BERBAGI TENTANG TRITUNGGAL MENURUT PERSPEKTIF REFORMED

Pdt.Billy Kristanto. 
BERBAGI TENTANG TRITUNGGAL MENURUT PERSPEKTIF REFORMEDMemahami Allah Tritunggal merupakan suatu kegiatan yang mengandung berkat dan sekaligus resiko. Sesungguhnya kita sedang berurusan dengan sebuah misteri yang sangat agung. 

Tanpa anugerah Tuhan, tanpa kerendahan hati, mustahil untuk memahami pengajaran yang penting ini. Maka, ketika kita berbicara tentang Tritunggal, kita harus sadar bahwa Dia yang kita bicarakan sedang berada di hadapan kita, atau lebih tepat, kita di hadapan-Nya.

Teologi Reformed menerima rumusan seperti yang sudah diwariskan oleh Bapa-bapa Gereja dan konsili-konsili ekumenis, sebagaimana juga diajarkan oleh Alkitab. Kita percaya Allah Tritunggal itu satu dan tiga. Jadi, ada aspek ke-satu-an, dan ada aspek ke-tiga-an. Jika kita mengikuti formulasi yang sudah dirumuskan, maka kita dapat mengatakan bahwa pandangan Gereja (khususnya Gereja Latin) menerima rumusan satu substansi/esensi, tiga Pribadi. 

Jadi Allah Tritunggal adalah satu dalam aspek tertentu, dan tiga dalam aspek yang lain. Perhatikan di sini bahwa ajaran ini tidak mengatakan bahwa Allah Tritunggal itu satu sekaligus tiga menurut aspek yang sama. Adalah hal yang salah jika kita mengatakan Tritunggal itu satu esensi dan tiga esensi, atau, satu Pribadi dan tiga Pribadi. Sebagaimana halnya juga salah ketika kita mengatakan bahwa Kristus itu adalah 1 Pribadi dan 2 Pribadi, atau bahwa Kristus memiliki 1 natur dan memiliki 2 natur. 

Pandangan seperti ini tidak pernah diajarkan dalam konsili manapun, atau dalam konteks tradisi Reformed, tidak pernah diajarkan dalam katekismus atau pengakuan iman Reformed yang manapun. Pandangan seperti itu bukan saja membingungkan, namun juga sekaligus mengacaukan pemahaman kita tentang Tritunggal atau tentang Kristus.

Apakah yang termasuk dalam kesatuan substansi/esensi? Apa yang dimaksud dengan istilah esensi/substansi? Substansi artinya adalah properti/atribut/sifat khusus yang dimiliki oleh suatu hal, yang olehnya (oleh properti khusus itu), hal tersebut dibedakan dari hal yang lain. 

Berdasarkan definisi ini, substansi ilahi itu seperti misalnya adalah kemahatahuan (tidak ada yang mahatahu selain Allah), kemahahadiran (tidak ada yang mahahadir selain Allah), kemahakuasaan (tidak ada yang mahakuasa selain Allah), kekekalan, yaitu tidak memiliki awal dan akhir (tidak ada yang kekal selain Allah). 

Selain atribut-atribut kemahaan, kita juga dapat mengatakan bahwa pikiran ilahi dan kehendak ilahi juga merupakan substansi/esensi ilahi (hanya Allah saja yang memiliki pikiran ilahi dan kehendak ilahi. Semua ciptaan yang lain tidak memiliki properti khusus ini).

Ketika kita membicarakan ke-satu-an Tritunggal, kita tidak dapat mengacaukannya dengan ketigaan-Nya. Allah itu satu dalam esensi dan substansi-Nya. Tidak dapat dikatakan Ia sekaligus tiga dalam esensi dan substansi-Nya. Allah itu satu pikiran dan kehendak-Nya, tidak dapat dikatakan Ia sekaligus tiga pikiran dan kehendak-Nya. Sama halnya kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah itu tiga dalam Pribadi-Nya, sekaligus satu dalam Pribadi-Nya. 

Ketika membicarakan unity, kita membicarakan kesamaan, bukan distingsi. Misal: hanya ada satu kemahahadiran, dan kemahahadiran ilahi ini dimiliki secara sempurna dan seutuhnya oleh ketiga Pribadi Tritunggal. Hanya ada satu pikiran dan kehendak ilahi, dan satu pikiran dan kehendak ilahi ini dimiliki secara sempurna dan seutuhnya oleh ketiga Pribadi. Tidak ada perbedaan dalam kemahakuasaan, kemahahadiran, kemahatahuan, pikiran, dan kehendak ilahi. Ini karena kita sedang berbicara ke-satu-an-Nya.

Lain halnya jika kita sedang membicarakan ketigaan-Nya. Di sini kita membicarakan perbedaan. Distingsi atau perbedaan berurusan dengan diversitas Pribadi, atau dengan kata lain, ketigaan-Nya. Sedangkan kesamaan berurusan dengan ke-satu-an-Nya.

Maka ketika kita membicarakan satu kemahakuasaan ilahi yang dimiliki secara sempurna oleh ketiga Pribadi, kita dapat mengatakan bahwa Pribadi Bapa memiliki kemahakuasaan yang sama dengan kemahakuasaan Anak dan juga dengan kemahakuasaan Roh Kudus. Kita tidak dapat mengatakan ada distingsi kemahakuasaan, karena ini berarti menolak ke-satu-an Allah. Hal yang sama dapat dikatakan tentang pikiran dan kehendak ilahi. Pikiran dan kehendak ilahi yang satu ini dimiliki secara sempurna oleh ketiga Pribadi. 

Sama dengan kemahakuasaan ilahi, tidak ada distingsi pikiran dan kehendak ilahi. Karena sekali lagi, jika kita membicarakan distingsi, kita bukan sedang membicarakan kesatuan esensi/substansi, melainkan kita sedang membicarakan ketigaan Pribadi. Tidak ada distingsi kemahahadiran ilahi, tidak ada distingsi kemahakuasaan ilahi, tidak ada distingsi kemahatahuan ilahi, dan juga tidak ada distingsi pikiran dan kehendak ilahi. Properti khusus ilahi ini sama (common) bagi ketiga Pribadi.

Mengusulkan distingsi dalam ranah substansi/esensi akan merusak simplisitas ilahi. Allah itu satu substansi-Nya. Distingsi tidak dibicarakan dalam ranah substansi yang hanya satu dan sama itu, melainkan dalam ranah ketigaan Pribadi.

Pengakuan-pengakuan iman Reformed mengajarkan distingsi Pribadi bukan dalam distingsi pikiran dan kehendak, melainkan dalam pembedaan opera ad intra dan opera extra. Menurut opera ad intra: Bapa bukanlah yang dilahirkan, melainkan yang melahirkan. Anak adalah yang dilahirkan dan bukan yang melahirkan. Roh Kudus adalah yang keluar dari, bukan yang melahirkan dan yang dilahirkan. 

Westminster Confession mengajarkan: “The Father is of none, neither begotten, nor proceeding; the Son is eternally begotten of the Father; the Holy Ghost eternally proceeding from the Father and the Son” (II.3). Second Helvetic mengajar: “So, as the Father has begotten the Son from eternity, the Son is begotten in an unspeakable manner; and the Holy Spirit proceeds from them both” (III.3). Menurut opera ad extra: Bapa dikaitkan dengan karya penciptaan, Anak dengan penebusan, dan Roh Kudus dengan pengudusan. 

Heidelberg Catechism mengajar: “The first is of God the Father and our creation; the second, of God the Son and our redemption; the third, of God the Holy Ghost and our sanctification” (Q/A 24). Atau gabungan antara opera ad intra dan ad extra seperti misalnya dalam Belgic Confession: “The Father is the cause, origin, and beginning of all things, visible and invisible; the Son is the word, wisdom, and image of the Father; the Holy Ghost is the eternal power and might, proceeding from the Father and the Son”.

Perhatikan bahwa distingsi ketigaan Pribadi Tritunggal tidak pernah dibicarakan dalam urusan dengan ke-satu-an Tritunggal, baik itu kemahakuasaan-Nya, kemahahadiran-Nya, kemahatahuan-Nya, pikiran dan kehendak ilahi-Nya.

Sebaliknya, kesatuan Tritunggal dibicarakan dalam kaitan dengan properti khusus ilahi, bukan dalam keberbedaan Pribadi. Westminster Confession mengajar: “In the unity of the Godhead there be three persons, of one substance, power, and eternity” (II.3). Westminster mengaitkan kesatuan ilahi dengan kekuasaan dan kekekalan ilahi, yang juga adalah satu dan sama. Second Helvetic mengajarkan: “So that there are not three Gods, but three persons, consubstantial, coeternal, and coequal; distinct, as touching their persons; and, in order, one going before another, yet without inequality. For, as touching their nature or essence, they are so joined together that they are but one God; and the divine essence is common to the Father, the Son, and the Holy Spirit” (III.3). Perhatikan bahwa Second Helvetic mengajarkan bahwa esensi ilahi itu satu dan sama, tidak ada distingsi.

Kesimpulan: distingsi dibicarakan dalam ketigaan Pribadi, bukan dalam kesatuan esensi/ilahi.

Maka dengan demikian, tidak tepat jika kita mengatakan ada distingsi pikiran dan kehendak dalam Tritunggal, karena hanya ada satu pikiran dan satu kehendak ilahi. Yang satu selalu satu, tidak pernah adalah tiga, sebagaimana yang tiga selalu tiga, tidak pernah adalah satu. Sabellius mengajarkan kesesatan, bukan karena ia percaya hanya ada satu kemahakuasaan, satu kemahahadiran, satu kemahatahuan, satu pikiran dan satu kehendak ilahi, dan juga bukan karena Sabelius tidak percaya ada distingsi pikiran dan kehendak ilahi dalam ketiga Pribadi Tritunggal, melainkan karena ia menolak ketigaan Pribadi Tritunggal yang sungguh-sungguh berbeda satu dengan yang lain.

Sebaliknya, kita perlu berhati-hati untuk tidak mengacaukan kesatuan substansi/esensi dengan mengajarkan bahwa ada distingsi dan ketigaan. Mengaburkan perbedaan Anak dan Roh Kudus merupakan sebuah kekeliruan (karena harusnya ada distingsi). Sebaliknya, mengajarkan ada distingsi equality, power, eternity, mind, and will dalam Tritunggal juga merupakan kekeliruan (seharusnya tidak ada distingsi). Mengajarkan perbedaan kehendak dalam kehendak ilahi, hal mana merupakan aspek kesatuan substansi/esensi, dan bukan ketigaan Pribadi, juga merupakan sebuah ajaran yang keliru.

Second Helvetic Confession mengajarkan: “We also condemn all heresies and heretics who teach that the Son and the Holy Spirit are God only in name; also, that there is in the Trinity something created, and that serves and ministers unto another; finally, that there is in it something unequal, greater or less, corporeal or corporeally fashioned, in manners or in will diverse ...” (III.5). Second Helvetic mengutuk pandangan yang mengajarkan ada distingsi kehendak ilahi dalam Tritunggal (in will diverse/voluntate diversum). Ini karena kehendak ilahi itu hanya satu dan sama, dimiliki oleh ketiga Pribadi secara sempurna. Mereka yang mengajarkan ada distingsi kehendak ilahi (in will diverse), menurut Second Helvetic, sebenarnya sedang mengajarkan ajaran heretic. Ajaran seperti itu bukanlah ajaran yang diwarisi dari tradisi teologi Reformed, melainkan merupakan sebuah ajaran pribadi. Kiranya Allah Tritunggal menolong kita untuk mengenal Dia dengan benar.

ALLAH TRITUNGGAL: 1 SUBSTANSI, 3 PRIBADI

Implikasi anthropologis

Melanjutkan tulisan sebelumnya, kita menerima formula dari Bapa-bapa Gereja dan Bapa-bapa Reformator bahwa Allah Tritunggal itu 1 substansi/esensi dan 3 Pribadi. Dalam substansi yang satu itu, tidak ada distingsi, sedangkan dalam ketigaan Pribadi-Nya kita mendapati distingsi. Pribadi Bapa bukan Pribadi Anak dan juga bukan Pribadi Roh Kudus. Mereka yang mengaburkan distingsi dalam kepribadian Tritunggal terjerat dalam pengajaran yang keliru dari Sabellianisme. Sebaliknya, kita tidak dapat mengatakan bahwa ada distingsi dalam esensi/substansi, karena esensi atau substansi ilahi itu hanya satu, bukan tiga. Calvin mengajarkan,

“And ecclesiastical writers do not concede that the one is separated from the other by any difference of essence. By these appellations which set forth the distinction (says Augustine) is signified their mutual relationships and not the very substance by which they are one.”

Bagi Calvin, tidak ada perbedaan dalam esensi ilahi. Mengikuti Augustinus, Calvin juga mengajarkan bahwa distingsi tidak didapatkan pada substansi (yg hanya satu), melainkan pada relasi mutual.

Kita sudah mengatakan bahwa pikiran ilahi dan kehendak ilahi itu hanya satu dan karena itu tidak terbedakan. Mengapa berpegang pada ke-satu-an pikiran dan kehendak ilahi ini penting? Jawabnya selain karena ini adalah ajaran ortodoks yang diwariskan turun-temurun, juga karena ini akan sangat mempengaruhi bagaimana kita mengerti kesatuan umat percaya dalam Kristus sebagaimana diajarkan dalam Alkitab.

Kitab Kejadian mengatakan bahwa kita ini diciptakan menurut gambar-rupa Allah. Perhatikan di sini, kitalah yang adalah gambar-rupa Allah, bukan Allah yang adalah gambar-rupa manusia. Yang terakhir ini adalah menciptakan allah melalui proyeksi diri (seperti dikatakan oleh Feuerbach). Untuk mengerti kepribadian manusia, kita perlu mengerti kepribadian Tritunggal itu seperti apa, dan bukan sebaliknya, menciptakan kepribadian Tritunggal berdasarkan kepribadian manusia (yang sudah jatuh dalam dosa).

Dosa merusak konsep kesatuan dan keberbedaan, sehingga tidak ada jalan lain untuk mengetahui kesatuan dan keberbedaan ini kecuali kita kembali kepada pemahaman akan Allah Tritunggal sebagaimana dinyatakan dalam Firman Tuhan dan diteruskan oleh Bapa-bapa Gereja, Bapa-bapa Reformator dan orang-orang yang setia kepada kesaksian Alkitab.

Sejak manusia jatuh dalam dosa, bukan hanya kepribadian manusia yang banyak, melainkan natur manusia pun menjadi terkoyak. Manusia yang seharusnya memiliki satu kehendak, yaitu kehendak pribadi yang taat kepada Allah, akhirnya sekarang memiliki banyak kehendak yang terpecah-pecah.Tidak semua manusia mau mempermuliakan Allah yang sejati, ada yang mau mempermuliakan dirinya sendiri, ada yang mau mempermuliakan manusia yang lain. Ada manusia yang berkehendak untuk merendahkan diri di hadapan Tuhan dan di hadapan sesama. Ada manusia yang terus mempertahankan keangkuhan dan kesombongannya. Mustahil ada persatuan yang kudus dalam kehendak manusia yang terpecah-pecah seperti ini.

Ketika kita merenungkan kehendak ilahi, kita mendapati bahwa kehendak ilahi itu hanya satu, tidak ada distingsi. Kehendak ilahi untuk mengasihi manusia yang berdosa adalah kehendak Bapa, kehendak Anak, dan kehendak Roh Kudus. Kehendak menebus dan menguduskan manusia yang berdosa adalah kehendak Bapa, kehendak Anak, dan kehendak Roh Kudus.

Hanya melalui Kristus, manusia memiliki pengharapan untuk memiliki kehendak manusia yang dipersatukan, tidak lagi tercerai-berai, melainkan menikmati kesatuan dalam keaneka-ragaman: kesatuan pikiran dan kehendak yang dikuduskan, keneka-ragaman pribadi. Sama seperti dalam Tritunggal, kesatuan kehendak dalam hidup manusia yang taat kepada Allah, sama sekali tidak menghancurkan distingsi pribadi manusia. Petrus yang taat tetap adalah Petrus; Yohanes yang taat tetap adalah Yohanes, Yakobus yang taat tetap adalah Yakobus; Paulus yang taat tetap adalah Paulus. Kesatuan kehendak yang sama untuk sama-sama mempermuliakan Allah, tidak menghancurkan distingsi pribadi. Justru perbedaan kehendaklah yang menyebabkan setiap pribadi mempertahankan egonya masing-masing. Alkitab menyebut orang-orang seperti ini sebagai orang-orang yang tidak mau dan tidak rela menyangkal dirinya.

Sebaliknya, ketika kita memberi diri dikuduskan dalam Kristus, kehendak manusia kita akan diubahkan seperti kehendak manusia Kristus (Kristus memiliki dua natur dan karena itu Ia juga memiliki dua kehendak). 

Pribadi Kristus, menurut natur manusia-Nya (dan bersamaan dengan itu, menurut kehendak manusia-Nya) taat sepenuhnya kepada Pribadi Bapa. Di dalam Kristus, manusia yang terpecah-belah kehendaknya, memiliki pengharapan untuk memiliki kehendak yang dipersatukan, menghayati apa artinya memiliki satu natur manusia dengan satu kehendak, yaitu kehendak untuk memuliakan Allah, kehendak mengasihi Allah di atas segala sesuatu, kehendak mempersembahkandiri kepada Allah, dan seterusnya. Selain kehendak, pikiran, dan hati kita juga dipersatukan di dalam Kristus. Sama seperti pikiran dan kehendak ilahi yang adalah satu, bukan tiga, demikian pengudusan dalam kehidupan manusia yang ditebus adalah dari keadaan pikiran dan kehendak yang berbeda-beda menjadi pikiran dan kehendak yang dipersatukan dalam Kristus.

Dalam pengertian ini Paulus menulis kepada jemaat di Filipi: “karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.”

Mereka yang tidak mau dibentuk untuk menjadi sehati dan sepikir di dalam Kristus, akan menjadi pribadi-pribadi yang eksklusif, yang mempertahankan keunikan pandangan dan kehendaknya sendiri, dan akhirnya gagal memahami apa artinya kesatuan tubuh Kristus.

Kiranya Tuhan menolong kita untuk menjadi sehati sepikir, dipersatukan dalam pikiran dan kehendak yang sama, untuk hidup mempermuliakan Allah.

Pada lain kesempatan, jika Tuhan berkenan, kita akan membicarakan distingsi pribadi manusia menurut pemahaman distingsi atau ketigaan Pribadi Tritunggal.

MEMAHAMI KEPRIBADIAN (PERSONHOOD) ALLAH TRITUNGGAL dan MANUSIA

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang berpribadi (personal). Dalam hal ini, kita dibedakan dari ciptaan-ciptaan yang impersonal. Apa yg dapat menjadi definisi person? Dalam dunia filosofi, pribadi biasa didefinisikan sebagai suatu keberadaan (being) yang memiliki kesadaran diri, rasionalitas, moralitas, perasaan dan/atau kehendak. Atau singkat kata, yang memiliki jiwa/roh dan bagian-bagiannya (faculties of the soul). Pandangan ini begitu populer, hingga ketika kita merenungkan kepribadian Allah, kita juga berharap Pribadi-pribadi Allah juga memenuhi syarat tersebut.

Dalam tulisan yang lalu, sudah kita jelaskan, bahwa pikiran dan kehendak ilahi itu termasuk dalam ranah substansi/esensi (bukan ranah pribadi), dan karena itu kita juga katakan bahwa hanya ada satu pikiran dan satu kehendak ilahi, bukan tiga. Satu pikiran dan satu kehendak ilahi ini dimiliki secara sempurna dan sepenuhnya oleh ketiga Pribadi (sama seperti substansi ilahi yang lain juga dimiliki secara sempurna dan sepenuhnya oleh ketiga Pribadi). Jadi, Pribadi Bapa memiliki pikiran dan kehendak ilahi yang satu itu, Pribadi Anak memiliki pikiran dan kehendak ilahi yang satu itu, dan Roh Kudus memiliki pikiran dan kehendak ilahi yang satu itu.

Ketiga Pribadi Tritunggal bukan dibedakan satu dengan yang lain melalui pikiran dan kehendak yang berbeda-beda, karena pikiran dan kehendak ilahi ini hanya satu, tidak terbedakan. Ini sama sekali berbeda dengan yang terdapat pada kepribadian manusia yang sudah jatuh dalam dosa. Setiap kita secara pribadi, memiliki pikiran kita sendiri dan kehendak kita sendiri. Kita bahkan bangga karena kita memiliki kesadaran diri yang begitu tinggi.


Tentang nous (bisa diterjemahkan sebagai roh, pikiran, rasio) manusia, yang kadang juga disebut “the Divine”, Aristotle menggambarkannya sebagai sebuah kekuatan untuk berpikir yang mengambil bagian dan juga menjadi bagian dari apa yang sedang dipikirkan. “Spirit becomes itself an object of thought by grasping and thinking that which is thought, so that spirit and that which is thought are identical.” Adalah kemampuan pikiran manusia, bahwa ia bisa berpikir sendiri (sebagai subyek yg berpikir) sekaligus menjadikan pikiran itu sebagai obyek yang dipikirkan. Dan sekalipun dua hal itu sama (subyek dan obyek), namun adalah kekuatan pikiran manusia juga bahwa ia sanggup membedakan keduanya. 

Kesanggupan ini disebut sebagai self-awareness atau self-consciousness. Konsep Aristotle tentang roh atau pikiran manusia ini sangat mempengaruhi konsep kepribadian sebagaimana diajarkan dalam filsafat. Manusia disebut sebagai pribadi karena ia dapat berpikir tentang dirinya sendiri, bisa berpikir bahwa dia sedang berpikir, sadar bahwa apa yang dipikirkannya itu berasal dari pikirannya yang sedang berpikir (namun ini bukan konsep kepribadian ilahi).

Michael Welker menyebut konsep kepribadian seperti ini sebagai kepribadian yang “self-referential”, menunjuk kepada dirinya sendiri. Dalam konsep seperti ini kepribadian yang kuat dan sehat akan ditandai dengan kemampuan untuk berpikir sendiri (particular and distinct), memiliki perasaan sendiri, dan memiliki kehendak sendiri. 

Konsep seperti ini sebenarnya lebih tepat diberikan istilah individu daripada pribadi. Dan yang pasti, konsep seperti ini sangat tidak tepat jika diterapkan dalam Pribadi Tritunggal. Mengapa? Karena Pribadi Tritunggal memiliki pikiran dan kehendak yang sama, bukan pikiran dan kehendak sendiri-sendiri (particular and distinct). 

Bukan hanya itu, Yesus pernah mengatakan bahwa apa yang Dia katakan bukan berasal dari diri-Nya sendiri, melainkan dari Bapa yang mengutus Dia. Kita tidak dapat memproyeksikan konsep kepribadian manusia (yang sudah jatuh dalam dosa ini) kepada kepribadian ilahi, karena kitalah yang diciptakan menurut gambar-rupa Allah, bukan kita yang dipanggil untuk menciptakan allah menurut gambar-rupa kita. 

Yang pasti, setiap Pribadi Tritunggal memang memiliki pikiran dan kehendak ilahi secara sempurna dan seutuhnya. Namun ini bukan berarti pikiran dan kehendak ilahi itu dimiliki oleh setiap Pribadi secara particular and distinct (punya pikiran sendiri-sendiri). Allah bukanlah manusia. Louis Berkhof mengingatkan kita bahwa kita ini uni-personal, sementara Allah tri-personal. Karena itu Berkhof juga berpendapat bahwa karena Allah ada dalam tiga Pribadi, tidak tepat jika kita mengatakan God is a Person. Lebih tepat jika kita mengatakan God is personal.

Melanjutkan Berkhof, kita dapat mengatakan bahwa tidak perlu menambahkan kepribadian pada kesatuan substansi ilahi itu karena substansi ilahi yang satu itu tidak pernah impersonal, melainkan selalu berada dalam tiga Pribadi: Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Dalam konteks dan pengertian ini kita dapat mengutip perkataan Gregory of Nazianzus yang terkenal:

“I cannot think on the one without quickly being encircled by the splendor of the three; nor can I discern the three without being straightway carried back to the one.”

Meminjam formula ortodoks dari Gereja Latin: substansi ilahi yang satu itu selalu dalam tiga Pribadi; dan tiga Pribadi itu selalu memiliki substansi yang satu dan yang sama (common to the Father, the Son, and the Spirit). Jadi, ketika kita merenungkan kesatuan substansi ilahi (entah itu mahakekal, mahaada, mahatahu, pikiran, atau kehendak ilahi), kita tidak perlu membubuhi bahwa substansi ini juga adalah a Person. Karena perenungan ini sifatnya selalu personal: antara saya sebagai person dengan Allah yang selalu berada dalam tiga Pribadi. Satu substansi itu tidak pernah dan tidak perlu menjadi satu pribadi, melainkan: satu substansi itu senantiasa dalam tiga Pribadi.

Kalau demikian, bagaimana kita menghayati distingsi Pribadi Tritunggal ketika kita percaya bahwa Pribadi Bapa bukanlah Pribadi Anak dan juga bukan Pribadi Roh Kudus? Apa artinya bahwa perbedaan Pribadi Tritunggal ini adalah perbedaan yang real dan bukan sekedar penyamaran peran seperti diajarkan dalam bidat Sabellianisme yang hanya percaya hanya ada satu Pribadi Allah? 

ALLAH TRITUNGGAL: 3 PRIBADI, BUKAN 1 PRIBADI

Sama seperti kesatuan substansi/esensi Allah tidak dapat dikompromikan, demikian pula ketigaan Pribadi Allah tidak dapat dikompromikan. Pribadi Bapa bukanlah Pribadi Anak dan juga bukanlah Pribadi Roh Kudus. Kesaksian Alkitab sangat jelas dalam hal ini. Ketika Yesus dibaptis, terdengar suara dari sorga “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Matius 3:17). Roh Kudus turun ke atas Anak seperti burung merpati (ayat 16). Tidak mungkin memahami bagian ini kecuali kita percaya yang berkata dari sorga adalah Pribadi yang berbeda dengan Pribadi yang dibaptis dan juga berbeda dengan Pribadi yang seperti burung merpati.

Ayat ini penting bukan saja karena menyatakan dengan jelas distingsi ketiga Pribadi, melainkan karena juga memberikan prinsip dalam pengertian yang bagaimana kita mengerti distingsi ini. Seperti diajarkan oleh Calvin yang mengikuti Agustinus, distingsi Pribadi ini ditandai oleh relasi mutual (cf. Inst. I.13.9). Konsep ini terdengar sangat biasa dan seperti tidak/kurang memuaskan, namun inilah ajaran dari Bapa-bapa Gereja dan Reformator. 

Ketika kita mau mengerti distingsi dalam Pribadi Tritunggal, kita harus melihatnya dari perspektif relasional (bukan mencarinya dalam definisi substansial yang ada pada masing-masing Pribadi secara tersendiri). Dalam relasi-Nya dengan Anak (dan Roh Kudus), Pribadi pertama itu disebut Bapa. Dalam relasi-Nya dengan Bapa (dan Roh Kudus), Pribadi kedua itu disebut Anak. Dalam relasi-Nya dengan Bapa (dan Anak), Pribadi ketiga itu disebut Roh Allah. 

Konsep ini diajarkan oleh Bapa-bapa Kapadokia. Tidak mungkin kita memahami Bapa tanpa Anak; tidak mungkin memahami Anak tanpa Bapa. Istilah bapa sendiri adalah istilah relasional. Istilah ini akan menjadi istilah yang meaningless jika tidak ada anak.

Sekali lagi, konsep ini terlihat sangat sederhana dan tidak terlalu memuaskan secara sepintas. Orang lebih mau mencari definisi substansial Pribadi itu apa dan kemudian menerapkannya pada setiap pribadi. Tapi pendekatan yang seperti ini kurang menjanjikan, bukan karena hal seperti ini sama sekali salah, melainkan karena Alkitab, Bapa-bapa Gereja, dan Bapa-bapa Reformator agaknya lebih tertarik untuk membicarakan distingsi Pribadi Tritunggal dalam pengertian relasional.

Konsep ini memiliki dampak bagaimana kita memahami pribadi manusia. Jika kita mau memahami keunikan pribadi manusia, kita perlu masuk dalam relasi (seperti Tritunggal yang juga berelasi). Kita tidak bisa memahami keunikan pribadi sendiri hanya dengan merenung sendiri tanpa relasi. Pribadi pertama itu disebut Bapa karena dalam relasi-Nya dengan Pribadi kedua, Ia disebut Bapa. Ia adalah yang melahirkan, bukan yang dilahirkan, dan juga bukan yang keluar dari (prosesi). Dalam Matius 3:17, Bapa adalah yang mengasihi Anak; Anak adalah yang dikasihi Bapa; dan Roh Allah adalah yang dilihat oleh Anak seperti burung merpati.

Kita boleh menambahkan di sini, bahwa bukan sembarang relasi, melainkan relasi kasihlah yang membuat distingsi Pribadi Tritunggal ini sangat jelas dan tidak dikaburkan (confused). Relasi kasih mengasumsikan ada pribadi yang mengasihi, ada yang dikasihi, dan ada kasih itu sendiri. Bapa Gereja Agustinus, ketika membicarakan jejak-jejak Tritunggal (vestigia trinitatis) melihatnya dalam relasi kasih/cinta yang sedemikian.

Bapa mengasihi dan berkenan kepada Anak. Anak dikasihi dan diperkenan oleh Bapa. Roh Allah yang seperti burung merpati menyatakan kelemah-lembutan Anak. Tentang ini Calvin berkomentar: “On account of this mildness of Christ, by which he kindly and gently called, and every day invites, sinners to the hope of salvation, the Holy Spirit descended upon him in the appearance of a dove. And in this symbol has been held out to us an eminent token of the sweetest consolation, that we may not fear to approach to Christ, who meets us, not in the formidable power of the Spirit, but clothed with gentle and lovely grace.”

Perhatikan bahwa tidak ada satu pun Pribadi yang menunjuk kepada diri-Nya sendiri (self-referential). Pribadi Bapa meneguhkan identitas Anak yang dikasihi dan diperkenan. Pribadi Anak secara pasif menerima peneguhan identitas-Nya dari Bapa. Anak selalu mempermuliakan Bapa. Roh Kudus terlihat seperti burung merpati untuk menunjuk pada kelemah-lembutan Kristus. Dalam relasi kasih, setiap Pribadi Tritunggal tidak menekankan Pribadi-Nya sendiri-sendiri, melainkan menunjuk kepada Pribadi yang lain. Setiap Pribadi berelasi dengan Pribadi yang lain dalam relasi kasih, dan itulah yang menegaskan distingsi ketiga Pribadi.

Diintegrasikan dalam kehidupan manusia, kita hanya dapat menghayati keunikan dan distingsi pribadi manusia juga dalam relasi kasih/cinta. Saya berbeda dengan pribadi yang lain bukan karena saya memiliki pikiran sendiri dan kehendak sendiri yang distinct dari pribadi orang lain (ini lebih mirip penyembahan keunikan pribadi alias narsisistik dalam kehidupan manusia yang sudah jatuh dalam dosa). Sebaliknya, saya berbeda dengan pribadi lain karena saya bisa menjadi subyek yang mengasihi pribadi yang lain, atau menjadi obyek yang dikasihi oleh pribadi yang lain, atau menjadi mediator kasih itu sendiri, yang memungkinkan pribadi-pribadi yang lain memiliki relasi I and Thou di dalam kasih (“Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah”).

Kasih membuat relasi dalam kehidupan pribadi manusia menjadi relasi yang personal, bukan impersonal. Ketika manusia mencintai uang, tidak mungkin ada relasi personal di situ, sebab uang bukanlah pribadi. Yang ada hanyalah relasi impersonal, yang sebenarnya bukan relasi. Ketika kita hidup memanfaatkan orang lain, ini juga tidak akan menjadi relasi personal, melainkan hanya relasi impersonal (karena di situ saya sedang memperlakukan orang lain sebagai barang/alat). Namun, ketika saya membangun relasi kasih/cinta dengan pribadi yang lain, di situlah kita mendapat personal relationship seperti dalam kehidupan ilahi.

Allah itu adalah kasih. Kasih merupakan atribut atau substansi/esensi ilahi. Dan esensi yang satu ini dimiliki secara sempurna oleh ketiga Pribadi Tritunggal. Kasih ilahi ini tidak pernah hanya merupakan substansi yang impersonal melainkan hadir dalam tiga Pribadi. Ketiga Pribadi Tritunggal berada dalam relasi kasih. Diciptakan menurut gambar-rupa Allah, kita sebagai manusia juga dipanggil untuk masuk dalam relasi kasih. Di situ kita menikmati kehidupan yang dipersatukan, dengan tidak kehilangan distingsi pribadi. BERBAGI TENTANG TRITUNGGAL MENURUT PERSPEKTIF REFORMED.
Next Post Previous Post