Yesus Memikul Hukuman Dosa: Eksposisi Matius 27:46

Pdt.Budi Asali, M.Div.
Yesus Memikul Hukuman Dosa: Eksposisi Matius 27:46 . Matius 27:46 - “Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: ‘Eli, Eli, lama sabakhtani?’ Artinya: AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”.
Yesus Memikul Hukuman Dosa: Eksposisi Matius 27:46
gadget, bisnis
Ada beberapa penafsiran tentang arti kalimat di Matius 27:46:

a) Yesus tidak sungguh-sungguh ditinggal / mengalami keterpisahan dengan Allah, karena kata-kata yang Ia ucapkan itu hanyalah:

1. Perasaan Yesus saja (bahasa jawa: Yesus kroso-krosoen), atau,

2. Doa Yesus sambil mengutip Mazmur 22, atau,

3. Perenungan Yesus tentang firman Tuhan dalam Mazmur 22.

Keberatan terhadap pandangan ini: kalau demikian Yesus tidak sungguh-sungguh memikul hukuman dosa kita, karena keterpisahan dengan Allah merupakan hukuman dosa!

Calvin: “as he became our representative, and took upon him our sins, it was certainly necessary that he should appear before the judgment-seat of God as a sinner. ... there was before his eyes the curse of God, to which all who are sinners are exposed” (= karena Ia menjadi wakil kita, dan mengambil pada diriNya dosa-dosa kita, maka pastilah merupakan sesuatu yang perlu bahwa Ia tampil di hadapan takhta pengadilan Allah sebagai / seperti seorang berdosa. ... di hadapan mataNya ada kutukan dari Allah, terhadap mana semua orang yang adalah orang-orang berdosa terbuka).

b) Allah Anak meninggalkan Yesus sebagai manusia.

Dasar: Yesus berkata ‘AllahKu’, bukan ‘BapaKu’.

Keberatan terhadap pandangan ini:

1. Dalam Lukas 23:34,46 (kalimat pertama dan terakhir) Yesus tetap menyebut ‘Bapa’.

2. Dalam inkarnasi, Anak Allah mengambil hakekat manusia, yang lalu mendapatkan kepribadiannya dalam diri Anak Allah itu. Seandainya terjadi perpisahan antara Allah Anak dan manusia Yesus, maka yang tertinggal di atas kayu salib hanyalah hakekat manusia itu. Ini tidak mungkin, karena hakekat manusia tidak bisa berada sendirian!

Catatan: untuk mengerti hal ini sepenuhnya, bacalah buku saya yang berjudul MAKALAH KRISTOLOGI

3. Andaikata Yesus memang mati sebagai manusia saja, maka penebusan yang Ia lakukan tidak bisa mempunyai kuasa yang tidak terbatas!

Mazmur 49:8-9 - “(8) Tidak seorangpun dapat membebaskan dirinya, atau memberikan tebusan kepada Allah ganti nyawanya, (9) karena terlalu mahal harga pembebasan nyawanya, dan tidak memadai untuk selama-lamanya”.

Dalam text ini Kitab Suci Indonesia salah terjemahan! Bandingkan dengan terjemahan NIV di bawah ini.

Mazmur 49:8-9 (NIV - Ps 49:6-7): “(7) No man can redeem the life of another or give to God a ransom for him - (8) the ransom for a life is costly, no payment is ever enough” [= (7) Tak seorang manusiapun bisa menebus nyawa orang lain atau memberikan kepada Allah tebusan untuk dia - (8) tebusan untuk suatu nyawa sangat mahal, tak ada pembayaran yang bisa mencukupi].

Jadi, ayat ini mengatakan bahwa manusia tak bisa menebus manusia lain. Jadi, seandainya Yesus mati hanya sebagai manusia saja, maka Ia tidak bisa menebus dosa kita. Kalaupun mau dipaksakan, maka paling banter satu orang hanya bisa menebus satu orang.

Adam Clarke: “Some suppose ‘that the divinity had now departed from Christ, and that his human nature was left unsupported to bear the punishment due to men for their sins.’ But this is by no means to be admitted, as it would deprive his sacrifice of its infinite merit, and consequently leave the sin of the world without an atonement. Take deity away from any redeeming act of Christ, and the redemption is ruined” (= Sebagian orang menganggap ‘bahwa keilahian sekarang telah pergi dari Kristus, dan bahwa hakekat manusiaNya ditinggalkan tanpa dukungan untuk memikul hukuman yang seharusnya bagi manusia untuk dosa-dosa mereka’. Tetapi ini sama sekali tidak boleh diterima, karena itu akan mencabut / menghilangkan manfaat yang tak terbatas dari pengorbananNya, dan sebagai akibatnya dosa dari dunia ditinggalkan tanpa penebusan. Ambillah keilahian dari tindakan penebusan Kristus, dan penebusan itu dihancurkan).

c) Allah Bapa meninggalkan Yesus sebagai Allah dan manusia.

Wycliffe Bible Commentary: “The full import of this cry cannot be fathomed. But certainly its basis lay not in the physical suffering primarily, but in the fact that for a time Jesus was made sin for us (2 Cor 5:21); and in paying the penalty as the sinner’s substitute, he was accursed of God (Gal 3:13). God as Father did not forsake him (Lk 23:46); but God as Judge had to be separated from him if he was to experience spiritual death in the place of sinful men” [= Makna sepenuhnya dari teriakan ini tidak bisa dimengerti. Tetapi pastilah bahwa dasarnya tidak terletak terutama pada penderitaan fisikNya, tetapi pada fakta bahwa untuk sementara waktu Yesus dibuat menjadi dosa untuk kita (2Kor 5:21); dan dalam membayar hukuman sebagai pengganti orang berdosa, Ia dikutuk oleh Allah (Gal 3:13). Allah sebagai Bapa tidak meninggalkan Dia (Lukas 23:46); tetapi Allah sebagai Hakim harus terpisah dari Dia jika Ia mau mengalami kematian rohani di tempat dari manusia berdosa].

Catatan: saya tak setuju dengan kalimat yang saya garis-bawahi. Saya tak mengerti bagaimana Wycliffe bisa memisahkan Allah sebagai Bapa dan Allah sebagai Hakim!

Lenski: “The ideas that either the physical agonies or the inner mental distress of Jesus led to this cry is unsatisfactory, since men have often suffered both and yet have felt deep inner comfort in the fact that God was with them. Nor can the forsaking of which Jesus complains be only an abandonment to the wicked power of his enemies; for this would imply that Jesus had so low an idea of God and of fellowship with him that he felt his nearness only in fortunate days and lost that feeling when his enemies seemed to triumph over him. Again, this cry was not uttered only by his human nature, as though his human nature had been unclothed of the divine and left to stand alone in these three hours of agony in the darkness. Such Nestorianism misunderstands the agony suffered on the cross. Jesus does not lament that the divine nature or its divine powers have forsaken him, but that another person (‘thou’) has left him” [= Gagasan bahwa penderitaan fisik atau batin dari Yesus membimbingNya pada teriakan ini tidak memuaskan, karena manusia telah sering mengalami penderitaan dalam kedua hal itu tetapi telah merasakan penghiburan batin yang dalam di dalam fakta bahwa Allah ada bersama dengan mereka. Juga tindakan meninggalkan yang Yesus keluhkan bukan hanya suatu tindakan meninggalkan pada kuasa jahat dari musuh-musuhNya; karena ini secara tak langsung menunjukkan bahwa Yesus mempunyai gagasan yang begitu rendah tentang Allah dan tentang persekutuan denganNya sehingga Ia merasa kedekatanNya hanya dalam hari-hari yang mujur, dan kehilangan perasaan itu pada waktu musuh-musuhNya kelihatannya menang atasNya. Juga, teriakan ini tidak diucapkan hanya oleh hakekat manusiaNya, seakan-akan hakekat manusiaNya dipisahkan dari hakekat ilahiNya dan ditinggalkan untuk berdiri sendiri dalam 3 jam penderitaan dalam kegelapan ini. Demikianlah Nestorianisme salah mengerti tentang penderitaan yang diderita di kayu salib. Yesus tidak meratap karena hakekat ilahi atau kuasa ilahi telah meninggalkanNya, tetapi karena seorang pribadi lain (‘Engkau’) telah meninggalkanNya] - hal 1118.

Lenski: “Some have supposed that, when Jesus uttered this cry, he virtually tasted of death, and that this is what he had in mind when he spoke of being forsaken of God. But Jesus died, actually died later and in his actual death was not forsaken of God, for he commended his soul into his Father’s hands. ... The forsaking is often combined with the death, yet the two are quite distinct. The forsaking had been completed before the death set in. When Jesus died he placed his soul into the hands of his Father and thus was certainly not forsaken. But while they are distinct, the forsaking and the death are closely connected. The death was the penalty for the sins of the world, and thus in connection with it this forsaking of the dying Savior was necessary. After this had been endured, Jesus could cry, ‘It is finished!’ and then yield his soul into his Father’s hands” (= Beberapa orang menduga bahwa pada waktu Yesus mengucapkan teriakan ini, Ia benar-benar merasakan kematian, dan bahwa inilah yang ada dalam pikiranNya pada waktu Ia berkata bahwa Ia ditinggalkan oleh Allah. Tetapi Yesus baru betul-betul mati belakangan, dan dalam kematianNya yang sungguh-sungguh ini Ia tidak ditinggalkan oleh Allah, karena Ia mempercayakan / menyerahkan jiwaNya ke dalam tangan BapaNya. ... ‘Keadaan ditinggalkan’ ini sering digabungkan / disatukan dengan ‘kematian’Nya, tetapi keduanya berbeda. ‘Keadaan ditinggalkan’ itu telah selesai sebelum ‘kematian’ tiba. Pada waktu Yesus mati Ia menempatkan jiwaNya ke dalam tangan BapaNya dan dengan demikian jelas Ia tidak ditinggalkan. Tetapi sekalipun kedua hal itu berbeda, ‘keadaan ditinggalkan’ dan ‘kematian’ berhubungan dekat. ‘Kematian’ adalah hukuman untuk dosa-dosa dunia, dan karena itu dalam hubungan dengannya ‘keadaan ditinggalkan’ dari sang Juruselamat yang sedang sekarat itu diperlukan. Setelah ini ditanggung, Yesus bisa berteriak, ‘Sudah selesai!’ dan lalu menyerahkan jiwaNya ke dalam tangan BapaNya) - hal 1118,1120-1121.

Lenski: “We must note the difference between Jesus’ experience in Gethsemane and that on Golgotha. In the garden Jesus has a God who hears and strengthens him; on the cross this God has turned wholly away from him. During those three black hours Jesus was made sin for us (2Cor. 5:21), was made a curse for us (Gal. 3:13), and thus God turned completely away from him. ... With his dying powers he cries to God and now no longer sees in him the Father, for a wall of separation has risen between the Father and the Son, namely the world’s sin and its curse as they now lie upon the Son” [= Kita harus memperhatikan perbedaan antara pengalaman Yesus di Getsemani dan di Golgota. Dalam taman (Getsemani), Yesus mempunyai Allah yang mendengarNya dan menguatkanNya; di kayu salib, Allah ini sepenuhnya berbalik dari Dia. Selama 3 jam yang gelap itu Yesus dibuat menjadi dosa untuk kita (2Korintus 5:21), dibuat menjadi kutuk untuk kita (Galatia 3:13), dan karena itu Allah berbalik sepenuhnya dari Dia. ... Dengan kekuatanNya dalam keadaan sekarat itu Ia berteriak kepada Allah dan sekarang tidak lagi melihat sang Bapa dalam diriNya, karena suatu tembok pemisah telah muncul di antara Bapa dan Anak, yaitu dosa dunia dan kutuknya pada waktu keduanya sekarang terletak pada diri Anak] - hal 1119.

2Korintus 5:21 - “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah”.

Galatia 3:13 - “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: ‘Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!’”.

Lenski: “What is involved in the fact that God forsook or abandoned Jesus during those three awful hours no man can really know. The nearest we can hope to come toward penetrating this mystery is to think of Jesus as being covered with the world’s sins and curse and that, when God saw Jesus thus, he turned away from him. The Son of God bore our sin and its curse in his human nature, this nature supported by the divine” (= Apa yang tercakup dalam fakta bahwa Allah meninggalkan Yesus selama 3 jam yang mengerikan itu tak seorangpun bisa sungguh-sungguh mengertinya. Hal terdekat yang bisa kita harapkan untuk datang menembus misteri ini adalah menganggap Yesus sebagai ditutupi dengan dosa-dosa dunia dan kutuk, dan bahwa pada waktu Allah melihat Yesus dalam keadaan seperti itu, Ia berbalik dariNya. Anak Allah memikul dosa kita dan kutuknya dalam hakekat manusiaNya, hakekat ini ditopang oleh hakekat ilahi) - hal 1119.

Keberatan terhadap pandangan ini: terjadi perpisahan dalam diri Allah Tritunggal.

Jawaban atas keberatan ini:

1. Ini memang merupakan misteri yang tidak bisa kita mengerti sepenuhnya.

Word Biblical Commentary: “Jesus as the sin-bearing sacrifice (cf. 1:21; 20:28; 26:28) must endure the temporary abandonment of his Father, i.e., separation from God. ... it is impossible to assess what this may have meant to Jesus. This is one of the most impenetrable mysteries of the entire Gospel narrative” [= Yesus sebagai korban pemikul dosa (bdk. 1:21; 20:28; 26:28) harus menanggung keadaan ditinggalkan secara sementara oleh BapaNya, yaitu keterpisahan dari Allah. ... adalah mustahil untuk menilai apa artinya hal ini bagi Yesus. Ini merupakan salah satu misteri yang paling tak bisa dimasuki / dimengerti dalam seluruh cerita Injil].

2. Perpisahan Allah Bapa dengan Allah Anak bukan bersifat lokal, seakan-akan yang satu ada di sini dan yang lain ada di sana. Perpisahan secara lokal ini tidak mungkin terjadi karena baik Bapa maupun Anak adalah Allah yang maha ada. Jadi perpisahan ini hanyalah dalam persoalan hubungan / persekutuan saja.

Memang hancurnya hubungan / persekutuan antara Allah dan manusia merupakan hukuman dosa, dan hukuman inilah yang dipikul oleh Yesus!


Bagusnya pandangan ini:

a. Yesus betul-betul memikul hukuman dosa.

Lenski: “only thus, by actually forsaking Jesus, could the full price of our redemption be paid. To be forsaken of God is undoubtedly to taste his wrath. Jesus endured the full penalty for our sins when God turned from him for three hours while Jesus hung on the cross. During those hours the penalty was paid to the uttermost farthing; and after that had been done, God again turned to Jesus” (= hanya dengan demikian, dengan Yesus betul-betul ditinggalkan, barulah harga penuh dari penebusan kita dibayar. Ditinggalkan oleh Allah tak diragukan berarti merasakan murkaNya. Yesus menanggung hukuman penuh untuk dosa-dosa kita pada waktu Allah berbalik dariNya selama 3 jam pada waktu Yesus tergantung pada kayu salib. Selama jam-jam itu hukuman dibayar sampai sen yang terakhir; dan setelah hal itu telah dilakukan, Allah berbalik kepada Yesus lagi) - hal 1120.

Pulpit Commentary: “He was ‘left’ that he might bear man’s sins in their full and crushing weight, and by bearing save” (= Ia ‘ditinggalkan’ supaya Ia bisa menanggung dosa-dosa manusia dalam beratnya yang penuh dan menghancurkan, dan dengan menanggungnya, Ia menyelamatkan) - hal 593.

b. Karena Yesus memikul hukuman dosa itu sebagai Allah dan manusia, maka penebusanNya mempunyai kuasa yang tak terbatas!

Catatan: ini tidak bertentangan dengan doktrin Limited Atonement (= Penebusan Terbatas), karena yang di sini dibicarakan adalah kuasa penebusan, dan itu memang tak terbatas. Sedangkan dalam doktrin Limited Atonement (= Penebusan Terbatas) itu yang dianggap terbatas adalah design / tujuan dari penebusan itu.

Next Post Previous Post