HUBUNGAN ANUGERAH KESELAMATAN DENGAN PENGUDUSAN DAN PERBUATAN-PERBUATAN BAIK

Pdt.Samuel T. Gunawan,M.Th.
HUBUNGAN ANUGERAH KESELAMATAN DENGAN PENGUDUSAN DAN PERBUATAN-PERBUATAN BAIK
Kasih karunia merupakan isu doktrinal yang berhubungan dengan soteriologis (ajaran tentang keselamatan). Ajaran kasih karunia ini berdengung kembali di dalam gereja sekitar tiga dekade terakhir ini. Namun, dalam jangka waktu sekitar sepuluh 20 tahun terakhir ini dengung tersebut telah berubah menjadi sebuah gerakan (movement) dengan kehadiran para pengajar Injil Kasih karunia. 

Daftar para pengajar dari gerakan Injil kasih karunia (Grace Gospel Movement) dapat disebutkan disini antara lain : Charles R. Swindoll, Philip Yancey, Max Lucido, Joseph Prince, Clark Whitten, Steve McVey, Andrew Farley, Rob Rufus, Paul Ellis, Andrew Wommack, Bob George, Michael S. Horton, Tullian Tchividjian, Ken Legg, dan lainnya. Sebagai suatu gerakan yang baru, tentu saja bisa terjadi penyimpangan-penyimpangan. Namun bukan berarti gerakan ini tidak berasal dari Tuhan.

PENDAHULUAN: 

Kehadiran dari gerakan Injil Kasih Karunia ini telah menarik perhatian berbagai kalangan, baik yang pro maupun kontra. Bahkan dapat dikatakan bahwa isu teologis ini telah menjadi topik yang paling hangat diperbincangkan dan diperdebatkan baik dikalangan pemimpin Kristen, teolog, akademisi, praktisi, hingga kaum awam biasa. 

Inti dari perdebatan teologis ini terkait dengan hubungan-hubungan antara : 

(1) Injil dan hukum Taurat; 

(2) anugerah dan perbuatan; 

(3) hubungan dosa, pengudusan dan ketaatan. 

Michael L. Brown dalam bukunya yang berjudul Hyper Grace, telah menyebut gerakan Injil Kasih Karunia ini dengan sebutan “Hyper Grace”, dan menurutnya merupakan suatu hal yang berbahaya karena Injil telah dicampur dengan kesesatan.[1] Namun kritik dari Michael L. Brown tersebut telah ditanggapi oleh Paul Ellis dalam bukunya yang berjudul Hyper Grace Gospel.[2] 

Paul Ellis, salah seorang pengajar dalam Gerakan Injil Anugerah mengklarifikasi kritik dan tuduhan Michael L. Brown, serta memberikan jawaban yang menyatakan bahwa gerakan ini tidaklah sesat seperti yang dituduhkan. Sehubungan dengan hal tersebut, pada kesemapatan ini saya secara khusus akan menjelaskan hubungan kasih karunia dengan pengudusan, iman dan perbuatan-perbuatan baik. 

I. AJARAN KASIH KARUNIA YANG BENAR

Pertanyaan pentingnya disini adalah “apakah ciri-ciri dari ajaran kasih karunia yang benar itu?” Paling sedikit ada tiga ciri utama ajaran kasih karunia yang benar, yaitu : (1) Berhubungan dengan Pribadi dan Karya Kristus yang sempurna; (2) Pembenaran karena iman di dalam Kristus; (3) Pembenaran yang membawa kepada pengudusan.

1. Ajaran kasih karunia yang benar dalam Perjanjian Baru selalu berhubungan dengan Pribadi Kristus dan karyaNya yang sempurna (sudah selesai) di kayu salib. Yesus selalu dimuliakan saat Injil kasih Karunia diberitakan. Karena itu, di dalam kekristenan tidak ada pengajaran kasih karunia tanpa Yesus Kristus. Kita tidak dapat memisahkan Yesus Kristus dari kasih karunia. Jika ada orang-orang yang mengajarkan kasih karunia terlepas dari Kristus atau dengan kata lain tidak memuliakan Kristus dan karya-karyaNya, itu bukanlah Injil kasih karunia. 

Michael S. Horton menyatakan keprihatinannya saat mengatakan, “Namun, kaum Protestan saat ini nampaknya berasumsi bahwa Injil memberi kita sesuatu untuk dilakukan daripada suatu pemberitaan tentang yang telah digenapi, diakhiri, dan secara objektif diselesaikan bagi kita oleh Allah dalam Yesus Kristus. 

Sama dengan Konsili Trente, banyak kaum Protestan akan meneguhkan keharusan kasih karunia, tetapi menyangkal pemenuhannya... Namun, Kabar Baik adalah bahwa dalam Yesus Kristus saudara sulung kita, Allah telah menerima ketaatan penuh yang dituntut hukumNya. Tidak diperlukan lagi usaha kita! Dia telah mendapatkan setiap sen dalam kerajaan surgawi. Sesungguhnya, kita diselamatkan oleh usaha, bukan oleh niat baik, melainkan oleh usaha yang sempurna, lengkap, dan berlaku bagi setiap perintah. Namun itu adalah usaha Kristus, bukan kita, yang mengamankan warisan kekal bagi kita”.[3]

Pertanyaannya ialah: Apakah Injil kasih karunia yang diberitakan Paulus itu? Yang mana menurut Michael S. Horton, “Paulus tidak menemukan Injil ini, tetapi secara langsung ia memperolehnya dari Kristus yang telah bangkit”.[4] 

Berdasarkan Roma 1:16-17; 4:23-25; 1 Korintus 15:1-4; Galatia 1:12, bahwa karakteristik dan signifikansi Injil yang diberitakan Paulus adalah sebagai berikut: 

Pertama, karakteristik dari Injil kasih karunia itu adalah bahwa “injil itu adalah kekuatan Allah; Injil itu menyelamatkan; Injil itu adalah kebenaran Allah; Injil itu mengajarkan tentang orang yang benar hidup oleh iman; dan Injil itu adalah pernyataan Yesus sendiri” (Roma 1:16-17; Galatia 1:12). 

Kedua, signifikansi dari Injil kasih karunia itu adalah berita (kabar) bahwa “Yesus diserahkan untuk menerima hukuman mati atas pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan oleh kita manusia; Allah telah membangkitkan Kristus kemnbali dari antara orang mati; Kita akan dibenarkan (dinyatakan benar) dihadapan Allah apabila kita percaya akan berita mengenai kematian dan kebangkitan Yesus demi umat manusia itu; dan bahwa Kristus telah mati untuk dosa-dosa kita, telah dikuburkan, dan Ia bangkit kembali pada hari yang ketiga” (Roma 4:23-25; 1 Korintus 15:1-4). 

Jika kita gabungkan ayat-ayat di atas maka kita akan menemukan fakta-fakta dasar yang diberitakan rasul Paulus dalam Injil kasih karunia yang menyelamatkan itu, sebagai berikut : 

(1) Kristus telah diserahkan oleh Allah Bapa untuk menerima hukuman mati (di kayu salib) atas dosa-dosa yang telah kita lakukan (disini terjadi karya pendamaian, penggantian, penebusan, pengampunan dan pembenaran); 

(2) Kristus telah dikuburkan; 

(3) Allah membangkitkan Dia dari antara orang-orang mati pada hari yang ketiga; 

(4) Kita akan menerima kebenaran (dibenarkan oleh) Allah apabila kita percaya akan semua fakta ini. Inilah fakta penting dan sederhana; tidak perlu ada embel-embel dan tambahan lainnya dari berita Injil yang menyelamatkan. Inilah Injil kasih karunia! 

Harus diingatkan bahwa Kekristenan terutama bukan sebuah filsafat agama, pandangan hidup, sekumpulan kepercayaan dan kebiasaan. Kekristenan adalah seorang Pribadi, dan pengalaman keselamatan adalah mengalami pribadi Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus. Injil merupakan kebenaran inti dari Kekistenan ini merupakan hal yang paling signifikan bagi doktrin Alkitab yang sehat dan bagi kehidupan Kristen yang sejati. 

Hal itulah yang melindungi kita dari ajaran yang keliru dan membuat kehidupan kita terkait pada Kristus, mengidentifikasikan diri kepada Kristus, bergantung kepada Kristus, dan berpusat kepada Kristus serta menghormati Kristus. Dia akan menjadi segala-galanya dalam pengalaman kita dan dalam kehidupan kita.[5] Yesus Kristus merupakan sentralitas dalam Kekristenan sebagaimana yang dinyatakan oleh Michael Eaton, “Kekristenan adalah Kristus! Iman Kristen bukan sebuah buku, Ia bukan sebuah filosofi. Ia bukan sebuah pengalaman. Ia bukan sebuah program tindakan. Iman Kristen terutama dan pertama-tama adalah tentang seorang Pribadi, Tuhan kita Yesus Kristus, Anak Allah”.[6] 

Kristosentris atau sentralitas Kristus lebih dari sekedar prinsip penafsiran Alkitab.[7] Yesus Kristus sendiri adalah inti dari keselamatan itu. Keselamatan adalah Kristus, dan mengalami keselamatan berarti mengalami Kristus. Kristus adalah keselamatan kita dan memberikan diriNya bagi kita sebagai keselamatan kita. Di Dalam Kristus kita menerima kepenuhan Allah. Dia adalah kehidupan, kekuatan, damai sejahtera, dan sukacita kita. Dia adalah hikmat, kebenaran, pengudusan, dan penebusan kita. Dia lah hidup kekal bagi kita (1 Yohanes 5:12). 

Semua keberadaanNya menjadi milik kita pada saat kita menerimaNya dengan iman. Alkitab mengatakan, “Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam namaNya” (Yohanes 1:12). Dan lagi, “Ia, yang tidak menyayangkan AnakNya sendiri, tetapi yang menyerahkanNya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?” (Roma 8:32).[8] 

2. Dalam Injil kasih karunia, Allah mengubah orang berdosa menjadi orang benar (Roma 3:21-26) dengan cara menjadikan kita benar dalam Kristus (2 Korintus 5:21) dan memberikan anugerah kebenaran kepada orang percaya (Roma 5:17). Pada saat kita menerima Kristus, kita ditempatkan dalam Kristus, dan seketika itu juga kita dibenarkan! Jadi pembenaran bukan karena kita melainkan karena Kristus. Kebenaran Kristus yang diperhitungkan kepada kita telah memenuhi segala tuntutan Allah, dan kita menerima kebenaran ini dengan iman (Roma 5:1-2). Jadi, kebenaran yang dimiliki orang Kristen adalah anugerah (Roma 5:17). Namun, saat membicarakan tentang pembenaran maka tidak terlepas dari pengampunan. 

Pengampunan dan pembenaran walaupun merupakan dua ide yang terpisah, namun di dalam keselamatan yang dikemukakan Alkitab meru[akan aspek positif dan aspek negatif dalam satu tindakan Allah membrsihkan pendosa dari dosa-dosanya. Pengampunan adalah penghapusan atau penarikan ganjaran hukuman atas dosa, dan pembenaran adalah pernyataan secara hukum tentang kedudukan yang benar dihadapan Allah. 

Paul Enns menjelaskan bahwa, “Pengampunan merupakan tindakan legal dari Allah dimana Ia mengangkat tuduhan-tuduhan yang diberikan kepada orang berdosa karena pemuasan atau penebusan yang tepat untuk dosa-dosa itu telah dilakukan”.[9] Dasar obyektif yang menjamin pengampunan kepada semua orang percaya adalah pencurahan darah Kristus melalui kematianNya di kayu salib yang mendamaikan, karena “tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan (Ibrani 9:22).[10] 

Jadi kematian Kristus mengakibatkan pengampunan bagi orang berdosa. Allah tidak dapat mengampuni dosa tanpa pembayaran yang seharusnya. Kematian Kristus menyediakan alat yang sah secara hukum, sehingga Allah dapat mengampuni dosa.[11] 

Pengampunan untuk selamanya menyelesaikan masalah dosa dalam hidup orang percaya, yaitu semua dosa yang telah lalu, sekarang dan dimasa yang akan datang (Kolose 2:13). Ada beberapa kata Yunani yang digunakan untuk menjelaskan pengampunan, yaitu : 

(1) charizomai, yang berarti “mengampuni berdasarkan anugerah”. Dalam Kolose 2:13 mendeklarasikan bahwa Allah telah “mengampuni (kharisamenos) segala pelanggaran kita”; 

(2) aphiem, yang berarti “melepaskan atau membebaskan” atau “menyuruh pergi”. Kata ini paling umum digunakan untuk pengampunan. Bentuk kata benda ini digunakan dalam Efesus 1:7 dimana kata itu menekankan dosa orang percaya yang telah diampuni atau disuruh pergi kerena kekayaan dari anugerah Allah yang dinyatakan dalam kematian Kristus. Pengampunan adalah sisi negatif dari keselamatan, sedangkan sisi positifnya adalah pembenaran (jastifikasi).[12]

Sementara itu, pembenaran merupakan tindakan hukum Allah sebagai hakim yang mendeklarasikan orang berdosa yang percaya sebagai orang yang dibenarkan.[13] Menurut Charles C. Ryrie, “Membenarkan berarti menyatakan benar. Baik Kata Ibrani (sadaq) maupun kata Yunani (dikaioo) berarti mengumumkan putusan yang menyenangkan, meyatakan benar. 

Konsep ini tidak berarti menjadikan benar, tetapi menyatakan kebenaran. Hal itu merupakan konsep dalam persidangan, sehingga membenarkan berarti memberikan putusan benar.”[14]Tullian Tchividjian mengatakan, “Dibenarkan artinya anda selamanya benar dengan Allah, telah masuk dalam kekekalan”.[15] Rasul Paulus dalam Roma 5:1 mengatakan, “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus”. 

Menurut Jerry Bridge dan Bob Bevington, “Kata dibenarkan yang digunakan oleh Paulus artinya dianggap benar oleh Allah, meskipun dalam diri kita, kita sepenuhnya tidak benar, Allah menganggap kita sebagai orang benar karena Ia telah menunjuk Kristus untuk menjadi perwakilan dan pengganti kita. Karena itu, ketika Kristus menjalani hidup yang sempurna, dimata Allah, kita menjalani kehidupan yang sempurna. Ketika Kristus mati di kayu salib untuk membayar dosa-dosa kita, kita mati di kayu salib”.[16] 

Kata “dibenarkan” berasal dari kata Yunani “dikaiothentes“. Kata dasar “dikaioo” memiliki baik aspek negatif maupun aspek positif. (1) Secara negatif hal itu berarti mengangkat dosa orang percaya; (2) Secara positif hal itu berarti menganugerahkan kebenaran Kristus atas orang percaya (Roma 3:24,28; 5:9; Galatia2:16).[17] 

Atau seperti kata Charles F. Beker, bahwa pembenaran : 

(1) dilihat dari aspek negatif berarti penghapusan terhadap hukuman atas dosa. 

Pembenaran bukan menyatakan seseorang tidak bersalah; pembenaran menyatakan bahwa tuntutan hukum telah dipenuhi sehingga si pendosa yang percaya pada Kristus kini bebas dari hukuman (Roma 8:1); dan 

(2) dilihat dari aspek positif pembenaran berarti pemulihan ke dalam keadaan berkenan kepada Allah. 

Pembenaran berarti tindakan Allah yang menyatakan orang percaya benar dalam kapasitasNya sebagai Allah yang berkuasa, bukan berdasarkan keadaan bagaimanapun dari orang percaya, atau oleh apapun yang telah dicapai oleh orang percaya itu, tetapi semata-mata oleh iman pada diri dan karya Kristus. 

Pembenaran adalah tindakan yudisial yang menempatkan orang percaya pada posisi dimana Ia diperlakukan seakan-akan ia memang secara pribadi benar. Pembenaran bukan mengakibatkan dihasilkannya kebenaran manusia, tetapi kebenaran Allah bagi semua orang yang percaya (Roma 3:22).[18]

Jadi, pembenaran adalah anugerah yang diberikan Allah kepada orang berdosa yang percaya (Roma 3:24). Bruce Milne mengatakan, “Pembenaran adalah karya anugerah Allah yang memperhitungkan orang berdosa sebagai orang benar dihadapan Allah karena persatuan imanNnya dengan Kristus yang mematuhi Allah dan mati karena dosa...Penting sekali untuk menyadari bahwa pembenaran berkenaan dengan status orang berdosa sebagai orang benar, dan bukan dengan kebenaran atau keadilan orang itu sendiri. 

Hal inilah yang menjadi landasan damai, jaminan dan sukacita orang Kristen. Sekalipun orang berdosa, namun ia diterima Allah, bukan atas dasar usaha menaati Allah melainkan karena Dia telah memperhitungkan kebenaran Kristus yang sempurna kepada kita.”[19] Pembenaran ini diterima pada saat seseorang memiliki iman kepada Kristus (Roma 5:1,17-18). Dasar dari pembenaran adalah kematian Kristus (Roma 5:9), terpisah dari pekerjaan manusia dalam bentuk apapun (Roma 4:5). 

Alat untuk menerima pembenaran adalah iman (Roma 5:1). Melalui pembenaran, Allah mempertahankan integritasNya dan standarNya, dan bersamaan dengan itu Ia dapat masuk dalam persekutuan dengan orang berdosa yang percaya, karena kebenaran Kristus telah diperhitungkan kepada mereka”.[20] 

Mengenai pembenaran ini Charles F. Beker mengatakan, “Karena itu kami menyimpulkan dengan yang ditunjukkan Paulus bahwa pembenaran dihadapan Allah adalah tindakan Ilahi yang di dalamnya Allah menyatakan bahwa seseorang sepenuhnya bebas dan dipulihkan berkenan kepadaNya oleh iman saja, tanpa pekerjaan atau usaha apapun dari manusia, atas dasar iman kepada kematian Kristus, dan bahwa keseluruhan pelaksanan tersebut seutuhnya disebabkan oleh anugerah Allah... Di dalam Kristus kita dijadikan orang benar Allah (2 Korintus 5:21)”[21] 

Ajaran tentang pembenaran ini menurut Charles C. Ryrie, “merupakan ajaran pokok dalam kekristenan, karena hal itu membedakan kekristenan sebagai agama anugerah dan iman. Anugerah dan Iman merupakan dasar dalam ajaran tentang pembenaran”.[22] 

3. Dalam Injil kasih karunia, pembenaran orang Kristen (yang diperhitungkan dalam kematian Kristus) dibuktikan oleh kekudusan hidup. Artinya, kita yang benar-benar telah diselamatkan (dibenarkan) tentulah akan menunjukkan buah dari kehidupan yang kudus. 

Charles C. Ryrie menyatakan, “Pembenaran dibuktikan oleh kesucian hidup orang... Pembenaran dihadapan pengadilan Allah ditunjukkan dengan kesucian hidup di dunia ini dihadapan pengadilan di dunia. Inilah yang dimaksud Yakobus ketika Ia menuliskan bahwa kita dibenarkan karena perbuatan-perbuatan kita (Yakobus 2:24). 

Iman yang tidak menghasilkan buah yang baik bukanlah iman yang sejati”.[23] Perhatikan kata-kata rasul Paulus, “Sebab siapa yang telah mati (harafiah: dibenarkan), ia telah bebas dari dosa” (Roma 6:7). Jadi disini rasul Paulus jelas menghubungkan kematian Kristus dengan penghukuman sifat dosa yang dimiliki orang percaya (Baca: Roma 6:1-14). 

Artinya, kita telah dibebaskan dari dosa, sehingga dosa tidak lagi menguasai kita. Kita diikutsertakan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitanNya. Hal inilah yang sesungguhnya menghasilkan pemindahan kekuasaan kehidupan lama kepada kekuasaan kehidupan baru. Kematian terhadap dosa bukanlah sesuatu yang abstrak dan sekedar harapan, melainkan kenyataan, karena Kristus telah mati bagi dosa dan kita diikutsertakan dengan Dia dalam kematianNya itu. 

Jadi pembenaran akan terlihat dalam kehidupan yang kudus dan iman yang tidak mengasilkan kehidupan yang kudus bukanlah iman sejati. Dengan demikian, ajaran tentang kasih karunia yang sejati harus dihubungan dengan kehidupan yang kudus. 

Kevin J. Conner mengatakan, “Dalam pembenaran kita dinyatakan benar sementara di dalam penyucian kita menjadi benar. Pembenaran adalah apa yang telah Allah lakukan bagi kita, sementara penyucian adalah apa yang Allah lakukan di dalam kita. Pembenaran menempatkan kita di dalam hubungan yang benar dengan Allah, sementara penyucian adalah buah atau bukti dari hubungan tersebut... Pembenaran menyatakan kita benar secara hukum. Penyucian menjadikan kita benar secara pengalaman.”[24]

Namun, telah ada kekeliruan tentang Injil kasih karunia yang sejati, kekeliruan itu antara lain : 

(1) Ada yang mengajarkan bahwa injil tidak berurusan dengan dosa. Ajaran ini jelas keliru! Karena, sebenarnya Injil adalah cara Allah menyelesaikan masalah dosa yang tidak bisa diselesaikan oleh manusia (1 Korintus 15:1-4); 

(2) Ada yang mengajarkan bahwa kita perlu menyampaikan injil yang berbeda untuk kelompok usia yang berbeda, yaitu Injil untuk lansia, Injil untuk para pemuda, dan Injil untuk anak-anak. Ini jelas keliru! Sebab Alkitab mengajarkan Injil yang sama untuk semua orang (Roma 1:16; Galatia 3:26-28); 

(3) Ada yang mengajarkan bahwa Injil akan diterima bila disampaikan dengan kepandaian dan dengan metode tertentu. Ini juga salah dan bertentangan dengan keyakinan rasul Paulus (1 Korintus 1:17-31; 2:4; 4:20); 

(4) Ada yang menganggap bahwa kita diselamatkan karena perbuatan-perbuatan dan bukan hanya karena percaya pada Injil. Ini juga keliru karena membawa orang Kristen kepada legalisme (Galatia 3:1-8); 

(5) Ada yang menganggap bahwa baptisan air adalah Injil yang menyelamatkan (1 Korintus 1:17). Ini juga keliru karena Alkitab menunjukkan bahwa baptisan air bukanlah anugerah yang menyelamatkan atau pun syarat keselamatan (1 Korintus 1:17).[25] 

Baptisan air itu penting tetapi bukanlah syarat keselamatan. Makna Baptisan air adalah: 

(1) Tanda (kepada) pertobatan (Matius 3:11); 

(2) Tanda ketataan kepada perintah Tuhan, bahwa seseorang telah lahir baru atau telah diselamatkan (Matius 28:18,19); 

(3) Tanda simbolik dari persatuan dengan kematian dan kebangkitan Kristus. Artinya, orang percaya yang telah lahir baru (atau dibaptis Roh Kudus), telah bersatu dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitanNya, dan secara simbolik persatuan tersebut ditunjukkan melalui peristiwa baptisan air (Roma 6); 

(4) Merupakan upacara (inisiasi) masuknya seseorang ke dalam keanggotaan tubuh Kristus yang kelihatan, disebut keanggotaan gereja lokal. 

(5) Merupakan kesaksian bahwa kita telah dimeteraikan dan menerima hidup baru dan mengambil bagian dalam kematian dan kebangkitan Kristus (Roma 6:3-6). 

(6) Tanda bahwa kita menjadi pengikut atau murid Kristus yang sah (Matius 28:19,20). 

II.ANUGERAH DAN PENGUDUSAN

Telah disinggung di atas bahwa pembenaran orang percaya (yang diperhitungkan dalam kematian Kristus) dibuktikan oleh kekudusan hidup. Artinya, kita yang benar-benar telah diselamatkan (dibenarkan) tentulah akan menunjukkan buah dari kehidupan yang kudus. 

Michael S. Horton mengatakan, “Ketika Allah mengumumkan bahwa kita benar saat kita masih dalam keadaan tidak benar (pembenaran), Dia secepatnya – dengan kata yang sama tersebut – memulai proses pembaharuan batin yang sungguh membuat kita benar (penyucian)... Namun, keputusan muncul terlebih dahulu! 

Pertama, Allah mengumumkan kita benar, berdasarkan atas ketaatan, kematian, dan kebangkitan Kristus, dan kemudian Dia mulai membentuk kita serupa dengan gambar dan rupa Kristus”.[26] Perhatikan kata-kata rasul Paulus, “Sebab siapa yang telah mati (harafiah: dibenarkan), ia telah bebas dari dosa” (Roma 6:7). Jadi disini rasul Paulus jelas menghubungkan kematian Kristus dengan penghukuman sifat dosa yang dimiliki orang percaya (Baca: Roma 6:1-14). 

Artinya, kita telah dibebaskan dari dosa, sehingga dosa tidak lagi menguasai kita. Kita diikutsertakan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitanNya. Hal inilah yang sesungguhnya menghasilkan pemindahan kekuasaan kehidupan lama kepada kekuasaan kehidupan baru. Kematian terhadap dosa bukanlah sesuatu yang abstrak dan sekedar harapan, melainkan kenyataan, karena Kristus telah mati bagi dosa dan kita diikutsertakan dengan Dia dalam kematianNya itu. 

Jadi pembenaran akan terlihat dalam kehidupan yang kudus. Iman yang tidak mengasilkan buah (kehidupan) yang kudus (baik) bukanlah iman sejati (Yakobus 2:14-17). Dengan demikian, ajaran tentang kasih karunia yang sejati harus dihubungan dengan kehidupan yang kudus. 

1. Arti Pengudusan. Kata Inggris “sanctify” berasal dari dua kata Latin, yaitu “sanctus” yang berarti “kudus”; dan “facere” yang berarti “menjadikan atau membuat”. Dengan demikian, kata “sanctify” atau “pengudusan” berarti “menjadi kudus”.[27] 

Alkitab menggunakan dua kata utama untuk kata “kudus”. Kata Ibrani di Perjanjian Lama untuk kudus adalah “qadesh” yang mengandung dua pengertian yaitu menyediakan dan cemerlang. Yang pertama menekankan kekudusan atau penyucian dalam arti posisi, status, yang kemudian diterjemahkan dalam arti dipisahkan dan diasingkan atau disucikan untuk suatu penggunaan khusus. 

Sedangkan arti kedua mengarah kepada pengertian dalam bahasa Yunani Perjanjian Baru “hagios” yang berarti menjadikan suci, bersih atau menahbiskan. Kata ini menekankan penggunaan berkaitan dengan keadaan atau proses yang terjadi di dalam batin secara berangsur-angsur menghasilkan kemurnian, kebenaran moral dan pemikiran suci yang dinyatakan dalam perbuatan.[28] 

Dengan demikian pengudusan didefinisikan sebagai pemisahan atau diasingkannya seseorang bagi suatu pelayanan yang kudus. Dalam hubungannya dengan keselamatan, pengudusan berarti Allah memisahkan atau mengasingkan seseorang yang percaya kepada Kristus dari sifat jahatnya supaya menjadi murni dipakai melayani bagi kemuliaanNya.

Pengudusan orang percaya terjadi pada saat ia dilahirkan kembali oleh Roh Kudus di dalam Kristus. Jadi, pertama-tama orang percaya dikuduskan di dalam “kesatuan dengan Kristus (union with Christ)”. Orang Percaya dijadikan kudus melalui disatukannya mereka dengan Kristus di dalam kematian dan kebangkitan Kristus (Roma 6:1-5).[29] 

Selanjutnya, orang-orang percaya terus menerus mengalami proses pegudusan yang mencakup pengudusan pikiran, kehendak, emosi, hati nurani, perkataan dan perbuatan-perbuatan (Kolose 3:9-10; Roma 12:1-2). Orang percaya dikuduskan oleh darah Kristus (1 Yohanes 1:7), selanjutnya dikuduskan oleh firman (Yohanes 17:17; Mazmur 119:9), oleh Roh Kudus yang mendiami dan memenuhi (Efesus 5:18; Galatia 5:16,24), dan oleh iman (Kisah 26:18). 

2. Aspek Pengudusan. Kevin J. Conner mengatakan, “Alkitab mengajarkan bahwa penyucian bersifat segera dan berkembang; bersifat posisi dan praktis; meliputi baik status maupun keadaan; bersifat hukum dan pengalaman; suatu tindakan dan suatu proses”.[30] 

Alkitab menunjukkan dua aspek pengudusan yang dihubungkan dengan waktu pengudusan, yaitu : Pengudusan kedudukan atau disebut juga pengudusan posisi (positional sanctification) dan Pengudusan pengalaman, yang disebut juga pengudusan progresif (progressive sanctification).[31] 

(1) Pengudusan posisi (positional sanctification), yang disebut juga pengudusan judikal yang terjadi secara seketika (defenitif) pada saat kelahiran kembali oleh Roh Kudus (1 Korintus 1:2; 6:11; Ibrani 2:11). 

Henry C. Thiessen mengatakan, “Pengudusan ini berhubungan dengan kedudukan. Alkitab mengajarkan bahwa ketika seseorang percaya kepada Kristus, pada saat itu pula ia sudah dikuduskan.”[32] Pengudusan ini merupakan pekerjaan objektif Allah, bukan merupakan pengalaman subjektif orang percaya. 

Mengenai pengudusan podisi ini Charles F. Beker mengatakan, “Dengan ini dimaksudkan kedudukan yang dipisahkan bagi Allah. Pengudusan dalam hal kedudukan merupakan pekerjaan objektif Allah, bukan pengalaman subjektif orang percaya.”[33] Dalam hal ini kekudusan Kristus diperhitungkan kepada seseorang pada saat ia percaya. Ia disebut kudus karena telah dipisahkan dengan cara ditempatkan di dalam Kristus. Kedudukannya tersebut adalah kedudukan yang sempurna di hadapan Allah. Kristus telah menjadi pengudusan baginya (1 Korintus 1:30; Ibrani 10:10). 

Alkitab mengatakan, Kita telah dikuduskan satu kali untuk selama-lamanya oleh persembahan tubuh Yesus Kristus” (Ibrani 10:10). TullianTchividjian mengatakan, “Allah memperhitungkan kepada saya pemuasan, kebenaran dan kekudusan sempurna Kristus, seakan-akan saya tidak pernah melakukan dosa apa pun, dan diri saya telah mencapai semua ketaatan yang telah Kristus berikan kepada saya.”[34]

(2) Pengudusan pengalaman, yang disebut juga pengudusan progresif (progressive sanctification), dan merupakan suatu proses yang terjadi terus menerus. 

Henry C. Thiessen mengatakan, “Sebagai suatu proses, pengudusan berlangsung sepanjang hidup.”[35] Pengudusan progresif ini berhubungan dengan tingkah laku karena itu disebut juga aspek subjektif dari pengudusan. 

Jadi pengudusan dapat dilihat sebagai seketika dan juga sebagai proses. Itulah sebabnya orang percaya, setelah dikuduskan (seketika) harus hidup dalam kehidupan yang kudus setiap hari. Karena itulah semua surat Perjanjian Baru memiliki nasihat bagi orang percaya untuk bertumbuh di dalam Kristus dan memiliki kehidupan yang diucikan dan dikhususkan (Roma 6:19,22; 1 Tesalonika 4:7; 5:23; 1 Timotius 2:15; Ibrani 10:14; 12:14; 2 Petrus 3:18). 

Namun, pengudusan akhir dan lengkap (perfected sanctification), yang merupakan pengudusan penyempurnaan bagi orang percaya akan terjadi pada saat Yesus Kristus datang kembali. Pada saat itu segala ketidaksempurnaan kita dan kehadiran dosa dihapuskan dari hidup orang percaya (1 Tesalonika 3:13; 5:23,24; Ibrani 6:1,2).

Penting untuk memperhatikan bahwa pengudusan bukan berarti harus tanpa dosa. Sama seperti pembenaran bukan berarti orang percaya harus benar dalam semua yang dilakukannya, demikian juga pengudusan bukan berarti orang percaya harus suci dalam semua yang dilakukannya.[36] 

Paulus menulis surat kepada orang-orang Korintus sebagai orang-orang kudus, namun jika seseorang membaca surat tersebut ia akan terkejut melihat betapa berdosanya orang-orang kudus tersebut. 

Kenyataan ini kelihatannya seperti kontradiksi, tetapi sebenanya tidak demikian apabila kita memperhatikan dua aspek berbeda dari pengudusan seperti yang disebutkan di atas, yaitu pengudusan seketika dan pengudusan sebagai proses yang terjadi terus menerus. Seseorang yang percaya kepada Kristus dikuduskan oleh darah Kristus (Yohanes 1:7) dan firman (Yohanes 17:17) dengan iman (Kisah 26:18), mengakibatkan perubahan pada pikiran yang terlihat dalam sikap dan perbuatan baik. 

Jadi, setelah lahir baru, saat dimana orang percaya menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya secara pribadi, posisi orang percaya disebut sebagai orang kudus. Itulah sebabnya sekalipun jemaat di Korintus masih jatuh bangun dalam dosa, bahkan banyak melakukan dosa yang parah, Paulus tetap menyebut mereka sebagai orang kudus (1 Korintus 1:1-2). 

3. Penjelasan lanjutan mengenai pengudusan progresif (progressive sanctification). Pengudusan dapat dilihat sebagai seketika (defenitif) dan juga sebagai suatu proses (progresif). Dalam pengertian definitif, pengudusan berarti karya roh Kudus yang dengannya Roh Kudus menyebabkan kita mati terhadap dosa, dibangkitkan bersama dengan Kristus dan dijadikan ciptaan baru. 

Dalam pengertian progresif, pengudusan berarti karya Roh Kudus yang dengannya Roh Kudus secara terus menerus memperbaharui dan mentransformasikan orang percaya ke dalam keserupaan dengan Kristus, memampukan mereka untuk terus menerus bertumbuh dalam anugerah dan terus menyempurnakan (Yunani: “teleios”) kekudusan mereka. Alkitab mengajarkan bahwa terdapat suatu pengertian dimana pengudusan merupakan proses seumur hidup dan karenannya bersifat progresif.[37] Walau pun pengudusan pada keseluruhannya merupkan karya Allah dari awal sampai akhir, tetapi partisipasi aktif dari orang percaya juga diwajibkan. 

Millard J. Erickson mengatakan, “.. Orang Percaya tidak hanya secara formal dipisahkan, atau menjadi milik Kristus, tetapi bahwa perilaku mereka harus sesuai dengan kedudukan mereka. Kehidupan mereka harus murni dan penuh dengan kebajikan”.[38] Itu sebabnya orang percaya, setelah dikuduskan harus hidup dalam kehidupan yang kudus setiap hari (1 Tesalonika 5:23; Ibrani 10:14; 2 Petrus 3:18). Rasul Paulus meminta kepada jemaat di Roma supaya mereka “demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” (Roma 12:1). 

Selanjutnya, rasul Paulus mengingatkan “..karena kamu telah menanggalkan (apekdysamenoi) manusia lama (palaion anthropos) serta kelakuannya, dan telah mengenakan (endysamneoi) manusia baru (kainon anhtropos) yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya” (Kolose 3:9-10). 

Paulus dalam ayat ini bukan bermaksud memberitahukan bahwa orang-orang percaya di Kolose, sekarang atau setiap hari harus menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru berulang-ulang kali, tetapi Paulus menegaskan bahwa mereka telah mengalaminya pada saat regenerasi dan telah melakukannya perubahan ini ketika mereka pada saat konversi menerima dengan iman apa yang telah dikerjakan Kristus bagi mereka. 

Kata Yunani menanggalkan (apekdysamenoi) dan mengenakan (endysamneoi) menggunakan bentuk aorist tense yang mendeskripsikan kejadian seketika; Jadi Paulus sedang merujuk kepada apa yang telah dilakukan orang percaya di Kolose ini di masa yang lalu. Lalu apakah yang dimaksud Paulus dengan frase “terus menerus diperbaharui”? Walaupun orang-orang percaya adalah pribadi-pribadi baru, akan tetapi mereka belumlah mencapai kesempurnaan yang tanpa dosa; mereka masih harus bergumul melawan dosa.[39] 

Pembaharuan ini merupakan proses seumur hidup. frase ini menjelaskan kepada kita bahwa setelah lahir baru kita harus terus menerus mengalami proses pengudusan mencakup pengudusan pikiran, kehendak, emosi, dan hati nurani. 

Paulus juga mengingatkan orang percaya “supaya kamu dibaharui (ananeousthai) di dalam roh dan pikiranmu” (Efesus 4:23). Bentuk infinitif ananeousthai yang diterjemahkan dengan “dibaharui” adalah bentuk present tense yang menunjuk kepada suatu proses yang berkelanjutan. 

Jadi, orang-orang percaya yang telah lahir baru dan menjadi ciptaan baru di dalam Kristus masih diperintahkan untuk mematikan perbuatan-perbuatan daging dan segala sesuatu yang berdosa di dalam diri mereka beruapa keinginan-keinginan daging (Roma 8:13; Kolose 3:5), serta menyucikan diri dari segala sesuatu yang mencemari tubuh dan roh (2 Korintus 7:1). 

Rasul Paulus mendorong Timotius untuk agar selalu menyucikan dirinya terus menerus, sebab “Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia. Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni” (2 Timotius 2:21-22).

4. Iman sebagai sarana pengudusan. Mengapa iman dikatakan adalah sarana pengudusan orang percaya? 

(1) Oleh iman orang percaya berpegang kepada kesatuannya dengan Kristus yang merupakan inti dari pengudusan (Galatia 2:19-20; Efesus 3:17). 

(2) Oleh iman kita menerima fakta bahwa di dalam Kristus dosa tidak lagi berkuasa atas diri kita. Orang percaya tidak hanya tahu secara intelektual tetapi juga menyambut dengan iman kebenaran bahwa “Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa” (Roma 6:6), dan bahwa dosa tidak lagi berkuasa atas mereka karena mereka berada di bawah anugerah bukan lagi dibawah hukum Taurat (Roma 6:14). 

(3) oleh iman orang percaya berpegang pada kuasa Roh Kudus yang memampukan mereka untuk mengalahkan dosa dalam hidup dan hidup untuk Allah ((Efesus 5:18; Galatia 5:16,24). 

(4) Iman bukan hanya alat untuk menerima, tetapi juga kuasa untuk bertindak. Iman menghasilkan buah-buah rohani dan perbuatan iman (1 Tesalonika 1;3; Yakobus 2:26). Paulus mengatakan “hanya iman yang bekerja oleh kasih” (Galatia 5:5). Kata “yang bekerja” dalam ayat ini adalah kata Yunani “energio” yang menunjukkan pada “kuasa atau tindakan”. 

Jadi, orang percaya tidak hanya dibenarkan oleh iman, tetapi juga dikuduskan oleh iman yang membawa kepada kemenangan (1 Yohanes 5:4). 

III. IMAN DAN PERBUATAN BAIK

Salah satu cara kita diminta untuk memberi respon terhadap kasih karunia Allah adalah dengan melakukan pekerjaan baik. Pernyataan klasik tentang keselamatan hanya “karena kasih karunia oleh iman” adalah frase Yunani “tê gar khariti este sesôsmenoi dia tês pisteôs” yang diterjemahkan “Sebab adalah karena kasih karunia kamu telah diselamatkan melalui iman”, langsung diikuti oleh pernyataan ini “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10). 

Frase Yunani “pekerjaan baik” dalam ayat ini adalah “ergois agathois” diterjemahkan “perbuatan-perbuatan yang baik”. Kata “agathois” berasal dari kata “agathos” yaitu kata Yunani biasa untuk menerangkan gagasan yang “baik” sebagai kualitas jasmani atau moral. Kata ini dapat berarti “baik, mulia, patut, yang terhormat, dan mengagumkan”. 

Menurut Mark L. Bailey, “Perbuatan baik (agothos) dapat didefinisikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam Allah seperti yang dinyatakan dalam Yohanes 321. Perbuatan-perbuatan itu bisa juga dikategorikan sebagai pekerjaan iman (1 Tesalonoka 1:3)”.[40] 

Lawan dari perbuatan baik (agathos) adalah perbuatan tidak baik (phaulos), yaitu perbuatan-perbuatan yang tidak ada harganya dihadapan Tuhan. Perbuatan-perbuatan semacam itu bisa juga disebut perbuatan-perbuatan yang mati atau perbuatan kedagingan. Bahaya menghasilkan perbuatan kedagingan adalah kesia-siaan (1 Korintus 15:58), kehampaan (1 Timotius 6:20; 2 Timotius 2:16), dan tidak berguna (Galatia 4:9; Titus 3:9; Yakobus 1:26). 

Perbuatan-perbuatan jahat tidak memenuhi standar, dan karena itu dikarakterisasi sebagai kayu, jerami, dan limbah kayu, benda-benda yang kecil nilainya maupun kegunaannya. Itulah perbuatan-perbuatan semacam itu dihasilkan oleh tenaga kedagingan, terlepas dari kuasa Roh. Karya-karya pelayanan juga bisa menjadi buruk jika dilakukan dengan motivasi yang salah.[41] 

Paul Enns mengatakan, “Disana orang percaya akan dibalas untuk segala perbuatannya, yang baik atau yang sia-sia. Hidup orang percaya akan direfleksikan pada penghakiman ini (1 Korintus 3:12-15). Sebagian tidak akan mendapatkan upah; Pekerjaan mereka akan dibakar, karena motivasi mereka salah (1 Korintus 3:14-15; 4:5)”.[42]

Jadi, ketaatan kita kepada Allah dilakukan karena rasa terima kasih kita untuk kasih karuniaNya, bukan sebagai upaya untuk menggantikan kasih karunia dengan pekerjaan atau perbuatan-perbuatan yang baik. 

Perhatikan apa yang Paulus katakan mengenai dirinya sendiri, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” (1 Korintus 15:10). Rasul Paulus yang telah mengatakan bahwa ia diselamatkan hanya karena kasih karunia yang tidak sepatutnya ia terima, namun ia tidak duduk dan bermalas-malasan, melainkan melayani Tuhan dan bekerja dengan giat bagi Allah. 

1. Iman dan perbuatan baik. 

Telah disebutkan diatas, menurut Paulus dalam Efesus 2:8 bahwa kita tidak diselamatkan karena perbuatan-perbuatan. Hal ini juga dikatakan Paulus dalam Roma 3:28 demikian, “Karena kami yakin, bahwa manusia dibenarkan karena iman, dan bukan karena ia melakukan hukum Taurat”. Tetapi menurut Yakobus, iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:17). 

Yakobus mengatakan demikian, “Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman” (Yakobus 2:24). Peter H. Davids mengatakan bahwa sejak jaman Martin Luther, orang Kristen telah bergumul untuk memahami Yakobus 2:24 dan membandingkannya dengan pernyataan rasul Paulus dalam Roma 3:28 tersebut.[43] Pertanyaannya: Apakah disini Yakobus bertentangan dengan Paulus? Jawabannya tidak! Karena Paulus dan Yakobus menggunakan kata “ergon” atau perbuatan/pekerjaan dengan pengertian yang berbeda. 

Ketika Paulus menyebut diselamatkan bukan karena perbuatan atau pekerjaan maka yang dimaksud adalah menunjuk kepada keinginan seseorang untuk memperoleh perkenan dan keselamatan melalui usaha menanati hukum Taurat dengan kekuatan sendiri dan bukan melalui iman pada anugerah Tuhan. 

Bruce Milne mengatakan, “Paulus menggunakan istilah yang sama (“perbuatan”) dengan arti perbuatan menurut hukum Taurat yang dilakukan khusus untuk mendapatkan keselamatan terlepas dari Kristus. Dengan demikian Roma 3:28 mempertentangkan iman yang hidup dengan perbuatan untuk membenarkan diri”.[44] 

Sedangkan ketika Yakobus menggunakan kata perbuatan (ergon, bentuk tunggal dari erga yang berarti perbuatan atau pekerjaan) menunjuk kepada perbuatan-perbuatan yang bersumber dari iman sejati dan kehidupan yang telah diselamatkan. Kata “ergon” dalam Yakobus menunjuk kepada kualitas dasar dari kehidupan seseorang yang dinyatakaan dengan perilakunya. Tindakan atau perbuatan seseorang mencerminkan fakta bahwa iman sejati ada di dalam perbuatan-perbuatan itu. 


Dengan demikian hubungan antara iman dan perbuatan adalah bahwa setelah diselamatkan kita harus aktif mengerjakan keselamatan itu di dalam kehidupan kita dengan perbuatan-perbuatan yang kita lakukan atau hal-hal yang kita kerjakan. (Filipi 2:12-13; Efesus 2:10, agatha). Perbuatan-perbuatan itu merupakan tanda apakah iman kita itu benar-benar hidup (Yakobus 2:14-17) dan tanda ketaatan iman kepada Allah, yang berbeda dengan setan yang percaya pada Allah tetapi tidak taat (Yakobus 2:18-20).

2. Perbuatan baik dan Pahala. 

Di dalam Kekristenan dikenal apa yang disebut dengan pahala. Namun pemberian pahala bukan untuk menentukan apakah orang-orang percaya akan masuk surga atau neraka, dengan kata lain pahala bukan untuk keselamatan karena keselamatan itu semata-mata anugerah (Efesus 2:8). 

R.C. Sproul mengatakan demikian, “Meskipun perbuatan-perbuatan baik kita tidak menghasilkan keselamatan, tetapi hal itu merupakan dasar bagi janji Allah untuk memberi upah kepada kita di surga. Masuknya kita ke kerajaan Allah hanya berdasarkan iman. Upah kita di dalam kekekalan adalah sesuai dengan perbuatan-perbuatan baik kita”.[45] 

Sementara itu Mark L. Bailey mengatakan, “Masalah utama pada Tahta Pengadilan Kristus bukanlah apak kita orang-orang percaya atau bukan, atau apakah kita akan masuk surga atau tidak. Faktanya adalah, siapapun yang harus menghadap Tahta Pengadilan Kristus sudah berada di surga. 

Pengampunan sudah digenapkan selamanya melalui penebusan, dan pendamaian dengan Allah yang Mahakudus sudah dijamin... Karena itu apapun yang dinilai di hadapan Tahta Pengadilan Kristus bukanlah masalah dosa dan hubungannya dengan hukuman kekal. Tujuannya adalah untuk menentukan apakah karya orang-orang percaya itu berharga atau tidak berharga dimataNya. Itulah kebenaran hakiki dalam pemberian upah atas karya masing-masing”.[46]

Pahala dihubungkan dengan tanggung jawab dalam Kekristenan yaitu penilaian atas kehidupan dan pelayanan orang percaya di hari pemahkotaan. Paulus mengingatkan, “Demikianlah setiap orang di antara kita (semua orang percaya yang sudah diselamatkan) akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah” (Roma 14:12). 

Inilah tujuan hidup dan pelayanan Kristen, yaitu memperoleh pahala dan mahkota pada hari pemahkotaan di Tahta Pengadilan Kristus.[47] Karena itu Paulus mengingatkan, “Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi. Sebab itu aku tidak berlari tanpa tujuan dan aku bukan petinju yang sembarangan saja memukul. Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak” (1 Korintus 9:24-27). 

Tahta Pengadilan Kristus (Judgment seat of Christ) disebut “Bema Kristus” (2 Korintus 5:10) adalah peristiwa besar pertama yang terjadi di surga setelah gereja diangkat. Pada saat itu semua harus mempertanggungjawabkan pekerjaan mereka sewaktu hidup di dunia sejak mereka percaya kepada Kristus.[48] 

Pekerjaan yang berharga dan tidak berharga akan dibedakan, pekerjaan ini adalah pekerjaan yang dibuat selama hidup kekristenan mereka. Apakah pekerjaan itu dibangun diatas emas, perak, batu, permata, kayu, rumput kering atau jerami, semuanya akan teruji (1 Korintus 3:10-15). Hasil dari penghakiman ini bukanlah penghukuman tetapi pemberian pahala diantaranya berupa pujian dan mahkota. Pahala-pahala lainnya yang disebutkan Alkitab adalah pahala kesetiaan (Matius 25:21-23), pahala nabi dan orang benar (Matius 10:41,42), pahala hamba Allah dan orang kudus (Wahyu 11:18) dan mahkota emas (Wahyu 4:4;3:11). 


Dengan demikian pengadilan ini tidak berhubungan dengan keselamatan, dalam pengertian penentuan masuk surga atau neraka, karena mereka yang diadili adalah orang-orang yang sudah diselamatkan. Tim LaHaye mengatakan, “Penghakiman ini bukan bertujuan untuk menentukan apakah kita akan diselamatkan atau tidak, juga bukan merupakan penghakiman atas dosa-dosa yang dilakukan sebelum kita diselamatkan karena dosa-dosa itu telah dihakimi Allah di Kalvari ketika Kristus mati bagi dosa-dosa itu dan diampuni saat kita mengakuinya (1 Yohanes 1:9). 

Sebaliknya, penghakiman itu adalah untuk menentukan upah yang akan kita terima atas pelayanan yang setia setelah diselamatkan.”[49] Pengadilan ini adalah penilaian atas kehidupan dan pelayanan orang percaya dalam rangka pemberian pahala dan mahkota. Meskipun sama-sama diangkat pada hari pengangkatan saat Kristus datang diangkasa menjemput GerejaNya, namun pada waktu pengangkatan gereja ini, kualitas rohani setiap orang berbeda-beda (1 Korintus 3:12-14). 

Pengupahan disesuaikan dengan catatan jejak (track record) kehidupan dan pelayanan yang dilakukan selama hidup Keristenannya di bumi. Itu sebabnya Paulus mengingatkan dirinya sendiri untuk waspada dengan berkata, “Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak” (1 Korintus 9:27). Ditolak disini bukan berarti kehilangan keselamatan, karena keselamatan itu bersifat pasti. Namun yang dimaksud disini adalah kaitannya dengan mendapat pahala dan mahkota ataukah tidak.

PENUTUP: 

Tuhan menghargai kualitas hidup dan pelayanan setiap orang percaya. Kemuliaan orang yang berprestasi secara rohani akan lebih bersinar daripada dari pada mereka yang kirang berprestasi dan hanya mencari pujian manusia. Ada hamba Tuhan yang mungkin sewaktu hidup di dunia tidak dihargai dan tidak dihormati, namun di surga hamba Tuhan yang sungguh-sungguh akan mendapat kemuliaan lebih sebagai pahala. 

Rasul Paulus menggambarkan perbedaan kemuliaan antara oang percaya di surga kelak, “Kemuliaan matahari lain dari pada kemuliaan bulan, dan kemuliaan bulan lain dari pada kemuliaan bintang-bintang, dan kemuliaan bintang yang satu berbeda dengan kemuliaan bintang yang lain” (1 Korintus 15:41). Karena kesalehan, ketaatan dan kehidupan rohani orang percaya itu penting dihubungkan dengan pemberian pahala pada hari pemahkotaan di Tahta Pengadilan Kristus kelak, maka orang percaya perlu mengejar prestasi rohani dan perkenan Tuhan bukan pujian dari manusia. 

Mark Hitchcock menyebutkan area utama dalam kehidupan orang percaya yang akan diuji dan di evaluasi ketika mereka berdiri dihadapan Kristus di Tahta PengadilanNya,[50] sebagai berikut : Perlakukan terhadap orang-orang percaya lainnya (Ibrani 6:10; Matius 10:41-42); Penggunaan bakat dan kemampuan yang Tuhan berikan kepada kita (Matius 25:14-29; Lukas 19:11-26; 1 Korintus 12:4; 2 Timotius 1:6; 1 Petrus 4:10); Penggunaan uang kita (Matius 6:1-4; 1 Timotius 6:17-19); Tanggapan yang baik terhadap perlakuan salah dan ketidakadilan (Matius 5:11-12; Markus 10:29-30; Lukas 6:27-28; Roma 8:18; 2 Korintus 4:17; 1 Petrus 4:12-13); Ketabahan menanggung penderitaan dan pencobaan (Yakobus 1:12; Wahyu 2:10); Penggunaan waktu kita (Mazmur 90:9-12; Efesus 5:16; Kolose 4:5; 1 Petrus 1:17); Kepatuhan terhadap aturan perlombaan yang ditetapkan bagi kita (1 korintus 9:24; Filipi 2:16; 3:13-14; Ibrani 12;10); Pengendalian diri terhadap keinginan kedagingan kita (1 Korintus 9:25-27); Bersaksi dan memenangkan jiwa bagi Kristus (Amsal 11:30; Daniel 12:3; 1 Tesalonika 2:19-20); Respon terhadap doktrin pengangkatan dan kedatangan Tuhan (2 Timotius 4:8); Kesetiaan kepada Firman Tuhan dan umat Tuhan (Kisah rasul 20;26-28; 2 Timotius 4:1-2; Ibrani 13:17; Yakobus 3:1; 1 Petrus 5:1-2; 2 Yohanes 1:7-8); Memberi tumpangan kepada orang asing (Matius 25:35-36; Lukas 14:12-140); Pengunaan kata-kata dan pengendalian lidah (Matius 12:36; Yakobus 3:1-12). [51]

Sehubungan dengan penghakiman di Tahta Pengadilan Kristus tersebut Mark L. Bailey memberikan beberapa nasihat Alkitab yang dapat dilakukan oleh orang-orang percaya mendapatkan upah atau pahala, yaitu : Setia dalam pelayanan yang Tuhan sudah percayakan (1 Korintus 4:2); Jadikan menyenangkan Tuhan sebagai Tujuan hidup (2 Korintus 5:9); Lakukan semua pekerjaan dengan segenap hati seperti melakukan untuk Tuhan (Kolose 3:23); Berusahalah supaya tidak bercacat cela dihadapanNya dalam perdamaian dengan Dia (2 Petrus 3:14); Jangan pernah berusaha menghakimi karya pelayanan sesama orang beriman (Matius 7:1-2; Roma 4:4); Tetaplah bersikap rendah hati dengan menyadari betapa kita tidak layak menjadi pelayanNya (Lukas 10:7-10); Pertahankan komitmen yang kuat dan tak tergoyahkan dalam melayani Tuhan (1 Korintus 15:58); Hindari menghakimi orang lain yang juga akan harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka masing-masing kepada Tuhan (Roma 14:10; 1 Korintus 4:5); Jangan membanding-bandingkan diri dengan orang lain (2 Korintus 10:12); dan bersihkan diri dari semua kecemaran spiritual dan kepalsuan yang bisa menghalangi kita (2 Korintus 11:2).[52]

[1]Lihat: Brown, Michael L.., 2015. Hyper Grace. Terjemahan, Penerbit Nafiri Gabriel : Jakarta. (Michael L. Brown adalah seorang Yahudi dan Sarjana Yahudi Mesianik, dengan gelar P.hD dari New York University in Semitic Languanges (Sarjana Dalam Bidang Bahasa-bahasa dan Satra Timur Dekat). Awal Pertobatannya pada tahun 1971, seperti yang diakuinya terjadi Gereja Pentakosta orang Italia di Queens, New York). Pandangannya tentang keselamatan mengikuti pandangan arminianisme).

[2]Lihat: Ellis, Paul., 2015. Hyper Grace Gospel. Terjemahan, Penerbit Light Publising : Jakarta. (Paul Ellis adalah seorang Profesor pemenang penghargaan di salah satu sekolah bisnis ternama di Asia. Selama sepuluh tahun menggembalakan sebuah gereja multikultural di Hongkong. Ia penulis atif tentang Injil Kasih karunia di situs Escape to Reality. Kuti Pandangannya tentang keselamatan mengikuti Calvinisme).

[3]Horton, Michael S.. 2011. The Gospel Driven Life. Terjemahan, Penerbit Andi Offset: Yogyakarta, hal. 87-88. (Michael S. Horton adalah seorang profesor Teologi Sistematika dan Apologetika di Wesminster Seminary, California. Ia menjadi kepala Editor majalah Modern Reformasi. Gelar P.hD diperoleh dari University of Conventry and Wycliffe Hall, Oxford). 

[4]Horton, Michael S, The Gospel Driven Life, hal. 88.

[5]Peter, George W., 2006. A Biblical Theology of Missions. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal 76-77. (George W. Peters adalah profesor World Missions (bidang Pekabaran Injil Sedunia) di Dallas Theological Seminary. Mendapat Gelar P.hD dari Hartfored Seminray Fondation, Kennedy School of Missions).

[6]Eaton, Michael., 2008. Jesus Of The Gospel. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal. 9.

[7]Prinsip hermeneutika Kristosentris pada dasarnya menafsikan Alkitab dalam kaitannya dengan pusatnya, yaitu Kristus. Tepat seperti yang dikatakan oleh Michael Eaton, “Kekristenan adalah Kristus”.[7] Dasar untuk prinsip ini adalah fakta bahwa Kristus merupakan pribadi sentral dari Alkitab. Pribadi dan karyaNya merupakan tema dari pernyataan tertulis Allah. Pada roda pernyataan ilahi, Kristus adalah porosnya, dan semua kebenaran adalah bagaikan jari-jari (ruji) yang terkait padaNya yang adalah Sang Kebenaran. Berikut ini beberapa ayat yang menujukkan sentralitas Kristus dalam Alkitab (Lukas 24:27,44; Yohanes 1:45; 5:39; Kisah Para Rasul 10:43; Ibrani 10:7).

[8]Peter, George W., A Biblical Theology of Missions. hal 76..

[9]Enns, Paul., 2004. The Moody Handbook of Theology. Jilid 1. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. hal 403. (Paul P. Enns adalah seorang profesor teologi Sistematika. Beliau mengajar di Dallas Theological Seminary, Talbot Theological Seminary, dan di North Western College, Minneapolis. Mendapat gelar Th.D dari Dallas Theological Seminary). 

[10]Wolf, Herbert., Pengenalan Pentateukh, hal. 245.

[11]Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 403. 

[12]Ibid.

[13]Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 286.

[14]Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 2, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta, hal. 45. (Charles C. Ryrie adalah seorang presiden dan profesor pada Philadelphia College of Bible, serta profesor untuk bidang Teologi Sistematika di Dallas Theological Seminary. Memperoleh gelar Th.D dari Dallas Theological Seminary, Ph.D dari University of Endinburgh, dan litt.D dari Baptist Theological Seminary).

[15]Tchividjian, Tullian., 2013. Yesus Ditambah Nihil Sama Dengan Segalanya. Terjemahan, penerbit Light Publising: Jakarta, hal. 144. (Tullian Tchividjian adalah gembala senior di Gereja Coral Ridge Presbyterian di Fort Lauderdale. Ia adalah penerus dari pengganti dari DR. D. James Kennedy pendiri Gereja Coral Ridge Presbyterian. Ia juga mengajar di Knox Theological Seminary, yang juga didirikan oleh James F. Kennedy. Kita tahu bahwa D. James Kennedy ini juga merupakan pendiri dari Explosion Evangelism atau dikenal dengan singkatan “EE”).

[16]Ibid, hal. 144.

[17]Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 286.

[18]Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology. Terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah : Jakarta, hal. 566. (Charles F. Beker adalah pendiri dan presiden dari Grace Bible College, Grand Rapids. Ia adalah lulusan dari Weathon College dan Dallas Theological Seminary).

[19]Milne, Bruce., 1993. Mengenali Kebenaran. Terjemahan, Penerbit BPK : Jakarta, hal. 260. (Bruce Milne adalah dosen dalam bidang Teologi Alkitab serta Sejarah Teologi di Spurgeon’s College, London). 

[20]Ibid, hal. 404.

[21]Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 578. 

[22]Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 2, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta, hal. 52.

[23]Ryrie, Charles C., Teologi Dasar, hal. 48. 

[24]Conner, Kevin J., 2004. A Practical Guide to Christian Bilief. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 705.

[25]Lihat Penjelasan Charles C. Ryrie dalam Teologi Dasar, Jilid 2, hal. 99-106.

[26]Horton, Michael S., The Gospel Driven Life,, hal. 92-93.

[27]Hoekema, Anthony A., 2010. Diselamatkan Oleh Anugerah, Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 257. (Anthony A. Hoekema pernah mengajar di Calvin College dan Ia adalah profesor Teologi Sistematika di Calvin Theological Seminary, Grand Rapids, Michigan. Mendapatkan gelar Th.D dari Princenton Seminary).

[28]Ibid, hal. 257-258. (Lihat juga penjelasan Thiessen, Henry C., 1992. Teologi Sistematika, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 441-444).

[29]Hoekema, Anthony A., Diselamatkan Oleh Anugerah, hal. 257., hal. 258.

[30]Conner, Kevin J., 2004. A Practical Guide to Christian Bilief. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 695.

[31]Para teolog biasanya ketika membicarakan pengudusan (sanctification), selain membicarakan pengudusan judikacal atau posisi (positional sanctification) dan pengudusan pengalaman atau progresif (progressive sanctification), juga menyertakan pengudusan akhir dan lengkap (perfected sanctification). Untuk pembahasan tersebut dapat dilihat dalam : Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 408-409; Thiessen, Henry C., Teologi Sistematika, hal. 444-449; Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 585-587; Conner, Kevin J., A Practical Guide to Christian Bilief, hal. 695-697.

[32]Thiessen, Henry C., 1992. Teologi Sistematika, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 445. (Henry C. Thiessen adalah professor literatur dan exegesis Perjanjian Baru di Evangelical Theological College (sekarang Dallas Theological Seminary) pada tahun 1931-1935. Setelah meninggalkan Dallas ia pergi ke Wheaton College, di Illionis, dan ditetapkan menjadi associateprofessor Biblika dan Filsafat dan tahun kemudian ia menjadi professor penuh di sana. Gelar Ph.D.nya ia peroleh dari Southern Baptist Theological Seminary sedang gelar kehormatan Doctor of Divinity dari Northern Baptist Theological Seminary).

[33]Beker, Charles. F., A Dispensasional Theology, hal. 585. 

[34]Tchividjian, Tullian., Yesus Ditambah Nihil Sama Dengan Segalanya. hal. 149. 

[35]Thiessen, Henry C., Teologi Sistematika, hal. 446. 

[36] Beker, Charles. F., hal. 585. 

[37]Hoekema, Anthony A., Diselamatkan Oleh Anugerah, hal. 257., hal. 275.

[38]Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen, Jilid 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, 193. (Pada tahun 1961 ia pindah ke Olivet Baptist Church di Minneapolis. Millard J. Erickson pada tahun 1964 dan ia menjadi asisten professor dalam bidang Biblika dan Apologetika di Wheaton College. Pada tahun 1969 ia pindah ke Bethel Theological Seminary dan mengajar bidang teologi dan pada tahun 1984, ia menjadi dekan di sekolah tersebut. Gelar Ph.D. dalam bidang teologi siste-matikanya diperoleh pada tahun 1963 dari Northwestern University bekerjasama dengan Garrett Theological Seminary, dimana ia belajar di bawah bimbingan William Hordern.

[39]Pembahasan lebih lanjut dapat dilhat : Hoekema, Anthony A., Diselamatkan Oleh Anugerah, hal. 257., hal. 278-286.

[40]Bailey, Mark L, artikel “Tahta Penghakiman Kristus” dalam Ryrie, Charles C, ed., 2002. Countdown to Armageddon. Terjemahan, Penerbit Gospel Prss: Batam, hal. 105. (Mark L. Bailey adalah Wakil Presiden Bidang Akademik dan merangkan sebagai dekan Akademik pada Dallas Theological Seminary. Mendapat Gelar P.hD dari Dallas Theological Seminary).

[41]Ibid, hal. 105-106.

[42]Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology. Jilid 1, hal 470.

[43]Davids, Peter. H., 2004. Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Baru. Terjemahan, Penerbit SAAT: Malang, hal. 153. Buku Ini adalah salah satu pembahasan yang baik tentang hubungan antara keselamatan, iman dan perbuatan. (Peter H. Davis adalah Peter H. Davis, professor Studi Alkitab dan Perjanjian Baru di Canadian Theological Seminary, Regina, Kanada. Mendapatkan gelar P.hD dalam bidang Perjanjian Baru dari University of Manchester, Inggris). 

[44]Milne, Bruce., Mengenali Kebenaran, hal. 260

[45]Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 256. (DR. RC. Sproul adalah seorang teolog Calvinis, pendeta dan dosen. Mendapat Gelar P.hD dari Free University Amsterdam). 

[46]Bailey, Mark L, artikel “Tahta Penghakiman Kristus” dalam Ryrie, Charles C, ed., Countdown to Armageddon, hal. 101. 

[47]Disini saya berpegang pada pendirian eskatologis premilenialisme pretribulasional. 

[48]Lihat Penjelasan Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 2, hal. 353-355..

[49] Lahaye, Tim Lahaye, Tim., 2005. Memahami Nubuatan Alkitab Bagi Diri Anda. Terjemahan, Penerbit Gospel Press : Batam, hal. 156. (Tim LaHaya adalha presiden dari Tim LaHaya Ministries. Mendapat gelar D.Min dari Western University dan P.hD dari Liberty University). 

[50]Hitchcock, Mark., 2002. Bible Prophecy. Terjemahan, Gospel Press : Batam, hal. 111-112.

[51] Lihat juga penjelasan dari : Evans, Tony, 2002. The Best Is Yet to Come. Terjemahan, Penerbit Gospel Press : Batam, hal. 175-198. 

[52]Bailey, Mark L, artikel “Tahta Penghakiman Kristus” dalam Ryrie, Charles C, ed., Countdown to Armageddon, hal. 115.
Next Post Previous Post