatu tangga yang bersifat geografis karena Tuhan melampaui ruang dan waktu. 

Prinsip ini berbalikan dengan Menara Babel, karena hanya Tuhanlah yang mampu menemukan manusia, sebaliknya tidak ada usaha apa pun yang manusia mampu lakukan untuk menemukan Tuhan. Tetapi meskipun dia telah mengalami perjumpaan personal dengan Tuhan, hal itu tidak serta-merta mengubah hidupnya. Setelah Yakub mengalami pengalaman spiritual yang spektakuler, nama Tuhan tidak muncul lagi dalam bagian narasi kehidupan Yakub yang selanjutnya.[2] 

Ia adalah orang yang baru saja mengalami pengalaman spiritual, tetapi perjumpaannya dengan Tuhan tidak memiliki signifikansi apa-apa dalam kesehariannya. Sering kali hidup kita juga demikian, di satu sisi kita mengikut Tuhan, di sisi lain kita hidup dengan cara kita sendiri. Di daerah baru ini, hidupnya kosong setelah berpisah dari keluarganya sehingga dalam hal ini ia harus mengisinya dengan pengejaran akan cinta. Tetapi justru dalam pergumulan inilah Tuhan terus membentuk kehidupan Yakub.

Setelah mencapai Haran, Yakub segera mencari kerabat ibunya dan kerabat pertama yang Yakub temui adalah Rahel. Ada kemungkinan Yakub menyukai Rahel sejak pertama kali bertemu. Sangat umum bagi laki-laki untuk tebar pesona demi menarik perhatian wanita. Reaksi pertama yang Yakub lakukan ketika bertemu Rahel adalah dia menunjukkan dominasinya dengan cara menggulingkan batu penutup sumur yang hanya bisa digulingkan oleh beberapa laki-laki. 

Alkitab mencatat pada saat itu para penggembala belum memberi minum domba-dombanya karena masih menunggu semuanya berkumpul dan dikatakan juga karena batu itu sangat besar.[3] Ketika Rahel datang, dikatakan Yakub menggulingkan batu itu seorang diri dan memberi minum domba-dombanya.[4] Kita sering melihat pola alpha maledalam dunia binatang, di mana terdapat kompetisi untuk berebut naik dalam hierarki kekuasaan dan yang di atas memiliki kesempatan lebih untuk mendapatkan si betina. 

Kita bisa melihat pola yang sama di dunia manusia; bahwa wanita lebih tertarik kepada laki-laki yang perkasa, cerdas, sukses, dan sebaliknya, laki-laki mengejar wanita tercantik. Relasi Yakub dan Rahel tidak lebih daripada ketertarikan natural. Dalam menggumulkan relasi, orang beriman seharusnya berbeda dengan dunia berdosa pada umumnya dan mempunyai karakteristik yang melampaui hal itu. Dalam menggumulkan hal ini pun tidak dicatat Yakub melibatkan Tuhan.

Kita tahu bahwa dalam kisah sebelumnya, Yakub selalu berada di dalam bayang-bayang kakaknya. Kakaknya adalah pemburu yang gagah perkasa sedangkan ia hanyalah anak rumahan. Tetapi ternyata di negeri yang baru ini, ia telah menjadi orang yang paling perkasa dan bukan lagi si anak mami. Benarkah secepat itu Yakub berubah? Pada kenyataannya, perubahan yang terjadi hanyalah fenomena lahiriah saja, karena dari kehidupannya dapat dilihat bahwa ia masih adalah Yakub si penikung yang sama. Still the same old Jacob.

Mungkin sekali standar keperkasaan di Kanaan dan di sekitar keluarga Abraham dan Ishak jauh melampaui standar keperkasaan di negeri ini. Dalam banyak kasus, orang yang kalah bersaing di suatu daerah yang sangat kompetitif akan mencari daerah lain yang lebih rendah standarnya, di mana ia bisa menjadi yang terbaik dan tidak merasa terancam. Sama seperti Yakub yang lari dari ancaman Esau yang lebih kuat darinya. 

Dalam kasus lain sering terjadi juga orang terbaik di suatu wilayah yang terbelakang akan mencari kesempatan di negeri lain yang lebih kompetitif untuk mengembangkan potensi dominasinya. Talent flow semacam ini akan membuat daerah yang maju semakin maju dan yang terbelakang semakin terbelakang. Orang percaya memang tidak bisa lepas dari permainan dan persaingan dunia. Tetapi kita tidak boleh hanya mempertimbangkan aspek survival. Terkadang justru kita harus setia bersaksi di sekitar orang yang secara performa lebih dari kita, namun juga siap turun inkarnasi dalam lingkungan yang jauh di bawah harapan kita.

Tidak lama setelah itu, Yakub bertemu ayah dari Rahel, yaitu Laban yang merupakan saudara ibunya. Kita sudah familier dengan Laban ketika hamba Abraham mencarikan istri untuk Ishak. Sejak awal, matanya selalu terpaku pada hal material seperti perhiasan.[5] Ia tidak melihat ikatan kovenan Abraham dengan Allah, tetapi berlimpahnya harta yang Abraham miliki. 

Ketika Laban menjumpai Yakub, mungkin ia kecewa karena Yakub tidak membawa apa-apa. Tetapi setelah Yakub menceritakan masa lalunya, Laban melihat kedekatan antara dirinya dan Yakub yang merupakan penikung yang tamak. Karena itu ia memanggil Yakub “dagingku dan tulangku”, mengingatkan kita pada kata-kata Adam kepada Hawa.[6] Sekarang mata Laban melihat potensi pada tenaga dan otot Yakub ketika mendengar kisah Yakub menggulingkan batu besar dan juga kepolosan Yakub yang sekarang sedang jatuh cinta kepada anaknya. 

Laban, seorang manipulator berpengalaman, melihat potensi sekaligus kelemahan Yakub sebagai kesempatan baik untuk dimanipulasi. Laban hanya melihat orang lain sebagai objek yang bisa dimanfaatkan untuk memperkaya dirinya. Laban memperalat saudaranya, Ribka, untuk memperoleh perhiasan Abraham. Ia juga memperalat anak-anaknya yaitu Lea dan Rahel, untuk menyandera Yakub. Ini bukanlah hal yang mengherankan, Yakub menikung karena dia terlebih dahulu terperangkap oleh tipu daya ibunya yang tak lain tak bukan adalah saudara Laban. Mereka semua adalah bagian dari keluarga penipu.

Laban mulai memanipulasi Yakub dengan bertanya apakah upah yang Yakub inginkan untuk bekerja baginya. Yakub, yang dikatakan cinta kepada Rahel, menjawab bahwa ia rela bekerja selama tujuh tahun untuk memperoleh Rahel.[7]Tetapi kita akan melihat dalam bagian berikutnya bahwa sebenarnya ia tidak benar-benar mencintai Rahel, semua pengejaran ini hanyalah untuk mengisi kekosongan hatinya. Tujuh tahun bekerja setara dengan 126 syikal, yaitu sekitar empat kali lebih mahal daripada mahar anak gadis di zaman itu, yang menunjukkan bahwa Yakub tidak berpikir rasional dalam menawar.[8] 

Laban sebenarnya tidak pernah sekalipun berkata “ya” atas tawaran Yakub. Laban hanya berkata, “Lebih baik ia kuberikan padamu daripada orang lain,” untuk memanipulasi Yakub yang bahkan sudah tidak dapat menawar dengan rasional.[9] Betapa licik dan lihainya Laban! Setelah tujuh tahun berlalu, Yakub meminta apa yang menjadi upahnya kepada Laban dengan menggunakan kata vulgar dan sudah menjadi skandal di kalangan rabi-rabi sejak dahulu.[10] 

Ini menunjukkan bahwa Yakub ingin menikahi Rahel bukan karena ia mencintai Rahel, tetapi karena ia ingin melampiaskan birahinya dengan Rahel. Hati Yakub kosong, sehingga ia berpikir sekslah yang akan memberinya kepuasan sejati. Sebaliknya bagi Laban, anak-anaknya hanyalah objek yang bisa diperjualbelikan seperti pelacur, khususnya bagaimana ia berusaha menjual “komoditas tak laku” yang selama ini menjadi beban dalam hidupnya yaitu Lea.

Di perikop sebelumnya, penulis Kejadian tiba-tiba mengubah fokus cerita pada perbandingan Lea dan Rahel.[11] Lea adalah pribadi yang minder. Dikatakan, sejak kecil ia selalu hidup dalam bayang-bayang adiknya yang selalu melampaui dia baik dalam karakter maupun kecantikan.[12] Sebaliknya, dikatakan bahwa Rahel itu elok, tidak hanya parasnya tetapi juga sikapnya. 

Sedangkan Lea dikatakan matanya tidak berseri, sebenarnya dalam bahasa Ibrani artinya lebih kompleks dari itu.[13] Talmud Yahudi mengaitkan bentuk matanya dengan anak yang terlalu sering menangis meratapi nasibnya.[14] Kadang kita bisa melihat kaitan antara paras dan karakter. Anak yang cantik atau berbakat akan sering memperoleh pujian sejak kecil. Sementara anak yang tidak elok seperti Lea, akan sering memperoleh ejekan ataupun cacian sejak kecil. 

Ini akan memengaruhi pembentukan kepribadian anak tersebut. Mungkin anak ini akan terbiasa berkata-kata kasar atau penuh kepahitan dan hal-hal negatif, sehingga membuat orang di sekitarnya tidak terlalu nyaman berada di dekatnya, lalu menganggap karakter anak ini buruk. Lalu bisa kita lihat bahwa pengaruh ini menurun, di mana anak-anak Lea berkarakter buruk jika dibandingkan anak-anak Rahel. Namun, hal-hal yang kelihatan di luar ini belum tentu menunjukkan apa yang sebenarnya di dalam hati orang tersebut. Bahkan nanti bisa kita lihat sekalipun karakter Lea tidak terlalu baik, ia memiliki kebesaran hati jauh melampaui Rahel yang tetap tidak puas meskipun telah memperoleh hal-hal yang baik.

Dalam kisah ini kita melihat usaha Laban untuk menjual Lea. Ia harus memutar otak dagangnya untuk bisa membuat komoditas yang tidak laku ini terjual. Namun, bukan memakai promosi seperti buy one get one free, Laban justru memakai hidden terms and conditions: jika ingin membeli Rahel, maka Lea harus dibeli dahulu dengan harga yang sama. Dan kita tahu pada akhirnya strategi dagang ini berhasil, dan pernikahannya dengan Rahel berhasil “ditikung” oleh Lea. Keesokan paginya, ia terkejut dan melabrak Laban. Tetapi Laban tidak khawatir karena sudah banyak pengalaman menipu dan memang sejak awal tidak jelas perjanjiannya apa. 

Laban hanya berkata bahwa kebiasaan di sini kakak dinikahkan terlebih dahulu barulah adik. Jawaban ini menusuk tepat pada trauma masa lalunya. Dia adalah adik, sama seperti Rahel dan dia ingin Rahel melangkahi kakaknya sama seperti dia melangkahi Esau. Laban menipunya sama persis seperti ia menipu Ishak. Sama seperti Ishak menyentuh dan mencium Yakub dalam kebutaan dan tertipu, maka ia menyentuh dan mencium Lea dalam kegelapan dan tertipu. 

Dalam Midrash Yahudi dikisahkan terdapat dialog imajiner antara Yakub dan Lea. Ketika Yakub marah pada Lea, ia hanya menjawab bahwa tidak mungkin ada murid tanpa guru. Ketika Ishak memanggil Esau dalam kegelapan, Yakub menjawab. Maka sekarang ketika Yakub memanggil Rahel dalam kegelapan, Lea menjawab.[15] Perlakuan yang sama persis seperti yang ia lakukan di masa lalu. Sekarang ia tahu bagaimana rasanya ditipu, dikhianati, dan ditikung oleh kerabatnya sendiri. Terkadang Tuhan membalikkan perlakuan kita kepada orang lain untuk menunjukkan betapa jahatnya kita.

Yakub mungkin bertanya dalam hatinya, “Tuhan mengapa hal ini terjadi padaku, bukankah Engkau berjanji untuk menyertaiku?” Penyertaan Tuhan tidak selalu berarti hidup akan menjadi lancar. Kita masih hidup dalam dunia berdosa yang penuh kejahatan dan cobaan. Yakub mudah sekali ditipu sekalipun telah mengalami perjumpaan dengan Tuhan. 

Ia belum dewasa secara rohani, masih bergantung pada pemikirannya sendiri dan bukan bersandar pada hikmat Tuhan. Dari kisah ini kita bisa belajar bahwa kita sangat membutuhkan hikmat Tuhan untuk hidup dalam dunia yang jahat. Tetapi di sisi lain kita juga harus ingat bahwa Tuhan telah berjanji untuk tidak meninggalkan Yakub. Kita bisa melihat bahwa sekalipun Tuhan seperti tidak beserta dengan Yakub, tetapi Tuhanlah yang menjalin semua peristiwa ini untuk membentuk karakter Yakub yang rusak. Tuhan ada dalam situasi ini sekalipun Yakub tidak lagi melibatkan Tuhan dalam hidupnya. Tuhan bisa memakai kejahatan dan dosa manusia untuk menggenapkan rencana-Nya.

Melihat kelemahan Yakub, Laban secara licik menawarkan Rahel sebagai upah untuk tujuh tahun bekerja lagi padanya.[16] Banyak yang berpikir Yakub bekerja selama empat belas tahun sebelum memperoleh Rahel, tetapi sebenarnya Rahel diberikan seminggu setelah pernikahannya dengan Lea.[17] Laban penipu ulung tahu bahwa Yakub tidak akan lagi mudah percaya padanya. 

Jadi Rahel diberikan cepat agar Yakub tidak meninggalkannya untuk tujuh tahun lagi. Yang Laban inginkan hanyalah memperbudak orang-orang terdekatnya. Dalam hal ini, seolah-olah Yakub telah memperoleh impiannya yaitu menikah dengan gadis idamannya. Namun, ternyata kehidupan pernikahannya tidak seindah yang ia bayangkan. Dalam artikel selanjutnya, akan dibahas bagaimana justru pernikahan yang Yakub harapkan ini ternyata menjadi bencana dalam hidupnya. Ya, bencana; karena tikung-menikung tidak akan pernah lepas dari kehidupannya, tak terkecuali kehidupan pernikahannya.

Yakub memulai dengan motivasi yang salah. Sesuai namanya, ia terus berusaha mengejar dan mengambil semua hal untuk mengisi hidupnya yang kosong. Yakub miskin cinta sehingga ia mengejar cinta. Keluarganya pun tidak sungguh-sungguh mencintainya, karena itu ia mencari sumber cinta dari tempat yang lain–dan sayangnya Yakub salah. Ia rela mengorbankan apa pun bahkan memberikan tawaran tidak rasional demi mendapatkan cinta. Tetapi apakah benar cinta yang didapatnya? Nyatanya dalam pengejaran cintanya itu, ia memperoleh penipuan dan kesia-siaan. 

Sungguh ironis! Tetapi sebaliknya, hidup Kristus sangat penuh dengan cinta kasih; dan dari starting point inilah Ia mengisi hidup manusia yang kosong dengan cinta-Nya. Kristus tidak pernah tertipu dan tahu betul harga yang harus Ia bayar, tetapi Ia tetap rela mengorbankan hidup-Nya. Jika Yakub rela bekerja tujuh tahun demi kekasihnya, maka Kristus lebih lagi karena Ia rela menderita dan mati untuk gereja-Nya.[18] Kita yang sekali lagi disadarkan akan hal ini, sebagai gereja, apakah yang menjadi respons kita? Terus mencari cinta pada tempat yang salah, atau berbalik kepada Sang Kasih itu sendiri? Sola gratia.

Dalam keluarga, relasi, pekerjaan, sekolah, atau mungkin pelayanan, kadang kita bisa terperangkap dalam situasi penuh frustrasi dan persaingan. Tragedi saling merampas antaranggota keluarga sering kita dengar, mulai dari perebutan kekuasaan, baik di level kerajaan seperti Hamlet maupun di rumah tangga. Ditambah lagi jika kitalah pecundang yang selalu kalah, mudah ditikung orang lain, bahkan tidak disukai semua orang. 

Dalam artikel sebelumnya dibahas bagaimana pernikahan Yakub dengan Rahel terlebih dahulu ditikung oleh Lea. Kita mungkin berpikir bahwa posisi Rahellah yang ditikung oleh Lea. Tetapi sebenarnya Lea pun dikorbankan ayahnya untuk memperbudak Yakub. Kalau kita amati, pernikahan ini hanyalah kegiatan berdagang, tidak ada cinta di dalamnya. Yakub tidak pernah mencintai Rahel ataupun Lea. Pada akhirnya nanti ia meninggalkan semua istri dan anak-anaknya untuk dijadikan tameng terhadap Esau dan sembunyi seorang diri. 

Rahel pun sebenarnya tidak mencintai Yakub. Rahel pasti mengetahui rencana busuk ayahnya karena harusnya dia yang dinikahkan. Dia rela menipu Yakub dan dijadikan istri kedua demi kepentingan keluarganya. Lea pun sama, ia tidak pernah mencintai Yakub. Ia hanya dipakai ayahnya untuk membeli tenaga Yakub selama tujuh tahun. Ia harus terjebak dalam pernikahan penuh air mata ini dan bersaing dengan adiknya untuk memperoleh pengakuan akan identitas dirinya. Ia hanya ingin diakui bahwa ia adalah perempuan yang berharga. Mirip dengan keluarga Ishak yang terpecah. Kali ini kita melihat pola yang sama persis, perpecahan dalam keluarga Yakub: ada kubu Lea dan ada kubu Rahel.

Bagian ini dimulai dengan kalimat TUHAN melihat Lea tidak dicintai.[1] Bahasa Inggris memakai istilah yang lebih kuat: dibenci. Tetapi bahasa aslinya memiliki nuansa legal, seolah-olah Lea bukan istri utama dan bisa saja diceraikan sewaktu-waktu.[2] Tuhan melihat dalam diam-Nya (God’s silence) penderitaan batin yang Lea alami. Kata “TUHAN” di sini bukan sekadar pencipta secara general tetapi adalah nama kovenan, Tuhan yang berelasi dengan umat-Nya.[3]

Dalam bagian sebelumnya seakan-akan Tuhan menghilang dari kehidupan Yakub, kali ini nama Tuhan muncul kembali. Dalam situasi di mana kehadiran Tuhan tidak dirasakan, di situlah Tuhan sedang bekerja di balik layar. Justru ketika tidak ada yang mencintai Lea, di saat itulah Tuhan membuka kandungannya. Tiba-tiba kita melihat bahwa ada sesuatu yang Lea miliki yang Rahel tidak miliki. Lalu Lea menamai anaknya Ruben, karena ia berharap akan dicintai suaminya dan Tuhan telah memperhatikan kesengsaraannya.[4] 

Ruben secara literal artinya lihat anak ini (ra’a ben), tetapi ada juga alternatif terjemahan Tuhan melihat sengsaraku (raa beonyi). Karena anak berkaitan dengan ahli waris, Lea berpikir bahwa anaknya akan memberikannya kekuatan legal untuk bersaing dengan Rahel. Tetapi ternyata satu anak ataupun banyak anak tidak ada artinya bagi cinta Yakub. Lalu Lea mengandung lagi dan memberi nama anaknya Simeon.[5] Nama ini memiliki akar kata mendengar (shema). Lea ingin menunjukkan bahwa Tuhan tidak hanya melihat, tetapi mendengar bahwa ia tidak dicintai. Dia hanya ingin menunjukkan bahwa Tuhan ada di pihaknya. Dalam konflik, kita sering memakai nama Tuhan hanya untuk menunjukkan kita di posisi yang benar meskipun kita tidak begitu tertarik dengan apa yang Tuhan kehendaki.

Lalu Lea mengandung lagi dan memberi nama anaknya Lewi yang mempunyai akar kata menempel.[6] Ia berkata, “Kali ini suamiku akan lebih erat.” Kali pertama gagal, kedua gagal, kali ini pasti berhasil. Ia terus berharap pada arah yang salah yang tidak mungkin memuaskannya. Berapa kali kita terus berkata dahulu memang saya salah tetapi “kali ini”, sambil terus mengejar berhala kita? Tetapi akhirnya Lea berubah, karena ia mengandung lagi dan menamai anaknya Yehuda.[7] 

Lea sekali lagi berkata, “Kali ini,” tetapi ada sesuatu yang berbeda karena arah hatinya bukan lagi kepada Yakub tetapi aku akan bersyukur pada Tuhan. Kita kadang terus mengejar dan mengejar, tetapi makin kita memperoleh, kita makin kosong. Sampai kita mencari kepuasan di dalam Tuhan, sesungguhnya tidak ada hal yang cukup bagi kita. Tuhan tidak tertarik memberi yang kita mau, tetapi mengubah hati kita. Meskipun kita terus menekan anugerah Tuhan, tetapi Tuhan tidak akan pernah gagal mengubah kita. 

Tetapi cerita ini tidak berhenti di pasal ini. Di pasal berikutnya, mulailah terlihat bahwa Rahel khawatir posisi legalnya terancam, karena ia tidak memiliki anak walaupun ia sudah memiliki Yakub. Apa yang ada di hati sering kali tidak kita ketahui, tetapi dari tindakan dan kata-kata termanifestasikan isi hati kita. Rahel mengancam Yakub kalau ia akan mati jika Yakub tidak mau memberinya anak. Rahel mulai mencari-cari siapa yang membuatnya mandul dan tuduhan jatuh pada Yakub. 

Ironisnya, nanti ia akan benar-benar mati setelah melahirkan anak keduanya (Benyamin). Lalu Yakub membentak, “Akukah pengganti Allah?”[8] Yakub menjawab dengan jawaban yang benar secara theologis, tetapi dengan spirit yang salah. Berbeda dengan Ishak yang tidak bertheologi namun hanya mendoakan Ribka,[9] Yakub memakai theologi untuk melemparkan kesalahan kepada Tuhan. Kita melihat di sini bahwa memiliki theologi yang benar belum tentu memiliki spiritualitas yang baik.

Rahel lalu memberikan budaknya Bilha bagi Yakub yang mengingatkan kita pada kesalahan Sara.[10] Rahel pasti tahu dari masa lalu bahwa ini cara yang salah, namun ia sudah tidak peduli, cara apa pun boleh asal keinginannya berhasil. Cara ini seolah-olah berhasil menghasilkan dua anak: Dan yang artinya keadilan, Naftali yang artinya aku berjuang dan menang.[11] Ia menamai anaknya berdasarkan menang kalah dari kakaknya. Sama seperti Lea, sekalipun membawa-bawa nama Tuhan, tetapi sebenarnya hanyalah manifestasi berhala yang ada dalam hatinya. 

Terkadang kita juga menaruh identitas kita pada rival kita. Dalam kehidupan penuh kompetisi, entah di rumah, sekolah, ataupun pekerjaan, kita sering mencari makna hidup melalui mengalahkan orang lain. Seluruh kebahagiaan kita bergantung kepada orang tersebut. Jika kita kalah, hati kita hancur, jika kita menang, kita menjadi sombong. Lea yang tadinya sudah berpuas dalam Tuhan akhirnya merasa terancam karena sudah tidak bisa melahirkan anak dan kembali ke berhala lamanya. 

Bahkan, Lea membalas dendam dengan meniru cara Rahel yang jelas-jelas salah namun terlihat membuahkan hasil, maka ia memberikan budaknya, Zilpa.[12] Meskipun Lea terlihat sudah lepas dari berhalanya, tetapi akhirnya dia kembali lagi dan malah lebih parah dari kondisi sebelumnya. Zilpa menghasilkan anak yang diklaim Lea sebagai kemenangannya dan dinamainya Gad yang artinya keberuntungan dan Asher yang artinya bahagia.[13] Namun kali ini nama Tuhan sudah tidak muncul lagi dari mulut Lea. Ia tidak lagi mengklaim anak itu anugerah Tuhan tetapi hasil usaha dia sendiri. 

Ketika Ruben menemukan buah dudaim, Rahel tertarik dan bertanya apakah dia bisa memiliki beberapa.[14] Hanya karena perkataan sepele, tiba-tiba Lea membentak Rahel dengan tuduhan bahwa Rahel ingin mencuri buah anaknya sama seperti ia mencuri suaminya.[15] Keributan di luar hanyalah manifestasi dari masalah yang sudah berlarut-larut tertimbun di dalam. 

Hati Lea sudah sangat sakit sehingga hal apa pun bisa menjadi sumber konflik. Tuduhan mencuri di sini menunjukkan bahwa di mata Lea hanya ada “milikmu” atau “milikku”. Namun begitu Rahel melihat kelemahan Lea, ia secara licik mengajukan win-win solution dengan cara menyewakan Yakub semalam dengan harga buah ini. Baginya cinta tidak penting, yang penting menang dari Lea. Kita juga melihat bahwa Yakub, yang dahulunya membeli Lea dan Rahel, sekarang menjadi komoditi yang diperjualbelikan istrinya untuk memuaskan hasrat cinta mereka. 

Tetapi ada hal yang lebih ironis ketika Yakub disewakan hanya dengan sebuah dudaim, hal ini pasti mengingatkan dia bagaimana dia dahulu pernah menikung hak kesulungan Esau hanya dengan semangkuk sup kacang merah. Tuhan sekali lagi, lewat pertengkaran Lea dan Rahel, mengingatkan Yakub bahwa ia pun berlaku demikian kepada Esau. Kadang cara terbaik yang Tuhan pakai untuk memperbaiki suatu benang yang kusut adalah dengan membuka satu per satu lilitan luka masa lalu yang belum terselesaikan. 

Tidaklah jelas mengapa Rahel menginginkan buah dudaim ini. Dudaim berasal dari bahasa Ibrani yang artinya buah cinta. Tidak jelas buah seperti apakah yang Rahel inginkan, ada banyak perdebatan tentang jenis buah ini. Namun ada beberapa kemungkinan, pertama sepertinya buah ini dipercaya mempunyai khasiat untuk kesuburan. Kemungkinan lain buah ini mempunyai efek halusinogen untuk merayu pria. Tetapi ironisnya, sekalipun Rahel mendapatkan buah ini, Lealah yang justru memperoleh tiga anak. 

Cara-cara dunia yang Rahel pakai untuk mengejar impiannya berakhir sia-sia. Namun sekali lagi Lea pun merespons berkat Tuhan ini secara salah. Ia menamai anaknya Isakhar yang artinya upah dan Zebulon yang artinya kehormatan. Upah dan hadiah apa? Ia berpikir cara kotornya meniru Rahel dengan memakai budaknya direstui Tuhan sehingga ia pantas memperoleh upah dan hadiah.[16]

Tuhan akhirnya mengingat Rahel. Bukannya Tuhan menunda-nunda pertolongan-Nya, namun ada pelajaran yang ingin Tuhan ajarkan kepada Rahel. Kebanggaan Rahel harus dikosongkan melalui menjatuhkannya berkali-kali. Rahel masih melihat hidupnya sengsara meskipun ia memiliki semuanya. Ia adalah anak kesayangan, ia cantik dan menawan, ia disukai semua orang, ia adalah favorit suaminya, ia memiliki anak-anak yang baik, anak-anaknya pun paling disayangi. 

Sebaliknya, Lea adalah anak yang tidak disayang dan dimanipulasi papanya sendiri[17], paras dan karakternya tidak secantik dan sebaik Rahel[18], ia juga dibenci Yakub[19]. Ia juga tidak bisa mendidik anak-anaknya dengan baik sehingga anak sulungnya berzinah dengan gundik ayahnya[20], anak perempuannya sembarangan mengunjungi bangsa asing dan diperkosa[21], dua anak setelahnya menipu, membantai, dan menjarah satu kota lalu menawan seluruh perempuan di kota itu dengan memakai kedok agama[22], satu anak lagi menghamili menantunya sendiri[23]. 

Bisa dibilang tidak ada yang bisa dibanggakan dari kehidupan Lea. Rahel justru malah iri hati terhadap berkat Tuhan kepada Lea yang hidupnya sudah sangat mengenaskan, mengingatkan kita pada cerita Kain dan Habel.[24] Rahel menamai anaknya Yusuf yang artinya bertambah, yang menunjukkan semangat kompetisinya memiliki anak lebih banyak. Pada akhir hidupnya pun Rahel masih menamai anaknya Ben-Oni sebagai teriakan hidupnya penuh sengsara.[25] Rahel yang memiliki semuanya tetapi berkata, “Hidupku sengsara.” Sementara Lea yang penuh penderitaan malah sempat bersyukur.[26] Memang manusia sering gagal melihat berkat yang telah Tuhan berikan dalam hidupnya.


Kisah ini sekali lagi mengingatkan kita pada pola hostile brothers[27]. Mulai dari Kain dan Habel, keturunan Set dan keturunan Kain, keturunan Sem dan keturunan Ham, Ismael dan Ishak, Esau dan Yakub, dan sekarang antara Lea dan Rahel. Nanti persaingan ini akan dilanjutkan oleh permusuhan anak-anak Lea dan anak-anak Rahel, terutama persaingan hak kesulungan oleh Yehuda dan Yusuf. Sekalipun dalam adegan penuh konflik dan kebencian ini, narator menempatkan babak ini di posisi utama dalam narasi kehidupan Yakub. 

Karena bagian ini mencatat kelahiran anak-anak Yakub, yang akan nantinya menjadi bibit bangsa Israel, sebuah kisah besar berikutnya dalam sejarah penebusan. Kita bisa melihat kiasmus berlapis yang dibangun narator seperti diagram di bawah ini.[28]Keluarga Ishak Konflik dengan Esau Kovenan Tuhan di Betel Pertemuan dengan Laban Kontrak dengan Laban Trik Laban memperbudak Yakub Kelahiran anak-anak Yakub Trik Yakub mengambil harta Laban Perselisihan dengan Laban Perpisahan dengan Laban Berkat Tuhan di Pniel Rekonsiliasi dengan Esau Keluarga Yakub 

Inilah asal mula 12 suku. Bayangkan jika Yakub tidak tertipu, atau misalnya Lea dan Rahel bisa akur tanpa rasa iri, anak-anak persaingan ini tidak lahir. Justru Tuhanlah yang berinisiatif agar Lea dan Rahel dan Yakub saling menyakiti untuk mempersiapkan sebuah bangsa. Kita mungkin terjebak dalam sebuah situasi di mana tidak ada jalan keluar. Kita harus ingat dalam semua penderitaan kita, Tuhan bukan hanya mendengarnya tetapi juga merancangnya dan mempersiapkan kisah indah di belakangnya.

Nampaknya Lea berhasil menikung Rahel di saat terakhir. Dalam kuburan yang dibeli Abraham, Lea dikuburkan bersama Yakub.[29] Sekalipun sampai akhir ia tidak bisa memperoleh cinta Yakub di dunia, tetapi ia yang menemani Yakub sampai saat terakhir. Bahkan Tuhan memberi hal yang jauh lebih indah daripada yang ia harapkan. Lea meskipun memperoleh anak-anak bejat tetapi mereka menjadi suku-suku yang diperkenan Tuhan. Rahel memperoleh anak-anak saleh tetapi menjadi suku-suku yang melawan Tuhan. 

Dalam Kitab Hakim-hakim ditulis bagaimana suku Benyamin menjadi suku yang diperangi suku lain karena mereka beramai-ramai memerkosa istri orang lain sampai meninggal.[30] Dalam Kitab Yeremia ditulis Rahel meratap karena anak-anaknya tidak ada lagi.[31] Yeremia menceritakan pembuangan suku-suku Israel yang diwakili oleh suku Efraim dan Manasye (keturunan Rahel). 

Sebaliknya, kutukan Yakub kepada Lewi bahwa keturunannya akan tercerai-berai di antara suku-suku Israel akan diubah oleh Tuhan menjadi berkat bahwa Lewi akan dikhususkan melayani Tuhan di setiap suku.[32] Yehuda (anak Lea) menikung hak anak sulung dari Yusuf (anak Rahel) untuk meneruskan garis Mesias[33], sekalipun Yusuf menjaga diri dari istri Potifar sedangkan Yehuda berzinah dengan Tamar. 

Seandainya Lea mendapatkan apa yang dia mau, cinta Yakub, keluarga yang bahagia, mungkin saja anak-anaknya tidak jatuh dalam dosa. Tetapi pada akhirnya anak-anaknya juga tidak dipakai oleh Tuhan. Justru Tuhan mengerti segala sesuatu lebih baik dari manusia dan tidak selalu memberikan apa yang manusia anggap baik seperti keluarga yang bahagia. 

Sama seperti Lea, Yesus (keturunan Lea) adalah manusia yang tidak tampan, tidak diinginkan, dihina, dihindari, dan hidup-Nya penuh sengsara.[34] Ia ditinggalkan semua orang bahkan Allah pun meninggalkan-Nya.[35] Sama seperti bangsa Israel yang muncul dari broken home, mengapa rahasia keselamatan harus melalui jalan salib yang merupakan kehinaan bagi orang Yahudi dan kebodohan bagi orang Yunani? Karena Allah memilih yang bodoh untuk mempermalukan yang bijak, yang lemah untuk mempermalukan yang kuat, yang hina untuk mempermalukan yang mulia.[36]

Hendrik Santoso Sugiarto


[1] Ia’akov (לעקוב) memiliki akar kata akev (עֲקֵב) yaitu tumit, karena ketika Yakub lahir, ia memegang tumit Esau. Memegang tumit (grasp the heel) adalah sebuah idiom Ibrani yang berarti perebut milik kepunyaan orang lain (supplanter).

[2] Kejadian 25:22.
[3] Kejadian 39:20-21, Keluaran 5:22-6:1.
[4] Kejadian 25:26.
[5] Kejadian 3:15.
[6] Yesaya 14:4, Yehezkiel 28:2.
[7] Yohanes 8:44, Wahyu 12:9, 13:14.
[8] Kejadian 25:28.
[9] Kejadian 25:33.
[10] Kejadian 25:34.
[11] Kejadian 17:18.
[12] Kejadian 17:22.
[13] Kejadian 24:16.
[14] Kejadian 27:18.
[15] Timothy Keller, Counterfeit Gods: The Empty Promises of Money, Sex, and Power, and the Only Hope that Matters(Hodder & Stoughton, 2009), 47.
[16] The Life of Jacob: Losing the Blessing - Sinclair Ferguson: https://www.sermonaudio.com/sermoninfo.asp?SID=fpc-090907am.
[17] Genesis 27:33 (ESV).
[18] Kejadian 27:22.
[19] Ibrani 12:17.
[20] Kejadian 27:36.
[21] Kejadian 4:5-8.
[22] Genesis 27:41-42 (ESV) Now Esau hated Jacob because of the blessing with which his father had blessed him, and Esau said to himself, “The days of mourning for my father are approaching; then I will kill my brother Jacob.” But the words of Esau her older son were told to Rebekah. So she sent and called Jacob her younger son and said to him, “Behold, your brother Esau comforts himself about you by planning to kill you.”
[23] Rivkah (רִבְקָה) memiliki akar kata rbq (רבק) yaitu terikat, dan dapat pula berarti jebakan.
[24] Kejadian 28:13-15.
[25] Nancy Guthrie, The Promised One: Seeing Jesus in Genesis (Crossway Books, 2011).
[26] Kejadian 28:16-22.
[27] The Life of Jacob: The Chief of Twisters - Sinclair Ferguson: https://www.sermonaudio.com/sermoninfo.asp?SID=fpc-090207am.
[28] John 4:12 (ESV).
Yakub:Sang Penikung yang Tertikung.
Next Post Previous Post